POLA CINTA HASE KANA YANG KIKUK
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Akhir bulan Juni menandakan dimulainya masa UAS. Musim hujan yang panjang juga dimulai dan langit biru musim panas membuat matahari memancarkan cahayanya dengan begitu cerah.

Bahkan saat sore hari, tidak ada tanda-tanda kalau cuaca panas ini menjadi lebih sejuk dan Kanna juga menjadi lebih murung dari hari ke harinya. Dia pasti akan berkeringat setelah melakukan aktivitas kecil, cuaca yang menyebalkan pikirnya. Dia benci hujan tapi di saat bersamaan dia juga tidak suka dengan hari yang cerah.

“Haa……”

Dirinya yang muram dapat terlihat dengan jelas dalam perjalanan pulangnya dari sekolah. Tapi hal itu terjadi bukan karena matahari musim panas atau lembapnya suhu udara. Ada hal lain yang membuatnya gelisah sejak pagi ini. Dirinya sendiri juga sadar akan hal tersebut yang mana membuatnya semakin murung.

“Kenapa kau tak bilang sebelumnya?”

Dalam perjalanannya menuju pasar tradisional (shōtengai), Kanna menggumamkan keluh kesahnya. Tapi sayangnya, orang yang biasanya menjadi korban dari cacian dan makiannya tidak sedang bersama dengannya. Saat ini, Kanna sendirian dan orang itu tidak masuk sekolah hari ini.

Iori sedang mengikuti babak penyisihan kompetisi All-Japan.

Kanna memeriksa waktu saat ini dari layar ponselnya dan menunjukkan pukul 4:00 sore.

Seharusnya babak penyisihannya sudah usai dan hasilnya sudah diumumkan. Tapi satu pesan pun belum diterimanya dari Iori. Hal ini yang membuat Kanna menjadi frustasi.

Dia menatap layar ponselnya sambil berdiri diam. Layarnya kemudian menunjukkan lampu latar yang mulai redup dan kemudian menjadi hitam sepenuhnya, setelahnya entah kenapa dirinya seakan tersenyum.

“……Aku sangat merindukan si bodoh itu jadinya.”

Dia sudah lebih tenang setelah mengucapkan hal tersebut.

Tepat ketika dia tiba di lampu merah, ada pesan masuk di ponselnya.

Tanpa sadar, dia langsung memeriksanya.

Jari-jarinya yang ramping mulai menekan tombol ponselnya dengan cepat.

- Mana yang lebih kau suka: Bubur diaduk atau tidak diaduk?

Dia kira kalau pesan itu berisi hasil kompetisi, tapi setelah dia membacanya ternyata hanya pesan iseng dari Iori.

Setelahnya, muncul lagi pesan masuk.

- Kalau Aku sudah pasti tidak diaduk!

Kanna menuliskan kata “MATI SAJA KAU!”, tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak mengirimkan pesan itu dan mengabaikan pesan masuk tadi.

Sekitar sepuluh detik kemudian, ada lagi pesan masuk.

Awalnya, dia enggan membaca pesan masuk itu tapi setelah diperiksa.

- Ah, tapi aku lolos babak penyisihan.

Saat dia membaca kata-kata tersebut dalam pesan itu, tubuhnya terasa bersemangat. Tanpa sadar dia juga mengeluarkan suara seperti anak kecil yang kegirangan.

Dia merasa lega.

Ditulisnya kata-kata “selamat”, tapi setelah dipikir-pikir lagi dia merasa ragu.

Apa balasan ini sudah tepat? Dia merasa ragu dengan ini. Sebaliknya, karena dia menyuruh Iori untuk sampai ke babak final, dia merasa terlalu dini untuk mengatakan kata-kata “Selamat”. Karena tujuan Iori adalah memenangkan kompetisi ini.

Dia mulai menghapus kata-kata tersebut dan mulai menulis ulang. Ditulisnya “Ya, aku senang kau berhasil.”

“……”

Anehnya, hal sekecil itu mengganggunya. Dia berpikir kalau ada balasan yang lebih tepat dalam situasi seperti ini. Kanna menghapus dan menulis ulang lagi, menghapus dan mengulanginya lagi dan terus-menerus seperti itu.

Selamat itu juga, lima menit telah berlalu. Lampu merah silih berganti menjadi biru dan berganti ke merah dan ke biru lagi setelahnya.

Seiring waktu terus berlalu, dia merasa kalau balasannya sudah tidak diperlukan lagi.

Sambil memikirkan tentang hal itu, ponselnya berdering kali ini.

Nama yang tampil di layar ponselnya adalah Himemiya Iori.

Untuk sesaat dia berpikir untuk mengabaikannya. Tapi setelahnya, dia merasa seperti mengakui kekalahannya jika begitu.

Dipencetnya tombol panggilan masuk.

“Apa?”

“Kau sudah lihat pesanku?”

“Pesan tentang pelecehan seksualmu?”

“Babak penyisihan, aku lolos.”

“……”

Mulutnya tak bisa mengeluarkan kata-kata dan Kanna terdiam.

“Eh? Sudah terputus?”

“……Aku masih bisa mendengarmu.”

“Aku lolos babak penyisihan.”

“Yah, Aku baru saja melihat pesannya tadi. Aku tak ingin repot-repot meneleponmu.”

Sebenarnya dia tidak ingin mengucapkan kata-kata kasar seperti itu. Tapi, setiap kali dia membuka mulutnya pasti akan seperti ini.

“Begitu saja?” balas Iori.

“Apa yang kau inginkan dariku?”

“Aku ingin kau memujiku.”

“Jangan jadi anak kecil, memangnya kau tidak malu?”

“Tidak sama sekali.”

“Ah, aku juga bodoh karena mengharapkan ini darimu.”

“Tidak juga, ini reaksi yang normal. Jika kau berhasil dalam suatu hal, bukannya kau ingin hadiah dari orang terdekatmu?”

“Maksudku sifatmu itu.”

“Maksudmu ‘Aku akan dapat ciuman sebagai hadiahnya?’”

“Tidak.”

“Kalau ciuman di pipi?”

“Tidak.”

“Setidaknya kau bisa bilang ‘selamat’, kan?”

“Kalau begitu, bilang saja ke gadis lain yang mau mengucapkan itu. Kututup teleponnya!”

Tanpa perlu menunggu balasan dari Iori, Kanna mengakhiri panggilan tersebut.

“Haa…”

Dia melakukannya lagi. Rasa penyesalan yang muncul datang dengan cepat. Kenapa juga kata-kata seperti ‘selamat’ muncul dalam pembicaraan mereka?”

“Kenapa mengeluh begitu?”

Suara tersebut muncul dari belakang Kanna.

“Eek!”

Kanna berbalik dan terkejut dengan orang yang dilihatnya.

“Ah……”

Gadis yang berdiri di belakangnya membawa tote bag besar di bahunya. Dengan riasan yang ringan, mengenakan celana ketat sepanjang lutut, blus putih yang tembus pandang dan camisole berwarna biru-putih di dalamnya.

“Aoyama-senpai

“Lama tak bertemu.”

Nanami mengangkat satu tangannya.

“Hase-san juga sedang berbelanja?”

“Oh, iia.”

Jika dia langsung pulang ke Sakurasou setelah sekolah, dia tidak akan melewati jalan ini yang menuju ke stasiun kereta.

“Karena aku juga akan ke pasar, mau bareng?”

“Boleh.”

Setelah menunggu lampu merah menjadi biru, mereka kemudian jalan bersama ke pasar. Suara *tuk yang berirama terdengar dari kaki Nanami. Sekarang ini dia mengenakan sandal yang heelnya sedikit terangkat. Karena itulah dia terasa lebih tinggi dari yang diingat oleh Kanna.

Dia terlihat seperti orang dewasa. Dengan rambut pendek yang sengaja dipotongnya pada saat kelulusannya di Suiko, rambutnya sudah tumbuh lebih panjang lagi hingga menyentuh bahunya.

“Oh, ini?”

Nanami yang menyadari tatapan Kanna mengelus ujung rambutnya dengan jari-jarinya.

“Kelihatan aneh ya?”

“Tidak, memang wajar karena sudah lebih dari setahun semenjak senpai lulus dari Suiko, tapi tampaknya Aoyama-senpai menjadi lebih dewasa dan mengejutkan…”

Emosi yang dirasakannya tak terwakili oleh kata-kata dengan baik, dan Kanna akhirnya mengucap, “Maaf.”

“Tidak, terima kasih. Kemarin Aku juga bertemu dengan Kanda-kun di kantin untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir dan ia juga mengucapkan hal yang sama.”

Nanami tertawa ketika dia mengingat percakapannya dengan Sorata waktu itu. Sekarang, baik Sorata serta Nanami sudah menjadi mahasiswa-i di Universitas Seni Suimei.

Tempat dimana Nanami tinggal juga sangat dekat dengan Sakurasou. Di sebuah apartemen yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar sepuluh menit.

Setelah lulus dari Suiko, Sorata yang meninggalkan Sakurasou menyewa sebuah rumah tua di dekat universitasnya dan tinggal bersama dengan Akasaka Ryuunosuke yang juga salah satu mantan penghuni Sakurasou. Tempat itu jika dilihat dari Sakurasou berada di sisi lain dari gerbang universitas mereka. Mungkin memakan waktu sekitar tiga puluh menit jika Kanna berjalan kaki. Karena hal itu, bahkan jika mereka tinggal di kota kecil yang sama, dia jarang bertemu dengannya.

“Apa Sorata-senpai baik-baik saja?”

Sudah sekitar tiga atau empat bulan yang lalu ketika Kanna bertemu dengannya. Mereka tidak sengaja bertemu di stasiun setelah rapat tentang novelnya. Sepertinya saat itu Sorata sedang dalam perjalanan pulangnya setelah rapat produksi untuk game yang dikembangkannya.

“Ia sedang bersiap-siap untuk pendirian perusahaan gamenya bulan lalu, jadi ia begitu sibuk sampai harus membaca buku tentang wiraswasta selagi ia makan di kantin.”

“Kelihatannya sangat sibuk.”

Kanna tidak begitu tahu bagaimana rasanya mendirikan perusahaan. Dia belum pernah melakukan hal itu maupun memikirkan akan melakukannya. Bahkan saat di sekolah, dia tidak mempelajari hal itu di kelas.

“Tapi, kurasa tidak begitu berat kelihatannya dan ia terlihat bersemangat.”

“Begitukah.”

Rasa kepuasan dalam menjalani apa yang disukai oleh seseorang memang seperti itu terlihatnya.

“Bagaimana dengan Sakurasou belakangan ini?”

“Chihiro-sensei masih seperti biasanya, minum bir setiap hari dan Kanda-san memutuskan untuk ikut jurusan sastra.”

“Eh? Sungguh?”

Lagi pula, dia memutuskan akan masuk jurusan tersebut karena alasan “Aku ingin bersama dengan Kanna-chan.”

“Aku tidak tahu apakah dia bisa mendapatkan rekomendasinya.”

Dalam wawancara dengan wali kelasnya, Shiroyama Koharu-sensei, dia tampaknya akan mendapatkan rekomendasi tinggi meski dia sendiri tidak yakin. Karena Yuuko hanya akan belajar saat ada UTS atau UAS, nilainya hanya akan bagus dalam ujian tersebut. Di semester ketiga saat kelas dua, teman-teman sekelas mereka terkejut dengan nama-nama yang mendapat nilai tertinggi dan nama Yuuko berada di dalamnya.

“Kuharap kalian berdua bisa masuk di universitas yang sama.”

“……Aku setuju.”

Bagi Kanna, Yuuko adalah satu-satunya teman yang dia anggap. Seperti yang Nanami bilang, dia mungkin akan ikut bersama dengannya ke universitas yang sama. Jika tidak ada Yuuko di sisinya, dia pasti akan sendirian lagi.

“Bagaimana dengan Iori-kun? Bagaimana kabarnya?”

“……Ia masih bodoh seperti biasanya.”

Kanna bermaksud untuk tak mengucapkannya, tapi dari nadanya terdengar sinis.

“Apa yang terjadi?” tanya Nanami.

“Tidak apa-apa.”

Jika dia sadar akan hal yang biasa terjadi, kali ini sikapnya seperti orang sombong.

“Oh, aku mengerti~”

Nanami tersenyum sambil menggodanya.

Sambil mereka berbincang tentang hal tersebut, mereka akhirnya tiba di depan gerbang pasar.

“Ah.”

Saat baru berjalan sebentar, Nanami terkejut seolah-olah sedang memperhatikan sesuatu.

Kanna langsung mengerti alasan kenapa hal itu terjadi. Karena pandangan mereka tertuju ke seorang gadis yang sedang berdiri di depan pedagang ikan……

Dengan kulit putih dan rambut halus yang panjangnya sampai ke pinggang. Meski penampilannya rapi dan bersih, gadis itu terkesan misterius dan sangat menonjol.

Dia juga merupakan mantan dari penghuni Sakurasou. Shiina Mashiro yang juga lulus di tahun yang sama dengan Nanami. Sekarang ini dia tinggal bersama dengan siswi asing, Rita Ainsworth, di apartemen yang berjarak selama lima menit berjalan kaki dari Sakurasou.

Setelah lulus dari Suiko, Mashiro tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas dan memilih untuk bekerja.

Dan pekerjaannya itu adalah seorang Mangaka. Manga yang dikerjakannya saat ini sedang dalam serialisasi di salah satu perusahaan manga. Saat bulan Maret tahun lalu dia memenangkan penghargaan manga dan sekarang berhasil mendapatkan serialisasi dari perusahaan. Dia juga tampil di TV bulan lalu.

Mashiro memegang tas belanjanya dengan kedua tangan dan membungkuk sambil melihat ke arah jenis ikan yang di jejer di depan toko dengan wajah tanpa ekspresi.

Ada ikan makarel, sarden, dan juga ikan cakalang.

Nanami segera saja berjalan menuju ke arah Mashiro.

“Mashiro.”

Ketika dia mengucapkan hal itu, Nanami sudah berada di sebelah Mashiro. Kanna tertinggal sedikit di belakang.

“Oh, Nanami dan Kanna……”

Alih-alih menyapanya, Kanna membungkuk sedikit.

“Sedang belanja?” ucap Nanami dengan santainya.

“Un”

“Apa yang mau kau beli?”

“Ikan.”

“Yang mana?”

“Yang mana yang enak?”

Terlihat dari kualitasnya, pandangan Mashiro tertuju ke ikan cakalang besar.

“Jika kau berencana untuk makan dengan Rita-san, kenapa tidak menanyakannya apa yang dia ingin makan?”

“Benar juga. Rita bilang suruh beli ikan yang besar.”

“Ok.”

Kanna sendiri yang merasa tegang karena obrolan antara Mashiro dengan Nanami yang terlihat begitu normal. Alasannya, karena hubungan antara keduanya agak rumit. Dengan lebih dari sekedar teman sekelas yang tinggal di Sakurasou. Mereka berdua menyukai orang yang sama yaitu kakak dari Yuuko, Kanda Sorata, dan menembak di saat yang sama, jadi bisa dibilang kalau mereka berdua adalah saingan dalam hal percintaan. Selain itu, Sorata yang kaget memutuskan untuk berpacaran dengan Mashiro.

Setelahnya, Mashiro memutuskan untuk berpisah dari Sorata dengan alasan untuk mengejar mimpi mereka, tapi Kanna sendiri tidak mengira kalau cinta mereka akan benar-benar pupus. Setidaknya, jika Kanna berada di posisi Mashiro, dia pasti akan menyeret pria yang disukainya kembali…

“Aku akan membeli makarel kuda itu hari ini.”

“Kurasa pilihan yang tepat.”

Keduanya sangat tenang meski diri Kanna khawatir. Tidak ada tanda-tanda keduanya sedang bersaing. Rasanya terlihat seperti dua orang teman baik.

“……”

“Ada apa?”

Nanami menyadari Kanna yang menatapnya dengan begitu teliti. Mashiro sedang berada di dalam toko, mengeluarkan uang untuk membeli ikan yang dipilihnya.

“Tidak, tidak apa-apa.”

“Kau memikirkan tentang aku dan Mashiro?”

“……Ya.” ucap Kanna yang mengakuinya.

“Awalnya juga ada banyak hal yang kupikirkan, ada saat dimana aku kebingungan bagaimana bisa bertemu dengannya.”

Sifat Nanami begitu lembut ketika dia menatap punggung Mashiro yang sedang mengeluarkan uang dari dompetnya.

“Tapi, terkadang memang seperti ini, kan? Jadi kuputuskan untuk memusatkan pikiranku ke hal lain dan akhirnya aku tidak begitu memperdulikannya……dan tanpa kusadari, Aku bertemu dengan Mashiro di pasar setelah berbulan-bulan menghindarinya, tapi ketika aku menyadarinya, rasa kangen ini tumbuh semakin kuat.”

“Kangen……”

Kanna tidak mengerti hal tersebut.

“Jadi, tidak apa-apa. Jangan sungkan begitu Hase-san.”

“Aoyama-senpai ini kuat, ya?”

“Tidak begitu juga, bukan begitu, jika aku bertemu dengan Kanda-kun, aku juga akan ketakutan.”

Nanami tersenyum dengan muram kali ini.

Dari belakangnya, tiba-tiba bayangan besar membayangi mereka.

“Nanamin, Ke. Te. Mu~!”

“Kyaaaaa”

Nanami tiba-tiba berteriak. Yang memeluknya adalah Mitaka Misaki, mahasiswi yang sudah menikah dan tinggal di sebelah asrama Sakurasou.

“Oitsu! No-pan (No-panty/pantsu) dan Mashiron juga ada! Kenapa ini? Kalian sedang mengadakan pertemuan rahasia? Kenapa tidak memanggilku!”

“A-ayolah, lepas dariku!”

Nanami yang dipeluk paksa oleh Misaki kesulitan melepas pelukannya.

Namun, Misaki tidak akan membiarkannya begitu saja. Tangannya mulai meraba leher Nanami dan sampai ke arah dadanya.

“Kyaaaaa, Misaki-senpai, jangan sentuh dadaku!”

“Oya! Oya! Nanamin jadi tambah besar!”

“Ti. DAK!”

“Kalau begitu, kenapa jadi seperti ini! Oya! Kenapa juga semuanya berkumpul di sini!”

“Kami kebetulan bertemu di perjalanan, tidak sedang janjian,” balas Kanna alih-alih Nanami yang terlihat menderita.

“No-pan! Aku anggap ini takdir! Kita semua terhubung oleh benang merah takdir! Kalau begitu, mari adakan pesta hot pot untuk merayakan hal ini!”

Setelahnya, Misaki melepas pelukannya sambi mengeluarkan ponselnya. Nanami akhirnya bisa bernapas lega.

“Oh Rittan?”

Misaki sedang menelepon seseorang dari ponselnya.

“Hari ini! Hot Pot! Di rumahku! Jam enam!”

Percakapannya itu entah kenapa cuma potongan kata-kata.

“Oh, Ot-chan! Mau kubungkus semua ikan hari ini?”

Dengan ponsel yang masih di telinganya, dia berisyarat ‘Ok!’ dengan jempol ke atas ke pedagan ikan tersebut.

“Tidak perlu semuanya!”

Nanami yang berhasil bangkit mencoba menghentikannya.

“Ah, Misaki.”

Tampaknya Mashiro menyadari keberadaan Misaki sekarang.

“Mashiron, hot pot hari ini!”

“Aku mengerti.”

Dan dia menerimanya dengan begitu mudah.

“No-pan gimana?”

“Oh, ya boleh.”

Kanna yang terdiam sejak tadi tanpa sadar menerima ajakan Misaki.

Karena tidak mungkin untuk menolaknya. Lagi pula, manusia bumi tak berdaya melawan ajakan alien seperti itu……

Dua jam kemudian.

Sekitar pukul setengah tujuh sore.

Enam orang gadis dan dua kucing berkumpul di ruang makan kediaman Mitaka yang berada tepat di samping Sakurasou. Misaki, Mashiro, Nanami, Rita, Kanna, Yuuko…dan juga ada Tsubasa dan Komachi.

Enam orang gadis mengelilingi meja makan dengan hot pot berada di tengah mereka.

Makanan yang dimasak ke dalam hot pot sudah mulai mendidih. Di bawah meja, Tsubasa dan Komachi sudah asyik menyantap makanan mereka.

“Oh, segini saja ya, bagaimana dengan Iorin?”

“Hari ini ia mengikuti babak penyisihan……”

“Apa ia lolos?” ucap Misaki sambil mengaduk-aduk bahan makanan yang ada di dalam hot pot.

“Ya, dengan sempurna katanya,” balas Kanna.

“Yah, kalau begitu hari ini pesta ucapan selamat untuk Iorin!”

“Tidak ada Iori di sini.”

Mashiro melihat ke arah kanan dan kirinya.

“Tampaknya, tempat diadakan kompetisinya dekat dengan rumah orang tuanya, jadi hari ini ia akan menginap di sana.”

“Oh, kalau begitu mau bagaimana lagi.”

“Maaf.”

“Eh, tidak apa-apa kan begini? Sekarang cuma ada para gadis……sekali-sekali aku juga ingin mengadakan obrolan para gadis.”

Rita tiba-tiba menepuk kedua tangannya dan kalung berbentuk lumba-lumba dapat terlihat jelas mengkilap di dadanya.

“Oh, ini?”

Rita yang menyadari Kanna yang menatapnya mengangkat kalung lumba-lumba perak itu dengan tangannya dan menunjukkannya ke semua orang yang ada di sana.

“Bagus, dengarkan aku.”

Padahal Kanna belum bertanya apa-apa padanya, tapi Rita terus melanjutkan ucapannya dengan senyuman.

“Bulan lalu, aku berkencan dengan Ryuunosuka ke akuarium di hari ulang tahunku dan ia memberiku ini sebagai hadiah.”

Senyumnya sangat lebar seperti bisa menyilaukan mata.

“Eh, enaknya~ Yuuko juga akan bilang ke onii-chan untuk beli sesuatu saat ulang tahunku!” ucap Yuuko dengan mulut penuh makanan.

“Rittan, kau sangat cocok dengan Dragon~”

“Ya, ini karena cinta kita.”

“Sepertinya agak berbeda dari apa yang kudengar dari Akasaka-kun di kantin…ia bilang kalau itu adalah permintaan terakhir dan ia dipaksa melakukannya? Ia diancam akan di peluk saat itu juga jika ia tidak memberi hadiah…”

“Ryuunosuke cuma malu.”

“Um……apa Rita-san dan Ryuunosuke-senpai berpacaran?”

Sulit untuk ikut nimbrung dalam obrolan ini kecuali dia mengerti situasinya, jika tidak Kanna takut akan salah mengucap sesuatu yang tidak perlu.

“Aku kesusahan karena saat ini aku masih belum kad wanita yang cukup baik untuk Ryuunosuke.”

Senyumnya beberapa saat lalu ternyata sebuah kebohongan dan Rita terlihat sedih kalau dilihat dari ekspresinya saat ini.

“Omong-omong, Misaki sendiri sudah hidup bahagia. Kau juga sudah mengganti nama keluargamu, kan?” ucap Rita yang mencoba menggoda Misaki.

“Un, tapi aku masih sedih karena kita tidak bisa bertemu setiap harinya.”

Berbanding terbalik dengan kata-katanya, ekspresi wajah Misaki dan nada bicaranya tidak menyembunyikan apapun. Dia bersinar cerah seperti matahari yang bersinar. Kanna kira kalau wajah Misaki yang dipenuhi dengan senyuman dikarenakan hidupnya yang penuh kebahagiaan.

“Bagaimana kabar Nanamin akhir-akhir ini?”

“Eh?! Aku?”

Nanami terlihat sangat terkejut dengan pertanyaan yang tiba-tiba ditujukan untuknya.

“Kau punya orang yang disuka?” tanya Rita kemudian.

“Tidak! Tidak! Tidak!”

Nanami menyangkal hal itu dengan gerak tangannya.

“Eh, membosankan!” balas Misaki.

“Memang bisa membosankan. Karena sekarang aku sudah masuk ke universitas dan sekolah pelatihan, jadi waktuku sibuk untuk dua itu.”

“Kalau Mashiro-san? Sudah ada yang disukai lagi?”

Kali ini Yuuko yang menanyakannya.

“Aku……”

“Ya?”

“Aku menggambar manga,”

Kata-kata Mashiro yang mengabaikan pertanyaan Yuuko keluar.

“Bukan tentang itu!”

“Aku menggambar manga.”

“Jadi, masih belum?”

“Menggambar manga.”

“Itu memang kenyataannya, Mashiro-san. Kau memang seorang mangaka…Oh, boleh minta tanda tangani ini!”

Yuuko yang sudah menyerah menanyakan hal itu mengeluarkan shikishi paper dari punggungnya dan menyerahkannya ke Mashiro. Mashiro yang menerima kertas itu tanpa berkata apa pun mulai menulis tanda tangannya dengan romaji.

“Bisa tambah gambar juga?”

Mashiro hanya mengangguk setelah mendengar permintaan Yuuko. Sifatnya sangat baik karena dia dapat menjalani segala perintah yang dipinta. Kanna terkadang berpikir juga ingin ikut terjun ke dunia seni. Tanpa perlu memikirkannya, ragu-ragu ataupun berhenti, gambar itu selesai dengan cepat.

“Bagaimana dengan Kanna?”

Tiba-tiba, Rita bertanya dan hal itu membuat Kanna kaget. Meski dia terpesona melihat gambar yang dibuat oleh Mashiro, dia kembali sadar dengan pertanyaan Rita.

“Aku……”

“Apa ada kemajuan dengan Iori?”

“Kenapa nama si bodoh itu muncul?”

Kanna bisa saja membalas pertanyaannya dengan tenang tapi Rita, Nanami, Misaki, dan Mashiro langsung melihat ke arah Kanna dan kemudian saling melihat ke arah satu sama lain setelahnya. Sudah tidak mungkin keluar dari situasi ini. Ini adalah situasi yang Kanna tidak suka, obrolan tentang dia dan Iori.

“Yah, Iori memang sedikit bodoh, kan?” ucap Rita yang tertawa dengan senyum nakal.

Dirinya terlihat tenang dan dari ekspresi wajahnya bisa terlihat kalau dia sedang merencanakan sesuatu.

“Aku setuju.”

Meski waspada, Kanna membalasnya dengan suara yang kecil. Dia tidak bermaksud untuk marah dengan Rita begitu mudahnya.

“Kanna tidak berencana untuk berpacaran dengannya, kan?”

“……”

“Iori sangat penasaran dengan dada wanita.”

Misaki dan Nanami mengangguk. Sementara Mashiro hanya menatap ke arah Kanna. Tapi justru itu yang membuat Kanna semakin gelisah. Ketika dia melihat tatapan Mashiro yang polos, hal itu membuatnya mengira kalau Mashiro mengetahui semuanya.

“Sepertinya, kau malu bersama dengannya jika dia tidak juga bersikap dewasa,” ucap Rita seakan mendesaknya. Kanna tahu kalau Rita mencoba memprovokasinya.

“Kanna sudah punya orang lain, kan? Maaf.”

Kata-kata tersebut sudah pasti jebakan. Meski dia tahu hal itu, Kanna tak bisa membiarkan orang lain berbicara buruk tentang Iori.

“Tidak…” gumamnya.

“Ya?”

Rita memasang wajah menggodanya. Ketika dia mencoba menggoda orang lain, dia bukanlah lawan yang bisa ditandingi. Kanna bukanlah lawan yang sebanding dengannya.

“Iori tidak kekanak-kanakan.”

Begitu Kanna mengucapkan apa yang ada di pikirannya, dia tidak bisa berhenti.

“Kupikir ada beberapa hal bagus tentangnya…meski, ia sudah memutuskan jurusan yang ingin ditujunya. Ia melanjutkan untuk membuat game bersama Sorata-senpai dan Akasaka-senpai. Meski ia seharusnya sedang sibuk dengan latihannya untuk kompetisi, tapi ia sering berkunjung ke rumah senpai dan membantu mereka. Karena itu…terkadang ada yang salah sangka, tapi ia punya pikiran yang matang……ia jauh lebih dewasa dibandingkan dari orang lain seusianya.”

Ketika Kanna selesai mengatakan hal tersebut dan mengangkat wajahnya, Rita dan Misaki tertawa keras. Nanami juga tak bisa menahan senyumannya dan Mashiro hanya menatapnya seperti biasa.

“Kami tahu itu, no-pan.”

“Aku setuju,” ucap Rita.

“Ia masih harus pulih dari patah tulang itu, kan?”

Mashiro mengangguk setuju dan dilanjutkan dengan kata-kata Nanami,

“Kenapa Kanna tidak pacaran dengannya meskipun punya perasaan seperti itu ke Iori?”

“Kalau itu……”

“Kupikir kalian berdua sangat cocok.”

Diri Kanna langsung merespon ucapan Nanami, “Tidak juga……”

Tanpa sadar Kanna mengucapkan kata-kata itu.

Setelahnya, Kanna terlihat kebingungan sendiri. Dia mengucapkan sesuatu yang buruk meski hal itu bertentangan sekali dengan sifatnya. Namun, dia terlambat menyadari hal tersebut.

“Intinya, Aku tidak bisa!”

Kata-kata yang diucapkannya untuk kabur dari tatapan kelima orang lainnya adalah perasaan sebenarnya yang ingin dia sembunyikan.


“…”

Untuk sesaat, situasinya menjadi hening.

Beberapa saat kemudian, Mashiro mengucapkan sesuatu.

“Kanna suka dengan Iori, kan?”

Pertanyaan Mashiro tak bisa dihindarinya.

“Tidak juga!” 

Kanna dengan cepat menyangkalnya.

“Tapi jika dilihat dari cerita tadi, cuma Kanna sendiri kan yang memutuskan itu? Iori tampaknya tidak keberatan.”

“Yah, itu……”

“Kanna-chan, kenapa tidak pacaran dengan Iori?” tanya Yuuko.

“Tidak bisa……” balas Kanna sambil menggelengkan kepalanya ke kiri dan kanan.

“Kenapa?”

“Ya, itu karena…aku sudah menolaknya dua kali, aku berkali-kali bilang kalau aku membencinya…aku tidak bisa bilang aku suka dengannya saat ini……”

Tingkahnya seperti anak kecil.

Dengan begitu, yang lain kehabisan kata-kata untuk membalas ucapan Kanna. Kesempatan untuk membenarkan tingkah laku kana juga hilang.

“Bisa kita sudahi bagianku!”

Cuma ini yang bisa dia katakan setelahnya.

“Yah, sini kuberitahu apa yang bisa Kanna katakan ke Iori.”

Rita berdiri dari tempat duduknya sambil berjalan ke arah Kanna dengan wajah yang tersenyum lebar dan Kanna mendengarkan nasihat Rita tersebut.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya