RETREAT PERPISAHAN HASE KANNA
(Bagian 6)

(Penerjemah : Hikari)


Begitu dia memasuki lobi hotel, dia dapat mendengar suara teriakan Sorata.

“Semuanya gara-gara kau mengatakan hal-hal yang aneh!”

Sorata berdiri di tengah-tengah lobi dan menghadap Mashiro. Di antara mereka berdua terdapat ketegangan dingin.

Sekeliling mereka diliputi keheningan.

Saat Sorata menyadari rasa frustrasinya, 

"... ... Berbeda, tidak marah."

Kemudian, melanjutkan dengan suara kecil. Akan tetapi, masih ada rasa frustrasi dalam suaranya.

“Kau marah, bohong.”

Begitulah, Mashiro tidak merasa yakin.

“Kaulah yang merasa tidak senang.”

“Karena Sorata.”

"Apa?"

“Baju, tidak memuji!”

Tangisan Mashiro menyebar ke seluruh lobi. Semua orang berhenti karena suara itu dan mengalihkan perhatian mereka pada Sorata dan Mashiro. Semua orang di lokasi kejadian menjadi penonton. Tidak ada yang bisa mengalihkan mata mereka dari kedua orang itu yang ada di tengah lobi.

“Apa, ada apa?”

“Apa mereka bertengkar?”

“Itu, itu Shiina-san? Apa mereka pacaran, mereka berdua?”

Lobi diliputi dengan suara riuh rendah

Turis-turis biasa juga menyaksikan situasi yang tiba-tiba terjadia itu dengan ekspresi aneh. Wanita di tempat penerima tamu bertanya-tanya melihat apakah sebaiknya menghentikan  mereka.

“Aku tidak peduli Sorata lagi!”

Mashiro melempar topinya ke Sorata, meninggalkannya begitu saja ke lorong lift. Dari suatu tempat, teman sekelas Mashiro muncul dan memungut topi itu. Dia melirik Sorata dan lari mengejar Mashiro.

“Sial!”

Sorata frustrasi dan menendang lantai. Tapi tidak lama kemudian Sorata juga menghilang ke tangga dan berjalan lebar-lebar.

Di suatu tempat di lobi, rumor-rumor berkembang bagaikan bunga.

Suara berisik tidak bisa berhenti.

Sorata datang kembali ke lobi setelah beberapa saat. 

Saat Kanna berpikir pemuda itu akan menuruni tangga, dia berlari ke luar hotel, meneriakkan sesuatu.

Tanpa bertanya, Kanna mengejar Sorata.

"He, hei!"

Dia tidak mendengarkan suara Iori.

Mengikuti Sorata, kanna melintasi jalan Otaru. Akan tetapi, begitu dia kehilangan Sorata dari pandangan, dia tidak dapat  menemukannya dengan mudah.

Dia berniat untuk menyerah dan pergi ke kanal tempat pemuda itu pergi pertama kali untuk melihat. Sorata sedang duduk di bangku di bawah lampu.

Kanna mendekatinya perlahan, tapi Sorata yang berbalik tidak menyadari kehadiran Kanna.

"Sorata-senpai."

Gadis itu akhirnya bersuara.

“Di tempat seperti ini. Kebetulan sekali, Kanna-san.”

“Ini bukan kebetulan.”

"Hmm?"

“Aku melihat Sorata-senpai dan Shiina-senpai di lobi hotel.”

“Oh, maaf… Kurasa kau khawatir soal aku.”

Seulas senyum getir yang tidak sesuai dengan ekspresi Sorata.

“Tidak, bukan begitu… … Aku ingin memberikanmu ini.”

Sambil merasa sedikit tidak nyaman, Kanna menyerahkan buku sketsa itu.

"Ah."

Sorata yang terkejut mengulurkan tangannya.

“Aku tadi mencari-cari ini!”

“Begitulah, aku datang untuk mengantarkannya.”

“Kanna-san mencari-cari ini. Terima kasih.”

“Tidak, itu… …”

Kanna menghindari tatapan pemuda itu saat menyingkirkan tangannya dari buku sketsa.

“Dari siang tadi, kami juga ada di Otaru…. Jadi kami kebetulan melihat Sorata-senpai dan Shiina-senpai…”

Sorata sepertinya mengerti apa yang Kanna berusaha akui.

“Kebetulan, arah kami pergi sama. Aku menyadari bahwa Shiina-senpai melupakan itu di toko suvenir.”

Kanna tahu ini adalah alasan yang dipaksakan. Dia juga paham bahwa dirinya tidak perlu mengatakannya. Tapi, berada di depan Sorata, mulutnya jadi berkata-kata begitu saja, mau bagaimana lagi. Dia bertanya-tanya apakah Sorata memiliki kemampuan untuk membuatnya menjadi lebih sedikit jujur.

“Yah, setidaknya kalau kau menghubungiku, kau tidak perlu repot-repot berlarian ke Otaru.”

“Aku tidak punya nomor hape dan email Sorata.”

Nada suaranya terdengar normal.

"Oh, begitukah?"

Sorata menggaruk-garuk kepalanya.

“Nah, ayo bertukar nomor.”

Berkata demikian, Sorata mengeluarkan handphonenya.

"Ya."

Suara Kanna sedikit meninggi. Sambil berusaha menahan ekspresi, dia mengambil handphonenya yang ada di dalam tas. Di handphone itu, terpasang hiasan gantung yang dibelikan Sorata kemarin.

Karena itulah Kanna tidak bisa mengeluarkannya dari tas. Rasanya aneh.

“Apa kau lupa membawanya?”

“Ti-tidak. Itu……….”

“Ah ~~ tidak mau memberitahu nomormu pada laki-laki?”

“Juga bukan. Dibandingkan dengan laki-laki lain, aku lebih percaya pada Sorata-senpai.”

Sambil menjelaskan, dia mati-matian berpikir harus melakukan apa, tapi pada akhirnya Kanna memutuskan untuk menyerahkan handphonenya dengan tenang.

“Ah, itu… ...aku tidak punya alasan lain.”

Beruang putih model ‘demon bear’ tergantung di sana.

“Kau langsung memasangnya.”

Sorata langsung menyadarinya.

“Ti-tidak boleh…?”

Dia berniat untuk berpura-pura tidak ada masalah, tapi dia sebenarnya merasa takut.

“Tidak, lebih cepat lebih baik.”

Sorata benar-benar terlihat senang. Dia gembira bahwa Kanna menyukainya.

Mengabaikan wajah yang bersemu merah, mereka bertukar nomor. 

Kanna mengubah nama alamat pemuda itu dari “Kandara Sorata” menjadi “Sorata-senpai”.

Dia merasa sangat gugup, padahal dia hanya memberitahu nomor handphone dan alamat emailnya. Jantungnya berdegup kencang. Tapi, saat dia melihat huruf-huruf yang menyusun “Sorata-senpai” yang tertera. alih-alih ketegangan yang tidak nyaman, tubuhnya merasa sedikit melambung.

Dia mengangkat wajah dari handphonenya, dan bertemu mata dengan Sorata. Gadis itu merasa kikuk dan segera mengalihkan mata. Sebagai gantinya, dia melihat ke sebelah Sorata, yang tidak ada siapapun di sana.

“... ….Boleh duduk di sebelahmu?”

"Tentu saja."

"Permisi."

Kanna duduk dengan perlahan kemudian memandangi permukaan air di kanal di depannya.

"Sorata-senpai"

"Hmm?"

Kata-kata berikutnya keluar secara alamiah.

“Kalau kau terus memperhatikan seseorang sepanjang waktu, apakah itu cinta?”

"Kurasa begitu."

Tidak terdengar nada kesal dari Sorata saat diajukan pertanyaan mendadak itu.

“Apakah itu juga termasuk setiap malam sebelum tidur dan terus memikirkan orang itu?”

"Menurutku ya."

Kanna mencuri-curi pandang ke arah Sorata. Pemuda itu memandangi kanal seperti Kanna. Akan tetapi, Kanna berpikir bahwa dia berbeda dari biasanya. Sorata memandangi kanal, tapi dia merasa kesadaran itu terarah ke suatu tempat lain.

Rasanya sesak. Mashiro. Nanami.

Karena itulah Kanna tidak punya pilhan selain terus berbicara mengajukan pertanyaan-pertanyaan agak tidak memikirkan hal-hal yang lain.

“Apa kau memikirkan orang lain sebelum pergi tidur setiap malam?”

"Aa."

Dengan suara tenang, Sorata melanjutkan sambil bangkit berdiri dengan perlahan.

“Bahkan sekalipun kau bertengkar hebat dengan orang itu, sekalipun kau merasa marah pada orang itu, sekalipun kau pikir tidak ingin melihat wajah orang itu lagi, sekalipun kau tidak ingin membicarakan orang itu, pada akhirnya jika kau terus memikirkan orang itu, itulah cinta.”

Dia terus mengatakannya pada Kanna.

“‘Orang itu’ yang Sorata bilang adalah Shiina-senpai?”

"... ...."

"Atau Aoyama-senpai?"

"..."

Sorata tidak menjawab. Tapi lebih baik untuk tidak menjawabnya, karena Kanna kini merasa cemas bahwa dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana gadis itu akan bereaksi jika sesuatu dikatakan.

“Aku tidak menyukai apa yang tidak kusukai.”

Tanpa menunggu balasan Sorata, Kanna memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan.

"Aku mengerti."

“Aku tidak bisa memaafkan lawan bertengkarku dengan mudah, itu akan berlangsung lama. Aku tidak ingin bicara dengan orang yang membuatku marah.”

"Itu sulit."

“Aku tidak suka orang yang melukaiku.”

"... ...."

“Jadi, saat aku mendengar apa yang Sorata-senpai katakan, aku merasa cemburu.”

"Cemburu?"

“Sekalipun kau bertengkar dan marah, masih tetap menyukai orang itu. Aku merasa ini luar biasa.”

“Benarkah?”

“Itu sedikit hipokritikal.”

“Mungkin begitu.”

Seulas senyum getir muncul di bibir Sorata.

“Tapi kurasa orang itu, entah baik atau buruk, masih bisa disukai oleh Sorata-senpai, adalah orang yang beruntung.”

Itu adalah niat yang sebenarnya dari lubuk hatinya. Yang mengecewakan adalah Kanna bisa melihat masa depan di mana mereka tidak bisa seperti itu……..

Kanna tidak bisa tetap tinggal di sini lebih lama. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang menjerit demikian. Kanna memutuskan untuk jeritan itu. Lari dari segala hal yang menyakitinya…….

“Yah, aku akan kembali ke hotel.”

“Mau kuantar ke hotel?”

“Tidak, tidak perlu, ada di dekat sini.”

"Hati-hati."

"Ya."

Saat bangkit berdiri, Kanna meragangkan tulang  punggungnya. Dengan melakukan hal itu, dia ingin berpikir bahwa semuanya telah diselesaikan dengan baik.

Menaiki tangga, dari kanal…. Dia meninggalkan Sorata.

Dia tidak bisa melihat sosok Sorata sekalipun membalikkan badan.

Dia berpikir untuk berkeliling Otaru sedikit saat malam dan melangkah ke depan dengan setiap perasaan itu. Ketika dia mengangkat wajah dan menatap ke depan, 

"Apa!"

Ada Iori yang bereaksi dengan buruk.

Tidak, tepatnya, Iori sedang bersembunyi di belakang lampu jalanan.

“Apa kau tidak capek mengintipi pemandian wanita dan menguntit?”

“Begitulah, tapi sekarang sudah gelap. Kalau terjadi sesuatu, aku merasa tidak enak saat tidur.”

“Kau, kau pikir aku ini anak kecil? Kau sangat kekanakan.”

“Walaupun kau bukan anak kecil kau adalah seorang gadis.”

"... ...."

“A-Apa kau salah ngomong?”

“Aku benar-benar kaget karena kau mengatakan sesuatu yang benar.”

“Oh, aku mengerti. Hei!”

“Jangan keras-keras. Aku tidak mau menarik perhatian.”

“Apa kau no-pan sekarang?”

Iori mengalihkan matanya ke sekitar agar tidak membuat kesalahpahaman.

“Kau bilang aku sebaiknya tidak bicara keras-keras.”

"Oh"

“...dan, aku mulai merasa hangat. Aku merasa ingin melepaskannya sekarang.” [TL : WHAT! THE! HECK!!! ARGHHHH!!!]

Hal-hal ekstra. Kelihatannya lebih membara daripada yang dia sadari.

“Oh, tenanglah. Bukannya terlalu mesum kalau benar-benar melepasnya di sini?”

“Pilih tempatnya.”

Apa yang sebenarnya Iori sedang bicarakan?

“Itu dia.”

Iori bersandar ke lampu. Wajahnya  tampan, jadi pose semacam itu sesuai untuknya. [TL : Mau ganteng kyk Lee Min Ho atau Benedict Cumberbatch pun, mesum is  a BIG NO-NO!!]

"Apa?"

“Kau suka Sorata-senpai?”

Tsu!

“... ...."

"Apa yang kau bicarakan, kau! I-itu tidak… ...tentang Sorata-senpai…”

“Sorata-senpai, walaupun sedikit aneh, tapi dia baik hati, orang yang baik. Aku mengerti perasaan itu~”

Iori kelihatan seperti meyakinkan dirinya sendiri, dan terus mengulang perkataannya sendiri.

“... ...Aku tahu itu, hal semacam itu.”

Bahkan sekalipun tahu rahasia Kanna, Sorata tidak begitu mempedulikannya. Bahkan sekalipun debut novelnya adalah buku harian saat SMP dan membaca isinya, tidak ada yang berubah di antara mereka. Kanna tadinya berpikir semuanya akan tamat kalau pemuda itu tahu, tapi Sorata menerimanya. Hanya Sorata satu-satunya yang bisa menjadi orang itu.

"Apa?"

“Kubilang, aku seharusnya lahir setahun lebih awal.”

“Memangnya, kau punya kepercayaan diri untuk menang dari Shiina-senpai dan Aoyama-senpai?"

Ini bukannya tentang menang atau kalah. Setidaknya dia dapat ikut serta dalam permainan ini.

Dia tidak bisa melakukan apapun terhadap perasaan yang mulai bersemi ini. Rasanya menyakitkan bahwa dirinya tidak punya pilihan selain mengambilnya. Bahkan penyesalan tidak akan tersisa. Sedih rasanya bahwa Sorata tidak menyadari dirinya. Orang luar tidak bisa melakukan apapun… …..

“Kalau terjadi seperti itu, aku tidak bisa bicara denganmu.”

“Yah, memang. Kau mungkin tumbuh lebih besar sedikit dalam setahun.”

Arah pandangan Iori tertuju ke dada Kanna tanpa keraguan. [TL : 😑💢]

Kanna pun mendekati Iori tanpa mengatakan apapun.

“Bisa tutup matamu sebentar?”

"Apa?"

‘Bagus, tutuplah.'

“Apa? Apa yang akan kau lakukan?”

“Hal baik.”

“Oke, kututup!”

Iori langsung menutup kedua matanya. Tidak lama kemudian, Kanna melancarkan tendangan kuat.

"Gyaaaaaaaaaaaaaa!"

Iori membungkuk, berjongkok di tempat. [TL : 😤👍]

Tidak menghiraukan, Kanna dengan cepat mulai berjalan menuju ke hotel.

“Tunggu, tunggu sebentar!”

Iori yang bangkit kembali, buru-buru mengejar.

“Kenapa kau bisa melakukan hal separah itu? Oh, apakah ini orang modern yang tidak mengerti rasa sakit orang lain, ya ‘kan?”

"Hei, kau."

"Apa?"

“Jangan mendekat dalam jarak 3 meter.”

Waspada dihajar sambil menatapinya, Iori melompat menjauh.

Setelah melihat hal itu, Kanna mulai berjalan lagi. Iori menyusulnya dari jauh.

Setelah berjalan sebentar, Kanna berhenti lagi.

"Hei."

"Ap, ada apa?"

“Jangan mendekat dalam jarak 3 meter.”

"Tidak, kok!"

“Tapi jangan menjauh lebih dari lima meter.”

"... ...."

“Sekarang sudah malam.”

Iori memperpendek jarak.

“Kira-kira segini?”

Jarak antara mereka sekitar 4 meter.

"... ...."

Kanna mulai berjalan lagi ketika Iori berdiri diam. Pemuda itu berjalan sambil menjaga jarak 4 meter. Langkah kakinya lebih besar daripada Kanna, langkah yang misterius dan ritmis. Itu terdengar nyaman di telinganya, dan sementara dia mendengarkan, dia merasa tekanan di dalam hatinya perlahan menjadi lebih ringan.

"Apa?"

Dia berhenti saat dipanggil.

“Apa ada sesuatu?”

“Bagaimana dengan area itu?”

Iori menunjuk ke sebuah gang yang sempit. Hanya ada sedikit yang lalu-lalang dan pencahayaan.

“Apa yang kau bicarakan?”

Kanna tidak memahami maksud Iori.

Kemudian, Iori memperlihatkan ekspresi serius.

Pantsu, lepaskan.” [TL : 😑💢]

Itu pun terucap.

Kanna terkejut dan tidak bisa mengatakan apapun. Dia penasaran kenapa Iori begitu bodoh. Bagaimana bisa manusia semacam ini dilahirkan? [TL : Nah, inilah pentingnya berhati-hati saat memilih pasangan dan rencana KB 😑]

“Bisa tolong tunggu?”

Kanna bersuara.

“Oh, OK. Kenapa aku tidak menunggu sampai kau melepasnya? Ja-Jangan gugup.”

“Karena ini memalukan, tutup matamu.”

“Aku tidak bisa melihatnya karena gelap.”

"Tidak, kumohon!"

“Oh, kau. Nah, jangan buru-buru!”

Meskipun suaranya penuh semangat, Iori memejamkan matanya.

Benar-benar mudah.

Kanna mendekati Iori. Dan orang yang sedang memejamkan matanya itu didekati tanpa menyadari apapun.

"Gyaaaaaaaaaaaa"

Kanna lagi-lagi menendang Iori yang tanpa pertahanan samping menjerit.

"AAAAAAAAAAA"

Jeritan Iori menggema di langit malam Hokkaido dengan mulus.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya