Jangan Pernah Melakukan Kesepakatan Dengan Seekor Naga (Bagian 2)

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


Ini adalah realita: Satu gadis manusia kecil sedang kesulitan untuk meraih inisiatif.

Rahang naga terbuka. Priestess bahkan dapat melihat cahaya menyilaukan yang melayang di balik taringnya. Cahaya itu mengartikan kematian jika dia tidak dapat menghindarinya. Carilah sebisamu, seseorang tidak akan mendapatkan apapun di seluruh tempat pada empat sudut dunia yang dapat menghentikannya. Itu akan membakar amor pahlawan, menghitamkan dinding putih kastil—benar, jika itu tidak melelehkan dindingnya.

Keringat mengucur pada dahi Priestess. Tangannya bergetar. Bahkan di sini di depan naga, dia berusaha untuk merajut kalimat doanya menjadi satu…

“O Dilophosaur, walaupun palsu, berkahi nafas hamba dengan miasma dari dalam tubuh anda!”

Sebelum Priestess dapat mengeluarkan kalimatnya, sebuah sosok besar melompat ke depannya dengan kelincahan hewani. Lizard Priest menghirup nafas sebesar dia mampu, kemudian melepaskannya dengan segenap tenaganya. “Kaaaaaahhhh!”

Nafas naga itu beradu dengan hembusan nafas membara Lizard Priest.

Awan menyengat nan menyilaukan membesar di keseluruhan reruntuhan lebih cepat dari Angin Merah Kematian. Lizard Priest menghadapinya secara langsung, namun bahkan dia-pun tidak unggul di sini. Dia terdorong perlahan, perlahan namun pasti terdorong ke belakang, sisik mencair dan terjatuh dengan racun. “Nrrrgh…!”

“Tidak, hentikan…!” Kali ini Priestess tidak terlalu terlambat. Dia bergegas menuju panas membara, meletakkan tangannya pada punggung Lizard Priest, menghiraukan panas yang membakar kulit telapak tangannya, dan berdoa. O Ibunda Bumi yang maha pengasih, ulurkanlah tanganmu pada luka anak ini!”

Anugerahilah berkah Ibunda Bumi kepadanya!

Menggunakan Protection mungkin akan membuat dirinya kehilangan nyawa. Dia memikirkan bagian dari performa gadis penari itu. Namun kekuatan apa lagi yang lebih pantas dari Ibunda Bumi untuk melawan racun naga yang menodai lahan ini? Menjawab dari doa tulus dari pengikutnya yang taat adalah keajaiban ilahi yang melindungi dan menyembuhkan tubuh besar sang lizardman. Kulit yang tampak seperti akan meleleh dari tulang, dengan segera kembali sembuh, dan lizard Priest kembali berdiri kokoh di lantai.

“Ha-ha! Dibandingkan dengan Fusion Blast dari leluhur saya, ini tidaklah ada apa-apanya!”

Ketika asap dari nafas naga menghilang. Lizard Priest masih berdiri dengan bangga, bersiap untuk hembusan berikutnya. Sang gadis yang berjuang keras untuk menyelamatkan nyawanya, dan semua rekannya, berada di belakang Lizard Priest. Kalah—kematian tidak membawa kehidupan—adalah sebuah keadaan yang memalukan bagi seorang lizardman. Dan juga tidaklah pantas untuk menggunakan senjata dan perlengkapan untuk melawan musuh kuat seperti ini. Lizard Priest memamerkan cakar, taring, dan ekornya seraya dia bersiap untuk melawan sang naga, dan meraung : “O Brontosaurus aneh nan bangga, berikanlah hamba sepuluh ribu kekuatan!”

Kemudian dia menyerang musuh dengan teriakan hewani, cakarnya menyayat ke depan, berhadapan dengan cakar naga merah.

Namun bahkan ini pun tidak akan bertahan lama. Kekuatan leluhurnya tidak akan bertahan selamanya, makhluk yang ada di depannya ini mungkin memang masih muda, namun dia tetaplah seekor naga. Bahkan seorang lizardman tidak dapat menahannya.

Priestess, bertekad untuk tidak membuang waktu yang diulur oleh Lizard Priest, mencoba untuk bernafas tenang seraya mundur ke belakang. Mungkin keajaiban terakhir itu telah banyak menguras tenaganya, atau mungkin ini disebabkan oleh nafas sang naga, namun pengelihatannya tampak buram; sekelilingnya tampak begitu gelap. Dia kesulitan untuk menarik udara ke dalam paru-parunya. Lengan dan kakinya mati rasa, dan dia tersandung pada beberapa langkah terakhirnya.

“GOOROOGGBBB!!” Dari cara goblin terkekeh-kekeh walaupun goblin itu kemungkinan tidak mengetahui apa yang terjadi, membuat Priestess semakin kesal. Meremas tongkat, mata penuh air mata, Priestess masih sanggup menatap monster itu dengan lototan. Dia tidak menangis karena takut. Hanyalah sekedar cara tubuhnya merespon seraya dia berjuang melawan sakit.

Bagaimana mungkin dari takut? Aku nggak takut.

“Kamu nggak apa-apa?!” High Elf Archer berteriak kepada Priestess, melompat turun dari salah satu pilar dan berlari menuju Goblin Slayer dan Female Merchant. Dia terus menembak seraya dia berusaha mengulur waktu agar mereka dapat berdiri dan membantu Lizard Priest kembali. Namun panah bermata kuncup itu memantul pada sisik sang naga, dan tembakan yang berhasil menempel, tentunya tidak melukai monster itu sama sekali. Dia bisa saja mencoba membidik goblin itu, namun setiap kali sang naga mengepakkan sayapnya, panahnya terhempas menjauh. Sang goblin sangat yakin bahwa dengan menarik tali kendali inilah yang menyebabkan hal itu, dan dia terlihat begitu terhibur pada dirinya sendiri…

High Elf Archer mengeratkan giginya dan berputar kepada Dwarf Shaman. “Apa kamu nggak punya semacam sihir dwarf untuk di saat seperti ini?!”

“Stupor, Sleep… Dia terlalu besar untuk sihir yang ku miliki!” Dwarf Shaman membalas, sebuah jawaban rasional yang mematahkan semangat. Satu tangannya berada di dalam tas katalisnya, namun dia tidak meluncurkan Stone Blast, hanya mengamati pemandangan pertarungan. Dia mengerti bahwa jika petir tidak dapat menghentikan makhluk ini, maka mantranya sendiri tidak akan mampu menembus pertahanannya.

Cara bagaimana dia memilih beberapa mantra terakhirnya akan dapat menentukan takdir party ini. Seseorang yang hanya merapalkan apapun yang muncul di kepalanya tanpa mempertimbangkan konsekuensinya, tidak akan dapat bertahan hidup dengan lama.

“Bisa saja membuat goblin itu tertidur, tapi kalau naganya bergerak, goblin nya bakal bangun lagi. Sayangnya mantra ini nggak bisa membuat mereka berdua tertidur bersama.”

“Kalau begitu tidurkan naganya?!”

“Si goblin pasti bakal menghajar si naga dan membangunkannya!”

Kalau begitu, apa yang harus dilakukan?

Goblin Slayer mengerang dari panas pada punggungnya, namun secara perlahan bangkit. Naga itu mungkin baru saja terbangun, namun tampaknya tidaklah cukup murka untuk sampai membakar hartanya sendiri; Goblin Slayer tidak tampak memiliki luka pada tangan dan kakinya. Sakit adalah bukti seseorang masih hidup, seseorang yang dapat bergerak. Tidak ada masalah.

“Kamu nggak apa-apa?”

“A-aku minta maaf…” Female Merchant berkata dengan suara kecil yang bergetar. Dia masih meringkuk, tubuhnya tegang, rambut pendek, pakaian sempurna dan rapier pada pinggul tidak menunjukkan tanda terbakar. Masternye telah memberi tahu Goblin Slayer bahwa berada di antara ledakan atau api dapat berdampak besar pada tubuh manusia, dan tampaknya dia benar. Secara pribadi berterima kasih kepada masternya dari dalam lubuk hatinya, Goblin Slayer memegang lengan Female Merchant dan menariknya berdiri.

Mereka tengah bertarung dengan naga, dan mereka masih belum kehilangan siapapun. Dia berpikir bahwa ini adalah pekerjaan yang bagus bagi seseorang yang dungu seperti dirinya. Namun tentu saja, bukan berarti dia telah melakukan semua yang bisa dia lakukan.

“Tapi selalu ada ruang untuk kesalahan…” Dia menggeleng kepala berhelmnya, memaksa dirinya untuk fokus dan kemudian mengamati situasi. Lizard Priest tengah manahan naga merah, namun ronde nafas berikutnya mungkin akan membuat sang lizardman kewalahan. Goblin Slayer menduga satu-satunya alasan mengapa mereka masih hidup adalah karena sang naga masih terkantuk.

Sang naga nggak melindungi goblin itu, dia menyimpulkan. Tidak ada seekor naga-pun yang dapat dikendalikan oleh goblin. Setidaknya selama tidak ada goblin yang memiliki darah naga di dalam nadinya, namun hal konyol seperti itu mustahil untuk ada. Dengan itu, hanya ada satu penjelasan. Naga itu berusaha untuk menjatuhkan si goblin.

Ya, itu dia. Sang naga baru saja terbangun, masih kesal dan semacamnya, ketika seekor goblin melompati punggungnya.namun bukan berarti mereka dapat pergi membiarkannya sendiri atau berusaha melarikan diri. Di kala sang naga sudah tersadarkan sepenuhnya, naga itu akan menghantam sang goblin, membunuh semua petualang, dan meraung lantang. Dan makanan berikutnya akan menjadi para wanita yang telah diselamatkan dari lahan pengembang-biakan goblin.

Dengan kata lain, seperti biasa, goblin adalah akar dari seluruh masalahku.

“Kalau aku membunuh goblinnya, apa kamu bisa membuat naganya tertidur?”

“Setidaknya aku bisa mencoba!” Dwarf Shaman menepuk dadanya.

“Baguslah.”

Goblin Slayer mengangguk. Stamina mereka secara keseluruhan telah berkurang. Mereka masih memiliki beberapa mantra lagi. Dia telah kehilangan senjatanya. Dia memiliki rekan. Mantan tahanan di belakangnya. Musuhnya adalah goblin. Situasi ini sangat genting.

Tapi memangnya kenapa?

Dia seperti hampir dapat mendengar suara dadu berguling di surga. Dia mengerang pelan. Namun dia tidak mempedulikannya.

Sekarang tinggal masalah lakukan atau nggak lakukan.

Dia mengeluarkan stamina potion dari kantung peralatan di pinggul, membuka tutup dan menuangkannya ke dalam celah helm dalam sekali teguk. Adalah lebih baik dari tidak sama sekali. Dia membuang botol ke samping, kemudian melepaskan kantung peralatan dari sabuknya.

“Kamu tahu cara menggunakan ini kan?”

“Huh? Oh…!”

Dia melempar kantong itu kepada Priestess, yang terkejut namun berhasil menangkapnya.

Perlengkapan pria itu: dia mempercayakannya kepada Priestess.

Priestess merasa hal ini telah memberikannya tenaga.

“…Baik, pak!”

“Kalau begitu, tolong jaga.”

Priestess mengangguk enerjik; Goblin Slayer memegang sigap pundak Female Merchant dengan sarung tangan kasarnya. Gadis itu menegang. Gadis muda itu terlihat gundah—apakah dari kecemasan? Takut, mungkin? Mata gadis itu tampak bimbang, namun Goblin Slayer menatap kedua mata itu dari dalam helmnya.

“Aku akan membunuh semua goblin. Itu belum berubah.”

Female Merchant menelan liur. Dia mengepal tangannya yang masih bergetar. Kemudian dia mengangguk. “Baik, aku mengerti.”

“Bagus.

Semua baik-baik saja. Apa yang harus dia lakukan selanjutnya sangatlah jelas. Dia akan membunuh goblin. Yang perlu dia lakukan hanyalah berfokus dengan itu. Goblin Slayer melihat Lizard Priest yang bertarung dengan naga dan kemudian menoleh kepada seluruh partynya. “Aku akan melakukannya sekarang. Dukung aku.”

“Melawan naga! Ini baru menarik!”

“Goblin Slayer dan High Elf Archer mulai bergerak bersama, menghamburkan koin emas di lantai seraya mereka berlari. Namun sang high elf dengan cepat menyalip sang manusia, melompat dari satu pilar ke pilar berikutnya, mencari bidikannya.

High Elf Archer menarik tiga panah. Kemudian  melepaskannya secara beruntun. Panah itu terbang lebih cepat dari kecepatan suara, melesat menuju mata naga, tenggorokannya, dan goblin di punggung naga iyu. Namun tak satupun dari panah itu yang dapat menembus pertahanan naga. Bagi seekor naga merah, panah kecil dan goblin tolol ini hanyalah mengganggu seperti lalat. Makhluk itu bergerak kesal, dan panah terpantul dari sisiknya dengan suara klak-klak-klak kering.

Andai saja aku punya lembing angin dan panah hitam tempaan dwarf sekarang…! High Elf Archer berpikir, sebuah hal menjengkel bagi seorang elf untuk dipikirkan. Dia mengkompensasi kejengkelannya dengan berteriak, “Apa yang kamu lakukan di bawah sana dwarf?!”

“Ribut, aku punya caraku sendiri untuk menangani sesuatu!” Dwarf Shaman membalas dengan percakapan biasanya. Namun keringat tengah mengucur dari dahi, dan konsentrasinya terkuras.

Dia sedang berusaha untuk merapalkan mantra pada seekor naga. Adalah pertaruhan hidup atau mati. Jika dia tidak menggunakan apapun yang dia miliki pada saat ini, kapan lagi?

Whoosh. Partikel pasir melompat dari lantai seraya angin berhembus berlalu, dan telinga High Elf Archer menjentik.

“Hnrr…rrrgh…ghhh!” Keajaiban Partial Dragon masih berefek, namun darah mengalir dari tubuh Lizard Priest. Walaupun begitu, dia tertawa lantang seolah dia benar-benar menikmati ini, hal gila ini; dia berhadapan dengan musuhnya, namun ini tidak akan bertahan lama. Naga merah membuka rahangnya lebar, menghirup udara masuk ke dalam paru-parunya kembali.

Nafas naga!

Jika mereka terkena oleh salah satu hembusan monster itu lagi, tidak satupun dari mereka akan yang bisa selamat. Daging mereka akan membusuk dari tulang dalam panas dan racun, dan mereka akan mati di tempat mereka berdiri. Dalam hal ini, seorang high elf—keturunan peri yang telah hidup dalam keabadian—tidaklah berbeda dari mereka. High Elf Archer merasakan takut akan kematian yang mendekat, seperti apa yang dirasakan partynya. Akan tetapi, dia tidak lari, melainkan menarik panah lain di dalam busurnya dan menarik ke belakang senarnya. Dia harus membidik. Membidik pada—

“Rahangnya!” Lizard Priest meraung. “Gigitan kami sangat kuat, namun otot yang menggerakkan rahang kami sangat lemah!”

“Itu dia! kalau begitu…bersiaplah!” High Elf Archer menatap langit, kemudian melepaskan panah dengan segenap kekuatan yang dia miliki.

Di kala panah itu terlepas, dia mulai berlari, melintasi angin, menuju cahaya menyilaukan pada rahang naga—dia tengah menuju tepat di bawahnya. Bahkan seraya dia merosot dan berputar, panah berikutnya sudah berada di tangannya. “Terima ini!” dia berteriak, menembakkan panahnya tepat ke atas. Seperti yang dia rencanakan, panah itu menancap pada rahang bawah dari sang naga.

Tiba-tiba, kepala panah berubah dari sebuah kuncup, menjadi sebuah bunga dan kemudian sebuah biji. Pada saat yang sama, panah yang dia tembakkan dari atas datang menghujani bagaikan sebuah bintang jatuh, menghantam rahang atas dari sang naga.

Rahang itu terhantam hingga tertutup, dan sebuah ledakan mulai terbentuk di dalam mulut makhluk itu.

“GOORGBB?!” sang goblin yang berada pada pada punggung naga menjerit seraya dia terkena dengan api yang berasa dari mulut makhluk itu. Sang goblin menarik keras pada talinya.

Sedangkan untuk sang naga, adalah mustahil baginya untuk bisa terbunuh oleh apinya sendiri; bahkan racun pada nafasnya tidaklah fatal baginya. Namun goblin pada punggung sang naga yang begitu percaya diri bahwa tidak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya? Dia adalah cerita yang berbeda.

“GOROGBB?! GOOROOGBB?!?!”

Goblin Slayer melihat semua ini seraya dia berlari lurus mengarah sang monster. Dia tetap berlari rendah, menghindari puing-puing yang berterbangan dan harta yang terhambur oleh sang naga. Tiba-tiba dia mendapati dirinya sendiri mengingat cerita dari seorang raja legendaris yang pernah diceritakan kakaknya.

Helmnya sangat menyesakkan, perisainya terlalu berat---kan?

Sang raja menantang, bukan naga, melainkan seorang dewa. Goblin Slayer berharap dia memiliki secuil dari keberanian itu.

Dia meremas perisai nya dan, tanpa ragu, membuangnya ke samping. Apa yang dia butuhkan adalah kecepatan dan kelincahan. Namun dia tidak akan melepaskan helmnya. Walau dengan apapun yang menghalangi pandangannya, dia tidak dapat mengambil resiko kemungkinan matanya terkena sesuatu pada saat seperti ini.

Dia hanya mempunyai satu  tujuan. Untuk membunuh goblin. Dan bagaimana dia melakukan itu? Dan kantung pepatahnya, dia memiliki semua yang dia perlukan.

 Goblin Slayer meraih sebuah pedang dari dalam tumpukkan jarahan, sebuah pedang yang diperkuat yang dia tidak ketahui namanya. Menjawab seorang warrior yang mengambilnya setelah sekian tahun tertidur, pedang ini bersinar berwarna emas.

“Sekarang…!”

Para gadis bergegas beraksi. Mereka memperhatikan pertarungan, mencari kesempatan, dan jika mereka tidak bergerak dengan cepat, tentunya mereka harus bertindak secara presisi.

Female Merchant melompat ke depan naga, mengayunkan tangannya membentuk lambang sihir. Dahulu sekali, para pemberani besar telah menggunakan mantra ini untuk mengalahkan penyihir jahat dan mengirim demon kembali ke neraka tempat mereka berasal. Jika ini berhasil  pada naga ini, dia mengatakan pada dirinya sendiri, berfokus kepada musuhnya di antara semburan rasa takut dan padangan yang buram karena air mata.

“Bersama sekarang!” dia memanggil Priestess yang tiba di sampinya. Tas yang berada di tangannya. Perlengkapan yang dia terima dari masternya yang sangat dia hormati. Dia tahu apa yang harus dia lakukan untuk mengeluarkannya. Hal yang sama pernah terjadi yang pernah menyelamatkan nyawanya sendiri.

“Baik!” Priestess mengangguk kepadanya. Kemudian mereka menghitung, satu, dua…!

“Tonitrus! Oriens! Iacta!”

“Yaaaaahhhh!!”

Seraya listrik ungu tertembak dari tangan Female Merchant, Priestess melempar sebuah botol. Petir tersebar ke segala arah. Botol menghantam wajah naga dan pecah mengeluarkan sebuah cairan hitam mengerikan. Sang naga meraung. Tidak lama setelah botol pecah, api pun terpicu. Benda yang bernama : Merdea Oil, Bensin, api Iranistan. Singkatnya…

“Air api!”

Bahkan seekor naga besar pun tidak dapat membiarkan api di matanya dan tersambar petir secara langsung. Dengan raungan seperti instrument senar yang dipetik dengan membabi buta, naga itu mengayunkan leher besarnya. Tentu saja, tidak memperhatikan apapun yang berada di belakangnya.

Goblin Slayer tidak melewatkan kesempatan nya. “Hrrah!”

Dia telah berlatih ini. Pijakannya pasti. Bidikannya tepat. Dia dapat merasakan beban dari pedang di tangannya. Sekarang yang dia harus lakukan adalah melempar.

Petualang yang bertajuk Goblin Slayer mengambil sebuah pedang sihir yang tak bernama dan melempar sekuat yang dia bisa. Kita tidak dapat mengetahui siapa yang menempa pedang ini, namun tentunya mereka akan senang untuk mendengar takdir dari pedang ini. Setelah terbengkalai secara sia-sia di dalam tumpukkan harta sang naga selama bertahun-tahun, pedang ini akhirnya dapat mengenal pertarungan kembali, mengenyahkan perasaan tidak puas yang masih tersisa tentang keberadaannya.

Apakah di gunakan untuk melawan seekor naga merah atau hanya seekor goblin, untuk melayani tuannya secara setia adalah kebanggan sebuah senjata.

Terdapat kilauan emas layaknya pagi hari, seolah matahari sedang terbit di sini dan sekarang. Pedang sihir itu menjadi sebuah sinar cahaya, menembus leher goblin seperti taring yang kelaparan, mengoyak tenggorokannya. bahkan hingga akhir ajalnya, sang goblin rider tidak menyadari bahwa dirinya telah mati.

Kepalanya yang terpenggal masih meracau seraya kepalanya terguling dari mata pedang yang menancap di salah satu pilar batu.

“Sebuah kematian yang cukup megah bagi seekor goblin.” Goblin Slayer meludah seraya sisa dari tubuh goblin merosot jatuh dari punggung naga. Apa yang terjadi berikutnya di luar dari tangan Goblin Slayer. Namun dia percaya.

“Sandman, Sandman, kerserakan napas, kerabat dari tidur mati keabadian. Sebuah lagu yang kami tawarkan, jadi ambilah pasirmu dan mimpi kami yang sekarang berada di tanganmu.”

Dia sangat percaya bahwa pembaca mantra yang paling ahli yang dia kenal tidak akan salah pada momen seperti ini.

Ketika Dwarf Shaman merobek secarik kertas dan menebarkannya, pasir di sekitar mereka mulai berputar sekali lagi. Pasir itu berputar membentuk pusaran dan takjubnya, dengan segera menelan naga merah. Tubuh besar makhluk itu miring ke satu sisi.

Cakar tidak dapat menggoresnya, panah tidak dapat menembusnya, petir tidak dapat melukainya, api tidak dapat membakarnya. Namun sekarang, naga ini, goyah seperti pohon besar di dalam badai—dan kemudian terjatuh, seolah seperti tersedot kembali ke dalam lubang di mana dia muncul. Terdapat sebuah benturan dari dalam bawah tanah, sebuah gempa, seolah membukti bahwa naga ini telah lenyap.


Naga merah terkalahkan. Para petualang telah di paksa hingga penghujung stamina mereka dan akhirnya berhasil menidurkan makhluk itu.

*****

“…..”

Mereka semua berdua berdiri namun dengan di papang, napas mereka berat. Mereka semua mencoba untuk mengamati situasi. Mereka tidak dapat melihat naga itu lagi, dan mereka mendengar suara ngorok lembut, namun entah mengapa ini masih tidak terasa nyata.

Bahkan seraya mereka mengakui pencapaian mereka, mereka masih tidak merasakan kejayaan atau kegembiraan. Mereka semua berlumur dengan jelaga dan asap hitam. Aroma dari sulfur dan miasma menempel pada mereka, dan kepala mereka sakit. Kulit mereka sangatlah kering dari paparan hawa panas, mata dan tenggorokan mereka terbakar. Beberapa dari mereka sangat ingin melompat ke dalam sungai saat ini juga. Sedangkan yang lain ingin sekali meminum anggur.

Sedangkan untuk Goblin Slayer, dia hanya ingin pulang. Pergi pulang dan memakan rebusan dan tidur.

Atau mungkin dia sedang bermimpi sekarang. Dia hampir tidak dapat mempercayai bahwa hal seperti ini benar-benar terjadi padanya. Ini persis sekali seperti khayalan konyol anak kecil.

“Ah…”

Kemudian tersadarkan olehnya. Dia merasa tersesat sebelum pertarungan ini, sebuah perasaan yang benar-benar menghilang di tengah pertarungan. dia mengambil sebuah sisik merah yang terkoyak selama pertarungan, namun ketika dia bergerak untuk memasukkan ke dalam pinggilnyam dia teringatkan bahwa dia tidak memiliki kantungnya.

“…Ini.” Priestess berlari mengarahkan dan memberikan kantung itu kepadanya dengan senyum lelah.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?”

“Hadiah,” Goblin Slayer berkata.

Dia sama sekali tidak memiliki niatan untuk mengambil sedikitpun dari harta sang naga. Konon katanya, jika kamu mengambil sekeping koin emas saja dari harta sanga naga, naga itu akan mengejarmu hingga ke dalam kuburan untuk mengambilnya kembali. Bahkan ada sebuah dongen akan sebuah lahan di mana seorang pengikut dari anggota majelis telah mencuri sebuah cangkir dan berujung terbakar oleh seekor naga, yang membuat sang raja tua menghancurkan cangkir itu sendiri.

Terlebih, walau—Goblin Slayer tidak memiliki niatan untuk mengambil harta. Dia sudah merasa terpuaskan. Dia mengetahui dari pengalaman bahwa memberikan hanya uangnya akan membuat gadis itu marah.

“Dia nggak mempunyai permintaan tertentu—namun untuk yang lainnya, aku nggak bisa menentukan apa yang harus ku lakukan.”

Hanya itu yang dibutuhkan. Kalimat itu memutus ketegangan di antara partynya, dan tiba-tiba mereka semua menjadi santai. Yang pertama yang melepaskan napas tajam dan mencondongkan tubuhnya ke belakang ke dalam pasir adalah High Elf Archer. “Apa kita hidup? Kita memang  hidup, kan? Aku sulit mempercayainya.”

“Ya, kita hidup, ‘Bagai telur di ujung tanduk’ saya percaya seperti itulah pengungkapannya.” Lizard Priest terdengar begitu santai—dan anggukan yang dia berikan benar-benar terpuaskan. Kekuatan dari leluhurnya telah menghilang dari tubuhnya, dan darah tampak menetes dari tubuhnya, namun dia terlihat hampir senang dengan ini, membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya untuk berterima kasih kepada leluhurnya. “Saya tidak dapat membayangkan bahwa seseorang yang begitu kecil dan lemah seperti saya pribadi, telah di berkahi dengan kesempatan untuk melawan seekor naga!” Masih menyeringai, dia mulai merapalkan doa penyembuhan.

High Elf Archer menjawab itu “Oh yeah, dia masih punya satu keajaiban lagi ya?”

“…Apa menurutmu ini membuat kita menjadi pembasmi naga?” dia bertanya setelah beberapa saat.

“Lebih tepatnya penidur naga,” Dwarf Shaman berkata, duduk dengan berat. “Nggak terdengar, uh, keren.” Dia terdengar masam tentang ini. “Mana mungkin kita bisa mengalahkan seekor naga dengan bertarung seperti itu.” Dia meludah. Dia memutar kendinya di atas mulutnya, menjilat titik terakhir dari anggurnya. “Apalagi saat kita pulang, aku harus membuat sebuah lagu tentang petualangan ini. Tuhan, bikin kepalaku jadi sakit…”

Dia berlanjut untuk mengeluh. Inilah mengapa dia benci bergantung kepada sandman.

“Butuh bantuan?” High Elf Archer menawarkan, namun Dwarf Shaman mengendus, “Nggak butuh.”

Dalam sekejap, mereka-pun kembali memulai perdebatan klasik. Priestess, mendapati suara akrab ini sangat membuat dirinya terkantuk, dan sedikit menguap.

“Aku…lelah.” Ucap Female Merchant, duduk seolah kakinya tidak dapat bergerak. Dia mungkin tidak memiliki tenaga untuk berdiri. Kelelahan tampak menjadi penjelasan yang lebih baik dengan apa yang mereka rasakan. Priestess, merasakan simpati dengan Female Merchant, duduk di sampingnya. keseluruhan tubuhnya terasa berat, dia menguap lagi. “Aku juga.”

“Ayo tinggal setidaknya sehari di kota,” Female Merchant berkata, setelah bergumam pada dirinya sendiri. “Ya, itu ide bagus. Kita bisa mandi. Aku akan mandi.”

Priestess menyengir dan mengangguk kepadanya. Seraya mereka duduk berdampingan, kepala mereka saling bersandar satu sama lainnya. Mereka tidak dapat duduk tegak lagi. Mereka saling bersandar, dan kehangatan Female Merchant membuat Priestess semakin mengantuk.

Mungkin para sandman masih…di sini…

Nguap ketiga di iringi dengan pikiran itu. Seraya dia menggosok kedua matanya, dia mendengar Lizard Priest tertawa. “Setelah goblin, seekor naga. Siapapun komandan musuhnya, mereka memilih cara yang buruk untuk melakukan sesuatu.”

“…?” Priestess, tidak memahami, membuka mulutnya untuk bertanya apa yang dia maksud.

“Ini adalah peringatan dari Zaman para Dewa.” Jawaban ini datang dari Goblin Slayer, sibuk mengosongkan isi dari botol airnya ke dalam helm. “Masterku dulu pernah mengatakannya padaku.”

Konon, seseorang tidak boleh menggunakan “bidak” bagus setelah bidak jelek.

“Tampaknya ketika kamu sudah terkalahkan, kamu tidak boleh menggunakan senjata pamungkas mu.”

Itu masuk akal. Priestess mengangguk. Dia tidak memahaminya secara keseluruhan, namun ini cukup masuk akal. Pemikirannya tidak cukup jernih; pikiran tanpa konteks menyembul dan kemudian lenyap menghilang.

Suatu hari, seekor naga.

Dia mengingat wizard berambut merah mengatakan sesuatu seperti itu. Bukan para elf. Seseorang yang lebih akrab—hanya sekali.

Bocah dengan sebuah pedang. Gadis berambut hitam. Mereka tidak memiliki waktu untuk saling mengenal satu sama lainnya, akan tetapi ucapan itu masih tetap di katakan. Ucapan itu menjadi semacam janji, semacam keinginan, semacam harapan.

“Peringatan? Aku tahu satu peringatan juga.”

Suatu hari. Suatu hari, tentunya. Namun tidak sekarang…

“Jangan pernah melakukan kesepakatan dengan seekor naga.”

Untuk saat ini, masih terlalu cepat untuk pembasmian naga.



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya