HARI HARI YANG BAHAGIA
(Part 1)
(Translater : Blade ; Editor : Gian Toro)

Hari ini, Kanda Sorata bangun dengan perasaan yang aneh.
Membuka matanya dengan setengah sadar. Matanya yang masih belum terbuka sepenuhnya itu melihat sesuatu berbentuk bulat menonjol berwarna putih.
“……….Hikari, apa itu kau lagi?”
Awalnya ia kira itu kucing, jadi ia melepaskannya tanpa berpikir banyak,
“umh………”
Namun suaranya yang seperti sedang protes itu terdengar. Suara itu didengar dari manapun tidak seperti suara si kucing putih Hikari.
Sentuhan yang dilakukan oleh tangannya juga tidak terasa seperti kulit kucing. Itu adalah kulit lembut kenyal yang hangat. Juga tidak ada bau binatang. Wanginya yang tercium manis itu terasa nyaman dihidung.
Sorata sambil mengusap matanya sambil memastikan situasi sekarang.
Di sini adalah asrama yang berisi siswa bermasalah dari SMA Suiko yaitu Sakurasou. Karena Sorata ketahuan memungut dan memelihara kucing di asrama reguler, jadi pada musim panas tahun pertamanya, ia dipindahkan ke sini. Dan waktu terus berjalan, sekarang sudah musim gugur tahun ketiga. Mau cerah, mau hujan, setiap hari Sorata memulai segala aktivitasnya dengan bangun dari kamar no.101 Sakurasou yang berukuran enam tatami ini.
Lalu, hari ini juga tidak berbeda jauh, Sorata menyambut pagi yang baru diatas kasurnya sendiri.
Hanya, berbeda dengan biasanya. Biasanya ia dibangunkan oleh 10 kucing yang ia pelihara karena mereka kelaparan.
Wajahnya diinjak, atau ditempati pantat kucing diatas wajahnya, dan wajahnya dijadikan sebagai tempat latihan kucing untuk mencakar.
Tapi, yang muncul dipandangan Sorata sekarang bukanlah 10 kucing itu. itu adalah kulit gadis telanjang yang berwarna putih. Dapat kita rasakan suhu tubuh gadis itu.
“…………..”
Sesaat ia tidak bisa mengatakan apapun.
“hn……….”
Malah si gadis yang tidur disampingnya itu mengeluarkan suara yang manja.
Si gadis yang menimpakan setengah bagian dari wajahnya diatas bantal itu bernama Shiina Mashiro.ia adalah penghuni Sakurasou kamar no.202. Disaat ia mendapat perhatian dari dunia karena bakat melukis, disaat yang bersamaan, pada musim semi tahun lalu, untuk menjadi seorang komikus ia datang ke Jepang dari Inggris untuk mengejar impiannya. Sekarang ia sudah berhasil debut dengan serialisasinya di Majalah Komik Shojo Bulanan. Sepertinya kepopulerannya juga sedang naik akhir-akhir ini.
Ada sebuah perasaan yang lembut. Seperti barang yang mudah pecah,kemanapun ia berjalan, ia selalu memberi kehadiran yang misterius dan menarik perhatian, di sekolah juga ia  dinilai ‘imut’.
Alasan kenapa si Mashiro ini tidur dikamar Sorata, karena mereka sedang berpacaran.
“Masa mudaku………..menakutkan juga.”
Tapi, bisa berpacaran seperti hari ini, membutuhkan usaha yang keras, Sorata sudah berjuang mati matian untuk ini……….
Ciuman mereka yang kedua adalah pada saat Universitas Seni Suimei mengadakan bazar terbuka………walaupun saat itu sudah sampai dimana mereka dapat memajukan hubungan mereka satu langkah lebih maju, tapi karena beberapa halangan, mereka tidak dapat melewati batas itu. Setelah ditolak Mashiro dengan ‘Hari ini tidak boleh lagi loh’, sejak saat itu Sorata merasa tidak nyaman.
Sejak tombolnya sudah diaktifkan, Sorata menjadi sulit mengontrol dirinya. Saat berduaan dengan Mashiro dikamar, bagaimanapun pikirannya selalu mengarah ke arah sana.
Dan sikap Sorata yang begitu sepertinya pikirannya tersampaikan pada Mashiro, disaat Sorata memberanikan dirinya menggandeng tangannya,
“Sorata, tatapanmu menakutkan sekali.”
Dikatakan begitu.
Memutuskan untuk memeluknya,
“Sorata, menarik napas.”
Diberitahu begitu.
Suasananya sudah bagus, setelah ciuman.
“Sorata, hari ini Cuma boleh kiss loh.”
Diingatkan begitu.
“Tujuan Sorata itu tubuhku ya.”
Setelah berkata begitu, situasi dimana dimarahi juga ada.
“Sorata hanya ingin melakukannya.”
Akhirnya diserang oleh kalimat seperti itu. sebenarnya ia belajar dari mana. Mungkin diajari oleh temannya yang dari Inggris yaitu Rita.
Setelah sadar, sejak bazar terbuka, hari-hari Sorata yang begitu sibuk itu sudah bertahan selama satu bulan.
Rasanya begitu lelah, sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Jadi, biarpun kemarin, tidak begitu yakin. Mashiro datang ke kamar Sorata tengah malam juga bukan hal yang aneh.
Disamping Sorata yang sedang memeriksa daftar proses pembuatan gamenya diatas kasur, Mashiro sedang menggambar naskah komiknya, pundaknya saling bersentuhan. Seiring berjalannya waktu, berat Mashiro menimpa kemari, didalam otak Sorata sudah tidak berpikir untuk kerja lagi.
“Itu ya, Mashiro.”
“Apa?”
“Kalau dekat begitu, aku akan mendekatkan diriku loh.”
“……………”
Entah apa yang dipikirkannya, Mashiro berdiri dengan pelan, lalu baring diatas Sorata, sekarang mereka berada dalam posisi saling menopang, seperti posisi sedang main ski.
“Itu~Mashiro-san?”
“Apa?”
Mashiro dengan tidak peduli kembali menggambar naskah komiknya. Dan berbaring diatas Sorata…….
“Kenapa jadi seperti ini?”
“Sudah lebih dekat denganmu.”
Mashiro dengan wajah yang tidak memahami apapun dan terliahat polos itu membalikkan kepalanya. Rambutnya yang bergerak sedikit itu tercium wangi. Sorata sedang diberi cobaan.
“Sudah tidak bisa lagi!”
Sorata tidak bisa menahan lagi, dan memeluk Mashiro dari belakangnya.
“Sorata.”
“Kenapa lagi?”
“………tidak boleh.”
Suara Mashiro terdengar malu.
“Tidak bisa loh.”
“Aku juga, rasanya sudah tidak bisa lagi!”
“Hari ini tidak boleh.”
“Mengapa?”
“Celana dalam………tidak boleh karna tidak cukup imut.”
Mashiro dengan malu mengalihkan pandangannya.
“Tidak masalah!”
“Tidak boleh karna belum mandi.”
“Baik, kalau begitu gantilah celana dalammu setelah mandi.”
“Sorata, mati-matian ya.”
“Tidak bolehkah!”
Sudah sampai sini mana bisa menyerah begitu saja.
“………….”
Mashiro memeluk buku sketsa yang ditutupi itu. Wajahnya yang Sorata lihat dari belakang itu tampak bimbang.
“Sebegitu inginnya kah melakukannya?”
“Tentu!”
“Hanya ingin melakukannyakah?”
“Ti-tidak mungkinlah! A-aku ingin melakukannya karena menyukai Mashiro! Bukan karena...bukan karena aku hanya ingin melakukannya!”
Sorata menjelaskan dengan mati matian, rasanya malu sekali.
“…………..”
Sebaliknya, pandangan Mashiro sedikit dingin.
“A-aku paling menyukai Mashiro!”
“Tubuhkah?”
“Semua, semuanya! Aku menyukai semuanya Mashiro!”
“Benar?”
“Benar!”
“…………..”
Jelas-jelas itu ekspresi yang seperti sedang menunggu sesuatu.
“…………….”
Pandangannya ke atas, melihat kemari. Mungkin, ia ingin mendengarnya sekali lagi.
“Aku benar benar paling menyukai Mashiro.”
Dengan pelan, lalu berkata dengan menaruh perasaan didalamnya.
“……….hn.”
Mashiro tertawa dengan sedikit malu.
“Sorata, lepaskanlah.”
“Huh?”
“Aku akan mandi.”
Setelah berkata dengan suara yang kecil, Mashiro keluar dari kamar dengan berlari kecil.
Hasil setelah saling memahami, Sorata akhirnya bisa menyambut pagi bersama Mashiro. Sepertinya bulan ini Sorata sudah membuang dan mengerahkan semuanya. Khususnya setelah memikirkan kejadian semalam, ia hanya bisa tersenyum sendiri.
Tapi, ia segera melupakannya. Karna sekarang ia sedang diatas kasur bersama Mashiro.
“hoo………….”
Mashiro yang masih tertidur itu menjadikan lengan Sorata sebagai bantal. Mungkin karena tangannya dililit, jadi Sorata dapat merasakan sesuatu yang lembut itu setiap saat.
Kalau terus begitu sepertinya Sorata tidak akan bisa menahan dirinya pagi ini.
Sorata melepaskan tangannya.
Lalu, Mashiro yang awalnya tertidur lelap itu sedikit terganggu.
“muh………..”
Dengan tidak senang ia mengangkat alisnya.
Tangan Mashiro yang dilepaskan oleh Sorata itu diulurkannya lagi ke arah Sorata seperti sedang meminta kehangatan.
“Dingin sekali.”
Mashiro mengatakan dengan suara yang masih setengah terbangun.
“Itu karena kau tidur dengan kondisi begitu.”
Sorata berencana membangunkan Mashiro jadi ia mendorong kembali keningnya.
“muh………”
Mashiro akhirnya membuka matanya. Kedua matanya melihat ke arah Sorata.
“Dingin sekali.”
Sayang sekali, biarpun sudah bangun keadaan tetap tidak berubah. Mashiro sekali lagi baring kembali.
“Ma-makanya, cepat pakai piyamamu! Kenapa kau telanjang!”
“Salah Sorata.”
Pandangannya yang seperti sedang menyalahkan itu menusuk kemari.
“Hn, berikan aku alasannya dulu.”
“Karena dilepaskan Sorata.”
“Uhuk! Uhuk!”
Sorata batuk dengan keras.
“Sorata, demam?”
“Bukan! Semua ini karena Mashiro mengatakan yang tidak-tidak!”
“Yang kukatakan itu kenyataan.”
“Me-memang, walaupun begitu, bukannya sudah kuberitahu sebelum tidur pakai piyama dulu?”
“Memang begitu si.”
“Kalau begitu kenapa sekarang kau terlihat seperti baru dilahirkan?”
“Karena aku tidak dapat menemukan celana dalamku.”
“Apa? Tidak, ada, disana…………..”
“Dilepaskan Sorata.”
“Aaaaa, iya! Yang menyentuh celana dalam terakhir itu adalah aku!”
Mencarinya diatas kasur, didalam selimut. Pertama tama ia temukan bagian atasnya lalu celana juga BH nya. Lalu mengulurkan tangan, bagaimanapun ia tidak dapat menemukan celana dalamnya.
“Sorata, dimana celana dalam?”
“Keberadaannya tidak jelas……….”
“Jahat sekali.”
“Jahat juga tidak apa pokoknya pakai dulu piyamamu.”
“Padahal aku sangat menyukainya.”
“Nanti akan kucarikan!”
Memberi piyama nya pada Mashiro.
“Aku akan mengganti baju jadi baliklah ke arah sana.”
“Sampai sekarang malu untuk apa lagi………..”
Padahal kemarin malam, itu………mereka lakukan hal yang lebih parah lagi………
“Sorata H.”
Mashiro kemudia melirik tajam ke arah Sorata.
“Baik.”
Bangun dan duduk ditepi kasur.
Dari belakang terdengar suara baju yang bergesekan.
“……..”
“……..”
Kalau menunggu seperti ini tidak baik untuk mental. Kediaman ini rasanya tidak menyenangkan.
“I-itu ya, Mashiro.”
Mencoba mengajak bicara.
“Apa?”
Suara baju bergesekan itu berhenti.
“Tidak, itu…….apa tidak apa apa?”
“Apanya tidak apa apa?”
Tidak perlu membalikkan kepala juga tahu Mashiro sedang bingung.
“Se-seperti tubuhmu, i-itu, mah, pokoknya tubuhmu.”
“Tubuh?”
“Ma-maksudnya, apa merasa aneh dibagian tertentu, a-atau merasa sakit!”
Sorata sepert ingin menutupi rasa malunya lalu ia berdiri.
“Tubuh……..”
“Oh, hn, bagaimana?”
“Rasanya……..”
Ia berpikir dengan diam, kalimat Mashiro berhenti.
Setelah menunggu sepuluh detik dengan sabar,
“Rasanya seperti tertipu.”
Berkata begitu.
“Puh!”
“Sorata, sedang meniru babi bersuara?”
“Siapa yang akan memelajari hal seperti itu! Semuanya karena kau mengatakan hal yang menakutkan, jadi terkejut, rasanya terkejut sekali!”
Sorata membalas ucapannya dan membalikkan badannya.
“Pokoknya terkejut, 30 tahun?”
“……….hoi, kau!”
Yang mengejutkan itu, Mashiro tetap telanjang, dan duduk diatas kasur.
“Tidak boleh lihat.”
Bertatap dengan Sorata, dengan malu menutupi tubuhnya dengan selimut. Sinar matahari yang menyinari wajahnya itu terlihat wajahnya sedikit memerah.
“Ke-kenapa belum pakai!?”
Sekali lagi membelakangi Mashiro.
Entah apakah marah karena dilihat begitu, ia melemparkan sesuatu. Yang jatuh diatas kepalanya itu adalah BH.
“Apa kau bisa menjawab pertanyaanku!”
“Tidak ada celana dalam.”
“Jadi?”
“Tidak pakai celana dalam dan hanya pakai piyama tidak dapat membuatku tenang.
“Aku rasa setidaknya lebih baik daripada telanjang.”
Membalikkan kepalanya untuk protes, Mashiro segera melemparkan piyamanya. Lalu menutupi dirinya dengan selimut.
“Tidak boleh lihat.”
“Baik.”

Disaat Sorata membelakangi Mashiro untuk ketiga kalinya, Sorata dengan suara ‘yoi’ berdiri.
“Tunggu sebentar Mashiro, aku akan pergi ke kamarmu mengambilkan celana dalammu.”
“Ditunggu.”
Walaupun balasannya sedikit aneh tapi terserahlah. Kalau Sorata terus menanggapinya, masalah ini tidak akan selesai. Disaat Sorata berpikri begitu, Mashiro jatuh dikasur lagi.
“Tolong jangan tidur ya.”
Hari ini hari bekerja. Tidak bisa membolos sekolah. Sorata sudah berpikir mereka tidak boleh telat. Kalau mereka telat bersama, pasti akan dikerjai oleh wali kelasnya si Koharu. Sebelumnya saat Sorata, dikatai begitu ‘Wajar saja telat kalau setiap pagi ‘main’ sama Shiina chan’………..dan dilihat oleh teman sekelas dengan pandangan yang aneh.
“………….tidak akan.”
Sayang sekali, kalau dilihat dari reaksi Mashiro, ia sudah setengah tertidur.
Sebaiknya Sorata secepatnya pergi ke kamar Mashiro untuk mengambil celana dalam.
“Walaupun omong begitu……….”
Disaat Sorata ingin berjalan keluar dari kamar, tapi tangannya yang menggenggam gagang pintu itu terhenti……..
Sakurasou itu adalah asrama siswa. Yang tinggal bersama dalam satu atap, ada Akasaka Ryuunosuke yang setahun dengan Sorata, Himemiya Iori jurusan musik kelas satu, Hase Kanna jurusan reguler kelas satu, juga Rita Ainsworth yang berasal dari Inggris, dan guru pengawas yaitu Sengoku Chihiro.
Kalau ketahuan tidur satu kasur bersama Mashiro akan menjadi masalah besar.
Dengan hati-hati membuka pintu dan mengeluarkan kepala untuk mengecek. Sayangnya ia bertemu pandang dengan seseorang.
“Cih!”
Itu adalah siswa kelas satu yang tinggal di kamar no.201. Hase Kanna.
Dia sedang turun dari lantai dua. Dia sudah memakai seragam, dan sudah siap untuk berangat ke sekolah, pundaknya menggunakan tas. Walaupun masih awal, tapi sepertinya ia akan pergi ke sekolah saat ini.
Kanna melihat ke arah Sorata yang terkejut lewat lensanya dengan tatapan yang dingin itu.
“Kenapa kau terus melihatku.”
Tatapan Kanna itu tampak semakin dingin.
“Ah,tidak, tidak ada apa apa.”
Suaranya terdengar aneh.
“Kalau begitu, menurutku sebaiknya kau memperbaiki posisi tubuhmu yang aneh itu.”
kalau dilihat dari pandangan orang lain, Sorata yang hanya mengeluarkan kepalanya dari kamar untuk mengecek sesuatu itu mencurigakan sekali.
“Be-benar tidak ada apa apa.”
Kata-kata Sorata yang keringatan itu tidak dapat dipercayai. Buktinya ekspresi Kanna sekarang masih curiga.
“Apa Shiina senpai didalam ?”
“Yang benar saja!?”
“Sudah kuduga.”
Kanna menghela napas. Sepertinya Sorata sudah dikerjai.
Lalu dibelakang punggung Sorata yang tidak dapat berkata apa-apa,
“Sorata, kenapa?”
Terdengar suara Mashiro.
“Hoi, tolong jangan bicara apapun!”
Sudah telat untuk diingatkan, tapi biarpun begitu ia harus mengatakannya.
Mashiro memiringkan kepalanya karna tidak memahami situasi sekarang.
Pandnagan Kanna juga melihat ke dalam kamar melalui celah pintu. Mungkin ia sudah melihat Mashiro yang tidur dikasur itu.
Mashiro mengangkat kepalanya, selimutnya jatuh, seluruh bagian kulitnya yang ada dibagian atas tampak diudara. Mashiro tidak menggunakan apapun.
“Itu, i-ini ya—Kanna-san!”
Dengan suara yang besar mati matian menjelaskan. Walaupun Sorata berusaha untuk mencari alasan, tapi ia tidak dapat memikirkan apapun. Pikirannya kosong sesaat.
Ia adalah siswi rekomendasi. Kalau Kanna melihat ini, entah apa yang akan dikatakannya. Mungkin ia akan memaki-maki. Dan Sorata akan dipandang sebagai sampah.
Dengan berpikir begitu, Sorata yang sudah menyiapkan diirnya untuk kemungkinan itu.
“…………”
Kanna hanya menunjukkan ekspresi yang terkejut, lalu segera balik lagi ke ekspresi biasa, dan pergi dengan tidak mengatakan apapun. Seperti ingin kabur dari sini……..
“A-are?”
Bagi Sorata yang sudah menyiapkan dirinya, ia tidak dapat bereaksi seketika.
Tapi segera sadar lagi dan berteriak ke arah Kanna.
“Tu-tunggu sebentar, Kanna-san!”
Sorata berlari mengejar Kanna. Masalah ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ia harus segera menyelesaikannya.
“Tolong, dengarkan aku!”
Berteriak juga tidak ada gunanya, segera, bayangan Kanna tidak tampak lagi. Tangan Sorata yang diulurkannya juga tidak tercapai.
“Huft……….”
“Pagi-pagi ribut begitu, apa yang terjadi?”
“!?”
Sorata berteriak karna terkejut dan membalikkan badannya dengan pelan pelan.
Rita yang sudah memakai seragamnya itu berjalan keluar dari ruang makan. Bagian bajunya yang berada dibagian dada tampak sempit.
“Ri-Rita!?”
Rita melihat ke arah Sorata dengan tatapan yang nakal. Itu adalah tatapan yang menyadari sesuatu.
“Semalam asik ya.”
“Apa!”
Disaat Sorata ingin mencari alasan, Chihiro keluar dari kamarnya.
“Apaan Kanda, kenapa pagi-pagi ribut begitu.”
“Tidak ada!”
“Ah, soal kemarin malam ya.”
Chihiro mengatakannya sambil menguap.
“Bentar, sensei!”
Jangan-jangan, sudah ketahuan.
Seperti ingin memaksa Sorata berada dijalan kematian, pintu kamar no.102 terbuka.
“Ribut sekali, Kanda.”
Yang muncul adalah Ryuunosuke. Seperti biasanya ia tidak berekspresi. Jadi jujur saja, Sorata tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Lalu, Iori berlari keluar dari kamar no.103.
“Se-la-mat pa-gi~!”
Mendekati Ryuunosuke, senyuman yang polos, dan menggunakan headphone diatas rambutnya yang berantakan itu.
Pokoknya setidaknya Iori mungkin tidak tahu hal ini. Sorata sedikit yakin dengan itu.
Tapi, situasinya memburuk. Padahal tidak ingin bertemu siapapun, tapi malahan semua penghuni Sakurasou berkumpul. Keberuntungan macam apa itu………apakah dikutuk.
“……….ampuni aku tolong.”
Dengan tidak sadar mengatakannya.
“Hn? Sorata-senpai, kenapa? Kenapa terlihat tidak semangat?”
Iori bertanya dengan ekspresi yang polos.
“Tidak ada………”
Baru dijawab begitu, pintu kamar no.101 terbuka dari dalam.
“Sorata, celana dalamnya belumkah?”
Wajah yang tampak dibalik pintu itu adalah Mashiro yang menutupi dirinya dengan selimut.
“Tolong jangan keluar!”
Tapi, sudah telat untuk mengatakan itu.