Hal yang Terjadi Saat Natal
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Tidak disangka, perbaikan bugnya dapat dengan cepat diselesaikan. Ketika Sorata tiba di ruang kerja mereka, Ryuunosuke sudah menemukan bug yang muncul, jadi Sorata segera memperbaikinya dan mengetes ulang gamenya. Setelah itu, ia mem-burning salinan utama gamenya lagi dan mengirimnya lagi ke Totsuka.

Namun tetap saja, ia harus menyelesaikan berbagai hal yang menyangkut tentang pekerjaannya dan butuh waktu agak lama untuk bisa kembali ke apartemen Mashiro. Sekarang ini sudah sekitar jam dua pagi.

Ketika Sorata berniat kembali ke apartemen sambil membawa Kue Natal yang dibelinya dari minimarket, ia melihat lampu di ruang tamu dari apartemen Mashiro masih menyala.

Di bawah lampu dari ruang tamu, Mashiro yang mengenakan piyama terlihat sedang duduk di sofa.

“Apa kau sudah mengirim naskahnya?”

“Aku berhasil mengirimnya tepat waktu, bagaimana dengan Sorata?”

“Aku juga.”

“Baguslah.”

Mashiro bahkan tidak mau melihat ke arah Sorata. Meski begitu, ia tetap menaruh kue yang dibelinya di meja makan.

“Apa pusarmu masih lebih besar daripada perutmu?” ucapnya sambil duduk di samping Mashiro.

(Note: Your belly button is bigger than your stomach (idm), peribahasa yang dimaksud Sorata disini itu Mashiro mengambil tanggung jawab lebih dari apa yang bisa dipegang. Jadi intinya, Sorata ingin bilang agar Mashiro jangan memaksakan dirinya.)

Mashiro menyentuh perutnya dan merasakan pusarnya.

“Tidak besar.”

“Cuma peribahasa…”

“Malam Natal yang gagal lagi.”

“Ah…benar juga.”

Entah kenapa, Sorata dan Mashiro tidak pernah bisa berkencan saat Malam Natal. Saat mereka SMA, Mashiro punya pekerjaan mendadak dan kencan mereka batal. Tahun lalu, Sorata yang sibuk dengan kuliah dan pekerjaannya. Dan tahun ini, keduanya sama-sama sibuk.

“Aku merasa kalau aku tidak bisa menghabiskan Malam Natal berduaan dengan Sorata seumur hidupku.” 

Mashiro membenamkan mulutnya di lututnya sendiri.

“Sekarang kita sedang berduaan, kan?”

“Maksudku berkencan dengan normal.”

“Kurasa yang seperti ini tidak buruk juga.”

Sorata berdiri dari sofa dan menyalakan lilin di kue yang ada di atas meja makan. Ketika lilin tersebut menyala, cahayanya membuat bayangan api besar yang menempel ke dinding ruangan. Bayangan tersebut mulai menari mengikuti nyala api yang menerangi ruangan.

“Padahal aku sangat menantikan kencan kita.”

“Aku juga.”

“……”

Suasana hati Mashiro yang kesal masih belum juga mereda.

“Aku bisa libur besok, bagaimana dengan Mashiro?”

“Ayano akan datang saat siang, kalau malam aku sudah bebas.”

“Kalau begitu, ayo kita jalan-jalan besok malam.”

“Ke mana?”

“Sebagai ganti dari kencan hari ini, kita akan pergi ke mana pun yang Mashiro mau.”

“…Ke mana saja boleh?”

Sorata melirik ke arah Mashiro yang sedang memikirkan harus pergi ke mana.

“Kalau bisa di tempat yang masih dalam batas wajar.”

Jika Sorata tidak membatasinya, Mashiro pasti akan meminta hal yang tidak mungkin.

“Kalau begitu……”

Mashiro yang membenarkan posisi duduknya di sofa menatap ke arah Sorata dengan wajah serius. Tanpa mengalihkan pandangannya, dia berkata;

“Kita ketemu dengan orang tuaku” ucap Mashiro.

“……”

“……”

Untuk sesaat, waktu terasa berhenti.

“E-ee Mashiro-san? Tunggu sebentar. Ah, tidak, kau tak perlu mengulanginya lagi! Sebaliknya, beri tahu aku bagaimana caranya agar bisa bertemu mereka di Inggris?”

Tipikal dari Mashiro sekali. Namun, balasan dari pertanyaan Sorata membuatnya semakin terkejut.

“Mereka akan datang ke Jepang besok.”

“Apa?”

“Keduanya akan datang besok.”

“……Tiba-tiba sekali” ucapnya dengan suara yang kecil.”

“Aku sudah dapat kabar dari sebulan yang lalu.”

“Aku belum dengar sama sekali.”

“Mereka bilang mereka ingin bertemu dengan Sorata.”

“Kuharap kau bisa memberitahuku dulu sebelum ini!”

“Sekarang kuberitahu.”

“Maksudku jauh sebelum hari ini!”

“Kau bilang aku bisa minta apa saja.”

Pipi Mashiro berubah merah.

“Aku juga bilang harus hal yang wajar, kan?”

“Tapi ini masih dalam batas kewajaran dimana seorang pacar bertemu dengan orang tua kekasihnya.”

“Memang benar sih!”

“Mereka hanya ingin bertemu, dan tidak ada maksud lain.”

“Tidak, maksudnya pasti berbeda!”

“Sorata tidak menyukainya?”

“Bukannya tidak suka……tapi, yah, kita berdua hidup bersama tanpa persetujuan orang tuamu. Aku memang pernah memikirkan kalau setidaknya aku harus menyapa mereka……tapi di sisi lain aku juga sangat gugup! Aku masih tidak percaya kalau waktu yang diberikan untuk mengatasi rasa gugup ku hanya semalam saja!”

Bahkan sekarang ini saja, ia jauh lebih gugup dibandingkan saat ia harus presentasi pertama kalinya. Jantungnya berdetak kencang sekencang mobil sport. Apa yang harus ia bicarakan ketika bertemu dengan orang tua Mashiro?

“Muu.”

Mashiro menjulurkan lidahnya, mengungkapkan rasa ketidakpuasannya.

“Baiklah, aku mau pergi tidur.”

Mashiro bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar tidur. Sorata yang mengejarnya, mengintip Mashiro yang sedang berbaring di ranjang dari celah pintu yang terbuka. Di ranjang, Mashiro sedang membenamkan wajahnya ke bantal dan terus mencaci maki Sorata.

“Haaa……baiklah, aku akan bertemu dengan orang tua Mashiro besok.”

“Sungguh?”

Mashiro yang mengangkat wajahnya dari bantal berbalik dengan wajah gembira.

“Ah, aku janji dan sebagai gantinya, aku juga mau minta sesuatu.”

“Minta apa?”

“Jika kau bisa mengosongkan jadwal mu, apa kau mau ikut denganku ke rumah orang tuaku di Fukuoka?”

“……”

Mata Mashiro terbuka lebar karena terkejut.

“Ibuku itu, dia selalu cerewet dan memintaku untuk mengajak Mashiro.”

“Aku akan ikut.”

Mashiro berdiri dari ranjangnya.

Wajahnya seketika menjadi cerita dan tampaknya rasa ketidakpuasan yang dimiliki Mashiro sebelumya benar-benar menghilang. Dia berjalan keluar dari kamar tidur dan duduk di meja makan di mana Sorata menaruh Kue Natal yang ia bawa.

“Sorata, aku akan memakan kuenya.”

“Bukannya kau mau pergi tidur?”

“Nanti, setelah memakan kuenya.”

“Kau bisa gemuk nantinya.”

“Jika itu terjadi. Sorata yang harus bertanggung jawab……”

“Tanggung jawab apa?”

Mengingat alur percakapan sampai saat ini, keduanya tidak merasa kalau mereka harus tertawa untuk hal itu.

“Sorata.”

“Hmm?”

“Ketika aku di Fukuoka.”

“Ya?”

“Apa aku boleh salam ke ibu mertua?”

“Jangan begitu!”

Setelahnya, Sorata dan Mashiro yang berbaikan menikmati Hari Natal mereka dengan sekantong penuh cinta dan kebahagiaan.


Sebelumnya | Daftar Isi