Akan Bagaimana Para Gadis Juga Ingin Berpetualang

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


“Yeah, seperti inilah petualangan itu seharusnya!”

Dari seorang gadis yang memotong wyvern dengan satu tebasan seraya monster itu terbang di atas dinding kastil; Female Knight sangat senang dengan dirinya sendiri.

Menggunakan sayapnya, sang wyvern itu terbang di atas udara, berteriak seraya dia terjatuh ke dalam halaman kastil. Prajurit yang menunggu mengeroyokinya, menusuknya dengan tombak dan pentungan besar hingga monster itu mati.

Prajurit tidak bisa menyaingi para petualang dalam hal bertarung melawan monster sendiri atau dengan grup kecil, namun sebuah grup besar prajurit akan mempunyai kelebihan dalam pertarungan di banding petualang. Ketika sebuah cakar, taring dan ekor dari seekor monster dapat membuat masing-masing dari seorang pria terlontar, dengan bermodalkan sepuluh atau dua puluh orang bersama akan dapat menyelesaikan monster ini dengan cepat. Seperti itulah apa yang terjadi dengan wyvern ini, atau apa yang di sebut sebagai “naga terbang.” Jika ini adalah naga sungguhan, mungkin semua akan menjadi cerita yang berbeda.,,

“Sayangnya aku nggak bisa menyelesaikannya dengan satu serangan,” Female Knight berkata, “Tapi harus ku akui, tadi itu pemandangan yang sesuatu sekali!”

“Pastinya,” High Elf Archer menambahkan dengan anggukkan dan jentikkan telinga panjangnya. “Baiklah, biarkan aku tunjukkan padamu cara melakukannya!” Dia menarik senar laba-laba pada busur besarnya, dan menerbangkan panah bermata kuncup. Lengan gadis itu kurus seperti cabang pohon, namun dia menarik busur tiga orang itu dengan sangat ringan, seolah busur itu terbuat dari bulu. Dia tertawa dan berkata, “Busur kakakku jauh lebih kuat!” Begitulah para high elf.

Panah itu melengkung besar di udara, seolah terbimbing dengan sebuah tali. Adalah seperti kilatan kejut yang menusuk otak wyvern. Panah itu bergerak horizontal, menusuk bola mata dan keluar dari sisi sebelahnya, kemudian memutar kembali mengarah monster, menembus membran sayap, dan kemudian menusuk jantungnya.

Semua ini hanyalah tampak seperti setitik kecil percikan di langit yang jauh, namun mata hijau permata High Elf Archer dapat melihatnya dengan sangat jelas. “Heh,” dia berkata, memberikan dengusan elegan pada mangsa keduanya hari ini, “Berikutnya, ke barat!”

“Hmph!” “Kamu baru satu poin di depanku. Jangan sombong!” Female Knight menegur, namun dia tidak dapat menahan senyumnya. 

“Ayo!” Female Knight berlari di atas dinding kastil dengan kecepatan yang sulit di percaya mengingat wanita itu menggunakan armor penuh, pedang besar dan perisai. Sungguh menakjubkan, namun sang high elf yang berlari mengikuti di sampingnya tampak seperti dia sedang berlari melewati lahan kosong. Mereka tentunya merupakan ras yang berbeda: High Elf Archer bergerak tanpa sedikitpun menimbulkan suara kakinya, seperti sebuah angin.

Akan tetapi para prajurit tidak mempunyai waktu untuk mengagumi kedua wanita cantik ini. 

Beberapa sosok bermantel tengah berkumpul di samping titik menara memanah di sekitaran dinding kastil. Mereka telah di kumpulkan dari daerah sekitaran kastil: master angin, pembaca langit, penari hujan. Kebanyakan dari yang mereka lakukan adalah tidak lebih dari trik kecil-kecilan. Mungkin mereka dapat memanggil hembusan, menerka cuaca, atau mungkin membuat gerimis kecil, namun hanya itu saja. Walaupun begitu, mereka merajut kata akan kekuatan sejati dengan segenap kekuatan mereka, mengikisi jiwa mereka untuk melakukan itu, berupaya untuk merapalkan mantra perlindungan. Dan para prajurit yang tanpa henti menembak dari dalam menara membutuhkan semua bantuan yang mereka butuhkan.

Tengok ke atas, maka semua menjadi jelas: apa yang kamu lihat adalah sepertujuh adalah langit sepertiga di penuhi oleh musuh. Mungkin mereka harus merasa senang bahwa itu bukanlah kebalikannya. Sedangkan di atas tanah jugalah sama buruknya. Sebuah pasukan monster memanjang membentang di kejauhan cakrawala, mengancam kastil.

Tidak, jangan menggunakan hiperbola di sini. Pasukan monster sebesar itu tidak pernah terlihat lagi semenjak pertarungan puluhan tahun yang lalu.

Namun jika seseorang tidak terbiasa dengan ini, adalah sulit untuk menghitung sosok-sosok yang bergerak dari pasukan Kekacauan yang muncul dari dalam hutan. Skeleton soldier yang tidak akan pernah lelah memenuhi garis depan, perisai mereka terangkat tinggi, hujan panah sangatlah tidak efektif melawan mereka. Sedangkan untuk undead warrior dengan daging membusuk mereka, mereka terus menekan ke depan tanpa mempedulikan berapa banyak tembakan yang menusuk mereka. Satu-satunya cara untuk menghentikan mereka adalah dengan menyayat mereka dengan pedang, menghancurkan mereka dengan gada, atau melumat mereka dengan pentungan.

Namun terdapat alasan mengapa tuan dari kastil ini tidak melarikan diri dan mengapa Pasukan Kegelapan ini di biarkan saja memutari dinding kastil: kastil ini tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk membubarkan musuh. Jika menara mereka runtuh, desa yang mereka lindungi akan terpapar pada gerombolan tidak suci ini.

Para musuh tertarik dengan menara ini, di karenakan menara ini menawarkan pertahanan yang kokoh. Para prajurit menembakkan panah berapi pada musuh mereka di atas dan di bawah, dan jika salah satu dari penjajah berupaya untuk memanjat dinding para prajurit akan menjatuhkan bebatuan kepada mereka, atau menuangkan minyak panas kepada mereka; dan ketika para prajurit kehabisan kedua hal itu, mereka akan mulai melemparkan bubur mereka.

Ketika para undead—yang, tidak seperti makhluk hidup, tidak terpengaruh oleh panas menyengat dari minyak—mencapai puncak dinding, mereka akan di sambut dengan pedang dan tombak. Walaupun mereka tidak bisa mati, namun itu bukanlah berarti mereka tidak bisa di hancurkan berkeping-keping dengan di jatuhkan dari ketinggian, dan menjadi tidak bergerak secara fisik.

Menara yang di bangun secara baik akan mempunyai portal dan celah untuk tipe pertahanan seperti itu. Ini adalah fortifikasi manusia, oleh karena itu manusia adalah yang paling banyak di sini di antara penjaga lainnya, namun semua orang lainnya yang berada di sana, elf, dwarf, padfoot, dan rhea, bertarung dengan sengit juga. Prajurit dan ksatria, tentara bayaran, dan pelayan domestik, bahkan para koki dan tahanan dari penjara bersatu dalam pertarungan. Mereka mengusung senjata mereka kepada para monster, memasak makanan, memberikan P3K, dan memperbaiki dinding, memberikan air, dan mencuci.

Mereka menghitung uang di dalam brangkas, memeriksa seberapa banyak lagi persediaan yang tersisa, mencatat semuanya, memainkan instrumen musik, dan menyanyikan lagu, tidak ada seorangpun yang mengolok detil-detil kecil ini.

Pertarungan di sini di dalam perbatasan akan Dunia Empat Sudut adalah bagian kecil dari pergulatan antara Kekacauan dan Ketertiban. Pertarungan untuk hidup, pertarungan untuk kehormatan atau persahabatan atau cinta, untuk keuntungan, untuk pengampunan, atau hanya sekedar untuk pulang. Semua alasan itu tidak penting. Kenyataan bahwa semua orang ini dengan motivasi mereka yang berbeda-beda dapat bertarung bersama adalah apa yang membuat Ketertiban.

Walaupun seseorang mungkin akan menganggap ini sebuah kenaifan, mereka merasa seperti menara terakhir yang berdiri di ujung dunia.

“Um, aku bawa panah lagi...!”

Di tengah semua itu, Priestess juga giat membantu semampunya, berlari ke sini dan kesana. Sekarang dia memanjat sebuah tangga dengan membawa banyak panah di lengan, menjaga tubuhnya tetap menunduk seraya dia membagikan panahnya di atas dinding. Langkah cepatnya terdengar seperti langkah seekor burung kecil yang menari di atas ranting.

Tak perlu di ragukan, tentunya ada prajurit yang terluka, dan setiap kali Priestess melihatnya, Priestess menggigit bibirnya sendiri. Namun dia tidak menggunakan keajaiban penyembuhannya. Dia tidak bisa, ini bukanlah luka yang mengancam nyawa.

Dia memiliki beberapa keajaiban, dan dapat menggunakan tiga keajaiban dalam satu hari. Keajaiban itu adalah persediaan strategis.

Benar-benar hebat untuk bisa menggunakan mantra api dua kali dalam sehari.

Gadis ini telah mengambil langkah pertamanya di dalam apa yang bisa di sebut sebagai level tengah, dan dia tengah belajar dengan baik tentang cara menilai kapan waktu yang tepat untuk menggunakan keajaibannya. Oleh karena itu, dia berkata seriang yang dia bisa: “Makanan akan datang sebentar lagi. Bertahan ya!”

“Terima kasih!”

“Yeah, itu benar-benar membantu!”

Para prajurit tersenyum lelah kepadanya, menganggukkan kepala mereka seraya mereka menerima amunisi.

Sebuah pasukan membutuhkan makanan dan minuman sebanyak mereka membutuhkan pedang, perisai, tombak, atau panah, untuk dapat memicu sebuah pertempuran. (Terkecuali, mungkin, para lizardmen yang terhebat dan ahli seni bela diri terbaik.)

“Mereka juga hebat dalam mengurangi jumlah kumpulan wyvern itu!”

“Yeah, ku kira kita akan hancur di bawah serangan mereka. Tapi aku lebih cemas dengan zombienya.”

“Kapten bilang dia akan mengurus mereka,” prajurit lain menyela. “Dan lagipula, aku mencemaskan keduanya.”

“Kamu benar.”

Prajurit berbicara kebenarannya: Wyvern tampak tidak terlalu banyak menyerang walau dengan jumlah mereka yang sebanyak gerombolan kerbau. Halangi jalan mereka, dan tidak akan ada harapan untukmu. Tidak ada seorangpun yang ingin menghadapi mereka secara langsung.

Priestess tahu bahwa jika dia berhadapan dengan semua ini sendirian, dia akan langsung melarikan diri, atau berdiri membeku ketakutan. Akan tetapi, para prajurit saling tertawa dan bersenda gurau satu sama lainnya.

“Hei bagaimana situasi suplainya?” Seseorang bertanya.

“Regu transport seharusnya membawa suplai dari kota air, kayaknya...” Priestess membalas. Bukanlah sebuah jawaban yang pasti atau sangat spesifik, namun para prajurit tetap terlihat senang. “Baiklah,” pria itu bergumam. “Oke.” Priestess membuat lambang suci di depan dadanya. “Semoga Ibunda Bumi melindungimu...”

Seberapa menenangkan doa itu bagi para prajurit yang berkumpul di sana? Mungkin beberapa dari mereka menyembah dewa lain. Tetapi tetap saja, masih ada seseorang yang mendoakan mereka. Mereka yang tidak memahami apa arti kebahagiaan itu tidak akan pernah tahu.

Ini adalah pertempuran pembelaan diri. Tentunya Ibunda Bumi yang maha pengasih akan bersama mereka, benar dadu dari Takdir dan Kemungkinan dapat membuat para dewa pun terkejut, namun tetap saja...

Mendoakan para prajurit agar tidak tersentuh oleh taring dan cakar dari para monster, agar banyaknya panah dari prajurit tengkorak tidak mengenai mereka, Priestess menuruni tangga. Dia menghela dan mencari hal berikutnya untuk di lakukan...

“Pastikan, kamu, istirahat...sebentar...ya?” Tangan Witch memegang lembut pundak Priestess. Cara wanita itu berjalan, dengan pinggulnya yang aduhai bergoyang, membuat Witch bagaikan bunga mempesona bagi para penjaga. Dengan sihirnya, wanita itu mungkin akan menjadi kunci dari pertahan kastil ini di saat yang genting. Dia berbisik kepada Priestess dengan nada bergairah biasanya, “Jika, kamu, mencoba, terlalu, keras...kamu, tidak, akan....bertahan, lama...loh?”

“Oh, i-iya! Maafkan aku...” Priestess terlihat menunduk, sepertinya terlihat malu. Dia merasa seperti anak kecil yang terlalu bersemangat di sebuah festival. Witch melihat gadis itu seolah dia mengetahui pasti apa yang gadis itu pikirkan, dan sebuah senyum tipis bersemi pada wajahnya. “Tapi, kamu...sudah, terbiasa, dengan, ini, sekarang...kan?”

Huh? Priestess melihat wanita itu terkejut, tidak dapat memahaminya, tidak yakin apa yang wanita itu bicarakan.

“Aku, mengira...kamu, pastinya, akan, lebih, panik, loh? Lebih, takut?”

Oh...

Sekarang menjadi masuk akal. Priestess mengangguk sigap, memaksa. “Ya, bu. Di kuil... Maksudku, aku sudah sering melakukan apapun yang bisa ku bantu semenjak aku masih kecil.” Priestess membusungkan dada kecilnya dengan percaya diri dan bangga (namun selalu memastikan bahwa rasa bangga itu tidak membutakannya.) Sering sekali dia membantu merawat luka para petualang dan prajurit setelah perburuan atau pertempuran besar. Insiden dengan Rock Eater itu sebagai contohnya, kejadian itu benar-benar intens...

Astaga... Rasanya itu sudah lama banget sekarang. Rasanya aneh.

Sebenarnya waktu tidak berjalan selama itu. Mungkin dia merasa seperti itu karena dia masih sangat muda waktu itu. Lagipula itu bukanlah kenangan yang berkesan, namun terdapat sebuah nostalgia di dalamnya, dan Priestess tersenyum mengingat itu.

Tidak lama setelah itu suara yang berasal dari balik menara mulai mereda. Menariknya, bahkan pasukan para undead pun tidak dapat terus-terusan selamanya tanpa instirahat—setidaknya, sepertinya. Mungkin jumlah dari mayat sudah berkurang sebanyak itu, atau mungkin kekuatan sihir dari yang mengendalikan mereka telah habis. Atau mungkin para tengkorak menjahit tulang belulang mereka menjadi satu, para undead membalut luka mereka dengan perban...? (Baiklah, itu tidak mungkin.)

“Heh, Aku menang!”

“Aku nggak bisa mencapai mereka kalau mereka nggak mendekat. Kamu nggak bisa menghitung itu semua.”

“Dasar pecundang!”

Percakapan itu mencapai telinga Priestess, dengan sangat jelas, sangatlah tidak pantas di dalam medan perang—atau mungkin sangatlah teramat pantas.

High Elf Archer menuruni tangga hampir tanpa suara, dan Female Knight mengikuti di belakangnya, membuat tangga berdecit dengan beban armornya. Female Knight, yang tampak jelas kalah dalam kontes menumbangkan para wyvern, tampak semakin kesal setelah menyadari perbedaan suara langkah kaki mereka. Priestess mengira dia dapat mendengar wanita itu bergumam sesuatu tentang inilah alasan mengapa tidak ada seorangpun yang menyukai elf seraya knight itu berputar dan melambaikan tangan mengarah Witch. Witch tersenyum sedikit lebar dan mengangguk, dan sesuatu tampak tersampaikan di antara kedua tangan tua itu.

Aku harap aku bisa seperti itu, Priestess mendapati dirinya sendiri berpikir, namun dia terlalu malu untuk berusaha meniru mereka. Alih-alih, dia berlari mengarah High Elf Archer. “Kerja bagus di sana,” Priestess berkata.

“Kalau kamu bisa menyebut ini sebagai kerja,” High Elf Archer membalas, telinganya mengepak. “Setidaknya—nggak seperti Orcbolg—kita punya pertahanan yang kokoh di sekitar sini.”

“Heh, nggak boleh membiarkan diriku sendiri kalah oleh cleric muda!” Female Knight, yang menerka dengan benar pujian yang di maksud High Elf Archer, terdengar cukup bangga dengan dirinya sendiri, wajah cantiknya bersemi menjadi senyuman indah. Sangatlah begitu luar biasa akan betapa cantiknya wanita itu bahkan ketika dia terkunci di dalam armornya—walau pilihan dari kalimat wanita itu lebih mengarah ke berani di banding cantik. Alis lentik dirinya berubah mengernyit, dan dia menghela napas menyerah. “Tapi aku nggak bisa menjatuhkan wyvern dengan satu serangan—itu artinya aku masih harus banyak berlatih.”

“Hei, cleric macam mana yang bisa menjatuhkan wyvern dengan sekali serangan?” ucap High Elf Archer sebelum menambahkan, “Kamu mau tahu masalahmu? Ini loh.” Dia mengetuk armor Female Knighy, yang di mana bergema dengan suara dari kerajinan tangan yang sangat bagus. Jika saja Dwarf Shaman berada di sini, dia mungkin akan dapat memberi tahu cara armor ini di buat. Dan jika Lizard Priest juga berada di sini, tentunya dia akan dengan senang hati menganalisa performa para gadis di dalam pertempuran.

Dan jika Goblin Slayer ada di sini...

“Tidak, ini pernah terjadi sekali, atau yang pernah aku dengar sih. Ada sebuah lagu tentang menumbangkan seekor wyvern dengan satu tebasan pedang.” Sebagian dari Priestess berusaha mengingat seperti apa lagunya, sementara bagian lain dari dirinya merenungkan betapa tidak bergunanya cerita yang yang dia ketahui.

“Kedengarannya wanita itu lebih mengerikan  di banding suci bagiku!” High Elf Archer menghela.

“Bagaimanapun, juga.... mari, kita.........kembali?” Witch berkata, tertawa melihat percakapan ini di balik topi besarnya.

Kembali ke dalam menara untuk makanan dan istirahat. Bahkan High elf sekalipun memiliki batasan persediaan energi. High Elf Archer sebenarnya sudah mulai merasa sangat kelelahan; hanya saja dia tidak menyadarinya hingga momen itu.

“...Tunggu, apa itu?”

Priestess yang baru hendak menggapai botol air di pinggulnya dengan sedikit panik ketika dia mendengar bisikan tajam dari High Elf Archer. Tampaknya, sang elf cukup lelah, namun tidak selelah itu. Priestess mendengak untuk melihat High Elf Archer mengamati langit, tatapannya tajam. Langit sangatlah biru, dan matahari berada tinggi dan terang, walaupun matahari itu baru saja mulai turun dari ketinggiannya.

“Aku nggak mendengar apapun. Tapi...sesuatu datang...!”

Yang mana yang terjadi duluan: bayangan yang melewati atas kepala, atau Female Knight yang bergegas beraksi tanpa berkata-kata? Yang manapun itu, mereka berdua tampak selangkah atau dua langkah di depan dari Priestess seraya dirinya mengambil tongkat deriknya.

Female Knight menendang lantai dengan begitu cepatnya hingga dirinya bisa di sangka sebagai angin, dan melompat ke udara. Adalah di saat Priestess mengikuti arah lompatan wanita itu barulah dia melihatnya. “Tapi...itu...”

Pada awalnya, itu terlihat tidaklah lebih dari sedikit kabut di udara, namun seraya dia memperhatikan, kabut itu mulai membesar dan melebar, terdapat sebuah sepasang sayap besar dan tanduk tajam. 

“...burung dan...rusa...?” Monster itu mirip sekali dengan kombinasi gila dari kedua hewan itu. Tidak salah lagi bahwa itu adalah makhluk Kekacauan, dan Female Knight lompat, ke atas dan ke atas. Dia melompat begitu tinggi hingga dia melampaui tinggi menara, dengan mudah mencapai monster. Seraya dia berada di atas kepala monster itu, dia membidikkan sebuah serangan ke bawah, dengan niat untuk menghabisi makhluk terbang manapun.

Priestess tidak mengetahui apakah ini adaalah cara yang di temukan oleh Female Knight untuk melawan wyvern, atau apakah ini semacam teknik berpedang kuno. Namun serangan fatal itu...

“Hngh?!”

Pedang menembus monster itu, namun pedang itu terus melanjutkan momentumnya tanpa hambatan, seolah seperti Female Knight menusuk langit itu sendiri. Dia mendengus, berputar liar di udara dan mendarat dengan rapi di atas dinding.

“Semacam ilusi...?!”

“Rasanya seperti ada di sana,--tapi nggak ada!” High Elf Archer membalas, suaranya jernih seperti lonceng. Dia berlutut sebelah kaki di halaman, menarik busur besarnya hingga berdecit—namun dia tidak dapat menyembunyikan rasa cemasnya. “Aku nggak bisa merasakannya monster itu...! Aku nggak akan bisa mengenainya!” dia mengumpat dari balik napasnya, namun ketika di ucapkan dengan suara dari seorang high elf, umpatan itu terdengar merdu.

Di sana terdapat : monster yang tiba-tiba muncul di langit, Female Knight yang mencoba melakukan serangan kepada monster itu, dan High Elf Archer dengan suaranya. Para prajurit juga, yang kalang kabut hingga hampir ketakutan, entah bagaimana berhasil bangkit dan bersiap untuk bertarung dengan senjata di tangan mereka.

Priestess melihat ini semuanya meresapinya dalam satu tarikan napas, dan berpikir sekeras yang dia bisa. Apa yang dapat dia lakukan? Apa yang harus dia lakukan? Apakah ini waktunya untuk keajaiban? Dia mulai berdoa...

“...Tolong hentikan...itu.” Dia merasakan tangan Witch berpangku di atas pundaknya. 

“Apa...?” Dia mendengar suaranya sendiri yang serak keluar dengan sendirinya, dan diapun tersipu karena itu.  Satu belaian lembut dari tangan Witch telah lebih dari cukup untuk menghancurkan konsentrasi doa Priestess ke surga.

“Ketika, kamu, tidak...mengetahui...sesuatu...itu...maka, kamu, tidak boleh, menyentuhnya. Belum, saatnya.” Witch mendongak ke langit, namun Priestess tidak dapat menebak secara pasti kemana wanita itu melihat. Bagaimanapun juga, Priestess merasa bahwa dia memahami apa yang di ucapkan Witch, walau tidak sepenuhnya jelas. Pelafalan Wizard yang paling sewizard-wizardnya selalulah seperti itu. Para dwarf-pun memiliki ciri khasnya sendiri. (TL Note : Wizardish of a wizard = wizard sewizard-wizardnya.)

Inilah kesimpulan yang di dapat Priestess setelah akumulasi berpetualang selama satu atau dua tahun.

Memang beginilah, dia berpikir. Merenungkan argumen-argumen cerdas tidak akan membuahkan hasil. Apa yang mereka hadapi, dirinya dan mereka semua, adalah sihir.

“...Baiklah.” Priestess mengangguk, berlanjut melototi makhluk biru kehitaman di atas. Witch telah berkata “Belum saatnya.” Priestess memilih untuk mempercayai wanita itu.

“Ah,” Witch berkata, dengan tanda menghargai di dalam bisikannya. “Itu baru, gadis, pintar...”

“Oh, hentikan,” Priestess membalas menyela. Dia melanjutkan menatap tepat kepada musuh. Jika ada hal terkecil yang dapat dia lakukan untuk bersiap ketika waktunya tiba, dia harus melakukannya.

Itulah apa yang pria itu akan katakan, sih.

“Aku datang untuk memperhatikan kalian, tapi kalian semua kelihatan sangat menyedihkan.”

Oleh karena itu, walaupun Priestess terkejut dengan suara sengau itu, dengan segera dia melihat bahwa suara itu berasal dari tenggorokan sang monster. Makhluk itu, bukanlah burung maupun rusa, menggerakkan kedua matanya—mata itu mengingatkan Priestess akan ikan mati—seraya dia berbicara.

“Apa katamu?!” Jawaban itu datang segera, dan berasal dari Female Knight. Priestess mendengar gerutunya, “Anjing!”, sebuah kata yang sangat tidak pantas bagi pelayan Supreme God. “Banyak bacot kamu, anjing! Turun kamu ke sini! Ku patahkan kepalamu dan ku bakar di atas api!!”

“Baiklah, tentu saja: Aku akan ada di sini lagi besok di jam yang sama.” Kemudian pelayan Kekacauan itu tertawa. Tepat di saat monster itu akan memudar menjadi kabut awan, cara yang sama ketika dia datang, dia mengumandangkan: “Resapilah ketakutan kalian di setiap jamnya! Ratapilah ketidakberdayaan kalian dan mati!”

Dan kemudian, walau dia tidak menyentuh mereka, para prajurit di bawah lingkaran gaib yang di gambar monster itu di langit, pingsan. Makhluk itu kemudian lenyap, dengan hanya meninggalkan ucapan pemisah kejinya yang menodai udara di tempat dia berada.

*****

Bukanlah uang yang memaksa para petualang untuk menjadi tentara bayaran. Lagipula biasanya para petualang tidak akan pernah menjadi tentara bayaran, walaupun terkadang itu memang terjadi. Pertama, mencoba untuk mengambil kepala musuh di peperangan, jauh kurang menguntungkan di banding berburu harta karun di dalam gua. Sejauh ini kedua profesi ini melibatkan mereka untuk mempertaruhkan nyawa, setidaknya para petualang lebih baik--setelah mereka mencapai peringkat tertentu.

Jika kamu ingin menjadi kaya di dunia, kamu dapat bergabung dengan tentara secepat mungkin, atau jika tidak, menjadi petualang. Jika kamu telah membuat namamu sendiri terkenal dan di berikan gelar ksatria atau gelar bangsawan, tanah untuk di kelola dan pasukan untuk di pimpin, tentunya itu merupakan salah satu dari kekayaan. Salah satu yang tidak melibatkan menjadi petualang atau tentara bayaran.

Terdapat dua alasan mengapa militer mungkin akan menyewa petualang: untuk mengalahkan monster di dalam pasukan musuh, atau menyelundup markas musuh dan menghabisi pemimpin mereka. Atau mencuri beberapa rahasia. Oke, tiga alasan. Berburu monster, pembunuhan, pengambilan informasi, atau untuk menyelamatkan permaisuri yang tertangkap. Tuh kan? Empat alasan.

Apapun itu...

Priestess sendiri berada di sini tanpa adanya ikatan, dan dia di sini juga bukanlah karena sebuah misi spesial. Singkatnya, apa yang membawa dia kemari adalah... Benar. Alasan kelima.

“Apa? Goblin Slayer nggak ada di sini hari ini?”

Itulah apa yang dirinya telah tanyakan, tampak jelas bingung, pada Guild Petualang beberapa hari sebelumnya. Adalah pagi hari; dia telah selesai berdoa dan berpakaian untuk hari ini, kemudian pergi menuju Guild, hanya untuk di sambut dengan ekspresi muram dari Gadis Guild.

“Sayangnya tidak. Atau...tadinya dia di sini, tapi dia sudah—yah, dia di bawa ke suatu tempat.”

Dia telah mengatakan kepada Priestess bahwa Spearman dan Heavy Warrior telah tiba dan menggeret Goblin Slayer tanpa menunggu pria itu memprotes. Jika hanya Spearman seorang diri, satu atau dua patah kata dari Gadis Guild mungkin akan dapat menghentikan pria itu, tetapi tidak.

“Mereka bilang mereka membutuhkan scout... Sayangnya aku bukanlah satu-satunya di sini yang menangani quest,” Gadis Guild berkata, kemudian tersenyum minta maaf. Dia bisa saja bertanya kepada rekannya tentang apa yang terjadi, namun Gadis Guild takut mereka akan berpikir bahwa dirinya mencoba untuk melibatkan diri ke dalam pekerjaan mereka.

“Begitu...” Priestess membalas, menyadari bahwa dia sama sekali tidak mengetahui politik internal dari Guild. Dia bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa politik itu.

Apapun yang di pikirkan Gadis Guild tentang ekspresi ambigu Priestess, dia tersenyum kepada Priestess. “Dia sudah benar-benar berubah.”

“Huh?”

“Rasanya sulit di percaya kalau sudah dua tahun. Dia selalu saja mengerjakan apapun sendirian, tapi pertama dia bergabung denganmu, dan sekarang dia mempunyai partynya sendiri...” pria itu mendapatkan quest dari nama besar yang mengirimkannya ke negara lain, dan terkadang grup lainnya bahkan meminta bantuannya. “Dia sudah benar-benar berubah,” Gadis Guild mengulangi dengan lembut, menggelengkan kepala. Kepangnya berayun pelan, entah mengapa goyangan itu memberikan kesan seperti ekor anak anjing.

“Aku senang dengan itu,” dia menambahkan. “Tapi...rasanya sedikit sedih juga. Kamu tahu kan apa yang aku maksud?”

“Er... Hmmm,” Priestess berkata. Dia malu untuk memungkirinya, namun untuk mengakuinya terasa begitu kekanak-kanakan, oleh karena itu, dia hanya menjawab dengan goyangan kepala ambigu. “Aku, aku nggak bisa hanya sekedar membuntutinya seumur hidupku.”

“Kamu sendiri juga sudah berkembang ya?” Gadis Guild menjulurkan jari lentik manisnya dengan kuku yang terawat dengan sangat baik, membelai dada Priestess. Atau, lebih spesifiknya, kalung yang menggantung di sana, kalung itu masih begitu baru, hingga kilaunya masih belum menghilang. Priestess masih belum terbiasa dengan kalung ini. “Seperti yang kami harapkan dari seorang petualang tingkat Sapphire.”

“Ja-jangan mengejekku begitu...” Priestess membalas, tersipu. Gadis Guild tertawa kepadanya.

Priestess menggembungkan pipi kesal, namun dengan cepat menyadari bahwa itu adalah hal konyol untuk di lakukan, dan memaksa dirinya untuk berhenti. Dia masih belum terbiasa menerima pujian—dia bahkan percaya bahwa dia tidak pantas menerimanya.

Ya, adalah benar peringkatnya naik. Namun peringkat yang naik tidaklah selalu berbarengan dengan peningkatan kepercayaan diri seseorang. Dia adalah orang yang sama dengan dia yang sebelumnya, yang bangun setiap hari mengumpulkan pengalaman; sekarang dia hanya satu tingkat lebih tinggi. Itu semua adalah rangkaian, mengalir dari satu ke lainnya, tidak ada perbedaan di antaranya—atau seperti itulah yang dia rasa.

Dia yakin bahwa akan sangat sulit walaupun tidak mustahil, baginya untuk melakukan hal yang di lakukan petualang lain sebelumnya. Di dalam pikirannya sendiri, dia masihlah pemula, seorang pemula yang tidak mengetahui kanan dan kirinya.

Sebenarnya, kalau di pikir lagi, aku sudah belajar banyak hal berbeda, tapi...

Dia bahkan telah bertemu naga dan hidup untuk menceritakan kisahnya, yang di mana itu bukanlah sebuah pencapaian yang kecil. Jika dia bertemu dengan petualang lainnya yang melakukan hal seperti itu, dia tentunya akan menganggap bahwa itu adalah hal yang luar biasa. Namun ketika pencapaiannya itu adalah miliknya sendiri, entah mengapa pencapaian itu terlihat kecil di matanya.

Mungkin kalau ada cara untuk mengetahui seberapa kuatnya seseorang, berapa level mereka dalam sekilas...

Dia tidak dapat menahan helaannya pada pikiran itu; pikiran seperti itu adalah murni fantasi.

“Ada apa?” Gadis Guild bertanya, namun Priestess menggeleng kepalamya. “Nggak. Aku cuma mencoba membiasakan diri menjadi Sapphire.”

“Hee-hee. Yah jangan di pikirkan, kamu akan terbiasa sendiri nantinya. Kamu hanya perlu mencari tahu bagaimana bertingkah seperti seorang Sapphire.”

Itu terdengar begitu mudah ketika Gadis Guild mengatakannya, namun yang hanya dapat Priestess berikan sebagai balasan adalah “Baik” dan tatapan termenung.

Tapi apa yang seharusnya aku lakukan? Dia berpikir. Lizard Priest tengah pergi melalukan quest dari seorang teman lama, membawa Dwarf Shaman bersamanya. Jadi, dia mengira Goblin Slayer, High Elf Archer, dan dirinya akan pergi, tim tiga orang, namun rencana itu telah batal di detik terakhir. Namun juga, menyebutnya sebagai rencana itu sedikit berlebihan—mereka hanya akan memikirkan ide-ide tidak jelas. Masing-masing dari mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan.

Priestess tidaklah terlalu menolak ide tentang mengambil hari libur, namun mungkin tidak untuk hari ini. Dia bangun dengan asumsi bahwa dia akan pergi bekerja, dan dia berpakaian dengan asumsi itu. Jadi apa yang dapat dia lakukan?

Mungkin aku bisa mempelajari buku manual monster. Dia dapat berlatih mengayunkam tongkatnya atau menembakkan ketapelnya juga, namun dia sedang dalam suasana hati untuk membaca buku hari ini. Lagipula, goblin bukanlah satu-satunya monster di dunia. Kamu tidak akan pernah tanu kapan kamu mungkin tengah dalam perburuan goblin dan tiba-tiba berhadapan dengan tipe makhluk lain yang benar-benar berbeda. Aku tahu itu dari pengalaman...

Naga bukanlah semacam makhluk yang akan kamu temui setiap hari, dan hanya mengetahui satu titik lemah tidak akan memberikanmu jaminan kemenangan. Dan kemudian, terdapat kisah dari para petualang yang bertemu dengan manusia belalang dan mendapati diri mereka terbunuh sebelum mengetahui apa yang terjadi...

Priestess sedang mengamati rak buku Guild ketika sebuah suara indah namun kesal berkata, “Apa, kamu di tinggal juga?”

Dia berputar untuk menemukan Female Knight, indah dan tangguh, berdiri di belakang Priestess dan sama sekali tidak berupaya menyembunyikan kekesalannya. Female Knight pasti tampak begitu cantik menawan bagi mereka yang tidak begitu mengenalnya. Priestess mendengar beberapa suara petualang pemula wanita lain yang menjerit ketika mereka melihat Female Knight.

“Uh-huh. Aku...sepertinya aku di tinggal.” Sedangkan untuk Priestess, dia telah bertemu dengan Female Knight lebih dari sekali. Dia menerima nada kekesalan wanita itu dengan tawaan.

“Tuhan. Dasar para brengsek. Memainkan kemurnian hati perempuan saja ya?” Female Knight mendengus keras, namun akhirnya mengangkat bahunya. Priestess tidak dapat mengetahui apakah wanita ini sedang berusaha melawak.

“Pria...terkadang, bisa, sangat...egois, ya?” sebuah suara bergairah menyela, membuat Priestess merinding. Ini adalah seseorang yang di mana kehadirannya selalu membuat Priestess merasa menjadi lebih pemula dari biasanya. “Aku, juga, bernasib...sama...seperti, kalian berdua.”

“Kalian berdua?” Priestess bertanya, berkedip. “Yang lainnya mana?”

“Bocah-bocah dan akuntan kami di seret dwarfmu dengan dalih untuk melihat dunia.” Female Knight menatap Priestess dengan lototan dan menyebabkan Priestess menjerit, “Maaf...” Ya, masalah itu sudah di diskusikan dan di setujui, namun tetap saja rasanya pedih.

Apa ini artinya aku mulai memahami peraturan nggak tertulis di dunia ini? Priestess berpikir, dia ingin merasa bahwa kemampuan dirinya telah berkembang, namun untuk saat ini, rasanya tidak seperti itu.

Merupakan sebuah berkah untuk mendapatkan cara untuk mengetahui kemampuan dan talentanya sendiri dengan sekali lihat.

“Hrm. Itu berarti masih ada si elf mu itu. Di mana dia?”

“Oh,” Priestess berkata, tatapannya secara singkat menatap plapon. “Masih tidur, kayaknya.”

“Dengan kata lain, kamu punya waktu luang. Mantap, kalau begitu dah pasti!” Female Knight mengumumkan, menepukkan kedua tangan seolah semuanya telah di putuskan. Kemudian dia memanggil “Hei!” ke arah meja resepsionis.

“Ya bu,” pegawai Guild yang sering bekerja sama dengan partynya berkata, seolah dia memahami sekali apa yang di inginkan Female Knight. Gadis itu dengan cepat mulai melakukan administrasinya.

Priestess dan (kemungkinan) Witch, masih tidak yakin tentang apa yang terjadi. Mereka saling bertukar pandang terkejut.

“Ayolah, kita punya warrior—lebih ke knight—dan wizard, cleric, dan ranger. Cuma ada satu hal yang perlu di lakukan kan?” Female Knight tersenyum bagaikan hewan liar, memaparkan giginya, sebuah ekspresi yang sangat di kenal Priestess.

“Pergi berpetualang!”

*****

“Kenapa ikutin aturan? Kenapa nggak langsung terobos aja ke kemah musuh dan mulai memenggal kepala?”

“Kita nggak bisa lakukan itu.”

“Ya, tentu saja tidak............... Apa kamu yakin?”

“Aku kira kamu itu harusnya ksatria besar yang ganas. Kamu kedengarannya seperti pemula...”

Dengan itulah, bagaimana undangan Female Knight telah membawa mereka ke situasi di mana mereka berada sekarang.

Senja matahari memainkan cahayanya di dalam aula ruang makan—yang di mana merupakan nama mewah yang mereka berikan pada salah satu ruangan besar yang terbuka. Karpet telah di bentangkan di lantai, dan beberapa kotak panjang telah di taruh, beberapa kursi, beberapa meja. Para prajurit makan tanpa henti.

Priestess duduk di antara High Elf Archer dan Female Knight, tertawa terbahak-bahak mendengar percakapan mereka. Mereka berdua tampak bekerja sama dengan baik.

“Aku yakin aku cuma kurang kerahkan tenaga, itu masalahnya. Kalau aku sudah serius, aku tebas cecunguk itu sampai terbang.”

“Bahkan pahlawan elf sekalipun cuma bisa melakukan serangan terbang dalam kondisi tertentu. Mustahil bagi manusia untuk melakukannya.”

“Grrr...”

Priestess memberikan “Ha-ha-ha!” hampa. Adalah bagus mereka tidak terlalu merasa murung. Mungkin. Priestess melirik kepada Witch untuk meminta bantuan, namun wanita itu hanya menghembuskan asap elegan dari pipanya. Setiap kali wanita itu dengan beraninya melipat dan melepas lipatan kakinya, kumpulan lirikan para prajurit tertuju kepada paha wanita itu.

Aku yaki dia sadar... Kan? Priestess melihat lantai, tidak dapat menghentikan pipinya yang tersipu. Dia dapat merasakan degup jantungnya semakin cepat di dalam dada kecilnya, dan otaknya tampak tidak bekerja seperti biasanya.

Bagaimana kita bisa seperti ini...? Dia mempertanyakan dirinya sendiri. Benteng ini tentunya di bawah komando dari militer, namun para prajurit bukanlah satu-satunya yang berada di sini. Itu karena, kemanapun para tentara pergi, priest dan pelacur akan mengikuti, begitu pula dengan karavan para pedagang, bahkan penjarah medan perang. Pebisnis yang memuat dagangan mereka ke gerobak dan mendorongnya hingga ke depan pintu benteng itu bukanlah pemandangan yang aneh. Dan sebagai pengawal mereka adalah petualang—pekerjaan petualang.

Priestess bersedia, namun bukanlah dia sendiri yang dapat memutuskan. Pertama dia harus berkonsultasi dengan High Elf Archer, memilih langkahnya melewati kamar tidur sang elf, yang di mana hampir tidak terdapat tempat untuk memijakkan kaki.

Tentu saja, sang elf merespon gembira dengan ide yang terdengar bagus itu. Oleh karena itu ke empat wanita membentuk kawalan yang ribut, berdebat, menemani gerobak ini hingga ke benteng—membimbing mereka ke dalam situasi mereka saat ini. Sang pedagang sedang di tengah negosiasi ketika seekor wyvern dan pasukan zombie muncul, dan mereka mendapati diri mereka berada di tengah kepungan. Tentu saja, quest yang di terima Priestess dan teman-temannya hanyalah mengawal pedagang hingga ke benteng, oleh karena itu mereka telah terbebas dari kontrak mereka di saat mereka mencapai gerbangnya.

Mereka tidak menerima quest, tidak ada mendapatkan uang, dan sama sekali tidak terlibat dengan ini—oleh karena itu, seharusnya, mereka bisa saja putar balik dan pulang, namun ini, dalam estimasi High Elf Archer, akan berarti harus meninggalkan kekerenan mereka sebagai petualang. Mereka dengan riang memilih petualangan awal mereka, dan jika saja petualang ini mengarah pada petualangan lain, mereka harus melakukannya.

Karena kita adalah petualang.

“...Tapi, sebenarnya apa yang terjadi di sini?” Priestess berkata pada dirinya sendiri, meminum sebuah sup yang berisi kacang, bawang, dan kentang, dengan beberapa daging. Terdapat bayangan biru yang menolak menunjukkan wujud sesungguhnya. Makhluk mimpi buruk, setengah burung daan setengah rusa, yang terbang di atas mereka. Mereka tidak pernah mendengar atau melihat makhluk seperti itu sebelumnya. Priestess juga tidak mengingat melihat makhluk itu di dalam Monster Manual. Yang hanya dia ketahui tentangnya adalah...

“...Itu bukan goblin.”

“Itu, seekor...peryton.”

“Seekor apa?” Bisikan kalimat itu mengejutkan Priestess. Dia melihat Witch, yang tengah menghembuskan asap pipanya dengan santai hingga saat itu, sekarang menatap langsung kepada dirinya.

Priestess menegang tiba-tiba, mengundang tawa kecil dan senyuman dari Witch. “Binatang...dengan, bayangan...biru. seekor, makhluk, dari, fantasi... makhluk itu...tidak...nyata.” Kalimatnya—penjelasannya—tampak muncul dari balik kepulan asap. Priestess mendengarkan Witch dengan seksama, mendengarkan dengan baik untuk menangkap setiap kata yang dia ucapkan.

“Karena itu, mustahil...untuk, mengalahkannya, loh. Untuk, memburu, makhluk, yang...tidak, nyata, hanya bisa, di lakukan, di dalam...mimpi...akan perburuan.”

“Di dalam mimpi...”

Ucapan Witch sering kali susah untuk di pahami, namun dia tidak berbohong. Priestess mengernyit dan berpikir keras, dan setelah beberapa saat dia meringis seraya dia mendapatkan kesimpulannya. “Jadi makhluk...ini yang nggak nyata. Mustahil untuk di kalahkan?”

“Ya, dari...awal...dia, tidak, ada, di sana, loh?”

Tapi... ini masih menyisakan satu hal yang tak di jelaskan. Jika dia tidak nyata, bagaimana dia bisa melakukan apapun kepada mereka? Bagaimana dia menyerang orang, membunuh prajurit, membuat proklamasi perang, atau mengomando para undead?

“Dia nggak nyata tapi...dia ada.”

“Itu, benar.” Witch mengangguk, menghembuskan kepulan asap wangi. Asap itu meninggalkan bibirnya dan mengambang ke langit, membentuk huruf misterius. Priestess memperhatikan asap itu pergi seolah asap itu mungkin membawa jawaban dari teka-teki. Setelah mengernyit untuk beberapa saat, dia mendengus. “Urgh,” Priestess berkata, terdengar seperti gadis kecil, seraya dia merebahkan tubuhnya di atas meja. Dia mungkin sudah mengacak-acak rambutnya sendiri, jika kuil tidak mengajarinya sopan santun yang benar. “Ini sama sekali nggak masuk akal...

Gumamnya teredam oleh sebuah pukulan di meja. “Yeah, gadis itu benar! Ngomong yang masuk akal, cok!” Wajah  Female Knight merah padam. Antara dia mulai mendengarkan di tengah jalan, atau dia terus-terusan minum selama ini. Di lihat dari gelas di tangannya, tampaknya pilihan kedua itu jauh lebih memungkinkan.

Dia menghantam gelas di atas meja lagi, mengundang tatapan dari para prajurit di sekitar. “Aku Cuma mau tahu satu hal: Apa kita bisa mengalahkannya atau nggak? Kalau dia bisa berdarah, berarti kita bisa membunuhnya!”

“...” Mata Witch menyipit—sulit mengatakan apakah dia terkaget atau terhibur. “...Kurasa...seharusnya...bisa.”

“Itu saja yang perlu ku dengar!” Female Knight berteriak. Kemudian dia berkata, “Bagus!” dan meraih botol anggur yang tergeletak di lantai dekat kakinya. Dia tidak mau repot-repot menuangkannya ke dalam gelas, alih-alih dia langsung meneguknya dari botol—yang di mana masih cukup penuh—menguras isinya dalam satu tegukan panjang. “Intinya, kita bisa menang melawan makhluk ini! Jadi kalian semua dengarkan! Jangan takut sama monster itu! Bersenang-senanglah, minum sepuasnya, makan semaumu, dan tidur!” 

Sebuah pernyataan yang lancang—sebagian orang mungkin akan mengatakan bahwa semua itu tidak berdasar—namun Female Knight mengatakannya dengan penuh keyakinan.

Priestess tampak terbengong, namun para prajurit dengan cepat berteriak, “Huzzah!” seseorang berkata, “Kalau seorang knight bertingkat Silver pikir kita bisa melakukannya, kita pasti bisa!”

“Aku lebih dari sekedar Knight!” Female Knight berteriak, cemberut. Sangatlah imut; ekspresi itu tampak begitu asri pada wajah cantiknya. “Aku adalah paladin yang melayani Supreme God!”

“Ya! Ya!” datanglah respon. Tidak ada satupun prajurit yang hidup yang akan memilih merenungkan musuh mematikan di banding sedikit bersenang-senang. Jika seseorang bersedia untuk mencoba mengangkat moral mereka, itu sudah cukup bagi mereka.

Keheningan yang mengambang di atas sekitaran ruang makan sebelumnya telah menghilang, di gantikan dengan pembicaraan prematur akan perayaan kemenangan. Lebih banyak anggur di keluarkan  dari gudang, bersama dengan persediaan yang mereka simpan hingga sekarang—sepek dan daging dan roti. Seseorang mungkin menduga bahwa kapten atau komandan dari benteng ini akan menghentikan mereka, namun adalah mereka berdua yang mengeluarkan persediaan ini.

Di antara keramaian, Female Knight menoleh mengarah Priestess dan berkedip. Dia benar-benar sesuatu... pikir Priestess. Dia tidak tahu apakah Female Knight merencanakan ini atau tidak, atau hanya sekedar berterus terang, namun dia seorang diri berhasil mengubah suasana dari benteng ini. Bahkan Priestess menyesali kemuraman dirinya sebelumnya tentang bagaimana semua ini tidak masuk akal. Begitu banyak orang yang memperhatikan dan mendengarkan.

...aku nggak boleh melakukan itu. 

Dia menggelengkan kepala dan menepuk pipi. Jika dia terus terhanyut ke dalam kecemasan, kegundahannya secara terus menerus, itu akan mempengaruhi semua orang. Oleh karena itu, dia perlu berpikir, kemudian berpikir lagi, dan kemudian bertindak. Itulah yang pria itu akan lakukan.

“...Baiklah!” Dengan pikirannya yang mulai bekerja kembali, Priestess bahkan tidak menyadari lirikan bening Witch kepadanya.

Monster itu tidak nyata. Dan sesuatu yang tidak nyata tidak dapat di musnahkan dari kenyataan. Karena sesuatu itu tidak berada di sana dari awalnya.

“Jadi, itu artinya...?”

“Kalau kamu bisa mengenainya, itu saja yang terpenting kan?” Suara itu, suara yang begitu jernih: ucapan High Elf Archer mencapai kesadaran Priestess dengan mudahnya.

“Huh...?” dia menoleh untuk melihat sang elf telah berpindah ke jendela. Elf itu memperhatikan para prajurit yang bersenang-senang gembira seraya angin membelai rambutnya. Matahari telah begitu rendahnya di langit sekarang, mewarnai dunia dengan merah, namun entah mengapa ini terlihat berbeda, bagi seorang high elf. Sinar terakhir dari matahari tampak membuat rambutnya berkilau emas.

Kemudian sang archer memberikan lambaian tangannya dan berkata enteng, “Kamu hanya perlu mengenainya dengan sesuatu. Apa aku salah?”

“Huh? Yah...” Priestess mencoba untuk mempertahankan pikirannya yang kacau balau. “Menurutmu?!”

Dia memutar lehernya untuk melihat Witch yang tidak berbicara, namun hanya menarik ujung topinya. Terkadang wanita itu terlihat sangat lancar berbicara ketika dia tidak mengatakan apapun sama sekali.

“Kamu mempertanyakan sesuatu yang ada tapi nggak nyata,” High Elf Archer berkata acuh. “Kalau kamu bisa mengenainya, maka dia nyata.” Dia memberikan dengusan seperti tawa kecil. “Sederhana, kan?”

“Begitu! Kalau begitu kamu bisa—“

Kalau begitu kamu bisa mengalahkannya. Priestess mencoba untuk tidak melepaskan jawaban yang dia dapatkan, mengepalkan tangannya dan mengangguk.

Musuh telah mengatakan bahwa dia akan muncul pada tengah hari esok. Kalau begitu, mereka dapat mempersiapkan sergapan untuk musuh itu. Female Knight dan Hight Elf Archer di baris depan. Di belakang, Witch...dan dirinya sendiri.

Mereka tidak dapat mengharapkan musuh untuk hanya diam begitu saja semenjak mereka mengetahui siapa dan apa makhluk itu. Karena itu penyerangan adalah hal mutlak. Baris depan tidak akan memiliki waktu untuk berdiri sembari memecahkan teka-teki. Oleh karena itu ini akan menjadi tugas Witch—atau Priestess.

Ketika Priestess mencapai titik proses pemikirannya ini, dia mengernyitkan alisnya. “Aku nggak mungkin bisa melakukannya,” dia berkata. Ini bukanlah masalah ketidakpercayaan diri, namun hanya pemikirannya saja, sebuah fakta sederhana. Kenyataannya adalah, pada titik ini, dia belum mendapatkan apapun yang menyerupai jawaban. Dan dari keempat wanita, dia tentunya bukanlah yang paling cerdas. “Daripada aku, bagaimana kalau...”

Kamu? Dia hendak berkata, namun sebelum kata itu berhasil keluar dari mulut, Priestess mendapati sebuah jari lentik menekan bibirnya untuk mendiamkannya.

“Kamu, tahu...para, wizard...selalu, membuat sesuatu, secara, ambigu...dan...menggunakannya...secara, ambigu, juga.” Priestess menelan ucapannya kembali, dan Witch melanjutkan dengan merdu. “Karena jika...sebuah, benda, memiliki, satu, arti...maka, tidak, ada, arti, lain, yang, dapat...muncul... Paham?”

Priestess, sayangnya, tidak begitu paham. Dia mendeteksi adanya aroma manis samar dari jemari Witch yang dia kira pasti adalah tembakau, dan dengan cepat dia menarik dirinya menjauh. Tidak, Priestess tidak dapat memahami arti sebenarnya dari ucapan itu. Ucapan itu benar-benar terliputi asap buram.

Namun dia memahami keinginan Witch yang berniat membuat semuanya paham. Buktinya adalah akan bagaimaana Witch tersenyum halus kepadanya dan berkata dengan bisikan lembut, “Cobalah...tebak, ya? Dari, dirimu, sendiri.”

*****

“...Kenapa, nggak bisa tidur?”

Tentu saja—bagaimana dia bisa tidur?

Ranjang pada kamar tidur prajurit sangatlah keras, yang membuat Priestess merasa tidur di kuil jauh lebih baik dari tempat ini. Bahkan mungkin ruang ekonomi petualang di penginapan Guild jauh lebih baik dari ini. Priestess membalut dirinya dengan selimut, menatap langit-langit. Menutup kedua mata, berputar beberapa kali, kemudian membuka matanya lagi.

Cahaya dingin dari bulan kembar menyinari melintasi jendela. Di sekitarannya, para prajurit tertidur (ini adalah asrama wanita tentunya), dengan satu-satunya yang terdengar adalah suara napas mereka.

Priestess berguling lagi beberapa kali, mengetahui bahwa dia perlu tidur secepatnya, namun dia tidak dapat melakukannya. Bagaimana jika dia tidak dapat tidur sama sekali malam ini hingga pagi? ...Nggak. walaupun aku bisa tidur, aku mungkin akan terbunuh dalam tidurku dan nggak akan pernah bangun lagi.

Tiba-tiba Priestess di serang oleh kegundahan, namun dia menghela napasnya. Ini gila. Ini adalah pikiran pengecut dan konyol, akan tetapi...

Semua ini membuat pertanyaan tak terduga itu menjadi sebuah kelegaan baginya.

“Um...” Setelah beberapa saat berpikir, Priestess memutuskan untuk mengakuinya. “...Sama sekali.”

“Yah, mau bagaimana lagi,” Female Knight berbisik dari ranjang di dekatnya. “Bisa tidur secara langsung adalah sebuah talenta tersendiri.” Dia menambahkan akan betapa irinya dia dengan elf itu. Seseorang pernah mendengar bahwa para elf tidak benar-benar terlalu membutuhkan tidur, namun apakah itu benar? Mungkin mereka hanya sekedar dapat tidur kapanpun dan dimanapun mereka mau, dan dapat terbangun ketika mereka menginginkannya. Namun apapun itu...

...Aku setuju, aku iri. Pikir Priestess. Dia memikirkan temannya—hampir seperti kakaknya—yang tidur di seberang ranjangnya. “Erm bagaimana denganmu...?”

“Aku barusan tertidur. Kebetulan saja aku membuka mataku sekarang.” Ranjang di sisi lain dari tempatnya berdecit halus. Priestess berguling sekali lagi, dan di sana dia melihat sebuah kecantikan yang bermandikan cahaya biru bulan. Female Knight menatap kepadanya dan tersenyum nakal. “Malam sebelum pertempuran besar persis seperti malam sebelum petualangan. Aku jadi bersemangat dan, yah—di sinilah aku.”

Cahaya bulan menyinari sosok indahnya, menunjukkan wajah dari seorang anak kecil yang ingin melakukan kejahilan.

Priestess terbengong memikirkan cara untuk merespon. Dia menatap langit-langit ruang tidur, mencari kata-kata. Akhirnya, yang dapat dia temukan adalah. “Itu benar-benar sesuatu.” Itu memiliki nilai dari sebuah kejujuran. Female Knight hanya sekedar bersemangat; dia sama sekali tidak membawa kecemasan yang akan membebani Priestess pada saat ini.

“Heh-heh,” Female Knight berkata bangga, dan selimutnya (yang di mana terlihat lebih menonjol di beberapa bagian tertentu di bandingkan Priestess) bergerak. “Tapi, aku masih sekitar delapan puluh persen. Nggak peduli seperti apa pertempurannya—kalau kamu bisa menanganinya sebesar enam puluh atau delapan puluh persen, itu sudah ideal.”

Priestess berkedip sekali. Kemudian dia menarik selimut hingga menutup mulutnya, dan melihat kepada Female Knight, “...Yang benar?”

“Percaya aku. Kamu nggak bisa mengarungi semua pertempuranmu dengan kemiringan terjal.”

“Er...” Yah, dia benar. “...Begitu, itu benar.”

“Iya kan?” Female Knight tertawa kembali, dan kemudian melanjutkan, “Pertempuran besok contohnya. Kamu terus terpikir tentang apa yang akan kamu lakukan, bagaimana kamu melakukannya.”

Glek. Priestess menelan liurnya, namun mengangguk. Dia tahu seberapa culunnya gerakan itu.

“Bayangkan dirimu menghabisi musuh, membasmi musuh dari satu tempat ke tempat lain hingga ujung cakrawala.”

“Uh...huh.”

Ayolah, bayangkan.”

“Yah, er... Baiklah. Ya.” Priestess tidak dapat mengutarakannya secara benar, namun tampaknya ini cukup bagi Female Knight.

“Tapi itulah masalahnya. Di saat kamu berada di pertempuran sesungguhnya, kamu mungkin hanya bisa menghabisi—entahlah, tergantung dari musuhnya, tapi anggap saja lima puluh musuh.” Terdengar seperti seorang anak kecil yang mengeluhkan makan malamnya tidak seperti apa yang dia harapkan, sang ksatria melanjutkan, “Tapi lima puluh itu kalau kamu seorang warrior hebat. Kalau kamu berasumsi kamu bisa menghabisi lima puluh musuh, jumlah yang mungkin bisa kamu bunuh, mungkin tiga.”

“Apa itu benar?”

“Kurang lebih.”

Selaan Priestess sangatlah lemah, jawaban Female Knight tidak memastikan. Namun ucapan berikutnya dari Female Knight memiliki beban.

“Kamu takut nggak sanggup?”

“Oh, uh, nggak, aku...” Yah itu sebagian alasannya. Dia tidak dapat memungkiri itu, akan tetapi... Malu, Priestess menarik selimutnya lebih dekat. “...Sebenarnya lebih ke, kalian kelihatan sangat luar biasa. Itu membuatku sadar kalau perjuanganku masih panjang...”

Priestess memikirkan bagaimana dirinya bertindak selama pertempuran di hari itu, dan pada makan malam di malam itu. Dia hampir tidak bisa merasakan kakinya untuk bisa berdiri di hadapan ksatria ini. Terlalu memalukan untuk membandingkan dirinya dengan wanita itu. Perasaan seperti itu terus bergejolak di dalam hatinya.

Dia baru saja tumbuh untuk dapat mengenali apa yang telah dia capai selama ini.

“Nggak ada yang salah dengan sedikit kesombongan,” Female Knight berkata, menghembuskan bayangan ideal Priestess dengan beberapa kata. Kemudian Wanita itu kembali berbaring di atas ranjangnya, yang di mana ranjang itu kembali berdecit. Priestess menganggap ini sebagai tanda untuk dirinya kembali mendongak menatap langit-langit. Plapon itu terbuat dari kayu, tua dan usang, sulit mengatakan kalau plapon itu indah. Mungkin seperti inilah plapon itu seharusnya terlihat di dalam medan perang, pikir Priestess.

“Karena itu, buat apa peduli dengan seseorang yang menyindirmu tentang itu? Mereka hanya ingin lihat apa yang mereka ingin lihat.”

“Apa yang mereka ingin lihat?”

“Mereka menghiraukan semua upaya yang kita lakukan hingga bisa sampai ke titik ini. Berpikir kalau kita ini terlalu sombong karena kita ini kuat. Hrmph.” Female Knight mendengus.

Apa mungkin? Kemudian Priestess berpikir, apa mungkin Female Knight itu sebenarnya berbicara tentang dia?

Female Knight pernah memikirkan hal yang serupa sebelumnya, kan? Priestess melihat pencapaian Female Knight di medan perang sebagai sesuatu yang luar biasa. Priestess tidak mempertimbangkan semua yang telah di lakukan Female Knight untuk bisa mencapai titik itu.

“Ah, peduli amat? Sombonglah sesukamu, sampai mereka tidak bisa mengoceh.” Walau yang lain mengeluhkan tentang dirinya, dia akan terus melangkah ke depan.

Ucapan Female Knight tampak tinggi bagi Priestess.

Pastinya. Mereka berdua menjadi petualang di waktu yang berbeda. Menjalani jalan berbeda, mendapatkan hal berbeda di jalan itu. Dan itu tidaklah berlaku bagi Priestess dan Female Knight saja, namun juga bagi petualang aneh yang terus di kejar Priestess. Begitu pula dengan anggota party lainnya. Dan benar, semua orang yang telah dia temui.

Jadi itu artinya...

Mungkin dia dapat mengejarnya. Mungkin.

“...Tapi aku ingatkan kamu, itu Cuma cara untuk menjadi seorang petualang kuat. Aku nggak tahu apakah itu bisa menjadikanmu petualang bagus.

“Kamu nggak tahu?” Priestess mengulangi, terkejut.

“Nggak tahu apa yang kamu nggak ketahui,” Female Knight berkata, memanyunkan bibirnya. “Aku tahu aku ini suci dan adil dan kuat, tapi apakah itu bagus atau buruk, itu keputusan orang lain untuk menilainya. Aku nggak tahu kamu bakal jadi apa nantinya.”

“Tapi kamu mengajari anak-anak itu kan?” Priestess berkata, ikut memanyunkan bibirnya. Dia tidaklah marah; dia bahkan tidak terlalu cemberut. Mungkin akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa dia mencari sedikit kenyamanan—walaupun dirinya sendiri pasti akan menyangkal itu.

“Aku sama sekali tidak bertanggung jawab akan bagaimana semuanya akan terjadi nanti—itu saja.” Jawab Female Knight. “Lagipula, nggak ada cara untuk mengambil tanggung jawab,” dia menambahkan riang. “Kalau mereka mati, memangnya apa yang harus ku lakukan—balas dendam? Berhenti berpetualang? Bunuh diri? Apakah salah satu dari itu mengartikan bahwa aku sudah bertanggung jawab?” wanita ini dapat memutar kehidupannya ke jalan kejahatan, namun itu tidaklah bagus. Female Knight mengumumkan bahwa ini benar-benar yang sudah seharusnya, kemudian mendengus kembali. “Supreme God menyuruh kita untuk berpikir. Nggak boleh menyalahkan orang lain tentang segalanya yang terjadi padaku.”

Bukanlah Priestess tidak memahami ini—benar, dia sangat memahaminya. Dia masih mengingat petualangan pertamanya dengan sangat jelas. Mereka bisa saja menghindari hasil tragis buruk itu—Priestess dapat menghindarinya—namun dia tidak dapat menyalahkan itu pada orang lain. Jika seseorang mencoba untuk mengklaim kegagalan dari petualangan itu adalah kesalahan dari salah satu anggota party lainnya, Priestess akan mengajukan keberatannya dengan sangat lantang. Setidaknya, ketidakberdayaannya sendiri, telah menjadi kesalahannya.

Jadi apa artinya itu?

Terdapat seorang petualang kuat yang di bicarakan Female Knight. Petualang kuat namun bukan berarti petualang bagus.

Jadi seperti apakah petualang bagus?

Priestess merasa yakin bahwa Female Knight, High Elf Archer, Witch, dan Goblin Slayer adalah petualang yang bagus. Karena itu, ingin jadi petualang macam apakah Priestess...?

Setelah mungkin berlalu satu menit, atau lima, atau mungkin kurang dari sepuluh detik, Priestess menghela menyerah. “Kurasa daripada mencemaskan itu...lebih baik memikirkan cara untuk menang.”

“Lebih besar selalu lebih baik,” Female Knight berkata dengan tawaan. Kemudian dia mengisyaratkan dengan kedua matanya, mengarah pada ranjang lain. Selimut yang menutupi dua bukit besar, dan lekuk gemulai dari sebuah tubuh indah. Adalah ranjang Witch. 

Priestess berbisik bahwa dia mengerti. Dan kemudian dia dan Female Knight mencoba menahan tawa mereka.

Tidak lama tawaan mereka mereda, dan Priestess membiarkan tatapannya mengalir dari plapon menuju jendela. Cahaya bulan masih menyinari malam, kilauan redup membayangi ranjang.

“Um,” Priestess berkata, akhirnya mendapatkan keberanian untuk berbicara—namun di saat suara itu terlepas dari mulutnya, dia mendapati dirinya sendiri tidak dapat melanjutkan ucapannya. “Kenapa..?”

Untuk beberapa saat, tidak ada jawaban. Di saat Priestess mulai berpikir bahwa Female Knight sudah tertidur, suara wanita itu terdengar berbisik di balik kegelapan. “Maksudmu kenapa aku jadi petualang?”

Ya. Priestess mengangguk di balik selimutnya, namun tidak menyuarakan suaranya. “Aku nggak perlu bertanya padamu untuk mengetahuinya. Tapi aku nggak mau mengakhiri ini tanpa jawaban.”

Ketika dia memikirkannya, dia sadar bahwa mungkin ini adalah waktu terbanyak di mana dia berbicara dengan Female Knight. Kamu tentunya bisa menjadi rekan seseorang tanpa mengetahui masa lalu atau situasi pribadi mereka. Kamu bahkan bisa menjadi teman, kamu bisa bertarung berdampingan bersama. Tetapi, semua itu akan berakhir tanpa kamu pernah mengetahui jawabannya. Priestess merasa akan sangat menyesali itu.

“Huh, jadi itu motivasimu. Aku kira ini bakal di bahas di lain waktu, tapi... Yah, aku...” Female Knight berguling di balik selimutnya, terdiam. Mungkin dia sedang memikirkan jawabannya, atau mungkin dia tidak dapat menemukan kata yang tepat. Akhirnya, terdengar sebuah helaan menyerah. “Dahulu kala...sebuah negara ricuh karena perdebatan politik. Pangeran membunuh ayah, kakak dan adiknya, dan merebut tahta.”

Adalah sebuah kisah akan sesuatu yang telah terjadi dahulu sekali. Satu-satunya permaisuri yang selamat dari pembantaian itu meminta seorang petualang—anak perempuan tidak resmi dari adik pangeran mahkota, dengan kata lain, sepupunya—untuk membalas dendam. Priestess mendengar bahwa quest itu bukanlah quest resmi, begitu pula petualang itu yang pergi membantu atas keinginannya sendiri. Namun Female Knight bersumpah bahwa itu tidaklah lebih dari sebuah quest, dan petualang itu pergi bertarung melawan pemberontak tahta.

Pria itu dan sang Permaisuri telah mengubah “calon” assassin menjadi pasukannya, dan akhirnya menghancurkan pria yang telah mencuri tahta. Dan kemudian mereka menghilang dari sejarah...

“Kenapa kamu menceritakan mereka?”

“Bakal keren kalau aku bisa mengatakan bahwa mereka adalah orang tua atau kakekku atau sesuatu semacam itu, tapi sebenarnya mereka jauh di belakang generasi itu. Aku sendiri nggak tahu apa itu benar.” Female Knight memejamkan kedua mata dan berbicara seperti dia sedang mengasah batu sungai yang dia kumpulkan ketika dia masih kecil. “Tapi aku ingin berpikir kalau itu benar.”

Dan dengan itu dia mempelajari teknik berpedang yang di turunkan oleh keluarganya, meninggalkan rumah dan menjadi petualang. Tampaknya, kisah itu berakhir di sana—hanya itu saja.

Priestess berpikir untuk beberapa saat, kemudian sebuah senyum menjala di wajahnya. “....Jadi kamu ini permaisuri.”

“Ha-ha-ha. Sepertinya. Kalau dunia ini adalah tempat yang lebih baik, aku sudah jadi permaisuri sekarang. Permaisuri...seorang ksatria permaisuri.” Suaranya terdengar begitu lembut. “Kita harus segera tidur sekarang. Besok hari besar. Walau, aku tahu, sulit untuk tidur saat kamu terlalu bersemangat.”

“...Ya.” Priestess berkata, kemudian menarik selimutnya sekali lagi. Sebelum dia memejamkan kedua mata, sekali lagi dia mencuri pandang ke jendela. Dua bulan masih bersinar, namun cahayanya sekarang tidak tampak terlalu dingin.

*****

Tidak lama, mentari memanjat langit. Benteng di penuhi dengan suara akan benturan pedang, panah terbang, dan rapalan sihir. Para prajurit sangat kelelahan, namun walau kelelahan dan beberapa kali lirikan cemas ke langit, moral mereka masih cukup bagus. Adalah sebuah ekspresi bahwa mereka tidak gentar, bahwa benteng ini tidak akan runtuh.

Sedang untuk Priestess, dia berdiri tegak di halaman dalam benteng. Tongkat deriknya dengan bangga dia genggam di tangan. Dia berdiri bersiap—akan tetapi dia harus mengakui bahwa sangatlah terasa tidak nyaman untuk tidak melakukan apapun.

“...Menurutmu kenapa musuh mencoba melakukan ini?”

“Karena mereka yakin mereka nggak bisa menang dalam pertarungan langsung, begitu!”

Priestess senang mendengar jawaban High Elf Archer pada pertanyaan yang terselip dari dirinya. Sang elf berjongkok di bayangan, menarik busur dengan senar laba-laba; telinga panjangnya berkedut. “Dalam permainan perang, bukanlah individu prajurit yang akan membuat semua perbedaan, tapi komandannya.” Dia berkata, atau yang dia klaim dia dengar dari beragam tetua di desanya.

High Elf Archer sendiri tidak mempunyai pengalaman praktikal di dalam pertempuran berencana, namun adalah saudara dekat dari mereka yang pernah berpartisipasi di dalam pertempuran Jaman Dewa. Dia mungkin hanya memiliki pengalaman yang dia serap dari mereka, namun itu membuat pemahamannya jauh di atas Priestess, layaknya langit dan lumpur di bawah.

“Apa kamu benar merasa perbedaannya sebesar itu?”

“Yah, selalu ada pengecualian di setiap aturan, dan seorang pahlawan yang sangat kuat bisa memutar balikkan keadaan...tapi sederhananya, yeah.”

Namun dengan petualang, adalah berbeda. Pada sebuah petualangan, adalah sebuah kemampuan individu dan kekuatan, kepintaraan dari masing-masing orang dan keberanian, itulah yang paling penting.

“Kalau ini adalah petualangan, dan petualangnya kalah?” High Elf Archer berkata. “Maka semua orang akan lari.”

Priestess memikirkan itu. “Umm... Maksudmu, seperti, kalau dua ksatria berduel?”

“Yeah, semacam itu.” High Elf Archer membalas dengan kedipan. “Itu sebuah tanggung jawab besar. Kita nggak boleh membiarkan diri kita kalah—sama seperti biasanya!”

Priestess mengangguk, namun dia juga mendongak melihat menara pengawas, di mana kapten terus memantau dan memerintah peperangan. Priestess hampir tidak pernah berbicara dengan pria itu. Namun dia yakin perintah pria itu sangatlah hebat, jika tidak, dia yakin benteng kecil seperti ini tidak akan pernah bisa bertahan selama ini.

O ibunda Bumi yang maha pengasih.... di dalam hatinya, Priestess menawarkan sebuah doa untuk memberkahi pria itu,  semoga doa itu terlindungi.

“...Kamu nggak apa-apa?”

Mungkin keheningan tiba-tiba Priestess telah membuat High Elf Archer berpikir bahwa gadis itu tengah gugup atau marah. Priestess tersenyum kepada temannya yang memperhatikan dirinya dengan serius, walaupun ekspresi itu tampak sangat janggal di dalam medan perang ini. Mendoakan seseorang agar dapat kembali dengan selamat, benar-benar menghangatkan hati.

“Ya--, kita akan berhasil melalui ini!”

Ya, benar. High Elf Archer melambaikan tangan. Bibirnya membentuk kalimat: Habisi mereka. Itu membuat Priestess bahagia. Kemudian sang elf itu terdiam, tidak bergerak seolah dirinya adalah lumut yang tumbuh di atas bebatuan di hutan; elf itu sama sekali tidak menunjukkan tanda kehadirannya. Priestess berhati-hati untuk tidak memperhatikan sekitarnya, namun dia yakin yang lain pun juga bertindak demikian. Female Knight dan Witch bersembunyi di tempat yang sudah di rencanakan, Priestess yakin.

Itu artinya aku harus melakukan bagianku... kurasa.

Priestess berpikir apakah petualang aneh, eksentrik itu sedang mencemaskan dirinya. Dia meragukan itu. Namun jika memang benar, Priestess ingin menjadi petualang yang pantas untuk di cemaskan oleh pria itu.

Priestess menggigit bibir dengan tekad yang baru, kemudian menatap surga dengan kukuh. Matahari hampir berada di puncaknya. Dan kemudian, tanpa adanya peringatan apapun, itu muncul.

Terdapat angin yang berhembus, dan sebuah bayangan muncul di antara pasukan seperti sebuah angin puyuh. Beberapa prajurit yang tersentuh olehnya tumbang mengerang di lantai.

“Mm... Jadi, gadis, kamu mendapatkan keberanianmu untuk tidak melarikan diri.” Seperti di hari sebelumnya, monster itu muncul—kali ini di selimuti dengan hawa dingin putih pucat. Bagi Priestess, itu tampak seperti hawa dingin kematian.

Dari tampak makhluk itu yang merupakan campuran rusa dan burung adalah sesuatu yang muncul dari mimpi buruk. Adalah sebuah noda di antara langit biru yang indah.

“...Iya.” Priestess meremas tongkat derik dengan kuat, memastikan pijakannya kokoh seraya dia berputar mengarah makhluk itu. Tangannya tidak bergetar. Suaranya tenang, pandangannya jelas, pijakannya kuat.

“Kalau begitu berikan aku nyawamu!” Monster itu meraung senang. Monster itu hanya berpikir cara untuk mencabik-cabik harga diri dari cleric menyedihkan ini. “Mari mulai pesta pembantaian ini!”

Akan tetapi, suara Priestess terdengar di keseluruhan medan perang, menyela hasrat mengerikan dari sang monster: “Ketika kamu menyebut namaku, aku menghilang. Apakah aku?!”

*****

“Hrk...?! Sang peryton menelan liur. Bayangan sapphire itu belum menyadari bahwa pertempuran sudah di mulai.

Jika ini adalah pertarungan biasa, peryton itu tentunya akan menghancurkan tengkorak sang gadis dengan cakarnya. Atau mungkin akan mencabik-cabik tubuhnya, dan kemudian baru memecahkan kepalanya seperti kacang.

Namun ini bukanlah pertarungan biasa. Adalah sang peryton yang menantang berduel, dan gadis kecil ini menerima tantangannya, oleh karena itu, sang gadis mengusung tongkatnya tinggi, dengan gagah berani menghadapi sang monster.

Teka-teki bukanlah sekedar permainan untuk anak-anak. Itu adalah ritual penting, yang di terapkan oleh para dewa di jaman lampau, sebuah cara untuk menyelesaikan masalah. Teka-teki adalah salah satu bentuk pertarungan tertinggi, yang hanya bisa di mainkan oleh mereka yang berbahasa, mereka yang memiliki kecerdasan. Tak seorangpun, mau mereka dewa atau seorang wizard yang berani curang dalam permainan ini. Jika kamu meragukannya, perkenalkanlah dirimu pada kisah dari kaum rhea petualang. Atau teka-teki dari lima naga, atau pertempuran dengan seekor naga yang hanya berlangsung selama dua menit.

Yang manapun yang kamu pilih, peryton ini sekarang tidak mempunyai cara untuk mundur dari tantangan teka-teki ini. Tongkat yang terusung tinggi, mata yang jernih bersinar di baliknya, dan doa kepada Ibunda Bumi yang beradiasi dari mereka berdua.

“Arneson!” Makhluk itu mengumpat. Makhluk Kekacauan ini bisa saja mengamuk sesuka hati, namun berusaha untuk membatalkan ini akan mengundang kehancurannya sendiri.

Mungkin ini adalah kutukan para dewa, namun modulnya telah di tetapkan.


Ketika kamu menyebut namaku,

Aku menghilang.

Apakah aku?


Gadis itu mengumandangkan teka-teki dengan sekuat tenaganya, seolah ingin membuat sang monster murka.

“....Aku tahu. Itu keheningan. Pasti.” Sang peryton berhati-hati menjaga kekesalan yang dia rasa meluap terdengar tidak lebih dari sekedar ejekan pada suaranya. “Kehidupan itu indah bukan, gadis kecil?”

“Memang benar,” Priestess berkata. “Aku sangat setuju.”

“Aku penasaran apakah kamu akan menyanyikan lagu yang sama ketika aku membawamu pada ujung kematian.”

Ancaman itu sangatlah blak-blakan, akan tetapi wanita muda ini sama sekali tidak ketakutan. “Sekarang giliranmu, silahkan.”

“Baiklah.” Wajah rusa peryton tersenyum, sebuah mulut yang tidak akan pernah muncul pada wajah rusa asli manapun. “Terdapat lebih banyak hal di dunia ini dari apa yang kamu bayangkan.”


Tidak di ragukan, adalah milikmu,

Akan tetapi kamu tidak pernah menggunakannya.

Orang lain, menggunakannya tanpa henti,

Namun pada akhirnya benda itu di buang layaknya batu.

Apakah itu?


Peryton berusaha membalas dendam dengan pertanyaan ini; sang gadis tampak tidak yakin. Tatapannya  sempat melamun untuk beberapa saat dan bibirnya terbuka dan tertutup—namun yang hanya keluar dari bibir itu hanyalah helaan napas, bukan jawaban.

“Kenapa? Kalau kamu nggak bisa menjawabnya, maka ijinkan aku menghancurkanmu dengan cakarku.” Ya, sang peryton yakin dia tengah melihat terror di dalam mata gadis itu, dan menambahkan ejekan ini untuk semakin mengipasi api ketakutan. Makhluk ini telah menyimpulkan bahwa para manusia itu, entah mengapa lebih terintimidasi oleh nada suara di bandingkan dengan kehadiran yang kuat.

Akan tetapi, gadis ini, menatap langsung kepada peryton, meremas beberapa ejaan satu persatu. “Jawabannya...nama. namaku.... Iya kan?”

“Benar, benar. Nama itu nggak lama lagi akan terukir di dalam batu nisanmu.” Kali ini sang peryton tidak dapat menyembunyikan kekesalannya; makhluk itu mengangguk, berbicara pelan dan jelas. Akan percuma jika gadis itu mengakui kalah di awal permainan, namun lebih mengesalkan ketika gadis itu menebak benar teka-teki makhluk ini.

Sang monster melotot pada benderang matahari dan meludah, “Giliranmu, nak.” Dan kemudian, menambahkan, “Lebih baik kamu memikirkan teka-teki yang lebih rumit lagi.”

*****

Kontes teka-teki berlanjut lagi selama dua ronde, kemudian tiga, dan berlanjut terus menerus. Priestess tidak menyembah Dewa Pengetahuan, akan  tetapi, dia bertahan teguh di dalam permainan ini. Jika seseorang menyuarakan pujiannya melihat ini, gadis itu tentunya hanya akan sedikit tersipu dan mengatakan bahwa semua ini adalah berkat ajaran gurunya.

Priestess mungkin tidak dapat peryton ini benar-benar pusing kepalang, namun dia juga tidak ingin menyerah sedikitpun. Perbincangannya dengan Female Knight telah meyakinkannya kepada satu hal: Teka-teki adalah cara satu-satunya untuk mengetahui bentuk sesungguhnya makhluk ini. Adalah pertarungan yang dapat dia arungi sendirian, dan pertarungan yang dapat dia jalani secara seimbang dengan monster yang sama sekali dia tidak ketahui.

Tentu saja, jika dia menghadapi musuh yang kecerdasannya melebihi apa yang dia bisa bayangkan, maka mungkin secara tidak sadar Priestess telah mengundang kematiannya sendiri.

Tapi selalu ada kemungkinan kalau aku gagal di dalam pertarungan. Dan jika soal pertarungan kecerdasan, Priestess yakin bahwa dia memiliki kesempatan untuk menang.

Matahari memanggang mereka berdua, bayangan mereka memanjang, dan Priestess merasakan keringat yang mengucur di dahi dan pipinya. Dia mengelap alis untuk memastikan keringat tidak masuk ke dalam mata.

Priestess penasaran apakah monster itu menderita hal yang sama dengan dirinya yang terbakar matahari, makhluk berwarna biru itu mengambang di udara, mengepakkan sayapnya, dan beberapa kali melirik benci kepada langit.

 —...?

Priestess memiringkan kepala. Sesuatu tentang lirikan itu tampak janggal baginya. Seberapa banyak panas yang bisa di tahan makhluk ini?

“Kenapa—kamu menyerah? Kalau iya, katakan ‘Aku menyerah,’ dan kemudian bersujudlah di bawah cakarku.”

“Oh, ahem, nggak.” Priestess berkata, ejekan makhluk itu menyadarkan Priestess kembali. Dia menggeleng kepalanya. “Dia tumbuh di saat makan. Namun sedikit saja minum—“

“Api,” peryton menjawab cepat. “Api mati kalau ‘minum’ air.”

-Grrr... itu bukan teka-teki yang bagus. Priestess menghela. Pikirannya mulai menumpul. Ini tidak bagus. Dia menggeleng kepala kembali, kemudian mengibas rambut yang menyangkut pada pipinya. Dia sangat sadar bahwa makhluk biru ini memperhatikan dirinya dengan kebencian. Dan para prajurit yang menonton kontes ini semua meresapi apa yang terjadi, bahkan seraya mereka memiliki pertarungan mereka sendiri. Dia juga yakin High Elf Archer, Female Knight, dan Witch cantik itu tengah menonton juga.

Rasanya...menegangkan.

Satu-satunya yang dapat dia lakukan adalah melakukan pertarungan ini dengan cara yang akan membuat dirinya sendiri bangga. Lakukan pertarungan dengan harapan bahwa dia akan menang, walaupun dia kalah.

Priestess mengambil beberapa tarikan napas cepat dan keras untuk menenangkan dirinya, dan kemudian berusaha tersenyum seraya dia berkata. “Teka-tekimu berikutnya.”

“Baiklah...” Peryton melirik langit kembali, napas sulfur menyembul dari hidungnya seraya dia mengeratkan gigi dan menggelengkan kepala pada lehernya yang panjang. “Aku mulai berpikir kalau aku membuat ini lebih mudah untukmu, kamu siap? Tapi bukan berarti aku akan menunggumu kalau kamu belum siap...” Dan kemudian sang monster melantunkan teka-teki berikutnya.


Di pagi hari, kecil berkaki empat,

Di tengah hari, tinggi berkaki dua.

Namun di malam hari, kaki ketiga di tambahkan.

Makhluk apakah yang aku maksud?


“Silahkan. Pecahkan teka-tekiku, kalau kamu bisa.” Makhluk itu berbicara dengan cepat, seolah yakin akan kemenangannya. Priestess tersenyum ambigu, hampir terlihat canggung. Dia mengetahui jawaban ini. Sangat mengetahuinya. Apa makhluk ini sengaja sedikit mengalah?

Atau seperti aku—mulai capek?

Atau lagi, apakah ini pertanyaan menjebak? Jika iya, maka tidak ada jawaban lain yang dapat dia pikirkan.

“Hmm, umm...” Priestess mencari dalam ingatannya, merasa gundah, dan kemudian dengan semua kebimbangannya dia berkata, “Itu...seekor, perubah wujud, kan?” (TL Note : Priestess nebak “shape-shifter”.)

*****

“...Apa?”

“Yah, sudah pasti...seekor perubah wujud kan.” Apakah dia salah? Priestess tiba-tiba merasa gugup. Dengan cepat dia menambahkan: “Maksudku, ahem, seekor mimic. Makhluk itu bisa berubah menjadi apapun yang dia mau. Seperti kotak harta, atau pintu, atau semacam jarahan...” Priestess mendengar bahwa mereka dapat terbang mendatangi dan mereka dapat merayap dengan empat kaki. Itulah jawabannya. Pasti. “Iya kan...? Atau, um, mungkin...kamu nggak pernah mendengar tentang makhluk ini?”

“Aku tahu apa itu mimic dasar tolol!” peryton meraung, memaparkan giginya. Tampaknya pertanyaan polos Priestess telah menyinggung harga diri sang monster. Mata rusa yang bukan rusa itu bersinar penuh kemurkaan, dan dia menggerutu: “Yah, tapi memangnya itu penting? Ini memang bukanlah sebuah pertarungan antara aku dan kamu. Menyerahlah sekarang. Manusia! Jawabannya adalah manusia. ‘pagi’ adalah masa bayi—“

“Oh...” Priestess berkedip, dan kemudian dia berkata, “Kamu baru bilang ‘Aku menyerah.’ ”

“Aku tidak mengatakan itu!” amarah peryton akhirnya meledak, dan dia mendarat di lantai dengan cakarnya yang mengerikan. Priestess merasakan gedebuk di perut ketika makhluk itu turun ke humi, dan secara tidak sengaja mengeluarkan jeritan. Dia hanya terkejut, namun dia melirik ke sekitarannya, khawatir bahwa tadi bisa di anggap sebagai suara ketakutan.

Peryton bisa mengatakan apa yang dia inginkan, namun seorang manusia tidak dapat tumbuh dan menciut selama hitungan jam dalam sehari. Bahkan, tidak ada makhluk hidup yang di ketahui Priestess yang lebih tinggi atau lebih pendek pada pagi atau malam. Mungkin sebuah lilin; hanya itu yang dapat dia pikirkan, namun sisa dari teka-tekinya tidak akan menjadi masuk akal....

“—!”

Pada detik itu, terdapat kilasan ide, seterang petir di dalam otaknya. Priestess memanfaatkan peluang ini. Dia meremas tongkat deriknya dengan erat. Tongkat itu berderik pelan. Tidak ada keraguan, tidak ada kebimbangan di dalam ucapannya, tidak ada ketakutan sama sekali. Dia mengusung tongkatnya tinggi, mengarahkannya kepada monster yang murka, dan melepaskan ucapan berikutnya dengan lantang.


Dia akan muncul di sampingmu tanpa terkecuali,

Di setiap waktu atau tempat kamu berada!

Kamu tidak dapat melarikan diri darinya!

Ataupun kamu dapat berbicara dengannya!

Di sanalah dia, di sampingmu!

Sayangnya untukmu! Lebih baik menyerah!


“Ap—?!” Sang peryton menarik napas dalam lagi. Api berdansa di kedua matanya. Priestess tidak ragu.

“Kamu bayangan! Bayangan seseorang!!” Priestess semakin meremas tongkatnya dengan lebih erat, mengibaskan api di dalam jiwanya. Mengusungnya begitu tinggi agar mencapai dewa yang bersemayam di surga. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”

Terdapat kilauan cahaya. Cahaya matahari yang di kombinasikan dengan Holy Light yang di keluarkan Priestess, kedua cahaya itu membakar kulit sang monster. Angin membawa potongan kulit itu bagaikan abu. Makhluk aneh ini hanyalah sebuah bayangan.

“Be—bedebahhhhhh....!”

Clavis...caliburnus...nodos. kunci baja, ikat!”

Seraya makhluk itu mencoba untuk terbang kembali ke udara, sebuah rapalan melodis akan kata dari kekuatan sejati. Witch melangkah keluar dari kegelapan, ucapannya mengikat sayap makhluk itu. Sayap itu terlihat begitu besar ketika terselimuti bayangan, namun sekarang, terpapar oleh cahaya, sayap itu ternyata hanyalah beberapa bulu.

Tentu saja : Bagaimana bisa makhluk hina seperti ini bisa benar-benar memahami seni para sage agung yang dulu pernah di gunakan untuk menundukkan seekor naga?

“Makan nih!” Sebuah suara seperti lonceng terdengar. Sebelum sang monster dapat mengejakan sebuah kutukan kematian kepada Priestess—penyebab semua masalah ini—sebuah panah bermata kuncup menembus rahangnya, menusuk lidahnya hingga mencapai atap mulutnya, sehingga membuat monster itu tidak dapat membentuk sebuah kalimat sama sekali. Seraya makhluk itu terhuyung dan terjatuh ke satu sisi, pandangan demon itu menatap kepada sang high elf, yang memanjat dan bersarang di atas menara tanpa dia ketahui.

“DDDDDAAAAAAAEEEEEEMOOOOOOONN!!!!!!” Sang monster itu akan menyerah dengan mudah. Seraya monster itu jatuh, dan kemudian menghantam lantai, makhluk ini yang berasal dari alam baka mulai merangkak dengan empat bagian tubuhnya. Jika semua akan berakhir seperti ini, maka setidaknya dia akan mencabik-cabik tenggorokan gadis itu sebelum...

“Oh—“ Priestess tampaknya tidak begitu memahami apa yang terjadi. Yang dia ketahui adalah tiba-tiba, Female Knight telah berada di depannya, berjongkok dan bersiap. Postur wanita itu tampak sedikit condong ke depan.

Yang di kira Priestess lihat adalah ini: Female Knight berlari melewati demon itu dengan kecepatan luar biasa.

Namun tidak hanya itu saja yang terjadi.

“Hmph,” Female Knight berkata, lembut, pelan, angin menghembus rambut emasnya. Pedang platinum yang dia genggam di tangannya bersinar, walaupun sekarang pedang itu ternoda dengan darah sang demon. Hanya sedetik kemudian ketika di suatu tempat, jauh di belakang Female Knight dan Priestess, terdengar sebuah suara daging yang robek. Priestess menoleh ke belakang untuk melihat demon itu yang sekarang hanya badannya saja, yang di mana badan itu menghempas menghantam dinding. Kepalanya, yang telah hilang, berputar di udara, mendarat di atas batu ubin dari halaman ini dengan gedebuk.

“Nggak layak untuk pedangku. Inilah ganjaran yang di dapat makhluk hina itu karena mencoba bermain dengan gadis tak berdosa. Dasar makhluk penguntit malam.” Female Knight mengibaskan darah dari pedangnya dan memasukkannya kembali ke dalam sarungnya. Priestess menyadari bahwa dia telah menyaksikan teknik berpedang kuno, begitu kunonya hingga telah terlupakan dan tak ada seorangpun lagi yang hidup untuk membicarakannya.

Semuanya yang di katakan Female Knight, setiap kata dari kisah yang dia ceritakan, adalah benar.

“Kamu sangat...sangat kuat.”

“Ya, kan? Heh!” Female Knight membusungkan dada berlapis armornya, dan wajah Priestess tersenyum.

“Iya benar!” dia berkata.

Apakah dia ingin menjadi petualang yang bagus, petualang yang kuat, atau tidak keduanya? Priestess masih tidak mengetahuinya. Namun ketika dia melihat Female Knight memberikan ayunan kibas pedangnya, para prajurit membalas dengan teriakan dan sorak sorai, mengikuti wanita itu masuk ke wilayah musuh. Dia melihat Witch menoleh kepadanya dengan senyuman hangat dan memanggil, “Kamu, berhasil!”

Dan Priestess tahu bahwa dia ingin menjadi petualang yang dapat mengemban kepalanya tinggi di hadapan mereka.

“...Aku berhasil!” dia berkata, meninjukan kepal kecilnya ke udara.



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya