Di Kala Kamu Sedang di Tengah Petualangan dan Seekor Wyvern Muncul

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


Saat itu—yah, kamu sudah membaca judul bab ini.

“Yeeeeek!”

“Lari, lari, lari, lari!! Dia akan memakan kita!”

“Astaga, aku yakin ini benar-benar akhir dari kita...!”

Pada lengkingan dari belakang mereka, sang warrior dengan pentungan dan pedang memberikan teriakan dan mulai melarikan diri dari hutan. Sang cleric, air mata mengalir pada matanya, berlari di samping pria itu seraya mereka mengikuti pemburu berbulu putih yang melompat-lompat di depan mereka.

Bagaimana ini bisa terjadi...?!

Frustrasi mengisi pikirannya, bersama dengan sebuah komitmen teguh untuk terus memandang ke depan. Jangan menoleh ke belakang.

Dari atas datang sesuatu yang baginya tampak seperti bayangan kematian. Itu bukanlah deru angin: itu adalah teriakan niat membunuh.

Kenapa udara tampak begitu panas dan pekat? Ini bukanlah karena dia berkeringat.

“GYAAAAAAAAAAOSSSSSSS!!!”

Adalah sebuah predator udara yang besar melejit mengarah mereka dari belakang!

Siapa sih orang tolol yang bilang kalau wyvern itu cuma seekor naga gagal?!

Namun juga, pernyataan itu tidak sepenuhnya salah. Mereka tidaklah sekuat naga, namun naga memanglah sangat kuat dari awal, dan itu hampir tidak membuat perbedaan sama sekali. Terutama ketika mangsa wyvern itu adalah trio petualang yang hampir tidak mempunyai bulu perbersitas di dada mereka!

Dia belum ingin menggunakan cara yang dia pelajari saja baru-baru ini untuk keadaan seperti ini, tetapi...

“A-apa yang harus kita lakukan sekarang!” Teman lamanya, hampir kehabisan napas, berteriak kepadanya.

Bayangan di atas kepala mereka, mengepakkan sayap mengikuti, sangatlah jauh lebih cepat dari mereka yang ada di bawah. Pepohonan memberikan mereka sedikit perlindungan, namun itu semua akan berakhir sebentar lagi.

“Apa yang kita lakukan...?!”

Hanya ada satu yang harus di lakukan: Lari. Mereka tidak akan bertarung melawan makhluk itu dan menang. Namun kemana mereka harus berlari?

Pria muda, Club Fighter, berpikir secepat dia bisa, namun dia sangat memahami bahwa kemungkinan besar dia tidak akan mendapatkan ide bagus apapun untuk memutar balik situasi. Dia bukanlah tipe pemikir.

Harefolk Hunter, menoleh kepadanya dan mengernyit. Padfoot sangat cepat dan lincah, namun mereka tidak memiliki stamina. Terutama Harefolk, mereka dapat cukup akrobatik selama mereka mempunyai sesuatu untuk di makan, namun mereka tidak di ciptakan untuk berlari panjang tanpa berhenti untuk makan.

“Ku—kurasa...aku sudah....nggak sanggup....lagi.” Harefolk Hunter berkata.

“Aw, gygax!

“Hei, jangan mengum—Agh!” Tidak lama setelah bocah itu melihat tapak putih itu tersandung, dia menarik sabuk Harefolk Hunter, mengangkatnya dan memikul gadis itu di pundaknya. Walau dengan teriakan kegadisannya, gadis itu lebih lembut dan berat dari apa yang terlihat, namun sang warrior hampir tidak menyadarinya.

Anak ketiga petani ini lebih kuat dari yang kamu pikir!

Adalah ketika pria itu menghela napasnya, baru dia menyadari sesuatu yang membuat matanya terpelongo. Hal pertama yang dia lihat adalah telinga gadis, mengepak dari atasnya dari tempat di mana dia meletakkan gadis itu di pundaknya, sebuah posisi yang tampaknya tidak di inginkan gadis itu.

Pria itu tampak mengingat ini terjadi sebelumnya. Hanya satu kali, teman clericnya terengah-engah di sampingnya, dan mereka berada di dalam saluran air. Petualangan itu telah menjadi cukup merepotkan, sebagian karena kala itu hanya ada mereka berdua di sana. Sekarang pun masih merepotkan. Walaupun sekarang mereka bertiga.

Bertiga?

“Oh...” Itulah ketika dia mendapatkan kilasan pencerahan. “Itu dia—telinga!”

“Huh?!”

“Kamu ingat—saat kita dalam perjalanan kemari—sungainya! Suara air! Apa kamu nggak bisa mendengarnya?! Ke arah mana? Kamu tahu nggak?!” Pria itu tahu bahwa dia tidaklah sepenuhnya menjelaskan, namun Harefolk Hunter memahami sedikit apa yang pria itu pikirkan. Sang kelinci menenangkan diri, kemudian, ber-hmm berpikir, mendengarkan, dan akhirnya menunjuk ke kanan. “Sepertinya ke arah sana, tapi...”

“Oke...!” Dengan sebelah tangannya yang bebas dia meraih sang cleric Supreme God dan berlari dengan nyawa sebagai taruhannya. Tangan teman masa kecilnya lebih kecil dari yang dia ingat, dan tangan itu bergetar—namun dia tidak dapat memikirkan tentang itu sekarang.

“Sungai—apa yang akan kamu lakukan di sungai?!” gadis itu menjerit, wajahnya pucat.

“Aku nggak—aku nggak tahu, tapi...sesuatu...!” Sebuah senyum di wajahnya seraya dia menyadari raut pucat wajah dirinya mungkin tidaklah berbeda dengan gadis itu.

Tidak lama setelahnya, jarak pandangannya melebar; mereka pasti telah keluar dari hutan. Sebuah sungai membentang di depan mereka—yah tidak sepenuhnya di depan mereka; sungai itu berada di bawah dari sebuah tebing sempit—sebuah garis tipis yang memanjang di antara pinggiran tebing. Normalnya, pria itu mungkin akan berhenti mendadak karena kaget. Dia tidak akan pernah memilih ini untuk tempat bertahannya. Tentunya tidak di tengah-tengah petualangan. 

“GYAAAAAAAAAAOSSSSSSS!!”

Namun mereka tidak mempunyai tempat lain untuk berlari dan tanpa adanya waktu yang dapat di sia-siakan. Sekarang setelah mereka berada di luar perlindungan pepohonan, sang wyvern menukik mengarah mereka.

“Dia datang—kamu tahu dia datang kan?!” Harefolk Hunter berteriak. Dari pundak Club Fighter, dia dapat melihat dengan jelas.

“Jangan salahkan aku kalau kita semua mati oke?!”

Pastilah aku akan menyalahkanmu!” Cleric berteriak. “Aku akan mengomelimu tepat di depan Supreme God!”

Setidaknya gadis itu akan mengikuti dirinya. Itulah mengapa Club Fighter memilih untuk meremas kecil tangan gadis itu.

Dan kemudian dia melompat.

Satu lompatan besar, dengan teman lama di sampingnya dan teman baru di pundaknya, menuju tebing.

Dia tidak merasakan dirinya melayang; rasanya lebih seperti tanah menghisap dirinya ke bawah. Angin mencambuk telinganya. Para gadis—dan warrior itu sendiri—menjerit sekuatnya. Sangatlah kacau. Warrior muda itu menarik para gadis lebih dekat, berharap untuk menyalamatkan mereka dari hantaman tepian tebing, kemudian melingkarkan lengannya ke kepalanya sendiri. Air yang semakin mendekat dengan cepat masihlah sangat mengerikan. Dia memejamkan matanya untuk sesaat, kemudian membukanya dan mencoba untuk tidak melihat ke bawah.

Dia memutarkan lehernya; butuh segenap kekuatannya untuk menoleh ke atas, dan ketika dia melakukan, dia melihat wyven itu mendaratkan paruhnya di antara celah tebing dan tersangkut.

Terlalu besar ya? Bahkan kecoapun bisa muat di sini bodoh!

Jika wyven itu dapat membaca pikirannya pada saat itu, tentunya makhluk itu akan semakin marah mendengarnya. Dan makhluk itupun menjawabnya dengan raungan murka melihat mangsanya yang melarikan diri, suara yang memekikkam telinga menggetarkan ngarai ini.

Hal berikutnya yang dia dengar adalah deruan gelombang air...

Kemudian rasa sakit dan dingin, seolah dirinya telah terhantam oleh bola es, dan warrior itu pingsan..

*****

“Kurasa ini, ketiga kalinya kita melakukan ini? Goblin itu memang kacangan...”

“GBBOR?!”

Dia menangkap belati goblin dengan sebuah pedang yang dia sebut sebagai Chestburster 2, kemudian menghancurkan tengkorak makhluk itu dengan hantaman pentungannya, Roach Slayer 2. Dia tidak pernah terbiasa dengan perasaan basah, kenyal dari otak yang melebur; perasaan ini selalu tidak nyaman. Ini tidaklah seperti membunuh serangga.

Lantai gua ini lembab, namun tidaklah berlendir seperti di dalam saluran air. Club Fighter menghentakkan lantai, menanamkan kakinya dengan kuat di lantai dan menarik senjatanya. Bertarung dengan gaya pentungan-dan-pedang-bersamaan—“dual wielding,” mungkin—terasa sangat janggal pada awalnya, namun dia sudah terbiasa sekarang.

Berapa banyak lagi?

“Kemungkinan lima atau enam lagi, sepertinya! Tetap siaga...!” panggil suara bersemangat di sampingnya. Adalah Cleric Supreme God, punggungnya bersandar pada dinding batu. Dia memegang pedang dan timbangan di satu tangan dan sebuah lentera di tangan lain, dan tengah memperhatikan pertarungan dengan seksama. Sebelumnya, mereka selalu berdua saja, karena itu gadis ini selalu siaga, tidak pernah mengangap remeh apapun. Itu karena, satu-satunya serangan jarak jauh yang mereka miliki adalah satu keajaiban yang telah di berikan oleh Supreme God.

Itu juga adalah senjata pamungkas mereka. Sebuah persediaan yang tidak boleh di gunakan dengan enteng.

Yeah, harus pakai dengan hati-hati, pikir Club Fighter.

“Meh, kita bisa kok hadapi segini doang,” Harefolk Hunter berkata, terdengar tidak cemas, walaupun mereka sedang di dalam gua berburu goblin. Bahkan seraya kedua tangannya menembakkan busurnya rat-tat-tat-tat, senar dari busur itu menjentak tajam lagi dan lagi.

Harefolk Hunter—dialah yang membuat ini semua sangat berbeda dari hari-hari ketika mereka hanya berburu kecoa di saluran air. Gadis itu tampak dapat memperhatikan segalanya yang terjadi sekaligus; gadis itu dapat berdiri di garis depan—dan lihatlah tembakannya! Dia dapat melompat ke belakang, menarik busurnya, dan memuat panahnya dalam satu gerakan, dan selama dia mempunyai waktu untuk melakukan itu, dia dapat terus menembak—tidak seperti sihir! K Walaupun gadis itu pernah tertawa, telinganya berayun malu, dan mengakui, “Yah, bukan berarti panah itu gratisan tahu. Terlalu banyak menembak, dan aku bisa saja nggak bisa makan selanjutnya!)

“Terima iniiii!” Sebuah panah besar khusus terbang dengan suara seperti kayu tertebang, mendarat tepat di mata goblin yang berada jauh di belakang garis pertarungan. Makhluk itu terlihat terkagum oleh panah yang tiba-tiba mencuat dari lehernya dan terhuyung ke belakang, berguling sekali sebelum akhirnya berhenti dan tidak bergerak kembali.

“GGOROGB!!”

“GROB! GOORGB!!”

Para goblin membuat keributan mengerikan melihat itu, namun mereka pasti masih percaya bahwa mereka masih dapat menang, karena moral mereka masih sangat tinggi. Atau mungkin mereka hanya menyadari bahwa para petualang itu tidak memiliki tempat lain selain menerobos mereka.

Adalah mudah untuk teralihkan oleh musuh yang berada di depan, namun untungnya Cleric berada di sana untuk memperingatkan mereka. “Masih ada lagi datang dari dalam...!”

“Aw, yang benar saja! Senar busurku sudah mulai terasa berat!” Walaupun begitu, Harefolk Hunter terus menarik panjang senar busurnya, yang terlihat terlalu besar untuk makhluk kecil seperti dirinya. Dia harus menahan dirinya dan memiringkannya ke satu sisi; membutuhkan cukup waktu.

Dan itu adalah tugasku untuk memberikannya waktu...!

“Aku hadapi!” Club Fighter berteriak dan bergegas maju. Kedua tangannya licin di karenakan keringat, dan lempengan metal pelindung yang terikat pada dahinya terasa berat, hampir membuat sulit untuk melihat. Namun dia mempunyai pengikat pada pentungan dan pedang yang terikat di pinggulnga. Dan temannya berada di sana mengawasi dirinya. Karena itu dia tetap yakin pada perannya, mengayunkan pentungan di tangan kiri seraya dia maju.

“GOOBGG?!”

“Rrrahh!!”

Goblin yang berada di depannya memberikan jeritan yang tak dapat di pahami, tenggorokannya di hancurkan, dan Club Fighter menghabisinya dengan ayunan dari pedang di tangan kanannya. Dia memiringkan kepalanya ke bawah agar cipratan darah itu tidak mengenai matanya. Dia mengingat betapa dia selalu tersentak ke belakang setiap kali beragam cairan yang terciprat dari tikus dan kecoa pada perburuan sebelum-sebelumnya.

Apa ini yang di sebut “pengalaman” bekerja?

“GORB! GOBBGB!!”

“Hrngh...?!”

Tidak ada waktu untuk memikirkan itu. Lebih baik untuk memikirkan tentang belati goblin yang baru saja melompat mengarahnya, yang sama sekali tidak mempedulikan kematikan rekannya.

Clun Fighter sudah sangat terlambat untuk menghadang belati itu dengan senjatanya; belati itu menusuk sarung tangan kulit sederhana yang menutupi lengannya.

“Aduh, sakit!” dia menjerit, lebih menjerit karena terkejut, di bandingkan sakit. Secara tidak sadar dia melepaskan pentungannya, namun tali yang terikat pada pentungan itu di pinggulnya, membuat senjata itu tidak terjatuh menjauh.

“GORRGBB!!”

Bahkan itupun sama sekali tidak di pedulikan oleh goblin ini. Club Fighter menarik lengannya secara paksa, menjauh dari makhluk yang mengoloknya ini.

“Dasar makhluk baji—“

“Ini dia!!”

“GOGBG?!”

Terdengar suara lantang ker-ack dan salah satu panah Harefolk Hunter melejit terbang. Panah itu menembus goblin tepat mata matanya, menusuk makhluk otaknya dan merenggut nyawanya seolah itu adalah hal yang sangat sederhana.

Club Fighter menendang mayat itu menjauh, mendorongnya kepada para goblin yang mendekat, kemudian mengambil langkah mundur, terengah. “Maaf—tahan garis depannya sebentar...!”

“Serahkan saja padaku!” Harefolk Hinter berkata dengan jentikkan telinganya, menggantung busurnya di punggung dan mengeluarkan sebuah pisau berburu besar seraya dia maju menuju goblin.

Sang bocah dan Cleric tidak akan mempunyai ini jika hanya mereka berdua saja. Bocah itu menarik belati yang menancap di lengan dan membuangnya.

“Hei, kamu nggak apa-apa?!” Wajah partnernya seraya dia bergegas mendekati sangatlah penuh dengan kecemasan. Bocah itu menggeleng kepala. “Entah...! Aku terlalu takut untuk melihat...!”

“Kurasa kamu nggak punya pilihan!” Gadis itu meletakkan lentera di lantai dan melepaskan sarung tangan bocah itu, memeriksa lukanya. Syukurnya, sarung tangan kulit itu telah menahan serangan tadi, ujung dari mata belati itu hanya menggores lengannya. Hanya terdapat setetes kecil darah yang menetes. “Oke, Aku... Bentar... Aku perlu memberikan antiseptik di lukanya, kemudian membalutnya... tekan lukanya untum memberhentikan pendarahannya!”

“Y-yeah, oke...!”

Sebuah tekanan yang kuat dan bagus akan dapat menghentikan luka ringan dari pendarahan. Sebuah berkah dari para dewa, mungkin.

Bocah itu baru saja mempelajari ini ketika dia memulai petualangannya, dan dia mengikuti instruksi dari teman lamanya ini. Remasan itu sejujurnya tampak lebih menyakitkan dari luka tusukan itu sendiri, namun Cleric tidak akan mempedulikan itu.

“Apa beracun?!”

“Nggak tahu...!” Sang bocah mengernyit ketika dia menyadari bahwa itu mungkin saja beracun. “Nggak ada pilihan, kurasa aku harus minum salah satu dari ini...”

Mereka berdua membenci melihat pengeluaran yang berlebihan, namun jika bocah ini menjadi lumpuh di sini dan sekarang, biaya akan menjadi kecemasan mereka yang terakhir. Club Fighter melirik mengarah baris depan, di mana Harefolk Hunter berteriak dan mengayunkan belatinya pada segerombolan goblin.

Berapa banyak yang kita bunuh? Ada sisa berapa lagi...?!

Dia tidak yakin lagi. Sedikit panik, bocah itu mengeluarkan botol antiracun dan meminumnya dalam satu tegukan. “Sialan, pahit banget! Oke, aku akan maju lagi!”

“Aku akan jaga belakangmu—kamu Cuma perlu mengatasi goblin-goblin itu!” Supreme God Cleric memberikannya tepukan di punggung, dan Club Fighter, memegang senjata di kedua tangannya kembali, berlari melintasi gua.

“Maaf membuatmu menunggu!” dia memanggil kepada Harefolk Hunter, yang membalas berteriak, “Lama sekali! Argh!” Seekor goblin dengan luka sayatan menganga pada dadanya, tergelatak di kaki gadis itu, namun Harefolk Hunter sendiri penuh dengan goresan-goresan kecil. Bercak darah dapat terlihat pada bulu putihnya, dan napas terengah. Sangat jelas bahwa gadis itu sudah kelelahan.

“GOROGBB!!”

“GBGBB! GORGBB!!”

Dua goblin tersisa, yang berarti bahwa gadis ini telah bertarung tiga lawan satu. Mata goblin berkelip oleh nafsu; mereka sama sekali tidak berupaya untuk menyembunyikan hasrat menjijikkan mereka. Otak kecil busuk mereka tentunya tengah membayangkan berbagai macam hal menyenangkan yang akan mereka lakukan pada gadis kelinci ini, dengan beragam cara untuk menginjak martabat dirinya. Pastinya mereka juga membayangkan hal sama terhadap Supreme God Cleric yang berada di belakang. Namun Harefolk Hunter menghalangi mereka.

Tentunya mengerikan bagi dia untuk menghadapi semua gelombang nafsu ini yang tertuju kepadanya. Pria muda ini mengernyit memahami. Aku harus bisa lebih memahami situasi—memberikan arahan yang lebih baik...!

Jika Harefolk hunter melakukan kesalahan, para goblin akan dengan segera menyerbunya. “Aku ambil alih tempatmu!” dia berteriak, maaf bahwa dia telah memaksa Harefolk Hunter untuk manahan baris depan. “Kamu kembali ke sana dan periksa luka-luka itu! Mungkin ada racun di lukanya!”

“Yep! I-iya...!” dia melompat keluar dari garis depan dengan kelincahan seorang harefolk. Dan Club Fighter melewatinya, membiarkan momentum membawa serangannya menuju para goblin. Pedang dan pentungan di tangan berbenturan dengan perlengkapan berkarat para goblin.

“GOORG...!”

“BGGBGORG!!”

“Dasar....monster—“ Mungkin akan terlihat lebih keren jika dia dapat mengatakan sesuatu yang lebih pantas—seperti, “Ini untuk luka temanku!” atau semacamnya—namun seperti itulah kehidupan.

Secara singkat dia beradu senjata dengan salah satu dari mereka, namun berhasil mendorong monster itu ke belakang. Dia harus berpikir tentang dua goblin yang tersisa. Dia dapat mencium aroma napas busuk mereka, merasakan kehangatan napas itu. Menyadari bau menjijikkan dari tubuh mereka. Club Fighter jauh lebih kuat dari mereka dalam hal kekuatan, namun dia tidak dapat membiarkan konsentrasinya buyar. Tidak dapat memberikan mereka celah sedikitpun.

“—goblin bau!”

Club Fighter baru sedikit sekali mempelajari semua tentang teknik berpedang. Dia tidak berpikir keras, hanya mendorongkan senjatanya, memaksa jalannya melewati para goblin dengan menggunakan senjatanya.

“GROGB?!”

“GOOBBGG!!”

Para goblin terhuyung, namun hanya untuk sesaat. Mata mereka berkilau dalam cahaya mengerikan. Masing-masing dari mereka bepikir bahwa di saat yang lainnya terbunuh (tentunya mereka berasumsi bahwa itu adalah goblin lainnya), dirinya akan melompati manusia ini dan membunuhnya!

Dan itu hampir saja berhasil.

“Hrrrahh!!”

“GOROOGOG?!”

Club Fighter menghujamkan pentungannya mengarah goblin yang tidak beruntung, menambahkan serangan penghabisan dengan pedangnya. Goblin lainnya yang cukup beruntung, menjerit dan bergerak menyerangnya...

“Taring dari kelinci vorpal akan merenggut nyawamu!” Harefolk Hunter, wajahnya sekarang di perban, menembak dengan semua rasa amarah dari luka-lukanya, dan keberuntungan goblinpun sirna.

Sang goblin tumbang tanpa jeritan sedikitpun. Club Fighter memberikannya tusukan untuk memastikan, dan selesai. Club Fighter tiba-tiba menyadari bahwa dirinya berdiri di antara sebuah ruangan yang penuh dengan mayat goblin, hanya napasnya sendiri yang terengah yang dapat terdengar.

“...Apa sudah selesai?” Supreme God Cleric berbisik, yang di mana bocah itu membalas, “Sepertinya,” dan melirik sekitarannya. Terlalu gelap untuk melihat apa yang berada di balik bayang-bayang atau yang bersembunyi di dalam interior gua. Namun dia mengira bahwa dia tidak merasakan apapun. “Sepertinya...” dia mengulangi, dan kemudian dia melanjutkan tanpa adanya keyakinan penuh: “Sepertinya sudah berakhir.”

“Urgh... Aku capek,” Harefolk Hunter berkata, kemudian duduk di tempat dia berdiri dengan sikap yang membuat seseorang penasaran apakah dia ini seorang gadis atau seorang bocah.

“Kerja bagus,” Supreme God Cleric berkata, memberikan sang harefolk botol air, yang mana kelinci itu menerimanya dengan kedua tangan dan meminum dengan penuh hasrat. Itu karena, harefolk yang kenyang dapat terus bergerak tanpa batasan, namun tanpa makanan mereka akan menjadi lumpuh.

“Kurasa kita punya beberapa bekal panggangan juga. Yang harus kita lakukan sekarang adalah pulang, jadi makan saja.” Club Fighter meneguk anggur cair dari botol minumnya sendiri.

“Yahoo!” Harefolk Hunter berteriak. “Tuhan, Aku laper banget...!”

Makanan panggang adalah pangan standar untuk berpetualang. Harefolk Hunter mengeluarkannya dan memasukkan makanan itu ke mulutnya. Mengunyah dengan pipi yang penuh, dia benar-benar terlihat seperti seekor kelinci, pikir Club Fighter.

“Hei, jangan terlalu cepat,” Supreme God Cleric berkata. “Nanti tumpahan...atau kamu kesedak.”

“Nggak apa-apa!”

“Astaga,” Supreme God Cleric mengeluh pelan, namun dia tersenyum seraya dia membersihkan remah-remah roti dari pipi Harefolk Hunter. Club Fighter memasukkan senjatanya seraya dia memperhatikan dua rekannya, memastikan mereka berdua masih baik-baik saja. Kemudian dia mengulang kesimpulannya lagi pada dirinya sendiri: Goblin... mereka kacangan.

Di bandingkan dengan vampir atau  sasquatch yang mereka hadapi pada pegunungan bersalju, goblin bukanlah apa-apa. Mereka bahkan telah menghabisi keseluruhan sarang goblin ini hanya dengan tiga orang. Termasuk pertarungan untuk melindungi kebun di pinggiran kota—Club Fighter yakin itu terhitung!—menjadikan ini yang ketiga kalinya sekarang. Setelah bertarung dengan monster lainnya juga, tidak ada kesimpulan lain lagi: Goblin memang benar-benar lemah.

“Baiklah, ayo istirahat sebentar dan kita periksa bagian dalam guanya. Kalau nggak ada apapun, kita keluar.”

“Kedengarannya bagus,” Supreme God Cleric berkata dengan anggukan. “Aku yakin warga desa ingin mengetahui apa yang terjadi.”

Adalah sebuah quest—yang mungkin akan di anggap klise oleh sebagian orang—klasik. Beberapa goblin muncul di dekat sebuah desa. Sarang itu, tampaknya, berada di gunung. Apakah para petualang tidak dapat melakukan sesuatu?

Dengan itu para petualang ini bertarung, membersihkan mereka, dan itulah akhirnya. Tidak terdapat adanya goblin “kota”—hob besar yang mereka dengar—atau adanya pembaca mantra, atau tahanan.

“Jadi keliatan seolah kalau mereka itu muncul di sini dari suatu tempat kan?” Harefolk Hunter berkata, masih mengunyah makanannya, hidungnya berkedut. “Kurasa cerita-cerita memang mengatakan kalau seperti itulah goblin di mulai.”

“Aku kenal petualang aneh yang selalu berburu goblin setiap hari, yang akan setuju dengan ucapanmu.” Supreme God Cleric membalas, dan mereka bertiga tertawa.

Ya, seperti inilah perburuan goblin biasanya akan berlangsung. Mereka akan masuk ke dalam bagian terdalam dari gua bersama, dan kemudian mereka akan kembali pulang dengan riang. Hadiah dari quest ini tidaklah seberapa, namun tetap saja ini akan menjadi tambahan koin lagi dalam tabungan mereka, dan para warga desapun pastinya akan bersyukur.

Mereka merasa senang. Dan mereka tidak merasa bahwa ini semacam kesalahan. Mereka pergi meninggalkan gua suram ini, dan sekarang mereka dapat tersenyum melihat matahari, yang sekarang semakin terbenam. Namun langit masihlah terang dan biru.

Yang tersisa dari pekerjaan mereka adalah melintasi hutan dan menuruni gunung, dan kembali ke desa. Petualangan mereka telah berakhir—tidak, tunggu.

“Hmm?”

“Huh?”

“Buh?”

Di saat mereka menginjakkan kaki keluar gua, sebuah bayangan yang cukup besar untuk membayangi ketiga petualang, terbang di atas kepala mmereka.

“GYAAAAAAAAAOSSSSSSSS!!!”

Ternyata petualangan mereka belum berakhir sama sekali.

*****

Dia terbangun di karenakan sebuah sensasi aneh; dia merasa hangat, namun kulitnya begitu lembab. Kepalanya terasa berputar, dan membuatnya pusing. Di dalam hidung dan tenggorokan, dia mendeteksi adanya darah, namun darah itu tidak berbau, dan tidak berasa.

Dia tersadarkan oleh ingatan ketika dia masih muda. Dia mempunyai seorang teman yang terjatuh dari sebuah pohon dan kepalanya terhantam. Mereka tertawa dan berkata bahwa mereka baik-baik saja, namun tidak lama setelah itu, mereka mimisan dan mati. Sebuah pembuluh darah di dalam kepala mereka telah pecah, dan mereka tidak mengetahuinya.

Sekarang Club Fighter memaksa dirinya untuk duduk, melawan rasa cemas, takut, tentang kemungkinan hal yang sama itu mungkin akan terjadi pada dirinya. “Urr... Urgh...?” Dia merasa pusing, rasanya seperti dia telah kebanyakan minum ( walaupun dia hanya pernah mengalami alkohol pada perayaan langka itu) dengan cepat dia mendorongkan tangan untuk menopang dirinya, dan jarinya di sambut oleh permukaan batu yang hangat. Ketika dia mendengarkan dengan seksama, dia dapat mendengar dercakan dari sebuah api dan gelembung air mendidih.

Apa aku di dalam gua?

Dia berkedip beberapa kali, mencoba untuk mengenyahkan kabut yang tampaknya memburamkan pikiran dan pandangannya. Setelah beberapa saat, matanya mulai terbiasa oleh kegelapan, dan hal pertama yang dia lihat adalah api oranye yang berdansa riang. Sebuah perangkap udara telah di dirikan dari sehelai kain tenda atau semacamnya dan di gantung di atas api untuk mengarahkan asap keluar.

Yeah, kalau nggak gitu kamu akan sesak, dia berpikir, menghela napas. Dia menyadari bahwa pakaiannya telah di lepas. Terdapat selimut di bawah tubuhnya, namun dia masih merasa dingin—dan hangat di saat bersamaan.

Oke, jadi aku tidur di atas lantai gua. Dan aku nggak berpakaian. Apa itu artinya yang lain baik-baik saja?

Dan pikirannya mulai menajam, kecemasan pertamanya adalah untuk temannya...

“Ahhh, kamu sudah bangun?” Suara yang bergema di gua terdengar begitu riang, hingga membuat kegembiraan itu tampak jelas. “Yaaay!” Sesosok figur, dengan lekukan halus penampilannya di balik kilau api, menepuk kedua tangannya. Telinga panjang yang di lihat Club Fighter, mengayun di atas kepalanya, dan ekor gembul yang ada di belakangnya, menunjukkan bahwa dia adalah Harefolk Hunter.

Dia juga dapat melihat bahwa selain dari bulu-bulunya yang  tercoreng, kulit pucat dan sehatnya sama sekali tidak tertutupi dengan apapun, bahkan, bulu yang ada di kedua tangan dan bagian paling sensitifnya, membuat bagian lain dari gadis itu semakin halus.

“Y-yikes—!” Club Fighter menelan liur tanpa di sadari, berdoa agar gadis itu tidak mendengar suara itu—namun siapa yang dapat menyalahkan bocah ini? Tubuh wanita terakhir yang pernah dia lihat secara sekilas adalah Supreme God Cleric, ketika mereka tengah berkemah bersama. Dan itupun di kejauhan, di saat gadis itu tengah mengganti baju. Club Fighter tidak bermaksud untuk mengintip tentunya. Dia tidak akan pernah melakukan itu. Walaupun dia mungkin mengakui kalau dia sering memiliki pikiran-pikiran kotor.

“Kayu birch bisa terbakar walaupun pangkalnya sedikit basah. Untung ya kita bawa beberapa!”

Tubuh Harefolk Hunter terus bergerak, di tambah dengan senyumnya yang polos, semua itu semakin terlihat menggoda baginya.

Apa yang terjadi? Apa yang harus dia lakukan? Pikiran Club Fighter terasa benar-benar membeku. Dia sudah benar-benar terhanyut, dan tidak akan kembali tanpa adanya seseorang yang memukul kepalanya.

“Tunggu dulu!” Datang suara penyelamatnya. Adalah teman masa kecilnya, terbalut selimut, rambutnya terurai dan pipinya lebih merah dari api. “Sopan oi! Baju! Bajumu...!”

“Apa? Oh, aku—ack!” Harefolk Hunter berteriak seraya dia menyadari apa yang di ucapkan supreme God Cleric. Dia memeluk tubuhnya sendiri dan membungkuk, akhirnya berjongkok di lantai. “Ja-jangan lihat aku... Aduh, malu banget. Di desa Cuma ada sedikit laki-laki...”

Dia tidak memikirkan itu sebelumnya. Pria muda itu mengangguk. “Y-yeah. Nggak apa-apa. Hei, aku—maaf...”

Sang kelinci menarik selimut menutupi dirinya dengan gerakan seperti hewan kecil, dan Club Fighter melakukan hal yang sama, menarik selimut yang ada di bawahnya. Dia duduk dengan selimut yang menutupi hingga kepalanya, merasa yakin bahwa dia sama malunya dengan para gadis. Dia senang bahwa tidak satupun dari mereka dapat melihat dengan jelas di kegelapan. Adalah lebih baik untuk mereka untuk tidak terlalu banyak mengetahui detail masing-masing dari mereka.

“...Hei,” Supreme God Cleric berkata, menyodoknya perlahan dari balik selimut seolah dia mengetahui apa yang di pikirkan bocah itu. “Jangan mikir yang jorok-jorok, oke...?”

“Aku nggak mikirin yang jorok-jorok kok...!” dia memprotes, namun dia tidak dapat menahan suaranya yang meninggi. Tubuh gadis itu berada tepat di sampingnya. Ini sangatlah momen yang sangat menantang bagi seorang pria muda.

Dia mencuri lirik cepat mengarah gadis itu, melihat rambut gadis itu, yang biasanya di ikat, sekarang terurai; rambut itu basah karena air dan mengeluarkan sebuah aroma tipis.

Dia bukan anak kecil lagi, bocah itu berpikir. Di kala mereka masih anak-anak, bermain bersama di dalam sungai di desa mereka, tubuh gadis itu hampir sama sekali tidak berbeda dengannya. Jadi, sejak kapan tubuh gadis itu mulai berubah? Ketika dia memasuki Kuil dari Supreme God? Ketika mereka memulai perjalanan mereka bersama? Atau mungkin ketika mereka berdampingan menantang gunung bersalju itu?

Selimut menutupi tubuh gadis itu, jadi dia tidak dapat melihat apapun, namun lekuk gadis itu tetap saja nampak. Di tambah dengan celah yang dia lihat ketika gadis itu berganti baju, adalah sudah sangat cukup baginya untuk membayangkan segalanya...

Ah, hentikan! Dia berupaya untuk menahan pikiran itu, hingga membuat dirinya ingin membelah kepalanya sendiri.

Seorang pria muda bersama dengan dua gadis muda yang mungkin tidak sadar dengan situasi ini. Benar, seseorang terkadang mendengar kisah kepahlawanan pria yang dapat tetap teguh di saat seperti ini. Namun Club Fighter tidak mempercayai itu sedikitpun.

Tetap saja, adalah hanyalah seorang pahlawan sejati yang dapat menyikapi ini dan mengatakan sesuatu yang sensitif. Jika kamu mencoba untuk mengganggap segala sesuatunya sebagai kecelakaan kecil, atau kamu gagal dalam pendekatanmu, maka takdirmu akan tersegel. Dan lagipula, dia tidak ingin mereka berdua untuk terlalu menyukai dirinya, dan dia juga tidak ingin mereka untuk membenci dirinya. Tetapi dia masih terlalu muda untuk mengetahui apakah ini keinginan, harapan, atau hasrat.

Untuk pertama kalinya, dia mendapati dirinya merasakan rasa hormat yang baru kepada Petualang tingkat Silver  Spearman. Namun Club Fighter tidak mengetahui cara menangani rasa malunya terhadap para gadis tanpa membuat mereka ikut malu juga.

Orang itu benar-benar sesuatu...

“Uh, um... Ng-ngomong-ngomong. Maksudku...  Ngomong-ngomong.” Dia berupaya mencari kata yang tepat untuk di ucapkan, menyadari betapa kering isi mulutnya. “Kalian berdua nggak apa-apa?”

Kedua gadis mengangguk, Supreme God Cleric dari sampingnya, dan Harefolk Hunter dari dekat api.

“Apa yang terjadi setelah...kamu tahulah..?”

“Ya-yah kita terjatuh ke dalam sungai. Dan kamu...pingsan...”

“Jadi kami berdua membawamu ke dalam gua ini, melepaskan pakaianmu, dan membuat api agar kami dapat mengeringkannya...dan menunggumu terbangun,” Supreme God Cleric berkata sebelum berbisik, “Aku mengira kamu sudah mati.” Club Fighter berpikir apakah dia harus bersyukur setelah mendengar nada sedih dalam suara gadis itu. Dia memberikan terima kasih oelan, namun hanya mendengar isakan samar sebagai balasannya. Club Fighter tersenyum sedikit, “Dan teman kita...?”

“Dengarkan baik-baik, dan kamu akan mendengarnya.” Harefolk Hunter, membengkokkan telinganya seolah dia tidak ingin mendengarkannya. Dengan segera Club Fighter mengetahui alasannya.

“...oooooosssss.....”

Raungan wyvern itu terdengar seperti jeritan dari amarah roh dari kedalaman neraka.

“Dia... dia menunggu kita...!” Club Fighter memegang kepala dengan kedua tangan dan menutupi dirinya sendiri dengan selimut.

*****

“Naga menyemburkan api, kan?” Club Fighter bertanya.

“Yeah, tapi beberapa dari mereka menyemburkan racun atau asam atau es atau petir; kata mereka sih begitu,” balas Harefolk Hunter.

“...Apa menurutmu wyvern menyemburkan api?”

“Mungkin. Bisa jadi juga racun, asam, es, atau petir...”

“Entahlah! Aku nggak tahu...!”

Di luar gua adalah seekor wyvern. Dan di dalam gua terdapat tiga petualang pemula. Keadaan mereka sangat terlihat tidak bagus.

Club Fighter hampir mengira dirinya dapat mendengar sebuah suara di dalam kepalanya: dan akhirnya, petualangan kami berakhir di sini. Dia mengerang, masih berselimut, mencoba untuk memikirkan sebuah rencana.

“Sepertinya terlalu sempit untuk wyvern itu masuk ya?” dia bertanya.

“Menurutku cukup luas...,” datang balasan sang cleric.

“Uh, oke, oke—mungkin gua ini berujung di suatu tempat lain?!”

“Ada air yang cukup, tapi sejauh aku melihatnya, nggak mungkin kita bisa mengikuti air itu.”

Mereka terpojok.

Sejujurnya, Club Fighter berpikir bahwa dirinya mungkin bisa di maafkan karena berupaya memikirkan segala macam ide yang dia ucapkan, meringkuk dan menangis, tentu saja tidak akan membawa mereka kemanapun. Namun juga adalah mungkin bahwa apapun yang mereka lakukan juga tidak akan membawa mereka kemanapun.

Jika dia seorang diri, dia mungkin saja hanya akan  meringkuk di balik selimut dan merengek seperti anak kecil yang melakukan kesalahan besar di dalam kehidupannya. Dia mengingat sebuah pohon kopong di mana dia sering berlari kesana ketika dia di marahi ibunya. Walau dia sering di tarik ibunya keluar dari pohon itu ketika ibunya menemukan dia. Dia membenci itu. Dia masih membencinya.

Selama ini ternyata nggak ada satupun yang berubah. Dia tidak dapat menahan senyuman akan betapa menyedihkannya dirinya.

Itulah ketika Harefolk Hunter berkata. “Aku lapar...” ucapan itu, terdengar sangat gundah, tampak keluar dari mulutnya tanpa di sengaja. Club Fighter menoleh untuk melihat gadis itu yang menutupi mulut dengan kedua tangannya dengan gerakan ups. Matanya terbuka lebar dan dia menggeleng kepalanya. Namun deguk pelan dari perutnya mengatakan segalanya. Gadis harefolk terisupu begitu malu hingga membuat Club Fighter merasakan kasihan kepadanya, dan gadis itu pun semakin menciut di dalam selimutnya.

“Astaga...” Jawaban itu datang tidak dari Club Fighter, melainkan dari Supreme God Cleric yang berada di sampingnya. “Sebentar.” Dia berkata, dan meraih tasnya, yang di mana bergantung di atas bebatuan untuk di keringkan. Dia mengeluarkan sebuah makanan panggang yang di bungkus sebuah kain. Persediaan pangan standar. “....Ini, makan ini. Sayangnya agak sedikit basah.”

“Er, tapi...” Harefolk Hunter menggeleng kepalanya ketika di hadapkan dengan roti keras itu, walau dengan hidungnya yang berkedut dan terpikat. “Kita nggak tahu seberapa lama kita akan di gua ini...”

“Tapi kalau kamu nggak makan, kamu akan mati kan? Jadi makan.”

“...Iya.”

Harefolk Hunter menerima makanan itu dengan kedua tangan dan mulai mengunyah. Supreme God Cleric mengangguk. “Bagus,” gumamnya, kemudian duduk kembali ke samping Club Fighter. Gadis ini masih berbalut dengan selimutnya. Club Fighter mengeratkan giginya, menyadari bahwa helaan samar dari napas gadis itu saja sudah membuat nadinya semakin melaju.

Supreme God Cleric melirik kepadanya. “...Kenapa? Kamu lapar juga?” dia bernada mengejek seperti biasanya, namun suaranya lemah dan lelah.

“Nggak, Cuma mikir saja.” Club Fighter berkata. Kemudian menambahkan dengan jujur, “Aku makan nanti.”

“Hmm...” Kemudian teman lamanya terdiam. “Harefolk Hunter melanjutkan makan walau agak sungkan.

Baiklah, aku harus tenang dan berpikir secara logis.

Club Fighter menghirup udara gua, yang tebal dengan aroma lumut dan asap dan kedua gadis muda, kemudian menghela. Adalah berkat kedua rekannya yang membuat dirinya tidak tergoda oleh hasrat kekanak-kanakannya. Mereka berdua masih belum menangis. Akan sangat konyol jika dia yang pertama menangis.

Aku nggak mau keliatan jelek. Dia tidak tahu apakah ini hanya sok berani, rasa tanggung jawab, atau hanya kekeraskepalaan, namun...

“...Oh.”

Tiba-tiba terngiang pada dirinya bahwa mereka mungkin saja sudah mati sejak lama.

Kalau wyvern itu bisa menyemburkan api atau racun atau apapun yang gila semacam itu...

Maka mengapa dia tidak melakukannya ketika mereka masuk ke dalam gua? Mengapa menghabiskan waktu menunggu mereka di pintu masuk gua?

Mungkin karena dia nggak bisa makan kita?

Makhluk itu tidak dapat masuk ke dalam gua. Jika mereka mati di dalam gua ini, makhluk itu tidak akan dapat menggapai mereka untuk memakan mereka. Makhluk itu menunggu mereka untuk keluar. Namun jika mereka keluar dengan asumsi bahwa makhluk itu tidak mempunyai senjata napas, maka mereka akan mengetahui kebenaran itu ketika mereka berhadapan dengannya.

Tapi kenapa dia nggak menggunakannya ketika kita berlari atau ketika kita lompat masuk ke sungai?

Oke, jadi makhluk itu tidak mempunyai senjata napas. Kemungkinan, pikirnya. 

Jadi yang perlu kita khawatirkan itu cakar, taring dan ekornya.

Ketiga hal tersebut. Jika mereka bisa melakukan sesuatu tentang itu...

“...Maaf.”

“Huh?” Ucapan kaget Club Fighter itu terdengar begitu bodoh di telinganya sendiri.  Namun seperti itulah kagetnya dia mendengar bisikan Supreme God Cleric.

“...Nggak bisa bantu banyak...”

“Uh... Nggak bisa bantu apanya?” dia bertanya, jujur tidak paham. Namun pertanyaan ini tampak semakin membuat gadis itu semakin kesal. Gadis itu melotot kepadanya, dan pada ujung kedua mata sang gadis terlihat kelipan yang begitu samar dalam cahaya api.

“Aku!”

“Kenapa?”

Walaupun begitu, Club Fighter tidak terlalu memahami apa yang ingin di ucapkan oleh rekannya. Namun dia tidak ingin mengesampingkan masalah ini juga. Memaksa rasa malunya sendiri, dia berputar mengarah gadis itu. Supreme God Cleric harus mengucapkannya, atau bocah ini tidak akan mengerti sama sekali.

“Maksudku...” dia memulai, “Aku hanya di berkahi satu keajaiban. Dan aku nggak tahu apapun yang berguna atau bermanfaat... Dan, dan...” Supreme God Cleric memejamkan kedua mata dan menggigit bibirnya, berbicara dengan begitu pelan. “Dan kamu melihat dia tadi.”

“Memang apa hubungannya itu dengan yang lain...?!”

Dia mendengar jeritan kecil aneh “yeep” dari Harefolk Hunter. Mereka berdua tidak berusaha mengecilkan suara mereka, dan telinga gadis itu dapat mendengar semuanya. Club Fighter dan Supreme God Cleric saling bertatapan, kemudian  tersenyum. 

“Auuugh...” Mengira bahwa mereka sedang berbicara tentang bocah itu yang melihat dirinya, membuat dia begitu malu. Telinga Harefolk Hunter layu.

“Hei, maaf,” Club Fighter berkata, kemudian menghela besar. “Pokoknya, maksudku...entahlah, tapi... Menurutku kuat atau lemah, atau... bermanfaat atau tidak berguna, kurasa itu nggak ada hubungannya dengan ini.”

Dia mempercayai itu, dengan kejujuran murni, bahwa dia tidak akan pernah memilih anbgota partynya  berdasarkan alasan-alasan seperti itu. Benar, terdapat tempat yang terlalu berbahaya untuk di arungi. Dan setiap orang memiliki hal berbeda, bakat berbeda, karena itu mereka di harapkan untuk mengambil peran tertentu. Namun itu bukan berarti mereka tidak akan bisa membantu sama sekali, atau mereka bukan anggota party.

“Jadi, uh, coba... Yeah.” Pria muda itu mendengak menatap langit-langit muram, mencoba untuk memutuskan apa yang pantas di ucapkan kepada kedua gadis.

Tidak ada jawaban. Alih-alih jawaban, hanya terdapat raungan dari seekor monster yang menunggu kesempatannya dengan sabar. Oleh karena itu, sangatlah jelas apa yang harus mereka lakukan.

“Ayo lakukan saja sesuatu tentang makhluk itu dan pulang.”

Baik. Para gadis mengangguk, dan keputusan telah di buat.

*****

Tidak peduli apapun yang hendak kamu lakukan, hal pertama yang selalu di lakukan adalah memeriksa perlengkapanmu; memastikan semua kartu berada di tanganmu. Ini adalah peraturan emas dari berpetualang yang telah mereka pelajari di dalam saluran air.

“Kita punya senjata dan perlengkapan, kan?” Club Fighter bertanya. “Walaupun mereka sedikit basah.”

“Itu berarti pentungan dan pedang kalau kamu. Mungkin kamu harus mengelap pedangnya supaya nggak berkarat?”

“Oh, aku punya minyak!” Harefolk Hunter menawarkan. “Dan getah pinus juga. Ada banyak.”

“Terima kasih, aku mau pinjam minyak itu… Tapi kenapa getah pinus?”

“Getahnya membantu menempelkan mata panah ke panahnya, membantu melapisi senar busur, dan bagus juga untuk membuat panah racun.

Huh. Club Fighter mengangguk. Racun. Racun, eh? Supreme God Cleric menyondongkan tubuh. “Hei, kamu punya racun?”

“Uh-huh,” Harefolk Hunter membalas. “Tapi aku rasa sedikit racun nggak akan berguna pada seekor wyvern sih.”

“Yeah…” Supreme God Cleric menundukkan kepalanya kecewa, walaupun dia telah menduga hal itu ketika dia mempertanyakannya. Namun dia dengan cepat kembali mendapatkan semangatnya dan mendengak, rambutnya berayun dan wajahnya berseri. “Oke, kita harus pastikan kalau kita mempunyai semuanya!”

“Baik,” Club Fighter berkata. “Pedang, pentungan—cek. Dan kalian berdua mempunyai pedang dan timbangan, dan busurmu.”

“Jangan lupa ketapelnya. Semua senjata kita siap. Kan?” Supreme God Cleric bertanya.

“Pastinya!” Harefolk Hunter berkata, kemudian para gadis saling bertatap muka dan tertawa. Club Fighter merasa tertinggal, namun dia tetap mengangguk dan berkata, “Bagus, Baju dan armor kita di gantung di sana untuk di keringkan.”

“Yeah, berkat kami,” Supreme God Cleric berkata.

“Aku tahu, aku tahu. Ngomong-ngomong…bagaimana persediaan potion kita?”

“Hanyut di sungai. Botolnya pecah saat kita mendarat.” Harefolk Hunter berkata lemas, menggelengkan kepalanya yang menyebabkan telinganya berayun bolak balik.

Sial, mana potion itu juga mahal lagi. Club Fighter mengernyit, di ikuti dengan Supreme God Cleric. Bagaimana petualang lain menangani potion mereka? Dia  harus bertanya pada mereka saat mereka kembali. Jika mereka kembali.

“Menurutmu apa yang harus kita lakukan dengan pecahannya?” Supreme God Cleric bertanya.

“Untuk saat ini, keluarkan dari tas dan pinggirkan.” Club Fighter berkata. Setelah beberapa saat berpikir, dia menambahkan. “Jangan di lempar, di tumpuk saja dulu.”

“Oke.”

Adalah penting untuk membuat keputusan yang paling cermat, namun di saat ini mereka membutuhkan semua keuntungan yang bisa mereka dapatkan. Nanti mungkin mereka akan berpikir, andai saja kita tidak membuang pecahan-pecahan itu…. Bagaimanapun juga, karena mereka tidak dapat keluar dari gua, mereka juga tidak bisa benar-benar membuang pecahan itu.

“Kalau begitu kita harus tahu berapa hari lagi sisa makanan kita bisa bertahan…. Dan Perlengkapan Petualang, apa ada di sini?”

“Jangan pernah tinggalkan rumah tanpanya, seperti yang mereka bilang.” Supreme God Cleric berkata, mengulangi ucapan seorang priestess—gadis seumuran dengannya,--seperti sebuah doa.

Priestess itu mungkin merasa rendah hati di karenakan dia berada di dalam party yang penuh dengan Silver, namun dia sendiri telah melakukan banyak hal yang membuat dirinya berkembang. Mereka bertiga telah melihatnya secara dekat dalam perjalanan mereka di pegunungan bersalju. Adalah jelas mengapa gadis itu sedang berada di ujung promosi dari Steel menuju Sapphire.

“Kita harus membuat dia bangga.” Supreme God Cleric bergumam, memeriksa isi dari Perlengkapan Petualang. “Coba ku lihat… Pengait, ikatan tali, kapur tulis…. Obornya terlalu basah untuk di bakar…”

“Kita membeli ini karena semua orang bilang bahwa ini penting, tapi kita belum banyak menggunakan barang ini.” Harefolk Hunter berkata, memukul pelan tas itu yang menggantung di dekat api. dengan stamina tubuhnya yang kecil, dia tidak menyukai harus membawa peralatan lebih.

Club Fighter tersenyum. Dia merasakan hal yang sama. Lagipula, tidaklah keren untuk di lihat membawa terlalu banyak tas. “Mungkin saja masih bermanfaat kalau kita membawanya. Oke… jadi, pertanyaannya adalah… Apa yang harus kita lakukan?”

Dan kemudian mereka kembali ke titik awal. Club Fighter memahami bahwa pedang dan pentungannya tidak akan membantunya menghadapi musuh ini. Keadaan mungkin akan berbeda jika dia dapat mengayunkan sebuah pedang besar seperti Heavy Warrior---atau mungkin senjata itu memiliki sihir?

Suatu saat, suatu hari. Pikiran itu mengambang di kepalanya seolah dia berfokus tentang apa yang berada di depannya. “Makhluk itu nggak mengincar kita berdasarkan bau, kan?”

“Kurasa dia seperti rajawali—punya sepasang mata yang bagus,” Harefolk Hunter berkata dengan kedutan hidungnya. Dia yang paling tahu mengenai binatang buas di bandingkan dua temannya.

“Oke, kalau begitu bagaimana kalau kita tunggu sampai malam dan menyelinap keluar?”

“Dia itu tipe naga, kamu pikir dia nggak bisa melihat di malam hari?” Supreme God Cleric berkata dengan mengernyit. “Aku nggak yakin.”

Mereka bertiga berdebat untuk beberapa saat, namun menyelinap tampaknya merupakan tindakan yang sulit. Jika mereka hanya perlu bersembunyi, mereka mungkin bisa melakukannya ketika mereka terjatuh ke dalam sungai. Walaupun mereka membenci memikirnya, mereka harus melakukan ini dengan asumsi bahwa mereka harus bertarung.

“Bagaimana dengan keajaiban suci? Menurutmu bisa kena wyvern yang terbang?”

“Kayaknya… Menurutku bisa,” Supreme God Cleric membalas dengan hati-hati, setelah pertimbangan dari pertanyaan temannya. “Tapi kalau dia nggak bergerak terlalu cepat. Dan walaupun aku berhasil mengenainya, aku rasa satu serangan tidak akan mengalahkannya…”

“Oke—kalau begitu, panah?”

Kalau terlalu tinggi tidak bisa.” Harefolk Hunter melambaikan tangan berbulu putihnya, memikirkan tentang ketinggiannya. “Sepertinya aku bisa mengenainya, tapi kurasa aku nggak bisa menembus sisik itu.” Kecewa lagi, namun dia mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya. Kedua gerakan itu tampak begitu jujur.

Hmm. Club Fighter melipat lengannya dan mencoba untuk berpikir secara strategis, sesuatu yang tidak biasa dia lakukan. Dia mulai mengutarakan pikirannya. “Mungkin kalau kita bisa mematahkan sayapnya dia nggak bisa terbang, atau kita potong ekornya untuk memperlambatnya, atau memukulnya dengan keras di kepalanya…

“Mustahil.”

“Atau setidaknya sangat sulit.”

“yeah, kamu benar.” Club Fighter menghela kecewa. Ini merupakan situasi yang sangat sulit bagi grup ini yang selangkah di atas pemula. Namun tentu saja, mereka sudah mengetahui itu. Mereka bukanlah Spearman, atau Heavy Warrior, mereka bukan pria yang membunuh goblin itu. Mereka tidak mempunyai tenaga atau perlengkapan atau apapun. namun mereka harus melakukannya dengan apa yang mereka miliki.

Mereka bertiga berkumpul bersama, berdiskusi dan berdebat dan menilai ulang pilihan terbatas mereka. mereka mengunyah roti keras ketika mereka lapar, menyeruput air ketika mereka haus, dan mengernyit ketika raungan terdengar dari pintu masuk gua.

Dan entah bagaimana, lama setelah mereka kehilangan sensasi waktu yang telah berlalu, mereka berhasil menyusun sesuatu yang menyerupai strategi. Bukanlah sesuatu yang jenius—tentu saja tidak. Adalah sebuah rencana yang di susun bersama melalui pikiran mereka yang terlintas, dan akan membuat siapapun yang mendengarnya akan tertawa.

“Kalau kita bisa mendapatkan ganda enam, kita mungkin akan berhasil.” Ucap Club Fighter.

“Yeah,” Jawab Supreme God Cleric, “Dan kalau dia mendapatkan ganda 1.”

“Kalau kita nggak melakukannya, setidaknya kita bisa bersama di dalam perut dia…” tambah Harefolk Hunter.

Apakah itu cukup? Yah, mungkin saja. Mereka saling bertukar pandang dan mulai tertawa.

Sangatlah mudah untuk menangis, atau sembunyi ketakutan, atau mungkin bertindak menyedihkan. Namun mereka semua ingin melakukan apa yang mereka dapat lakukan.

Lebih baik mati mencoba daripada mati tanpa melakukan apapun.

*****

Dengan kata lain, sebuah penyerbuan telak-telakan menjadi satu-satunya pilihan mereka.

Dari sudut pandang wyvern, mereka hanyalah tiga makhluk kecil berkaki dua: bukan sesuatu yang spesial. Sejujurnya, tidak terdapat nilai lebih untuk memakan mereka. di saat dia mengejar mereka bertiga, dia sebenarnya menjadi lebih lapar di bandingkan sebelum dia memulainya.

Ah, tetapi…

Bayangkan dirimu berhadapan dengan tiga serangga yang kamu kejar di sekitaran rumahmu hingga kamu marah. Apakah ada pilihan lain selain itu selain menghancurkan mereka? dan jika tiga serangga kecil itu mencoba melarikan diri, menjerit seraya melakukannya, apakah ada alasan untuk membiarkan mereka pergi?

Bagi sang wyvern, setidaknya, tidak ada alasan sama sekali. Setelah para petualang menyelam ke dalam sungai dan berlari ke dalam gua, sang wyvern berdiri berjaga tepat di luar pintu masuk. Adalah sebuah puncak kebodohan jika terdapat jalan masuk lainnya, atau jalan keluarnya dari gua ini, namun syukurnya bagi sang wyvern, dia tahu bahwa tidak ada jalan lainnya. Dia hanya perlu menunggu dengan sabar dan gembira.

Terkadang menunggu seperti itu dapat menyebabkan frustrasi, namun dalam hal ini sang wyvern sangat senang. Para serangga yang melarikan diri ke dalam gua sangatlah ketakutan; gemetar dan panik, mereka akan segera berlari keluar lagi. Tidak ada yang dapat memuaskan hati kejam wyvern selain ekspresi tragis, menyerah pada wajah mereka di saat itu.

Wyvern, makhluk bertajuk “naga terbang,” kurang lebih sedikit kurang menyeramkan di bandingkan dengan naga sesungguhnya, namun bisa di bilang mereka adalah sama: di saat mereka memutuskan mangsa mereka, mereka tidak akan menyerah; mereka akan menunggunya walau itu membutuhkan satu decade atau dua decade. Dan jika mereka menyadari bahwa mangsa pilihan mereka tidak akan hidup selama itu, mereka akan mengeluarkan raungan kencang.

Jika mangsanya mati di dalam gua itu, apa yang akan dia lakukan untuk mendapatkan tubuh mereka? ini adalah pikiran menyenangkan yang memenuhi pikiran wyvern seraya dia menunggu makhluk berkaki dua itu dengan sabar.

“Y—Yahh—Ahhhhh!!”

Makhluk itu tidak melewatkan kesempatannya. Salah satu dari kaki dua datang keluar dari gua dengan senjata di masing-masing tangan, memberikan teriakan komikal. Makhluk kecil itu penuh dengan tragedy, dan wyvern ini nyaris saja tertawa lantang.

“GYAAAAAAAAOSSSSSSS!!!”

Mari berikan makhluk kecil ini apa yang dia inginkan. Sang wyvern berputar mengarah manusia yang menyerang, membuka rahangnya dan memaparkan taringnya. Di mulai dari kepala, dua atau tiga kali kunyahan, dan manusia itu akan berada di perutnya, hanya meninggalkan lengan dan kakinya.

“Jiwa dari para harefolk berada di dalam panahku!!”

“OOOSOOS?!” Sang wyvern tersedak di dalam raungannya sendiri. Panah yang datang menyayat udara telah terbang masuk ke dalam tenggorokannya.

Tentunya, itu tidak akan cukup untuk melukai wyvern. Bagi monster itu, rasanya seperti ada tulang kecil yang tersangkut di tenggorokannya. dengan itu, sang wyvern memuntahkan benda itu satu atau dua kali dengan terbatuk-batuk.

Makhluk kecil keparat!

“GYAAAAAAAAAOSS!!!”

Dengan jeritan kesal dan lantang, wyvern itu membentangkan sayapnya dan melompat ke udara. Tidak ada lagi panah yang membidik tenggorokannya.

Sebuah serangan dari atas, kemudian menyerang musuh dengan cakarnya. Seperti seekor elang menangkap kelinci. Kemudian dia dapat menjatuhkan mereka atau mematahkan leher mereka di tengah udara. Mungkin tidak cukup untuk mereka, tetapi cukup untuk membuat mereka menderita—mungkin itu akan membuat rasa kesalnya menghilang.

Langit adalah wilayah wyvern. Perhatikan. Bocah kecil ini dengan dua senjatanya, gadis kecil yang menarik senar busurnya—mereka tidak akan bisa menyentuh sang wyvern. Makhluk itu memutuskan untuk tidak membunuh mereka dengan satu serangan. Wyvern itu mengepakkan sayapnya sekali lagi dan—

“Dewa hukum, pangeran pedang, pengemban timbangan. Tunjukkanlah kekuatanmu!”

Kilatan dari surga, datang dari balik langit itu sendiri. Pedang dan timbangan, di usung di dalam kegelapan gua atas nama Supreme God, menghasilkan pedang listrik ini.

“-------?!?!?!”

Kali ini wyvern ini di buat tak bisa berbicara. Tentu saja, itu bukan karena dia mati dari serangan ini, makhluk itu bahkan tidak terbutakan. Dia berkedip beberapa kali, mencari kesini dan kesana dengan pandangannya. Hal ini membuat sang wyvern ini membuat kematian mereka jauh lebih keji dari rencana awalnya. Sebagai contoh, sang bocah, yang dapat di lihat dengan jelas oleh wyvern walau dengan dunia yang terputar di sekitarnya. Dia akan mencabik bocah itu hingga berkeping-keping di depan kedua gadis itu—itu akan membuat mereka menyesali kebodohan mereka.

“GYYYYYYYYYYAAAAAAAAAAAAAAAAAOSSSSSSSSSSSS!!!” Wyvern itu mengepakkan sayapnya, mencoba untuk mendapatkan ketinggian yang telah menghilang dari kilatan petir itu, dan meraung murka.  Namun bocah kecil itu—sang petualang—tidak berhenti menyerang. Bocah itu seperti sebuah panah yang terbang menuju sasarannya.

Dan kemudian, tiba-tiba, sayap muncul pada punggung bocah itu—tidak, itu adalah semacam kain yang di ikat pada pedang dan pentungannya. Sekarang wyvern itu mulai memahami.  Ini adalah yang selama ini bocah itu andalkan.

Namun itu masihlah sebuah kain. Apa yang dia harapkan bisa dia capai dengan itu? Apa mereka pikir mereka dapat menyembunyikan diri mereka dari sang wyvern dengan cara seperti itu? Hanya butuh satu serangan bagi makhluk ini untuk merobek kain itu.

“Hrrrrryyaaahhhhhhhh!”

Wyvern itu menukikkan kepalanya menuju kain, tanpa adanya waktu ataupun keperluan untuk menghindarinya.

Terdapat semacam gedebuk berat, dan makhluk itu berteriak seraya rasa sakit menyengat kedua matanya.

*****

“Makan tuh, dasar—!!”

“Nggak ada waktu untuk mengejeknya, lari!”

Supreme God Cleric, lengan seragamnya terikat, berlari melewati Club Fighter di mana bocah itu berteriak kemenangan. Sungguh sebuah hal berani untuk di lakukan, mengingat di sana terdapat seekor wyvern yang berusaha menarik kain itu dari wajahnya tepat di depan sang bocah.

“Yeah, sebaiknya kita pergi!”

“Hei, tunggu aku aku…!” Club Fighter berteriak, menyadari Harefolk Hunter telah melewati dirinya juga. Bocah itu bergegas mengejar para gadis menuju tepian sungai, dengan pentungan dan pedang yang masih menggantung dari lengannya. Bocah itu tidak ingin memasukkannya ke dalam sarungnya mereka untuk saat ini, karena jika dia melakukannya getah pinus itu akan mengenai semuanya. Setelah beberapa saat momen kebingungan, dia akhirnya menggunakan tali yang mengikat senjatanya pada pergelangannya untuk mengikat senjatanya ke sabuknya.

“…Wow! Aku nggak percaya kalau itu berhasil!”

“Siapa sangka…!”

“Yeah, mantap!”

Bukanlah sesuatu yang spesial. Hanya sebuah kejahilan anak kecil. Mereka melumasi tenda dengan getah pinus, lumpur, dan wolfsbane, kemudian mengikatnya dengan pecahan kaca dari botol potion. Jika mereka merapatkan semua itu hingga menjadi cukup tebal, maka akan sulit untuk melepaskan kain itu, kain itu akan menutupi mulut sang monster dan bahkan mungkin akan membuat matanya terkena kaca---dengan hasil yang telah teramati. Racun tidaklah terlalu efektif melawan naga, namun bukan berarti dia nyaman dengan racun yang mengenai kedua matanya.

Tentu saja, ini tidaklah lebih dari cara sederhana untuk mengulur waktu. Akan sangatlah bodoh untuk berpikir bahwa mereka telah mengalahkan naga, atau mereka telah menang. Akan tetapi, mereka telah merelakan tenda mereka dan menghancurkan beberapa potion; mengingat hadiah rata-rata dari perburuan goblin, mereka akan mengalami kerugian pada petualangan ini.

Mereka terlihat betul-betul menyedihkan, berlari terbirit-birit menyelamatkan nyawa mereka mengikuti arah sungai, dan mereka terngah-engah ketika mereka telah mencapai hutan. Namun bahkan seraya mereka melarikan diri, dan walau dengan monster yang murka di belakang mereka, mereka bertiga berbagi senyum tulus sesamanya.

“Hei, setidaknya kita sudah selangkah lebih dekat loh!” Club Fighter berkata (adalah yang dapat dia katakan di tengah napasnya yang terngah-engah), ingin meneriakkan isi paru-parunya.

Supreme God Cleric mendekatinya dan Harefolk Hunter, berteriak, “Lebih dekat dengan apa?!”

“Membasmi naga suatu hari lah!”

Itu adalah mimpi yang mereka dambakan semenjak mereka meninggalkan desa mereka—bahkan, jauh sebelum itu. Siapapun yang mendengar mereka akan mentertawai mereka, mengolok mereka, memberitahu mereka untuk lebih realistis, dan mereka tidak akan salah.

 Tapi, sang bocah berpikir, kamu lihat itu? Aku—aku, pria yang melarikan dari desanya hanya untuk di kejar-kejar di dalam saluran air oleh tikus dan kecoa—aku baru saja berhadapan satu lawan satu dengan seekor wyvern! Aku sudah melakukan berbagai macam hal yang tidak pernah kamu lakukan, melihat segala macam hal yang tidak pernah kamu lihat!

Gumaman deklarasi kejayaannya mungkin memanglah kecil, mungkin terlihat konyol bagi orang lain, namun gadis harefolk menepuk kedua tangannya. “Wow tadi itu sesuatu banget…!”

Bocah itu tersipu pada ucapan tulus sederhana ini.

“Ooh, telingamu merah.” Supreme God Cleric tertawa di belakangnya. “Kamu malu karena apaan?”

“Aku nggak malu!” dia berteriak membalas—di saat teriakan dari seekor monster mendekati mereka dari arah sungai.

“Oke, jangan ngobrol terus, kecuali kalau kamu mau jadi makan malam…!” Harefolk Hunter berkata, berada di depan mereka dengan telinganya yang berayun. Dia menjulurkan tangan lembutnya, dan bocah itu menerimanya.

“Hei, kalian berdua, jangan terlalu cepat…!” Bahkan wajah Supreme God Cleric merah ketika Club Fighter menoleh ke belakang. Gadis itu menjulurkan tangannya, dan sang bocah menerima tangan dia juga.

“…Baiklah, ayo!!”

Adalah perjalanan yang panjang menuju kota, dan jauh lebih panjang bagi mimpi mereka, dan wyvern di belakangnya yang tidak begitu jauh. Walaupun begitu, sang bocah yang telah menjadi petualang memahami apa yang terpenting bagi dirinya, langkah kakinya ringan seraya dia berlari.

Petualangnya—petualangan mereka—masih belum berakhir.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya