MUSIM SEMI YANG SUDAH LAMA BERLALU

Bagian 1
Jantung Sorata yang serasa ingin meledak karenanya ….
“Kau bilang ingin memberitahuku sesuatu …. Apa itu?”
Yang berbicara tadi adalah si gadis kuncir kuda …. Nanami.
“Em, hal yang penting … mungkin?”
Nanami yang malu dan menundukkan kepala, menjawabnya dengan tidak terlalu jelas.
“…..”
“…..”
Perasaan yang bingung, ragu-ragu, dan tidak yakin ini …. Entah kenapa bercampur menjadi perasaan gugup dan menyelimuti mereka berdua.
“Aku … selalu ingin berbicara denganmu mengenai ini”
“Hmm, begitu ….”
“Ya, aku ….”
“…..”
Nanami mengangkat kepalanya tiba-tiba, seperti ingin menyemangati dirinya sendiri.
“Aku … selalu … selalu …”
“…..”
Suasana yang dibuat Nanami ini membuat Sorata gugup dan tidak bisa bergerak sejenak. Dan di depan Sorata, Nanami tersenyum.
Lalu, Nanami yang tersenyum ceria memberitahu Sorata sesuatu yang sangat penting baginya.
“Aku … selalu menyukaimu, sangat menyukaimu.”
“…..”
“…..”
Detak jantung yang rasanya terus bertambah cepat, sepertinya sampai bisa kedengaran dari luar. Bahkan Nanami pun pasti mendengarnya!
Sorata terdiam sejenak, setelah beberapa saat akhirnya Sorata mulai tenang.
Jawabannya sudah pasti. Sudah sangat pasti.
Karena perasaan dan kata-kata yang muncul sudah senada di pikirannya ….
Yang tersisa tinggallah memberitahukannya.
“Aku juga, ada perasaan yang sama. Aku juga ….”
Sorata dengan bersusah payah mengatakan yang ia pikirkan, tetapi suaranya yang serak karena gugup itu membuatnya tidak bisa mengatakannya. Aku harus menjawabnya … walau pikirannya sudah jernih, tetapi mulutnya dan tekanan yang terasa berat ini membuat dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain “aku juga….”, setelah itu mereka berdua terdiam ….

***

Tanggal 8 April,
Pagi hari pertama semester baru … langit yang biru juga suasana hati yang menyenangkan menjadikan hari itu hari yang menyenangkan.
Sinar matahari yang datang dari luar jendela dengan segarnya menerangi asrama di sekitar SMA Suimei …. Asrama Sakurasou kamar nomor 101.
“Hmm~”
Tetapi pemilik kamarnya, Sorata, malah bangun dengan ketakutan karena mimpi buruk yang ia alami.
Dirinya yang belum sepenuhnya terbangun, melihat pantat yang putih. Sorata berpikir sepertinya kucing lagi. Dan berusaha mendorongnya ke bawah.
“Ahn!”
Terdengar suara yang tidak asing.
“Apa akhir-akhir ini kucing sudah bisa bicara ya?”
Sorata berusaha membuka matanya dengan lebar, dan melihat baik-baik apa yang ada di depannya. Itu pantat! tidak salah lagi. Awalnya ia kira itu kucingnya, Hikari, tetapi sekarang yang muncul di depan Sorata adalah pantat manusia. Benda yang berwarna putih itu adalah celana dalam!
“Arghh, apaan ini!”
Sorata bangun dengan panik, ia sudah tidak merasa ngantuk lagi.
Sorata memastikan situasi di sekitarnya lagi. Baru saja bangun sudah melihat pantat, dan rok yang tidak terlihat asing ini adalah seragam Suimei. Tubuh bagian atasnya ditutupi selimut, sehingga wajahnya tidak kelihatan, semacam “menyembunyikan kepala dan menunjukkan ekor”. Apa yang sebenarnya terjadi? Hal ini tidak bisa dipikirkan dengan akal sehat.
Tetapi, Sorata malah terlihat tenang karena hal seperti ini sudah sering terjadi. Dengan dugaan hanya dia yang bisa tiba-tiba datang ke kamar orang dan naik ke kasurnya, sudah pasti dia!
Dia adalah penghuni kamar nomor 202, Mashiro Shiina!
“Hey, Shiina.”
Melihatnya yang tertidur pulas saat ini, sepertinya akan susah membangunkannya.
Tapi di luar dugaan Sorata,  tiba-tiba dia membalas.
“Kau memanggilku?”
Tetapi suaranya bukan berasal dari kasur, melainkan dari belakangnya. Sorata memutar kepala untuk mengeceknya, dia melihat Mashiro berpakaian piyama yang berdiri di depan pintunya.
“Apa kau berpindah dengan sangat cepat ke belakangku tadi?”
Mashiro tidak peduli dengan Sorata yang terkejut, pandangannya terfokus ke kasur. Pantat kecil yang dia lihat sepertinya bukan berpindah dengan sangat cepat. Masalahnya, pantatnya berbeda ukuran dengan Shiina.
“Sorata.”
Dengan pandangannya yang menakutkan, ia membuat Sorata langsung berdiri tegak.
“Bu-Bukan, ini bukan salahku, aku juga terkejut kenapa tiba tiba ada pantat di depanku saat aku bangun!”
Sorata langsung menjelaskan situasinya tanpa basa-basi. Dia tidak berbuat salah.
“Siapa wanita itu?”
“Boleh tidak jangan mengatakannya seperti aku selingkuh dengan wanita lain?”
“Siapa?”
“Kalau bukan Shiina, aku juga tidak tahu.”
“Begitu, baguslah.”
“Bagus apanya! Aku khawatir dengan keselamatanku di sini! Lagipula, siapa sih ini ….”
Sorata memindah pandangannya ke kasur lagi ketika Mashiro masuk ke kamarnya.
Yah, sekarang bagaimana? Dengan membuka selimutnya masalahnya selesai. Tapi jujur saja, aku takut membukanya, mungkin lebih baik lapor polisi.
Seperti ingin melupakan semua yang terjadi di depan matanya, Sorata menjelaskan kepada Mashiro.
“Ngomong-ngomong, tumben hari ini kau bisa bangun sendiri?”
“Aku baru ingin tidur.”
“Jadi kau begadang menggambar komik, ya ….”
Mashiro bukan hanya merupakan siswi SMA, tetapi ia juga merupakan komikus yang menggambar komik bulanan, dan juga merupakan seorang pelukis jenius yang diakui oleh seluruh dunia.
Mashiro yang begitu polos, dengan lucu perutnya mengeluarkan semacam bunyi ….
“Sepertinya sudah lapar.”
“Kau datang ke kamarku karena lapar?”
Mashiro menaruh kedua tangan di perutnya dan menjawab dengan anggukan.
“Kalau sudah makan aku akan lanjut tidur.”
“Tidak boleh. Hari ini merupakan tahun ajaran baru!”
“Tahun ajaran baru?”
“Bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya?! Pokoknya mulai hari kita harus sekolah lagi.”
“Ah, Sorata pergi saja”
“Kau juga harus pergi!”
“Ya, aku tahu. Aku ingin tidur lagi.”
“Tidak, kau tidak tahu! Dan jangan tidur di sini!”
Dengan sekuat tenaga Sorata berusaha menahan Mashiro agar ia tidak naik ke kasur.
“Lagipula, di kasur sudah ada orang.”
Sekali lagi pandangan Sorata dan Mashiro terfokus ke orang yang wajahnya tertutupi oleh selimut. Sepertinya tidak ada solusi untuk menghindari masalah ini ….
“Ah, merepotkan saja.”
Mashiro dengan kesal menarik selimutnya.
“Huwaa~! Kau benar-benar melakukannya! Kau benar-benar berani!”
Walaupun merasa takut, Sorata tetap mengeceknya dengan seksama.
“Huh?”
Ia mengeluarkan suara yang aneh.
Yang ada di bawah selimut adalah sosok wajah yang tidak asing. Karena, sepertinya itu adalah adik kandung Sorata. Anak itu mengeluarkan air liurnya sambil tidur dengan wajah yang konyol. Tahun ini ia sudah berumur enam belas, tapi kalau lihat dari penampilan fisiknya ia kelihatan seperti masih kecil, bahkan orang yang tidak mengenalnya mungkin bakal mengira dia anak SD.
“kenapa dia ada di sini? Apa ini …. mimpi?”
Kalau ia sedang bermimpi, ini pasti mimpi buruk.
“Hei, Yuuko, cepat bangun!”
Yuuko bangun dari tempat tidurnya, tapi sepertinya belum sepenuhnya bangun, dengan perlahan ia duduk di kasur, sambil menggosok matanya ia memandang Sorata dan Mashiro.
“Yuuko, sepertinya kau sudah datang.”
“Benar, aku sudah datang, Mashiro nee-san! Sekarang saatnya pertarungan! Untuk menentukan siapa yang lebih pantas untuk Onii-chan!”
Entah kenapa, Yuuko dan Mashiro sepertinya sudah bersiap-siap, seakan ada kilatan di antara mereka berdua.
“Tunggu saja, Onii-chan! Yuuko akan segera menjadi murid bermasalah! Lalu diusir dari asrama biasa dan akan segera pindah ke Sakurasou!”
“Jangan, sebaiknya kau jangan pindah ke sini.”
“Jangan menolaknya dengan senang hati seperti itu!”
“Yuuko tidak mungkin pindah ke Sakurasou.”
Mashiro juga ikut membalas.
“Tidak ada yang tidak mungkin!”
“Masih terlalu cepat sepuluh tahun bagimu.”
“Aku tidak punya banyak waktu untuk tinggal kelas, bagaimana ini, Onii-chan?”
“Tidak, menurut kemampuan otak Yuuko, hal itu mungkin bisa terjadi.”
“kenapa yakin sekali? Tidak, tidak mungkin semudah itu!”
“Kenapa kau semangat sekali?”
Sudahlah, tidak ada gunanya.
“Tapi aku mempunyai bantuan – teman sekamarku!”
“Apa itu merupakan tarif tagihan baru untuk ponsel?”
“Teman sekamar! Bukan tarif tagihan baru untuk ponsel! Apa Onii-chan tidak tahu teman sekamar?  Kampungan~!”
Karena diceramahi dengan alasan yang tidak jelas, entah kenapa ia menjadi kesal.
“Seharusnya hal ini tidak penting. Yang penting adalah, kenapa Yuuko yang gagal di ujian masuk SMA Suimei bisa ada di sini?”
Ini merupakan misteri yang pertama juga yang terbesar bagi Sorata. Di saat hasil ujiannya keluar, Sorata memastikan dengan matanya sendiri, bahwa Yuuko gagal di ujian masuk SMA Suimei.
“Jujur saja, karena Yuuko lulus ujian masuk SMA Suimei!”
Dia mengatakannya dengan bangga sambil memamerkan dadanya yang tidak berisi itu.
“Yuuko.”
“Ada apa, Onii-chan? Mau merayakan keberhasilan Yuuko?”
“Bangunlah, Yuuko.”
“Sudah bangun kok!”
“Cepat bangunkan dirimu yang masih bermimpi itu. Dan diluar dugaanku, tidak hanya datang jauh-jauh dari Fukuoka tapi juga sudah menyiapkan seragam, sungguh sangat menyebalkan.”
“Sebalnya sedikit saja sudah cukup!”
Sepertinya dianggap menyebalkan juga tidak masalah buatnya.
“Eh? Sepertinya salah ya …. Pokoknya jangan menganggapku menyebalkan!”
Dengan teliti ia memikirkan kembali, sepertinya tidak bagus kalau jadi menyebalkan.
“Yuuko tidak bohong mengenai soal lulus ujian masuk SMA Suimei. Tidak ada alasan bagi Yuuko untuk membuat Onii-chan sebal!”
“Lulus? jangan berkata yang tidak-tidak, benar kan, Shiina?”
Sorata ingin Mashiro mendukungnya, tetapi tanpa ia sadari Mashiro sudah di atas kasur dan tertidur pulas.
“Mmm … Mmmm ….”
Sepertinya akan susah untuk mendapat dukungan dari dia.
“Yah, sekarang kembali ke masalah utama.”
“Masih ingat nomor peserta ujiannya Yuuko?”
“Hmm? Oh, aku ingat, kalau tidak salah nomor 99.”
“Tapi! Itu hanya sebuah kesalahan!”
Walau sudah terpikir jawabannya. Sepertinya mustahil akan ada kejadian seperti ini. Tapi, kalau itu Yuuko, sepertinya bukan tidak mungkin. Soalnya adiknya Sorata itu bodoh.
“Kalau kau bilang sebenarnya ‘66’, aku akan langsung memutuskan hubungan darah kakak beradik kita!”
“Onii-chan, kenapa kau serius sekali!”
“jangan banyak omong! Jangan bilang kalau itu serius juga?”
“Sering ‘kan kejadian seperti ini. Contohnya, tertukar antara Awata dan Kurita.” (TL Note: Kanji untuk Awata adalah [粟田] dan kanji untuk Kurita adalah [栗田]. Keduanya terlihat sangat mirip)
“Mana mungkin!”
“Tiap orang ‘kan pasti pernah mengalaminya, seperti Ogino dan Hagino.” (TL Note: Sama saja, Ogino adalah [荻野] dan Hagino adalah [萩野].)
“Kau bilang apa sih …. Pokoknya, cepat minta maaf pada orang-orang yang bernama Awata, Kurita, Ogino, dan Hagino di negara ini.”
“Maaf.”
“Tapi … aku benar-benar terkejut … dari dalam hati aku berharap tidak mempunyai hubungan darah denganmu, harus bagaimana sampai bisa terbalik melihat nomor peserta ujian?”
“Kata-kata Onii-chan terlalu kejam, aku menyedihkan!”
“Karena Yuuko lulus ujian masuk SMA Suimei tetapi di saat yang sama ada yang tidak lulus ujian masuk SMA Suimei juga, itu yang namanya kejam, dan orang yang tidak lulus itu lah yang kasihan. Minta maaflah ke orang itu dengan tulus! Bagaimana kau bisa lulus dengan kecerobohan macam itu ….”
“Bukan ceroboh! Sebelum ujian, aku bertanya kepada Nanami nee-san, kira-kira soal apa yang akan keluar nanti. Ternyata hampir semua soal yang di tebak Nanami nee san keluar semua. Hebat kan?”
“… Aoyama … kenapa kau melakukan ini ….”
“Akuilah, Onii-chan! Di dunia ini, pasti ada prang yang beruntung seperti Yuuko!”
“Walaupun kenyataannya mungkin memang begitu, tapi mendengarnya darimu, entah kenapa membuatku kesal.”
Berusaha bukan berarti pasti mendapatkan apa yang kita inginkan. Sorata sudah merasakan hal itu selama satu tahun ini. Yah, bukan berarti Yuuko juga tidak belajar sepenuhnya, hanya saja keberuntungannya itu yang hebat. Kalau tidak, dipikirkan seperti apapun, Yuuko tidak mungkin bisa lulus ujian masuk SMA Suimei.
“Kalau begitu, bagaimana dengan seragam Yuuko? Cantik kah? Cocok kah? Apa sudah tidak tahan lagi? Karena ingin Onii-chan yang pertama kali melihatnya, Yuuko menjadi semangat sekali!”
“Kalau begitu, kenapa tadi malah tertidur?”
“Ah, aku bangun terlalu pagi, jadinya ngantuk.”
“…. Aku juga berpikir begitu.”
“Hyaa, jadi bagaimana? Apa Yuuko membuatmu terangsang?”
Sorata memandanginya dari bagian bawah sampai ke atas.
“Benar-benar tidak cocok, sampai-sampai terlihat menyedihkan.”
Sorata menjawabnya dengan malas.
“Nah kan, Onii-chan malu-malu, lucu.”
“Tidak, itu benar-benar tidak cocok.”
“Walaupun hanya basa-basi, seharusnya saat ini Onii-chan bilang kalau seragam ini sangat cocok dengan Yuuko!”
“Tapi, serius, melihatmu memakai seragam itu, kelihatannya sangat aneh dan tidak cocok.”
“Tidak mungkin!”
“Benar-benar kelihatan bodoh!”
Sorata menunjuk Yuuko.
“Tidak mungkin.”
“Sudahlah Yuuko, terima kenyataan saja. Kalau tidak cocok, ya tidak cocok ….”
“Eehhh~ yakin?”
“Ya, keanehannya tidak ada batasnya.”
Seragam Suimei sebenarnya memilih-milih orang yang memakainya …. Sorata juga berpikir kalau dia tidak cocok memakai seragamnya, tapi cocok dipakai oleh Mashiro ….
“Walau Yuuko sudah menduganya … tapi kenapa bisa sampai begini~, bagaimana ini? Aku terlalu malu bahkan sampai tidak bisa berjalan ke luar!”
“Sekarang belum terlambat untuk memutuskannya, pulanglah ke Fukuoka.”
“hmm … benar juga … aku tidak punya pilihan lain ….”
Yuuko turun dari atas kasur dan berjalan ke arah pintu kamar. Tetapi, karena merasa sepertinya ada yang aneh, ia langsung memutar kepalanya.
“Tapi, kalau Onii-chan berpikir bisa menipu Yuuko dengan manipulasi hebat seperti itu, salah besar!”
“Aku pikir kehadiranmu lah yang merupakan sebuah kesalahan yang besar!”
“Sudahlah, terima saja kenyataannya, Yuuko lulus ujian masuknya, Onii-chan!”
 “Kalau begitu … aku cek dulu dengan Mama.”
Sorata juga penasaran dengan papanya yang sangat sayang dengan Yuuko.
Dia mengambil telepon genggamnya dari meja dan mulai menelepon.
Teleponnya langsung tersambung ke orangtuanya dengan cukup cepat.
“Ini aku.”
Awalnya ia kira ibunya yang mengangkat, tapi yang terdengar adalah suara kasar seorang laki-laki. Itu adalah ayahnya.
“Anak yang baik tidak boleh meniru ini, bisa tidak kalau kau tidak mengangkat telepon dengan suara seperti itu?”
“Karena akhir-akhir ini uang jajanku semakin sedikit, tolong transfer sejumlah uang ke rekening yang akan aku sebutkan.”
“Kenapa penipunya adalah orang yang mengangkat telepon!”
“Karena aku benar-benar kekurangan uang.”
Mungkin itu benar, karena suaranya terdengar depresi.
“Ah, Papa.”
“Tidak ada alasan bagimu untuk memanggilku ‘papa’.”
“Ada alasannya! Aku ini anakmu! Kau tahu kan? ini aku, Sorata!”
“Tentu saja aku tahu. Akhir-akhir ini layar ponsel bisa menampilkan nomor penelepon juga lho. Maksudmu kau tidak tahu hal seperti itu? Kau bisa ketinggalan zaman lho kalau begitu.”
“Daripada dibilang akhir akhir ini, menurutku dari dulu sudah seperti ini.”
“Apa maksudmu, apa kau ingin memamerkan masa mudamu?”
“Mana ada … untuk apa aku ….”
Kenapa aku harus menggunakan masa mudaku untuk mengejek Papa – Sorata ingin mengatakannya, tapi ia merasa tidak perlu membuang-buang waktu untuk mengatakan hal itu.
“Papa tidak kerja?”
Karena biasanya jam segini sudah pergi.
“Karena saat mau berangkat, anak yang tidak berbakti ini tiba tiba menelepon, jadi terpaksa aku mengangkatnya.”
“Apa perlu ditambah ‘tidak berbakti’ segala? Tidak perlu ‘kan? Bagaimanapun harusnya itu tidak perlu.”
“Seperti itu kah cara seorang anak berbicara dengan papanya?”
“Tapi barusan kau bilang tidak ada alasan bagiku untuk memanggilmu ‘papa’!”
“Dasar, malah bicara seenaknya. Kau bahkan lupa masa-masa ketika aku mengganti diapermu.”
“Memang aku tidak ingat masa-masa itu, tapi itu sudah terjadi terlalu dulu ‘kan?!”
“Saat kotoranmu berwarna hijau, aku bahkan ragu apakah kamu pernah diculik alien atau tubuhmu dimodifikasi.”
“Bukannya bayi memang begitu?! Argh, aku benar-benar ingin mengganti isi kepala Papa itu.” (TL Note: Dalam bahasa Jepang, "diaper" adalah "omutsu" atau "おむつ", sedangkan kepala/wajah adalah "otsumu", "おつむ".)
“Oh, leluconmu lucu juga.”
“Aku bukan ingin melawak!”
“Benar-benar orang yang membosankan. Karena hatimu tidak tenang seperti itu, makanya jadi tidak bisa menikmati hidup.”
“Apa yang aku lakukan sampai kau malah menceramahiku? Tidak ada ‘kan! Tolonglah, berhenti bicara dan berikan teleponnya ke Mama!”
Begitu lebih gampang, harusnya dari awal ia sudah melakukannya. Ia tanpa sadar mengikuti obrolan kosong ayahnya.
“Aku menolak.”
“Baik, apa alasannya?”
“Kalau kau kira orangtuamu akan selalu membiarkan anaknya melakukan apapun yang dia mau, kau salah besar. Jangan jadi anak manja.”
“Memberikan telepon bukan permintaan yang sulit ‘kan?! Ada apa dengan otakmu itu?”
“Cepat ke intinya, aku tidak punya banyak waktu lagi.”
Harusnya itu kata kataku. Melihat jam dinding, sudah lewat dari jam delapan. Kalau tidak membangunkan Mashiro sekarang dan pergi ke sekolah, hari pertama pada tahun ketigaku pasti akan telat. Sejak awal Sakurasou memang merupakan markas bagi murid bermasalah, menarik perhatian yang tidak sewajarnya di sekolah …. Tidak boleh membuatnya lebih tidak wajar lagi.
“Aku ingin bicara soal Yuuko Pagi ini dia langsung ke kamarku, dan bermimpi bahwa dia lulus ujian masuk SMA Suimei, apa itu benar?”
“Bukan mimpi!”
Yuuko mendekat, tapi Sorata langsung mendorongnya. “huwaa!” Yuuko berteriak sambil terjatuh dengan gerakan yang dibuat-buat.
“Soal itu ya ….”
“Ya, soal itu.”
“Sangat disayangkan, tapi dia berhasil. Bagian mana yang salah .…”
“Mungkin karena dia menjawab soal-soalnya dengan benar, makanya berhasil.”
Sorata mulai putus asa.
“Sarkasmemu bagus juga.”
“Tidak perlu mengomentari responku!”
“Aku setuju.”
“Kalau begitu, bisa tidak jangan bicara yang tidak penting lagi?! Ini sama saja boros waktu dan biaya telepon!”
“Pokoknya, Yuuko lulus ujian masuk SMA Suimei. Tanpa malu aku mencoba menahannya agar tidak pergi, tapi tidak berhasil.”
“Aku juga berpikir begitu! Walau aku tidak tahu bagaimana caramu menahannya, tapi saat kau bilang tanpa malu, itu sudah salah besar!”
“Seperti itulah, walaupun membuatku benar-benar sedih … tapi aku adalah orang dewasa, jadi aku izinkan dia bersekolah di Suimei.”
Kau sudah kehilangan peranmu sebagai orang dewasa ketika kau menahannya tanpa tahu malu.
“Tapi, ujian ini membuatku jadi lebih kuat lagi.”
“Apa lagi sekarang?”
“Aku sadar, walau anak perempuanku yang masih polos pergi dari rumah, aku tinggal bermesraan dengan mama, dan membuat satu lagi.”
“Huh?”
Tadi Papa bilang apa?
“Hm? Sinyalnya tidak begitu bagus, apa kurang jelas? Aku bilang kalau aku bermesraan dengan mama ….”
“Aku dengar! Tidak perlu bilang sampai dua kali! Aku tidak ingin tahu detail mengenai orangtuaku yang sedang bermesraan! Tolonglah, aku mohon!”
“Kau memang masih anak kecil.”
“Aku sadar tentang hal itu karena aku sedang tumbuh besar!”
“Ah sudahlah, pokoknya seperti itu.”
“Apanya ….”
“Pokoknya kau tunggu saja adik perempuanmu yang kedua tahun depan nanti. Tunggu saja.”
“Aah, tunggu sebentar!”
Tentu saja, pencegahan yang di lakukan Sorata itu tidak berguna, ayahnya sudah menutup teleponnya.
“Papa bilang apa?”
Yuuko dengan sabar bertanya.
“Dia bilang tahun depan nanti akan ada adik perempuan baru.”
Walau nanti mungkin hasil nya adik laki laki.
“Heee~ Akhirnya Yuuko akan menjadi kakak perempuan!”
“Kenapa kau lebih terlihat senang daripada terkejut?”
Omong-omong, akhirnya masalahnya sudah selesai setelah telepon tadi. Walau sulit dipercaya, tapi Yuuko sepertinya benar-benar berhasil di ujian masuk SMA Suimei.
“Emm, Yuuko.”
“Ada apa?”
“Walau pikiran sedang kacau ….”
“Hm.”
“Selamat sudah berhasil di ujian masuknya.”
“Terima kasih, Onii-chan!”
“Lagipula, kenapa kau tidak memberitahuku dulu pagi ini?”
Kalau Yuuko yang biasanya, pasti dengan senang menelepon dulu.
“Saat Onii-chan bilang kalau aku tidak lulus, besoknya pemberitahuan lulus langsung datang. Tapi Mama bilang akan lebih menarik kalau tidak memberitahu Onii-chan.”
Kalau Mama, orangnya memang begitu.
“Juga dia bilang kalau dorong tidak cukup, harus pakai tarik, seperti operasi ‘Angin Utara dan Matahari’!”
“Kau bahkan tidak mengerti apa yang dimaksud Mama.”
Sorata menghela napasnya.
Saat itu juga, Nanami yang tinggal di kamar nomor 203, muncul.
“Kanda kun, kalau tidak bangun sekarang nanti telat lho.”
Nanami sudah memakai seragam, dan siap berangkat sekolah.
Dan diluar dugaan, dia tidak terkejut melihat Yuuko yang ada di kamar.
“Sebenarnya saat liburan musim semi, dia sudah mengabariku … jadi aku sudah tahu semuanya. Tadi juga sudah ketemu kok.”
Mungkin karena Sorata menunjukkan ekspresi bingung, Nanami sudah menjawab bahkan sebelum Sorata bertanya. Sepertinya memang Nanami yang mengizinkan Yuuko masuk ke Sakurasou.
“Karena Nanami nee-san adalah penyelamat Yuuko!”
“Hmm, begitu.”
“Ngomong-ngomong, Kanda-kun.”
Nanami yang merendahkan suaranya, menatap ke belakang Sorata. Di belakang Sorata ada tempat tidur, dan Mashiro masih tertidur pulas di sana.
“B-biarkan aku bicara dulu, Shiina tiba-tiba datang ke kamarku dan langsung tertidur! Bukan dari tadi malam!”
“Aku ‘kan tidak bilang apa-apa.”
Nanami dengan aneh memalingkan wajahnya.
“Kalau tidak cepat sedikit nanti terlambat lho.”
Sorata melihat jam dinding lagi, sekarang sudah lewat dari 8:15.
“Arghh! Hoi, Shiina! Cepat bangun!”
Dia menggoyang-goyangkan pundak Shiina.
“Sorata, cepat bangun.”
“Aku sudah bangun!”
“Aah~ Bersikap seperti itu cuma ke Mashiro nee-san, tidak adil! Onii-chan, manjakan Yuuko seperti itu juga!”
Yuuko memegang lengan Sorata.
“Hari ini tidak perlu malu-malu lagi.”
Mashiro yang tertidur pulas menggumamkannya.
“Menurutku, dimanapun seharusnya kita sopan!”
“Kalau begitu, aku pergi ke sekolah dulu.”
“Aah, tunggu sebentar , Aoyama!”
Setelah sekitar sepuluh menit, Sorata berhasil membangunkan Mashiro, juga berhasil mengusir Yuuko yang akan menghadiri upacara penerimaan murid baru itu ke asrama reguler. Setelah siap berangkat, mereka pun berangkat sekolah. Penyebab mereka tidak terlambat adalah karena Nanami yang tidak berangkat lebih dulu dan membantu Sorata untuk mengganti pakaian Mashiro.
Sebelum pergi, mereka menyempatkan waktu untuk menyapa Akasaka Ryuunosuke yang merupakan penghuni kamar nomor 102 dengan cara mengirimkan email.
- Mulai hari sudah semester baru! Ayo pergi ke sekolah bersama sama!
Tapi, yang membalas emailnya bukan Ryuunosuke sendiri melainkan Maid-chan yang merupakan email responder otomatis yang dikembangkannya sendiri.
- Ryuunosuke-sama akan berganti ke mode hikikomori, tunggulah saat kita bertemu lagi. Salam, Maid-chan.
Semua itu adalah hal normal di Sakurasou.

Bagian 2
Sorata, Mashiro, dan Nanami. Mereka bertiga berjalan bersama ke sekolah yang saat ini merupakan tahun ketiga bagi mereka. Sorata di tengah, Mashiro di sebelah kanan, dan Nanami di sebelah kiri.
Menggunakan seragam seperti ini sambil berjalan ke sekolah, mengingatkan Sorata bahwa sekolah sudah benar-benar dimulai. Dan di saat yang sama, Sorata mulai rindu pada liburan musim semi yang baru saja selesai.
“Huffh.”
Sorata menghela napas.
“Hari pertama ke sekolah, kenapa seperti itu? Jangan sampai lesu begitu.”
“Memang benar, sih.”
Sambil mengangkat kepala dan melihat ke arah langit, langit yang biru dan indah itu terasa kontras sekali dengan suasana hati Sorata.
“Apa karena Yuuko?”
“Yah, sebagian, tapi … ah, sudahlah, sudah tidak apa-apa sekarang.”
Walau tidak terpikir dia bakal berhasil saat ujian masuk, tetapi saat membawa Mashiro dan Nanami pulang ke kampung waktu akhir tahun, ia sudah tahu Yuuko kalau belajar dengan giat, karena tiap hari ia berada di meja belajar. Juga walau keberuntungannya tinggi, harusnya ujian masuk SMA Suimei bukan sesuatu yang bisa dilewati dengan keberuntungan saja.
“Kalau tidak, kenapa tadi kau menghela napas?”
“Cuma merasa kalau dari awal sampai akhir aku tidak melakukan apa apa …. Dan liburan musim semi sudah berakhir begitu saja.”
Awalnya, sebenarnya ia sudah menyiapkan semangat untuk membuat game saat liburan musim semi. Tapi saat memasuki bulan April, Sorata jatuh demam, dan terus merasakan pusing di kepalanya. Di saat ia kira demamnya sudah sembuh, Mashiro yang menjaga Sorata saat demam malah ikut jatuh demam juga. Kali itu giliran Sorata menjaga Mashiro, dan liburan musim semi yang pendek berakhir begitu saja.
“Karena tidak enak badan, itu juga wajar saja.”
“Sorata begitu lemah.”
“Bukannya kau juga ikut jatuh demam saat itu!”
“Itu salah Sorata karena sudah menulariku.”
“Maaf kalau begitu.”
“Siapa suruh kau melakukan hal seperti itu.”
“jangan bicara sesuatu yang akan membuat orang lain salah mengerti!”
“Kau melakukan apa?”
Nanami menyipitkan matanya, melihat Sorata dengan penuh kecurigaan.
“A-aku tidak melakukan apapun.”
“Dengar dengar, kalian juga saling memeluk saat telanjang, ya.”
“Ma-makanya, aku ‘kan sudah menjelaskan ? Lagipula waktu itu aku sudah memakai baju!”
“Hmm, begitu ya.”
Nanami bicara dengan nada datar, tidak menerima alasan Sorata. Sepertinya lebih baik mengganti topiknya.
“Oh iya, Aoyama, bagaimana dengan keluargamu?”
Untuk meyakinkan orangtua—terutama ayahnya, Nanami kembali ke kampung halamannya saat liburan musim semi. Karena ini lah dia tidak begitu tahu mengenai soal Sorata dan Mashiro saat jatuh demam dan hal-hal lain yang terjadi antara Sorata dan Mashiro.
Di sisi lain, karena terjadi banyal hal yang membuatnya sangat sibuk, jadi Sorata pun belum sempat menanyai Nanami mengenai hubungannya dengan orangtuanya. Tidak tahu apakah hubungannya sudah agak baik dengan orangtuanya—terutama papanya.
“Yah, setidaknya mereka sudah mengakuiku.”
“Setidaknya, ya ….”
“Karena rasanya Papa belum begitu terima dengan keputusanku.”
Mungkin gara-gara teringat ayahnya, Nanami tersenyum pahit.
“Tapi, kurasa dia sudah tahu kalau aku serius. Mungkin karena aku tidak pulang ke rumah selama 2 tahun.”
“Hmm, begitu.”
“Um, aku sih dengar dari Mama. Kau tahu anime buatan Misaki-senpai yang di-upload ke internet? Yang aku bantu jadi pengisi suaranya itu, lho.”
“Ya.”
“Sepertinya Papa sudah lihat. Tapi walaupun aku bertanya kepadanya, dia tetap jawab ‘tak pernah lihat’, ‘tak tahu’, masih tidak mau mengakuinya.”
“Memang seorang ayah yang keras kepala, ya.”
“Yah, mungkin?”
“Soalnya mirip dengan Nanami.”
Mashiro yang ikut ngobrol membalasnya.
“Benar juga. Kau juga sampai pergi dari rumah karena tidak direstui.”
“… Mendengar kalian mengatakan itu tidak membuatku merasa senang.”
Wajah Nanami mulai menunjukkan bahwa dia sedang kesal.
“Tapi, yah, itu berarti orangtuamu sudah mengakuimu.”
Ini merupakan kabar baik.
“Hmm, aku kira begitu. Tapi, kalau ada hal yang dapat dilakukan diri sendiri, tetap akan aku lakukan sendiri. Aku akan terus bekerja sambilan dan tidak boleh banyak merepotkan orangtuaku.”
Benar-benar sebuah keputusan yang hebat. Bisa dengan sungguh-sungguh melakukan hal yang dia inginkan itu sangat mengagumkan.
“Aku berencana untuk bekerja sambil menabung tahun ini, siap-siap untuk tahun depan mengikuti kelas latihan yang lain lagi.”
Nanami mengatakannya dengan serius, seperti untuk menyemangati dirinya sendiri.
Dia sudah mulai melangkah, menetapkan tujuannya, dan selangkah demi selangkah mengejar tujuannya itu.
Tidak ada masalah apapun, kecuali satu hal …
“….”
“….”
Suasana yang tegang akhirnya datang lagi, dan Nanami sadar topik mulai menuju ke ‘sana’.
“Nanami, apa kau ingin meninggalkan Sakurasou?”
Tanya Mashiro tanpa ragu-ragu kepada Nanami.
Awalnya Nanami datang ke Sakurasou, itu karena dia berhutang membayar biaya asrama reguler. Karena tahun ini ia tidak perlu membayar biaya kelas latihan, juga kalau bisa dapat bantuan dari ortu, mungkin ia bisa membayar biaya asrama reguler.
Nanami tidak memiliki alasan untuk menetap di Sakurasou lagi.
“Aku sudah memutuskannya.”
Wajah yang ceria, juga suara yang penuh percaya diri.
“….”
Walaupun Sorata menunggu sambil terdiam, Nanami tidak benar-benar mengatakan apakah dia akan ‘tetap tinggal’ atau ‘meninggalkan’ Sakurasou.
Mashiro tidak bertanya lebih lanjut, Sorata juga tidak ingin terus membicarakannya. Bagaimanapun, apapun keputusannya, jika itu memang keputusan Nanami, Sorata akan menerima keputusan itu. Dia percaya kalau Nanami akan memberitahu mereka tentang keputusannya suatu saat nanti.
Saat sudah kehabisan topik, Sorata dan yang lainnya sudah sampai di SMA Suimei. Bel masuk belum berbunyi.
“Detak jantungku rasanyasemakin cepat.”
Saat sudah masuk ke dalam sekolah, Nanami menggumam sendiri.
“Nanami sedang sakit.”
“Tidak mungkin!”
Detak jantung Sorata juga bertambah cepat, jadi dia memahami perasaan itu.
Maju sedikit lagi, akan ada papan pengumuman yang menempelkan hasil pembagian kelas.
Mereka akan segera tahu siapa teman-teman yang akan menghabiskan tahun terakhir ini bersama mereka.
Berharap bisa satu kelas dengan orang yang sudah dikenal, dan bukan kelas berisi orang-orang asing. Memikirkan hal itu saja rasanya sudah cukup mengerikan.
Pembagian kelas setiap tahun selalu terasa tidak enak, itulah kenapa mereka merasa gugup.
“Semoga kita bisa terus sekelas.”
Sorata maju ke depan, dan berbicara kepada Nanami.
“Huh?”
Seperti tidak menduganya, Nanami menunjukkan muka terkejut.
“Apa Aoyama tidak ingin sekelas denganku ….”
“Bu-bukan …. Itu karena aku memikirkan hal yang sama dengan Sorata.”
Suara Nanami menjadi semakin kecil.
“Be-begitu, ya.”
“Hm, hm.”
Berbicara jujur itu memalukan juga ternyata.
“Aku harap Akasaka juga sekelas dengan kita.”
“Tapi kalau mau seluruh anggota Sakurasou sekelas …. mungkin akan sulit.”
Benar. Tidak mungkin seorang guru memasukkan semua murid bermasalah dalam satu kelas. Setelah masalah yang mereka buat saat acara perpisahan kelas tiga, seharusnya para guru jadi lebih waspada.
“Aku juga ingin sekelas dengan Sorata.”
Yang bisa berbicara pada saat saat begini dengan santai dan biasa saja mungkin hanya Mashiro sendiri.
“… Tidak, kalau Shiina tidak mungkin.”
“Kenapa?”
Mashiro terlihat bingung.
“Shiina itu jurusan seni, dan aku jurusan reguler. OK?”
“Tidak.”
“Yah, tapi bagus juga kalau benar-benar bisa sekelas.”
“Benar? Sorata juga ingin sekelas denganku?”
“Hm, hm. Soalnya bagaimanapun ini tahun terakhir kita SMA, tentu kalau kita bersama-sama akan lebih menyenangkan.”
“Ya.”
Tapi, itu merupakan keinginan yang tidak akan pernah terwujud. Sehabis mengatakannya Sorata jadi sedikit menyesal, dalam hatinya juga terasa sedikit kesepian.
Di depan Sorata,  papan pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas sudah semakin dekat.
“Hm~ aku benar-benar gugup.”
Nanami sama sekali tidak bisa tenang, seperti dirasuki sesuatu.
“Semakin ingin bersama, rasanya malah semakin tidak mungkin … dunia ini memang begitu.”
“Bicara seperti itu pada saat begini, Kanda-kun memang tidak bisa melihat situasi, ya.”
Nanami mencoba menenangkan diri untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Sorata berhenti melangkah. Mading yang berisi hasil pembagian kelas sudah di depannya.
“Baik, kalau begitu, saat hitungan tiga, ayo lihat bersama.”
“Hm, hm.”
“Satu, dua, tiga~”
Dengan teliti mereka melihat hasil pembagian kelasnya.
Mulai dari kelas 3-1.
Debar jantung saat belum menemukan namanya sendiri rasanya benar-benar tidak tertahankan. Tiap tahun selalu terasa begitu.
Tapi, rasa sedih pada tahun ini tidak terasa begitu lama.
Murid laki-laki kelas 3-1, nama pertama yang ia lihat adalah “Kanda Sorata”, dan di bagian atas terlihat nama “Akasaka Ryuunosuke”.
Tangan Sorata menggenggam mantap.
Seseorang di sampingnya menarik lengan bajunya.
Yang berdiri di sampingnya adalah Nanami, matanya terlihat seperti menangis.
“Aoyama di kelas mana?”
“Sekelas! Kita sekelas!”
Nanami langsung mengeluarkan suara yang gembira sambil meloncat-loncat seperti anak kecil.
Sorata melihat bagian murid perempuan kelas 3-1. Ternyata memang benar, bagian paling atas tertulis “Aoyama Nanami”. Mereka benar-benar sekelas.
“Ternyata memang ada hal seperti ini, ya.”
“Hmm … sepertinya keberuntungan memang kadang terjadi.”
“Ya, sepertinya begitu.”
Karena terjadi banyak hal yang tidak di duga, jadi Sorata cuma mengangguk-anggukkan kepala saat Nanami berbicara. Walau cuma hal yang kecil, tapi tetap terasa membahagiakan. Terpikir kalau rasanya ada arti yang sangat besar bahwa di dunia ini masih ada harapan.
“Jangan-jangan memang sengaja dibuat sekelas, ya.”
Kemungkinannya sangat tinggi, karena rasanya terlalu beruntung juga bisa sekelas seperti itu. Tapi apapun itu, sudah tidak penting lagi.
Bisa sekelas, itulah yang penting.
Tapi, sesuatu pasti ada sisi baik dan buruknya.
Melihat hasil pembagian kelas, mereka melihat sesuatu yang menarik perhatian.
Wali kelas.
“Aku melihat nama Koharu-sensei, apa tidak salah?”
“Aku pikir itu memang kenyataan.”
“Tapi, membiarkan orang itu menjadi wali kelas tiga, apa tidak akan ada masalah?”
“Aku rasa bakal ada masalah.”
Bahkan Nanami yang biasanya tidak membicarakan keburukan orang lain pun memberikan pendapat yang sama.
Apa dia bisa membimbing siswa dengan benar … rasanya tidak yakin.
“Shiina-sa~n”
Saat mereka bertiga baru saja ingin meninggalkan papan pengumuman, terdengar suara yang semangat dan ceria.
Fukaya Shiho yang merupakan siswi jurusan seni berlari kecil ke arah mereka. Rambut twintail-nya berayun-ayun seperti telinga binatang.
“Syukurlah, Shiina-san! Kita sekelas lagi!”
Saking senangnya Shiho sampai ia mengeluarkan suara “hesho!!” sambil memeluk Shiina.
“Jurusan seni selama tiga tahun pun pasti sekelas terus, kan.”
Karena jumlah muridnya cuma 10.
“Huwa, Kanda-kun, teganya! Kalimatmu tadi jelas-jelas merendahkan jurusan seni, tahu! Aku memintamu meminta maaf dari lubuk hatimu yang terdalam!”
“Aku juga.”
“Huh? Shiina juga?”
“Aku mau baumkuchen.”
“Kau hanya lapar!”
“Hmm.”
“Oh, kau benar-benar merasa tidak senang, ya.”
Walaupun susah menebak emosinya, tapi Sorata yakin dia sedang marah, karena saat ini Sorata sudah mulai bisa menebak emosi Shiina.
“Aku juga ingin sekelas dengan Sorata.”
Mashiro sekarang terlihat kesepian.
“Nanami curang.”
“A-aku?”
“Jadi, Kanda-kun, minta maaf dengan sungguh-sungguh sekarang.”
“Maaf.”
Ia sudah tidak tahu ia meminta maaf untuk apa lagi.
Mashiro dengan benci melihat papan pengumuman yang berisi hasil pembagian kelas.
Dan saat ini bel masuk sudah berbunyi.
“Kita harus cepat masuk kelas.”
Mereka mulai berjalan masuk ke kelas.
“aku ingin sekelas dengan Sorata.”
Saat ini, Mashiro mengatakannya dengan suara yang tidak jelas dan aneh.

***

Setelah menaruh barang di kelas, semuanya langsung terburu-buru menuju ke stadium untuk upacara pembukaan semester baru.
Mendengar kata sambutan dari Kepala Sekolah, Sorata menguap sekitar tiga kali.
Sehabis selesai upacara pembukaan semester baru, di meja sudah ada undian tempat duduk, dan siswa mengambilnya untuk menentukan tempat duduknya.
Sorata duduk di barisan dekat jendela urutan nomor dua. Tidak tahu karena beruntung atau apa, tempat duduk Nanami berada di samping Sorata.
“Kenapa hanya hal seperti ini yang berjalan lancar, ya.”
Nanami menghela napas ketika melihat wajah Sorata.
“Apa aku melakukan hal yang salah?”
“Mungkin ini memang berkah dari Tuhan untukku.”
“… Kau bicara apa sih?”
“Tapi Kanda-kun masih seperti itu, mungkin bukan berkah Tuhan juga.”
“Bisakah setidaknya aku diberitahu kenapa aku dikomentari seperti itu?”
“Tidak mau, ah.”
Ditolak dengan cantik.
Walaupun begitu, Nanami tetap terlihat senang, dan sebelum wali kelas Koharu-sensei masuk ke kelas, ia juga sempat mengobrol Takasaki Mayu dan Honjou Yayoi yang sekelas lagi.
“Baik~ silahkan kembali ke tempat duduk masing masing~”
Koharu-sensei yang mengajar sastra Jepang mengatakan hal itu dengan nada santai dan malas.
“Ah, masih ada satu tempat duduk kosong, siapa yang belum mengambil undian?”
Siswa yang berada di kelas sudah duduk semua, dan ada satu bangku kosong di belakang Sorata. Siapapun pasti akan iri pada orang yang bisa duduk di tempat paling populer itu. Lucunya, itu merupakan tempat duduk Akasaka yang sejak hari pertama sudah tidak masuk. Bisa saja bangku itu kosong selama satu semester … sayang sekali.
“Ah~ Akasaka-kun, ya? Tidak dikira undian yang sisa itu merupakan tempat duduk yang paling enak. Kalau begitu, maaf sudah menunggu lama. Selanjutnya, seperti biasa, aku akan membagikan lembar survei keinginan karir saat lulus pada tahun ketiga ini.”
Kertas yang kecil dari depan dioper sampai ke belakang.
“Minggu depan akan ada wawancara perorangan berkaitan dengan survey itu, jadi jangan tulis hal-hal konyol seperti “masa depanku terlalu cerah sampai aku tidak bisa melihatnya dengan jelas”, mengerti?”
Orang yang akan menulis seperti itu, sepertinya hanya alien saja.
Sorata mengeluarkan pensil ketik dari tasnya dan tanpa ragu langsung mengisi survei keinginannya, “Universitas Suimei Jurusan Seni, Departemen Media Art”.
Dibandingkan tahun lalu, sekarang sudah berbeda.
Dulu karena tidak tahu mau menulis apa di kertas kecil ini, jadi berpikir lama sekali. Tapi berkat hal itu, sekarang ia sudah menemukan tujuannya.
Nanami yang berada di sampingnya juga dengan cepat sudah selesai mengisinya, di kertasnya tertulis “Jurusan Teater”.
“Kanda-kun.”
Sambil mengangkat kepala, ia melihat Koharu-sensei berdiri di depannya.
“Ada apa?”
“Dimana Akasaka-kun?”
“Dia sudah masuk mode anti-sosial. Kalau mau bertemu dengannya lagi, mungkin semester depan.”
Laki-laki itu benar-benar tidak hadir satu semester penuh tahun lalu.
“Kalau begitu, bisakah Kanda-kun membantuku menanyakan pilihan karirnya?”
“Apa tidak ada pilihan untuk Sensei mampir ke Sakurasou dan menanyakannya sendiri?”
“Aku berbeda dengan Chihiro, bukan guru yang “berdarah panas” seperti dia, dan aku juga sibuk.”
“Sibuk mencari jodoh?”
“Nah, itu kau mengerti.”
Koharu-sensei sama sekali tidak merasa malu.
“Semoga sifat Koharu-sensei yang yang tidak tahu malu ini bisa menular sedikit ke aku.”
“Tanyalah Chihiro kalau begitu. Nih, ambillah, lembar survey karir Akasaka-kun.”
Setelah itu Koharu-sensei langsung kembali ke meja guru.
“Yah sudahlah, tidak masalah juga.”
Walaupun merasa Koharu sebagai guru yang agak aneh, tapi Sorata juga ingin sekalian bertanya ke Akasaka mengenai beberapa hal.
Dia mengeluarkan handphonenya dan mengirim email.
----- Akasaka, apa kau di sana~
----- Ada apa?
Balas Akasaka lewat email.
----- Pokoknya, tahun ini kita sekelas lagi. Aoyama juga.
----- Memang sebuah email yang tidak penting, ya.
----- Aku tahu kau akan berkata begitu. Ngomong-ngomong, survei keinginan karirmu saat lulus mau diapakan? Wali kelas kita Koharu-sensei memintamu mengumpulkannya.
----- Tulis saja Jurusan Perancang Program, lalu kumpulkan.
Gurunya seperti itu, muridnya juga sama saja. Memang cocok, ya.
----- Menghubungiku hanya untuk hal itu?
----- Tidak, aku juga ingin bertanya beberapa hal.
----- Apa? Bilang saja.
----- Aku berharap kau mau mengajariku tentang merancang program. Aku tidak begitu mengerti buku tentang komputer yang kau berikan itu, di buku itu tidak ada sama sekali kata tentang “game”!
Pemrograman komputer, program membaca karakter C … semacam itu yang membuat orang bertanya-tanya “bagaimana mungkin hal seperti ini menarik?”
----- Oh, kau baru sadar sekarang.
----- Jadi selama ini kau menipuku!
----- Ini berarti Kanda sudah mengerti sedikit tentang pemrograman.
----- Apa aku sedang dipuji?
----- Aku tidak memujimu.
----- Sudah kuduga!
----- Apa kau sudah menyerah membuat proposal untuk “Let’s Make a Game!”?
----- Aku akan terus melanjutkannya, kalau ada saran yang bagus aku akan ikuti. Aku akan lebih belajar prosesnya dan tidak terlalu terpaku pada hasil.
----- Aku mengerti. Sekarang, kau ingin platform apa?
----- Aku ingin menggunakan Creator’s Family, bagaimana menurutmu?
Kalau ingin membuat sesuatu, lebih baik bukan mobile game ataupun game PC, tapi game konsol, dan juga harus menyesuaikan pada konsol zaman sekarang.
Creator’s Family adalah aplikasi untuk membuat game yang disediakan secara gratis, sangat cocok untuk Sorata. Apalagi, aplikasi itu memiliki tempat para pembuat game mengunggah rancangannya untuk diuji oleh orang lain.
----- Mau membuat game tipe apa?
Ia sudah memikirkan ini sebelumnya.
----- Game tipe shooting.
----- Jadi itu, setidaknya kau memang sudah membaca buku yang sudah aku berikan.
----- Yah, kalau tidak mempersiapkan diri dengan mempelajari dasar-dasarnya, akan susah untuk bicara denganmu.
Dari sekian buku Akasaka, ada satu buku yang menyinggung tentang pembuatan game.
----- Mengendalikan objek yang kompleks, menggerakkan karakter dan menembak menggunakan UI (User Interface), metode tentang terkena atau tidaknya peluru, pola pikir musuh CPU … itu adalah tipe game yang menggunakan banyak teknik dasar pemrograman game. Ditambah lagi, walaupun skala kecil, tapi sesuatu yang layak dimainkan masih bisa dibuat. Sebagai game yang dibuat untuk tujuan belajar, itu sangat cocok.
----- Dan terus terang, apa diriku yang sekarang dapat membuatnya?
----- Kau sudah mengerti penggunaan [if] dan [for] ‘kan?
----- Hmm.
Itu merupakan syarat utama.
----- Cukup dengan memahami hal itu, kau sudah bisa membuat sebuah game.
----- Apa benar begitu?!
----- Tunggulah tiga hari. Aku akan menyiapkan program utama yang bahkan Kanda bisa menggunakannya dengan mudah untuk membuat game.
----- Apa kau berencana untuk membuat sesuatu yang sangat hebat?
----- Cuma program yang kosong. Tapi aku akan mengatur fungsi untuk objek gambar, pengontrol, BGM , SE, dan lain-lain. Aku akan membuat mereka berfungsi dengan mudah.
Sorata masih tidak terlalu mengerti apa yang dia katakan.
----- Intinya?
----- Intinya yaitu Kanda bodoh karena belum mengerti apa yang aku katakan.
----- Aku tidak mau mendengar inti seperti itu!
----- Program yang hanya menggunakan loop utama, menggunakan perintah sederhana untuk menampilkan gambar dan memainkan musik.
----- Aku rasa aku mengerti dan tidak mengerti di saat yang sama.
----- Kalau begitu tunggu saja sambil memikirkan desain game yang akan kau buat nanti.
----- Ok. Apakah tidak apa-apa Akasaka membantu sampai sejauh ini? Sepertinya bakal melompati banyak langkah.
Dan ia juga merasa kalau terlalu banyak dibantu Akasaka, maka tidak bisa disebut membuat game sendiri.
----- Kanda tidak ingin menjadi programer kan?
----- Yah, begitulah.
----- Maka tidak masalah. Untuk pengetahuan dasar seperti mesin game atau penggunaan aplikasi, mengerti programnya saja sudah cukup, sisanya akan aku serahkan pada Maid-chan.
----- H-halo, Akasaka!
Sorata dengan cepat mengirim email, dan tak sampai satu detik sudah muncul balasan.
----- Ciao, Maid-chan di sini!
----- Seenaknya sekali!
----- Kalau begitu, biar saja saya yang jelaskan pada Kanda-sama bagaimana situasi di industri game akhir-akhir ini.
----- Kenapa tiba-tiba jadi serius!
----- Apakah Sorata-sama tahu apa itu mesin game?
----- Mesin sebuah game.
----- Benar! Seperti itu! Sorata-sama pintar sekali! Tidak, apa kau mau saya pukul?!
Bisa mengejek bahkan di saat seperti ini, Maid-chan memang menakutkan. Kinerjanya benar-benar tingkat tinggi.
----- Jika memakai kata-kata yang bahkan dapat dimengerti oleh Sorata-sama, bayangkan Tkool4 yang digunakan oleh banyak industri.
----- Hmm, kalau begitu sudah bisa dibayangkan.
----- Pembuatan game yang dulu adalah dengan meminta programmer menulis kode program untuk mengurus berbagai hal. Tapi akhir-akhir ini mesin game yang baru diciptakan untuk bisa menangani semuanya, tentu sebuah kinerja kerja yang luar biasa. Terutama untuk industri game luar negeri, ini merupakan cara kerja yang paling bagus. Jadi, pekerjaan programmer seperti Ryuunosuke-sama tidak hanya mengikuti langkah buku rancangan seperti “menaruh di sini” atau “bergerak seperti ini”, tapi perkejaan utama seperti mencampur proses perhitungan fisik operasi kontrol pada mesin game dan juga perbaikannya. Lalu, dengan menggunakan mesin game yang “mengonfigurasi musuh”, cara berpikirnya, juga kemampuannya. Dengan kata lain, orang yang membuat dan mengatur ‘panggung’ adalah seorang “Level Designer”. Keuntungan dari cara kerja seperti ini, selain bisa meningkatkan kinerja kerja yang luar biasa, orang yang menulis desain juga bisa dengan lebih mudah membuat gamenya. Semisal jika memperhatikan cara berpikir perancang dan programmer, tidak peduli dokumen proposalnya seperti apa, atau menjelaskan sedetil apa, pasti akan ada sesuatu yang tidak tersampaikan. Situasi yang paling buruk itu adalah ketika si perancang dan insinyur bertengkar seperti “kenapa kau tidak mengerti sih?” atau “kalau begitu coba buat saja sendiri!”.
Benar, memang besar kemungkinan hal seperti itu akan terjadi. Kesulitan saat membuatnya, kecemasan saat presentasi, Sorata sudah merasakannya saat mengumpulkan hasil rancangan “Let’s Make a Game!”.
----- Jadi, berdasarkan percakapan yang tadi, aku sudah bisa menjadi seorang Level Designer?
----- Ya, benar. Kalau ingin mengerjakan semuanya hanya sendiri, tidak ada cara lain selain harus sehebat Ryuunosuke-sama. Kalau tidak, tidak mungkin bisa mengerjakan sendiri, kau tahu? Intinya, itu hal yang tidak mungkin untuk Sorata-sama!
Percakapan dipotong dengan paksa. Memang, kalau ingin sehebat Ryuunosuke, jiwanya mungkin sudah mati menderita. Dari percakapannya dengan Ryuunosuke sampai sekarang, tentu saja yang bisa membuat AI hebat seperti Maid-chan bukanlah manusia biasa.
----- Terima kasih Maid-chan, aku akan menunggu Akasaka tiga hari lagi sambil memikirkan desain gamenya.
----- Sorata-sama yang bersikap patuh seperti ini boleh juga.
----- Mendengar itu tidak membuatku senang sedikit pun!
Walaupun membalas email berkali-kali, maidd chan tetap tidak membalas.
“Tidak disangka aku dipermainkan oleh sebuah AI …”
Pokoknya, yang bisa dikerjakan, dikerjakan saja dulu. Sorata menulis survei keinginan karir milik Ryuunosuke dengan “Jurusan Perancang Program”.
“hei, Kanda-kun.”
Nanami yang berada di samping Sorata memanggilnya.
“Kau belum bertanya universitas keinginan Mashiro setelah dia lulus?”
“Huh? Ah, iya, aku belum bertanya.”
Kalau Mashiro yang jenius dalam dunia seni, tidak peduli berapapun nilainya, dia mungkin bisa masuk ke Universitas Suimei dengan mudah.
Juga, karena ulangan tengah semester dan akhir semesternya mendapat nilai nol, mungkin dia akan masuk ke Universitas Suimei dengan mengandalkan bakat lukisnya itu ….
Bakat lukisnya Mashiro memang sangat hebat. Universitas pun pasti berharap Mashiro untuk mendaftar ke sana.
Tapi, melihat Mashiro yang menghabiskan waktu setahun ini untuk membuat komik, Sorata tidak yakin Mashiro akan memilih untuk masuk ke universitas. Pasti dia lebih memilih menghabiskan waktunya untuk komik.
Sekali lagi Sorata mengeluarkan handphonenya dan mengirim email ke Mashiro.
----- Bagaimana dengan pilihan universtasmu?
Tapi, sebelum mengirim email itu, Sorata berpikir lagi, dan akhirnya ia menghapusnya.
Ia melakukan itu karena ia menunggu kesempatan berikutnya untuk bertanya kepada Mashiro.
Baru saja ia berpikir begitu, bel berbunyi menandakan berakhirnya jam wali kelas.
“Baiklah~, kalau begitu hari ini sampai sini saja~”

Bagian 3
Setelah upacara pembukaan dan rapat kelas selesai, Sorata, Mashiro, dan Nanami tidak segera pulang ke Sakurasou. Mereka membeli makan di toko yang ada di dekat situ dan makan di kantin yang tidak ada muridnya.
Itu untuk menghadiri upacara penerimaan Yuuko yang diadakan jam 1:30 nanti. Karena orangtua Sorata tidak bisa hadir, maka demi Yuuko Sorata terpaksa mewakili orangtuanya untuk menemani Yuuko.
Ia masih ingat kejadian waktu itu di upacara perpisahan sampai mereka diusir. Tapi, karena sekarang tujuannya untuk menemani adiknya, jadi ia tidak terlalu takut hal itu terjadi lagi. Dengan santai Nanami dan Mashiro juga mengikutinya.
Walau mereka mengikuti upacara pembukaan diselimuti perasaan gugup, tetapi tetap berjalan lancar.
Saat upacara pembukaan sudah berjalan setengahnya, seorang murid perempuan bernama Hase Kanna maju ke depan untuk memberikan kata sambutan.
Sikapnya yang tenang tetapi terlihat dewasa itu, apabila dibandingkan dengan Yuuko yang tidak bisa diam dan seperti anak kecil, jelas berbeda sekali baik segi sifat, sikap, ataupun umur.
Sambil mendengar kata sambutannya, Sorata merasa kasihan pada Yuuko.
Selain itu tidak ada situasi yang beda dari biasanya. Upacara pembukaan berjalan dengan lancar.

“Aku mau pulang ke Sakurasou bersama Onii-chan!”
Setelah berhasil mengusir Yuuko yang ribut karena tidak mau ke asrama reguler, mereka bertiga pergi ke distrik pembelanjaan untuk membeli bahan makan malam.
Di tempat duduk itu terdapat empat orang, yaitu Sorata, Mashiro, Nanami, dan satu orang lagi …. Orang itu bukanlah Chihiro-sensei, juga bukan Akasaka Ryuunosuke yang tinggal kamar nomor 102.
Yang sedang makan dengan nikmat itu adalah Mitaka Misaki yang dulunya tinggal di Sakurasou kamar nomor 201. Sebenarnya nama keluarganya yang dulu adalah Kamiigusa. Ia lulus dari SMA Suimei pada bulan Februari dan membuat rumah di samping Sakurasou. Alien yang menikah dengan Mitaka Jin yang merupakan teman masa kecilnya itu, saat ini sedang bersekolah di Universitas Suimei jurusan seni.
Walaupun sudah lulus sekolah, Misaki tetap datang tiap hari ke Sakurasou untuk makan malam dan bermain game dengan Sorata.
Awalnya ia kira dengan Misaki yang sudah pindah, Sakurasou akan terasa sepi. Tapi ternyata tidak bedanya seperti dulu. Ia berharap suasana hati yang sedih saat perpisahan dulu dapat ia tarik kembali.
Suasana hati seperti ini, tidak mungkin Misaki akan sadar.

“Aku mau menikmati makan malam tetangga~~!”
Sambil mengatakan itu ia merebut sepotong daging goreng dari piring Sorata.
“Ah~~ Makan malamku~~!”
Daging goreng itu dengan cepat menghilang di dalam mulut Misaki.
“’Makanan pembuka malam Kouhai-kun sudah aku rebut!”
“Aku mau protes kalimatmu yang tadi!”
Sorata dengan keras mengatakannya, sampai sampai mengeluarkan beberapa butir nasi yang sedang ia makan.
“Kanda-kun, jangan mengeluarkan nasi dari mulutmu sambil melakukan pelecehan seksual.”
Nanami memandangnya dengan kesal.
“Yang melakukan pelecehan seksual ‘kan bukan aku.”
“Ambil saja ‘makanan pembuka malam’ku dan kasih ke Sorata.”
“Bisa tidak jangan ciptakan istilah yang aneh-aneh?”
“Ka-Kanda-kun! Me-mengatakan ‘makanan pembuka malam’ dengan santai seperti itu.”
“Kan sudah aku bilang, bukan aku!”
“Nanami-chan, wajahmu jadi merah lho! Pasti sedang memikirkan yang tidak-tidak ya!”
“I-itu karena Misaki-senpai mengatakan hal yang aneh-aneh!”
“Nanami, kalau kau menjawab seperti itu berarti kau memang sedang memikirkan yang tidak-tidak, ya ….”
“Ma-mana mungkin aku berpikir yang tidak-tidak!”
Di saat mereka sedang bertengkar hebat, Mashiro memindahkan sayuran yang tidak ia suka ke piring Sorata. Sorata tidak begitu terkejut, Mashiro memang pilih-pilih makanan. Daging goreng itu juga, Mashiro tidak mau makan bagian luarnya, dia hanya makan isinya. Padahal ia tidak sedang diet.

“Ah, Kouhai-kun, ada butiran nasi di bawah mulutmu.”
Misaki dengan nikmat memakan dagingnya sambil menunjukannya.
Sorata mengikuti arah telunjuk Misaki, memindahkan tangan ke mulut bagian kanan bawahnya, tapi tidak ada butiran nasi yang dikatakan Misaki.
“Salah salah, di sini, Kouhai-kun!”
Misaki menunjukannya lagi dengan jarinya.
“Aku bantu kau mengambilnya.”
Tangan Misaki mengambil butiran nasi yang ada di mulut bagian kiri bawah Sorata dan tanpa ragu memakannya.
“I-itu … Misaki-senpai …”
“Ada apa, Kouhai-kun~”
Misaki menggoda Sorata dengan mendekatkan wajahnya. Bajunya yang sedikit terbuka memperlihatkan dadanya yang ‘berisi’.
Sorata dengan gugup langsung mengalihkan pandangannya.
Mashiro dan Nanami juga menatap Sorata, kelihatan kesal sekali. Sorata sadar bahwa mereka melihatnya dengan pandangan mata yang tidak menyenangkan.
“Se-senpai sudah menikah, dan aku juga seorang laki-laki, jadi tolong jangan menggodaku lagi!”
Tidak tahu apakah karena sudah menjadi mahasisiwi atau karena sudah menikah, Misaki-senpai yang sekarang terlihat lebih dewasa.
Walaupun Sorata sudah terbiasa keadaan seperti ini, tetapi saat Misaki mendekat, Sorata tetap tidak bisa menahannya.
Dan juga kalau diperhatikan dengan seksama, bibirnya terlihat seksi. Kulitnya juga terlihat putih dan halus.
“Hn? Jangan-jangan Misaki-senpai pakai make-up?”
“Kouhai-kun! Akhirnya kau sadar! Itu karena aku sudah dewasa lho! Bagaimana? Cantik ‘kan!”
“Misaki, cantik sekali.”
“Misaki-senpai … tidak, walaupun tidak pakai make-up pun sudah cukup cantik kok.”
Mashiro dan Nanami memberikan pendapat mereka.
Nanami dulu selalu memanggil Misaki dengan sebutan ’Kamiigusa-senpai’. Tapi karena menikah merubah nama marga Misaki, jadi Nanami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan ’Misaki-senpai’, karena kadang ia salah menyebutkan antara ’Mitaka’ dan ‘Kamiigusa’.
“Lain kali Mashiro dan Nanami juga ikut pakai make-up, bagaimana?”
Setelah mendengar saran dari Misaki-senpai, entah kenapa Mashiro dan Nanami langsung memandang Sorata.
“Ke-kenapa?”
“Tidak.”
“Tidak.”
Keduanya menjawab dengan bersama-sama, malah menunjukkan seperti memang ada apa-apa. Saat Sorata ingin bertanya lebih lanjut, Mashiro langsung mengubah topik.
“Ngomong-ngomong, Sorata.”
“Hm?”
“Ada mulut di wajahmu.”
“Kalau tidak ada bagaimana!”
“Sini, aku bantu kau melepaskannya.”
“Mulutku tidak bisa dilepaskan semudah itu!”
“Sorata.”
“Tunggu dulu, mata dan hidung juga tidak bisa dilepaskan! Nanti aku akan menangis!”
Sorata mengatakannya lebih dulu dan Mashiro berpikir lagi.
“Alis mata?”
“Sayangnya itu bisa, tetapi itu akan merusak citraku!”
“Oh.”
Sepertinya Mashiro juga ingin melakukan hal yang di lakukan Misaki tadi. Tetapi, kalau Mashiro melepaskan butiran nasi seperti tadi, otak Sorata pasti akan tiba tiba terbakar dan dan meledak, dan dia tidak akan bisa berpikir dengan jernih. Ia hanya bisa menahannya, walaupun Mashiro memandang Sorata dengan mata polos itu ….

“Yo~~ Terima kasih atas makan malamnya~ fiuh, kenyang~~.”
Misaki yang sudah kenyang terlihat puas.
“Oke!”
Misaki mengambil tasnya yang berada di bawah meja, sepertinya dia akan mengeluarkan beberapa barang.
“Sini, Nanami-chan, ini bagianmu.”
Benda yang diberi Misaki ke Nanami itu merupakan tumpukan kertas yang terdiri dari sepuluh lembar lebih, di covernya tertulis ‘Narcissus, Lily of The Valley’.
Itu merupakan nama anime yang sudah dikerjakan tahun lalu oleh Misaki. Naskahnya ditulis oleh Jin yang merupakan teman masa kecil sekaligus suaminya.
Dengan kata lain, ini adalah sebuah naskah.
“Proses gambar sudah selesai?”
Sorata bertanya, dan Nanami sibuk membacanya.
“Hanya tinggal sedikit efek gambar dan perbaikan. Kira-kira satu atau dua bulan lagi bisa selesai.”
“Dengan kata lain, tahap selanjutnya tinggal mengisi suara?”
“Benar!”
Misaki mengepalkan tangannya dan berdiri.
“Aku tidak bisa menerima ini.”
Dibandingkan dengan Misaki yang santai dan bersemangat, Nanami malah menjawabnya dengan serius.
“Kenapa, Nanami-chan?”
“Aku yang sudah gagal di audisi sebelumnya, tidak boleh bergantung pada orang lain dengan alasan mengenalnya dan ikut partisipasi di hasil karya Misaki-senpai. Banyak orang yang berharap banyak pada karya Misaki-senpai, dan juga pasti banyak yang ingin mengisi suara untuk karyanya.”
“Nanami-chan, jangan salah paham! Kesepakatanku dengan Jin memutuskan bahwa kali ini kami akan memilih tokoh utama laki-laki dan perempuan dengan cara audisi~! Jadi, sekarang naskahnya tidak sama dengan versi aslinya, tapi masih merupakan naskah untuk audisi nanti.”
“….”
Nanami terkejut dan membuka matanya dengan lebar, sambil menggigit bibir bagian bawahnya dan menundukkan kepala.
“Maaf, Nanami-chan. Bukannya aku memaksamu untuk mengisikan suaranya. Apa kau menjadi kecewa? Apa kau tidak ingin mengikuti audisinya?”
“… Tidak, malah sebaliknya.”
Nanami memandang meja makan dengan tidak mengedip sekalipun, mengatakannya dengan gemetar.
“Terima kasih, Misaki-senpai … Sudah memberi kesempatan seperti ini.”
Dia berbalik lagi menghadap Misaki, dan berterima kasih dengam mata tertutup.
“Untuk audisi heroine nanti kira-kira akan ada lima puluh orang, apakah tidak apa-apa?”
Yang akan dipilih untuk pengisi suara tokoh utama perempuannya nanti hanya satu orang, artinya tingkat keberhasilannya sangat rendah. Selain satu orang yang lolos nanti, yang lain pasti akan kecewa dan sedih.
“Tidak apa-apa.”
Nanami dengan tekad yang serius menjawabnya, tidak punya keraguan sedikitpun. Karena dia sudah memutuskan akan melangkah lagi. Melihat sikapnya itu, membuat Sorata ingin menyemangatinya.
“Baik~~ kalau begitu, ini bagian Kouhai-kun.”
“Huh?”
Entah kenapa, Misaki juga menaruh naskah di depan Sorata.
“Karena audisinya diperkirakan akan diadakan saat golden week nanti, jadi Kouhai-kun akan jadi tokoh utama laki-lakinya, semangat kalian berdua!”
“Kenapa harus menyeretku ke dalam ini juga! Skill-ku sangat buruk, mana mungkin aku jadi lawan latihannya!”
Walaupun dulu sudah pernah menjadi lawan latihan Nanami, tapi karena waktu itu skill Sorata buruk, ia malah ditertawakan. Bagaimanapun, Sorata pasti merasa sedikit trauma.
“Tidak masalah! Karena tidak perlu skill akting!”
Ia sama sekali tidak mengerti apa maksud Misaki.
“Kalau menjadi sebuah karakter, setidaknya perlu skill akting ‘kan?”
“Anime kali ini tidak asing dengan kalian loh~~ karena, isinya kali ini tentang kisah cinta anak SMA yang memalukan dan menyenangkan!”
“Hm, begitu.”
Dulu pernah memang pernah lihat yang seperti itu, perasaannya memang begitu, ia masih bisa ingat dengan jelas perasaan seperti apa itu.
“Tidak, sekarang bukan saatnya memahaminya.”
“Kalau begitu, aku bantu kalian, coba saja dulu bagian awalnya.”
“Kau mendengarkanku tidak!”
Ok, camera on!
“Ti-tidak ….”
Nanami tidak bisa menahannya, ia menunjukan wajah yang terpaksa.
Tidak ada cara lain, pokoknya coba saja sekali, dan Misaki-senpai akan menyadari kalau aku ini tidak cocok jadi lawan latihannya. Sorata berpikir begitu sambil memberi kode ke Nanami. Dan Nanami mengangguk kepalanya pelan-pelan. Pokoknya coba saja dulu.
Mashiro dengan penasaran menatap mereka berdua.

Dialog pertama dimulai dari Sorata.
“‘Kau tiba-tiba ingin memberitahuku sesuatu … apa itu?’”
Sorata membacanya dengan kaku.
“‘Hn, sesuatu yang lumayan penting … mungkin.’”
Nanami yang sudah belajar dua tahun seni akting memang hebat. Hanya perlu waktu sebentar, suaranya langsung menjadi beda.
“….”
“‘Aku selalu ingin mengatakan ini.’”
Dapat terdengar suara napasnya.
“‘Begitu, ya ….’”
“‘Hn, aku …’”
Terpengaruh oleh aktingnya, jantung Sorata berdetak dengan cepat.
“….”
“‘Aku selalu, selalu …’”
Apa ini … perasaan apa ini yang ada di dalam hati? Serasa tidak bisa kabur.
“…!”
Sorata menelan ludah. Dialog yang akan dikatakan Nanami selanjutnya sudah tertulis di naskah. Dan tiba-tiba Sorata berkeringat.
Sebelum Nanami mengatakannya, Nanami menarik napas.
“‘Aku selalu menyukaimu. Sangat menyukaimu.’”
Punggungnya terasa dingin, tubuhnya terus bergetar. Sangat susah untuk menghentikannya.
“….”
“….”
Sisa satu dialog lagi. Setelah giliran Sorata, latihan ini akan berakhir.
“‘Aku juga, merasakan perasaan yang sama. Aku juga … selalu menyu-nyu-nyu …’”
Yang tertulis di naskah hanya ‘aku juga selalu menyukaimu’. Tapi, kalimat ini entah kenapa tidak bisa ia katakan. Walau cuma akting, tapi tekanan saat mengatakan ‘menyukaimu’ kepada perempuan, tidak bisa diremehkan.
Sorata sedikit penasaran dengan pandangan Mashiro. Tubuh dan otak sudah mulai memanas, tidak main-main, bahkan sepertinya akan mengeluarkan asap.
“‘Nyu-nyu-nyu-nyu-nyu …’ Mana bisa aku katakan, ini terlalu memalukan!”
Sorata yang rasa malunya sudah sampai batasnya langsung berjongkok sambil menutup mukanya.
“Tu-tunggu sebentar, Kanda kun! Ti-tidak perlu malu sampai seperti itu juga. A-aku juga mulai merasa malu.”
Nanami memutar kepalanya ke arah lain, tangannya mengipasi wajahnya yang sudah merah.
“Me-memang sih!”
Padahal sudah tahu hanya latihan, tetapi aku tidak bisa serius. Tanpa sadar Nanami memandang mata Sorata, lalu dengan panik menoleh ke arah lain lagi.
Mashiro dengan sedikit tidak senang berkomat-kamit sendiri.
“Kouhai kun, pakai lebih banyak perasaan! Kau menyukainya ‘kan!”
Misaki menunjuk Nanami. Jantung Nanami langsung berdetak dengan cepat.
“Huh? A-aku?”
“Te-tenangkan dirimu, Aoyama! Ya-yang dia bilang itu hanya karakternya saja, karakter!”
“Be-benar juga.”
Seperti untuk menenangkan diri sendiri, Nanami menarik napas dalam-dalam.
“Apa arti suka bagi Kouhai-kun merupakan sesuatu yang membosankan!?”
“Tolong jangan terlalu kasar! Aku ini orang asing! Alien yang bahkan tidak merubah penampilan sekalipun!”
“Nanami-chan terlalu terikat dengan naskahnya, coba bersikap lebih alami lagi.”
“Maksudnya ….”
“Misalnya, anggap saja kau sendiri yang sedang menyatakan cinta ke Sorata!”
“Heh?! Se-sendiri? A-aku menyatakan cinta ke Ka-Kanda kun?”
Dengan sekejap wajah Nanami kembali memerah.
“Kouhai-kun juga! Bukankah sudah aku bilang untuk tidak mengubahnya? Habisnya Kouhai-kun ‘kan cocoknya jadi orang asing!”
“Tidak perlu menambahkan kata orang asing juga ….”
Celaka asalnya dari mulut, jadi harus hati-hati.
“Baik, kalau begitu, coba sekali lagi!”
“Haah!”
“Heh~~!”
Sorata dan Nanami mengeluarkan suara jeritan bersama-sama.
“Jalan akting itu sebenarnya sangat sulit loh! Kalau mengerti, sini, mulai~~!”
Misaki menepuk tangannya.
Dalam sekejap suasananya langsung berubah menjadi hening dengan rasa gugup.
Sekarang tinggal Sorata yang belum mengatakan dialognya. Di lihat dari situasinya sekarang, sepertinya ini akan selesai hanya kalau ia terpaksa melakukannya. Walaupun sebenarnya Sorata tidak perlu latihan kemampuan akting, tapi bagi Nanami itu merupakan sebuah kesempatan yang bagus … walau tidak seberapa, tapi kalau ada yang bisa ia bantu, Sorata akan berusaha.
Sorata memutuskan, pertama-tama harus menyadari yang diucapkan oleh Misaki. Ia pun mencoba untuk mengendalikan suasana hatinya.
Perasaan yang tidak dibuat-buat, suasana hati yang sebenarnya …
“‘Ka-kau bilang tiba-tiba ada yang ingin disampaikan … ha-ha-ha-hal apa itu?’”
Menyadarinya seperti malah membuatnya jadi lebih parah dari sebelumnya.
“‘Hn,hn, hal yang lumayan penting … mu-mungkin.’”
Sampai-sampai Nanami juga mulai salah.
“….”
“‘A-a-a-a-aku, aku … se-selalu ingin memberitahukan hal ini kepadamu!’”
Nanami membuat kesalahan lagi, dan suaranya menjadi aneh sekarang.
“Baik, stop! Sampai sampai Nanami-chan ikut salah!”
“Mi-Misaki senpai seharusnya tidak bilang ‘sedang menyatakan cinta ke Sorata’!”
Wajah Nanami memerah karena malu, kelihatannya seperti hampir menangis.
“Sepertinya perlu diberi latihan khusus.”
Misaki menaruh kedua tangannya di pinggang, sangat setuju dengan apa yang ia katakan tadi.
“Sorata dengan Nanami sepertinya sangat senang.”
Mashiro sepertinya juga sudah mulai merasa bosan.
“Kalau boleh, aku juga ingin mengatakannya jika aku menjadi kau.”
“….”
“Shiina? Kenapa kau marah?”
“Tidak apa-apa.”
Walau berbicara begitu, tapi pandangan matanya menunjukan bahwa dia sedang kesal.
Di saat yang sama, salah satu penghuni Sakurasou pulang.
“Waktunya pas ya, berarti semuanya sudah berkumpul.”
Yang muncul di tempat makan bersamaan dengan suaranya adalah Chihiro-sensei, pengurus Sakurasou yang hidup bersama Sorata dan yang lain. Sekarang dia berumur 29 tahun dan 27 bulan … sebenarnya berumur 31 tahun.
Tambah lagi, sebenarnya belum berkumpul semua karena Ryuunosuke masih di kamar. Tetapi Sorata tidak mempunyai tenaga yang lebih untuk memberitahukannya, latihan naskah barusan menghabiskan banyak tenaga … Nanami juga sepertinya sama, ketika Sorata melihat matanya, ia langsung menolehkan kepalanya ke arah lain. Mashiro juga masih terlihat kesal sampai sekarang.
Chihiro-sensei sepertinya menyadari suasana aneh yang ada di dapur ini.
“Kenapa? Apa baru saja terjadi sesuatu yang mengerikan?”
“Ma-mana ada!”
Nanami langsung membantahnya.
“Tidak buruk. Coba lakukan lagi.”
“Tadi Aoyama sudah menjelaskan ‘kan!”
“Lalu, Sorata merasa tersiksa kan?”
“Bagaimana mungkin?”
“Karena kalau melihat dirimu yang sedang menderita, aku akan merasa sedikit senang.”
Seharusnya aku tidak tanya lebih lanjut tadi ….
“Tolong jangan merubah penderitaan seseorang menjadi sebuah perasaan senang!”
“Aku tolak.”
“Ditolak?!”
“Kanda, di dunia ini ada dua jenis manusia.”
“Maksudnya?”
“Yang satu akan merasa sakit hati jika melihat orang lain sedang menderita, dan yang satu lagi akan merasa senang jika melihat penderitaan orang lain. Aku berharap diriku adalah yang jenis nomor dua.”
“kalau menurut kata-katamu yang tadi, harusnya Sensei memilih jenis yang pertama!”
“Hal seperti itu tidak penting, Kouhai-kun.”
“Sekarang lagi membahas soal sifat manusia, ya.”
“Dan ngomong-ngomong, siapa itu!?”
Orang yang ditunjuk Misaki adalah seorang siswa laki-laki yang berdiri di belakang Chihiro-sensei. Tadi ia sudah merasakan kehadirannya, tapi baru sekarang ia menanyakannya.
Walau masih terlihat sedikit muda, tapi tampangnya sedikit menarik perhatian dan lumayan tampan.
Rambut yang terlihat alami dan membawa headphone besar. Dengan memakai seragamnya yang masih baru itu, ia terlihat seperti seseorang.
“Ah, dia ya? Dia siswa baru kelas satu yang mulai hari ini akan tinggal di Sakurasou.”
“Heh?”
Karena datangnya terlalu tiba-tiba, semuanya jadi merasa sedikit terkejut.
“Baru selesai upacara pembukaan langsung masuk ke Sakurasou? Dan ngomong-ngomong, katanya Sakurasou mau dihancurkan, kenapa sekarang malah menambah orang baru lagi?”
“Kalau sudah diputuskan untuk menyimpannya lagi, dan yang bisa dipakai, pakailah lagi. Itulah orang dewasa.”
“Oh ….”
“Baik, saatnya Intro.”
Siswa laki-laki itu maju selangkah karena didorong oleh Chihiro-sensei dari belakang.
“Aku adalah Himemiya Iori yang baru masuk ke SMA Suimei.”
Hmm, sepertinya aku pernah dengar marganya.
“Himemiya ….”
Itu bukan merupakan marga yang umum.
“Ah, adik laki-lakinya Hauhau!”
Misaki menunjuk ke arahnya dengan jarinya.
“Benar, aku adalah adik laki-lakinya Himemiya Saori yang baru saja lulus tahun lalu. Sama-sama jurusan musik.”
Ekspresi Iori sepertinya berubah menjadi senang, tapi dengan cepat dia murung lagi.
“Hn, aku adalah siswa kelas tiga, Kanda Sorata, dan yang disampingku ini adalah Shiina Mashiro yang berada di jurusan seni.”
Mashiro menganggukkan kepala.
“Aku juga siswa kelas tiga, namaku Aoyama Nanami.”
“Sorata-senpai, Mashiro-senpai, dan Nanami-senpai.”
“Dan juga, orang yang dulunya tinggal di Sakurasou, tapi sekarang sudah menjadi tetangga di sebelah … Misaki Mitaka yang lulus bulan Maret kemarin.”
“Iori-chan, salam kenal!”
Misaki mengggenggam kedua tangan Iori, dan menggoyang-goyangkan tangannya.
“Sa-salam kenal. Aku pernah mendengar tentang Senpai dari Onee-san.”
Iori yang terkejut karena Misaki yang begitu semangat ini tiba-tiba menjadi sedikit gugup.
“Ngomong-ngomong Sensei, baru selesai upacara pembukaan sudah masuk ke Sakurasou … apa yang dia lakukan?”
Hal yang paling penting yang belum ditanyakan.
“Saat sudah selesai upacara pembukaan, dia langsung ke kantor untuk meminta pindah jurusan.”
“Pindah jurusan?”
“Mau pindah ke divisi reguler ya?”
Sorata bingung, dan Nanami pun bertanya.
Chihiro yang sepertinya merasa repot menganggukkan kepala. Mashiro yang tidak tahu sedang memikirkan apa terus memandang Iori, dan Iori sepertinya tertekan oleh Mashiro yang terus memandangnya, ia terlihat sedikit gugup.
“Kenapa ingin pindah jurusan? Padahal baru saja berhasil di ujian masuk SMA Suimei yang tingkat keberhasilannya rendah ini.”
Siswa yang berhasil lulus ujian masuk SMA Suimei jurusan seni dan musik padahal cuma sepuluh orang lebih. Sangat sedikit bila dibandingkan dengan peserta yang ikuti ujian nya, mungkin sepuluh atau dua puluh kali lipat lebih banyak.
“Terima kasih kalian sudah bertanya. A-aku sudah tidak ingin bermain piano lagi!”
Iori mengatakan dengan keras sambil mengepalkan kedua tanganya dan menatap langit-langit.
Sorata penasaran apa yang ada di langit-langit, tetapi hanya ada lampu, dan dinding yang tua.
“Masa muda kalau sudah terlewat tidak akan kembal lagi. Tapi! Tapi, aku tidak menyadari ini, karena saat SMP tiap hari dengan giat berlatih, terus berlatih, latihan bagai surga dan neraka, membuatku tidak merasakan yang namanya masa muda, yang terasa hanya lagu yang putih dan hitam. Aku tidak ingin mengulang hari-hari yang membosankan lagi di masa SMA-ku yang singkat ini.”
“Menyukai piano bukannya hal bagus?”
“Apanya yang bagus? Siswa yang lain saat pulang bisa bermain dengan teman mereka, tapi aku hanya ditemani oleh piano, apa tidak terlalu kejam? Ya, aku merasa hal itu terlalu kejam!”
Karena tidak tahu kenapa ia bisa percaya dengan omongan seseorang yang tidak bertanggung jawab seperti ini: “‘bermain piano akan bisa jadi populer’ membuatku tiap hari latihan. Tapi ternyata itu hanya sebuah kebohongan, aku bisa membuktikannya, sama sekali tidak menjadi populer!” Pasti begitu!
“… Memang anak yang keras kepala.”
Nanami mengatakannya sebagai pengamat.
Mashiro malah tidak tahu sedang memikirkan apa. Walau terlihat sedang serius mendengar Iori berbicara, tetapi sebenarnya mungkin dia hanya memikirkan hal tentang baumkuchen.
“Eh—begini, jadi kalau Iori-kun sudah pindah ke divisi reguler, apa yang akan kau lakukan?”
Sorata dengan terpaksa menanyakannya.
“Aku ingin mempunyai pacar.”
Iori tanpa ragu-ragu mengucapkannya.
“….”
“Aku ingin mempunyai pacar!”
Saat mengatakan dengan kedua kalinya, ia mengatakannya dengan berteriak.
“Eh, kami sudah mendengarnya, jadi tidak perlu ngomong dua kali.”
“Aku! Aku ingin menjalani kehidupan anak SMA yang normal! Aku sangat serius!”
Ia berbicara dengan mengepalkan kedua tangannya, dan seperti berteriak tidak jelas.
Walau Sorata merasa hal ini sudah tidak normal, tapi Sorata tidak mengatakannya.
“Kau sudah tidak mungkin akan normal lagi.”
Sesaat Sorata kira dia membocorkan apa yang dia pikirkan, ternyata tidak, yang berbicara itu adalah Mashiro.
“Aku sudah menahan diri untuk tidak bicara, kau juga jangan bicara apapun Shiina!”
“Aku pasti akan mewujudkan impianku yang normal ini di SMA Suimei!”
Pokoknya, coba untuk memahaminya dulu.
“Kalau soal kehidupan normal anak SMA, sudah pasti, pada saat perjalanan menuju ke sekolah, lalu menabrak seorang perempuan yang sedang menggigit rotinya, lalu melihat celana dalamnya, dan akan lebih bagus kalau berwarna putih! Ada perasaan yang murni! Lalu dimarahi: ‘Woi, memandang kemana kau!’
Lalu aku akan jawab dengan jujur: ‘Wah, ternyata warna putih!’ dan memberi kesan buruk terhadap perempuan itu. Tapi karena sudah hampir telat, dia akan langsung menuju ke sekolah.
Selanjutnya nanti Sensei akan memperkenal seorang murid pindahan! Yang ternyata adalah anak perempuan yang aku tabrak saat perjalanan ke sekolah! Dan aku akan ngomong: ‘ah, si putih!’, lalu anak perempuan itu menjawab: ‘ah, kau si mesum tadi pagi!’, kira-kira seperti itu kehidupan normal anak SMA.”
“Ngomong-ngomong, bukannya itu aneh ya?”
“Iya kah? Bukannya lumayan sering kejadian seperti itu?”
Memang benar-benar seorang mahasiswi yang sudah menikah, kata-kata yang dikeluarkan tidak sama dengan siswa pada umumnya.
“Lalu?”
“Masih ada lanjutannya?”
Jujur saja, yang tadi sebenarnya sudah cukup.
“Saat pergi ke toko buku, bersentuhan dengan seorang perempuan yang akan mengambil buku yang sama dengan kita. ‘Ah, maaf’, ‘Tidak, aku yang salah’, ‘Aku tidak apa apa, ambil saja’, ‘Eh? Tapi kalau begitu, rasanya jadi tidak enak…’”
“Kanda-kun, itu drama apa?”
“Itu drama?”
“‘Tidak, tidak apa-apa’, ‘Be-begitu ya? Kalau begitu setelah aku selesai baca akan aku pinjamkan ke kamu!’, lalu terjadi situasi yang seperti itu, walau sebenarnya tidak ada niat tapi tetap bertukar nomor hp, lalu berkembang menjadi sebuah hubungan yang romantis!”
“Rasanya jadi tambah aneh.”
“Aku kemarin melihat dua orang yang seperti itu di toko buku depan stasiun.”
Memang seorang mahasiswi yang sudah menikah itu menakutkan. Ngomong-ngomong, apa di sini ada orang yang bisa mempraktekkan situasi tadi?
“Atau kalian ingin penjelasan yang lebih langsung? Kalau begitu, intinya aku ingin mempunyai pacar, ingin bermesra-mesraan, ingin kencan, ingin berciuman, dan ingin bercinta! Lalu membuang semua kenangan tentang piano! Sebagai diriku yang sudah terbebas dari orangtua, hari ini aku akan memulai hidup yang baru! Inilah kenapa aku ingin pindah ke divisi reguler, terima kasih buat semua yang sudah mendengarku!”




 “Kalau begitu, harusnya dari awal ikut ujian divisi reguler, masalahnya selesai ‘kan?”
Nanami mengatakannya tanpa ragu-ragu, harusnya memang seperti itu ….
“Tidak, itu tidak mungkin. Walau langit jatuh pun tetap tidak mungkin, hahaha!”
“Kenapa?”
Yang bertanya itu adalah Sorata.
“Karena aku bodoh.”
“Hn, setelah mendengar kata-katamu tadi, aku jadi tambah yakin.”
“Kasihan sekali.”
“Shiina … kalau kau ikut ujian masuk divisi reguler, kau juga pasti akan gagal!”
“Aku tidak akan gagal.”
“Datang dari mana kepercayaanmu yang tinggi itu?”
“Karna aku tidak akan mengikutinya.”
“Siapa yang menyuruhmu untuk menjawab seperti itu!”
“Semua itu tidak penting …. Tapi, aku masih belum tahu kenapa dia bisa sampai datang ke Sakurasou.”
Nanami mengungkitkan kembali topik utama yang harusnya dibicarakan.
Kalau cuma karena ingin pindah jurusan lalu langsung dimasukkan ke Sakurasou, rasanya terlalu aneh.
“Masalah yang dibicarakan tadi, mungkin salah satu alasan kenapa dia langsung menjadi target para guru.”
Entah sejak kapan, Chihiro-sensei sudah mengambil segelas bir dari kulkas dan meminumnya dengan nikmat.
“Jadi, alasan yang sebenarnya?”
“Dia menyusup ke asrama perempuan, dan mengintip kamar mandi perempuan.”
“….”
Waktu serasa dihentikan dengan tiba-tiba.
“… Serius?”
“Dia mesum.”
Setelah Sorata bicara, Mashiro juga ikut menimpali, dan Nanami diam-diam langsung menatap ke Iori yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Tidak, bukan begitu! Tolong dengar penjelasanku! Kalau cuma dengar sampai sini kalian pasti akan salah paham.”
“Yang mana? Coba jelaskan kenapa kau mengintip.”
“Aku omong dulu, itu karena permohonan pindah jurusanku tidak ditanggapi.”
Mengarahkan pandangan matanya ke Chihiro-sensei, Chihiro-sensei pun menjelaskan.
“Walaupun sifat dan sikapnya seperti itu, dia juga tetap berhasil di ujian masuknya, dia memiliki potensi. Jadi setidaknya biar dia mengikuti pelajaran musik dulu, dan menyuruhnya pikirkan baik-baik pilihannya. Kalau masih tetap ingin pindah ke divisi reguler, tahan saja di semester satu dulu, nanti baru dipertimbangkan lagi saat semester dua. Itulah keputusan para guru.”
“Aku yang sudah salah melangkah pertama kali saat hendak mengejar impianku, pokoknya menyusun strategi dulu di asrama laki-laki, dan bertahan untuk tidak melakukan hal yang negatif, walaupun begitu tetap harus punya pacar! Jadi aku memutuskan sebelum pindah ke divisi reguler, aku akan mendapat pacar terlebih dahulu!”
“Lalu?”
Nanami yang sudah tidak tahan lagi memandangnya dengan tatapan dingin.
“Ketika terpikir saat sudah mempunyai pacar bisa begini dan begitu, aku mulai pusing … tapi saat itu, di pesta sambutan untuk murid baru di asrama laki-laki, ketua asrama malah bilang ‘siswa kelas satu pergilah mengintip kamar mandi perempuan untuk merayakannya!’”
“Ah, dulu aku juga pernah mengalaminya saat masih di asrama laki-laki.”
Nakal dan tidak jelas merupakan ciri-ciri siswa kelas satu, juga merupakan hiburan yang utama di asrama laki-laki. Tapi bagaimanapun setidaknya tidak akan nekat sampai mengintip kamar mandi perempuan, atau dengan kata lain, tidak akan ada yang mau melakukannya, dan bagi yang nekat melakukannya pasti akan tertangkap oleh siswa perempuan yang berjaga.
“Tapi, aku pusing. Pusing memikirkan apakah boleh untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti itu. Karena itu lah, malaikat dan iblis yang berada dalam hatiku bertengkar hebat.”
“Lalu, akhirnya gimana?”
“Tapi akhirnya karena tidak tahan lagi, aku terpaksa melakukannya.”
“Itu tidak ada hubungannya dengan malaikat dan iblis yang berada dalam hatimu!”
“Wajib ditangkap.”
“Sensei, aku sangat tidak setuju untuk memasukkan orang mesum seperti dia ke Sakurasou.”
Pendapat Nanami sangat benar.
“Kau tidak perlu sampai semarah itu. Kalau masih ada yang peduli dengan dia, berarti dia masih terselamatkan.”
“Apa kau kira dengan begini aku akan menerimanya?”
Nanami protes ke Chihiro-sensei.
“Ah, tidak bakal ada masalah lagi, soalnya sudah aku peringatkan, kalau lain kali seperti itu lagi langsung aku antar ke kantor polisi.”
“Walau begitu, sudah pasti dia akan melakukannya lagi.”
Karena itu lah, kejahatan tidak akan pernah hilang di dunia ini.
“Kalau kau sampai khawatir begitu, suruh saja Sorata berjaga saat kau sedang mandi.”
Nanami melirik Sorata.
“Aku juga tidak mau begitu.”
“Entah kenapa, rasanya aku juga ikut-ikut dianggap mesum?”
“Aku tidak mesum!”
“Tidak, kau mesum.”
“Sampai umur berapa boleh mengintip kamar mandi perempuan, dan di umur berapa akan menjadi penjahat , itu kan sudah di ajarkan di TK.”
Iori teringat kenangannya di masa lalu … baru mengenang------
“Tapi serius, tidak apa-apa. Percaya saja padaku.”
Dengan santai lagi ia mengatakannya.
“ingin kami mempercayai apa?”
Nanami seperti sangat tidak setuju dan tidak yakin pada kata-katanya.
“Aku suka perempuan yang berdada besar, jadi tenang saja, aku tidak tertarik dengan Aoyama-senpai dan Shiina-senpai.”
Nanami terkejut mendengarnya.
“Kau memang hebat ya, sampai saat ini, masih bisa ngomong seperti itu.”
“Tidak, tidak begitu hebat kok, ehehe.”
“Orang yang tidak memikirkan apa-apa alias bodoh itu memang menyeramkan ya.”
Di saat Iori sedang malu sambil memegang kepalanya, Nanami sudah mengepalkan tangannya dan sudah siap meledakkan kemarahannya.
“Kanda-kun, kenapa tadi aku ditolak?”
“Bisa tidak jangan bertanya padaku?”
“Dan sebaliknya, Misaki-senpai itu tipeku! Berpacaranlah denganku!”
“Ah, tidak boleh. Dia sudah ada yang punya.”
Misaki memperlihatkan cincin yang ada di tangan kirinya , seperti berkata “mau apa kau?”
“Huh?”
“Dia sudah meninggalkan Chihiro sensei dan kawin duluan loh.”
“Kanda, bosan hidup ya?”
Kepala Sorata ditinju dengan keras oleh Chihiro-sensei.
“Aah, sakit.”
Kalimat yang tadi sepertinya terlalu kasar.
“Maksudnya kawin … apakah ‘kawin’ yang terkenal itu?”
“Yah, kira-kira kawin seperti itu lah.”
“Bagaimana bisa ….”
Iori dengan sedih menurunkan lututnya dan terlihat seperti sedang bersujud.
“Bisa tidak jangan melihatku dan Mashiro dengan wajah yang menyedihkan itu.”
Nanami sepertinya tidak bisa menahan kemarahannya lagi.
Bagaimana membereskan situasi sekarang? Sepertinya sudah tidak bisa dibereskan. Dan saat ini, muncul seseorang yang tidak terduga.
“Sudah cukup.”
Dia adalah Mashiro, menatap Iori dengan tatapan kosong.
“Hn!”
Karena tertekan oleh Mashiro, Iori pun mundur selangkah.
Perhatian semua orang terfokus ke Mashiro, sebenarnya apa yang ingin dia katakan ke Iori? Apa dia sedang marah? Saat semuanya sedang berpikir, Mashiro berbicara.
“Sebentar lagi Nanami akan menjadi D-cup.”
Sorata dan Iori dengan terkejut membuka mulutnya dengan lebar sambil menatap Mashiro.
“Yang kubilang itu kenyataan.”
Hanya Mashiro yang tetap tenang.
“Dia kemarin juga bilang kalau BH-nya terasa sempit.”
“Ahhhh, itu tidak boleh kasih tahu ke orang lain!”
Sepertinya cuma Nanami yang tidak mau mengakuinya, dan sepertinya yang di katakan Mashiro benar. setelah mendengar kenyataannya, pandangan semua mata tertuju pada satu tempat.
“Ka-Kanda-kun, memandang ke mana kau!?”
Nanami menutup bagian dadanya dengan kedua tangannya dan memutar badannya membelakangi Sorata.
“Ti-tidak bertambah besar kok, ha-hanya lebih gemuk sedikit.”
“Kau semakin gemuk?”
Walaupun sebenarnya terlihat tidak begitu.
“Ahhhh, kenapa topiknya bisa berpindah sejauh ini!”
“Itu kan Nanami sendiri yang bilang.”
“Rasanya yang salah itu Shiina.”
“Ah sudah, pokoknya begitulah. Aku serahkan orang baru ini kepada kalian.”
“Ah, Sensei!”
Walaupun memanggilnya dengan keras, hanya dibalas suara tertutupnya pintu. Apa dia pergi kencan lagi? Kalau benar, lebih baik jangan mengganggu. Dia juga punya hak untuk memperoleh kebahagiaan.
“Ah sudah, biarkan saja. Kalau begitu ayo kita buat pesta penerimaan penghuni baru Sakurasou!”
Sorata sudah tidak punya tenaga untuk membereskan masalah ini.
“Aku belum selesai bicara!”
“Aku juga berpikir begitu!”
Tapi sayang sekali, itu tidak mempan untuk Nanami.

Bagian 4
Pesta penerimaan Iori selesai sekitar pukul 11 malam. Seperti biasa, shabu-shabu yang dimasak Misaki itu shabu-shabu kare, tapi karena Sorata dan yang lain baru selesai makan malam, jadi hampir semuanya dihabiskan oleh Misaki. Walaupun awalnya Iori gugup di Sakurasou, tapi lama kelamaan, dia pun mulai cocok dengan Sakurasou dan terbiasa.

“Ah~~ Misaki-senpai, itu dagingku! Daging!”
“Semua daging yang ada di dunia ini, akan aku makan!”
Yah, situasi seperti ini, sepertinya Sorata tidak perlalu khawatir.
“Bagaimanapun, Iori-kun memang sejak awal harusnya masuk ke Sakurasou.”
Nanami pun mulai berpikir begitu.
Sorata menyetujuinya dari dalam hati.
Setelah pesta penerimaan yang meriah selesai, Sorata dan Nanami mulai beres-beres. Setelah itu, Sorata berjaga di depan pintu ruang ganti. Bercandaan Chihiro-sensei ternyata menjadi kenyataan juga.
Misaki memaksa Nanami ke ruang ganti, dan Mashiro juga berada di dalamnya. Tiga anak perempuan yang sedang mandi bersama, terkadang terdengar suara mereka yang sedang bersenang-senang dari dalam. Tidak, yang sangat senang itu Misaki, Nanami malah terus menjerit.
“Hari ini Sakurasou juga damai ya ….”
Sorata duduk di koridor, memegang buku naskah yang diberikan Misaki tadi.
Kalau boleh, ia ingin tukar peran ke orang lain. Tapi Nanami pernah bilang ‘lebih baik daripada latihan sendiri’, jadi rasanya ingin membantunya sebisa mungkin. Dan di hari saat Nanami bilang  ‘aku akan terus berusaha’, ia sudah janji akan berusaha bersama-sama. Sorata juga merasa ingin menyemangatinya sebisa mungkin, berharap kerja kerasnya suatu hari akan membuahkan keberhasilan.
Jadi, kalau sudah memutuskan hal itu, ya lakukan saja lah. Dengan tidak merepotkan Nanami, pokoknya berusaha sebaik mungkin!
Sorata memeriksa naskahnya.
Saat itu, kucing yang mirip dengan kucing Amerika yang bulu nya pendek, Asahi, mengeong dan mendekati Sorata.
“Asahi, ada apa? Apa kau ingin jadi partner latihanku?”
“Meow~~”
“Begitu ya. Kalau begitu, mohon bantuannya ya.”
Sorata mengangkatnya dan membuatnya duduk berhadapan.
“Baik, kalau begitu, mulai. ‘Kau tiba-tiba ingin memberitahuku sesuatu … apa itu?’”
“Meow~~”
Awalnya berjalan lancar, walaupun tetap merasa malu, tapi ia sudah tidak gugup lagi.
“‘Begitu, ya.’”
“Meow~~”
“‘Aku juga mempunyai perasaan yang sama. Aku juga … selalu menyukaimu.’”
“Meong~~”
“Huh? Ternyata gampang juga mengucapkannya.”
Tadi ia gugup karena kata ’menyukaimu’ , sampai-sampai wajahnya memerah.
“‘Aku juga, mempunyai perasaan yang sama. Aku juga … selalu menyukaimu.’”
Kali ini juga bisa ngomong dengan lancar, tidak kaku juga.
“Oh, sekarang aku sudah tidak takut dengan kelemahanku.”
Saat Sorata sedang merasa puas, dari kamar mandi terdengar suara jeritan yang keras.
“Huwaaaaaa!”
Tidak salah lagi, itu suara Nanami.
“Hei, hei, Aoyama, ada apa?”
“Sorata, terjadi masalah besar.”
Yang membalas itu adalah Mashiro.
“Masalah apa?”
“Dada Nanami bertambah besar lagi.”
“Huh?”
Jadi yang dimaksud masalah besar adalah ini?
“Ja-jangan ngomong sesuatu yang aneh!”
“Itu kenyataan, aku mengeceknya sendiri dengan memegangnya.”
Suara jeritan tadi, sepertinya karena Mashiro memegang dada Nanami.
“Hmm, tidak buruk, Nanami-chan! Tapi aku tidak akan kalah denganmu!”
“Aku mana bisa menang sama Misaki-senpai!”
Memang … level Misaki agak beda dengan yang lain.
“Nanami curang.”
“Kan sudah aku bilang, ngomong saja ke Misaki-senpai … itu, Mashiro kenapa memegang dadaku lagi!”
“Karna rasanya enak.”
“…”
Sorata tidak tahan dan menelan ludahnya sendiri. Apa benar-benar enak ya ….
“Kouhai-kun, apa ingin memegang dada juga?!”
“Kalau begitu, aku terima saja kebaikanmu, Misaki-senpai!”
“Ti-tidak boleh!”
Reaksi Nanami sampai ingin menangis.
“Aku rasa kau sudah tahu, tadi aku hanya bercanda!”
“Jangan hanya mendengar suaranya lalu membayangkan yang tidak-tidak, ya!”
“Belum juga membayangkan yang tidak-tidak ….”
“Jadi selanjutnya bakal membayangkan yang tidak-tidak?”
“Ti-tidak!”
Sorata berteriak dengan keras, tapi setelah itu melanjutkan dengan suara kecil lagi.
“Mu-mungkin ….”
Sebenarnya ia sudah mulai membayangkannya ….
“Ti-tidak perlu berjaga lagi, Kanda-kun pergi saja!”
Kalau dilanjutkan lagi, Nanami sepertinya bakal benar-benar menangis.
“Kenapa ikut-ikut terseret ke dalam masalah ini … hufh~”
Sorata menghela napas dan berdiri.
Dengan tidak sengaja Sorata berjalan sampai ke kamar nomor 103, kamarnya Iori. Ternyata dia tidak mengintip, apalagi tidak ada tanda-tanda dia keluar dari kamar, mungkin sudah tidur.
Atau sedang merapikan barang bawaannya? Di pesta penerimaan tadi, ada perusahaan pindah rumah yang berlogo badak membawa banyak barang bawaan ke dalam.
“Cek sebentar, ah.”
Mungkin bisa membantunya merapikan barang bawaannya, juga sekalian ngobrol dengan dia. Bagaimanapun juga nanti mereka akan hidup bersama. Ia juga penasaran kenapa dia tidak mau bermain piano lagi.
Sorata berdiri di depan pintunya, dan mengetuk pintu kamarnya dua kali.
“….”
Tidak ada tanggpan.
“Woi~~”
“….”
Tetap tidak ada tanggapan.
“Aku buka pintunya ya~~?”
Setelah memberi salam, Sorata langsung membuka pintu. Pintunya tidak dikunci dan terbuka  dengan mudah.
Sorata melihat Iori.
Dia duduk di bagian sudut di samping piano, sedang berlatih piano dengan serius.
Sorata masih ingat orang yang tadi membawa sesuatu yang besar, ternyata piano.
Tapi yang paling penting, tidak terdengar suara piano, soalnya ia hanya menekan dengan pelan.
Sorata membuka pintu dengan lebar dan masuk ke kamar.
Iori sama sekali tidak sadar ada Sorata, dia terus bermain. Di telinganya terpasang headphone yang tertulis ‘HAUHAU’ , kabel headphonenya langsung terhubung dengan pianonya. Apa ini yang namanya keyboard?
Sorata melihat wajah Iori sebentar, ekspresinya sedikit terlihat sedih dan tidak rela, seperti dia tidak begitu rela menyerah pada piano dan pindah ke divisi reguler. Sorata melihatnya dengan segenap hati, dan tidak bisa mengalihkan pandangannya, dan rasanya dia seperti Mashiro yang sedang serius dengan komiknya.
Kamar yang sepi. Dan di saat yang sama, Sorata menyadari seperti ada yang memandangnya.
“Huwa!”
Karena terkejut Sorata sampai mundur selangkah. Di depan matanya adalah seseorang yang terkenal di sejarah, Sorata juga mengenalnya. Dia adalah Bach yang sering terlihat di ruang musik.
“Dibandingkan dengan barang bawaannya yang lain, kenapa dia menempel gambar Bach dulu?”
Penuh misteri.
“Huwo! Senpai, kalau kau sedang di sini kasih tahu dong!”
“Ah, maaf karena langsung masuk ke kamar. Tapi tadi aku sudah mengetuk pintu.”
“Ah, begitu ya? Kalau begitu maaf.”
Iori sepertinya sudah selesai bermain, dan dia melepaskan headphonenya. Terlihat tulisan ‘HAUHAU’ di headphone itu.
“Ah, ini ya? Ini dari Nee-san. Padahal dia sangat suka, tapi dia bilang ‘bagaimanapun aku tidak membutuhkannya lagi’….”
Mungkin karena julukan yang diberikan Misaki, sekarang misteri nama HAUHAU sudah terpecahkan.
“Ngmong-ngomong, kamarmu bagus juga.”
“Kok?”
“Beru pertama kali aku melihat ada orang menempel poster Bach di kamar.”
“Dia itu Father of Music, lho. Makanya aku tempel.”
Mata Iori berbinar, Sorata merasa kalau Iori terobsesi dengan Bach.
“Ah, apa saat malam tidak terasa menyeramkan?”
“Apa Kanda-senpai juga ingin menempel satu di kamar? Nih, aku masih ada cadangan.”
Iori berusaha mencari di barang bawaannya, dan akhirnya menemukan segulung poster.
“Ini, untuk Senpai.”
“Bisa tidak kau jangan memberiku poster ini dengan tatapan yang polos itu?”
Memang hebat orang yang di hari pertama sudah dimasukkan ke Sakurasou ini. Pantas, di bagian ini terasa aneh.
Sorata mengalihkan pandangannya ke arah piano.
“Bisa latihan dengan keyboard?”
“Ah, ini ya? Pakai pada saat malam hari sangat enak loh, suaranya tidak bocor, tapi karena nadanya tidak begitu bagus jadinya kurang cocok untuk dipakai latihan, tapi saat ingin berlatih tinggal menekan, jadi aku lumayan suka. Dipakai untuk membuat lagu juga enak, kalau mau piano yang bagus juga bisa bermain di sekolah.”
“Walaupun kau ini bilang tidak ingin jurusan musik, tapi kau sendiri sangat menyukai musik.”
Padahal cuma sebuah ucapan yang keceplosan, tetapi Iori kembali sedih, menurunkan kepalanya sedikit, dan memandang ke bawah.
“Maaf, aku sudah keceplosan tadi.”
“… Kanda-senpai.”
“Hn?”
“Kau bilang kau kenal kakakku kan?”
“Huh? Hn, yah, walau cuma pernah ketemu beberapa kali sih.”
Saat tadi pesta penerimaan ada obrolan sedikit tentang kakak Iori.
“Menurut Senpai, kakakku bagaimana?”
Iori bertanya dengan serius.
“Bertanya bagaimana, sih … hm … dia cantik.”
Karena Sorata tidak tahu mau menjawab apa, jadinya menjawab seadanya.
“….”
Iori melebarkan matanya, dan terdiam sejenak.
“Huh? Cuma begitu? Kalau dari segi musik?”
“Oh, aku kira apa, ternyata segi musik? Maaf, aku tidak pernah mendengarnya bermain piano.”
“Begitu, ya?”
“Hn, walau pernah dengar dia membuatkan musik untuk anime Misaki-senpai, tapi apa itu yang namanya Live Performance? Kalau itu aku tidak mendengarnya dengan serius, jadi maaf ya.”
“Tidak apa apa, begitu ya, karena Senpai tidak tahu, makanya ….”
“Hn?”
“Ti-tidak ada apa-apa! Itu merupakan masalahku sendiri.”
“Karena kau bilang begini, jadinya malah makin penasaran.”
“Benar, tidak ada apa-apa, dan ngomong-ngomong, ada apa Senpai sampai datang ke kamarku?”
“Awalnya sih mau bantu merapikan barang bawaanmu … tapi, sepertinya sekarang tidak perlu.”
Kalau sekarang membongkar kardusnya, mungkin malah bakal jadi lebih kacau dan lebih tidak rapi lagi, dan Iori sendiri juga sepertinya belum mau merapikan barang bawaannya.
“juga, cuma ingin menyapamu saja. Mulai hari ini mohon bantuannya, Himemiya.”
“Harusnya aku yang harus mohon bantuan, hahaha.”
Tapi, akhirnya Sorata tetap tidak terbiasa dengan panggilan ‘Himemiya’, rasanya seperti memanggil marga kakaknya, Saori.
“Jadi, apa aku boleh memanggilmu dengan panggilan ‘Iori’?”
“Huh?”
“Karena memanggilmu dengan panggilan ‘Himemiya’ seperti kurang enak, rasanya seperti memanggil kakakmu.”
“Kalau begitu, apa aku boleh memanggilmu dengan panggilan ‘Sorata-senpai’?”
“Hn, boleh.”
Suasana hati yang senang tapi juga kacau. Di saat pertama kali bertemu, Sorata ingin Iori tidak memanggilnya dengan ‘senpai’, tapi sekarang rasanya ia sudah sedikit mengerti. Lagipula saat dia memanggil Jin dengan sebutan senpai, rasanya aneh. Tapi lama-lama nanti pasti terbiasa, haha.
“Kalau begitu, selamat malam. Besok masih sekolah, tidurlah lebih awal.”
“Siap!”
Iori menjawab dengan semangat, lalu melihat Sorata sampai di ujung koridor. Selanjutnya, terdengar suara yang sepertinya memanggil namanya lagi.
“Kanda-kun? Tidak ada di sini?”
Yang memanggil itu adalah Nanami.
“Ada apa?”
Setelah Sorata meninggalkan kamar Iori, ia langsung menuju ke kamar ganti. Di dalam, Nanami hanya memakai handuk untuk menutupi tubuhnya. Melihat Nanami yang baru selesai mandi, rambutnya yang masih basah, tubuhnya yang masih sedikit berasap, terlihat sangat menggoda.
“Ka-karena Sorata tidak menjawab, makanya aku memanggilmu.”
Ia tidak begitu mengerti situasinya.
“Ya-yang menyuruhku pergi kan Nanami ….”
“Ma-makanya aku tidak bilang itu salah Kanda-kun.”
Suara Nanami terdengar seperti sedang mengoceh dan sedikit marah.
Selanjutnya terdengar suara Misaki yang sedang bernyanyi sampai menutupi suara Nanami. Dari suaranya, sepertinya dia masih di kamar mandi. Apa yang dilakukan Mashiro sekarang?

“Apa kau sudah latihan dengan benar?”
Nanami bertanya.
“Aku sudah latihan. Mungkin tidak ada masalah lagi.”
Karena tadi latihannya berjalan dengan lancar.
“Kau terlihat percaya diri sekali, ya.”
“Hn, jangan kira aku masih seperti tadi, ya.”
“Aku tidak akan berharap banyak.”
“Tunggu saja.”
“Kalau begitu, tunjukkanlah hasilnya. Silahkan.”
Sorata menarik napas sejenak, dan mulai mengatakan dialog yang sudah ia hafal tadi.
“‘Kau tiba-tiba ingin memberitahuku sesuatu … a-a-a-a-apa itu?’”
Baru kalimat pertama, sudah kacau.
“….”
“….”
Selesai.
“bu-bukan begitu!”
“Belum juga aku bilang apa-apa.”
Suara Nanami terdengar sudah tidak tahan lagi, juga terdengar dingin.
“Padahal tadi aku latihan dengan Asahi lancar-lancar saja.”
“Oh—kalau begitu, kenapa sekarang tidak bisa?”
Nanami bertanya dengan tidak memberi belas kasihan.
“Ka-karena … mungkin karena lawan bicaranya adalah Aoyama.’
“Oh ternyata salahku ya, hmm~~”
“Bukan begitu maksudku.”
“Kalau bukan, apa maksudmu?”
“I-itu, maksudnya…..”
“Maksudnya?”
“Walau tahu cuma sebuah latihan, tapi bagian ini asli terasa seperti Aoyama akan menyatakan cinta padaku, makanya jadinya canggung begini!”
“Huhh! Ka-kau omong apaan?”
“Aku bilang aku tahu cuma sebuah latihan!”
“I-iya.”
“….”
“….”
Walau tidak mengeceknya dengan cermin, tapi aku yakin saat ini pasti wajahku sedang memerah. Mukaku terasa panas, telingaku terasa panas, leherku terasa panas … tiba tiba keluar banyak keringat.
“I-itu, Kanda-kun.”
“A-apa?”
“Kau bilang merasa malu, itu artinya kau tidak membenciku?”
“Huh?”
“Emm … maksudnya, apa kau mengakuiku?”
Nanami menjawab dengan suara yang kecil sekali.
“Oh, em … hn, hn.”
“….”
“….”
“….”
“A-ayo latihan sekali lagi!”
Untuk menenangkan situasi, Nanami berbicara dengan keras.
“Be-benar juga, ka-kalau begitu,  ayo mulai dari awal.”
Saat Sorata mengatakannya, tiba tiba dia terpental karena Mashiro yang membuka pintunya dengan keras.
“Hoi, Mashiro, tunggu sebentar! Aku masih mengganti baju.”
Sorata dengan tidak sengaja melihat ke dalam dan terlihat paha Nanami yang baru setengah memakai celana panjang piyamanya. Sorata pun dengan cepat menutup pintunya.
“Hoi Shiina! Kenapa kau perlakukan aku seperti itu?!”
“Soalnya Sorata terlihat senang.”
“Ka-Kanda-kun?”
“Bu-bukan! Aku bukan tidak ingin senang, aku bukan tidak ingin melihat … aaah,  apa yang aku bicarakan dari tadi!”
Karena berlatih naskah, suasana langsung menjadi aneh.
“Kanda-kun, jangan mengatakan apapun lagi.”
“Maaf! Aku benar-benar minta maaf!”
“A-aku tahu!”
“Walau Sorata berpikir begitu, aku juga punya pikiranku sendiri ...”
“tunggu sebentar? Apa yang kau maksud dengan berpikir begitu?”
“Berpikir begitu, ya … berpikir begitu.”
“Jadi maksudnya berpikir begitu?”
“Aku juga punya pikiranku sendiri.”
“Huh? Tidak memedulikan pertanyaanku dan berbicara terus?”
“….”
Mashiro dengan diam menyatakan bahwa dia sedang tidak senang.
“Aku mengerti, aku mengerti. Yang  tentang ‘berpikir begitu’ lupakan saja. Tapi kau bilang punya pikiran sendiri, apa yang kau ingin lakukan?”
“Memikirkan strategi.”
“Itu dipikirkan nanti saja.”
“Kanda-kun! Kau membuatku susah mengganti baju karena berada di depan pintu, cepatlah kembali ke kamarmu!”
“Ba-baik.”
“Sebelum itu Sorata, keringkan rambutku dulu.”
Mashiro sepertinya memang merasa tidak senang, dia mengeluarkan hair dryer.
“Apa itu sikap untuk meminta tolong pada orang lain!?”
Saat ini, Misaki tetap gembira dan bernyanyi.
Dan begitulah, malam pertama saat naik ke kelas tiga, diam-diam berakhir.

Tapi, masalah belum selesai.
Larut malam sekitar jam dua, Sorata mendengar suara berteriak yang keras dan bangun dari tempat tidurnya.
“Uwaaaaaa!”
“Uwo! Apa yang terjadi?!”
Sorata bangun dari tempat tidurnya dan langsung menuju koridor, melihat Iori yang ketakutan.
“A-ada apa?”
“So-sorata senpai! Mu-muncul! Di-dia muncul!”
“Apa kau sudah mengompol?”
“Aku berhasil menahannya … ta-tapi, bukan begitu maksudku! Di-di-di sana! Kamar itu!”
Iori menunjuk satu kamar dengan jarinya yang bergetar.
“A-ada hantu wanita! Dia dengan halus memasuki kamar itu, uwaaaa!”
“….”
“Se-serius! Aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri!”
Sepertinya memang sangat takut. Iori terus memeluk pinggang Sorata.
“Jangan khawatir, tenang saja.”
“Sorata-senpai!”
Iori lebih kuat memeluk pinggang Sorata.
“Iori … yang kau lihat itu bukanlah hantu. Dia tinggal di kamar nomor 102 … dia juga sama sepertiku yang merupakan siswa kelas tiga, namanya Akasaka Ryuunosuke.”
“Huh?”
“Dan ngomong-ngomong, dia laki-laki.”
“Tapi dia itu cantiknya luar biasa.”
“Hn, tapi itu kenyataannya.”
“Dunia ini memang aneh!”
Walaupun dia seperti memahami dengan cara yang aneh, tapi yang penting dia sudah tahu.
“Woi, kalian ribut apa?”
Saat percakapan selesai, Chihiro-sensei keluar dari kamarnya.
“Uwaaaaaaaaaaa! Hantu yang tidak beralis!”
“Kanda, bosan hidup ya?”
Begitulah, sekarang sudah sangat malam.

Bulan April tanggal 8.
Rekam pertemuan yang tertulis seperti itu di Sakurasou.
… Siswa kelas satu jurusan musik, Himemiya Iori, tinggal di kamar nomor 103.
… Ada penghuni baru, hari berbahagia di Sakurasou di mulai lagi hari ini … Sorata sama begitu ingin melihat –
Tulis Maid-chan.
----- Bisa tidak jangan menambahkan yang aneh-aneh! Walau aslinya memang begitu sih, tapi ini membuat orang merasa malu tahu!
Balas Sorata.

Bagian 5
Sudah seminggu, hari ini hari Senin … bulan April tanggal 14, diselenggarakan pesta penerimaan murid baru yang membuat suasana sekolah menjadi ramai.
Hari itu juga, promosi dari para klub ekstrakurikuler juga mulai dilaksanakan, akhirnya ada suasana tahun baru yang seharusnya.
Kegiatan mengajar juga dimulai hari Selasa.
Baru saja mulai, tiba-tiba sudah enam mata pelajaran. Dengan tubuh yang belum terbiasa akibat liburan musim semi, rasanya jadi sedikit berat.
Memasuki waktu sore, konsentrasi siswa sudah mulai hilang dan memasuki mode tidur.
Sorata masih bangun karena ia sedang memikirkan desain untuk shooting game-nya nanti.
Karena bisa dibuat sendiri, jadi Sorata memperkecil skalanya, dan target terkecilnya yang penting bisa dimainkan. Kira-kira ada 3 jenis mode permainan, yang pertama adalah mode utama, lalu mode versus, dan yang ketiga mode puzzle yang berwarna.
Sepetinya akan lebih menarik kalau membuat puzzle yang berwarna, tapi saat baru mulai lebih baik jangan terlalu serakah. Fokus dulu dengan yang utama, kalau tidak nanti hasilnya tidak akan memuaskan.
Saat sedang berpikir, walaupun sedang jam belajar, tiba-tiba pintu kelas terbuka.
Murid-murid yang sedang dalam mode tidur pun terbangun.
Tatapan semuanya tertuju pada orang yang membuka pintu.
“Oh, Shiina-san, ada apa?”
Koharu-sensei bertanya.
“Aku melupakan sesuatu.’
Mashiro menjawab dengan penuh wibawa.
“Begitu ya, barang apa yang kamu lupakan?”
“Sorata.”
“Aku?”
Selanjutnya, pandangan semua orang tertuju pada Sorata. Nanami menghela napas.
“Apa yang terjadi?”
“Barangmu yang hilang itu Sorata, apa maksudnya?”
“Apa kalian tidak merasa kalau mereka berdua aneh?”
Terdengar suara-suara yang sedang membicarakan Mashiro dan Sorata.
Koharu-sensei dengan seenak hati membalasnya,
“Kalau begitu, ambillah.”
“Tidak, tidak, tidak, mana boleh, Sensei?”
“Ah tidak apa, lagipula Sorata juga tidak serius mengikuti pelajaranku.”
“Walau memang benar, tapi tetap saja jangan dibolehkan!”
“Pokoknya kau maju saja ke sini.”
Koharu-sensei menyuruh Sorata maju ke depan, lalu ia langsung dibawa pergi oleh Mashiro.
“Ah, sebentar, Shiina! Aku belum selesai bicara …”
“Sudah selesai.”
“Kalau begitu, karena pengganggu sudah pergi, mari kita lanjutkan pelajaran.”
“Padahal aku masih ada di sini!”
Sorata yang teriak dalam hati masih tetap tidak ditanggapi.
“Silahkan menikmati~~”
Sambil melihat dua orang yang pergi bersama-sama itu, Koharu-sensei sempat melambaikan tangannya.
Setelah menutup pintu, Sorata dan Mashiro berdiri sejenak di koridor.
“Itu, Sensei, sudah tidak tahan lagi ….”
“Huh, huh, mereka berdua berpacaran?”
Saat ini, terdengar suara Koharu-sensei di kelas, sedang membicarakan hal yang tidak berkaitan dengan pelajaran.
“Harusnya kau tetap mengajar!”
Sorata yang berteriak tetap tidak terdengar oleh mereka yang ada di dalam kelas.

Sorata di bawa ke suatu tempat, yaitu ruang seni.
Setelah membuka pintu masuk ke kelas, ia langsung ditatap oleh empat murid yang ada di dalam, salah satunya Sorata kenal, yaitu Fukaya Shiho. Murid yang tidak ada di sini, sepertinya sedang menggambar di tempat lain.
Baru saja ia memikirkan hal itu, Shiho langsung mengayunkan tangannya yang memegang kuas dan menggambar. Tapi cat airnya berserakan dimana-mana karena ia mengayunkannya secara sembarangan.
“Huwaaa, kenapa bisa begini!?”
Shiho panik.
“Apa yang dia lakukan, sih ….”



“Shiina, sekarang jelaskan padaku, kenapa kau membawaku ke ruang seni?”
“Jurusan seni. Tugas. Menggambar orang.”
“Kenapa kau menjawab dengan terpotong-potong … huh? Menggambar orang?”
Kemungkinan yang bisa dipikirkan dari kata-kata tadi hanya satu.
“Jangan-jangan kau mau memintaku jadi model?”
“Ya, benar.”
“Serius?”
“Serius.”
“Aku tolak.”
“Aku tolak.”
“Apa kau sedang menolakku!?”
“Ya.”
Mashiro memberi tekanan dengan matanya yang polos itu.
Kalau begitu habis sudah, Mashiro yang sudah membulatkan tekad, artinya tidak ada tawar menawar lagi. Kalaupun kabur ke kelas, pasti dia akan mencari lagi.
Kalau begitu, terima saja lah permintaannya itu, lalu menyelesaikannya dengan cepat. Kalau Mashiro yang menggambar, mungkin akan lebih cepat.
“… Baiklah, aku terima. Jadi, apa yang harus aku lakukan?”
“Lepaskan.”
“Maksudmu telanjang!?”
“Bukan.”
“Kalau begitu, buat apa dilepaskan?”
“Homoeopati.”
“Homoeopati apa, jangan menggunakan istilah yang aneh-aneh!”
“Pergi ke sana.”
Mashiro yang menggambar di dekat jendela, menggunakan kuasnya untuk menunjuk ke depan kelas.
“Kalau boleh, apa bisa di tempat lain?”
Karena dari tadi terus diserbu tatapan dari murid lain, makanya Sorata ingin ganti tempat. Shiho sampai menyerah melukis lagi dan terus memandang Sorata.
“Kalau begitu, sana.”
Kali ini, Mashiro menunjuk ke atas meja.
“… Kalau begitu, dengan berat hati aku memilih kelas bagian tengah saja.”
Sorata dengan pasrah memilih tempat yang ditunjuk Mashiro.
“Kalau begini boleh tidak?”
“Boleh.”
“Perlukah aku berpose?”
“Tidak perlu.”
“Sungguh sebuah kabar baik.”
Mashiro menaruh kanvasnya di bingkai.
“Kira-kira aku akan berdiri berapa lama?”
“Kira-kira sebulan.”
“Lama sekali! Memangnya kau biasa melukis selama itu?”
Paling lama pun pasti cuma sekitar dua minggu.
“Kali ini aku akan melukis dengan serius.”
Saat teman sekelas Mashiro mendengarnya mengatakan hal itu, semuanya langsung terkejut. Padahal lukisannya sudah sangat bagus, tapi ternyata selama ini dia belum serius … mungkin itu yang dipikirkan oleh teman sekelas Mashiro sekarang.
“Dari dulu kau juga serius kan? Jangan kompromi soal itu.”
Padahal sudah sangat hebat, tapi masih minta bantuanku.
“Aku akan melukis dengan sangat serius.”
“Jangan keras kepala seperti anak SD!”
“Aku anak SMA”
“Jangan serius dengan ucapanku yang tadi! Aku hanya bercanda! Dan ngomong-ngomong, aku bukan peri, aku tidak bisa tidak bergerak selama sebulan, aku tidak percaya akan terus berdiri, bagaimana ini?”
“Ah, begitu ya…”
“Kalau begitu, boleh duduk.”
“Kalau begitu kenapa tidak pakai foto saja?”
“Tidak boleh.”
Mashiro menjawab dengan cepat.
“Memang sebuah kabar buruk, sayang sekali ….”
“Sorata harus terlihat hidup baru akan bagus gambarnya.”
“Apa tidak ada cara lain ….”
“Apa harus Sorata yang terlihat ‘segar’ baru bagus gambarnya?”
“Aku rasa itu lebih buruk lagi!”
Walau tidak tahu apa yang dipikirkan Shiho, tapi sepertinya setelah dengar kata ‘segar’ wajahnya memerah.
“Sepertinya memang harus Sorata yang segar, baru akan terlihat lebih bagus.”
“Kau kira aku ikan huh? Hoi!”
“….”
“Tolong jangan diam lagi, cepatlah kosentrasi dan melukis … pandangan teman-temanmu itu rasanya sakit, sampai-sampai sakit ke dalam hati, serius.”
Mashiro mengambil arang dari kotak kayu, dan sepertinya dia sedang ‘merasakannya’.
“Ah sudahlah, tidak apa-apa.”
“Hoi, hoi, Kanda-kun.”
Shiho mendekatkan tubuhnya ke Sorata yang sudah tidak bertenaga lagi, dan bertanya dengan suara yang kecil.
“Ada apa?”
Sorata juga ikut mengecilkan suaranya. Walaupun begitu, karena ruang kelas seni sangat tenang, orang lain mungkin masih dapat mendengarnya. Sepertinya banyak orang yang sedang menguping pembicaraan mereka.
“Apa kau berpacaran dengan Shiina-san?”
“….”
Karena itu merupakan pertanyaan yang sudah sering di tanyakan, Sorata dengan kecewa melihat Shiho.
“Ah, itu merupakan pandangan mata yang sedang melihat orang bodoh.”
“Bukannya sebelumnya aku sudah pernah menjawabnya?”
“Heh~~~tapi kan sudah lama sejak waktu itu, siapa tahu ada kejadian yang menyebabkan kalian berdua semakin dekat?”
“Tidak mungkin ada.”
“Belum mulai berpacaran.”
Karena ia kira Mashiro tidak mendengar pembicaraan mereka berdua, jadi Sorata keceplosan.
“Oh! Karena ‘belum’, jadi maksudnya sebentar lagi akan mulai?”
Matanya Shiho mulai berbinar-binar.
“Hei, Shiina, jangan ngomong hal yang bisa buat orang lain salah paham.”
“….”
Sekali lagi, Mashiro fokus ke kanvasnya, dan tidak mendengar Sorata berbicara.
“Kau pasti sengaja!”
Terima kasih karena itu, sekarang Shiho dan empat murid lainnya memandang Sorata lagi, seperti meminta penjelasan lebih lanjut. Sorata yang berada di situasi ini cuma bisa menghela napas.
Tidak lama kemudian, pintu kelas terbuka, Chihiro-sensei berjalan masuk.
Chihiro-sensei sepertinya menyadari adanya kehadiran Sorata dan meliriknya.
“Apa yang kau lakukan?”
“Sepertinya menjadi model lukis.”
Sorata memindahkan pandangannya ke Mashiro, seperti meminta Mashiro untuk menjelaskannya ke Chihiro-sensei.
“Ah, begitu ya.”
Tapi, Chihiro seperti sudah tidak tertarik lagi dan duduk di kursi dekat sudut kelas. Ia mulai menguap dengan mulutnya yang terbuka lebar itu.
“Chihiro-sensei, apa Anda tidak lupa menanyakan hal seperti ‘apa kau tidak perlu belajar’?”
“Pokoknya kau bolos kelas kan? Cukup lihat juga sudah bisa tahu. Itulah kenapa murid Sakurasou sangat membuat kami para guru pusing.”
“Harusnya aku yang pusing karena dianggap seperti itu!”
Ia bolos bukan karena ia ingin.
“… Apa ini salahku?”
“Benar.”
“Shiina jangan malah terlihat seperti mengakuinya! Ngomong-ngomong, aku sudah boleh kembali ke kelas kan? Sekarang aku kembali ya? Bagaimanapun, tidak boleh bolos pelajaran. Masalah model minta Chihiro-sensei saja.”
Setelah Sorata selesai berbicara, Mashiro tampaknya tidak begitu senang.
“Sorata memperlakukanku dengan kasar, tapi memperlakukan Nanami dengan lemah lembut.”
“Ka-kau ngomong apa?”
Karena di depan semuanya, detakan jantungnya jadi bertambah cepat lagi.
“Akhir-akhir ini, bagian sini terasa aneh.”
Mashiro memegang dadanya.
“Setiap melihat Sorata, terasa aneh.”
Ia memandang Sorata dengan tatapan penuh kebingungan.
“Tidak begitu mengerti, terasa sesak.”
Walau ekspresi Mashiro tidak membuatnya terlihat sedang menderita, tapi wajahnya memerah, seperti sangat malu. Sorata juga berdebar-debar karna berbagai alasan tadi. Walau sebelumnya sudah tahu, tapi Mashiro yang hari ini membawa sedikit kehangatan, terlihat lucu.
“Jadi aku memutuskan untuk melukis.”
“….”
Sorata tiba-tiba teringat hal yang terjadi empat hari yang lalu …. Waktu itu Mashiro bilang akan menyusun strategi. Walau terlihat sedang bercanda, tapi sepertinya ia serius. Situasi saat ini, mungkin hasil pemikirannya selama empat hari.
Kalimat yang diucapkan Mashiro selanjutnya, membuktikan bahwa kesimpulannya benar.
“Entah kenapa aku rasanya mengerti perasaan yang sesak ini saat melukis Sorata.”
Walau Sorata sudah menebak dengan sangat benar, tapi Sorata tidak merasa bangga sedikitpun. Sama sekali tidak ada tenaga untuk bangga, dan wajahnya mulai memerah.
Sorata sudah mengerti alasan sebenarnya mengapa Mashiro merasa sesak …. Mashiro mencoba mencari jawabannya dengan melukis Sorata … dengan melukis perasaannya, karena ia tidak pandai dengan kata-kata ataupun perbuatan.
“Sekarang yang aku ingin lukis hanya Sorata seorang.”
Empat murid yang termasuk Shiho didalamnya, semua sudah berhenti melukis, mereka seperti ditahan oleh sesuatu dan berkonsetrasi ke pembicaraan antara Sorata dengan Mashiro.
Tidak bisa lari ke mana-mana, kalau Mashiro sudah sampai bicara begini, tidak bisa ditolak lagi.
“Iya iya, aku akan jadi model, akan kulakukan.”
Mashiro dengan caranya sendiri terus melangkah maju, Sorata tentu tidak boleh menghalanginya. Walau menurut Sorata , itu merupakan pengertian yang berbeda bagi dia ….
“Tapi, tidak boleh saat jam pelajaran, tunggu saja jam istirahat.”
Mashiro menganggukkan kepala.
“Aku mengerti.”
“Terima kasih karena sudah mengerti.”
“Dengan demikian, aku dan Sorata sudah melewati garis itu.”
Mashiro dengan berani mengatakannya, dan Shiho berteriak dengan senang, murid yang lain juga menutup telinga, memutar badannya dan mengeluarkan suara yang aneh.
“Ka-kau ngomong apaan di tempat umum begini! Bo-bodoh! Bu-bukan begitu! Yang dikatakannya tadi bukan begitu! Kalau ada yang mendengar percakapan kami yang sebelumnya pasti akan mengerti!”
Sorata dengan mati-matian menjelaskannya, tetapi para murid jurusan seni langsung kembali ke tugas mereka masing-masing sambil saling berbisik.
“Bagian ini harus bagaimana?” “Ah pusing sekali, aku tidak tahu mau memberi warna apa.”
Sepertinya memang lebih baik meninggalkan tempat ini dengan cepat.
“Baik, sekarang aku kembali ke kelas dulu.”
Mashiro mengantar Sorata keluar ke kelasnya.

Saat pulang sekolah, karena kejadian di ruang kelas seni, Sorata dihadapkan dengan sebuah pilihan yang sulit. Kejadian ini terjadi setelah selesai piket, Mashiro dan Nanami mencari Sorata di saat yang bersamaan.
“Sorata, datanglah ke ruang kelas seni.”
“Kanda-kun, apa bisa menemaniku latihan?”
“Hn.”
“Hn?”
Mashiro dan Nanami saling memandang.
“….”
“….”
Di antara Mashiro dan Nanami, seperti terlihat percikan api yang kecil, dan di saat yang bersamaan, mereka memandang Sorata.
“Sorata, pilih mana?”
“Kanda-kun, bagaimana?”
“Situasi apa ini …. Se-sebentar, tenangkan dirimu dulu.”
“Aku selalu tenang kok.”
“Ya.”
“Yang panik itu Kanda-kun mungkin.”
“Benar.”
“Ah, Onii-chan~~”
Di situasi seperti ini, terdengar suara orang bodoh. Ternyata Yuuko. Kalau biasanya Sorata pasti berpikir bertambah lagi masalah … tapi saat ini Sorata menganggapnya sebagai penyelamat. Sepertinya hanya keluarga yang mempunyai hubungan darah yang bisa diandalkan saat ketemu jalan buntu.
“Yuuko, ada apa?”
“Hn, hn, walau sedikit susah untuk mengatakannya ….”
“Ah, jangan khawatirkan itu, bilang saja, kita kan kakak beradik yang mempunyai hubungan darah.”
“Kalau begitu, aku bilang sekarang ya …. Onii-chan, sekarang kencanlah dengan Yuuko!”
“Jangan membuat situasi ini menjadi lebih kacau lagi!”
Pokoknya harus memberi Yuuko pelajaran dulu supaya dia diam.
“Ah Onii-chan, sakit tahu! Apa ini yang namanya kasih sayang!?”
“Sorata.”
“Kanda-kun.”
Mashiro dan Nanami memaksa Sorata memilih.
“Ah, apa harus aku yang pilih?”
Apa tidak bisa berurutan?
Sesaat Sorata berpikir begitu, handphonenya berbunyi.
----- Sorata, program utamanya sudah selesai.
Email dari Ryuunosuke.
“Sorata.”
“Kanda-kun.”
“Onii-chan!”
----- Cepat ke sini!
Ternyata aku memang populer ya!

Bulan April tanggal 12
 Hari ini, rekor pertemuan di Sakurasou tertulis:
----- Aku kira hubungan kami akan terus begini. Tapi ternyata tidak, malah terbalik, setiap orang sudah mulai berubah saat ini …. Sorata-sama baru sedikit menyadarinya.
Tulis Maid-chan.
----- Akasaka~~! Kenapa kau menambahkan fungsi yang aneh pada Maid-chan!
Balas Kanda Sorata.
----- Bisa mendapat pujian darimu merupakan kehormatanku.
Balas Akasaka Ryuunosuke.