Lumpur dan bintang dan tahanan

Penerjemah: Zerard


“Aku menaruh harapanku pada diri kalian masing-masing.”

Sang gadis telah tumbuh di antara bunga dan kupu-kupu. Telah di rawat secara teliti di dalam sebuah sangkar. Dia sama sekali tidak mengetahui tentang dunia keji di luar sana. Tidak ada seorangpun yang akan menyalahkan dirinya tentang itu—lagipula, nyawa seorang manusia itu terlalu pendek. Siapa yang bisa menyalahkan orang tuanya karena menginginkan keselamatan hidup dari anak perempuannya?

Ayahnya, masterku—raja sebelumnya—telah menjalani hidupnya dengan cara yang sama. Jika seseorang berupaya untuk memancarkan cahaya ke dalam  sebuah sudut remang dari dunia, kekacauan akan terjadi, teruslah menjaga diplomasi tetap bersenandung dan tidak akan ada masalah sama sekali. Biarkanlah yang lapar tetap lapar, sakit tetap sakit, kaya tetap kaya, dan makmur tetap makmur, dan semua akan berjalan dengan lancar. Semua yang merasa bahwa mereka berkewajiban untuk merubah dunia biasanya bersifat arogan dan kejam.

Para revolusioner merasa bahwa status quo saangatlah tidak adil dan keselamatan sama sekali tidak bernilai, dan mereka hanya berpikir untuk menginjak-injak orang lain. Dan mengapa? Karena mereka merasa yakin bahwa tindakan mereka adalah benar dan di atas dari yang lain.

Oleh karena itu ayunan seorang wanita muda telah di hancurkan secara brutal. Aku berusaha menyelamatkan wanita itu melarikan diri. Dalam ini,aku memiliki bantuan dari temanku. Teman kecil, pemberani, yang menghargai permaisuri melebihi apapun.

Pria itu sangat kejam dan kasar dan tidak akan ragu untuk menggunakan permaisuri untuk kepentingannya sendiri sebelum membuangnya begitu saja. Permaisuri, aku yakin, akan merengek sebelum itu...

Namun aku salah. Dia bertekad untuk tetap di kastil hingga titik terakhir, menatap kami dengan tegar hingga menusuk ke dalam lubuk hati kami.

Tidak ada lagi harapan di dalam kastil. Jika terdapat harapan, maka itu berada di luar. Seorang ksatria yang dulu mengabdi pada pengadilan konon katanya menjalani hidup dengan tentram di luar kota. Banyak ksatria yang berpaling untuk mengikuti perdana menteri—tapi pria ini, ksatria satu ini...mungkin...

Dengan itu, mempercayai harapan kami pada sebuah dunia yang di tolak oleh permaisuri, kami berlari. Kami dan para rogue itu.


*****


Semua telah berakhir di kala aku telah menjadi lelah mencoba menghitung jumlah perampok.

Atau lebih tepatnya, semua terasa berakhir sebelum aku menyadarinya.

Walau dengan sisa panas yang masih terbawa, angin gurun masih terlalu dingin untuk kulitku yang terpapar. Ototlu menjerit kesakitan dari perawatan tidak layak yang ku berikan. Bintang-bintang pada langit tak berawan anehnya tampak miring, cahaya mereka sungguh menyilaukan. Itulah yang pada akhirnya membuatku sadar bahwa aku terbaring menyamping seperti boneka terbuang.

Tubuhku berlumur dengan cairannya sendiri, keringat dan ludah dan air mata. Namun aroma dari seorang elf adalah aroma sebuah bunga. Bau yang mengambang yang aku cium berasal dari sisa-sisa makanan yang di makan.

“U-urgh... Ini bukan...caranya...untuk...memperlakukan seorang wanita,” Aku mengerang. Aku merasa seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku, dan sebuah batang besi tajam hampir menusuk perutku. Aku berhasil untuk membuat diriku berbicara, karena untuk bisa menjaga harga diri seseorang, orang tersebut harus bisa menyemangati hatinya.

Aku meraih sebuah kain yang begitu kotor dengan debu, kemudian meringkukkan tangan dan lututku seperti anak bayi yang baru lahir.

Apa yang terjadi pada kami?

Ini bermula ketika temanku dan aku berpisah jalan dengan para rogue itu; kami baru mulai berdebat tentang apa yang harus kami lakukan berikutnya. Mencari bantuan? Di gurun ini, itu bagaikan mencari jarum di dalam jutaan tumpukkan jerami. Aku memaksa agar kita harus segera mencari kereta secepat mungkin, namun teman bodohku itu...!

“Ini misi rahasia, kita harus berjalan kaki!”

“Pfah! Terus lewat jalan tersulit gitu kah!”

Dari situ, perdebatan berubah cepat menjadi pengumpatan, dan setelah kami berpisah jalan, aku melihat beberapa pedagang ini dan memanggil mereka; namun ketika aku menumpang naik...

Bagaimana mungkin aku bisa tahu kalau ini adalah milik segerombol penculik—dan mereka menculik dia juga?

Dan kemudian penculikku sendiri di serang oleh segerombol pencuri! Coba bayangkan.

Aku merayap di antara mayat-mayat penculik yang di bunuh secaraa brutal dan perkakas makan yang di buang. Dada dan pahaku tergesek perih di atas pasir dan kerikil, membuatku menjerit kecil setiap kali tergesek.

Di saat dewa membuat tubuh kami, kenapa mereka harus memberikan tubuh kami begitu banyak area permukaan sih?!

Namun kemudian—aku tidak tahu seberapa lama—aku akhirnya berhasil mencapai apa yang aku cari: sebuah pot tanah liat, seperti sebuah pot kencing, tergeletak di antara tumpukkan sampah. Mungkin masih terdapat sesuatu di dalamnya.

Namun ketika aku berusaha menggapainya, aku mendapati jemari dan kakiku menolak untuk menurutiku, master mereka. Aku tidak mempunyai tenaga untuk berdiri atau bahkan memegang pot itu, dan pot itu terjatuh ke sampinh, menumpahkan isinya ke atas bumi.

“Oh, yang benar saja....!”

Kurasa ini adalah hukumanku karena menghina para dewa; tentu saja hukuman itu jatuh dengan cepat. Aku meringis dan menekankan mulutku ke atas pasir di mana air itu terserap ke dalamnya. Mencoba untuk terus mengamati sekitaran dengan mataku, aku menyeruput cairan berlumpur itu. Sangat menyedihkan sekali sampai harus menjilat air dari pasir seperti ini. Aku bisa menangis, karena sekarang aku mempunyai cairan dalam tenggorokanku.

“...Ergh, ugh.” Aku mencoba untuk mengocok air di sekitar mulutku, kemudian memuntahkan liur lengket. Kemudian aku mencoba untuk meminum sedikit air lagi. Tidak ada rasa, tidak ada apapun, namun itu tidak penting.

Elf hidup dalam jangka waktu yang panjang. Dalam sekejap mata, semua orang yang akan mengingat kondisiku yang memalukan akan menghilang. Dan lagipula, di bandingkan dengan kengerian yang terjadi di kastil itu, ini tidaklah seberapa, dan karena itu—ya, itulah mengapa aku melakukannya.

Di karenakan kebencian kepada para pencuri yang sudah mengambil bagian jatah dari “pemasukan” penculik, aku sudah membantu sebuah kereta yang masih berada di kejauhan untuk melarikan diri. Atau lebih tepatnya, si cebol telah membantu mereka melarikan diri dan melibatkan aku ke dalamnya. Para pencuri tentunya merasa kesal, dan setelah mereka membantai semua oenculik, mereka mengancam akan menghukum temanku secara keji...

“Ugh, aku nggak pernah mengerti kenapa aku selalu bersedia membantumu...” Aku bergumam, namun teman kecilku, yang muncul di sampingku, hanya menganggkat bahunya. Dan kemudian, tiba-tiba dia melemparkan sebuah jimat emas di pasir di depanku. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa mendapatkan jimat itu kembali dari para penculik. Tapi dia memilikinya.

“Ini nggak termasuk sebagai hutang ya,” aku menggerutu, namun temanku hanya menyeringai. Sangat menyebalkan. Aku mengambil jimat itu dengan perlahan dan menggantungnya di sekitar leher.

Tampajnya, selagi aku mengasah tombak para pencuri dan memanggang roti di oven mereka, temanku telah bernegosiasi dengan pemimpin mereka. Mencoba agar mereka menjual kami di saat mereka tiba di kota besok atau lusa. Ya tuhan.

“Kurasa mereka akan menjual kita murah.” Aku bergumam marah. “Tuhan, mereka sama sekali nggak tahu apa yang mereka miliki.” Aku menarik lututku ke dada dan bersandar pada temanku. Terlalu dingin di gurun ini jika kamu hanya duduk sendirian di malam hari. “Kalau kita dinjual sebagai budak pengantar air di pertambangan, kita mungkin nggak akan bisa keluar selama ratusan tahun, dan kemudian apa yang akan terjadi?”

Temanku menggeleng kepalanya seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Oh, yang—

Jika di luar sana terdapat harapan, di manakah keberadaannya?


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya