PILIH PETUALANGANMU SENDIRI BAGIAN 1

Penerjemah: Zerard


“Keluar dari panci panggangan, masuk ke dalam api, ya...?”

Priestess hampir tidak menyadari bahwa bisikan itu berasal dari Goblin Slayer. “Apa—?” Priestess berkata, melirik mengarahnya. Pria itu terus melanjutkan dari balik jendela kusir—walaupun dia mungkin iya atau mungkin tidak menjawab Priestess. “Kata yang dulu guruku—masterku pernah katakan.”

“ Yah, dia benar soal bagian api itu,” High Elf Archer berkata mengangkat bahu, kemudian menegok keluar jendela pada langit biru. Matahari menyirami sengit, membuat bagian dalam kereta menjadi hangat. Di campur dengan pantulan dari pasir, kereta ini terasa seperti sebuah oven. “Kalau aku keluar sana, telingaku nanti jadi gosong.” Telinga sang elf berputar seolah ingin menunjukkan ketidaksukaan pada ide ini.

Dan lagi, ketika mereka akhirnya bisa berhenti untuk beristirahat di malam sebelumnya, cuaca malam itu sangatlah dingin. Kamu tidak perlu menjadi seorang elf untuk mengetahui perubahan suhu yang sangat drastis. Tampaknya tempak ini memang bukanlah tempat untuk mereka yang bernyawa pendek.

Mungkin di karenakan keserasian warganya dengan api, Dwarf Shaman, terlihat seperti berada di rumahnya sendiri. Tidaklah benar kalau mengatakan bahwa dia tidak berkeringat sedikitpun, namun dia sama sekali tidak merasa terusik dengan itu.

Tetapi kemudian, begitu pula dengan kedua manusia ini.

“...Aku sungguh minta maaf. Ini semua karena aku memaksakan kudanya berlari terlalu kuat tadi malam...” Female Merchant berkata dengan suara kecil dari tempat di mana dia meringkuk di kursinya. Kulitnya, yang biasanya putih seperti salju, sekarang merah dan penuh keringat. Napasnya terlihat pendek terengah. Priestess memperhatikan dada wanita itu yang naik turun dengan perih selama beberapa menit sebelum menolong wanita itu melonggarkan pakaiannya, yang di mana membuat napas wanita itu sedikit lebih baik.

“Apa ini...pitam panas?” (Tl Note : pitam hitam = heatstroke)  tentunya akan sangat di mengerti. Bahkan Priestess, yang sudah sangat terbiasa berada di lapangan sekarang, merasa sedikit pusing. Female Merchant mungkin adalah seorang petualang dulunya, namun dia masihlah tetap kelahiran bangsawan dan sekarang menghabiskan waktunya sebagai pedagang. Ini tidaklah mudah baginya.

Priestess menawarkan botol minumnya, dan Female Merchant menerimanya dengan “Terima kasih” yang terdengar sangat serak. Dia menyentuhkan bibirnya ke ujung dari botol dan meminum dengan berisik, Priestess memegang botol itu untuk wanita itu. Di saat Female Merchant mengelap setiap tetesan yang mengalir dengan sebuah kain, dia bergumam “Terima kasih” kembali.

“Sehabis kamu minum, nih kunyah daging kering ini. Ini akan membuatmu tetap hidup setelah dewa pitam panas sudah menyerangmu.”

Priestess mengangguk kepada Dwarf Shaman dan mengambil beberapa persediaan, merobeknya dengan giginya sendiri. Dia memberikan daging itu krpada Female Merchant dengan telapak tangannya, dan wanita itu mengambil daging dengan perlahan di antara jemarinya dan mulai mengunyah daging lembut itu. Air telah menbuat mulutnya menjadi sedikit lembab, dan tampaknya dia sama sekali tidak kesulitan untuk memakannya.

Ya. Syukurnya, mereka masih memiliki perlengkapan, karena itu situasi mereka belumlah genting. Anggur yang di campur air dan makanan masih tersedia banyak di dalam bagasi pada kereta di belakang mereka. Akan tetapi, laju kuda sudah sangat melambat dengan terik panasnya ini dan hanya memiliki sedikit kesempat untuk beristirahat sebentar dan makan.

“Pastikan kamu istirahat sebentar juga Beardcutter. Kamu dan helm bajamu itu. Otakmu bakal kepanggang sebelum kamu menyadarinya.”

“Benar.” Goblin Slayer mengangguk.

Situasi ini tidaklah gentinh. Namun juga tidaklah optimis.

Kenyataan bahwa kita terjebak pasir apung menandakan bahwa kita terlepas dari jalan utama.

Mereka tidak lagi melihat patung dari Dewa Perdagangan juga, dan jalan yang mereka cari tampak menghilang di telan pasir. Mereka mungkin mempunyai bintang dan bulan di malam hari dan matahari di siang hari untuk membimbing mereka, namun mereka masih tidak mengetahui di mana mereka berada. Ketika dia melihat dari balik helm baja, yang hanya dapat dia lihat adalah terik matahari. Tidak ada gunung besar yang berfungsi sebagai penanda, hanya pasir di keseluruhan cakrawala.

Panas memantul dari bawah, berdansa di kejauhan.

“Fatamorgana...?” Terdapat sesuatu tentang itu di dalam sebuah buku yang dia baca sebelum dia pergi. Konon katanya terkadang sebuah roh akan mewujudkan diri mereka di gurun dan meyesatkan para pengelana...

Dia tengah berbicara kepada dirinya sendiri, namun High Elf Archer, mengeluarkan kepalanya dari jendela, menjawabnya. “Kamu Cuma perlu perhatikan baik-baik, tanya beberapa pertanyaan, dan makhluk itu nggak akan bermacam-macam.”wajahnya terhemoas angin panas dan pasir beterbangan, sang elf menyipit seperti kucing, kemudian menggelengkan kepala dan menoleh ke belakangnya. “Hei, kamu baik-baik saja di sana?”

“Ha-ha-ha. Saya akui kurangnya air membuat saya cukup cemas, namun untuk panas ini, terasa cukup nyaman bagi saya.” Lizard Priest terdengar santai. Dia duduk pada bangku kusir pada kereta belakang, bermandikan matahari seraya dia memegang tali kemudi.

Pengemudi sewaan tengah meringkung di sampingnya, bergumam pada dirinya sendiri. “Gurun itu neraka,” dia bergumam. “Kalau kamu mati di sini, jiwamu akan di makan...”

“Sebaliknya, dinginnya malam cukup sulit untuk di jalani.” Lizard Priest menepuk punggung sang pengemudi dengan lembut, seolah gumaman pria itu sama sekali tidak ada artinya. Benar, dia merasa bahwa lebih baik untuk tidak berbicara pada pria ini sama sekali. “Saya juga harus mengatakan bahwa tidak mengetahui kemana kita pergi dapat membuat seseorang cemas.”

“Yeah, mudahan kita bisa kembali ke jalanan.” High Elf Archer berkata, bersandar pada kerangka jendela dan terlihat bosan seraya angin membelai telinga dan pipinya.

Situasi ini tidaklah genting, namun juga tidaklah ceria.

Aku sendiri di paksa untuk menerima kenyataan itu. Dan setelah melampaui itu, Goblin Slayer merasa mustahil bagi dirinya untuk dapat terus optimis. Oleh karena itu Goblin Slayer bergabung dengan percakapan mereka. “Sayang kita nggak bisa mengambil perlengkapan para goblin itu.”

“Iya. Sepertinya aku juga nggak akan menemukan panah lagi di sekitar sini.” High Elf Archer berkata—mungkin menyadari kebutuhan pria itu dalam percakapan ini. Atau mungkin juga tidak. Dia tertawa dengan suara bagaikam detingan lonceng.

Kemudian tiba-tiba dia menyipit mata, mengangkat tangannya ke atas dahi untuk melindungi matanya seraya dia menatap ke kejauhan.

“Ada apa?”

“Di sana. Bangunan... Mungkin? Pokoknya ada sesuatu.”

“Hrm.” Dia mendengus. Tentunya terdapat kemungkinan bahwa itu adalah kesalahan, namun tidak ada waktu untuk itu. “Baiklah.” Walau lelah, kuda tetap mereapon cepat pada gerakan tali kemudi Goblin Slayer. Di dalam kereta, decitan dan ayunan menandakan perubahan arah.

“Hati-hati, papan. Kamu yakin bukan lagi melihat fatamorgana?”

“Sini biar ku bikin matamu berfatamorgana” dia menggerutu, menarik kepalanya lagi masuk ke dalam kereta. Priestess memperhatikan perdebatan itu, sungguh pemandangan yang akrab, membuat dirinya menjadi lega. Priestess, juga, tengah bertarung dengan panas. Untuk menghemat air, dia akan membasahi handuk kecil, kemudian mengelapnya di sekitar pipi dan dahi. Kemudian dia akan menawarkannya kepada Female Merchant, yang rambutnya menempel di wajahnya dengan keringat.

“Kurasa aku seharusnya berlatih sedikit lebih keras ya..?” dia tersenyum lemah kepada Priestess, yang menggelengkan kepalanya.

“Aku harap kita bisa beristirahat di depan.” Dia membalas.

Tidak lama setelahnya, kereta itu memang benar tiba pada sebuah desa—sebuah desa yang begitu sunyi.

*****

Shf. Kakinya yang melebar menendang tumpukan pasir. Goblin Slayer menurunkan stik panjanh yang berfungsi sebagai rem kereta dan melo pat turun dari bangku kusir, dia mendapati dirinya sendiri berpikir, Apa normal pasir gurun itu bisa sampai setinggi lutut? Otaknya yang terpanggang tidak dapat berpikir dengan cepat. Dia menjentikkan lidahnya dan meneguk air, cairan yang masuk ke dalam mulutnya, lubang botol yang tertekan pada helmnya, sangatlah hangat tidak nyaman.

“Bagaimanapun juga, aku rasa kita harus mulai menginvestigasi, tapi bagaimana menurutmu?”

“...Aku ragu kita punya pilihan lain. Kita harus tahu di mana kita atau kita tidak akan bisa pergi,” Female Merchant berkata seraya dia keluar dari dalam kereta. Dia menggunakan sepatu panjanh, mantelnya di tarik hingga ke keoala untuk melindunginya dari matahari. Dia memberikan pria itu anggukan ragu. “Tapi kenapa tanya aku?”

“Karena kamu adalah pemberi quest kami.”

Dia berkedip pada jawaban Goblin Slayer, kemudian merasakan pipinya melembut menjadi senyuman. Seolah rasa tegangnya telah terlepas. “Kalau begitu, tolong lanjutkan dengan questnya.”

“Ya.” Goblin Slayer mengangguk, kemudian melambai kepada anggota partynya untuk berjalan menuju desa. Seraya dia melangkah maju, dia mendengar remukan pasir di belakangnya. Sisa dari anggota partynya pasti tengah turun dari kereta, dia pikir.

Kaki di angkat, melangkah ke depan. Pasir putih berkelip seraya dia melangkah, sebelum akhirnya terbawa sebagai debu oleh angin. Dia memeriksa pedang pada pinggul, berhati-hati supaya dia dapat menariknya kapan saja seraya dia bergerak. Beberapa bangunan berdiri di desa, terbuat dari tanah liat putih atau bata yang buram di karenakan matahari. Adalah mustahil untuk mengetahui kehidupan kota ini dari kejauhan, namun mungkin mereka memelihara keledai berpunuk. Atau mungkin ini adalah kota penginapan. Apapun itu, dia berharap mereka bisa mendapatkan air dan informasi di sini.

“Aduh, kakiku terbakar nih...” High Elf Archer mengeluh, menendang beberapa pasir dengan gelisah. Sebagai seorang elf, dia sama sekali tidak meninggalkan jejak.

Priestess menyipit dalam teriknya matahari yang mengancam memanggang keseluruhan party, pasir memantulkan panasnya matahari. “Mataku rasanya seperti mau kebakar...”

“Cara terbaik itu jangan melihat terlalu jauh,” Dwarf Shaman berkata. “Aku mulai berpikir kalau pakaian si Telinga Panjang itu adalah pilihan yang tepat.”

High Elf Archer, beberapa langkah di depan, mendengar sang dwarf, membusungkan dada kecilnya dengan begitu bangga. “Itulah kecerdasan elf—kebijakan alami. Kamu harus bisa serasi dengan Alam, dengan lingkungan apapun yang kamu telusuri.”

“Ucapan dari kaum yang memerintah roh sesuka kehendaknya!”

“Lebih baik dari mereka yang menggali lubang di tanah dan memangkas hutan seperti para dwarf.”

Suara perdebatan mereka adalah satu-satunya suara selain angin yang mencambuk dan langkah mereka di atas pasir. Sungguh, tidak ada hal lainnya untuk di dengar.

Goblin?

Tidak, ini terlalu bersih untuk itu. Dia menggelengkan kepala berhelmnya seraya mereka memasuki desa terbengkalai. Begitu banyak hal untuk di pikirkan.

“Di mana supir kita?”

“Tidak dalam kondisi yang dapat membuatnya mengikuti kita, ataupun kita harus menemaninya,” Lizard Priest berkata santai, matanya berputar di kepala. Dia menujuk dengan ayunan pelan dari ekor panjangnya mengarah tirai dari kereta bagasi, yang di mana terdapat seorang pria yang terlihat meringkuk di belakangnya. Dia terrlindungi oleh sebuah mantel besar, jemari dan mulutnya bergumam tidak jelas pada dirinya sendiri—seperti yang dia lakukan pada malam sebelumnya.

Lingkungan gurun, serangan tiba-tiba dan pelarian panjang, dan sekarang berkelana tanpa arah di gurun—semua orang tidak di desain untuk berhadapan dengan hal seperti ini, pikir Goblin Slayer.

“Ada bahaya?”

“Yah.. Sayangnya saya tidak tahu. Tingkah laku dari mereka yang jiwanya telah tercuri oleh gurun adalah mustahil untuk di ketahui.” Rahang Lizard Priest bergerak, dan lidahnga menjulur keluar. “Walau kecil Female Merchant kita cukup...rentan. tapi bukan berarti beliau tidak dapat berteriak.”

“Awasi dia.”

“Sesuai kehendak anda.”

Goblin Slayer memberikan barisan depan kepada sang lizard, yang melangkah ke depan, kemudian dia menghela napasnya. Dia harus mengetahui apa yang  ada di sekitar mereka. Harus mengetahui keadaan semua yang bersamanya. Sebagai pemimpin party, terdapat banyak hal yang harus di pikirkan. Banyak hal yang harus di lakukan.

“Bagaimana denganmu?”

“Nggak apa-apa,” Priestess membalas, tersenyum walau dengan keringat di matanya dan napasnya yang berat. “Aku baik-baik saja.”

“Baguslah,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Pastikan kamu terus minum.”

“Ini...mencemaskan ya?”

Hrm. Secara tidak sadar menyamakan langkahnya dengan Priestess, dia melihat Priestess berlari ke sampingnya dan membuat pernyataan tidak biasa ini. Ketika dia memiringkan helmnya kebingungan, Priestess tersenyum. “Maksudku dia.”

“Ah...” Di dalam helm, dia menggerakkan tatapan untuk mengamati kereta. Female Merchant telah berpindah menuju bangku kusir, menggunakan mantelnya untuk menghalangi matahari. Dia memperhatikan sekitar dengan siaga. Dalam jarak sejauh ini, Goblin Slayer tidak dapat memperhatikan wajah wanita itu. Namun secara fisik dan mental, Goblin Slayer menduga bahwa wanita itu tengah memaksakan dirinya untuk bertahan dalam situasi ini. Akan tetapi, ketika Female Merchant menyadari pria itu, dia mengangkat tangan dan memberikan lambaian lebar. Aku baik-baik saja, tampaknya dia menandakan.

“Lagipula,” Goblin Slayer bergumam, seolah seperti ingin memetik kata dari udara hampa, “dia pemberi quest kita...”

“Itu benar,” Priestess menjawab mengetahui dan kemudian mempercepat langkah. Goblin Slayer memperlambat langkahnya, hingga akhirnya Priestess dapat menyusul dan berjalan di sampingnya.

Dan dalam terik menyengat, mereka berdua berjalan berdampingan di atas sungai pasir yang sepertinya adalah sebuah jalan di desa ini dulunya. Gentong, perkakas kebun: Segalanya yang berada di luar tampak seperti terjatuh, atau terkubur di dalam pasir, atau keduanya. Tidak ada tanda sedikitpun bahwa ini adalah tempat berpenghuni...

“Tapi, walau dengan semua itu..,tempat ini juga nggak terasa seperti terbengkalai juga,” Priestess berkata, memperhatikan sekitar dengan gugup, namun Goblin Slayer membalas dengan keheningan. Dia sangat menyetujui ucapan Priestess. Dia tidak dapst mengenali perasaan yang dia rasakan di sini, namun ini bukanlah perasaan yang dia dapatkan jika berada di dalam sarang goblin. Dia sangat menilai tinggi intuisinya, dan dia bukanlah seseorang yang akan membiarkan intuisi itu membimbingnya pada keraguan.

“Bagaimana? Ketemu seseorang?” dia bertanya kepada High Elf Archer.

“Yeah, tapi...” Telinganya mengepak, di tempat dia berdiri pada pintu sebuah bangunan. “Sepertinya mereka sedang tidur.”

“Apa...?” Goblin Slayer melangkah di atas tumpukan pasir dan melewati pintu yang terbuka. Bahkan walau dengan satu langkah ke dalam, ruangan ini terasa dingin, mungkin di karenakan cahaya matahari yang terblokir, atau mungkin di karenakan material bangunan. Apapun itu, dia melangkah masuk ke dalam keremangan suram, menemukan apa yang tampaknya sebuah ruang makan. Dia dapat melihat tambalan karpet di balik pasir yang tersebar, namun di tengah ruangan, alih-alih sebuah meja bundar yang dia kira, terdapat sebuah meja panjang, seorang pria paruh baya tersungkur tertidur di atasnya. Lizard Priest dan Dwarf Shaman berdiri di kedua sisi pria itu.

“Kita sudah periksa ruangan lain dan semuanya seperti ini. Bahkan para wanitanya itu sama sekali tidak mengeluarkan suara.”

“Hmm... Jika rumah lain dalam keadaan serupa, dan walaupun juga tidak, maka ini adalah situasi yang sangat fantastis,” Lizard Priest membalas. Dia dan High Elf Archer pasti merasakan kejanggalan momen ini seperti yang di rasakan Goblin Slayer.

Pria yang tertidur di atas meja menggunakan seragam gurun seperti yang di pakai High Elf Archer. Selain itu, dia tampak biasa saja, terkecuali wajahnya yang menghadap ke bawah, tidak bergerak.

“Um, hal—“ Priestess mulai memanggil dengan ragu, namun Goblin Slayer menghentikannya dengan gerakan tangan. Dan kemudian, dia menarik pedang kecil dari sarungnya, mengambil satu langkah mendekat menuju pria itu, kemudian selangkah lagi. Kemudian mengedepankan perisai di tangan kiri, mengguncangkan pundak pria itu...

“Eek?!” Priestess menjerit di saat pria itu melebur tanpa suara. Pria itu berubah menjadi debu seperti sebuah patung batu yang telah lama terpapar alam. Debu itu berwarna kemerahan seperti daging mentah, dan sekarang yang hanya tersisa dari pria itu berada di telapak Goblin Slayer. Dan bahkan itupun akan terbang menghilang jika Goblin Slayer tidak mengepalkan tangan untuk menahannya. (TL Note : Efek dari jentikkan Thanos-pun sampai ke dunia GS)

“Apa... Apa yang terjadi di sini...?” Priestess termundur. Bahkan Dwarf Shaman dan Lizard Priest-pun memucat (walau sulit untuk di lihat dengan banyaknya sisik Lizard Priest). 

“Tunggu. Itu berarti semua orang di desa ini...?”

“Sepertinya terjadi di malam hari tanpa mereka sadari sedikitpun, dan nggak ada seorangpun yang selamat.” Goblin Slayer menghela pendek.

“Jika begitu, maka keheningan ini sangatlah masuk akal,” Lizard Priest berkata dengan gelengan kepala. “Dapatkah kita berasumsi bahwa mereka di serang oleh monster?”

“Kalau benar, maka itu pasti...Grograman, The Many Colored Death.” Semua orang saling bertukar pandang pada pengumuman singkat ini yang berasal dari helm itu. “Aku dengar mereka makhluk mengerikan di dalam gurun. Tapi, aku nggak memahami makhluk apa mereka.” Makhluk ini, yang di ucapkan Goblin Slayer dengan gelengan cepat kepalanya, seharusnya adalah seekor makhluk dongeng. “Tapi sudahlah—lupakan saja. Itu hanya terlintas di pikiranku.”

Goblin Slayer sangat jarang mengucapkan nama monster apapun selain goblin. Jika sang elf tidak begitu sibuk berjaga, High Elf Archer mungkin akan meributkan hal ini.

Namun pada saat ini, High Elf Archer menemukan hal yang lebih penting untuk di cemaskan. “Hei, kalian! Kabar buruk!”

*****

“E-eeyargh! Aku nggak tahan lagi! Gurun ini terkutuk...!!”

“Hei, tunggu...! Kamu mau ke—?!” Female Merchant meraih lengan supir, namun pria itu menepisnya dan menarik tali kemudi dari kereta bagasi. Female Merchant, terjatuh pada bokongnya, menjerit kecil. Pria itu sama sekali tidak melambat, seraya dia mencambut tali kemudi dan membuat kereta bergerak. Female Merchant harus berguling untuk menghindar, jika tidak, tubuhnya yang indah mungkin tidak akan ada lagi.

“Aku mau pulang! Aku nggak mau lagi menghabiskan waktuku di tempat ini! Aku nggak mau mati!!” Mata supir terbelalak dan melotot, dan busa menggelembung di sekitar ujung bibirnya seraya dia terus mencambuk dan mencambuk tali kemudi. Female Merchant bahkan tidak sempat berdiri ketika kereta itu sudah menghilang di balik kabut pasir. Jika dia mengetahui ini akan terjadi, maka dia seharusnya memulai dengan menarik rapiernya...!

“Maaf. Aku tidak bisa menghentikannya...!”

“Biarkan saja!” High Elf Archer berteriak, mendekati dirinya. Menghamburkan pasir seraya High Elf Archer tiba, dia mengammati situasi dengan sekilas dan kemudian menolong Female Merchant berdiri. “Kamu nggak apa-apa? Dia nggak melukaimu kan?!”

“Terima kasih, aku baik-baik saja,” Female Merchant berkata, terbatuk. “Cuma sedikit pasir di mulutku.”

“Baguslah,” High Elf Archer terdengar lega. Dengan lembut dia mengibas pasir dari rambut dan pipi teman tersayangnya. Dia menatap ke kejauhan, menjentikkan lidahnya dengan tidak elegan, kemudian memanggil dengan tenang namun cukup lantang, “Hei kalian! Kabar buruk!”

Rekannya dengan segera keluar dari dalam bangunan. Lizard Priest yang pertama, menyeimbangkan dirinya dengan ekor; di ikuti dengan Goblin Slayer, yanb bergerak lincah untuk seseorang yang menggunakan begitu banyak armor. Priestess berlari mengikuti mereka, dan akhirnya Dwarf Shaman di belakang mereka.

“Ya Tuhan!” Lizard Priest berteriak. “Saya tidak menyadari jiwanya telah begitu di rusak oleh gurun!” 

Lizard Priest berpikir bahwa pria itu telah benar-benar kehilangan akal, namun sepertinya akal itu  telah sedikit kembali kepadanya. Di karenakan terdakwa sangat sering kehilangan motivasi untuk melakukan apapun, Lizard Priest berasumsi bahwa aman untuk meninggalkan supir itu sendirian, namun dia telah salah menilai,

“Ada apa? Kenapa kamu nggak menembaknya?” Goblin Slayer bertanya, mencoba untuk menghiraukan perasaan bahwa dia dapat mendengar suara dadu yang di lempar di kejauhan.

High Elf Archer tidak menjawab, namun hanya bentangan pasir dan bertanya pelan. “Dapat sesuatu?”

“Nggak,” dia menjawab menggeleng kepalanya. “Nggak ada yang hidup.”

“Aku mau...memberikan mereka pemakaman, kalau bisa...” Priestess berkata ragu, namun dia sangat memahami betapa berbahayanya untuk berlama-lama di sini. Beberapa kematian dalam bentuk yang tidak di ketahui sedang terlepas. Supir yang lari itu mungkin adalah yang tercerdas di antara mereka. “Tapi aku rasa kita harus cepat mengejarnya...!”

“Dengan kereta yang memuat kita semua sekaligus? Nggak akan mudah...” Dwarf Shaman mengernyit. “Mungkin bisa, kalau aku menggunakan Tail Wind...”

“Aku nggak akan melakukannya kalau jadi kamu dwarf,” High Elf Archer berkata, tidak berupaya menyembunyikan ekspresinya. Dia menunjuk dengan gerakan elegan pada sesuatu yang berada di atas pasir. “Coba lihat itu.”

“Itu” Adalah alasan mengapa dia tidak menembak atau mengejar pria itu, ya, itu berada di atas pasir, cukup harfiah. Khususnya, lapisan atas pasir tampak bergerak. Itu berputar di atas cakrawala tertangkap oleh angin liar. Priestess bergumam pelan bahwa itu tampak seperti ular yang melilit.

Dan itu datang kemari. Itu seperti sebuah gunung gelap, besar yang mengarah tepat ke mereka.

“Apa...”

Female Merchant hanya berdiri dan melongo, hingga akhirnya dia dapat berbicara.

“...Apa-apaan...itu?!”

“Tuhan, aku bisa melihatnya sekarang! The Many Colored Death!” Dwarf Shaman berteriak, hampir seperti mengejek. “Simoon, Angin merah Kematian! Jadi itu yang membunuh para penduduk desa!” (TL Note : Simoon = angin panas yang bertiup di gurun.)

“Apaan itu! Semacam monster?!” High Elf Archer berteriak, menoleh kepada rekan-rekannya.

“Bukan!” Dwarf Shaman berteriak membalas, “Itu badai pasir!”

Simoon: Nama itu memiliki arti “racun angin.” Itu membawa pasir yang membutakan dan panas yang menghancurkan. Batu yang terpanaskan akan terbang ke segala arah. Itu akan menyerang semua yang berada di hadapannya tanpa pilih kasih. Siapapun yang tertangkap, akan tercambuk dengan angin yang sangat panas. Mereka akan melihat langit yang tertutupi dengan pasir dan akan terhisap kering hingga mereka mati.

Tentu saja, tidak semua petualang mengetahui rincian ini. Namun menjadi petualang, mereka sangat sadar ketika kematian tengah mendekati. Itulah apa yang tidak di miliki oleh supir yang berlari menuju badai itu.

“Lari!” Mungkin adalah Goblin Slayer yang memberikan perintah. Semua orang masuk ke dalam bangunan.

“Ha-ha-ha-ha-ha-ha. Ini baru menarik!”

“Ini bukan waktunya tertawa Scaly!”

Lizard Priest, berlari di atas pasir dengan cakarnya, dengan cepat mengangkat Dwarf Shaman dengan ekor panjang dan meletakkannya di atas punggungnya.. adalah mustahil Dwarf Shaman dapat berlari cepat dengan kaki pendeknya. Saat ini, waktu lebih penting di banding harga diri.

“Tapi tadi kamu bilang nggak ada seorangpun yang hidup di dalam juga kan?!” High Elf Archer berteriak, menoleh ke belakang seraya dia berlari. “Apa kamu nggak punya cincin Breathing yang kamu sukai banget itu?!”

“Aku punya, tapi aku nggak tahu apa mereka akan berfungsi di dalam pasir, dan aku nggak akan mempertaruhkan nyawaku untuk mencari tahu itu,” Goblin Slayer membalas. Napas pria itu masih stabil seraya dia memikirkan strategi terbaik di pikirannya. “Orang di sini mati karena mereka nggak melihatnya datang.” Dia berkata. “Kita tutup pintu dan jendela, barikade diri kita di dalam.”

Di kala pemimpin party sudah memutuskan rencana, yang tersisa hanyalah melakukannya sebaik mungkin. Seraya Lizard Priest, Dwarf Shaman, dan High Elf Archer berlari ke depan, Priestess memapang Female Merchant pada pundaknya. Masih merasakan efek dari kelengar matahari, napas pedagang muda itu benar-benar pendek dan dangkal.

“Bertahanlah...!”

“Ku-kuda... Bagaimana dengan...kudanya?! Kita tidak bisa...membiarkannya—“

“Lupakan kudanya.”

“Yikes!”

“Eek?!”

Goblin Slayer memberikan instruksi seraya dia berlari di antara kedua wanita. Masing-masing dari mereka mendapatkan tubuh mungil mereka, terlingkari oleh lengan pria itu dan di angkat bagaikan kayu bakar. Menghiraukan jeritan dan rontaan kecil mereka, dia mempercepat lajunya.

Namun kegelapan itu lebih cepat dari dirinya. Itu datang mendekat, tanpa henti, seraya Female Merchant terus memberontak: “Ak-aku baik-baik saja. Aku bisa... Aku bisa jalan...”

“Aku nggak bisa membantumu kalau kamu jatuh.”

Priestess menyela: “Dengarkan aku!”

Dia pasti sudah memutuskan bahwa kemungkinan terbaik mereka untuk dapat bertahan hidup adalah di dalam lingkaran lengan Goblin Slayer, bahkan walau kemungkinan itu sangatlah kecil. Priestess berputar, menoleh ke belakangnya. Badai yang mendekat itu telah benar-benar menjadi badai pasir sekarang, menutupi cahaya dari matahari. Sebuah bayangan hitam menjalar di atas keseluruhan party, dan tidak lama lagi akan menjadi segelap malam.

Apakah dia harus merapalkan Holy Light? Tidak, ini tidaklah segelap itu. Kalau begitu Heal atau Purify? Tidak, tidak itu juga.

“Kalau kita memerlukannya, aku bisa merapalkan Protection!”

“Tolong.”

Yang tersisa sekarang, adalah untuk memfokuskan dirinya sepenuhnya, bersiap untuk berdoa kepada para dewa di surga. Seraya Priestess memejamkan mata dan mulai bergumam kalimat doa, Female Merchant menggigit bibirnya keras. Goblin Slayer mempertimbangkan untuk mengatakan sesuatu kepadanya, namun dia merasa akan lebih baik jika tenaganya di gunakan untuk berlari.

“Orcbolg, cepat!!”

Melalui celah helmnya, dia dapat melihat High Elf Archer di drpan. Elf itu telah mencapai pintu duluan dan tengah berteriak dan melambai kepadanya. Dia mengangguk ketika dia melihay Lizard Priest dan Dwarf Shaman sudah masuk ke dalam bangunan. Angin Merah Kematian hampir mencapainnya, namun dia masih memiliki satu pilihan.

“Aku akan melempar kalian.”

“Apa—?”

“Eek...?!”

Tanpa menunggu respon mereka, Goblin Slayer melakukan persis seperti yang dia ucapkan. Dia melempar Female Merchant, di ikuti dengan Priestess, mengarah pintu. Dan kemudian dalam satu tarikan napas, dia berlari menutupi jarak yang tersisa. Kedua gadis terguling di atas karpet berpasir dan di tangkap oleh Dwarf Shaman dan Lizard Priest. Sedangkan Goblin Slayer merosot masuk ke dalam pintu, High Elf Archer menutup pintu di belakang Goblin Slayer.

Detik kemudian, terdapat raungan lantang, dan rumah bergetar dan berdecit.

Mereka benar-benar berada di ujung tanduk.

*****

“Tutup pintunya dan barikade!”

“Baik...!”

Seraya dia masuk ke dalam ruangan, terdengar suara seperti air yang di tumpahkan ke dalam panci panas. Jika mereka tidak mengetahui bahwa itu adalah butir-butir pasir yang menghantam bangunan, mereka tidak akan pernah bisa membayangkannya.

Lizard Priest mengangkat meja berdebu dan mengganjal pintu dengan itu, sementara Goblin Slayer meraih karpet. Para gadis bergegas untuk menyingkir dari tempat mereka terjatuh, dan Goblin Slayer menggunakan karpet itu untuk menghalangi jendela, menempelkannya dengan paku. Pasir masih menetes melewati kerangka jendela dan di sekitar ujung dari karpet, namun setidaknya mereka terlindungi dari kemungkinan terburuk.

Badai berlanjut menghantam, namun tidaklah begitu nyaring sehingga mereka tidak dapat berbicara. Goblin Slayer melihat dari balik helm pada decitan plapom, kemudian menggeleng kepalanya. “Bagaimana dengan ruangan lain?”

“Aku berkeliling dan mengamankannya sebisaku,” High Elf Archer membalas (Kapan dia memiliki waktu untuk itu?), mengibas rambutnga. Gerakan itu tampak seperti seekor kucing yang merawat dirinya sendiri, namun karena dia elf, gerakan itu tampak sangatlah indah. “Ugh...Banyak pasir yang nyangkut di tempat yang nggak ku duga...” Setiap kali dia menyisir rambut dengan jarinya, sebuah kabut debu akan mengepul bagaikan asap.

Hal ini membuat Priestess dan Female Merchant memeriksa rambut dan pakaian mereka juga. Bagaimanapun kamu melihatnya, hampir tidak ada permukaan di dalam bangunan ini yang tidak tertutupi pasir. Bahkan Goblin Slayer dapat merasakan remukan pasir di balik pakaiannya. Dan tentu saja pria lainpun juga demikian.

“Mungkin kita harus istirahat sebentar...” Priestess menyarankan.

“Yeah... Bukan ide jelek,” Female Merchant menyetujui dengan senyum lelah. “Setidaknya, kurasa tempat ini bukanlah milik siapapun lagi.”

Mereka telah dalam keadaan siaga tinggi semenjak mereka melewati perbatasan. Ketegangan mental menyebabkan ketegangan fisik dan kemudian kelelahan. Goblin Slayer mengangguk. “Ketika kamu selesai melakukan upacara untuk mereka yang mati, istirahatlah. Pembaca mantra yang kelelahan hanya akan membuat situasi kita semakin buruk.”

Apakah pria itu memikirkan keadaan mental Priestess? ...Tidak, tidak juga. Akan menjadi masalah jika mereka terus terjaga. Goblin Slayer mencari kursi di sekitar, tidak menemukan apa yang dia cari, dan kemudian merosot bersandar pada dinding di samping pintu. Dia melepaskan pedang di pinggulnya, kemudian meluruskan sebelah kaki, dan bersandar.

“Walau ada goblin di dalam badai ini, Aku ragu mereka akan bisa kemari.” Maka tugas berjaga jatuh kepada mereka yang berada di garis depan, yang bukan pembaca mantra. Dengan begitu, seperti operasi standar mereka ketika berkemah, dia dan High Elf Archer akan berjaga, sementara tiga pengguna sihir—saat ini empat—beristirahat.

Ketika Goblin Slayer memberikan rencana ini, Dwarf Shajan membelai jenggotnya memahami dan mengangguk. “Kalau begitu sekalian kita gunakan satu trik lagi dah...” Itu karena, mantranya akan pulih kembali setelah dia beristirahat. Waktu yang tepat untuk menggunakannya. Dwarf Shaman merogoh tas katalisnya dan mengeluarkan gulungan kertas kulit domba. “Sandman, Sandman, kepulan napas, saudara pada tidur abadi kematian. Sebuah lagu kami persembahkan, karena itu bawalah pasirmu dan dalam mimpi kami tengadahkanlah tanganmu.”

Kertas mengambang di ruangan, meleber menjadi abu, daan tiba-tiba menghilang. Kemudian suara badai tampaknya mulai memelan, dan bagi mereka, bagian dalam ruangan ini penuh dengan kehangatan lembut. Mungkin inilah mengapa Priestess merasakan kelopak matanya menjadi terkantuk dan mengapa Female Merchant menutup mulut dengan tangannya untuk menyembunyikan sopan mulutnya yang menguap. 

“Mantra tidur?” Goblin Slayer bertanya, dan Dwarf Shaman mendengus. “Inilah gunanya aku.” Pastilah sangat sulit untuk memanggil roh dengan badai seperti itu di luar. Dwarf Shaman meneguk anggur dari kendi yang dia simpan di pinggul, mengelap tetesan pada jenggotnya. “Kalau kamu perlu aku, aku akan pergi mencari sesuatu untuk di makan... Kalau bisa sesuatu yang nggak terkena pasir, tapi ya harapanku nggak tinggi.”

“Aku temani kamu, aku belum cukup panas di sini,” kata High Elf Archer.

“Yeah, yeah,” Dwarf Shaman bergumam, namun mereka berguna bergerak menuju ruangan yang sepertinya adalah dapur.

“Oke, kalau, begitu...kami..,akan...tidur sebentar...” Priestess berkata, kepalanya mengayun.

“Maaf. Apa kamu...bisa tangani dari sini...?” Female Merchant bertanya, mtubuhnya mulai merosot ke bawah lantai.

“Hei, jangan begitu,” Priestess berkata, menawarkan tangannya kepada Female Merchant; Female Merchant menyambut tangan itu dan mereka berdua mulai berjalan menuju ruang tidur dengan langkah sempoyongan. Goblin Slayer memperhatikan mereka untuk sesaat, khawatir mereka akan terjatuh, namun mereka berhasil mencapai ruang tidur. Terdengar dentingan tongkat derik seraya Priestess mulai berdoa. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, ulurkanlah tanganmu kepada mereka yang meninggalkan tempat ini, dan bimbinglah jiwa mereka...” Rapalan itu tampaknya membutuhkan upaya ekstra dari biasanya.

Kemudian kedua wanita, sudah benar-benar kelelahan, tersungkur pada ranjang. Tidak lama kemudian napas mereka berubah menjadi ritme tidur yang teratur. Mereka terlihat seperti saudari seraya mereka terbaring dengan tangan mereka yang bergenggaman, tertidur di antara debu beterbangan yang dulunya adalah seseorang.

“...” Goblin Slayer mengambil kantung air tanpa suara dari dalam tasnya. Kantung itu sudah hampir kosong seksrang; sangatlah jelas bahwa dia harus meminum air ini dengan sesedikit mungkin dan menghemat sebisanya. Memutuskan bahwa sekarang sangat perlu untuk minum, dia membasahi lidah dan tenggorokannya dengan seteguk penuh dan kemudian menghela napas. Dia ingin sekali mengelap wajahnya. Kedua matanya nyeri di karenakan pasir.

“Apa yang harus kita lakukan dengan air?” dia bertanya.

“Pertanyaan bagus. Badai ini kemungkinan akan mengubur sumur,” High Elf Archer berkata dengan kedutan telinganya. Dia melirik cepat mengarah barikade jendela. Apakah matanya dapat melihat apa yang pria itu, seorang manusia tidak dapat lihat? “Sepertinya ada kendi air di dapur, tapi banyak pasir di dalamnya. Tapi kemungkinan masih bisa di minum.”

“Begitu.”

“Berusaha memikirkan kami?” High Elf Archer membersihkan beberapa pasir dengan kakinya agar dia dapat duduk di suatu tempat yang agak bersih. Dia menatap pria itu dengan seringai lebar.

“Hrm...” Goblin Slayer mendengus. “...Entah.”

“Kamu nggak malu kan?”

“Nggak.” Goblin Slayer menggeleng kepala. “Aku benar-benar nggak mengerti. Aku nggak mengerti hal yang di sebut sebagai pemimpin party.” Setelah itu dia terdiam.

Dia tidak mengerti, namun dia tidaklah sebodoh itu untuk berpikir bahwa party tidak membutuhkan seorang pemimpin. Dia mengingat Heavy Warrior dan bagaimana caranya dia menunjukkan kepercayaan diri dalam setiap apapun yang dia lakukan.

Goblin Slayer sangat bersyukur bahwa High Elf Archer hanya berkata “Huh” dan tidak meneruskan hal ini. High Elf Archer melepaskan sepatunya dan membalikkannya, berusaha mengosongkan pasir yang ada di dalam. Para elf memang nggak meninggalkan jejak di pasir, tapi pasir masih bisa tersangkut pada kaki mereka. Seraya pikiran itu melintas pada Goblin Slayer, dia mengernyit pada dirinya sendiri, pada kelelahan yang dia rasakan. Memikirkan hal yang tidak berguna adalah bukti bahwa dia sedang kelelahan.

“Intinya, semuanya bagus.” High Elf Archer berkata. “Mau sampai kapan kamu terjaga?”

“...Hrm.”

“Aku mau tidur beneran di sini,” Sang elf menambahkan dengan kesal. Mungkin itu adalah caranya untuk mengatakan, seperti biasa, dirinya akan mengambil tugas berjaga pertama. Namun itu juga cara tidak langsungnya untuk menyuruh Goblin Slayer untuk cepat tidur.

Gobkin Slayer, berpikir tentang seseorang yang tidak asing, sangat berharga baginya, dan merasakan ekspresinya melemas. Dia senang dia sedaang menggunakan helm. Tiba-tiba, dia merasa tidak yakin suara mana yang dia dengar.

“Baiklah. Aku akan tidur.”

“Harus.” High Elf Archer melambai tangan mengusir pria itu, dan Goblin Slayer melonggarkan armornha. Kemudian dia bersandar pada dinding, menarik satu napas dalam, dan menutup sebelah matanha, membiarkan kesadaran terbuai jauh dan luas.

Airm makanan, perjalanan, dan goblin. Istirahat—ketika dia terbangun, dia akan mengambil makanan dari dapur. Itu dan sebuah peta. Dan kemudian goblin.

Bagaimana mereka bisa bertahan dalam lingkungan keras ini? Akan membutuhkan lebih dari sebuah gerombolan. Mereka harus hidup hampir seperti bandit gunung. Bahkan wilayah dari mereka saling bertabrakan. Bagaimana mungkin mereka tidak berkelahi? Di mana sarangnya.

Bagaimana mereka bisa mendapatkan makanan? Dan mereka akan kekurangan hiburan di sini. Nafsu mereka sangatlah tinggi dan kesabaran sangatlah asing bagi mereka.

Mereka tidak dapat bertahan di gurun. Namun dalam hal itu, dia juga sama dengan mereka.

Jika dia tidak dapat membawa partynya kembali pulang hidup-hidup, dia tidak layak untuk menyebut dirinya sendiri sebagai seorang petualang. Jika gurunya melihat dia sekarang, seberapa kecewanya beliau? Seberapa banyaknya beliau akan mengolok dirinya?

Di tengah lautan pikiran, Goblin Slayer menarik napas kembali,

Badai pasir akan mereda nantinya, namun dia tidak tahu kapan.

*****



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya