POLA CINTA HASE KANA YANG KIKUK
(Bagian 6)

(Penerjemah : Nana)


Liburan musim panas Kanna yang ketiga dihabiskan dengan menetap di Asrama Sakurasou, hari-harinya yang santai terus berlanjut.

Tanggal 10 Agustus yang dia tunggu-tunggu akhirnya tiba. Tampaknya dua puluh hari terakhir ini berlalu dalam sekejap mata.

Hari ini di gelanggang musik Universitas Seni Suimei, putaran final dari kompetisi All-Japan akan digelar.

Sayangnya, cuaca yang mendung dengan hujan yang deras saat ini tampak mencerminkan suasana hati Kanna.

Bahkan setelah dia melihat Iori yang berangkat dari Sakurasou pagi ini, Kanna masih bertanya-tanya apakah dia harus pergi ke kompetisi untuk menyemangatinya.

Jujur saja, dia sangat takut ketika melihat Iori memainkan piano. Jika Iori salah memainkannya sedikit, dia merasa kalau dirinya yang harus bertanggung jawab akan hal tersebut…

Namun tetap saja, Kanna sudah bersiap-siap untuk pergi. Dia sudah berganti ke baju seragamnya dan berdiri di pintu masuk Sakurasou. Jika dia berangkat sekarang, dia bisa sampai tepat waktu.

“……”

Dipakainya sepatu yang biasanya sambil mengkhawatirkan hal itu.

Dia sudah memilih untuk pergi dan memutuskan untuk mengkhawatirkan hal itu nantinya.

Setelahnya, Kanna akhirnya pergi dari Sakurasou.

Dia berjalan melewati jalan yang sangat dikenalnya saat pulang-pergi sekolah setiap hari.

Melewati gerbang masuk Suiko, dia sampai di halaman Universitas Suimei. Dengan masuk dari gerbang utama, Kanna hanya harus berjalan lurus melewati jalan yang ditumbuhi pepohonan di sisi kanan-kiri jalan.

Kerumunan kecil orang di sekitar Kanna juga berjalan ke arah yang sama. Mungkin saja tujuan mereka juga sama dengan Kanna, yaitu gelanggang musik Suimei.

Ada banyak orang yang berpakaian mewah dan rapi.

Dia akhirnya tiba di depan gelanggang musik dengan wajah yang bingung.

Setelah menaiki tangga beberapa langkah, terdapat barisan orang di depan gelanggang musik. Orang-orang mengantre satu demi satu untuk masuk.

Kanna berpindah beberapa meter ke samping dan hanya berdiri di depan gelanggang musik. Berulang-ulang menarik napas dalam-dalam dan setelah semenit kemudian.

“…Sepertinya, lebih baik pulang saja.”

Dia memutuskan untuk pergi dari tempat ini. Tidak masuk ke barisan dan berjalan balik. Namun sebelum dia bisa melakukan itu, Kanna bertemu dengan seseorang yang dia kenal.

“Oh, Kanna-san.”

Yang memanggilnya adalah Sorata, kakak laki-laki Yuuko. Dengan memakai kemeja yang berkerah dan ujungnya dimasukan kedalam celana agar terlihat rapi.

“Ikut mendukung Iori?”

“Tidak, aku……”

Lalu, suara keras dapat terdengar dari pintu masuk gelanggang musik yang menghalangi Kanna melanjutkan kata-katanya.

“Oh~, halo~, Kouhai-kun!

Misaki sedang berjabat tangan di ujung anak tangga. Dia ditemani oleh Mitaka Jin yang merupakan suaminya di sebelahnya. Ditambah dua orang lagi, Saori yang merupakan kakak perempuan Iori dan yang berdiri di sebelahnya adalah Tatebayashi Sochiro, pacar dari Saori.

“Eh, Jin-san, kau juga datang?”

Tampaknya Sorata tidak tahu sama sekali dari wajahnya yang benar-benar terkejut. Karena Jin melanjutkan kuliah di Universitas Seni Osaka, tentu saja harusnya ia berada di Osaka sekarang ini.

“Karena mantan ketua OSIS ini ingin sekali memamerkan hubungannya dengan HauHau ini. Aku akhirnya dipaksa kembali.”

“Aku tidak pernah bilang begitu.”

“B-benar sekali, Mitaka. Kapan kita pernah mengatakan itu?”

Keluh Soichiro dan Saori bersama-sama.

“Kalian berdua serasi sekali.”

“Yah!”

Wajah Saori memerah dengan kata-kata Jin tersebut.

“Ayo masuk, dan cari tempat duduk.”

Jin cepat-cepat masuk sementara Sochiro dan Saori mengikutinya di belakang sambil terus melontarkan berbagai alasan.

“Hora hora, Kouhai-kun dan no-pan juga ayo masuk!”

“Oh, aku……”

Kata-kata “ingin pulang” sudah tidak bisa diucapkan oleh Kanna begitu tangannya digenggam oleh Misaki.

Di dalam gelanggang, sekitar dua ratus kursi sudah disediakan untuk tamu yang datang.

Perasaan tegang dapat terasa.

Mereka mendapat satu baris tempat duduk kosong dan duduk sesuai dengan urutan dimulai dari Jin, Misako, Saori, Souichiro, Sorata, dan Kanna.

Sekitar 70% dari bangku yang tersedia sudah terisi. Tamu-tamu yang berniat untuk datang menonton terus berdatangan satu per satu, jadi tampaknya gelanggang ini akan penuh sebelum acaranya dimulai.

“Omong-omong, sepertinya Iori mengumumkan suatu hal yang mengagetkan.

Sorata yang duduk disebelahnya mencoba memulai percakapan.

“Tidak mungkin, kan?”

Saori terkejut mendengar itu, dia berdiri di depan mereka dan menatap langsung ke arah Sorata dan Kanna.

“Sepertinya ia mengumumkan hal ini melalui siaran sekolah dan berkata, ‘kalau ia memenangkan kompetisi ini ia akan menembak Kanna-san lagi’.”

Sorata menjelaskan.

“Wow, si bodoh itu…maaf ya, Iori sudah mengganggumu.”

Ekspresi wajah Saori serius ketika mengucapkan hal tersebut.

“Tidak……itu sudah lama, sudah tidak apa-apa sekarang.”

“Sekali lagi, maaf ya.”

Saori meminta maaf sekali lagi dengan pose memohon sambil meletakkan kedua tangan di depan wajahnya.

“Tidak, tidak apa-apa.”

Kanna sendiri tidak begitu mengerti apa yang harus dia maafkan. Namun dalam keadaan ini dia tidak punya pilihan lain selain menjawab Saori dengan kata-kata itu.

- Para Hadirin sekalian, kompetisinya akan segera dimulai. Dimohon agar mencari tempat duduk jika masih berdiri.

Terhalang oleh pengumuman acara, percakapan mereka terhenti.

Dia merasa sedikit lega. Karena Kanna tidak ingin membicarakan tentang siaran sekolah itu lagi.

Dengan diam menunggu acara dimulai…sekitar lima menit kemudian…Akhirnya, pengenalan tentang peserta pertama diumumkan. Seorang gadis yang mengenakan gaun indah keluar dari sisi panggung dengan langkah canggung.

Dia mulai memainkan piano dan langsung menarik perhatian para penonton dan juri yang menyaksikan.

Dimainkannya tiga buah lagu.

Seperti yang Kanna duga, persaingannya begitu ketat di babak final seperti ini. Benar-benar sangat berbeda dengan sekedar ungkapan yang berbunyi “bisa bermain piano.” Setiap peserta yang tampil sangat mengagumkan.

Dari sudut pandang Kanna yang seorang amatir, semuanya tampak seperti seorang pro.

Seorang peserta lain akhirnya menyelesaikan penampilannya. Tiap kali seorang peserta selesai, tepukan tangan dapat terdengar di gelanggang yang besar ini. Suara tepukan tangan sangat bervariasi dari satu peserta dengan peserta yang lain dan hal itu seakan menunjukkan perbedaan yang kejam. Kanna yakin kalau para peserta pasti mengerti dengan hal tersebut. Memang benar saja, dunia yang diwakilkan oleh kemampuan seseorang.

Iori muncul sebagai peserta kesembilan.

Begitu namanya dipanggil, gelanggang musik menjadi sedikit ricuh. Kita Iori muncul dengan menggunakan jas berekor, suara ricuh di gelanggang semakin membesar. Ternyata, hal itu bukan imajinasi Kanna saja.

Iori menjadi terkenal karena dua hal. Yang pertama adalah karena ia adik dari Saori yang duduk di baris yang sama dengan Kanna sekarang ini. Dan yang kedua adalah karena patah tulangnya dua tahun lalu dan ia menghilang dari panggung kompetisi hingga hari ini.

Sekarang ini adalah reuni pertama kalinya dalam dua tahun untuk para peserta lain di kompetisi ini.

Tidak perlu disangkal lagi bahwa ada banyak orang yang menanti kembalinya Iori di panggung kompetisi. Pada saat yang sama, Kanna merasa kalau ada beberapa pasang mata yang juga membenci hal ini.

Tanpa terganggu oleh tatapan kebencian itu, Iori berjalan ke piano tanpa canggung sedikit pun. Mengatur tinggi dari kursinya dan duduk di sana.

Lalu, ia menarik napas panjang.

Tampaknya persiapan mental yang dipersiapkan sudah selesai dengan satu tarikan napas panjang, dan Iori mulai memainkan piano begitu tangannya menyentuh tuts piano. Hati Kanna masih belum siap untuk mendengarnya. Dia merasa kesal dengan melodi piano yang dimainkan oleh Iori.

Melodi yang halus nan lembut. Jari-jarinya menekan tuts piano dengan lancar. Terdengar lembut, namun melodi yang dikeluarkan seperti penuh sukacita.

Perasaan yang bergejolak mulai menjadi tenang.

Kesadarannya mulai menghilang.

Kanna bisa merasakan niat tertentu dari lagu yang dibawakan. Melodi ini seperti tekad Iori.

Ekspresi dari Iori yang sedang memainkan piano sangat menarik perhatian Kanna.

“……”

Ia tertawa. Iori tampak bahagia dan tertawa.

Sebaliknya, lagu kedua yang dibawakannya adalah lagu dengan kesan yang kuat, sangat berbanding terbalik dengan yang pertama. Dahsyat seperti badai. Dia membawakannya dengan penuh emosi. Momentum yang dibawakanya berubah menjadi suara yang menggelegar bagi semua orang yang menontonnya.

Ketika penampilan keduanya selesai, Iori mengambil napas dalam-dalam untuk mengatur pernapasannya.

Lagu selanjutnya dan yang terakhir membuat para penonton yang menyaksikan menunggu dengan antisipasi besar.

 Untuk memenuhi harapan para penonton, lagu yang menenangkan dimainkan dari tangan Iori.

Perasaan seperti terbang, melompat – lompat, serta perasaan gembira memenuhi gelanggang musik tersebut. Sepertinya karena Iori memang suka dengan situasi seperti ini, pikir Kanna.

Jujur saja, Iori memainkan piano dengan wajah dan cara yang begitu bahagia……

Akhirnya, Iori menyelesaikan lagu terakhirnya dan tidak ada kesalahan besar yang dilakukan saat penampilannya. Ia mengangkat tangannya dari tuts piano di akhir penampilannya. Dengan pose yang seperti sedang memainkan boneka tali, Iori menghentikan permainannya.

Keheningan memenuhi gelanggang tersebut.

Tapi saat berikutnya, sorak sorai terpecah dan tepuk tangan meriah mengisi gelanggang musik itu.

“Bravo~! Iorin!”

Suara Misaki begitu terdengar jelas dibandingkan penonton yang lain.

Iori yang berdiri membungkuk kepada penonton. Ia mengangkat wajahnya dan berpose nakal ke arah Kanna dan yang lainnya.

Dengan tepuk tangan yang begitu meriah, Iori kembali masuk ke sisi panggung dengan jas berekor yang dipakainya.

Tetap saja, sorak sorai yang ditujukan untuknya juga tidak berhenti.

“Sorakan seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya.” ucap Saori.

“Himemiya memang sudah lulus, kan?” ucap Sorata.

Tidak ada yang berkata, ‘un’ atau ‘ya’ tapi kata-kata Sorata menegaskan tepuk tangan yang diterima Iori.

Dengan antusias yang begitu besar, Kanna bertarung sendirian dengan emosi yang ada di dalam dirinya sendiri. Dia merasa kalau dirinya akan menangis.

Waktunya sudah menunjukkan pukul 4 sore setelah semua peserta menyelesaikan penampilan mereka.

Dengan berdiskusi sekitar 40 menit, pengumuman pemenang akan langsung diumumkan di atas panggung.

Kanna kira kalau Iori bisa memenangkan kompetisi ini berdasar dari banyaknya tepuk tangan yang diterima.

Kanna terus menunggu sambil mengharapkan nama Iori dipanggil.

“- Dengan ini, para pemenang sudah diumumkan.”

Jadi, sebelum nama Iori dipanggil, dia tidak yakin kenapa seorang pria yang mengumumkan dengan mikrofon berkata begitu.

Iori masih belum keluar dari ruang tunggu bahkan setelah setengah jam berlalu semenjak upacara penghargaan para peserta berakhir.

Para penonton yang datang sudah lama pergi. Para peserta juga sudah mengganti pakaian mereka dan kebanyakan dari mereka sudah pulang.

Kanna sedang menunggu Iori di lobi gelanggang musik dengan Sorata dan yang lainnya. Tanpa ada percakapan yang terjadi, mereka memutuskan untuk menghampiri Iori.

“Aku masuk ya.”

Karena dia dengar cuma Iori saja yang masih berada di ruang tunggu, Kanna membuka pintu tersebut.

Di ujung ruangan, Iori berada di antara dinding dan loker, sedang duduk di sana sambil memegangi lututnya.

“Petugas kebersihan bisa kesusahan karena tidak bisa bersih-bersih.”

“……”

Iori terlihat seperti anak kecil, merajuk ke arah lantai dengan meringkuk.

“Ini, segera ganti baju mu.”

“Tidak.”

“Jangan seperti anak kecil begitu.”

“……”

“Kenapa dengan tingkahmu itu, apa kau merasa bersalah?”

“Tidak.”

“Kalau begitu apa?”

“Aku ingin memenangkan hadiah…”

Iori semakin meringkuk. Sekarang ia membenamkan wajahnya di lututnya.

“Kau sangat ingin berpacaran denganku?”

“…Ya.”

Haa, Iori menghela napas panjang.

“Tapi bukan itu saja.”

“Apa lagi?”

“Aku ingin memenangkan hadiah…”

“Lalu?”

“AKu ingin memenangkan hadiah dan membuktikan hal itu kepadamu langsung.”

“……”

Iori yang mulai mengangkat wajahnya, mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan.

“Aku sangat khawatir denganmu, jadi Aku sungguh-sungguh melakukannya.”

“…Melakukan…apanya?”

Kanna begitu terkejut ketika dibertahu kalau dia yang menjadi alasannya.

“Meskipun aku tak begitu peduli dengan tulang yang patah…Kau masih berpikir kalau itu semua salahmu……”

“Tidak seperti itu…tapi yah.”

“Jadi, Aku ingin kau mengerti kalau aku baik-baik saja!”

Iori mengeluhkan hal itu dengan wajah yang seakan-akan terlihat akan menangis kapan pun juga.

“Kau mau bilang kalau itu semua untukku?”

“Ya.”

“Setelahnya, apa?”

“Setelahnya, yah, maksudku…aku ingin kau tersenyum setelah mendengar laguku!”

“A-ap…”

Merasa malu dengan perasaan polos yang tiba-tiba menghantamnya, Kanna membalasnya dengan acuh.

“Oh, sial, aku tak tahu lagi harus berkata apa!”

Iori meremas kepalanya karena merasa malu juga. Gaya rambut shaggynya semakin terlihat berantakan.

“……Menurutmu, aku gimana?”

“Haa?”

“Tak perlu basa-basi, langsung saja.”

“Wow, benar-benar merepotkan.”

“Seburuk itukah?”

“Maksudku bukan merepotkan seperti itu.”

Dengan anehnya, Iori mengerutkan mulutnya. Ia membanting kakinya ke depan dan bergaya dengan santai.

“Bahkan jika aku tidak memenangkan hadiah, niatku bisa tersampai.”

“……”

“Semua tepuk tangan itu, kau dengar, kan?”

“Aku begitu senang mendengarnya, karena ini pertama kalinya buatku.”

“Jika……”

“Tapi yang ingin kuketahui adalah gimana denganmu?”

Pandangan Iori langsung tertuju ke mata Kanna lagi. Ketika Kanna mengingat penampilan Iori, dia merasa kalau tubuhnya terasa semakin panas. Lalu, tanpa sadar dia mengucapkan kata-kata ini.

“……Aku juga senang kalau bisa pacaran denganmu.” ucapnya dengan lirih.

“Eh?”

Iori menunjukkan wajah bodohnya.

“Apa tadi?”

“Aku tak mau mengatakannya lagi.” ucap Kanna yang mengalihkan pandangannya dari Iori karena merasa malu.

“……Tunggu, kau sungguh-sungguh?”

Karena masih belum percaya, Iori menanyakannya lagi,

“Kau tidak sedang demam, kan?” tanyanya dengan wajah serius.

“Apa? Kau tidak suka kalau begitu?”

Kanna mati-matian mencoba menatap ke arah Iori.

“Yah itu karena kau tidak suka denganku, kan?”

“Aku tidak pernah bilang begitu.”

“Tidak, kurasa kau sudah mengatakan itu sebanyak sejuta kali sampai sekarang, ya?”

“Baru sekitar ratusan kali.”

“Tapi, kau yakin ingin denganku?”

“……Jika kau tidak suka. Tidak apa-apa. Kalau begitu, selamat tinggal.”

Kanna berbalik arah dan membelakangi Iori. Pintu keluar sudah berada di depan matanya. Jujur saja, dia ingin segera kabur dari ruangan ini sesegera mungkin karena batas rasa malunya sudah tidak mungkin ditahan lagi.

“Yah, t-tunggu! Aku bohong! Tolong pacaran denganku!”

Iori langsung bersujud tanpa rasa malu sedikit pun.

“Tolong, tolong! Aku minta maaf!”

“Haa…jangan membuatku malu seperti itu, sudah hentikan.”

“Baiklah.”

Sekarang Iori mulai berdiri.

“Jadi, kau mau?”

“Baiklah, aku mau pacaran denganmu.”

“YES!”

Iori langsung melompat dengan perasaan yang begitu gembiranya. Padahal sesaat sebelum ini, ia sedang duduk merajuk di antara tembok dan loker. Tingkahnya langsung benar-benar berubah seketika.

“Aku akan tunggu di luar jadi, cepat ganti bajumu.”

Kanna meninggalkan ruang tunggu dengan wajah merah padam.

Dia menutup pintu di belakangnya sambil menghela napas lega.

“…”

Kemudian, dia mengambil napas dalam-dalam dan dengan perlahan mengangkat wajahnya. Saat itu juga, Kanna merasa begitu kaget.

“Ah…”

Di depan ruang tunggu, berdiri Sorata, Misaki, Jin, Saori, dan Souichiro……

“Jangan terlalu dipikirkan, aku cuma dengar setengahnya, yah…” ucap Saori mencoba memecahkan keheningan yang ada.

“Y-yah, kita mendengar bagian yang pentingnya, tapi jangan khawatir karena kita tidak akan bilang ke siapa pun, jadi yah, jangan terlalu dipikirkan (ドンマイ [Donmai]).”

“Saori, kata-katamu kelabakan.” ucap Souichiro.

“Yah, kita serahkan saja pada yang muda.” ucap Misaki sambil memegang mulutnya ketika melihat ke arah Kanna.

“Yep, kita tak boleh mengganggu mereka berdua” ucap Jin yang sudah lebih dahulu berjalan ke pintu keluar.

“Eh, yah……Kanna-san, selamat ya aku mendukungmu.”

Setelah mengatakan bagian mereka Sorata, Misaki, Saori, dan Souichiro juga mulai berjalan ke arah pintu keluar.

Kanna tidak bisa mengejar mereka dan mengelak dari apa yang mereka dengar. Sekarang ini dia begitu panik.

Karena tidak punya pilihan lain, Kanna terus merasa sesak di dada saat berdiri di depan ruang tunggu.

“Kau masih belum selesai juga?”

Rasa stress yang melandanya ditujukan ke Iori yang berada di dalam ruang tunggu.

“Apa? Ada apa?! Kenapa kau marah-marah?!”

Sekitar lima menit kemudian, bersamaan dengan Iori yang keluar dari ruang ganti, mereka berdua meninggalkan gelanggang musik. Sorata dan yang lainnya tampak sudah lebih dulu pulang, dan sudah tidak ada orang lain di sekitar mereka.

Kanna berjalan bersama dengan Iori di perjalanan pulang dan harinya sudah semakin larut.

“……”

“……”

Sekitar lima menit setelah mereka keluar dari gerbang Universitas, masih belum terjadi percakapan sedikit pun di antara mereka.

“……Mm.”

Iori takut untuk memulai percakapan.

“Apa?”

“Kau tak mau membicarakannya?”

“Kenapa?”

“Yah, karena kita sudah jadi sepasang kekasih, jadi ada banyak hal yang harus dibicarakan, kan?”

“Apa maksudmu?”

“Ada banyak ha…”

Suara Iori semakin mengecil.

“……”

“……”

Lagi-lagi, keduanya menjadi terdiam.

Tapi kali ini hal itu tidak berlangsung lama.

“Yah, baiklah, boleh aku memanggilmu dengan namamu?”

“Silahkan saja.”

“Kanna………san.”

Kanna sedikit terkejut namun dia juga sedikit kecewa karena harus dipanggil -san setelahnya.

“Canggung sekali.”

“Kau sadar kalau kata-katamu itu menyakiti hatiku, kan?”

“Tentu saja.”

“Maksudku yah, sifatmu itu buruk, sungguh…..Jadi, tanganmu sini, boleh berpegangan?”

Kenapa dengannya itu? Kanna tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

“Menjijikan” ucapnya dengan sinis.

“Kenapa?!” tanya Iori dengan begitu terkejut.

“Kalau ku izinkan, kau akan menyentuh yang lainnya juga.”

“Memangnya kau pikir aku ini siapamu?”

Sambil mencondongkan dirinya ke depan, Iori menatap ke arah Kanna langsung.

“Pacarku.”

“O-oh.”

Panggilannya tidak buruk, Iori kira.

“Wajahmu memerah?”

Saat Iori menyebutkan hal itu, Kanna akhirnya tersadar. Wajahnya memerah dan dia berusaha melupakan kata-kata yang baru saja diucapkannya.

“Karena terkadang maksudku itu sebaliknya.”

“Seperti?”

“Bahkan jika kubilang bagus, kenyataannya tidak.”

“Jadi, a-aku……ini bukan sebagai pacar laki-lakimu, tapi pacar perempuan?!”

Iori begitu kaget dengan mata yang terbuka lebar.

“Tidak, bukan begitu” balas Kanna sambil menghela napas.

“Ah, bagus kalau begitu. Aku sampai kaget.”

“Yang sebelumnya.”

“Apa yang sebelumnya?”

“Kau bilang mau memegang tanganku, kan? Ingat konsekuensinya?”

“Oh, benar juga…Jadi boleh?”

“Menjijikan” balas Kanna seperti sebelumnya dan berbalik badan.

Namun sebelum dia bisa melakukan itu, tangannya sudah terbalut oleh tangan Iori.

“Besar ya!”

“Hmm?”

“Tanganmu.”

“Entah kenapa terdengar cabul.”

“Padahal aku cuma membicarakan tanganmu?”

“Yah, aku tahu itu, kau tak akan memaki ku lagi, kan?”

Iori menjadi terdiam. Saat di panggung kompetisi, dirinya yang memainkan piano terasa begitu berwibawa…Kanna masih tidak percaya kalau ini orang yang sama.

“Biar kuperingatkan.”

“Silahkan saja.”

“Aku ini menyusahkan.”

“Aku sudah tahu betul.”

“Aku juga orangnya pendendam.”

“Yah, aku juga mengerti yang itu.”

“Jika tingkahmu mencurigakan, aku mungkin akan memeriksa ponselmu.”

“Nanti kuhapus kumpulan “gambar berharga”ku sambil menangis.”

“Jika kau berubah pikiran dan menyukai gadis lain, aku mungkin akan menikammu.”

“Yah, boleh saja?” ucap Iori.

“Aku setengah bercanda.”

“Berarti setengahnya lagi serius!”

“Jadi jika kau mau putus, sekarang waktunya.”

“Aku tidak mau.”

Iori langsung menjawabnya. Ia bahkan membalas perkataan Kanna sebelum selesai mengucapkannya.

“Yaa baiklah……”

“Tapi sebelum itu……bisa aku tanya satu hal?”

“Tidak.”

“Aku masih belum dengar perasaanmu tentangku.”

“Seperti yang kau duga.”

Sebuah anak tangga pendek muncul di hadapan mereka. Sebuah anak tangga yang hanya membutuhkan lima langkah untuk menaikinya.

Sambil melepaskan tangan Iori, Kanna berlari menjauh darinya. Dan ketika berbalik melihat ke arah Iori, dia mengucapkan,

“Aku membencimu.”

Dengan senyum selebar mungkin.




Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya