Harga yang Harus Dibayar untuk Meminta Maaf
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Kaede sudah menunggu Sakuta pulang sejak tadi, dan membutuhkan waktu lima belas menit untuk menjelaskan situasinya agar dia tenang. Lalu, hal yang sama juga terjadi pada Mai yang sudah menunggu lima belas menit sebelumnya. Supermarket yang mereka tuju berada di dekat stasiun, perlu berjalan kaki selama sepuluh menit dan saat mereka tiba di sana, waktu menunjukkan pukul 10 malam lewat.

Supermarket ini tutup pukul 11, jadi sebelum itu tiba masih ada sebagian orang yang berbelanja. Kebanyakan dari mereka adalah seorang pria muda dengan memakai setelan jas. Kemungkinan para bujangan yang mampir setelah pulang bekerja.

Sakuta berbelanja di supermarket ini biasanya tetapi tidak pernah datang selarut ini. Hal ini menjadi pengalaman baru baginya.

Dan perasaan itu diperkuat dengan fakta kalau ia tidak datang sendirian. Karena yang menemaninya adalah si Mai Sakurajima.

Mai berjalan di depannya, memilih belanjaan. Sakuta dengan senang hati mendorong keranjang belanja di belakangnya. Ia tidak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya.

“Kita terlihat seperti pasangan serasi.”

“Apa katamu?” tanya Mai sambil melihat wortel yang sedang dipegangnya.

“Bukan apa-apa.”

“Yah, tidak masalah. Lagi pula, tidak ada yang dapat melihatku di sini.”

Jadi, dia mendengar omonganku tadi.

“Ini pertama kalinya Aku menginap, dan kau bahkan akan memasak makan malam untukku.”

“Semakin lama kau berkhayal, kau akan terlihat semakin bodoh.”

Mai kembali meletakkan wortel yang dipegangnya ke tempat sebelumnya.

“Oke, Aku punya pertanyaan serius.”

“Hmmm, harus sekarang?” Mai sepertinya berpikir kalau sekarang bukan waktu yang tepat.

“Jadi wortel yang tadi kau pegang. Seperti apa kelihatannya bagi orang lain yang tak bisa melihatmu? Apa wortelnya melayang?”

“Mereka juga tidak bisa melihatnya,” ucapnya. Rupanya, dia pernah melakukan hal yang sama. Dia mencoba menunjukkannya dengan mengayunkan wortel tersebut di depan wajah seorang pekerja kantoran. Hasilnya, pekerja kantoran tersebut tetap diam saja.

“Lihat?”

“Kurasa kau benar.”

“Aku mencoba menaruh semua belanjaan ke dalam keranjang dan membawanya ke kasir, tapi sia-sia saja. Maksudku, kita juga tahu kalau orang lain tidak bisa melihat pakaianku.”

Benar sekali. Masalahnya bukan hanya tubuhnya saja yang menjadi tidak kasatmata.

“Mungkin semua yang kusentuh menjadi tidak terlihat.”

“Kalau begitu, seluruh permukaan bumi akan menjadi tak terlihat.”

“Pemikiranmu terlalu besar.”

“Aku adalah seorang pria yang ditakdirkan untuk segala sesuatu yang besar.”

“Ya, baiklah,” balasnya acuh.

“Tapi, uh, jika kau menyentuhku, lalu apa yang terjadi?”

“Maksudmu, kau ingin berpegangan tangan denganku?”

“Tidak, cuma sebagai percobaan.”

Jika yang Sakuta inginkan adalah sebuah sentuhan, maka hal itu sudah terjadi sebelumnya. Seperti saat Mai mengunjungi apartemennya, dia menyentuh bekas luka di dada Sakuta. Bahu mereka juga saling bersentuhan saat di kereta, dan juga ketika Sakuta bercanda tentang Mai yang bisa hamil dengan bersentuhan.

Tetapi tidak satupun dari hal tersebut membuat Sakuta menjadi tidak kasatmata. Tampaknya belanjaan yang Mai masukan ke keranjang akan menjadi kasatmata ketika sampai ke kasir.

Apa yang Sakuta ingin ketahui adalah apa yang terjadi saat Mai menyentuhnya dengan tangan.

“Kalau alasanmu begitu, Aku tidak mau melakukannya.”

Dia berbalik, lalu berjalan menuju tempat daging.

Sakuta memanggilnya sambil memperhatikan reaksinya. “Sebenarnya Aku berusaha untuk menyembunyikan rasa maluku. Aku benar-benar ingin memegang tanganmu.”

“Lalu?” tanyanya sambil tersenyum.

“Apa kau bersedia menjadi wanita pertama yang kupegang tangannya?”

“Sedikit menjijikan…tapi baiklah.”

Mai membolehkannya berjalan secara berdampingan. Sakuta merasakan hangat dari tubuh Mai menyentuhnya. Lalu, Mai merangkul tangannya di lengan Sakuta.

Karena terkejut, hatinya berdebar kencang.

Mai cukup tinggi sehingga wajahnya hanya sekilas terlihat. Mai sangat dekat hingga Sakuta merasa kalau ia bisa menghitung bulu mata Mai.

“……”

Semakin lama Mai merangkul Sakuta, membuatnya semakin sadar kalau sebagian dada Mai menyentuh tangannya. Ia mengetahui banyak hal tentangnya ketika Mai mengenakan pakaian bunny girl tersebut, dan ukuran dadanya sesuai untuk seseorang yang memiliki perawakan ramping seperti dirinya. 

Dan aroma tubuhnya yang harum membuat pikiran Sakuta melanglang buana tidak terkendali.

“Kau sedang memikirkan sesuatu yang kotor, kan?”

“100 kali Jauh lebih kotor dibandingkan yang kau bayangkan,” Sakuta mengaku.

Mai melepaskan dari rangkulannya.

“Tapi kau sudah dewasa, jadi hal itu tak akan mengganggumu,” timpal Sakuta.

“Ya. Seorang pria yang lebih muda dariku sedang berfantasi seksual tentangku itu bukan a-apa-apa.”

Karena keras kepala, Mai merangkul tangan Sakuta lagi.

“Ahhh!”

Bahkan, Sakuta tahu kalau suara yang dibuatnya terdengar aneh.

Seorang pekerja kantoran memandanginya dengan curiga. Mata mereka bertemu. Ia jelas dapat melihat Sakuta. Tetapi sepertinya ia tetap tidak bisa melihat Mai Sakurajima. Dia tetap menjadi tidak kasatmata.

“Uh, Mai-san?”

“Begini masih belum cukup untukmu?”

“Maaf. Aku menyerah. Tolong lepaskan sebelum Aku kesulitan untuk berjalan/sebelum Sakuta.Jr tegak.”

“Rasakan sendiri karena mencoba mempermainkanku.”

Mai tampak senang menggoda Sakuta dan tidak melepaskannya. Tampaknya, dia sudah terbiasa dengan interaksi semacam ini.

Tetapi karena rangkulannya itu tidak bisa disebut sebagai sebuah hukuman. Melainkan sebaliknya, lebih ke seperti hadiah buatnya.

“Kau tahu, Aku baru ingat---bukannya kita sedang bertengkar?”

“Oh, benar juga.”

Senyumnya terhapus dari wajahnya, segera menjauh dari Sakuta dan tampak kecewa. Sakuta terkejut dengan betapa cepat sikapnya berubah. Ia benar-benar tidak bisa mengetahui apakah yang dilakukannya itu nyata atau hanya sekadar akting.

Sebagian dari dirinya menyesali pilihannya, tetapi ia masih menikmati waktu berduaan ketika berbelanja.


Saat mereka berjalan ke kasir terasa agak menegangkan, namun semua barang belanjaan yang ada di keranjang di cek tanpa ada masalah. Sakuta membayar seperti biasa dan pada akhirnya membawa kantong plastik yang berisikan sayuran, daging, dan makanan ringan.

Kemudian, mereka meninggalkan supermarket dengan Sakuta yang membawa dua kantong belanjaan.

Ia dan Mai saling berjalan berdampingan. Sakuta tidak mengetahui kalau ia akan mengarah ke mana?

“Mai-san, Kau tinggal di mana?”

Jika dia sering berbelanja di dekat Stasiun Fujisawa, dia pasti tinggal di dekat sini.

“Bumi,” balasnya.

Jadi Sakuta hanya menyelaraskan langkahnya dengan Mai yang menuntun di depan. Untuk saat ini, mereka berjalan ke arah gedung apartemen Sakuta.

“Aku tak sabar untuk melihat tempat tinggalmu, Mai-san?”

“Kau tidak boleh masuk,” bentaknya dengan serius.

“Aww.”

“Jangan bertingkah seperti anak manja. Kita sedang bertengkar, ingat?”

“Itu karena kau tak mau jujur dengan dirimu sendiri.”

“Oh? Jadi ini salahku?”

“Jika kau ingin kembali berakting, kau harus mengakuinya.”

“Jangan bicarakan hal itu lagi,” balas Mai. Nada bicaranya datar tetapi seperti mengancam. Jauh lebih kuat dibanding dengan biasanya. Dia benar-benar membuatnya agar Sakuta tidak ikut campur. 

“Karena Aku tak tahu apa pun tentangmu?”

“Ya. Jadi urus saja urusanmu sendiri.”

“Sayang sekali! Aku sebenarnya tahu kenapa kau memutuskan untuk berhenti.”

“Ah tentu saja,” cibirnya.

“Saat kelas tiga SMP, kau diminta untuk tampil dalam sebuah pemotretan.”

“?!”

Mai tampak jengkel dengan perkataan Sakuta barusan.

“Kau pernah mengumumkan kalau kau tak akan pernah tampil dalam sebuah pemotretan yang membutuhkan pakaian renang, tapi ibumu menandatangani kontraknya tanpa sepengetahuanmu karena dia tahu kalau hal itu akan membuatmu makin terkenal.”

Mai banyak menjadi model untuk banyak majalah tetapi tidak pernah untuk majalah yang menampilkan pakaian renang sebagai bagian utamanya dan karena dia sangat diminati. Fakta karena dia tidak ingin melakukan hal seperti itu membuatnya dirinya berbeda. Kecantikan wajahnya sudah lebih dari cukup.

“Tapi kau bertengkar hebat dengan ibumu karena masalah itu dan memutuskan untuk membalasnya dengan memutuskan untuk hiatus.”

“……”

“Tapi kurasa keputusanmu itu konyol.”

“Diam.”

“Memilih berhenti bukan alasan untuk membuang apa yang ingin kau lakukan.”

“Diam!”

“Kau yang seharusnya diam! Tenangkan dirimu; kau menggangu para tetangg---” Sebelum ia dapat menyelesaikan perkataannya, tangan Mai menampar pipi Sakuta. Suara tamparan tersebut terdengar menggema di jalan yang sepi.

“Keputusan itu juga sangat berat buatku!”

“……”

“Saat itu Aku masih SMP! Tapi ketika Aku tiba di studio, para orang dewasa itu sudah mempersiapkan baju renang tersebut untukku. Dan Ibuku berkata kalau Aku telah menyetujuinya di kontrak jadi sekeras apa pun Aku menolak, itu sudah menjadi bagian dari pekerjaanku. Jadi Aku harus melakukannya! Aku harus memaksa diriku untuk tersenyum!”

Jika Mai seorang aktris biasa, mungkin dia bisa melawannya. Melampiaskan amarahnya, dan menolak melakukan pemotretan itu. Tetapi dia ini si Mai Sakurajima. Dia adalah seorang aktris profesional yang telah berakting sejak usianya 6 tahun dan sudah sering berurusan dengan orang dewasa…

Tidak mungkin dia menolak pemotretan itu. Dia harus membaca situasinya dan bertindak sebagai seorang profesional. Dia masih seorang anak kecil, tetapi dia harus bersikap layaknya orang dewasa.

“Dia hanya memanfaatkanku saja. Aku bukan apa-apa selain alat untuknya untuk menghasilkan uang.”

Mai akhirnya mengucapkan hal itu, suara hatinya yang terdalam.

Tetap saja, Sakuta yakin kalau ini alasan sebenarnya Mai memutuskan untuk hiatus. Dia membalas dendam ke orang yang memperlakukannya sebagai sebuah alat, ibunya sendiri.

Sakuta hanya bisa menebak bagaimana perasaan Mai kala itu. Ia tidak pernah mempunyai pengalaman yang sama dan ia juga tidak bisa bilang kalau ia mengerti. Namun, ada satu hal yang ia yakini.

“Karena itu, kurasa kau harus kembali berakting.”

“Kenapa begitu?”

“Karena seburuk apa pun itu, sekarang ini pun kau masih menderita karenanya.”

“Huh…?”

“Jika kau ingin melakukan sesuatu, tak perlu memaksakan dirimu untuk tak melakukannya. Kau hanya harus melakukannya. Bahkan, Aku mengerti hal itu! Dan Aku tahu kalau kau juga mengerti hal itu, Mai-san.”

“……”

Pandangan Mai ke arah lantai, memudarkan amarahnya.

“……”

Dia terdiam selama sepuluh detik.

“Maaf karena menamparmu,” Dia meminta maaf dengan suara lembut.

Baru saat itulah Sakuta merasakan rasa sakit yang berdenyut di pipinya.

“Kedua tanganku sedang memegang belanjaan dan tak bisa berlindung dari apa pun, kan?”

“Karenanya Aku tidak memukulmu.”

“…Terima kasih banyak, Aku sungguh sangat berterima kasih,” ucap Sakuta memperjelas hal yang dirasakannya.

“Kau tidak terdengar seperti orang yang sedang berterima kasih.”

“Yah, itu karena Aku yang kena tampar. Ow. Owww.”

“Kau terlalu berlebihan.”

“Pipiku sangat sakit! Kurasa rasa sakitnya tak akan hilang sebelum senpai ku yang baik hati dan cantik ini mengusapnya…”

“Rasakan!”

“Uh…kenapa begitu?”

Sakuta yakin kalau dirinya tidak salah sedikit pun.

“Kau sengaja membuatku marah,” Mai menuduhnya dengan jengkel.

“Aku melakukan itu?” agak terlambat untuk berpura-pura bodoh, tetapi ia juga tidak yakin mengakui kalau dirinya benar.

“Kau berharap kalau Aku akan mulai menangis dan menjelaskan masalahnya, kan?”

“Tak juga.”

“Kau benar-benar licik.”

Mai mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Sakuta. Ia kira Mai akan mengelusnya, tetapi dia malah mencubitnya. Mai juga mencubit bagian pipi yang tidak terkena tamparannya dan menarik keduanya.

“Owww.”

“Omong-omong, Sakuta” ucap Mai yang kembali jadi dirinya yang biasa. “Siapa yang memberitahumu alasanku untuk hiatus?”

“……”

Sakuta membalikkan pandangannya.

“Jangan mengelak.”

Cubitannya semakin kencang.

“Ow!”

“Siapa yang memberitahumu?”

Tampaknya, berdiam diri bukan pilihan yang bijak. Apalagi jika berpura-pura bodoh. Mai sangat tahu karena hanya beberapa orang yang mengetahui alasannya untuk hiatus. Mereka mencoba agar informasi tersebut tidak bocor.

“Aku kenal seorang reporter. Dia mewawancarai ku saat Kaede sedang dirundung.”

“Siapa?”

“Fumika Nanjou.”

“Oh. Dia.”

“Kau kenal dia?”

“Dia pernah menjadi asisten dalam acara talkshow untuk sementara waktu. Aku pernah bertemu sebelumnya.”

Sepertinya bukan pertemuan yang menyenangkan.

“Tapi kenapa kau masih kenal dengan dia? Kasus adikmu sudah dua tahun yang lalu.”

“Oh, uh…”

“Katakan.”

“Yah, dia tertarik dengan Sindrom Pubertas. Dia pernah melihat bekas luka di dadaku. Dia sesekali mampir dan mencoba merekrutku untuk bekerja sama dengannya tentang hal itu.”

Ketika Sakuta bertanya tentang Mai, Fumika mengangguk dan bilang, “Ini masih sebuah dugaan, berhati-hatilah” dan menyebutkan bahwa kalau ada banyak orang yang ingin menjaga agar informasi tersebut tidak bocor ke publik.

“Jadi kau menawarkan sesuatu sebagai gantinya,” tuduh Mai.

“Tidak,” bantah Sakuta, dengan mencoba menghentikan debaran di dadanya. 

“Bohong. Wanita itu sepertinya mengira kalau dirinya seorang jurnalis sejati, dan tidak ada seorang profesional yang akan memberikan informasi secara cuma-cuma. Apa yang kau tawarkan padanya?”

Mai sepertinya tahu banyak tentang dunia pertelevisian daripada dirinya. Sakuta tidak bisa berbohong padanya dan Mai tidak akan membiarkan dirinya diam. Ia dipaksa untuk mengaku.

“Sebuah foto. Dari bekas luka di dadaku.”

Sakuta lupa menyebutkan kalau ia masuk ke bilik toilet yang sama untuk mengambil foto tersebut. Dan fakta kalau wangi parfum Fumika sedikit merangsang baginya? Akan ia bawa rahasia tersebut sampai mati.

“Dasar bodoh!”

“Kasarnya.”

“Kau benar-benar bodoh. Kenapa kau berani melakukan itu?”

Nada suaranya kasar. Sakuta bisa tahu kalau Mai benar-benar marah.

“Yah, Aku ingin membantumu.”

“……”

“Sangat ingin membantu.”

Sakuta terlalu takut untuk menatap mata Mai. Pandangannya dialihkan ke samping.

Mai menyerah dan melepaskan cubitannya. Pipi Sakuta akhirnya terbebas, tetapi ia masih merasakan sakitnya.

“Bekas luka itu dapat memunculkan kenangan yang menyakitkan buatmu dan mungkin saja akan berpengaruh ke adikmu.”

Mai terlihat sangat serius.

“Dia bilang tak akan mengungkit tentang Kaede.”

“Tapi tetap saja, jika dia mencoba memberitakan cerita tersebut, ada kemungkinan kalau seseorang akan mencoba mengaitkannya denganmu.”

“Kurasa benar juga.”

“Iia kan.”

Mai mengulurkan tangannya. Tidak yakin dengan apa yang dia maksud, Sakuta mencoba menyerahkan kedua kantong belanjaan kepadanya.

Tetapi Mai menepisnya.

“Aku minta nomor reporter itu.”

“Kau tinggal menanyakannya.” Sakuta mencoba mengingat kembali dan memastikan kalau Mai tidak pernah menanyakannya.

“Kau harusnya sadar akan hal itu.”

“Ya, Yang Mulia.”

“Kau tidak tahu betapa mengerikannya para reporter itu. Jika mereka mencoba menggali lebih dalam, kau akan dikerumuni oleh mereka dalam sekejap! Aku sudah bisa membayangkan tentang banyaknya kamera yang mengintai rumahmu.”

Sakuta juga bisa membayangkan mereka. Ia pernah melihat seseorang yang terjebak dalam suatu skandal, dikerubungi oleh tatapan menghakimi, berjalan di antara kilatan flash kamera, dibanjiri oleh berbagai pertanyaan…dan ia membayangkan dirinya berada di tengah-tengah semua itu.

“……”

Ia menelan ludahnya.

“…Aku sudah merasa mual,” ucapnya, sadar akan wajahnya yang memucat.

“Dan jika hal itu benar terjadi, kau akan merasakannya 100 kali lebih buruk dari ini.”

Kata-kata terakhir Mai menyadarinya. Sakuta mulai curiga kalau ia sudah membuat kesalahan besar. Ia merinding membayangkannya.

“Lain kali, lebih hati-hati. Mengerti?”

Mai memang kesal, tetapi tidak dengan niat yang buruk. Dia memarahi Sakuta, tetapi karena dia khawatir tentangnya. Sakuta menyadari hal ini karena amarahnya muncul dari rasa prihatin yang tulus.

“Jadi?”

“Baiklah. Aku akan lebih berhati-hati. Tapi dia sudah---”

“Ya, jadi?” Mai mengulurkan tangannya lagi. “Kau tahu nomor penselnya, kan?”

Fumika memberi Sakuta kartu namanya. Ia mengeluarkannya dari dompet dan menyerahkannya ke Mai.

Mai membaca bagian depannya, lalu membaliknya.

“Tulisan tangan? Sangat mencurigakan.”

Sakuta merasa tertuduh.

“Aku memang tertarik dengan wanita yang lebih tua tapi tak setua itu.”

“Hmph.”

Masih kesal, Mai memanggil nomor ponsel itu dari ponsel pintarnya.

“Mai-san, kau merencanakan apa?”

“Kau. Diam.”

Mai menempatkan ponsel itu ke telinga dan membalikkan badan dari Sakuta. Fumika segera mengangkat panggilannya.

“Maaf karena tiba-tiba menelepon,” salam Mai. “Ini Mai Sakurajima, kita pernah bertemu sebelumnya. Aku menjamin kalau ini bukan telepon iseng. Jadi tolong jangan di tutup panggilannya. Ya, benar sekali. Si Mai Sakurajima. Aku baik-baik saja, terima kasih. Apa sekarang bisa berbicara sebentar?”

Mai melanjutkan pembicaraannya dengan santai.

“Aku menelepon karena ingin membicarakan tentang Sakuta Azusagawa. Kami bersekolah di sekolah yang sama. Ya, itu benar.”

Caranya yang dapat berbincang di telepon dengan tenang membuat diri Mai tampak seperti orang dewasa yang bertanggung jawab.

“Aku ingin meminta tolong agar foto tentang bekas luka di dadanya tidak disebar ke publik. Jika kau juga tidak menunjukkannya ke banyak ahli, Aku akan sangat berterima kasih. Ya, tentu saja permintaan ini tidak gratis. Aku akan memberikan berita yang setara.”

“T-tunggu Mai-san!”

Apa yang akan dia berikan? Sakuta tidak ingin Mai menukar informasi dirinya untuk ia.

Mai menatap Sakuta dari balik bahunya dan menempatkan sebuah jari telunjuk di bibirnya seperti dia sedang mendiamkan anak kecil.

“Ya, Aku menyadari hal itu. Aku yakin kalau informasi yang kuberikan akan sama berharganya.”

Mai membalikkan badannya lagi dari Sakuta.

“Aku akan segera mengakhiri masa hiatusku. Ketika hari itu tiba, Aku akan melakukan sebuah wawancara eksklusif. Ya, tentu saja, Aku juga setuju kalau hal itu tidak akan menjadi berita besar. Namun, hal yang akan kukatakan berikutnya pasti membuatnya menjadi berita panas.”

Dia terdiam untuk sejenak. Kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulutnya terdengar seperti dia sudah mempersiapkan hal itu sebelumnya.

“Aku tidak akan kembali berakting di bawah agensi ibuku. Aku akan mulai kembali berakting di bawah agensi baru.”

Sakuta mungkin lebih terkejut mendengar berita ini dibandingkan Fumika Nanjou. Dari beberapa minggu yang lalu, kemudian hari ini juga…mereka berdua saling berdebat tentang hal ini. Semakin ia mendorong Mai untuk kembali berakting, Mai akan semakin menolaknya. Jadi, sebenarnya apa yang barusan Mai katakan? Dia mengakhiri masa hiatusnya? Bagaimana mungkin Sakuta tidak terkejut?

“Aku yakin kalau berita ini akan lebih berdampak dibandingkan berita tentang Azusagawa. Lagi pula, kebanyakan orang tidak akan memercayai cerita semacam itu. Dengan segenap hatiku, tolong pikirkan lagi penawaranku.”

Beberapa menit berikutnya, Mai hanya bilang “Ya,” “Benar sekali,” dan “Setuju,” saat Fumika mengoreksi beberapa hal.

“Kalau begitu kita sepakat? Aku menantikan untuk bekerja sama denganmu lagi.”

Mai sangat sopan hingga akhir pembicaraannya.

Dia berbalik menghadap Sakuta.

“Sudah selesai!”

“Maaf.”

“Kenapa kau meminta maaf?”

“Terima kasih.”

“Melihatmu yang murung seperti ini terbilang lucu.”

Kali ini Sakuta tidak bisa berkomentar apa-apa. Ia benar-benar berhutang pada Mai untuk hal ini. Perasaan yang ia rasakan ketika ia membayangkan kalau kamera para wartawan akan terus mengikutinya benar-benar hilang. Ia merasa aman lagi dan semua itu berkat Mai.

“Tapi kau akan benar-benar kembali berakting?”

Dan bekerja di bawah agensi baru.

“Kau benar tentang satu hal, Sakuta.” Mai tampak enggan untuk mengakuinya. “Aku suka berakting dalam sebuah film atau acara TV. Pekerjaannya memang sulit tapi menyenangkan buatku. Aku tidak ingin berhenti dan seharusnya Aku tidak berbohong mengenai hal tersebut. Puas?”

“Tak juga. Masih jauh dari kata selesai!”

“Se-seharusnya sekarang kau memaafkanku!”

“Kau sendiri yang menghabiskan dua minggu terakhir untuk menghindar dariku.”

“Dan Aku baru saja menolongmu!”

“Itu ya itu; sekarang lain lagi masalahnya.”

“Urgh…baiklah. Aku seharusnya tidak menjadi orang yang keras kepala. Maafkan Aku. Sudah selesai?

Mai terlihat enggan jika harus mengakui kesalahannya tetapi dia juga tahu kalau hal itu harus dilakukannya.

“Sekali lagi.”

“Maafkan Aku! Aku menyesali perbuatanku.”

“Jika kau juga mengibaskan bulu matamu dengan menawan, baru akan kumaafkan.”

“Jangan berlebihan.”

Mai mencubit hidungnya.

“Augh! Jangan lakukan itu!” teriak Sakuta dengan suara yang sayu.

Mai tertawa kencang. “Kau terlihat konyol!”

Baru saat itu juga Sakuta menyadari kenapa Mai menunggu di depan pintu apartemennya.

Mai datang untuk memberitahunya kalau dia akan kembali berakting.

Dia sudah membulatkan niatnya dari jauh hari sebelum Sakuta memberi tahu apa yang Fumika katakan padanya.

Sebagian kecil dari dirinya kecewa tetapi untuk sebagian besarnya ia merasa bahagia akan hal itu.

“Yah, ternyata dunia memang terus berputar ya.”

“Apa katamu?”

“Tak apa-apa, Aku hanya melamun.”

Mereka mulai berjalan lagi. Sakuta merasa kalau situasinya meningkat pesat. Jika keputusan Mai menyembuhkan Sindrom Pubertasnya, maka semua masalahnya selesai.


Tiga menit kemudian…

“Kita sudah sampai,” ucap Mai, menghentikan langkahnya di depan gedung apartemen Sakuta.

“Huh?”

“Aku tinggal di sana,” kata Mai sambil menunjuk gedung di seberang jalan. Dia pernah bilang kalau dia tinggal di dekat sini, tetapi Sakuta tidak mengira kalau akan sedekat ini. Hal inilah yang membuatnya paling terkejut hari ini. Bahkan, melebihi berita kalau dia akan mengakhiri hiatusnya.

“Terima kasih sudah membawakan belanjaannya,” ucapnya sambil mengambil kantong tersebut dari tangan Sakuta.

Sayangnya, sepertinya Mai memang tidak ingin Sakuta berkunjung ke rumahnya.

“Oh Aku hampir lupa, Sakuta…”

“Ya, Yang Mulia?”

“Temani Aku akhir pekan ini.”

Sakuta memanggil Mai dengan sebutan Yang Mulia tanpa sadar karena nada bicaranya terdengar cocok.

“Ketika Aku kembali bekerja, Aku tidak akan punya banyak waktu luang. Aku sudah tinggal di sini selama dua tahun, tapi Aku tidak pernah pergi ke Kamakura. Konyol, kan?” Aku harus mengunjunginya meski hanya sekali.”

“Apa semudah itu untuk kembali bekerja?” Sakuta menatapnya dengan ragu.

“Aku ini Mai Sakurajima,” ucapnya.

Hal yang menakjubkan adalah ucapannya seperti tidak sedang mengada-ada. Dia sangat yakin, seperti sebuah fakta yang diutarakan. Sakuta merasa kalau jadwal kerja Mai akan segera padat.

“Oh, uh, tapi hari Minggu ini…”

“Kau ada kegiatan yang lebih penting?”

“Aku ada shift pagi akhir pekan ini. Dari pagi hingga jam makan siang.”

“Aku ingin bilang kalau…minta orang lain menggantikan shiftmu, tapi…” Dia benar-benar berniat melakukan itu pada awalnya. “Rasanya kau lebih peduli dengan pekerjaanmu dibandingkan dengan diriku, yang mana membuatku jengkel.”

“Aku selesai pukul dua, jadi kalau setelah ini…”

“Argh, baiklah.”

Mai menginjak kakinya, menunjukkan kalau dia tidak terlalu setuju. Tetapi dia berkata kalau dia setuju-setuju saja. Sakuta tidak yakin apakah dia bertingkah kekanak-kanakan atau seperti orang dewasa. Mungkin juga keduanya---sedikit sifat kekanak-kanakan dan dewasa sekaligus. Singkatnya, sosok Mai Sakurajima seperti itu menurut Sakuta.

“Jangan tersenyum seperti orang bodoh seperti itu.”

“Kenapa tidak? Kau mengajakku kencan!”

“Oh---ini bukan kencan.”

Ajakkannya ditolak.

“Aww.”

“Kau sangat ingin berkencan?”

“Tentu saja!” Sakuta langsung mengangguk.

“Kalau begitu, kita sebut ini kencan.”

“Asik.” Sakuta mengepalkan tinjunya.

“Kau sesenang itu?”

“Yah, tentu saja.”

“Oke. Kalau begitu, kita ketemuan jam 02:05 di depan gerbang tiket Enoden, Stasiun Fujisawa.”

“Aku bekerja hingga pukul dua, ingat?”

“Aku memberimu waktu lima menit lebih.”

“Jika restorannya ramai, Aku mungkin tak akan bisa selesai tepat waktu. Tolong tambah waktunya.”

“Baiklah. Jam 02:30. Jika kau terlambat satu detik saja, akan kutinggal.”

“Siap, Yang Mulia!”

Begitulah, Sakuta mendapatkan kencan pertamanya karena kejadian yang tidak diduga.


Malam itu, teriakan gembira dari seorang remaja laki-laki dapat terdengar dari kamar mandi Azusagawa.