POLA CINTA HASE KANA YANG KIKUK
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


- Aku mau jadi pacarmu jika kau bisa memenangkan kompetisi All-Japan.

Itu adalah kata-kata yang Rita beritahu ke Kanna.

Lebih mudah mengatakan hal tersebut dibanding menyatakan perasaannya langsung.

“Karena perasaan Iori sudah pasti…dengan mengucapkan kata-kata itu……kau dapat melampaui dua tiga pulau dalam sekali mendayung,” ucap Rita.

Efeknya mungkin akan sangat manjur.

Namun, kata-kata ini sepertinya juga cukup sulit untuk diutarakannya.

Dengan sifatnya yang dingin seperti ini, bukannya dia akan dibenci oleh Iori?

Kekhawatiran seperti itu memenuhi pikirannya.

Selain itu, kata-kata tersebut memang cocok jika diucapkan oleh gadis yang cantik seperti Rita, jadi Kanna mengira kalau kata-kata itu tidak begitu cocok untuknya.

Namun, jika dia tidak juga merubah sifatnya ini, dia tidak akan bisa terus maju.

Saat Hari Senin pagi berikutnya, sebelum berangkat ke sekolah, Kanna memutuskan untuk berlatih mengucapkan kata-kata tersebut di depan cermin kamar mandi.

“Jika kau menang…Aku akan pacaran denganmu…”

Dia merasa begitu malu mengucapkannya hingga tidak bisa melihat dirinya yang terpantul di cermin.

“Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Saat melihat wajahnya di cermin, pipinya menjadi merah hingga ke telinga dan lehernya.

“Apa yang tak mungkin?”

“Kyaa!”

Di ambang pintu masuk kamar mandi muncul Iori yang sedang berdiri. Ia menguap begitu kerasnya hingga mengucapkan, “Fua~”

“K-kau dengar yang tadi?”

“Haa? Dengar apa? Yang kutahu cuma tak mungkin.”

“Kau mendengar itu?”

“Ya, tapi…”

“Sungguh?”

“……Memangnya kenapa? Ini masih pagi dan kau mengucapkan sesuatu yang luar biasa?!”

“Aku tidak bilang itu.”

Kanna yang merasa lega berniat untuk menginjak kaki Iori……Namun, dia pikir kalau hal itu akan membuat Iori sulit untuk bermain piano, jadi Kanna hanya melewatinya dan meninggalkan kamar mandi tanpa melakukan apa-apa ke Iori.

Dia memutuskan untuk mengambil tasnya di pintu masuk Sakurasou dan berangkat ke sekolah.

Saat perjalanannya menuju ke sekolah, dia berusaha sekeras mungkin agar tidak memikirkan hal yang diucap Rita. Kejadian saat pesta hot pot dan kamar mandi, hal itu hanya membuat wajahnya semakin merah ketika memikirkannya.

Dia mencoba untuk tenang agar tidak dianggap aneh oleh sekitarnya.

Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke sekolah. Dengan menuruni jalanan yang menurun, melewati depan toserba dan taman yang ditujukan untuk anak-anak kecil. Menyeberangi lampu merah dan terus menyusuri jalan tersebut akan sampai di jalan yang sama yang digunakan oleh banyak siswa-siswi Suiko yang turun di stasiun terdekat. Setelahnya, dia sudah bisa melihat gerbang sekolah.

Sama seperti banyak siswa-siswi lainnya, Kanna harus menaiki tangga untuk sampai ke kelasnya.

Hari itu pagi seperti biasanya. Jadi, dia merasa kalau tidak ada yang aneh.

Peristiwa itu terjadi ketika dia membuka loker sepatunya.

“…”

Dia merasa kebingungan untuk sesaat.

Sepatu dalam ruangannya yang seharusnya berada di lokernya menghilang. Setelah mengedipkan matanya dua kali, dia tahu kenapa hal itu terjadi.

Setelah diingat-ingat lagi, Kanna mengingat tatapan sinis yang dia rasakan saat berada di sekolah akhir-akhir ini. Mungkin dia sudah bisa menebak kalau hal ini akan tiba.

Tetap saja, awalnya dia curiga kalau dia mungkin salah mengira tempat loker sepatunya. Meski begitu, hal itu bukanlah alasan dirinya membuat kesalahan seperti ini di akhir semester. Dia yakin kalau loker sepatu itu adalah miliknya yang sudah digunakannya sejak bulan April.

“……”

“Eh itu……”

Merasa kalau ada yang menatap ke arahnya, tatapan Kanna beralih ke arah koridor sekolah. Tertuju ke pilar besar di pintu masuk. Dari bayang-bayang pilar tersebut, Kanna melihat sekumpulan gadis kelas dua. Dia mengingat kalau dia pernah melihat Hiyoshi Mikako, yang pernah menembak Iori, tergabung dalam kumpulan itu. Namun, saat ini Mikako tidak sedang bersama teman-temannya tersebut.

“Beraninya dia……”

Mungkin saja, teman sekelas Mikako menganggap hal itu sebagai balas dendam atas Iori yang menolaknya. Sekumpulan tersebut berbisik, ‘Kasihan sekali Mikako ditolak’, ‘padahal sangat cocok jika dia bersama Himemiya-senpai’, ‘dasar jelek’, ‘aku jadi kesal’…seperti itu.

Ini adalah hal yang paling merepotkan di antara para gadis.

Selain itu, alasan mereka untuk melakukan hal yang benar untuk temannya menunjukkan kalau sifat mereka itu buruk.

Ketika mereka menyadari kalau Kanna menatap ke arah mereka, sekumpul gadis kelas dua itu langsung pergi seperti tak terjadi apa-apa bersamaan dengan tawa mereka yang terdengar setelahnya.

Tak ada gunanya untuk berdiam diri di sini, jadi Kanna melepas sepatu yang dipakainya dan menaruhnya di loker.

Pada saat yang sama, ada seseorang yang memanggilnya dari belakang.

“Ada apa?”

Ternyata Iori sudah ada di belakangnya dan ia sudah sampai di sekolah meski Kanna berangkat sekolah lebih awal darinya.

Kanna cepat-cepat menutup loker sepatunya karena dia tidak mau Iori melihat hal itu. Dia yang menutup loker cepat-cepat seakan seperti sedang marah karena suara tutupannya sangat keras.

“Wow, kau mengagetkanku……apa aku salah omong?”

Sepertinya, Iori salah paham mengira kalau Kanna marah padanya.

“Tidak apa-apa.”

“Kau yakin?”

Tatapan Iori tertuju ke kaki Kanna sebelum dia bisa menyadarinya.

“Bukannya kau lupa satu hal?”

“Tidak juga.”

“Pfft.”

Kanna tidak bisa tahu dari ekspresi wajah Iori apakah ia mempercayai omongannya atau tidak.

“Yah, kalau begitu saatnya kuda-kudaan.”

Di depan Kanna, Iori berjongkok.

“Kenapa bercanda begini?”

“Karena kaus kakimu nanti kotor.”

“Aku bisa mencucinya.”

Kanna mengabaikan Iori yang menawarkan bantuannya.

“Kenapa memangnya? Padahal aku bisa dekat denganmu dengan begitu……”

Kanna kira kalau Iori sedang bercanda, tapi ternyata ia serius. Setelah mengabaikannya, Iori mengejarnya.

Saat di pintu masuk untuk tamu di dekat tangga, Kanna meminjam sandal dalam ruangan.

“Oh, aku punya ide!”

“Apa?”

“Apa kau membolehkanku memelukmu?”

“……”

Situasi di sekitar mereka sedang ramai oleh lalu-lalang siswa-siswi. Setelah mendengar kata-kata tadi, Kanna benar-benar mengabaikan Iori dan langsung menuju ke kelasnya. Tidak lama kemudian, langkah kaki Iori terdengar dan ia sudah berada di sebelah Kanna.

“Yah, kau tidak bisa terus membiarkan anak-anak kelas dua itu melakukan seenaknya, kan?”

“Eek!”

Karena Kanna tak mengira kalau Iori menyadarinya, dia begitu terkejut.

“Apa yang kau maksud?”

Kanna tetap saja menyangkalnya.

Dia tidak ingin Iori memikirkan hal lain selain kompetisi pianonya. Tidak, itu juga bohong. Hatinya berkata lain. Kanna tidak ingin kalau Iori mengetahuinya kalau dia berurusan dengan perundungan seperti ini. Karena dirinya sendiri terlihat seperti tak berdaya…

“Aku sudah putuskan untuk mencari pelaku yang menyembunyikan sepatumu.”

Seperti biasa, Iori berbicara langsung ke intinya tanpa bertele-tele.

“Apanya? Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Tidak apa-apa. Bahkan aku pun mengerti. Ada orang-orang yang saling berbisik dan tertawa ketika melihatmu.”

“Nanti jurusan musik bisa hancur berantakan.”

Kanna menolak untuk mengakuinya dan mengalihkan topik pembicaraannya meski dia tahu kalau hal itu sia-sia saja.

“Tidak, kita tidak boleh mengabaikan orang jahat. Aku sangat bersemangat saat ini dan akan memukul orang-orang yang melakukan hal jahat ini.”

Nada bicaranya ceria seperti biasa.

“Kau juga termasuk dong?”

Iori terus berbicara panjang lebar dan mengabaikan ucapan Kanna sebelumnya.

“Karena di SMP aku cuma siswa biasa, aku terus berlatih piano dan hal itu membuat diriku menonjol di antara teman-teman sekelasku hingga mereka semua menghindariku.”

Kanna berpikir kalau teman sekelas Iori mungkin memang takut akan diri Iori. Karena ia sendiri mencurahkan seluruh perhatiannya ke musik mempunyai kegiatan yang berbeda dari orang sekitarnya……

Setelah sekolah usai, ia akan langsung pulang ke rumah untuk berlatih piano dan ia juga tidak mengikuti kelas olahraga karena hal itu bisa melukai tangannya. Iori juga pernah bilang padanya, karena jadwal karyawisata dan kompetisi bertabrakan, ia bahkan tidak ikut dalam karyawisata.

Dengan merundung Iori yang berbeda dari yang lain, tampaknya teman sekelasnya saat SMP berniat untuk melepas stress mereka. Padahal dengan begitu mereka sendiri yang lari dari kenyataan yang mereka harus hadapi. Hanya Iori saja saat itu yang bersiap untuk menghadapi masa depan yang menunggunya……

“Kenangan yang buruk……tapi kau tetap bisa membicarakannya sambil tertawa.”

“Yah, tidak apa-apa. Memang bukan kenangan yang menyenangkan, tapi aku berharap bisa membandingkannya dengan kakakku.”

“Sungguh?”

Mungkin terdengar sedikit mengejutkan tapi Kanna mengenal Himemiya Saori, kakak perempuan Iori yang juga berada di tahun yang sama dengan Misaki dan Jin. Iori mengenalkannya ke Kanna saat kakaknya kembali pulang dari kuliahnya di Austria.

Kakaknya sangat cantik dan terkesan lebih dewasa dibandingkan dengan usianya saat itu. Awalnya Kanna kira kalau dia sedikit kekanak-kanakan kerana dia mengingat kalau wajah kakak Iori berubah merah ketika sedang membicarakan pacarnya.

“Karena cewek itu lebih hebat.”

Kanna mengerti apa yang ingin Iori katakan.

“Kurasa kakakku mulai mengenakan headphone saat aku masuk smp? sebelumnya dia tidak pernah memakai apapun.”

Adik laki-lakinya, Iori, juga selalu mengenakan headphone yang menggantung di lehernya. Rasanya agak aneh jika ia tidak menggantungkan benda itu.

“Kemudian dia masuk ke Suiko ini dan sifatnya berubah, aku mengingat senyumannya ketika dia kembali dari liburan musim panas sambil bilang, “Ternyata masih ada yang lebih hebat”…Yah, kurasa dia bicara tentang Misaki-san.”

“Aku setuju.”

“Tapi sebenarnya, aku tidak ingin membicarakan kakakku.”

“Kau yang memulainya.”

“Hal itu juga terjadi saat sesi pertama di babak penyisihan, orang-orang selalu menganggapku bermain buruk jika dibandingkan dengan kakakku.”

“……”

“Pikiranku selalu dipenuhi hal buruk sejak saat itu.

Ketika akan menaiki tangga, Iori menghentikan langkahnya.

Ruang kelas anak kelas tiga berada di lantai tiga.

Tapi Iori berjalan menuju koridor sekolah di lantai dua.

“Mau kemana kau?”

Bahkan jika Kanna tidak menanyakan hal itu, dia tahu kemana Iori akan pergi. Tapi, tidak ada jalan lain selain menghentikannya.

“Berhenti,” teriak Kanna dengan keras.

“Kenapa?”

Iori tampak kecewa.

“Memangnya apa yang akan terjadi jika kau melakukannya?”

“Popularitasku akan naik.”

Iori tersenyum dengan bangganya.

“Tidak, pasti akan turun drastis.”

“Kenapa?”

“Jika kau mencoba ikut campur, mereka akan semakin membenciku dan gangguan mereka akan semakin menjadi-jadi.”

“Kenapa bisa seperti itu? Bukannya aku yang bakalan dibenci?”

Logika yang sangat tipikal sekali dari pria.

“Para gadis memang seperti itu.”

“Minggir!”

“Jadi, hentikan.”

“Tunggu, apa yang kau lakukan?”

“Jika kau menjauhiku, kau tidak perlu melakukan ini.”

“Kau yakin? Kalau aku tidak mau.”

“Bukan buruk atau tidaknya, tapi itu yang terbaik.”

“Tapi……”

“Tapi jangan begini.”

Kanna berusaha keras menghentikan Iori yang tampak kecewa.

“Mengerti? Jangan melakukan apa-apa,” ucap Kanna sambil menunjukkan wajah tegarnya.

“……”

Iori masih tidak setuju, terlihat dari ekspresi wajahnya yang menentang hal itu.

“Kalau kau melanjutkannya, aku tidak akan mau bicara denganmu lagi.”

“……”

“Mengerti?”

“……Baiklah.”

Iori sepertinya masih enggang untuk menerimanya. Wajahnya terlihat seperti anak kecil yang masih belum bisa dibujuk sama sekali.

Saat bimbingan akan dimulai sebelum kelas, pertanyaan yang sama ditanyakan oleh teman sekelas Kanna berkali-kali.

“Hase-san, kenapa dengan sepatumu?”

“Aku lupa membawanya.”

“Oh, tumben.”

Hal itu terus berlanjut sebanyak salaman ‘selamat pagi’ yang dia ucapkan.

Suasana kelas yang hening berlanjut hingga Yuuko yang terlambat datang ke sekolah.

Tempat duduknya berada tepat di samping jendela. Yang depan itu meja Kannda dan belakangnya adalah Yuuko.

“Kanna-chan jahat. Kenapa tidak membangunkanku?”

Yuuko terengah-engah karena dia harus berlari untuk sampai ke kelas. Begitu dia tiba di bangkunya, dia langsung terjatuh sambil memegang meja.

“Awalnya, kau memang bangun tapi langsung masuk ke dalam selimut lagi. Aku mencoba membangunkanmu lagi sampai harus menampar pipimu tapi kau tidak juga bangun dan malah bilang, “5 menit lagi,” dan akhirnya kau tidak bangun-bangun juga.”

“Eh, sungguh?”

“Aku tidak ingat pastinya tapi kurang lebih seperti itu.”

“Maafkan aku, Kanna-chan.”

“Tidak perlu minta maaf begitu.”

“Besok aku akan mencoba bangun ketika kau menamparku!”

Sah-sah saja punya tekad yang bulat, tapi menampar pipimu harusnya menjadi pilihan yang terakhir.

Tiba-tiba saja, tatapan Kanna tertuju ke kaki Yuuko. Sama seperti Kanna, dia juga mengenakan sandal dalam ruangan.

“Kenapa dengan sepatumu?”

Kanna bertanya ke Yuuko sama seperti teman kelasnya belum lama ini.

“Aku ingin mencucinya kemarin, jadi kubawa pulang…”

“Kanda-san lupa membawanya?”

“Tidak, aku lupa mencucinya.”

Sebelum berangkat ke sekolah pagi tadi, Kanna mengingat akan sepatu dalam ruangan yang berada di pojok kamar mandi. Sepatunya terbungkus tas berwarna pink yang sepertinya sudah sejak SD digunakan dan label nama tas itu bertuliskan “Kanda Yuuko.”

“Kalau kita telusuri lagi, kemarin kita makan hot pot di rumah Misaki-san dan Kanda-san juga menumpang mandi di sana, kurasa sepatunya tertinggal di sana, kan?”

“Sepertinya.”

“Kanna-chan juga sama?”

Pandangan Yuuko tertuju ke kaki Kanna.

“Yeey! Kita sama!”

Kanna tidak mengerti apa yang membuat Yuuko sampai tersenyum bahagia seperti itu. Tapi berkat itu juga, suasana hati Kanna yang murung menghilang.

“Mm.”

Dia benar-benar merasa terselamatkan.

Ketika jam pelajaran dimulai, Kanna memikirkan tentang sepatunya yang hilang saat waktu jeda ketika menulis catatan.

Pertama-tama, alasan apa yang harus dia berikan besok?

Pasti aneh rasanya jika dia lupa membawa sepatunya dua hari berturu-turut.

Sepertinya dia harus membeli yang baru di koperasi sekolah nanti. Tapi kalau begitu, dia harus menjelaskan alasan kenapa dia membeli sepatu baru nantinya. Karena dia tidak bisa memberi tahu kebenarannya, dia perlu berbohong lagi. Dia tidak begitu merasa bersalah karena berbohong ke orang lain, tapi mungkin ada sebagian teman kelasnya yang merasa kalau hal itu aneh. Jika memungkinkan, dia tidak ingin menjadi bahan obrolan.

Meski begitu, ada juga kemungkinan kalau sepatu barunya juga akan menghilang begitu dia membelinya.

Mungkin dia baru dapat menerima kalau dirinya sedang dirundung ketika sepatu yang baru saja dibeli menghilang. 

Cuma itu cara yang bisa dia pikirkan untuk mencari sepatu yang hilang, sangat disayangkan jika dia tidak mencobanya pikir Kanna.

“Nee, Kanna-chan.

Dengan suara bisikan tersebut yang didengarnya, Yuuko memanggilnya dengan menyentuh punggungnya.

Kanna diam-diam berbalik menghadap Yuuko sementara guru mereka sedang menulis sesuatu di papan tulis. Kanna membalasnya dengan isyarat mata yang menanyakan, “Apa?”

Dan Yuuko menunjuk ke luar jendela.

Kanna mengarahkan tatapannya ke arah yang Yuuko tunjuk sambil memikirkan tentang sesuatu. Setelahnya, dia mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Yuuko.

Meski saat ini jam pelajaran sedang berlangsung, Iori sedang berada di luar gedung kelas. Melihat kesana-kemari seperti sedang mencari sesuatu.

“……Si bodoh itu!”

Sambil membuka ponselnya di bawah meja, Kanna mencoba menghindar dari tatapan guru dan mengirimkan pesan ke Iori secepatnya.

- “Jangan melakukan yang tak perlu.”

Iori tampaknya menyadari ada pesan masuk dan mengeluarkan ponselnya.

- “Wow, kenapa kau bisa tahu?”

- “Coba lihat ke belakang.”

Iori yang melihat ke arah belakang dengan muka seperti orang bodoh membuka mulutnya sambil mengatakan “Ah.”

- “Maaf.”

- “Kau sudah janji, kan?”

Jika Iori mencoba ikut campur, Kanna tidak akan mau berbicara dengannya lagi seperti yang dia ucapkan pagi ini.

- “Aku benar-benar minta maaf!”

Pesan masuk dengan emoji Doge membanjiri layar ponsel Kanna.

Dengan acuhnya, Kanna mengabaikan ponselnya dan mengalihkan perhatiannya ke papan tulis. Ponselnya terus bergetar dengan pesan masuk yang terus berdatangan, tapi Kanna memilih untuk fokus ke pelajaran. Dia bahkan memalingkan mukanya dari jendela.

Karena tindakan Iori, dia sudah tidak takut akan perundungan yang hendak terjadi padanya nanti. Serasa agak menyakitkan buatnya ketika melihat Iori yang mencoba membantu masalah yang dibuat diri Kanna sendiri.

Namun sebenarnya, ketika dia menyadari kalau Iori sedang mencari sepatunya yang hilang, ada perasaan lega yang muncul dari dalam dirinya……Tapi, Kanna tidak ingin mengakui perasaan tersebut.

Saat jam makan siang, Kanna keluar dari kelasnya untuk membeli minum. Berjalan ke arah mesin penjual otomatis (vending machine) yang berada di samping tangga dekat kelasnya.

Namun, ketika dia melihat punggung Iori yang sedang menaiki tangga, dia berbelok ke arah kanan dari kelasnya dan berjalan menuju mesin penjual otomatis lain.

Dia menemukan mesin penjual otomatis lain di dekat koperasi di lantai pertama. Namun, Kanna juga tidak bisa membeli minumannya di situ karena sekarang dia bertemu dengan kumpulan anak kelas dua yang menertawakannya pagi ini. Sekarang, Hiyoshi Mikako juga bersama dengan keempat siswi itu.

Tubuhnya terdiam seketika dan langkah kakinya langsung berhenti. Begitu tatapan mereka saling bertemu. Teman-temannya yang lain juga melihat ke arah Kanna. Dia tidak bisa begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun, tawa mereka terdengar jelas dan Kanna merasa muak mendengarnya.

Kanna berbalik tanpa membeli apa-apa. Dia meninggalkan tempat itu cepat-cepat dan rasanya dia ingin melarikan diri dari pandangan anak kelas dua itu secepat yang dia bisa.

Memilih untuk pergi ke tempat yang jarang dilalui orang, Kanna sudah tidak memperdulikan minuman yang ingin dibelinya lagi.

Pada saat yang sama, langkah kakinya yang terdengar jelas ketika mengenakan sandal dalam ruangan menambah sakit di dadanya.

Dia tidak merasa kecewa atau marah. Hanya saja dirinya merasa tidak berdaya…hanya kesedihan yang menemaninya saat ini.

Tanpa sadar, Kanna sudah berjalan memasuk ruang musik.

Dengan meja dan kursi yang tertata rapi, serta piano besar berwarna hitam mengkilat ditempatkan di depan kelas.

Lantai ruang musik yang berkarpet menghilangkan suara langkah kakinya dan karenanya Kanna merasa lega.

Dengan ruangan yang juga kedap suara, obrolan para siswa-siswi saat jam makan siang juga hampir tak dapat di dengarnya.

Kanna berjalan ke arah belakang ruang musik dan duduk menyenderkan dirinya ke tembok.

Kanna segera menutup matanya kala itu dan tiba-tiba air matanya mengalir. Dia sendiri juga tidak mengerti. Meski dia mencoba untuk menghentikannya, air matanya tidak berhenti keluar.

Saat dia menangis dalam diam, dia mendengar suara *kresek dari pengeras suara siaran sekolah yang menyala.

Apa tangisnya juga akan terdengar sampai ke siaran sekolah juga? Pikirnya.

“Hei, kalian yakin bisa dengan ini?”

Kanna mendengar suara tersebut.

“Sudah lakukan saja.”

“Tidak apa-apa, cepat lakukan.”

Suara dari tiga orang siswa.

Yang pertama itu Iori karena Kanna sangat mengenalnya. Sedangkan yang dua lagi sepertinya itu Kasikabe Shiyo danTakesato Naoya, siswa kelas tiga di jurusan musik yang sama dengan Iori.

Apa yang ingin Iori lakukan? Bahkan dengan mendengarkan suaranya barusan, Kanna bisa membayangkan kalau siaran ini bukan yang biasanya. Selain itu, waktunya ini dan juga Iori tidak ada hubungannya dengan siaran sekolah.

Dia mengangkat wajahnya dan menatap ke arah pengeras suara.

“Halo, Aku ini,”

Bicaranya seperti sedang menelepon seseorang.

Sangat jarang mendengarnya gugup seperti itu, tidak seperti diri Iori biasanya. Dirinya jadi kaku dan gemetar karena gugup.

“Siapa aku?” celetuk temannya yang satu

“Iori,” temannya yang satu lagi juga menjawabnya.

“Hei, kalian berdua diam…ah, yah, karena kau tidak membalas pesanku dan juga tidak menjawab telepon dariku dan ketika aku memeriksamu di kelas, kau juga tidak ada, jadi akan kukatakan sekarang.”

Yang terlintas pertama kali di pikiran Kanna adalah masalah sebelumnya…dia mengira kalau Iori akan mengucapkan hal seperti, membantah janji mereka tadi pagi.

Namun, ucapan Iori selanjutnya jauh dari apa yang Kanna kira.

“Aku akan menembakmu lagi jika aku memenangkan kompetisi All-Japan.”

“Eek?!”

Karena begitu terkejut, isi kepala Kanna benar-benar kosong.

“Siapa yang dimaksud oleh Iori?”

Celetuk kedua temannya yang seakan mengolok-oloknya.

“Siapa lagi kalau bukan, Hase Kanna……chan.

Iori menyebut nama Kanna seperti orang bodoh.

Situasinya menjadi hening seketika.

Hembusan angin segar masuk ke ruang musik.

Dan empat itu terasa damai, pikir Kanna.

“Tidak, itu karena aku sudah pernah menembaknya.”

Karena Kanna tidak begitu mendengar setelahnya, teman-temannya lanjut bertanya ke Iori.

Setelahnya, sorak-sorai seluruh siswa-siswi menjadi tak terkendali. Tawa mereka berubah menjadi teriakan yang terdengar hingga ke ruang musik tempat Kanna berada saat ini.

“Hei, kalian bertiga, jangan menggunakan ruang siaran seenaknya!”

Terdengar suara orang dewasa. Rupanya para guru menghampiri mereka dan segera mengakhiri siaran tersebut.

“Ikut bapak ke ruang guru!”

Pada saat yang sama, teriakan dari tiga orang tersebut terdengar. 

“Hase Kanna, aku serius dengan ini!”

Pada akhirnya, teriakan terakhir Iori tersiar ke pengeras suara yang ada di seluruh penjuru sekolah dan setelahnya siaran sekolah itu berakhir.

“Haaa…”

Hembusan napas dapat terdengar di ruang musik.

“Berkat itu aku jadi tidak bisa kembali ke kelas…”

Awalnya, dia juga sedang tidak ingin untuk mengikuti kelas hari ini. Namun, Kanna sedikit senang karena dia menemukan alasan untuk bisa membolos hari ini.

“Karena si bodoh itu, benar-benar deh…”

Sambil menunggu bel pulang sekolah berbunyi nantinya, Kanna berjalan menuju ruang UKS.

“Maaf, aku tidak enak badan.”

Dan saat perawat sekolah menyuruh Kanna untuk berbaring di salah satu tempat tidur di ruang UKS,

“Yah, pasti memalukan, ya?” ucap Hasuda Kayoko-sensei sambil tersenyum.

Kanna meninggalkan ruang UKS satu jam setelah setelah bimbingan kelas berakhir. Sekarang sudah hampir pukul lima sore.

Meski masih ada siswa-siswi yang berada di sekolah untuk kegiatan klub mereka, suasana sekolah terasa sepi senyap. Dia berjalan menyusuri lorong sekolah tanpa ada seorang pun di sekitarnya, dan mengambil tasnya di kelas yang sepi. Dia juga berjalan ke loker sepatu di pintu masuk sekolah tanpa bertemu dengan siapa pun.

“……”

Jari-jari yang menyentuh pintu loker tersebut gemetaran. Pikiran buruk terus membuatnya khawatir tentang apa yang harus dia lakukan jika sepatu luar ruangannya juga menghilang.

Sambil berdoa, Kana perlahan membuka pintu loker sepatunya.

“……”

Ternyata sedikit berbeda dari apa yang dia bayangkan. Sepatu dalam ruangan yang berada di baris atas dari dua baris loker sepatu tersebut muncul kembali. Tidak salah lagi---sepatu dalam ruangannya yang hilang sudah kembali. Bagian dalam sepatunya tidak ditempeli oleh paku payung dan tidak juga kotor dengan cat.

Cuma ada satu hal yang bisa menyebabkan hal ini. Yaitu siaran sekolah yang Iori lakukan saat jam makan siang. Mungkin saja, yang mereka lakukan itu sia-sia saja setelah mendengarnya. Tetap saja, apa yang mereka lakukan memang terbilang bodoh. Tapi kalau cuma begitu……

Kanna mengembalikan sandal dalam ruangan yang dipinjamnya ke tempatnya semula, kemudian memakai sepatunya dan meninggalkan pintu masuk.

Pada saat yang sama, Iori juga keluar dari pintu keluar di sebelah pintu masuk sekolah. Ia sedang memegang kertas musik di tangan dan tas yang dibawanya.

Iori yang menyadari keberadaan Kanna menatapnya langsung.

“Oh!”

Saat melihat wajahnya, Kanna begitu tertarik dengan ekspresi wajah Iori itu. Yang menunjukkan seperti wajah anak nakal.

“……”

“Yah, kau marah ya?”

“Berkat seseorang, aku jadi tidak bisa ikut kelas siang.”

“Maaf.”

“Mulai besok, aku harus bagaimana?”

“Maaf.”

“Haaa…”

“Maaf, maaf.”

“…”

Kanna menyumpahi Iori diam-diam.

“Tolong, maafkan aku!”

Iori sampai menggenggam kedua tangannya seperti sedang berdoa.

“……Kompetisinya.”

Kanna sedikit memalingkan wajahnya.

“Ya?”

Dengan posturnya, Iori menatap ke arah Kanna dengan sedikit menunduk.

“Jika kau bisa memenangkannya, kau bisa berpacaran denganku.”

“……Eh?”

“……”

“Eh? Eh?! Sungguh? Kau sungguhan?!”

Kanna sedikit mengangguk sebagai balasannya.

Lalu, berlari dengan wajah menunduk. Dia tidak berani menatap ke arah Iori saat ini dan dengan begini dia juga tidak akan melihat wajah Iori.

Seketika di belakangnya,

“Yes! Yahoo~ Tunggu aku!”

Dia mendengar suara Iori yang begitu gembiranya.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya