Di Tengah Mimpi
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


“Sorata-senpai, ajari aku cara ciuman!”

Hari Sabtu terakhir dari bulan November dimana udara dingin mulai semakin terasa, Iori mendatangi Sorata yang sedang bekerja dengan ekspresi wajah yang begitu serius. 

Saat ini, Sorata tinggal di rumah tua. Setelah lulus dari Suiko, Sorata dan Ryuunosuke menyewa sebuah rumah agar bisa mereka pakai dalam mengembangkan game yang mereka buat. Terdapat satu kamar di lantai satu dan tiga buah kamar di lantai kedua, menjadikan rumah yang mereka tempati disebut sebagai “4LDK”. Pintu geser digunakan untuk memisahkan ruang tamu dari ruang kerja di lantai pertama.

(Note: 4LDK singkatan dari 4 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan dan dapur.)

Di ruang kerja terdapat empat buah meja. Dua meja di belakang diperuntukan untuk Sorata dan Ryuunosuke, satu meja di depan untuk Iori yang bertanggung jawab dengan musik. Serta satu meja lagi dijadikan sebagai cadangan ketika mereka membutuhkan bantuan staf grafis.

Di tengah ruangan juga terdapat meja kecil dan bangku yang mengelilinginya sehingga mereka bisa rapat kapan saja. Iori yang memukul meja rapat itu terus mengganggu Sorata dengan pertanyaannya hingga akhirnya Sorata berbalik.

Senpai, apa kau mendengarku?!” keluh Iori sambil mendekatkan wajahnya ke Sorata.

“Tunggu, apa katamu tadi?” ucap Sorata yang mengalihkan pandangannya dari proposal ‘Rhythm Battlers 2’ yang sudah disetujui.

“Ajar aku caranya ciuman!”

Wajah Iori yang tadinya menempel ke meja rapat sudah tiba-tiba berada tepat di depan wajah Sorata. Wajah keduanya hanya terpisah beberapa sentimeter saja dan jika dilihat dari kejauhan mereka bisa dibilang seperti sedang ciuman.

Namun wajar saja, Sorata tidak punya niat untuk berciuman dengan seorang pria, jadi dia berdiri dari kursi yang didudukinya.

“Ciuman? Kau terlalu terburu-buru.”

“Kurasa tidak juga, aku sudah memikirkannya selama sebulan ini.”

“Ah, karena itu kecepatan musiknya jadi semakin lambat akhir-akhir ini.”

Lagu-lagu yang Iori buat sangat bergantung dengan suasana hati yang Iori rasakan. Ia sudah seperti itu sejak dulu.

“Yah, kurasa masih bagus… polos begitu. Tapi bukan berarti senpai tak bisa mengajariku tentang ciuman.”

Ada kesalahan dalam kata-kata Iori itu.

Mencoba melarikan diri dari pertanyaan Iori, Sorata kembali menatap ke proposal yang sedang dipegangnya. Jadwal dari pendirian perusahaan yang akan dibukanya musim semi nanti. Penting untuk fokus dengan proyek pertama mereka itu.

Dengan saran dari Totsuka dan Fujisawa Kazuki yang banyak membantu mereka saat ‘Game Camp’, mereka memutuskan agar proyek pertama mereka menjadi game yang terjual cukup laku.

Sorata ingin mengumumkan judul dari game barunya sebagai pengembang game indie. Ia berpikir kalau hal itu mungkin bisa dilakukannya dengan keuntungan yang dihasilkan dari game yang dijualnya di ‘Game Camp.’

Tapi jika ia membuat satu kesalahan saja, berakhir sudah. Biaya pengembangan untuk membuat game selanjutnya bisa saja hilang dan perusahaannya bisa bangkrut dengan mudah.

Dalam kasus dimana perusahaan game indie baru saja didirikan, tidak terbilang realistis jika mereka harus menyiapkan segala sesuatunya mulai dari pengembangan hingga penjualan. Selain dari pengembangan, pengiklanan dan penyebarluasan juga dibutuhkan.

Jadi, dalam hal ini, mendapatkan dukungan dari publisher game besar dan membantu biaya pengembangan, serta juga turut ikut dalam periklanan dan penjualan juga sangat menguntungkan. Bagi Sorata dan pengembang lainnya, mereka bisa terfokus dalam mengembangkan game yang mereka buat.

Hubungan mereka dengan Totsuka juga menjadi lebih dekat.

“Jika kau ingin membuat sekuel dari ‘Rhythm Battlers, aku bisa membantu perusahaanmu.”

Setelah mengatakan hal ini. Tibalah mereka sekarang hingga ke titik ini.

“Sorata-senpai, apa kau mendengarkanku?”

Sambil membaca halaman tentang deskripsi dari sistem pertarungan gamenya, Sorata melihat ke arah Iori lagi. Kali ini, ia sedang duduk di kursi kerjanya yang berputar.

“Kami akan segera kencang untuk merayakan empat bulan berpacaran.”

Hubungan antara Iori dan Kanna dimulai saat bulan Agustus. Sorata mengingat betul hal itu karena hari itu adalah hari dimana kompetisi “All-Japan” digelar.

“Bukannya terlalu terburu-buru jika meminta untuk ciuman jika baru berjalan empat bulan?”

“Sungguh? Aku tak tau kalau ada waktu yang tepat untuk itu.”

Sorata menaruh proposal yang dipegangnya di atas meja, dan memutuskan untuk fokus ke masalah Iori. Tidak ada jaminan kalau masalahnya bisa terpecahkan, tapi ia tidak ada niat untuk mengabaikan pertanyaan Iori……

“Bagaimana dengan Sorata-senpai? Kapan dan dimana senpai berciuman dengan Shiina-senpai?

“Yah, waktu itu aku……”

Hal itu dilakukan oleh Sorata saat kelas tiga di SMA…pada hari di kegiatan retret. Ketika ia membalas pernyataan cinta dari Mashiro saat di Gereja di Hokkaido……jika ia harus menjawab pertanyaan Iori dengan benar, itu berarti ia harus menceritakan begitu ia menyadari perasaannya pada Mashiro dan awal mula mereka berpacaran…

“……”

Tidak mungkin ia bisa menceritakan yang sebenarnya.

Senpai?

“Oh, yah, aku tak begitu ingat.”

“Sungguh? Ternyata ketika kita dewasa, kita bisa lupa akan ciuman ya…”

Sebenarnya, sangat berbanding terbalik dengan apa yang Iori katakan. Tapi yah biarkan saja. Sorata tidak begitu ingin memberi tahu orang lain akan kenangannya itu. Karena itu kenangan yang penting untuknya.

“Aku ingin agar Sorata-senpai, sebagai ahli percintaan untuk memberitahuku caranya berciuman.”

“Siapa yang ahli percintaan?”

Gelar tersebut lebih cocok untuk Jin yang dinobatkan sebagai Raja Satu Malam dulunya. Dan sekarang ini ia sudah punya pasangan yang imut……

“Aku tak bisa membantumu.”

“Eh! Dragon-senpai, tolong aku!”

Iori sekarang ingin meminta bantuan Ryuunosuke yang sedari tadi bekerja dalam diam.

“Jangan melibatkanku ke cerita bodohmu itu.”

Ryuunosuke tetap melanjutkan pekerjaannya. Kode pemrograman bisa terlihat di dua monitor yang digunakannya. Rangkaian kode baru terus bermunculan setelah diketik olehnya.

“Tapi, Dragon-senpai juga sudah dicium berkali-kali oleh Rita-san?

“Aku tak ingat sudah berapa banyak.” keluh Ryuunosuke. 

“Tapi, sejauh yang kuingat, ada lima kali.”

Dua kali dilakukan saat masih bersekolah di Suiko. Sementara tiga sisanya dilakukan di masa kuliahan. Rita-san selalu memaksa Ryuunosuke untuk melakukannya. Tiap kalinya, Ryuunosuke pasti selalu pingsan. Jadi, Sorata cukup terkejut ketika Ryu mengatakan kalau ia mengingat berapa kali melakukannya meskipun ia tidak suka hal itu.

“Tolong ajari aku ciuman dengan cewek.”

Iori menggenggam kaki Ryuunosuke.

“Hentikan! Kanda, lakukan sesuatu!”

“Huh?”

Dan lagi, Iori salah sangka jika ia meminta saran Sorata untuk hal seperti ini. Karena sejak awal, Sorata pikir kalau melakukan ciuman itu tidak membutuhkan strategi khusus. Ia merasa hal itu bahkan lebih bisa dikira jika orang yang dimaksud adalah Kanna.

“Kenapa tidak menanyakannya ke Kanna-san langsung?”

Dalam kasus Iori, sepertinya saran itu hal yang paling cocok.

“Aku pernah sekali melakukannya, dan langsung ditolak!”

“Sungguh?”

Sorata bisa membayangkan kalau hal itu berakhir buruk jika dilihat dari sifat Iori.

“Selain itu, dia mulai menjauh dengan tatapan sinis dan berkata ‘menjijikan!’”

Reaksi Kanna dapat dengan mudah dibayangkan oleh Sorata meskipun ia tidak melihatnya secara langsung. Karena ia juga pernah ditatap oleh tatapan sinis Kanna berkali-kali. Dan hal itu cukup menakutkan.

“Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Sambil merengek, Iori berbaring di karpet yang diletakkan untuk menutupi lantai rumah.

“Yah, memang harus ada yang harus dilakukan secara berurutan. Jadi, sudah sejauh apa kau dengan Kanna-san?

“Aku juga tidak mengerti sudah sejauh apa!” keluh Iori.

“Kalian sudah saling pegangan tangan?”

“Oh, sudah sudah. Dia membolehkanku memegangnya ketika kupinta saat hari kompetisi.”

“Sungguh?”

Ternyata cukup mengejutkan. Meski terbilang egois, tapi Kanna sudah mulai membuat kemajuan di bagian itu…

“Setelah itu, jika tidak ada orang di sekitar kami akan berpegangan tangan.”

Apa ini cuma imajinasinya seorang atau memang terdengar kalau mereka sepertinya baik-baik saja?

“Jika aku jadi dirimu, aku akan senang.”

“Benar sekali!”

Wajah Iori mulai memerah.

“Kenapa tidak kau paksa sedikit lagi?”

Sebelum mereka berpacaran, Iori pernah mengatakan kalau Kanna tidak perlu memperdulikan tentang dadanya. Ia mencoba memuji paha Kanna dan mencoba untuk meremas dadanya. 

“Jika aku bisa melakukannya, maka aku tak akan membicarakan hal ini!”

“Sungguh?”

“Karena jika aku ditolak lagi, aku bisa langsung down?”

“Kau yakin?”

Jika dilihat dari yang terjadi, pasti hasil akhirnya akan buruk. Sorata tidak bisa memikirkan solusi lain. Ia mengerti kalau Iori pun juga punya batasnya.

“Kalau begitu, haruskah aku menciumnya?”

“Boleh saja.”

“Dari mulut ke mulut?”

“Silahkan saja.”

“Haruskah aku menahan napasku?”

Tiba-tiba pertanyaannya mulai menjadi aneh.

“Tergantung dari lamanya?”

“Seberapa lama! Berapa detik yang harus kutahan?!”

“Aku tak tahu meskipun kau menanyakannya.”

“Karena senpai sudah berpengalaman, tolong ajari aku agar tidak berantakan nantinya.”

Sebelum akhirnya berguling-guling di lantai, Iori meraih kaki Sorata dan memegangnya erat-erat.

“Tergantung dari suasananya saat itu.”

“Sorata-senpai tahu, kan kalau aku tidak bisa membaca hal tersebut!”

Setidaknya, ia sadar akan hal itu tapi tidak ingin memperbaikinya…

Setelahnya, Iori terus-menerus memohon sambil memegang kaki Sorata dan berkata “Tolong bantu aku”. Tapi, setelah beberapa saat ia sudah bosan dan berbaring di karpet.

“Oh, aku ingin ciuman, aku ingin ciuman~”

Iori terus mengucapkan hal tersebut.

“Kanda, berisik, tutup mulutnya.”

Ryuunosuke masih kejam seperti biasanya.

“Karena kupikir memang tidak mudah, sabar saja.” 

Ryuunosuke yang berbalik ke arah mereka berdua hanya bisa menghela napas kecewa.

“Oh, Sorata-senpai benar juga.”

Iori langsung beranjak bangun.


“Aku tak punya saran lagi.”

“Tidak, bukan yang itu……Terkadang seorang pemain bintang akan mulai bermain di pertandingan bisbol profesional, kan?”

“Eh, entahlah.”

Apa yang dimaksud oleh Iori sebenarnya?

“’Larangan untuk memulai permainan’ yang akan dimuat sebagai berita utama di koran olahraga keesokan harinya mirip seperti ‘Kanna yang memulai hal ini!’”

Tatapan Iori terlihat begitu antusias seperti seorang anak kecil yang sedang melihat cemilan favoritnya.

“Sepertinya begitu.”

Pokoknya Sorata hanya bisa setuju.

“Dan akhir-akhir ini aku memikirkan…”

“Kau masih melanjutkannya?”

“Jika pemain bulu tangkis bernama Tetsuki dan Tamaki menjadi pasangan ganda dalam satu tim, apa yang terjadi? Mereka akan disebut sebagai pasangan ‘Kin X Tama’, kah? Bahkan ketika dibalik mereka masih bisa disebut pasangan, ‘Tama X Kin’!”

(Note: Jokes-nya disini itu Kintama atau Tamakin yang meski dibalik artinya tetep sama yaitu buah zakar.)

“Mungkin saja untuk menghindari hal itu, Tetsuki dan Tamaki tak akan pernah menjadi pasangan ganda, jadi jangan khawatir.”

“Aku lega mendengarnya.”

Benar saja, napas Iori sekarang terasa lebih tenang.

“Bagus.”

“Ah, ada satu lagi.”

“Apa?”

Karena Sorata pikir kalau Iori akan bicara yang aneh-aneh lagi, ia meraih proposal yang ada di atas mejanya. Sambil membaca deskripsi tentang mode co-op yang rencananya akan ditambahkan di game ke “2”-nya.

“Aku juga mau tanya ke Dragon-senpai!

“……”

Ryuunosuke tidak membalas. Ia terus mengetik kode-kode program seperti biasanya.

“Ketika aku lulus dari Suiko, aku bisa tinggal di sini, kan?”

“……”

Sorata langsung mengalihkan pandangan dari proposal yang dibacanya.

“……”

Tangan Ryuunosuke juga berhenti mengetik kode-kode pemrograman.

“Perusahaan senpai akan resmi dibuka bulan April nanti, bisa tolong ajak aku juga?”

Ryuunosuke yang berhenti mengetik memutar kursinya dan berbalik arah. Pandangannya bertemu dengan pandangan Sorata. Ia bisa mengerti tatapan itu dan tidak perlu untuk mendiskusikannya lagi.

Jadi, Sorata berkata.

“Tentu saja, kami dengan senang hati akan mengajakmu” jawabnya dengan jelas.

“Tidak ada alasan untuk menolakmu” ucap Ryuunosuke kali ini.

“Haa, baguslah. Aku tak tau harus bagaimana jika senpai berdua menolakku.”

Dengan ekspresi wajah yang terlihat lega, Iori berguling-guling di atas karpet. Kakinya tidak sengaja menendang kaki kursi dan meneriakkan “Oww.”

“Apa yang mau kau lakukan…?”

Sorata begitu terkejut dengan ponselnya yang berdering ketika ia mencoba untuk membaca proposalnya kembali.

Ketika melihat nama yang terpampang di layar ponselnya, Sorata sangat kaget.

Ia kenal dengan nama itu. Karena Iori baru saja membicarakannya. Tapi, jarang-jarang orang ini menelepon Sorata.

Di layar ponselnya terpampang nama ‘Hase Kanna.’

“Halo, ini Kanda.”

Meski ia curiga, Sorata tetap menjawab panggilan tersebut.

“Halo, ini Hase…”

Suara Kanna sangat terdengar jelas.

“Ya……ada perlu apa?”

“Si bodoh itu, apa ia berada di tempat senpai sekarang ini?”

“Iori?”

“Ya.”

“Ia di sini kok, sedang berbaring di karpet dan membaca komik.”

Komik yang dibuat oleh Mashiro dibuka oleh Iori. Kebetulan saja, Sorata membelinya setiap bulan dan Iori selalu membacanya di sini.

“Oh senpai, aku minta cemilannya ya.”

Iori meraih senbei yang ada di atas meja dan memakannya.

“Baiklah, sudah dulu senpai.”

“Jadi, kenapa Hase-san meneleponku?”

Sorata awalnya berpikir kalau ia tidak perlu menanyakan ini. Jika Kanna punya urusan dengan Iori, dia pasti akan menelepon Iori dari awal. Mereka berdua sekarang ini berpacaran dan Kanna juga tau nomor telepon Iori. Jadi tidak perlu dengan cara tidak langsung seperti ini.

“Tidak, tidak ada apa-apa.”

Dan tentu saja, jawaban dari Kanna adalah TIDAK.

“Yakin, cuma itu saja?”

Untuk apa Kanna menghubungi Sorata sekarang ini? Dia masih belum mengatakan alasannya.

“Bisa senpai tanyakan apa si bodoh itu akan makan di Sakurasou atau rumah Sorata-senpai?

“Baiklah, tapi…bukannya lebih baik jika Hase-san menanyakannya sendiri, kan?”

Sorata mencoba untuk mengungkap niat Kanna yang sebenarnya.

“Aku akan menunggu jawaban dari Sorata-senpai.”

Dari balasannya itu, Sorata bisa merasakan nada bicara yang terdengar marah. Ia tidak tahu alasannya, tapi tampaknya Kanna sedang punya masalah dengan Iori. Ketika sedang marah, sikap Kanna selalu seperti ini.

“Tunggu sebentar.”

Sorata bertanya ke Iori setelah menyuruh Kanna menunggu.

“Iori, Kanna-san menelepon…Makan malam hari ini kau mau makan dimana?”

“Aku sudah lapar jadi aku mau makan di sini lalu nanti balik ke Sakurasou.

“Gimana kalau pulang ke Sakurasou dan makan di sana?”

Sorata menduga apa ini yang diinginkan oleh Kanna. Kalau tidak, dia tidak akan repot-repot menelepon Sorata.

“Eh, di sini tidak apa-apa, makanan yang dibuat Sorata-senpai lebih lezat.”

Iori begitu polosnya. Ia sampai tidak menyadari kekhawatiran Sorata.

“Tidak, bukan begitu Iori……Kurasa kau harus memikirkannya dulu kenapa Kanna-san menelepon ku.”

“Hari ini Hari Sabtu, jadi aku akan menginap” ucap Iori dengan santainya.

Karena mau tidak mau, Sorata memutuskan untuk memberitahu Kanna hal itu.

“Eh, Hase-san?

“Aku sudah mendengar semuanya.”

“Baiklah……”

“Tolong bilang ke si bodoh itu kalau makanan yang kubuat jauh lebih buruk dibandingkan yang Sorata-senpai buat.”

“Ah, Hase-san!”

Meski sedang panik, suara panggilan berakhir dapat terdengar.

“Iori” ucap Sorata sambil menaruh ponselnya di atas meja.

“Ada apa?”

“Apa kau bertengkar dengan Kanna-san?

“Kan kubilang kalau aku tidak boleh ciuman. Bukannya sudah kuceritakan?”

“Benar juga…”

Dengan jawaban Iori yang ambigu, Sorata mengingat tentang dirinya sendiri ketika masih berada di Suiko. Ia juga sering bertengkar dengan Mashiro awalnya……Ada kalanya ketika Mashiro begitu marah.

“……”

Sorata berdiri dan menuju dapur untuk mempersiapkan makan malam.

“Hmm, kita kehabisan bahan makanan.”

Saat mengupas bawang, ucapan tersebut keluar dari mulut Sorata tanpa sadar.



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya