Goblin Slayer di dalam Negara pasir Bagian 1

Penerjemah: Zerard


“Mereka sudah pergi?”

“Sepertinya.”

Mendengar ini dari High Elf Archer, Goblin Slayer duduk di atas tumpukkan batu. Licin dengan hujan yang baru saja turun (pertama kalinya setelah sekian lama, asumsi Goblin Slayer), batu basa dan pasir bergabung untuk menciptakan rasa dingin yang melekat. Dan malam tengah datang. Malam ini akan sangat dingin, dia sangat yakin.

Sejernih apapun udara hari ini, mencari sebuah kapal pasir di kejauhan bukanlah tugas yang mudah. Walaupun pada tengah hari, dengan teleskop kulit dan Kristal yang dia dapatkan, adalah mustahil bagi Goblin Slayer. Namun mata seorang high elf dapat melihat hal seperti itu dengan sangat mudah. Hal itu tampak tidak di sadari oleh High Elf Archer, yang berdiri dengan telinga yang menjentik seolah ini hanyalah bagian dari tugasnya yang lain.

Goblin Slayer dan yang lain telah melarikan diri dari kota dalam lindungan gemerlap malam dan berjalan ke barat, menuju pasir. Sebuah qanat, sebuah terowongan bawah tanah, yang mengarahkan aliran irigasi air ke permukaan, di mana air mengalir bagaikan sebuah sungai yang sangat bening; mereka hanya perlu mengikutinya hingga sumbernya. (TL Note: Qanat = https://en.wikipedia.org/wiki/Qanat )

Dan ketika mereka tiba di sana, party mereka menemukan sebuah kastil pertahanan yang berdiri di balik selimut malam gelap. Kastil itu berdiri dengan begitu kokoh di atas sebuah tebing batu yang berada di atas sungai. Jika di lihat di waktu yang lain, kastil ini mungkin akan terlihat cantik, namun pada saat ini, kastil ini terlihat mengerikan dan jahat.

“Keseluruhan area ini Hamada, semuanya kerikil, jadi kita nggak akan bisa mencari tempat bersembunyi,” Dwarf Shaman berkata, menyeruput fire winenya yang tinggal sedikit. Setelah kapal pasir itu pergi, mereka mempunyai waktu untuk bernapas. “Secara pribadi, aku nggak tahu tentang kapal gurun, tapi kapal tadi itu kelihatan cukup mewah untuk seorang raja.”

“Artinya informasi kita tidaklah salah.” Lizard Priest tampak berdiri dari tempat di mana dia menunduk dalam bayangan bebatuan, tubuh besarnya berdiri tegak. “Tampaknya perdana menteri kita yang terhormat sangat tertarik dengan benteng ini dan beliau telah banyak membeli budak.”

“Atau mungkin tidak,” dia menambahkan dengan gumaman, meminum dari sebuah botol yang tampak sangat berat dari sebuah benda yang seharusnya hanya berisi cairan. Namun itu sedah seharunya: di dalam botol itu adalah sebuah keju tebal yang terbuat dari susu kerbau air. Lizard Priest meremas botol itu masuk ke dalam tenggorokan, menjilat rahangnya dan mengumandangkan, “Madu manis!” Matanya berputar di kepala seraya dia menikmati minuman itu, dan dia-pun melirik kepada Female Merchant.

Gadis itu memegang sebuah pedang silver yang ada di pinggulnya dan tengah berjongkok dengan kuda-kuda rendah; dia tampak mempunyai sesuatu yang sangat dia ingin katakan. “Dan jika saya di perkenankan bertanya, bagaimana keadaannya dengan anda?” Lizard Priest bertanya.

Female Merchant berkedip, kemudian berkata dengan sedikit kepuasan. “.,..Aku mendengar hal yang sama. Mereka menempatkan segalanya ke dalam benteng itu—persediaan, senjata, perlengkapan, budak. Tapi…”

“Ya?”

“Tapi bahkan di kota, nggak ada seorangpun yang sepertinya berpikir kalau mereka juga mengambil para prajurit.” Female Merchant melanjutkan dengan tatapan diam,  dan mereka semua ikut terdiam.

Terdapat banyak penjelasan yang memungknkan. Sebagai contoh, mungkin bukan para prajurit namun para budak yang melakukan semua pertarungan. jika satu-satunya niatnya adalah memberikan mereka tombak dan mengirimkan mereka secara berbondong-bondong mengarah musuh, terdapat sedikit perbedaaan kecil antara budak dan warga wajib militer. Namun Priestess mempunyai kesan tertentu bahwa terdapat sesuatu yang lebih dari keseluruhan ini. Ketika Priestess melihat pada bangunan gelap, menjulang, dia merasakan rasa menggelitik yang tidak asing pada tengkuknya.

Dia tidak mengetahui apakah ini semacam wahyu atau hanya sekedar sebuah ide kompulsif. Namun…

“…Intinya, mereka mengembangkan operasi mereka di sana.” Priestess bergumam beberapa kata itu saja, dan angina lembab tampak membawa kata itu bersama dengan pasir.

“Ya.” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Sepertinya memang seperti itu.”

Mengumpulkan informasi bukanlah satu-satunya hal yang mereka lakukan setelah mereka berpencar menjadi tiga grup di dalam kota. Setiap petunjuk yang mereka dapatkan semenjak datang ke Negara ini menunjuk kepada benteng ini. Para prajurit berpura-pura menjadi bandit. Kenyataan bahwa prajurit yang sama itu tampak bersekutu dengan sebuah gerombolan goblin. Goblin yang memiliki persediaan yang cukup untuk menyokong tunggangan dan perlengkapan untuk banyak petarungnya. Adalah pasukan skala besar.

Namun kematian bepusar di dalam gurun. Badai pasir. Pasir manta. Matahari menyengat. Dan kemudian terdapat kurangnya makanan dan air.

Para myrmidon tidak akan membiarkan para goblin juga, kemungkinan.

Peta yang mereka terima dari kapten myrmidon sangatlah terperinci, dan satu tatapan saja sudah menunjukkan. Tidak ada tempat sama sekali dalam area ini untuk sebuah grup goblin besar bersembunyi. Bahkan para bandit atau pasukan Kekacauan akan juga merasa kesulitan. Terlebih lagi sebuah grup goblin yang tidak sabaran dan tidak disiplin.

Jadi di mana sarang mereka?

“Maka seseorang dapat menyimpulkan bahwa kunci rahasia dari para goblin tentunya berada di sekitar benteng tersebut.” Lizard Priest berkata.

“Mustahil untuk bisa memastikannya. Kita nggak akan tahu sampai kita masuk kesana.” Goblin Slayer menjawab, kemudian mengeluarkan sebuah scroll papyrus dari tasnya. High Elf Archer melihat itu dengan tatapan penasaran seraya pria itu membuka scrollnya. “Apaan tuh?”

“Rencana.” Dia menjawab. Dia melihat gulungan itu dan kemudian benar-benar menghiraukan teriakan “Oh!”  High Elf Archer. Dia merobek kertas menjadi kepingan dan melemparkannya. Angin menangkap serpihan kertas dan menerbangkannya menjauh.

“Hei, aku masih mau melihat kertasnya!” High Elf Archer mengeluh.

“Aku sudah berjanji untuk nggak menunjukkannya ke siapapun setelah aku membacanya, dan aku akan menghancurkannya.”

High Elf Archer tidak melawan, alih-alih hanya mengendus tidak menyukai. Tidak lama kemudian, telinganya berdiri tegak dan dia membusungkan dada datarnya sebisa mungkin. “Ya sudah! Aku sudah mengingat semua yang ada di situ dalam sekali lihat!”

“Begitu.” Jawaban Goblin Slayer selalu datar seperti biasanya, memprovokasi High Elf Archer untuk mengembungkan pipinya dengan sebuah “Grr!”.

“Sudah, sudah,” Priestess berkata menyudahi, dengan sedikit tersenyum. Priestess mendapati dirinya sendiri telah terbiasa dengan perdebatan seperti ini. Pada quest pertamanya, dan beberapa waktu setelahnya, dia memiliki kebiasaan untuk panic ketika Dwarf Shaman dan High Elf Archer saling membacot.

Taspi ini memang pertanda bagus. Itu artinya mereka nggak terlalu gugup.

Kegugupan membuat tubuh menegang. Kamu akan kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan sekejap.

“Mm,” Priestess berkata kepada dirinya sendiri. Kemudian dia bertanya, “Tapi bagaimana caranya kita untuk masuk? Apa kita perlu langsung masuk dari depan?”

“Dengan surat ijin lewatku, aku mungkin membuat mereka mengakuiku sebagai seorang pedagang…” Female Merchant menawarkan, namun dia tidak terlihat begitu yakin. Dia mengernyitkan alisnya yang lentik, jempolnya bersandar pada bibirnya seraya dia menggigit kukunya sendiri.

Lizard Priests melanjutkan ide itu. “Seseorang tentunya tidak akan memberikan ijin kepada orang luar, memandu orang tersebut ke dalam fasilitas mereka. terutama jika itu adalah orang dari Negara musuh.”

Ya, ini berbeda dengan hanya sekedar masuk ke dalam lubang goblin. Sarang ini sangat terjaga dengan ketat.

Goblin Slayer berpikir sejenak, kemudian helm metal itu berputar mengarah Lizard Priest. “Bagaimana menurutmu?”

“Jika kita mempertimbangkan sejarah para pahlawan legendaris, kita akan menemukan sebuah kisah di mana beberapa dari nereka menyamarkan diri mereka sebagai bagian dari pasukan musuh.”

“Dan mereka bisa masuk?”

“Tampaknya mereka berhasil,” Lizard Priest berkata. “Mereka memfabrikasikan sebuah situasi, kemudian berpura-pura sedang dalam keadaan yang genting agar bisa mendapatkan infomasi penting tentang rekan mereka.”

“Kita mau menyamar jadi apapun, mau itu tamu atau prajurit, atau apapun. menurutku kamu nggak akan semudah itu mencapai bentengnya,” Dwarf Shaman menyela, membelai jenggotnya.

“Benar, benar. dan yang terburuknya untuk kita, adalah benteng itu bukanlah tujuan kita…” Lizard Priest tampak lebih serius dari sebelumnya. Apa yang mereka butuhkan sekarang adalah rencana, ide, dan kartu untuk di mainkan. Mereka harus berharap bahwa ketiga hal ini dapat muncul dalam diskusi mereka. Lizard Priest memahami itu ketika grup mereka sedang berdiskusi, hal terburuk yang dapat di lakukan seseorang adalah untuk menolak ide orang lain.

“Bagaimana kalau kita menyelinap ke dalam?” Goblin Slayer bertanya dengan dengusan. “Dengan asumsi kalau kita bisa.”

“Itu akan ideal,” Lizard Priest berkata, memutar kedua matanya. “Namun permasalahannya adalah seberapa ketak penjagaannya.” Dia menepuk ekornya ke atas tanah, menyebabkan kepulan kecil dari pasir yang melompat ke udara. “Hujan yang deras dan berkelanjutan tadi mungkin akan menjadi berkah dari surgawi.”

“Ya, kamu benar…” Priestess berkata dan mendengak ke langit. Tidak lama sebelumnya, langit telah menghujani lahan ini dengan begitu derasnya sehingga dapat membuat seseorang tidak pernah menyangka bahwa tempat ini adalah gurun. Di balik tirai presipitasi, seseorang akan hampir tak kasat mata tidak peduli kemanapun kamu pergi.

“Lagipula, aku nggak bisa membayangkan adanya penjaga goblin yang akan memperlakukan pekerjaannya dengan serius…” Priestess menambahkan. Dia terdengar ragu namun lebih bersemangat dari biasanya.

Ya, jika ini hanyalah sebuah sarang goblin, semuanya akan menjadi sangat sederhana. Namun sebuah benteng? ….Sebuah kastil? Dalam pikiran Priestess, dia tidak yakin apa perbedaannya. Dia telah mengarungi jalannya ke tempat seperti ini lebih dari sekali, namun…

Api, mungkin…?

Tidak, tidak. Dia menggeleng kepala. Mungkin terdapat tahanan di sana. Mereka haru benar-benar memastikan sebelum mereka dapat mempertimbangkan untuk menggunakan api. kembali ke titik awal.

“Prajurit macam apa menurutmu yang ada di sana?” Priestess bertanya.

“Prajurit yang lari memasuki perbatasan itu nggak terlihat berbeda dari pencuri atau bandit?” High Elf Archer berkata, melambaikan tangannya. Dia tidak melihat adanya alasan untuk terlalu merisaukan orang-orang seperti itu, namun tidak ada jaminan juga bahwa semua prajurit di dalam benteng itu sedang bersantai. Satu apel jelek—atau dua atau tiga—tidak menandakan bahwa keseluruhan apel itu busuk.

“Baiklah, kalau begitu.” Dwarf Shaman, yang memasang wajah berpikir, akhirnya berhenti mengocok-ngocok anggurnya dan berputar kepada High Elf Archer. Telinganya menegang ke belakang seraya sang elf menyadari seringai mengerikan pada wajah Dwarf Shaman.

“Kita nggak akan berpura-pura menjadi budak lagi, Orcbolg! Nggak mau!” dia menunjukkan jemari lentik kepada pria itu seraya dia berdiri. High Elf Archer tampak jelas sedang berupaya melindungi Priestess dan Female Merchant juga, namun Dwarf Shaman hanya mengangkat bahunya.

“Er, kalau memang di perlukan, aku bisa saja…” Priestess memulai.

“…Aku juga…” Female Merchant menambahkan.

Namun high elf marah, “Nggak, kamu nggak boleh! Aku tahu kita sedang membicarakan agar bisa menang dengan cara apapun, tapi akan lebih baik untuk bisa menang tanpa melakukan cara apapun!” Kemudian, dia menambahkan di bawah napasnya. “Lagipula, kalau kita membiarkan Orcbolg begitu saja, dia akan mendapatkan berbagai macam ide yang mengerikan”

Itu, setidaknya, Priestess sangat memahaminya. “Yah, kamu nggak salah…” dia berkata menghindar sebisa mungkin.

Akan tetapi walau di hadapi dengan perintah dan kehendak seperti itu, Goblin Slayer hanya berkata apa yang selalu dia katakan. “Begitu?” Dia tidak keberatan untuk memikirkan ulang idenya, yang menjadi sebagian alasan mengapa semua orang di sini menganggapnya sebagai pemimpin. Tidak terdapat hirarki di party ini, namun kemampuan untuk melirik sekitarannya dan kemudian mengambil keputusan dengan kualitas teritingi. Tetapi party yang hanya mengangguk mengikuti apapun yang pemimpin mereka katakan dan tidak pernah mempertanyakannya, tidak akan bertahan lama.

Ketika pada akhirnya, Goblin Slayer akhirnya berkata apa yang mereka tunggu dari tadi—“Aku punya rencana”—mereka mendengar dengan seksama. Kemudian mereka berputar untuk melihat apa yang tengah di lihat helm baja yang terlihat murahan itu.

 “…?” Female Merchant terlihat bingung. Di belakangnya adalah semua yang dia bawa untuk melakukan bisnis dan semua barang milik partynya, semuanya ada di atas keledai berpunuk.

*****

“Heeeeei! Buka! Buka gerbangnyaaaa!”

Suara jernih, yang memaksa itu mengagetkan penjaga yang terkantuk di sisi lain gerbang kastil. Dia sudah begitu terpana oleh pemandangan tidak biasa dari hujan turun hingga membuatnya menjadi terlamun.

Sial. Kalau ada yang lihat… dia akan kehilangan kepalanya, itu mungkin adalah hasil terbaik yang bisa dia harapkan.

Prajurit dengan cepat mengangkat tombak, mengintip dari jendela panah di bagian sisi dari benteng. Dia melihat mengarah jembatan kecil di depan gerbang utama—dan kemudian dia mengira dirinya akan tersedak. Di karenakan yang berdiri di sana adalah seorang wanita muda yang cantik nan ayu yang menggunakan pakaian asing dengan gaya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Wanita itu tengah memimpin beberapa unta dan sebuah pedang silver berkelip di pinggulnya. Seolah seperti wanita itu adalah wanita dari dongeng.

“Kamu tidak dengar? Buka gerbangnya!” Wanita muda itu mengulangi dengan nada memerintah.

Penjaga itu terintimidasi, namun dia berteriak membalas dengan suara yang dia harap terdengar mengancam. “Si-siapa atau kamu itu apa?!”

“Siapa atau apa?! Itu salam terkasar yang pernah aku dengar seumur hidupku!” Penjaga itu merasa balasan itu lebih menusuk di bandingkan dengan di telanjangi oleh petugas komandanya. Wanita muda itu membentangkan lengannya seolah dia tidak percaya dia harus melakukan ini, namun di tangannya dia menunjukkan sebuah surat ijin lewat. “Aku datang dari Negara sebelah untuk melakukan bisnis. Aku juga sudah di berikan ijin untuk mempelajari lahan kalian. Jangan bilang kamu belum pernah dengar?”

Sebelum prajurit dapat memfokuskan matanya di dalam kegelapan untuk bisa memastikan apa yang wanita itu pegang, sang wanita itu memasukkan kembali suratnya. Pakaiannya yang begitu ketat dan rapi menonjilkan dadanya yang besar dan menarik tatapan sang penjaga. Pria itu menelan liurnya.

Kemudian penjaga mendengar suara dari komandan di belakangnya. “Ada apa? Ada masalah?” Dia menegang. Dia begitu terkejut untuk menjadari, walau pria ini , yang selalu terasa bagaikan duri di sisinya di waktu sebelumnya, tiba-tiba sekarang terasa begitu menenangkan.

“Iya, pak—maksudku, tidak pak—Maksudku…” sang penjaga mencoba menjaga sikap patuh, sementara mencoba untuk melemparkan tanggung jawab kepada sang petugas. “Ada pedagang wanita asing di luar, atau seperti itu klaim wanita tersebut, dan saya…saya perlu perintah, pak!”

“Apa?” Sang petugas tidak menduga ini sama sekali.

Tuhan, ada-ada saja!

Bawahannya tolol, dan petugas atasannya sendiri, sang kapten, selalu mempunyai ide-ide seperti ini di kepalanya. Ganti markas. Ganti ruang tidur. Ganti rute patroli. Dan sekarang terdapat seorang pengunjung, dan pria itu sama sekali tidak memberi tahu siapapun. Merupakan masalah yang tidak ada habisnya, dan jika bukan karena sampingannya (yang di mana  dia berpikir  untuk mencuri sebagai sampingannya), dia tidak tahu bagaimana dirinya akan bertahan.

Sang petugas menyuruh penjaga untuk menyingkir dari jalannya dan melihat ke jendela panah sendiri. Ketika dia melihat seorang wanita muda cantik berdiri di sana, dia menyadari bahwa dia dapat melampiaskan beberapa kepenatan kepada wanita itu. Tidak ada yang akan menyalahkannya jika dia melakukan pekerjaannya—oleh karena itu dia akan melakukan pekerjaannya sesuai dengan deskripsi tugasnya. Bukanlah menjadi masalahnya tentang apa yang akan terjadi karena itu. Jika wanita muda ini merasa di beratkan dengan itu, jika komandan tidak berguna itu mendapatkan rencananya terhalang oleh ini, bukankah itu akan menakjubkan.

“Tidak, kami belum mendengarnya,” sang petugas berkata. “Kamu harus menunggu di sana sampai kami bisa memastikannya.”

“Hei!” sang wanita bangsawan muda memanggil. Sepertinya sang wanita sudah melihat rencana bulus kecil sang petugas. Suaranya setajam panah seraya dia berkata, “Kamu kira kamu bisa kabur dari ini dengan pura-pura tidak tahu? Ini itu masalah tanggung jawab. Kamu, siapa namamu?”

“Ahem, er, aku—Hrm?”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain selain untuk melaporkan kalau aku harus menunggu karena kamu terlalu malas untuk mendengar informasi terbaru.” Sebaliknya dari sang petugas yang semakin panik, sang wanita muda terdengar menjadi lebih tenang dan kalem. Suaranya bagaikan sebuah badai. Dan seperti badai, karena walaupun lebih tenang bukan berarti sudah berakhir. “Sana—pastikan dengan atasanmu, kirim kuda surat ke kota, terserah apa yang kamu mau lakukan.”

Tapi ketahuilah apa yang akan terjadi dengan kepalamu sebagai hasilnya, ya?

Sang petugas dapat melihat wanita muda ini menyeringai walau di tengah tirai malam. Dia menelan liurnya keras. Dia melirik kepada pria yang berjaga malam ini, namun pria itu hanya berdiri semakin tegak dan mencoba untuk melihat kepada bawahannya. Apapun yang terjadi, penjaga ini  sepertinya sama dengan gadis itu yang mencoba untuk melimpahlan semuanya kepada dia yang berwewenang.

Kampret mereka berdua ini—

Dalam hatinya, sang petugas mengutuk para dewa dan angin dan dadu. Namun walau dia mengumpat merekat, itu tidak akan membuat hal semakin membaik.

Untuk membuka gerbang dan membiarkannya lewat atau tidak. Wanita muda itu semakin terlihat kesal semakin lama dia menunggu. Tidak terdapat cara untuk memeriksa siapa wanita itu. Sang petugas mngeratkan giginya.

“Kenapa lama-lama? Bulatkan keputusanmu.” Sang wanita muda meminta, mengorek-ngorek tanah dengan ujung sepatunya. Jika di lihat lebih seksama, sang petugas dapat melihat seseorang bertubuh besar yang berdiri berjaga di samping sang wanita. Seorang padfoot—tidak, rahang yang timbul dari balik syal di kepalanya merupkan rahang seorang lizardman.

Wanita itu tidak sendirian. Tentu saja tidak. Jika dia sendirian, mereka mungkin dapat mengatasi ini.

Sang petugas membenci masalah seperti ini. Dia membenci harus menyisihkan waktu dan upaya untuk mengatasi hal seperti ini. Dan terlebih, dia membenci semua tanggung jawab di lemparkan kepadanya. Dan juga beberapa hal lainnya.

Setidaknya kalau mereka hanya memenggal kepalaku, semua akan berakhir. Tapi ku mohon jangan biarkan aku di kirim ke sana!

Akhirnya setelah memikirkan keselamatan dirinya, sang petugas berteriak, “Buka gerbangnya!”

“Siap pak, membuka gerbang!” bawahannya berkata dengan mematuhi dan mulai memutar katrol untuk mengangkat dua portcullis. (TL Note : Portculis = gerbang besi)

Ahh, persetanlah!

Jika terpaksa, dia akan melarikan diri, pikir sang petugas, menghela napasnya.

*****

“Terima kasih,” sang female merchant berkata, tersenyum seraya dia membimbing untanya melewati gerbang yang terbuka. Sedangkan untuk sang petugas penjaga yang berdiri di sana menyuruhnya cepat-cepat masuk, wajahnya masam tidak senang. Ole karena itu sang wanita menyelipkan sebuah koin emas ke dalam tangannya seraya dia berlalu. Wanita itu mengetahui bagaimana bisnis berjalan di sini.

Sang petugas berkedip terkejut untuk sesaat, namun tatapannya melembut sedikit walau di tengah kegeramannya. Manusia terdorong oleh emosi, namun bukan tanpa adanya motivasi keuntungan. Jika seseorang melayani di suatu tempat hingga bertahun-tahun di mana dia tidak mendapatkan laba dan keuntungan, tentu saja dia akan menjadi marah.

…Aku tahu itu  dari pengalaman. Female Merchant merasakan pahit di ujung lidahnya, namun wibawa kebangsawanannya telah membantunya untuk tidak menunjukkan rasa itu di wajahnya. Jika tempat ini lebih dekat dengan kota—jika tempat ini benar-benar tersembunyi dengan baik—maka semua akan berbeda. Atau jika bangunan ini benar-benar berada pada sisi Kekacauan, ironisnya, kedisiplinan di tempat ini akan jauh lebih ketat. Namun pria ini masih percaya diri bahwa dia dapat melarikan diri dari amukan atasannya. Jadi pria itu masih lembek.

Pokoknya…

Adalah pengalaman Female Merchant di dalam istana-istana dan tempat bangsawan-bangsawan dunia yang membuatnya dapat membuat kalkulasi ini. Jika pengalamannya lebih kepada kehidupannya sebagai seorang petualang, ini mungkin tidak akan berjalan dengan mulus.

“A-ahem, kalau begitu ijinkan aku untuk menunjukkan ruanganmu…” sang petugas berkata enggan, namun Female Merchant menghentikannya.

“Itu tidak perlu. Seperti yang ku bilang, inspeksi ini ada bagian dari wewenangku—kalau aku hanya menghabiskan waktuku di dalam ruanganku, aku tidak akan tahu apakah bangunan ini sepadan dengan uang yang sudah di habiskan.” Kemudian dia memberikan pria itu senyuman kecil. Aku tahu apa yang aku inginkan, katanya. Aku mungkin adalah sekutumu, tapi aku bukan temanmu.

Kemudian di sanalah… Sang petugas mendengak ke atas. Terdapat seorang lizardman yang besar berdiri di belakang wanita muda.

Namun ternyata bukanlah seorang lizardman. Adalah seekor Dragontooth Warrior, yang di panggil dengan doa tulus. Menggunakan sebuah mantel dan di berikan sebuah senjata untuk di pegang, makhluk ini memberikan kesan seperti seorang tentara bayaran. Yang di mana cukup lucu, mengingat bahwa dalam dongeng tidur yang pernah wanita itu dengar kala dia masih kecil, makhluk seperti itu hanya merupakan pelayan dari penyihir jahat.

Aneh rasanya, bagaimana makhluk ini terlihat gagah bagiku sekarang.

Dia tidak akan pernah menghadapai “pertarungan” ini seorang diri. Memaksa tangan dan suaranya gaar tidak bergetar, dia berkata tegas. “Karena itu, mungkin kamu bisa menunjukkanku garnisunnya saja? Aku yakin kamu pasti mempunyai permintaan mengenai kamar tidur, baju dan makanan.”

“Bu. Itu…bukan tempat yang bagus…”

“Sebagai tanda niat baik, aku membawakan the dan jajan untuk semua prajurit, kalau kamu tahu maksudku.” Wanita itu melirik menunjuk kepada muatan yang berada di atas unta. Itu akan memberikan kesan kepada petugas ini bahwa apapun yang akan terjadi, semua akan menguntungkan dirinya.

“Er, ah, kami—kami sangat berterima kasih bu, aku yakin… Bu?”

“Pertama, aku butuh suatu tempat untuk mengikat keledai berpunuk ini. Kamu punya gudang? Atau mungkin kandang ternak? Apa di sekitar sini?”

Bahkan seraya dia mempertanyakan pertanyaannya, Female Merchant mulai berjalan.

Dia tampak seperti semacam bangsawan asing. Seorang investor di dalam benteng. Ini semakin membaik. Dan “the dan jajan?” hasrat dalam pikiran petugas menjadi berat sebelah di antara rasa takut memperlakukan wanita ini dengan kurang ajar dan potensi kebaikan yang wanita itu tawarkan kepadanya.

Efek ini pada dirinya—tanpa membandingkan dengan bawahannya—tampak sangat jelas seraya sang petugas bergegas mengejar wanita itu. Orang-orang berbicara tentang “penjaga baik” dan “penjaga buruk,” namun ini jauh lebih sederhana dari itu.

Tinggal yakinkan saja pada mereka kalau mereka harus membuat keputusan penting di sini dan sekarang. Adalah sebuah trik terkuno dalam sebuah buku.

“Kamu harus memaafkanku, tapi sepertinya aku membutuhkan bantuanmu sedikit lebih lama,” Female Merchant berkata kepada prajurit menyedihkan itu, kemudian memberikan senyum terindahnya.

*****

Seraya prajurit di atas terburu-buru untuk memberikan sambutan yang pantas kepada Female Merchant, riak tampak muncul pada sungai yang mengalir, terlihat selebar lautan, di balik dasar bebatuan di mana benteng ini di dirikan. Hujan telah mengacak sungai dan membuatnya keruh dengan lumpur, sementara malam menambahkan sentuhan tinta hitamnya. Tak seorangpun menyadari riak itu ataupun tangan yang menjulur dan meraih bebatuan.

Seorang wanita elf muda muncul. Bahkan jika seseorang melihat elf itu, mereka tidak akan mempercayai mata mereka. terlebih lagi ketika wanita itu memberikan sebuah tendangan dan kemudian meloncat ke atas batu, berdiri dengan begitu bangganya. “…Aman. Aku nggak merasakan adanya seseorang,” dia berkata dengan jentikan telinga panjangnya. “Ayo naik.”

Terdengar beberapa lagi cipratan, dan sekarang beberapa petualang muncul. Mereka tidak terlihat begitu basah walaupun dengan kenyataan bahwa mereka baru saja dari dalam bawah air; dan merekapun tidak terengah-engah mencari napas. High Elf Archer turun dan menolong Goblin Slayer terlebih dahulu, kemudian Dwarf Shaman, kemudian Priestess. Akhirnya Lizard Priest muncul dengan riak terbesar dari yang lain, mengatakan “Permisi” seraya dia membenamkan cakarnya ke dalam batu dan naik keatas.

“Aduh aduh, nggak pernah nyangka kalau gurun itu bisa banjir.” Dwarf Shaman menggeleng kepalanya seperti seekor anjing besar dan duduk di atas sebuah batu, meringkuk. Kekuatan dari Breath, seperti yang tercantum, menjaga mereka tetap kering, namun mungkin Dwarf Shaman masih belum merasa kering.

“Mungkin ada bagusnya untuk membawa salah satu dari ini…” Priestess, berpikir. Dia ingin berpikir bahwa dirinya tidak terlalu mencemaskan tentang uang, namun tetap saja. Kalau aku mau menjadi petualang terbaik… Yah, mungkin satu atau dua benda sihir itu nggak ada salahnya untuk di miliki. Mungkin di saat dia mencapai Sapphire, peringkat ke tujuh.

“Buat mastiin aja ya, pilihan perlengkapan si aneh ini  sama sekali nggak tipikal.”

“Er,” Priestess cegukan mendengar High Elf Archer yang tampak mengetahui apa yang dirinya pikirkan. Elf itu mengernyit, yang di mana sedikit mengusik Priestess. Priestess berpikir bahwa cincin ini sudah membuktikan kegunanaannya lebih dari sekali.

“Beneran,” High Elf Archer mengulangi, kemudian berputar mengarah Goblin Slayer. “Jadi apa berikutnya?”

“Kita menyelinap.”

“Pertanyaannya tetap sama :Gimana caranya?” Goblin Slayer terlihat sangat yakin dengan ini, namun High Elf Archer hanya memandangnya dengan lototan, Pria itu mendengus di balik helmnya, kemudian dia meraba di dalam kegelapan, bergerak di atas permukaan batu. “Awalnya aku berniat untuk masuk dari arah pembuangan toiletnya.”

“Urgh.” High Elf Archer mengerang, tampak jelas merasa lega terhindar dari takdir ini. Dia tengah melihat ke atas sebuah papan yang menyokong benteng yang menjulang di atas kepala mereka.

“Tapi bakal bodoh kalau jalurnya menyempit di tengah jalan dan kita jadi tersangkut.”

“Yah, setidaknya Telinga Panjang nggak perlu mengkhawatirkan itu. Soalnya dia kan datar,” Dwarf Shaman berkata, kemudian dia harus menahan tawanya sendiri.

High Elf Archer menggerutu kepadanya, dan Priestess terlihat merah dengan bentuk tubuhnya sendiri yang kecil.

“Kamu juga sama aja dwarf!” High Elf Archer murka. “Aku mungkin saja bisa lewat, tapi kamu pasti bakal tersangkut, kamu kan gendut dan gembrot!”

“Apa lagi, kita nggak akan pernah tahu kapan adanya para pengais di area toilet.” Dwarf Shaman berkata, menghiraukan High Elf Archer. Dia tersenyum menyengir, dan menoleh kepada High Elf Archer. “Aku nggak akan buka pintu itu kalau aku jadi kamu Telinga Panjang. Bisa saja ada siput pemakan mayat di dalam sana.”

“Siputnya bakal kelumat sama kamu kalau kamu masuk ke sana. Hmph.” High Elf Archer mendengus namun terlihat kurang lebih merasa puas, dan ini adalah ejekan terakhirnya.

Priestess tidak dapat melihat apa yang cari Goblin Slayer, namun anggota lainnya tampak dapat melihatnya. “Ini dia.” pria itu berkata, tangannya menggenggam sebuah gerbang yang terpasang di dalam batu. Priestess mencondong ke depan dengan hati-hati untuk melihatnya, dia menemukan apa yang tampak seperti sebuah pintu sel penjara. Pintu itu memiliki sebuah gembok rapi dan engsel yang bersih, menandakan bahwa pintu ini untuk di buka dan di tutup. Hanya satu hal yang mengusik Priestess: Tidak ada lubang kunci pada gemboknya, setidaknya tidak ada di bagian luar.

“Ini bukan…pintu yang agak biasa ya?” Priestess berkata. “Pintu ini mengarah ke dalam air juga.”

“Biasa? Iya dan tidak. Seseorang tentu dapat menggunakan kata itu untuk menjabarkannya…” Lizard Priest berbisik riang, memutar kedua matanya terhibur. Dia menjulurkan lidahnya dan memegang gembok itu dengan tangannya. “Apapun itu, saya percaya bahwa ini adalah saatnya bagi nona ranger kita untuk bersinar.”

“Iya, iya. Tapi ini bukan kelas utamaku oke? Minggur.” High Elf Archer maju, dan yang lain mundur ke tempat di mana sang archer berdiri sebelumnya. High Elf Archer menggerakkan lengan kurusnya di antara jeruju, membengkokkan pergelangan tangan, dan memasukkan sebuah jarum tipis ke dalam lubang kunci. “Aduh, merepotkan banget.” Dia menggerutu.

“Nggak usah ngeluh.” Dwarf Shaman menegurnya. “Kalau kamu kesulitan, kita dobrak saja. Jadi santai, santai!”

“Kamu kedengaran terlalu santai!” High Elf Archer membalas dengan dengusan yang tidak layak bagi seorang high elf, namun setelah beberapa kali dia mencoba, akhirnya dia mengangguk. “Dah, bisa. Ayo.” Gembok itu terlepas dengan suara klik, dan High Elf Archer menangkapnya di tengah udara, dengan riang mendorong pintu jeruji itu terbuka.

Satu langkah ke dalam, dan sudah terlihat seperti sebuah gua remang. Lantai telah di haluskan dan di ukir seperti batu ubin, namun sangat jelas bahwa ini adalah terowongan yang di gali dari batuan dasar. Batu besar mencuat di sini dan di sana, dan Dwarf Shaman mengendus batu itu tanpa malu. Para Dwarf tidak akan pernah melakukan pekerjaan tidak rapi seperti ini. “Walaupun ini nggak jelek untuk para manusia, kurasa, aku akui upaya mereka, tapi—“

“Urgh…” Dwarf Shaman di sela oleh erangan dari High Elf Archer, yang berada di posisi depan.

Di dalam terowongan ini, angina sejuk yang berhembus dari sungai tergantikan oleh aroma busuk. Aroma itu tampak berasal dari seseorang yang membusuk ketika mereka masih hidup, bercampur dengan bermacam-macam kotoran. Bau ini adalah bau kematian.

“Sudah seharusnya dari sebuah penjara sih.” Dwarf Shaman berkata. “Bukan tempat yang menyenangkan.”

Terdengar sebuah gemerincing, dan Priestess menyadari sebuah benda berat yang baru saja menggesek pada pergelangan kakinya adalah sebuah sepasang rantai dan belenggu. Dia terkesiap, dan mendapati dirinya menabrak sebuah batu yang mencuat. Dia tidak mempunyai pilihan selain berdiri kaku dan membuat dirinya sekecil mungkin selagi dia menunggu kedua matanya terbiasa di kegelapan.

Dwarf Shaman berbicara kembali: “Sepertinya ini cuma satu arah. Masuk akal sih.”

“Ya,” Goblin Slayer menjawab singkat, kemudian dia mengeluarkan sebuah obor dari dalam kantong peralatannya dan menyulutnya dengan api. Terdengar suara fwuush dan kilau cahaya oranye, dan mereka menemukan bahwa mereka memang benar berada di dalam sebuah penjara yang di gali dari sebuah batu. Pasak di tancapkan ke dalam dinding, rantai terpasang pada pasak itu. Namun apa yang benar-benar menarik perhatian Priestess adalah sebuah tempat yang tinggi di atas lainnya sehingga terlihat seperti sebuah rak.

Adalah sebuah dasar dari sebuah tangga yang terukir dari batu, yang di mana tangga tersebut mengarah ke atas dari penjara ini. Namun tangga itu tidak menuju manapun; alih-alih, tangga itu menuju ke beberapa balok kayu. Di balik balok-balok itu—di bawah mereka—adalah ruangan kosong, yang hanya berisikan beberapa tali jerami yang menggantung.

“Oh…” Priestess berkata, menggabungkan kepingan tali itu menjadi satu. “Mereka menggantung tahanan ini dari balok ini…?!” Dan kemudian membuang tubuhnya. Dia tidak sanggup untuk mengucapkan kalimat terakhirnya, dia merasakan tenggorokannya menutup.

“Kastil apapun akan mempunyai hal seperti ini. Terlebih lagi kastil yang dekat dengan danau atau sungai.” Lizard Priest berusaha untuk menenangkan Priestess. Dia menggabungkan kedua tangannya dalam gerakan yang aneh. Tidak lama kemudian, Priestess menepuk kedua tangannya sendiri dengan sedikit ketidakpastian dan menawarkan sebuah doa pendek. Bagi Lizard Priestess, mayat yang termakan oleh para ikan merupakan sebuah pemakaman yang pantas. Priestess tidak dapat memahami itu, namun bagaimanapun juga mereka berdua mendoakan mereka yang telah berpulang.

Sementara kedua cleric mendoakan mereka yang wafat dengan khusyuk, Goblin Slayer memeriksa lantai. Tumpukan tai, perkakas makan, semuanya kering: jika para tahanan tidak mati kelaparan, perkakas itu tentunya akan tidak menunjukkan adanya tanda telah di gunakan.

“Aku rasa tempat ini sudah tidak di huni untuk waktu yang cukup lama,” Goblin Slayer berkata.

“Yah, pastinya sudah nggak ada seorangpun di sini.” High Elf Archer membalas. “Manusia itu kejam banget. Kalian nggak bisa hidup selama seabad, tapi kalian mengurung orang-orang sebagian besar dari umur mereka.

“Itu hukuman,” Goblin Slayer berkata pelan dari balik helmnya, menggelengkan kepalanya. “Tapi apa yang terjadi sekarang itu bukan hukuman—tapi hukuman mati.”

Apapun itu, dia melihat tidak adanya tahanan di sini. Itu artinya tidak akan ada penjaga. Mereka telah menunggu dengan cukup lama hingga memungkinkan bagi Female Merchant untuk menggaet semua prajurit dalam telapak tangannya. Namun dia tidak akan bisa menahan mereka semua dengan lama.

Goblin Slayer berdiri di depan sebuah pintu besi berat yang memisahkan penjara dan kastil dan berkata, “Bagaimana menurutmu?”

High Elf Archer, yang di tanyai olehnya, melirik kepada pintu dan hanya menjentikkan lidahnya dengan elegan hingga hampir terlihat seperti sebuah hasil karya seni. “Nggak mungkin, bahkan kalau aku bisa, itu akan membutuhkan waktu yang panjang.”

Ya, tentu saja. Goblin Slayer mengangguk, kemudian mengetuk segel pintu itu dengan tangannya. “Kalau begitu bagaimana dengan engselnya?”

“Itu urusannya seorang dwarf.” Dwarf Shaman berkata, mendekati dan meludah pada telapak tangannya. “Tunggu sebentar.”

“Sebentar” ternyata hanya membutuhkan waktu kurang dari dua menit, dan pintu-pun terbuka. Hal seperti ini akan sangat konyol untuk di lakukan pada sebuah dungeon atau beberapa reruntuhan tua, namun tidak di tempat mereka saat ini. Terdapat waktu dan tempat untuk setiap ide, dengan segala macam keuntungan dan kerugian. Karena pintu ini, dengan keadaan seperti ini, lebih baik di bandingkan dengan membobol kuncinya, para petualang tidak ragu sedikitpun.

“…”

Kemudian sebuah kegelapan besar menganga di depan mereka. Priestess tidak dapat berhenti memikirkan bahwa itu terlihat seperti sarang seekor goblin.

*****

“Hoh, Satu lagi tumbang,” Female Merchant bergumam pada dirinya sendiri seraya penjaga lainnya dari pos jaga ini tergeletak di lantai, tidak sadarkan diri seraya  Female Merchant merasakan adanya keringat dingin menggelitik yang mengaliri pipinya.

Aku sudah membuat kesalahan.

Dia tidak dapat melepaskan pikiran itu. Terutama tidak dengan para prajurit yang melototinya di tempat prajurit itu duduk di seberangnya.

“…Kenapa? Sekarang giliranmu.”

“…Kamu pikir aku nggak tahu itu?!” Merenggutkan wajahnya, pria ini mengambil belati yang tertancap di atas meja. Dia menyebarkan tangannya di atas meja, kemudian menarik napas dalam. “Dua puluh kali sebelum pasir di gelas itu habis.”

“Baiklah.”

“Bagus! …H-hrah!” Dan pria itu dengan segera mulai menusukkan pisau itu ke atas dan ke bawah di antara jemarinya. Satu kesalahan kecil dapat menyebabkannya kehilangan jemari, namun dia tidak boleh bimbang. Satu momen kebimbangan mengartikan kekalahan dirinya. Permainanan ini, adalah tentang kecepatan dan seberapa banyak kamu bisa menusukkan pisau. Ini lebih baik di bandingkan dengan roulette benteng—yang di mana kamu mempunyai enam belati, lima di antaranya adalah mainan dan satu adalah asli, dan para pemain saling menusukkan belati itu kepada temannya—tapi tidak terlalu dalam,

Aku membuat kesalahan yang sangat besar.

Female Merchant berupaya untuk tidak memperlihatkan penyesalan dan kecemasan pada wajahnya. Dia hanya membiarkan ekspresinya terlihat sekali semenjak dia tiba di benteng ini. Ekspresi itu tidak tampak pada saat dia memberikan teh dan jajanan kepada para prajurit di pos jaga, bukanlah pada saat para prajurit bergerombol berbaris untuk makanan itu, saling berdesak-desakan dan mendorong untuk menajdi yang pertama dengan antusiasme para pria yang terkekang dengan disiplin.

Tidak, adalah di saat ketika salah satu prajurit menjulurkan tangannya dan menyentuh Female Merchant dengan dalih sebagai kejahilan. “Eek!” dia telah berteriak seperti gadis kecil dan menepuk tangan pria itu menjauh. Hanya di saat itu.

Di kala dia menyesali kejadian itu, semua sudah terlambat. Tidak ada seorangpun yang menyukai seseorang menjadi kesal di karenakan mereka. para prajurit sudah menjadi bersemangat, menikmati jajanan manis yang sangat jarang mereka dapatkan dari seorang gadis cantik (menurut dirinya sendiri) asing.

Namun atmosfir itu berubah dengan drastic dan Female Merchant mendapati dirinya menjadi subyek dari tatapan mencurigai. Mungkin dia tidak seharusnya mengambil langkah mundur saat itu, akan tetapi…

Mereka terlihat persis seperti goblin.

Tiba-tiba dia mendengar sebuah bisikan angina pada telinganya, seperti sebuah badai salju. Angin yang menyerupai ini adalah ketika dia berada di malam itu. Temannya, petualangan di hadapannya, segalanya yang dia lakukan sampai saat ini, tidaklah lebih dari sekedar khayalan fantasi. Dia mulai berpikir kalau mungkin dia masih terjebak dalam gunung salju itu…

“-----“

Shf. Dia merasakan Dragontooth Warrior bergerak di belakangnya. Dia melirik mengarah makhluk itu, menyadari napas dirinya sendiri terasa cepat dan pendek. Warrior itu, tentu saja, hanya seekor tulang-belulang yang di tutupi dengan sebuah syal dan mantel; tidak ada ekspresi pada wajahnya. Makhluk itu tidak memiliki kehendaknya sendiri, namun hanya mematuhi perintah dari tuannya untuk melindungi wanita muda ini. Pedang baja yang dia bawa hanyalah Sesutu yang dia temukan di dalam kota, sebuah senjata biasa. Namun kala itu, dia tidak pernah membayangkan adanya seseorang yang melindungi dirinya.

Dan semenjak dia telah di selamatkan, temannya telah banyak melindunginya.

Dia menarik napas dalam.

“Semuanya baik-baik saja,” dia berkata dengan senyuman berani, memberhentikan Dragontooth Warrior di belakang. Kemudian dia berkata, “Ayo kita lakukan ini dengan beradab,” dan kemudian dia melepas mantel miliknya. Female Merchant sadar bahwa keringat telah membuat bajunya melekat pada kulit. Dia menghiraukan prajurit yang melototinya (apakah itu di karenakan terkejut atau keriangan, Female Merchant tidak peduli). Dengan tangan kanannya dia menarik sebuah belati aluminium, dia membentangkan tangan kirinya di atas meja dan kemudian, dengan sebuah senyuman layaknya bunga bersemi, berkata, “Bagaimana kalau satu ronde mumbly peg? Pastinya petarung kuat seperti kalian tidak akan takut kan?” (TL Note : Mumbly peg = https://www.britannica.com/topic/mumblety-peg )

Terdengar dentingan koin emas dan silver yang tertumpuk di atas meja, dan yah, kamu tahu bagaimana kelanjutannya.

Terdorong oleh rasa mabuk dan kegirangan, para prajurit tidak mulai secara perlahan, tetapi langsung ikut meramaikan permainan paling berbahaya ini. Sebuah judi yang memeras saraf. Para prajurit yang menonton, menelan liur dengan nyaring setiap kali mereka memainkan pisau mereka. ketika satu pria mundur, terlalu takut untuk melanjutkan, akan ada mereka di keramaian yang mendorong dan berteriak, “Minggir, aku selanjutnya!”

Namun akhirnya, pergerakan mereka semakin menjadi tidak pasti. Beberapa menggores jari mereka. satu orang menusuk telapak tangan mereka. sebuah aroma besi mengisi ruangan. Dan kemudian akhirnya, para prajurit mulai tumbang satu persatu, seolah pingsan di karenakan kelelahan. Apakah sisa dari para pria itu menyadari perubahan ini,  Female Merchant berharap tidak.—dam dia harus terus berpura-pura untuk memastikan mereka terus tidak menyadarinya. Itu karena, parfum yang di semprotkan pada pakaiannya dapat menimbulkan rasa mabuk. Makanan, rasa obat itu mungkin bisa ketahuan—namun siapa yang tahu seperti apa wangi parfum wanita asing? Mereka sama sekali tidak berpikir dua kali. Terutama tidak ketika mereka tengah di sibukkan dengan sebuah hiburan (dan selera makan) yang kemungkinan tidak akan mereka jumpai lagi dalam waktu dekat. Stimulasi ini akan membuat obat itu masuk dengan lebih cepat ke dalam sistem mereka.

“Kamu selanjutnya, nona kecil!”

“Tentu saja. Kamu tadi dua puluh kali, kan?” Female Merchant membelai cincin dengan duri di dalamnya untuk menstimulasi jarinya, kemudian memfokuskan konsentrasinya. Dia menarik segenggam koin emas dari dompetnya dan melemparkannya ke atas meja, kemudian dia membalikkan jam pasir. Kalau begtu aku akan melakukannya tiga puluh kali.”

“Hngh…!”

Tidak ada cara untuk memastikan agar kamu bisa menang pada mumbly peg. Hal terdekat yang dapat menjaminmu adalah untuk tetap fokus pada tiga factor ini: Tetap berkepala dingin, akurasi, dan presisi. Kemudian kamu hanya perlu menunggu kegugupan musuh sampai dia kehilangan jarinya atau tumbang di bawah tekanan.

Bah, memangnya kenapa?

Jika dia kehilangan jari, memangnya kenapa? Itu tidaklah seberapa jika di bandingkan dengan segel yang di bakar ke dalam kulit tengkuk lehermu.

“Ini dia.”

Female Merchant menjilat bibir merah mawarnya dengan lidahnya yang jingga, kemudian dia menghujamkan belatinya turun.

*****

“Tuhan… Apa mereka nggak pernah mendengar selesaikan apa yang kamu mulai?” Dwarf Shaman mengeluh, menggerkkan lengan gemuk dan kakinya seraya dia merayap ke atas menara kayu yang memeluk tepi tebing. “Gua” ternyata menyada kata yang tepat untuk jalan yang di ukuri dari permukaan batu, tempat ini memiliki beberapa lubang di antara bebatuannya. Mungkin tidaklah mengejutkan jika para penjaga tidak datang kemari. Priestess lebih tinggi dan memiliki lengan yang lebih panjang dari Dwarf Shaman, dan bahkan dia-pun mendapati jalan ini sulit untuk di lewati. Untuk seorang prajurit dengan armor penuh, walau dengan latihan dan stamina, jika harus datang kemari setiap harinya…

“Entah…lah.” Dia membalas, memaksa napasnya untuk tetap tenang, “Itu…sepertinya mereka tidak pernah menduga adanya…orang-orang yang melewati sini.”

Untuk kesekian kalinya, Priestess melompati perancah di atasnya, bergantung pada perancah itu, kemudian menarik dirinya ke atas. Tidak ada seorangpun yang menyerang mereka, bahkan ketika Priestess terpaksa harus berjongkok dan bernapas. Udara di bawah tanah ini cukup dingin tanpa adanya panas menyengat dari gurun, sebuah berkah kecil. Jika udara panas menghembuskan badai pasir lagi ke bawah sini, mereka tidak akan pernah bisa naik ke atas.

“Mungkin memang mereka tidak pernah berpikir demikian,” Lizard Priest berkata, tidak terdengar kelelahan. Dia memiliki tubuh yang besar dan tenaga yang lebih kuat, begitu juga cakar pada kedua tangan dan kakinya. Dia dapat menggapai perancah itu dengan mudah, dan memanjat ke atas dengan lincah seperti seekor tokek.

“Apa maksudmu?” Priestess bertanya, dan Lizard Priest membalas, “Seperti yang saya ucapkan,” menggaruk hidung  panjang dengan cakarnya. “Mungkin mereka ingin menyegel sesuatu di bawah ini. Sesuatu yang mereka ingin tak ada seorangpun yang dapat menyentuhnya.”

“Aku nggak peduli kenapa mereka melakaukannya. Ini merepotkan,” High Elf Archer mengeluh. Walau di balik frustrasinya, dia memanjat ke atas hingga ke dinding dengan gerakan ringan dan mudah. Pa-pa-pa. dia mendapati pijakan kakinya di atas papan, semudah seperti melompati bebatuan di atas air, kemudian dia berkacak pinggul dan membengkokkan pinggangnya. “Aku merasa seperti kehilangan arah keberadaan kita.” Dia menjentikkan telinganya kesal. “Sulit banget untuk membedakannya di bawah tanah. Dan lagi di kejauhan ada semacam suara, seperti seekor banshee.”

Priestess menyadari hal yang sama dari semenjak mereka berada di bawah sini. Mungkin itu hanyalah angin yang bertiup melalui celah-celah gua. Namun baginya itu terdengar seperti suatu derakkan makhluk yang mendekati kematian…

Aku yakin itu Cuma suara angin yang bertiup melewati tulang seseorang…

Bukanlah pikiran yang membantu, namun dia tidak dapat menyingkirkan pikiran itu. Priestess menggeleng kepalanya.

“Baiklah, tapi konsentrasi.” Goblin Slayer berkata, pergerakannya yang presisi, berbanding terbalik dari keringan kaki High Elf Archer. Pria itu menggunakan perlengakapan terberat dari mereka yang ada di dalam party ini, akan tetapi dia bergerak dengan sangat mudah di dalamnya; sebuah bukti dari kemampuannya sebagai seorang scout. Dia hanya akan gagal ketika dia benar-benar tidak beruntung—atau jika High Elf Archer menendangnya. Dengan piawai menghindari kaki kurus yang menari di atas garis matanya, dia menarik dirinya ke atas perancah. “Ada jebakan.”

“Aku tahu.” High Elf Archer terdengar tenang, namun apa yang tersebar di depannya, secara teknis sudah tidak dapat di sebut sebagai gua lagi. Untuk beberapa saat sekarang—apakah jumlahnya bertambah seraya mereka naik ke atas?—mereka telah melihat partisi buatan. Dinding yang di perkuat dengan bangunan batu, lantai yang di lapisi dengan batu pijak. Tetapi sesuatu terlihat janggal dengan itu semua. Beberapa dari batu pijak itu tidak terlalu terpoles, sedangkan batu lainnya remuk di saat mereka injak.

“Sini, biar seorang dwarf yang melihatnya.”

“Ah, nggak usah cemas,” High Elf Archer berkata, penuh kesiagaan. “Lebih cepat pergi mengitarinya dari pada harus membongkar ini.” Dia mengetukkan jempol kakinya di atas batu, dan sebuah kilauan cahaya silver melompat keluar dari lantai. Adalah sebuah pasak silver panjang nan tajam, yang di maksudkan untuk menusuk siapapun orang ceroboh yang melewatinya. Tentu saja, siapapun yang bergegas melewati ini dengan ceroboh akan mendapati dirinya di sambut oleh kematian yang mengerikan. High Elf Archer, dengan keanggunan dari rasnya, menyelip dengan begitu lihai di antara pasak-pasak itu. “…Huh!” Dia berteriak dengan keriangan murni. “Aman. Pelan-pelan saja.”

Sekarang yang mereka perlu lakukan adalah mempercayai keputusan elf itu, berjalan mengikuti persis kemana High Elf Archer berpijak menghindari pasak. Dan memang benar, tidak ada anggota dari party yang meragukan apa yang di ucapkan High Elf Archer. Bagaimana mungkin kamu berpetualang bersama jika kalian tidak saling mempercayai satu sama lain? Dan bahkan jika elf itu membuat kesalahan, itu tidak akan menjadi kesalahannya. Jika seorang scout mengacau,  itu akan menjadi kesalahan seseorang yang memilih untuk menyerahkan tugas itu ke tangan sang scout. Jika pekerjaan seorang scout adalah untuk membuka peti harta, adalah kewajiban mereka yang berada di baris depan untuk menghadapi monster apapun. dan selagi mereka melakukan itu, pembaca mantra party mungkin hanya akan berdiri saja, tidak merapalkan mantra apapun, terkecuali di butuhkan.

Oleh karena itu, party petualangan terbaik adalah party yang tidak memiliki peran hirarki. Party yang hidup dan mati bersama.

“Benda ini kelihatannya akan merobek pakaianku kalau aku sedikit saja menyentuhnya…” Walaupun begitu, sangatlah sulit untuk melewati jebakan dengan menggunakan seragam seorang cleric. Akan sangat mudah jika hanya sekedar melewatinya, tetapi jika seragamnya tersangkut dan Priestess terjatuh, itu sudah sama saja seperti melompat ke atas jebakan.

High Elf Archer cekikikan melihat Priestess yang begitu serius seraya dia berjalan. “Jangan khawatir. Kamu itu lebih lihai dari pada gentung berjalan itu.”

“Dan gentung itu lebih baik dari papan! Ini namanya berotot…!”

Jika memang seperti itu, maka sepertinya yang paling merasa tersulitkan adalah mereka yang memiliki tubuh terbesar dan ekor terpanjang…

Eh, kurasa aku akan simpan itu untuk diriku sendiri saja. Priestess tersenyum walau di tengah semua ini, melihat ke bawah untuk menyembunyikan ekspresinya. Dia berfokus untuk terus bergerak dengan hati-hati.

Urutan mereka adalah seperti biasanya. High Elf Archer dan Goblin Slayer berada di depan, Priestess dan Lizard Priest berada di tengah, dengan Dwarf Shaman menjaga belakang. Itulah mengapa Priestess sangat bertekad agar tidak menjadi yang terlemah, namun seraya dia merajut langkahnya di antara banyaknya pasak…

“…Ada apa?”

Dia melihat Goblin Slayer dan High Elf Archer berdua berhenti dan tengah berjongkok. Priestess yang sudah cukup berpengalaman dapat memahami apa arti ini. Dengan cepat dia meremas tongkat derik dengan kedua tangan, mencari tempat yang bagus untuk berdiri seraya dia bersiap menghadapi apapun yang datang. Dia menstabilkan napas, memfokuskan konsentrasi, bersiap untuk berdoa, doa apapun yang akan di butuhkan kapan saja. Dwarf Shaman dan Lizard Priest juga melakukan persiapan, keseluruhan party telah siap. Sebuah pedang dengan kepanjangan tidak biasa berkelip, busur kayu tertarik, tas berisikan katalis terbuka, cakar dan ekor siap menerkam.

“Jaga belakang. Mungkin ada beberapa pasak di belakang sana, tapi kita nggak mau mereka mengepung belakang kita.”

Dwarf Shaman dan Lizard Priest mengangguk dan mengambil posisi belakang, menatap ke dalam gua yang terbuka di belakang party mereka. Priestess mendapati dirinya berada di tengah grup, dia mencoba untuk memposisikan dirinya agar dia bisa siap menghadapi serangan yang bisa datang dari arah mana saja.

“Apa kita bisa menghadapi mereka di sini?” Goblin Slayer bertanya.

“Tampaknya tidak bisa,” Lizard Priest membalas. “Pasak di belakang kita. Sebuah terowongan besar di depan. Dan jumlah kita yang terlalu banyak. Kita hanya dapat berharap jumlah mereka tidak besar.”

“Jadi kita terobos jalan kita ke depan.”

Dalam percakapan singkat itu, strategi party mereka telah siap. Dan kemudian, di dalam kegelapan di depan, keseluruhan party melihat mereka. mereka berharap mereka tidak akan menemui monster itu. Namun sepertinya mereka tahu bahwa mereka akan menemuinya bagaimanapun juga.

Sekecil anak kecil. Perlengkapan yang membuat mereka tampak seperti karikatur prajurit yang buruk rupa. Dan kulit hijau.

“Goblin?!”

“GOORG?!”

Tak satupun dari kedua kubu yang menduga atau mengharapkan pertemuan acak ini. Namun para petualang, yang sudah mengantisipasi pertarungan ini, selangkah lebih di depan dari para goblin dengan tombak dan helm mereka.

“Ayo lakukan!” Goblin Slayer berkata, dan kemudian dia menerjang maju ke antara mereka dengan masih menunduk, bahkan seraya panah High Elf Archer mulai terbang. Sebuah panah bermata kuncup yang melejit di udara, melewati helm baja, mengarah tepat kepada mata goblin.

“GOGGB?!?!”

Panah itu menembus mata dan masuk ke dalam otak, mengakhiri nyawa makhluk itu, namun Goblin Slayer menjaga momentumnya. Itu adalah goblin pertama, tapi pastinya bukan yang terakhir.

“GOOROGB!!”

“GOBBG! GRRBG!!”

Tenaga goblin berada pada jumlah mereka. regu buruk prajurit dengan koleksi senjata apa adanya membanjiri kegelapan. Tanpa sedikitpun keraguan, Goblin Slayer mengangkat pedang di tangan kanan dan melemparnya.

“GGBGOOROG?!”

Lemparannya lebih pelan di banding panah High Elf Archer, namun ini sudah lebih dari cukup untuk membunuh seekor goblin. Pedang itu menancap di tenggorokan seekor makhluk yang terlampau percaya diri untuk memimpin penyerangan, membuat makhluk itu terlempar berputar ke belakang. Seraya goblin lain berlari menginjak-injak tubuh itu tanpa ampun, tangan Goblin Slayer yang bebas sudah mengambil sebuah tombak di lantai. Dia mengangkat perisai pada lengan kiri, menggunakan obor pada tangan itu untuk menakuti para monster, kemudian dia menusuk ke atas dengan tombaknya.

“GOBB?! BGR?!”

Tusuk seekor monster melalui lehernya dan bahkan jika monster itu tidak mati dengan segera, monster itu tidak akan dapat melanjutkan pertarungan. monster itu hanya akan terbatuk dan tersedak. Goblin Slayer menendang kesamping goblin yang berbuih darah, melepaskan tombaknya dan menatik pedang dari tubuh goblin ke dua. “Dengan ini tiga…” dia bergumam di dalam helm, dengan cepat mengamati jumlah dari musuhnya. Dia dapat mendengar adanya langkah kaki tambahan dari lorong. Jumlahnya…

Sepuluh, mungkin?

Tidak begitu banyak dari mereka yang dapat dia lihat, namun jika mereka terus berdatangan dari belakang sana, itu akan menjadi masalah. Menerobos mereka dan keluar dari sini adalah prioritas utama mereka.

“Cahaya!”

“Baik, pak!” Priestess dengan segera mengamati situasi yang paling strategis, dan kemudian, masih menghadap ke depan, mengambil beberapa langkah mundur.

“Semuanya ke belakang!”

“Lakukan!”

Dengan Dwarf Shaman dan Lizard Priest di belakang Priestess, dia memfokuskan dua sosok yang ada di depannya, kemudian menghelakan sebuah doa dengan napas tergesa: “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”

Sebuah cahaya menyilaukan menerangi terowongan menjijikkan di bawah benteng.

“GBOGOB?!”

“GOG?! GGRGB?!”

Para goblin menjerit dan menutup kedua mata mereka, terhuyung ke belakang di karenakan cahaya suci. Sesuatu yang ada sedikit di depan tampak mulai memperlambat mereka, dan mereka mendapati diri mereka tersendat sebelum mereka dapat mencapai belakang partisi. Goblin Slayer menutup jarak di antara mereka dalam sekejap, menyepak monster terdekat sekeras yang dia bisa. Sang goblin terguling di lantai, kemudian menabrak sesuatu dan tergeletak tak bergerak.

“GOORGB?!”

Sekejap berikutnya, sebuah pedang tanpa ampun menghujam dari atas ke bawah, hampir secara harfiah, mengigit makhluk itu. Geliat kematian goblin mencipratkan darah dan jeroan yang terpapan ke segala penjuru arah. Adalah sebuah jebakan brutal yang membuat Priestess terkesiap tidak sengaja. Apakah ini goblin yang membuat para goblin kesulitan untuk lewat?

Sedangkan untuk Goblin Slayer, jebakan ini sungguh sangat membantu. “Empat. Ada jebakan.”

“Kayaknya aku sudah jelas kasih tahu, kalau aku sudah tahu!

“Kita terus ke depan.”

“Arrgh!” High Elf Archer menambahkan sesuatu yang elegan namun tak dapat di artikan dalam bahasa elf, kemudian menarik panah lain dari tempatnya. Dia memberikannya ciuman, dan kuncup itu mekar, kemudian langsung melayu, meninggalkan sebuah kacang. Dia menembakkan panah bermata kacang itu mengarah seekor goblin, menyebabkan goblin itu menjerit saat terkena benturan.

“GOG?! GORGB?!”

“GGOBB?!”

Seraya panah bermata kacang itu mengenai sang goblin, panah itu pecah terbuka, mencipratkan biji-biji. Biji itu menghantam goblin lainnya, yang melupakan apa yang seharusnya mereka lakukan dan berlari mencari perlindungan. Mereka mungkin memiliki armor, namun mereka masihlah seekor goblin. Mereka tidak menyukai adanya tantangan.

“GOOBGB?!”

Tentu saja, beberapa dari biji ini sangat membuat para makhluk ini kebingungan, yang tidak lama kemudian mendapati diri mereka terbelah menjadi dua oleh sebuah pedang. Goblin Slayer tidak akan mempedulikan berapa banyak goblin yang mati. Dia lebih mencemaskan tentang adanya genangan darah yang menyebar di atas lantai batu, mengancam pijakannya.

“Enam… Tujuh!” Dia berada di antara para goblin sekarang, menggunakan senjata pada kedua tangan, menyerang di setiap arah. Mata para goblin terbakar di tempat biji-biji itu mengenainya; terdapat jebakan di belakang mereka dan musuh di depan.

Kekuatan mereka adalah pada jumlah mereka. mereka tidaklah lebih cerdas atau kuat dari pada seorang anak kecil jahat. Mereka ingin melukai, mereka ingin membunuh, namun hanya itu yang mereka miliki. Jadi sekarang mereka tersangkut pada sebuah terowongan di mana mereka tidak dapat menggunakan satu-satunya keuntungan mereka…

“Dengan ini tiga belas.” Goblin Sering di remehkan oleh beberapa orang—itu tidak penting. Mereka memang monster terlemah di dalam Dunia Bersudut Empat. Goblin Slayer menghantamkan obor berkelip kepada makhluk terakhir, mengakhiri nyawanya. “Bodoh.” Dia mengutarakan satu kata ejekan itu seraya dia membuang obornya ke samping. Bagi Priestess, pria itu terdengar seperti dia sedang berbicara kepada seseorang yang saat ini tidak ada.

“…Kurasa kita sudah berhasil melewati mereka, setidaknya.” Untuk sekarang, hal utama adalah untuk terus maju. Priestess telah berhasil mengendalikan napasnya, mengguncangkan tongkat deriknya. Dia menawarkan sebuah doa pendek dan pribadi kepada jiwa mereka yang telah berpulang, agar para goblin yang mati tidak kehilangan jalan mereka setelah kematian.

Kematian adalah akhir. Lebih baik tidak berharap adanya sesuatu yang lebih setelah itu. Bahkan jika mereka adalah goblin.

“Aku mengira mereka ada lebih banyak…” Priestess berkata.

“Kurasa mereka cukup banyak,” High Elf Archer menjawab dengan mengernyit. “Apa yang mau kita lakukan dengan semua mayat ini? Terlalu banyak untuk di sembunyikan.” High Elf Archer tampak seperti kebingungan, namun itu tidak menghentikannya untuk berkeliling mencabut panah dari para mayat. Elf, dan hanya elf saja yang dapat menggunakan panah bermata kuncup.

“Kurasa kita nggak perlu menyembunyikan mereka,” Goblin Slayer berkata membenci, menatap kepada kegelapan di depan. Dia mengeluarkan sebuah obor baru dari kantung, menyalakannya dengan menggunakan bara terakhir pada obor yang tergeletak di lantai. “Kita akan terus ke depan.”

“Hmm…” Lizard Priest menyentuh rahangnya berpikir, kemudian memutar mata di kepala seolah sudah menerkanya.”Saya paham. Anda mempunyai rencana kecil mengerikan yang anda miliki bukan, tuanku Goblin Slayer?”

“Menjijikkan itu bukan sesuatu yang baru bagi Orcbolg.” High Elf Archer berkata dengan helaan lelah. Dia melirik ke balakang, mengibaskan helai rambutnya. “Bagaimana keadaan di belakang? Kayaknya agak senyap di belakang kita ya?”

“Iya!” Priestess mengangguk cepat. “Aku baik-baik saja.”

“Aku juga,” Dwarf Shaman berkata, memasukkan kembali kapak perang yang dia keluarkan sebelumnya. Priestess tidak mengetahui kapan. Jika baris depan telah terdorong hingga ke belakang, maka baris belakang merekalah yang akan terdesak menuju pasak.

“Oke,” High Elf Archer membalas mudah.

Dwarf Shaman menyipitkan mata dan melihat pada darah yang menodai sepatunya. “Mereka mungkin memang bersengkongol sama Kekacauan, tapi… Apa ini yang biasanya kamu temui di dalam benteng nasional?”

“Ini adalah hal yang mereka biasa akan lakukan…berpikir kalau mereka lebih pintar mereka.” Goblin Slayer tidaklah secara langsung menjawab pertanyaan itu, bahkan, dia tampak seperti sedang berbicara kepada dirinya sendiri. Tidak biasanya bagi dia—memang tidak biasa--terdengar kesal. “Menggunakan goblin sebagai prajurit.” 

Goblin Slayer memasukkan jeroan goblin ke dalam bagian bergerak dari jebakan pedang, me-nonaktifkannya. Ini sangat di perlukan agar mereka dapat melanjutkan ke depan, namun ini tidaklah terlihat elok.

Namun terowongan bawah tanah yang di lalui party ini memiliki sesuatu yang jauh lebih mengerikan untuk mereka. di karenakan kegelapan gulita ini sendiri adalah sumber dari suara dercakan kematian yang mereka dengar.

“Itu artinya mereka sama bodohnya dengan goblin.”

*****

Apa yang terjadi di lantai bawah gelap dari benteng ini? Mungkin rincian itu lebih baik tidak di ceritakan. Adalah gambaran biasa dari sebuah sarang goblin. Namun kenyataannya jauh lebih buruk dari itu, karena para wanita muda yang di rantai di sana telah di tangkap oleh tangan manusia; di beli dan di bawa ke dalam tempat ini. Gumpalan daging yang mungkin  di maksudkan sebagai makanan di sekitar sini telah di lemparkan oleh tangan manusia. Beberapa dari para gadis telah menjadi lumpuh, atau urat nadinya di sayat, beberapa yang lainnya memiliki pasak yang menembus pergelangan kaki mereka.

Namun kemudian terdapat mereka yang masih berkulit bersih dan tanpa luka, yang telah kehilangan cahaya mata mereka. mereka telah di persunting. Bukan oleh goblin tentunya. Ini adalah pengembak-biakkan goblin, terbuat oleh tangan manusia.

“____”

Ketika party mereka menendang pintu dan masuk ke dalam, Priestess tidak dapat mengutarakan apa yang dia lihat. Wajahnya sama sekali tidak dapat menggambarkan kekejian dari apa yang ada di depannya, tidak dapat menunjukkan kejijikkan—melainkan, ekspresinya tampak seperti ingin bertanya, “Kenapa?” Ruangn ini penuh dengan rintihan sakit, keputus-asaan—dan ketidakberdayaan jiwa tersiksa yang menggema di keseluruhan benteng.

Para gadis di rantai di sini hingga di penghujung ajalnya. Apakah tubuh mereka akan kalah atau jiwa mereka yang akan hancur. Siapa yang dapat berucap di hadapan semua ini? Apa yang harus di katakan?

“O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, berikanlah kami kedamaian untuk menerima segala hal.”

“Minum tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkanlah para roh menuntunmu. Bernyanyi dengan lantang, berjalanlah dengan cepat, dan ketika kamu tertidur, mereka akan melihatmu, semoga sebotol fire wine akan menyambutmu dalam mimpi.”

Ketika Priestess membuka mulutnya, adalah ucapan doa itu yang keluar, di ikuti oleh Pemanggilan roh oleh Dwarf Shaman. Di kala para goblin menoleh terkejut dari kegiatan keji mereka, semua sudah terlambat. Mereka berteriak dalam suara yang bukan suara, kemudian mulai terhuyung seolah terkantung sebelum pada akhirnya tumbang di atas lantai.

Kemudian Goblin Slayer dan Lizard Priest beraksi dengan satu gerakan mulus. Dalam ruang terbatas seperti ini, panah tidak akan menjadi seefektif pedang atau cakar dan taring dan ekor.

Mereka berdua mengincar mangsa mereka beringas, dan membunuh cepat para monster yang tidak berdaya. Hal ini mengingatkan Priestess akan ruangan di sebuah reruntuhan dahulu sekali. Perbedaannya, jika memang ada, adalah walaupun para goblin terbungkam dan tertidur, kali ini tidak seorangpun yang merasa simpati kepada mereka.

Tidak heran mengapa goblin sebelumnya tidak tampak seperti bugar. Mereka masih menikmati sisa-sisa dari kungjungan mereka di tempat ini. Priestess memperhatikan pria itu dengan satu mata seraya dia melanjutkan untuk berdoa. Sikapnya dengan armor kulit kotor itu sangat acuh; pria itu akan menyayat tenggorokan dengan gerakan terampil, menekan monster yang terbangung, menukar pedang ke tangan lainnya. Priestess telah menyaksikan pemandangan tidak asing ini berkali-kali semasa petualangannya bersama Goblin Slayer.

Dan aku takut…jadi terbiasa lagi. Tiba-tiba dia berpikir. Dia merasa merinding memikirkan itu. Hal itu tidak boleh di biarkan. Dia tidak terlalu mengetahui alasannya mengapa, namun dia merasa bahwa dia tidak boleh terbiasa dengan ini. Ya, ini adalah sesuatu yang sering terjadi. Namun itu bukan berarti dia harus memperlakukan hal ini sebagai hal yang normal.

 “…..!” Priestess menggigit lebih keras bibirnya dari biasanya dan memeluk tongkat deriknya. Kemudian dia berlutut di atas kotoran dan mendekap gadis tahanan. Beberapa dari mereka tentunya sudah “di pake”  baru-baru saja, namun Priestess sama sekali tidak ragu. Tidak mempedulikan kotoran yang menodai seragamnya, dia mendekap mereka satu persatu, membersihkan tubuh mereka.

Seperti yang kita ketahui, Priestess telah di berikan keajaiban Purify. Satu kali pemakaian, dan semua pekerjaan ini akan selesai dalam sekejap. Namun itu bukanlah kegunaan keajaiban ini. Mereka sangatlah berharga hanya karena Priestess sendiri ingin melakukan sesuatu untuk menolong para gadis ini, memberikan mereka kenyamanan sebisa yang dia mampu. Walaupun menjijikkan, pemandangan  berdarah yang terjadi tidak begitu jauh, sekarang dan begitu pula di masa lalu, kesunyian yang begitu lembut dan ramah. Mereka yang telah selamat dari lahan pengembang-biakkan yang mengerikan ini sekarang setengah termenung setelah terselamatkan dari kehidupan neraka mereka.

“…Terkadang aku nggak percaya cara manusia berprilaku.” Hal pertama yang di dengar dari ruangan ini adalah komentar dingin dari High Elf Archer. Dia menarik kerahnya hingga mencapai hidung, mungkin untuk membantunya memblokir bau, dan Priestess tidak dapat melihat ekspresi elf itu.

Priestess membuka mulutnya dan menutupnya kembali. Dwarf Shaman, hanya menghela. “Dan memangnya kenapa, Telinga Panjang? Maksudmu manusia itu semua jahat, jadi mereka harus di punahkan?”

“Bukan itu maksudku,” High Elf Archer menegangkan telinganya mendengar tatapan mencurigakan yang mengarahnya, ini bukanlah sesuatu yang dapat di bicarakan seorang elf.

“Biar jelasnya ya, hal ini juga tidak di anggap pantas di negara ini juga.”

“Bukan itu maksudku!” High Elf Archer melotot membalas. Tidak lama kemudian mereka berdebat, namun setidaknya ketegangan ini telah sedikit melonggar. Namun juga, mungkin dari awal memang tidak ada ketegangan. Priestess hanya gundah. Bukan tentang perdamaian dunia atau semacamnya namun hanya kepada hal sederhana ini: dia ingin semuanya berjalan baik bersama dengan teman-temannya.

“Bagus…” Priestess tidak bermaksud untuk mengutarakan kata itu, namun tampaknya ucapannya terdengar oleh telinga panjang High Elf Archer. Elf itu menggaruk pipinya yang memerah dengan canggung dan berkata seolah mencari alasan: “Hanya manusia yang berbicara dengan kemutlakkan seperti itu kan? Siapapun yang melakukan ini, mereka orang jahat kan?”

“Tentu saja, sudah sewajarnya untuk menganggap tanggung jawab di atas medan perang tidaklah jatuh kepada prajurit, melainkan kepada komanda mereka.” Lizard Priestess meludahkan beberapa jeroan yang masuk ke dalam mulutnya. Dia menghargai tinggi kesempatan untuk memakan jantung dari lawan yang kuat—namun goblin bukanlah makhluk seperti itu. “Saya setuku bahwa sepertinya beberapa dari pemimpin ini bersekongkol dengan pasukan Kekacauan yang mengawasi ini.”

“Tapi, walaupun begitu…apa namanya?” Goblin Slayer memutar kepalanya seolah ingin mencari kata yang mengambang di udara. “…Si ogre itu, bahkan dia lebih baik dari ini.”

“Huh, tumben kamu mengingatnya,” High Elf Archer berkata seraya dia menahan sedikit tawanya. Goblin Slayer benar-benar menghiraukan gadis itu, dan hanya mendengus pelan, “Siapapun itu, kemungkinan mereka adalah musuh yang pernah kita hadapi di festival panen tahun lalu—pemula yang tidak mengerti cara menangani goblin.”

“Oh… Maksudmu dark elf itu.” Priestess mendapati pikirannya kembali kepada dark elf yang dia hadapi di kota. Dia tidak ingin berprassangka, namun dia juga mengetahui bahwa banyak dari para dark elf yang bersekutu dengan Kekacauan dan ingin mengobrak-abrik Ketertiban dunia. Dia bahkan mendengar rumor yang mengatakan bahwa para dark elf adalah yang berada di balik layar dari insiden dengan anggur persembahan itu. (TL Note : kejadian di kebun anggur sebelumnya, di mana anggurnya di jadikan semacam sesajen di kuil Priestess.)

Kalau itu juga terjadi lagi di sini…

…Yah, itu nggak akan bagus. Priestess berpikir. Walaupun dia yakin bahwa ini tidaklah seperti itu.

“Sekarang kita harus menolong mereka…” Tidak, tidak sekarang. Priestess menjaga pikirannya agar terus maju. Mereka sedang berada di wilayah musuh. Dia harus berpikir. “Ini tentang cara akan bagaimana untuk menolong mereka kan?”

“Pertama, kita temui dulu pemberi quest kita.” Goblin Slayer, membuang pedangnya, tumpul di karenakan darah dan jeroan, dan mengambil sebuah tombak goblin sebagai penggantinya. Dia memasukkan tombak itu ke belakang punggungnya dan di tambah dengan pedang melengkung yang dia masukkan ke pinggulnya. “Kita akan memindahkan banyak orang, karena itu kita perlu membuat pengalihan.”

“Dan jika gadis itu tidak berhasil keluar dari tempat ini dengan aman, maka quest kita akan gagal.” Dwarf Shaman meneguk anggurnya seolah menjadikannya seperti pencuci mulut, mengelap tetesan yang terjatuh di jenggot dengan lengannya. “Bisa di bilang kita nggak terlalu sembunyi-sembunyi, jadi kenyataan bahwa kita belum ketahuan oleh mereka tampaknya sebuah pertanda bagus.”

“Dragontooth saya masih dalam kondisi sehat, jadi tidak perlu khawatir,” Lizard Priest berkata seraya dia mengangkat wanita muda dengan mudah, yang sekarang menjadi mantan tahanan, namun masih tertidur. Tampaknya, Priestess menduga, bahwa terdapat semacam koneksi spiritual di antara perapal dan familiar mereka. itu adalah benar bagi seorang cleric yang memanggil pembawa pesan surgawi, dan Lizard Priest tampaknya memiliki koneksi yang sama dengan Warriornya.

“Apa kamu bisa membimbing kita dan membawah wanita itu di waktu yang bersamaan?”

“Saya tidak dapat melihat secara terperinci tentang di mana kita berada, namun jika kita hanya membutuhkan pemahaman dasar, maka saya percaya bahwa ini tidak mustahil.” Paling tidak, dia tidak akan bisa bertarung dengan adanya para wanita ini di punggungnya. Dia memutar mata di kepalanya, mengetahui bahwa dia tidak perlu mengucapkan ini.

“Itu akan cukup,” Goblin Slayer membalas dengan anggukan kecil dari kepala berhelmnya, kemudian melangkah dengan sigap. Langkah acuhnya adalah yang sama seperti biasa, dan sebuah gelengan kepala menyerah dari High ELF Archer. “Kamu harus mengintai ke depan. Aku tahu kamu tahu cara melakukannya, Orcbolg.” Sang elf menemani Goblin Slayer ke pintu, pintu yang bersebrangan dengan jalan yang mereka masuki, dan mulai memeriksanya.

Sepertinya mereka mempunyai cara untuk melewatinya. Priestess berpikir bahwa dia memahami mengapa para prajurit di atas sangat tidak sabar untuk menyegel tempat ini, yang penuh dengan perangkap, tersembunyi di bawah tanah. Akan menjadi sangat sulit untuk hidup dengan normal jika mengetahui tempat mengerikan seperti ini berada tepat di bawah kakimu. Dan yang lebih buruk lagi, untuk hidup dengan pemahaman bahwa tindakanmu adalah yang membuat para goblin itu dapat melakukan apa yang mereka lakukan. Ketika seorang prajurit turun kemari, teriakan dan jeritan para wanita, para tahanan, akan menyiksa batin prajurit itu—walaupun itu adalah hasil dari apa yang telah mereka lakukan dari para wanita itu, sesuatu yang sangat dia gemar lakukan.

Aku nggak bisa membayangkan kalau mereka nggak merasa seperti itu. Kalau memang mereka nggak merasa seperti itu…

Maka secara teori mereka sudah menjadi Karakter-Tak-Berdoa.

Priestess mengitari di belakang Lizard Priest, mencoba untuk tidak memikirkannya seraya dia membantu menurunkan wanita yang ada di punggung Lizard Priest. “…Dragontooth Warrior sangat membantu ya?” Priestess berucap pelan seperti berbisik. Adalah sebuah percakapan basa-basi. Tidak ada angin di sini untuk menghembus udara pengap ini. Karena itu mereka mencoba untuk berbicara dan tertawa untuk meringankan suasana sebisa mereka.

“Ah, Baik atau buruknya tergantung dari sang perapal. Dengan cukup talenta, kekuatan seseorang dapat menjadi selebar langit, sedalam samudra, seluas bumi.” Lizard Priest memutar mata di kelapa, menerima sebuah helaan lega dari Priestess.

“Aku harap semoga suatu saat ada pembawa pesan dari Ibunda Bumi yang datang kepadaku.” Priestess berkata.

“Jika keyakinanmu tidak gentar, maka hari itu pasti akan datang.”

Priestess merasa seseorang menekan punggungnya. Dwarf Shaman tersenyum kepadanya seolah ingin mengatakan Jangan mencemaskannya. Priestess memutar matanya ke depan untuk menemukan Goblin Slayer dan High Elf Archer telah membuka pintu dan menunggu mereka.

Keyakinanku…

Priestess bertanya-tanya, jika itu adalah kata yang tepat tentang apa yang dia rasakan di dalam. Pertanyaan itu telah ada di dalam dirinya semenjak dia kembali hidup-hidup dari petualangan pertamanya. Namun di saat yang sama, terdapat pikiran ini. Mungkin bertanya-tanya itu adalah keyakinanku.

Hal-hal ini yang dia pelajari dari anggota yang lebih berpengalaman dari kuil, dan semua hal yang telah dia lalui sejauh ini, membuat dirinya berpikir demikian. Dia berlari mengikuti Goblin Slayer, yang terasa semakin dekat dengan dia dari sebelumnya. Priestess berdoa untuk kedamaian mereka yang mati, untuk penyembuhan dan kebahagiaan abadi dari wanita yang terluka, dan keselamatan rekan dan teman dirinya.

*****


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya