POLA CINTA HASE KANA YANG KIKUK
(Bagian 5)

(Penerjemah : Nana)


Setiap harinya hingga semester pertama berakhir, hari-hari biasanya yang tenang sangat jauh berbanding terbalik dari apa yang Kanna inginkan. Dia mulai menjadi pusat perhatian dari banyak siswa-siswi karena siaran yang Iori lakukan.

Iori yang fokus latihan untuk bisa lolos di babak kedua penyisihan kompetisi tampak tidak peduli sama sekali, lain halnya dengan Kanna.

Di hari berikutnya, dia menjadi pusat dari rumor dan gosip panas dari teman-teman sekelasnya.

Hampir setiap hari mereka menghampirinya dan menanyakan,

“Hase-san, kau benar-benar berpacaran dengan Himemiya-kun?

“Kapan kau akan membalasnya?”

“Himemiya-kun ya, kurasa memang sudah jelas, kan?”

“Hey, bagaimana pendapatmu tentang Himemiya-kun?

“Berjuanglah!”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu banyak terlempar kepadanya oleh para gadis di kelasnya, dan mereka seperti berusaha mendukung Kanna diam-diam.

“Iori masih belum menembakku.”

Meski dia mencoba untuk menyembunyikannya, hal itu bukan masalah bagi teman-temannya.

“Kau begitu lagi.”

Teman-teman kelasnya malah semakin menggodanya dan Kanna menjadi bulan-bulanan mereka.

Dia jadi penasaran kenapa para gadis sangat menyukai kisah cinta yang seperti ini…

Seperti yang diduga, ketika masa UAS dimulai, siswa-siswi yang memperhatikan Kanna sebelumnya lebih mementingkan UAS mereka. Tapi ketika hal itu berakhir, jadwal untuk babak kedua kompetisi All-Japan kian mendekat. Tentu saja, semua siswa-siswi menaruh harapan mereka ke Iori agar menang. Namun agar bisa sampai ke babak final, ia perlu lolos dari babak penyisihan kedua dulu.

Kanna ingin agar teman-teman kelasnya tidak mengganggu Iori dulu saat ini. Karena sekarang ini waktu yang penting bagi Iori……

Dia mengira kalau Iori harus banyak-banyak latihan lagi.

Ketika dia memikirkan tentang suara berisik yang bisa mengganggu konsentrasi Iori untuk kompetisi, suasana hatinya kian memburuk.

Namun, terlepas dari kekhawatiran Kanna, Iori tidak begitu peduli tentang gangguan semacam itu. Buktinya, ia berhasil lolos babak kedua dengan mudahnya.

“Aku berhasil lolos,” ucapnya dengan santai.

Tentu saja, kemampuan dirinya sendiri saja sudah cukup untuk bisa sampai ke babak final, jadi tidak begitu mengejutkan.

Meski begitu, agar dapat mengatasi luka akibat patah tulangnya dan bisa mengikuti kompetisi lagi, kekuatan itu muncul dari kerja keras dan upaya yang ia usahakan dari latihannya setiap hari.

Kanna pikir tidak semua orang bisa melakukan hal yang sama.

Di malam ketika babak penyisihan kedua selesai diselenggarakan, Kanna tidak bisa tidur.

Sudah dua jam dia menatap langit-langit kamarnya. Setelah berguling kesana-kemari berkali-kalinya, Kanna bangun dari kasurnya. Dia kira dirinya tidak perlu memaksakan diri untuk tertidur jika dia memang tidak bisa tidur.

Dan libur musim panas juga sedang berlangsung. Jadi dia tidak perlu pergi ke sekolah lagi esoknya. Dia bisa tertidur sampai siang dan hal itu tidak akan mengganggu Iori.

Begitu dia memutuskan untuk meninggalkan kasurnya, perutnya berbunyi menandakan kalau dia lapar.

Kanna meninggalkan kamarnya untuk mengatasi rasa lapar tersebut.

Ketika dia turun ke lantai satu dan berjalan menuju dapur, seseorang sudah lebih dulu mendahuluinya.

“Oh.”

Iori sedang mencari-cari makanan dari kulkas. Di dekatnya, dengan bantal yang berada di lantai sebagai tempat tidur, kedua kucing yang tinggal di Sakurasou sedang tidur dengan nyenyaknya. Mereka berdua adalah Aoba dan Asahi.

“Yah, aku lapar.”

Iori masih mencari-cari makan di kulkas, tanda kalau ia tidak bisa menemukan satu makanan pun.

“Kita masih ada bahan untuk membuat pancake.”

Mereka cukup mencampur telur, gula, susu, terigu, dan tinggal memanggangnya.

“Oh bagus kalau begitu.”

Iori mengambil telur dan susu dari kulkas dan berjalan menuju lemari dapur. Kemudian, ia mengeluarkan kotak pancake dan bahan-bahan lainnya.

“Serahkan padaku. Aku saja yang membuatnya.”

Kanna mengambil kotak pancake tersebut dari tangan Iori. Meletakkan wajan di atas kompor dan menyiapkan mangkuk.

“Kau tidak sedang kesurupan atau apa, kan?”

“Jangan mengganggu.”

“Kenapa?”

“Karena nanti akan repot kalau kau terluka.”

“Kau kira aku seceroboh itu?”

“Cuma jaga-jaga,” teriak Kanna.

Dia tidak pernah menganggap kalau Iori orang yang ceroboh. Bahkan, tangannya lebih lihai dari Kanna dan memasak lebih baik dibandingkan dirinya.

“Tunggu saja di meja.”

“Baiklah.”

Setelah menjawab seperti anak kecil, Iori duduk di meja makan. Ia memegang pisau dan garpu selagi menunggu.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Kanna menyajikan dua pancake utuh ke Iori.

Dia juga duduk berseberangan dari Iori.

“Mm. ini enak.”

Dengan satu gigitan, mulutnya dipenuhi potongan pancake.

“Oh iia.”

“Apa?”

“Babak final nanti, kau akan datang?”

“…”

“Tanggal 10 Agustus nanti, tapi……apa kau ada urusan?”

“Tidak ada, tapi……”

“Tapi?”

“Mungkin aku disuruh pulang ke rumah…”

Sebenarnya, dia tidak ingin melakukan hal itu. Kana tidak ingin pulang ke rumah di mana ibu dan ayah barunya tinggal. Selain itu, ibunya saat ini sedang hamil. Beberapa bulan dari sekarang, seorang adik laki-laki atau perempuan akan terlahir. Setelahnya, pasti tidak akan ada tempat untuk Kanna di rumah itu.

“Yah, lagi pula ini sedang liburan musim panas. Baiklah. Jika kau ingin menghindar dari itu, ikut saja denganku.”

“……Un,” balas Kanna dengan ambigu, setelah itu dia berdiri.

“Taruh saja piring kotor di wastafel. Ku cuci besok.”

“Baiklah.”

“Jaga dirimu sampai babak final tiba.”

Tatapan Kanna tanpa sadar tertuju ke tangan Iori yang panjang dan nada bicaranya agak memaksa.

“Kau masih memikirkannya, ya?”

Kata-kata tersebut membuatnya terkejut.

“Apanya?”

Ekspresi terkejut muncul di wajah Kanna.

“Tentang patah tulangku.”

Kanna merasa terpojokkan sendiri oleh pikirannya. Dia tidak bisa bergerak dan detak jantungnya semakin cepat.

“……”

Dia kira kalau dirinya bisa menghadapi itu. Dia seharusnya menyangkal kata-kata Iori. Tapi tak terucap satu kata pun dari mulutnya.

“Sudah tidak apa-apa.”

“……”

“Jadi, aku ingin kau datang di final nanti.”

Ia memasukan potongan pancake terakhir ke mulutnya, dan Iori berjalan pergi dari dapur sambil berkata, ‘Terima kasih makanannya.’

Hanya tinggal Kanna seorang saat ini.

“Ba……”

Perasaannya yang memikirkan hal itu begitu melelahkan.

“Bagaimana mungkin Aku tidak mengkhawatirkan itu, bodoh!”

Dia tidak bisa mengatakan atau memendam perasaannya itu jauh di dalam dirinya. Kanna hanya membiarkan perasaan menyesal dan bersalahnya itu menyelimuti dirinya…


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya