POLA CINTA HASE KANA YANG KIKUK
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


“Maaf, ada cewek lain yang kusuka.”

Hase Kanna mendengar kata-kata tersebut setelah dia selesai membersihkan halaman dan sedang berjalan menuju kelasnya kembali. Ketika dia sedang membersihkan alat piket dan melewati koridor sekolah yang menuju ke ruang gym…dua sosok orang dapat terlihat di sisi semak belukar yang berada tepat di samping kolam tempat kepala sekolah mengambil air setiap paginya.

Sosok pertama bernama Himemiya Iori. Ia tinggal di asrama yang sama dengan Kanna……Asrama Sakurasou, tempat untuk siswa-siswi bermasalah di SMA Suiko ini.

Pada awalnya, Kanna berniat untuk kembali ke kelasnya langsung. Dia bukan tipe orang yang suka ikut campur dengan urusan pria dan wanita apa pun situasinya. Namun, begitu dia mengetahui kalau Iori yang berada di situasi itu, langkah kaki Kanna langsung berhenti tanpa dia sadari sambil bersembunyi dibalik pilar yang menopang atap koridor tersebut. Dia juga menahan napasnya agar tidak mengeluarkan suara.

Untuk sosok yang kedua di depan Iori, Kanna kenal dengan gadis itu. Dia adalah anak kelas satu yang berarti dia dua tahun lebih muda dibanding dengan Iori. Seorang kohai yang berada di klub memasak. Nama gadis itu adalah Hiyoshi Mikako. Meski Kanna tidak tahu detailnya, dia pernah mendengar siswa-siswa di kelasnya berkata, “Celemeknya sangat imut” atau “Di itu kebanggaan klub memasak”, atau yang lainnya. Selain itu, Kanna juga pernah melihat makanan yang dibuat oleh gadis itu untuk klub Iori. Mungkin saat itu juga dia mengetahui nama dari gadis tersebut.

“Yah, kalau begitu…itu…”

Mikako yang murung menatap Iori langsung dengan tekadnya yang teguh.

“Maksudnya senpai tidak bisa berpacaran denganku?”

Kedua tangan gadis itu yang berada di dadanya gemetaran secara samar.

“Maaf.”

Iori meminta maaf lagi.

Jantung Kanna tiba-tiba berdetak kencang ketika dia melihat pemandangan tersebut. Dia penasaran kenapa dirinya merasakan hal itu.

“Boleh kutanya satu hal ke senpai?”

“Apa?”

“Orang yang Himemiya-senpai suka itu Hase-senpai yang tinggal di asrama yang sama, kan?”

“Eh?”

Iori merasa terkejut dengan pertanyaan yang tak diduganya itu. Kanna tanpa sadar juga terkejut. Dia segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Jantungnya juga berdetak semakin kencang. Dia tidak mengira kalau namanya akan muncul saat itu. Jantungnya berdetak begitu hebat.

“Tunggu, kenapa kau bisa tahu?”

Iori sedikit terkejut untuk sesaat, namun bertanya balik. Pertanyaannya itu pada saat yang sama menegaskan pertanyaan Mikako.

“Aku sering melihat senpai berduaan dengannya, jadi rasanya kalian terlihat sangat akrab.”

Kanna tidak tahu kalau orang-orang di sekitar melihat mereka berdua seperti itu.

“Apa senpai berpacaran dengannya?”

Kemudian, Mikako bertanya lagi.

Meski setelahnya Iori tertawa seakan tersipu malu.

“Aku pernah menembaknya dua kali dan semuanya ditolak.”

Ia menjawab pertanyaan itu dengan serius.

“Tapi senpai masih menyukainya?”

“Ya, Aku menyukainya.”

Kanna mendengarkan semua perbincangan tersebut sambil bersandar ke pilar. Dia ingin sekali kabur cepat-cepat ke gedung sekolah, tapi gawat rasanya jika dia ketahuan oleh kedua orang tersebut.

“Terima kasih. Terima kasih karena terus terang.”

Tampaknya ia tidak tahu harus membuat ekspresi wajah seperti apa jadi Iori menunjukkan ekspresi wajah dengan senyum yang terasa dipaksakan.

“Maaf…tapi, terima kasih juga.”

“A---aku tidak bisa mendukung senpai, tapi terus lakukan yang terbaik.”

Dengan senyum tabahnya, Mikako berlari ke taman bunga.

Iori yang melihat itu hanya menggaruk-garuk kepalanya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaan gadis itu.

Kanna merasa gelisah karena alasan Iori menolak gadis itu adalah dirinya sendiri. Dia harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini sebelum jadi emosional. Jika Iori melihatnya, urusannya akan jadi rumit nantinya.

Setelah berpikir begitu, dia berdiri dari bayang-bayang pilar. Saku blazernya tersangkut ke pilar yang permukaannya kasar.

“Kyaaaa…”

Tiba-tiba, rasanya seperti sedang ada seseorang yang menariknya dan teriakan kecil muncul.

Dia kira roknya terangkat, tapi tidak.

Namun, ada masalah lain yang harus dihadapi oleh Kanna.

Bayang-bayang seseorang sedang berdiri di depannya.

Dia penasaran dan mengangkat wajahnya, dilihatnya wajah Iori yang sedang menatapnya dengan curiga.

“Apa yang kau lakukan di tempat ini?”

“Aku baru mau kembali ke kelas setelah membersihkan halaman.”

Kanna mencoba untuk berdiri sambil berpura-pura tenang. Tapi dia tidak bisa menatap Iori langsung. Iori yang melihatnya sambil berkata, “Sama, kalau begitu” mengusik hati Kanna.

“Ooh…”

Iori berjalan memasuki gedung sekolah tanpa bertanya lebih lanjut.

Dengan situasi seperti ini, Kanna masih merasa gelisah. Dia langsung mengejar Iori dan berjalan di sebelahnya.

Melangkah maju di koridor lantai pertama.

“……”

“……”

Meski Kanna berada di sebelahnya, Iori tidak mengatakan apa-apa.

Kanna yang memulai percakapannya.

“Kenapa kau menolaknya?”

Langsung ke intinya.

“Hmm?”

Ekspresi wajah Iori sangat susah ditebak oleh Kanna. Ia terlihat seperti anak kecil yang polos dan terlihat lebih muda dari usianya saat ini.

“Aku mendengarnya tadi.”

“Tunggu, kau mendengarnya?”

Iori menatapnya dengan curiga tapi tak mengatakan apa-apa lagi.

“Gadis yang tadi, Hiyoshi anak kelas satu.”

“Kenapa kau bisa tahu?”

“……”

Bahkan jika Kanna memberitahunya, dia tidak bisa bilang kenapa dia mengingat nama gadis itu. Dia sedikit menoleh ke Iori, tapi Kanna tidak merasa kalau Iori punya maksud khusus menanyakan hal tersebut. Pandangannya tetap mengarah ke depan.

“Kau menyia-nyiakannya.”

Sebelum bisa ditanyai lebih lanjut, Kanna mengalihkan pembicaraannya.

“Kenapa?”

“Dia itu……tidak seperti seseorang, dia imut.”

“Yah, kurasa memang imut.”

“Tidak seperti seseorang, dia ramah juga.”

“Dia sering membuat cemilan untuk kegiatan klub.”

Itu karena dia menyukai Iori.

“Tidak seperti seseorang, gayanya sangat modis.”

“Aku jadi ingin menyentuh dada itu sekali saja.”

Bahkan ketika terlihat dari lekuk bajunya, Kanna bisa tahu kalau Hiyoshi punya dada yang besar. Mustahil bagi Iori untuk tidak menyadarinya.

“Tidak seperti seseorang……”

“Apa? Kau ini kenapa hari ini? Kau terlihat lebih marah dibandingkan yang biasanya. Jangan menggangguku.”

“Tidak seperti seseorang, dia tidak akan merepotkan.”

Dalam anggapan Kanna, Iori terlihat sangat mencolok. Dia mengira kalau ucapannya barusan mengganggu Iori. Tapi dia langsung menyesalinya setelah mengatakan itu. Ini sudah biasa bagi Kanna.

“Aku ingin ikut dengan mereka.”

“Kenapa?”

“Kau bilang kau membutuhkanku setiap hari.”

“Setiap dua hari sekali,” ucap Kanna dengan wajah serius.

“Bulan kemarin juga, kau ditembak dua kali dan menolaknya.”

“Kenapa bisa tahu hal itu!? Tungguh, kau juga melihat yang itu?”

“Tidak, jangan berpikir kalau aku menguntitmu. Kanda-san yang memberitahuku.”

Kanda Yuuko adalah teman sekelas Kanna yang juga tinggal bersama di asrama Sakurasou. Dia juga adik dari Kanda Sorata…yang sudah lulus dari Suiko ini.

“Dia itu, kukira mulutnya bisa jaga rahasia.”

“Tidak ada rahasia yang disembunyikan antaraku dan Kanda-san, karena dia akan memberitahuku semua yang terjadi sebelum tidur.”

Tentu saja, karena hanya Yuuko yang mengatakannya secara sepihak, ada banyak hal yang tidak Kanna bicarakan ke Yuuko. Misalnya saja, tentang perasaannya yang sebenarnya, dia sedang…

“Yah, Aku tidak begitu peduli.”

“Kau itu populer.”

“Apa itu mengganggumu?”

“Sama sekali tidak.”

“Omong-omong, wajahmu menyeramkan.”

“Memang sudah seperti ini.”

Kanna berencana untuk meninggalkan Iori dan mempercepat langkahnya sedikit. Namun, karena langkah kaki Iori yang panjang, ia dengan mudahnya menyusul Kanna.

“Karena kau populer, harusnya kau bisa berpacaran dengan gadis baik-baik.”

“Jika kau mengatakan itu, apa kau mau berpacaran denganku?”

“Aku tidak menyukaimu.”

“Kenapa aku begitu dibenci?”

“Ketika kita berduaan……”

Suara Kanna mengecil saat mencoba mengatakannya.

“Ketika kau bersama denganku?”

Iori mendesaknya dengan penuh harap.

“……Kupikir karena kau itu bodoh sebelumnya.”

Agar dapat menghindar dari kata-kata tersebut, Kanna berbohong.

“Kau yang bodoh karena menyebut orang lain bodoh!”

Iori melawan balik

“Kau yang bodoh.”

“Tapi kau yang pertama kali menyebutku itu.”

“Oh!”

Iori masih mengatakan sesuatu ke Kanna, tapi dia tidak mendengarnya.

Dia sedang memikirkan kata-kata yang dia akan ucapkan sebelumnya.

- Ketika kita berduaan, kita terlihat menonjol karena reputasi buruk kita.

Memang seperti itu nyatanya.

Iori yang ramah ke semua orang mempunyai kemampuan untuk menyemangati orang-orang di sekitarnya. Namun, sifatnya acuh.

Lewat musik, ia juga menghadapi lingkungan yang keras. Kecelakaan yang dialaminya dua tahun lalu mematahkan tangan kanannya setelah mendedikasikan dirinya untuk bermain piano sedari kecil. Meski cedera itu sudah membaik sekarang. Bahkan jika ia mencoba untuk lari dari piano dan musik, hal itu tak bisa dilakukannya.

Tetap saja, Iori memutuskan untuk bangkit dan memainkan piano kembali. Selain dari keteguhan mentalnya itu, Iori yang acuh terbentuk.

Meski Iori bersikap seolah hal itu bukan apa-apa baginya, Kanna berpikir kalau itu hal yang luar biasa. Bahkan dengan kekurangan yang menghadangnya, Iori tidak mundur sama sekali.

Dia berpikir ekspresi wajah Iori itu menjadi dewasa karena pengalaman yang dilaluinya. Dibandingkan dengan dirinya saat upacara masuk, postur tubuh Iori terasa lebih tegap dan terbuka. Jika mereka berjalan bersebelahan, Kanna harus mengarahkan pandangannya ke atas agar bisa melihat wajah Iori.

Dengan tinggi tubuh Iori yang berbeda dengan Kanna, mungkin sebuah ciuman tak akan tersampai meski dia harus jinjit. Untuk sesaat, dia tidak perlu memikirkan hal itu……Namun entah mengapa, Aku mengerti kenapa para gadis menyukai Iori.

Ia itu tampan dan tinggi serta mempelajari musik dengan serius. Tertawanya seperti anak kecil polos meski pernah melalui pengalaman pahit. Wajahnya terlihat seperti orang bodoh ketika ia membuka mulutnya, sama seperti para pria ketika melihat gadis yang mereka sukai. Bagaimana dengannya sendiri jika dibandingkan dengan semua itu?

Ketika dia melihat cerminan dirinya di kaca, dia melihat gadis SMA murung yang memakai kacamata. Gaya rambutnya kuno dan wajahnya tidak ramah sama sekali. Tubuhnya juga tidak ‘berisi’ seperti yang disukai siswa kebanyakan. Bahkan Iori pernah menyebutnya “Rata.” Saat lulus dari SMP, dia berharap kalau dadanya akan tumbuh sedikit lebih besar, tapi dari tes fisik tahun tidak menunjukkan adanya pertumbuhan. Dia mengira kalau dirinya tidak memiliki pesona yang dimiliki oleh kebanyakan gadis seusianya.

“……”

Lagi pula, gadis-gadis yang berdada besar itu sempurna bagi Iori. Tepat seperti Hiyoshi yang menembak Iori…dia adalah perwujudan dari kata ‘gadis’, sangat berkebalikan dengan Kanna.

“Jangan tiba-tiba diam seperti itu.”

Kanna mengangkat wajahnya yang murung, dan wajah Iori berada tepat di depannya. Ia sedang melihat langsung ke wajah Kanna. Jaraknya mungkin tidak lebih dari sepuluh sentimeter.

Kanna merasakan kalau suhu tubuhnya meningkat tajam. Wajahnya saat ini mungkin saja merah padam.

Agar menghindari dari ketegangan itu, Kanna mendorong tubuh Iori dengan kedua tangannya.

“Jangan dekat-dekat.”

Iori yang melawan balik mendekatkan hidungnya ke Kanna.

“Tunggu, aromamu harum.”

“Diam! Diam! Jangan mesum seperti itu.”

Saat jam kelima, da bermain bola voli di kelas olahraga. Jelas saja, kalau dia akan berkeringat. Kanna mengira kalau aroma tersebut bau semprotan deodoran yang digunakan saat berganti baju, tapi tetap saja memalukan jika Iori mengucapkannya terang-terangan.

“Tahan napasmu jika tidak, MATI!”

“Ada banyak hal di dunia ini yang masih belum ingin kutinggalkan, contohnya saja, Aku belum pernah pacaran dan menyentuh dada pacarku.”

“Aku tidak akan pernah mau pacaran denganmu apalagi membiarkanmu menyentuh dadaku.”

“Kenapa kau tidak mau?”

Iori mulai menaiki tangga. Tujuannya adalah lantai tiga tempat dimana ruang kelas para siswa-siswi berada. Saat ini sekolah sudah usai, jadi mereka hanya perlu mengambil tas mereka dari kelas masing-masing.

Kanna menaiki tangga setelah Iori. Sejak kejadian itu, Kanna berusaha agar tidak berjalan di depan Iori. Patah tulang yang dialami oleh Iori dua tahun lalu terjadi ketika Iori menyelamatkan Kanna yang terjadi dari tangga. Tangan yang patah tersebut merupakan hal yang penting bagi Iori untuk bermain piano……

“Sudah cukup, aku tidak mau menjawab pertanyaan sebelumnya.”

Kanna mengakhiri percakapan mereka.

“Tidak, bukan seperti itu.”

Iori yang berada di tempat yang lebih tinggi menoleh ke arah Kanna.

“Apa?”

“Kenapa kau selalu berjalan di belakangku ketika menaiki tangga?”

“Rokku pendek!”

Kanna tidak mengira kalau Iori memperhatikan hal tersebut.

“Terus kenapa?” balasnya dengan enteng.

“Maksudmu, kau…?”

“……”

“Kau pikir aku akan mengintip?”

“Ya.”

“Tidak akan!”

“Kenapa?”

“Aku hanya penasaran apa kau melakukannya dengan sengaja atau tidak.”

Wajahnya sangat serius ketika mengatakan itu.

“Tu—Tunggu dulu, kenapa kau bisa mengatakan hal seperti ini di sini?”

Kanna menatap Iori dengan sinis.

“Omong-omong, bagaimana keadaanmu akhir-akhir ini?”

“……Aku tidak melakukannya.”

Mereka mulai menaiki tangga lagi. Kanna ingin mengakhiri pembicaraan tentang cara uniknya melepas stress ini sesegera mungkin.

Tapi pandangan Iori tertuju ke ujung roknya.

“Kemana kau melihat, dasar mesum.”

“Kakimu tambah gendut?”

“……”

Sudah tidak memperdulikan tentang Iori lagi, Kanna segera menaiki tangga dengan cepat. Dia sudah tidak keberatan jika harus berjalan di depan Iori sekarang.

Tapi Iori segera menyusulnya.

Mereka tiba di lantai tiga tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka harus berpisah di sini karena jurusan mereka yang juga berbeda, Kanna di jurusan regular dan Iori di jurusan musik.

Jujur saja, dia merasa lega.

Entah kenapa, dia tidak mau orang lain melihatnya ketika bersama dengan Iori. Dia juga sedikit penasaran tentang bagaimana mereka berdua di mata orang lain. Sebenarnya, Hiyoshi Mikako ragu kalau mereka berdua berpacaran…Dia harus mengingat hal ini baik-baik agar tak ada rumor buruk yang muncul.

Kanna berisap untuk berjalan ke kelasnya sambil memikirkan tentang hal itu. Namun…

“Oh, tunggu.”

Iori memanggilnya.

“Masih belum selesai?”

“……”

Wajah Iori tampak serius.

“Katakan cepat.”

Teman sekelas mereka masih ramai menghuni koridor sekolah di sekitar mereka.

“Aku…”

“……Aku apa?”

Iori menutup matanya dan mengambil napas dalam-dalam secara perlahan. Setelahnya, ia berkata.

“Aku mengikuti kompetisi All-Japan.”

Ia mengatakan tersebut dengan suara yang lantang.

Tatapan Kanna tertuju ke tangan kanan Iori. Tepat di pergelangan tangannya, tangan yang penting itu patah dua tahun yang lalu.

“Tahun ini, kompetisinya akan diadakan di gelanggang musik Suimei.” 

Iori merasa sedikit malu.

“Memangnya kenapa?”

Entah kenapa Kanna bisa mengetahui kata-kata Iori selanjutnya. Tapi tetap saja, Kanna diliputi rasa gembira dan gelisah.

“Tidak datang melihatku?”

“……Kenapa aku harus datang?”

“Aku ingin kau melihatku.”

“Kapan babak penyisihannya?”

Betapa mudahnya jika dia bisa mengatakan “Tidak?” dengan jujur tapi Kanna tidak bisa melakukan itu.

“Kau bisa lolos ke final?”

“Entahlah, kurasa aku bisa lolos babak pertama, tapi setelahnya aku belum latihan lagi.”

“Kalau begitu, setelah penyisihan selesai, ajak aku lagi.”

Dia kira dirinya tidak berhak mengatakan itu.

“Yah, kalau maumu begitu, baiklah.”

Iori dengan wajah serius mengatakan, “Benar juga.”

“Yah, setelah lolos, katakan lagi.”

Dengan perasaan riang itu, Iori mulai berjalan menuju ruang kelasnya di jurusan musik. Kanna tidak tahu kenapa Iori begitu senang tapi dia mengabaikannya.

Ketika Kanna menatap punggung Iori, dia berpikir.

“Aku sama sekali tidak ada kemajuan.” teriaknya dalam hati.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya