Anastasis dari Neraka

Penerjemah: Zerard


“...Fwoo...”

“Mmm...!”

“Phew...”

Tiga wanita bersama dapat menjadi cukup ribut, namun pada saat ini ketiga wanita muda ini hanya sekedar menghela. Ruangan batu redup di penuhi dengan asap parfum, sebuah kabut putih yang menghalangi mereka untuk bahkan melihat wajah orang di samping mereka. Sandaran dari bangku marmer adalah sebenarnya bagian dari sebuah kotak-kotak besar, dan dari sanalah uap ini berasal. Berpakaian hanya dengan kain tipis—High Elf Archer tengah mengenakan sebuah handuj—mereka bersantai dan membiarkan keringat mengalir. Pemandian uap asing ini adalah hal sempurna setelah perjalanan melelahkan mereka di gurun.

“...Ahhh... Manusia itu memang suka berpikiran yang aneh-aneh...” High Elf Archer berkata, telinganya melemas, terlihat malas seperti suaranya. Tampaknya sudah begitu lama semenjak dia mengkhawatirkan tentang pemandian sebagai tempat di mana roh bercampur. Rambutnya lembab dengan uap mengambang; Wajahnya merupakan gambaran ekspresi puasl

“Ini berbeda daripada duduk di depan perapian, kan?” Priestess berkata.

“Tahu nggak, beberapa kastil dan mansion besar itu di panaskan dengan sebuah api yang membara dalam ruangan granit,” Female Merchant menambahkan, lidahnya juga terlalu malas untuk membentuk kata yang sopan. Dianjuga, terlihat begitu santai. “Itu karena batu itu penghantar panas yang baik. Aku harus akui, menggunakannya untuk pemandian uap itu sangat...unik.” Seraya dia berbicara, Female Merchant menggerakkan tangannya mengarah otot leher ya. Mungkin bekas luka itu sedikit menyakitinya.

Priestessm memegang barang miliknya dengan hati-hati, memutuskan untuk mengganti subyek. “...Yah, um, kita sudah sampai di kota. Tapi...apa yang harus kita lakukan sekarang?” Ya, itulah permasalahannya. Priestess memejamkan kedua mata. Tidak, dia berpikir, ini bukan sebuah masalah kok. 

Mungkin aliran darahnya telah meningkat. Dia membiarkan dirinya tenggelam ke dalam panas, sangat berbeda, lebih nyaman dari, terbakar di gurun. Bahkan dalam negara matahari dan pasir ini, pemandian uap ini banyak tersebar di mana-mana. Dia mendengar kamu bahkan dapat mendapatkan pijatan di suatu tempat dalam bangunan ini.

Namun tidak ada waktu untuk melonggarkan otot mereka. Terdapat hal yang mereka harus lakukan. Benar, ini bukanlah masalah. Ini adalah pertanyaan akan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah.  Setelah memasuki kota dengan bantuan para Myrmidon, party mereka menemukan sebuah penginapan dan tengah melakukan hal berikutnya: Istirahat dan penyembuhan, itu adalah yang utama. Dan kemudian mereka akan mencari informasi yang mereka butuhkan untuk langkah mereka selanjutnya.

Ketika kamu tidak mengetahui kanan atau kiri, sangatlah tidak di sarankan untuk maju ke depan. Lizard Priest dan Dwarf Shaman berkata bahwa mereka akan mencari sesuatu untuk di makan dan memeriksa kota sekaligus. Goblin Slayer pergi sendiri, mengatakan bahwa dia harus pergi ke suatu tempat. Hal itu membuat para gadis di tinggal sendirian...

Aku penasaran apa mereka memang sengaja.

Pria itu meninggalkan mereka hanya dengan sebuah perintah acuh, “Istirahat,” namun mereka telah saling mengenal dalam waktu cukup lama sekarang. Priestess dapat menebak apa yang pria itu pikirkan.

Tidak seperti sebelumnya, dia mempunyai banyak pilihan sekarang. Dia hanya harus mengutarakannya. Tetap saja, Priestess hanya membalas pria itu dengan “Baik,” dan dia, Female Merchant, dan High Elf Archer mendatangi rumah pemandian ini. 

Jika dia dalam kondisi fisik dan mental yang tidak baik, dia tidak akan bisa berdoa kepada dewi ketika saatnya tiba. “Soalnya ini itu wilayah musuh.”

Seseorang harus bersantai ketika waktunya bersantai dan siaga ketika waktunya siaga. Priestess menjulurkan lengannya, mengambil air dari ember di dinding, dan membilas wajahnha. Cipratan air, rasa dingin di atas kulitnya yang panas, terasa nikmat.

“Aku...” Female Merchant berkata malu, “....berpikir untuk melakukan beberapa bisnis.”

“Bisnis?” High Elf Archer bertanya, telinganya menjentik.

“Mm-hmm,” Female Merchant membalas dengan anggukan cepat. “Kita kehilangan kereta kita, tapi aku membawa beberapa benda yang akan bagus untuk di dagangkan.”

Kalau di pikir lagi... Priestess berpikir. Dia tampak mengingat Dwarf Shaman mempunyai beberapa permata berharga yang di jahit ke dalam pakiannya. Pria itu menjabarkan kepada dirinha bahwa ini adalah salah satu cara untuk bersiap pada sebuah perjalanan, dan sekarang Priestess memahami apa yang pria itu maksud. Bagasi atau kargo bisa saja hilang, namun pakaian pada tubuhmu biasanya akan tetap pada tubuhmu. Priestess mendekap pakaiannya lebih erat dan berbisik, “Aku mengerti.”

Female Merchant mengangguk. “Aku tahu sebuah bisnis yang dulunya berdagang dengan negara kita sebelum perebutan kuasa tahta. Aku akan tanya-tanya di sekitar sana.”

“Sendirian?” High Elf Archer menyipitkan mata, kemudian dia mencondongkan tubuhnya mengarah Priestess seolah mengharapkan bantuannya. “Bukannya itu sedikit berbahaya?”

“Aku agak setuju,” Priestess berkata, menyentuh bibir dengan jarinya, berpikir. “Kita nggak tahu apa yang ada di sana... Dan karena kamu adalah pemberi quest kamu, secara teknis kami adalah pengawalmu.” Ya, walaupun Female Merchant mengetahui beberapa sihir, walaupun dia membawa sebuah pedang dan tahu cara menggunakannya, dan walaupun dia adalah mantan petualang, dia tidak boleh di biarkan pergi sendiri dalam wilayah berbahaya...apa yang akan pria itu katakan.

“Kurasa kami nggak bisa membiarkanmu pergi sendiri,” Priestess memaksa.

“Begitu...”

Priestess berkedip untuk melihat Female Merchant memalingkan kedua matanya ke lantai, seolah kecewa atau depresi. Kemudian dia harus memaksa dirinya sendiri untuk tidak tertawa. High Elf Archer pasti menyadarinya juga, karena sebuah cekikikan layaknya sebuah lonceng terbentuk di dalam tenggorokan Female Merchant.

Sangatlah menyenangkan bagi mereka berdua untuk melihat temannya bertingkah sesuai dengan umur mereka.

“Kalau begitu ini dua, dua!” High Elf Archer berkata girang. Dia mengacungkan dua jari pada masing-masing tangan, menunjuk kepada Priestess dan Female Merchant.

Mereka berdua menatap balik High Elf Archer, seolah mengatakan: Dua?

“Yep!” High Elf Archer berkata, membusungkan dada kecilnya, “Aneh rasanyam dari cara Orcbolg pergi sendirian. Seharusnya itu berduaan—berbahaya untuk pergi sendirian!”

Itu artinya Female Merchant, walaupun dia pemberi quest, tidak di perlakukan sebagai orang luar, melainkan salah satu dari tim. Adalah mustahil untuk memastikan apakah ini benar-benar di sengajam namun terkadang pemikiran dalam para elf memang benar menguak kebenaran.

Mata Female Merchant terbelalak untuk sesaat, dan kemudian sebuah senyum bersemi pada wajahnya bagaikan bunga. “Baiklah! Kalau begitu...oke,” dia berkata dengan anggukan. Seperti anak kecil penurut, pikir Priestess. Walaupun umur mereka berdua tidak berbeda jauh. Walaupun, benar, Female Merchant adalah yang paling terlihat dewasa di antara mereka. Priestess iri dengan itum hanya sedikit. Namun kenyataannya adalah dirinya yang lebih berpengalaman; di banding Female Merchant, dan jika begitu...

“Aku akan senang untuk—“

“Aku akan pergi ‘berbisnis’ atau apalah dengannya, kamu sama Orcbolg saja!”

High Elf Archer telah mendahului Priestess. Dua jari yang dia acungkan sampai sekarang, kini berubah menjadi saty, menunjuk pada dirinya.

“Er, uh...” Priestess berkedip beberapa kali. “Aku baru mau bilang kalau aku akan pergi bersamanya...”

“Aw, kalian berdua ini sudah nempelan terus melintasi badai itu. Kita sudah lama nggak bertemu dengannya, aku mau berbicara dengannya juga.”

Rasanya janggal untuk mendengar seorang elf mengucapkan “lama” dengan begitu santai, dan Priestess cekikikan sendiri. High Elf Archer menatapnyam tampaknyz berpikir bahwa Priestess sedang mengejeknya. “Ja-jangan salah paham,” Priestess berkata dengan lambaian tangan.

“Aku—“

Dia menoleh kepada Female Merchant.

“...nggak masalah dengan itu... kalau kamu nggak keberatan?”

“Ya,” Female Merchant berkata dengan anggukan. “Aku juga memang berharap untuk berbicara pada kalian berdua.”

“Oke deh kalau begitu!”

High Elf Archer sendiri begitu girangnya. Priestess memanyunkan bibir, merasa dirinya di perlakukan seperti anak kecil oleh Female Merchant. Namun mencemaskan tentang di perlakukan seperti anak kecil, apalagi merajuk karena itu—bukankah itu adalah yang paling kekanak-kanakan.

Dengan itu, Priestess mengangguk. “Baiklah. Aku akan pergi duluan kalau begitu. Aku tahu Goblin Slayer biasa kerja sendirian, tapi...”

“Tapi ini pembasmian goblinnya belum mulai,” High Elf Archer berkata terbahak-bahak, dan bahkan Priestess tidak dapat menahan senyumnya. Seraya dia mengumpulkan barangnya, Female Merchant melihat kepadanya penasaran. “Ngomong-ngomongm kenapa kamu membawa baju besimu ke pemandian...?”

“Aku nggak mau kehilangan ini, tahu?”

High Elf Archer hanya bisa menatap langit-langit tanpa sepatah katapun.

*****

Hidung Priestess tergelitik seraya diaa keluar; terdapat sebuah aroma tidak asing akan sesuatu di udara. Harumnya sedikit seperti teh putih, mungkin.

Meninggalkan pemandian, segar dan bersih, Priestess terpukau oleh pemandangan kota yang ada di hadapannya. Kota ini penuh dengan bangunan bata hitam terpangangg matahari. Kaca—benda tipis, transparan yang sama mahalnya dengan yang ada di rumahnya—tidak terdapat di jendela. Jalanan coklat bumi, terpadatkan oleh banyaknya kaki yang menginjaknya. Bercak-bercak pasir yang tergiring oleh angin. Khalayak berjalan di jalanan dengan menggunakan pakaian yang tidak pernah dia lihat sebelumnya, membawa benda yang tidak dia ketahui. Dan semua itu berada di atas bayangan sebuah istana beratap bundar.

Aku tahu kastil di tempat kami itu megah, tapi ini...

Kastil di bangun sebagai struktur bertahan, untuk perang, sangatlah mengintimidasi tentunya, namun bangunan ini sangatlah berbeda; bangunan ini tampak di rancang untuk menggambarkan seberapa kecilnya dirimu jika di bandingkan dengan bangunan ini.

Namun ini adalah kota, dan mereka yang tinggal di sini adalah orang. Surya platinum dari matahari yang tenggelam di langit adalah sama di manapun kamu berada. Anak kecil berlarian. Orang tua bermain permainan papan di pinggiran jalan. Seorang wanita, mungkin istri seseorang tengah membela buah pada kios pinggiran jalan.

Itu melon, kalau aku nggak salah.

Dia pernah memakannya sekali. Jadi di sini tempat asalnya...

Tentu saja, tidaklah semuanya riang dan cerah. Priestess sangat memahami bahwa masih terdapat begitu banyak yang ada dari semua ini pada Dunia bersudut empat. Dia tahu mengetahui itu dari pengalaman hal-hal yang terjadi dalam masa kehidupan seseorang.

Terkadang dia berpikir apakah ini benar bisa di terima.

Sebagai contoh, anggaplah orang-orang yang duduk pada remang-remang bayangan di jalan, berpakaian dengan alang-alang, duduk di depan mangkuk kosonh. Dan jika kamu berbelok pada tikungan di depan, distrik PSK mungkin tidaklah jauh di depan atau mungkin sarang narkoba. Di dalam pasar, dia yakin budak tengah di perjualkan. Mungkin beberapa telah terjerat hutang, atau gagal membayar pajak mereka, atau kejahatan, atau mereka dari yang kalah dalam peperangan.

Bukanlah pertanyaan baik atau buruk: adalah kenyataan; adalah dunia di mana Priestess hidup.

Dan kemudian ada goblin.

Tentu saja, goblin bukanlah satu-satunya monster yang mengancam dunia. Mungkin ini adalah suatu kesalahan untuk hanya berfokus kepada mereka saja. Ogre, mata raksasa, dark elf, troll, Mokele Mubenbe, greater demon, ice witch, kultis. Dan ini hanyalah sebagian dari terror dunia yang sudah pernah dia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Adalah mustahil untuk mempercayai bahwa goblin adalah bahaya terbesar. Akan tetapi...

Benar...

Kapan itu ketika mereka di serang dalam kota air? Ucapan Goblin Slayer mengambang di benak Priestess.

“Hawa desa yang sedang di sasar goblin...”

Terdapat bayang-bayang, pada wajah-wajah orang. Entah mengapa, angin tercium begitu bau. Priestess merasakan rasa menggelitik tidak nyaman pada lehernya. Mungkin bisa di bilang, ini hanyalah khayalannya saja. Namun  juga, intuisi pada dasarnya menggambarkan sebuah pengalaman. Apakah dia dapat merasakan hal yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya karena akumulasi pengalamannya, atau karena dia hanya sekedar merasakannya?

“...” Tidak dapat mencapai kesimpulan pasti, Priestess meremas tongkat deriknya seolah berdoa dan bergegas melinntasi kota. Dia melihat prajurit berjaga di setiap persimpangan: orang dengan pedang melengkung pada pinggul mereka, memperhatikan jalanan dengan seksama. Ketika dia berpikir tentang apa yang terjadi di jalanan, dia memutuskan untuk berhati-hati terhadap para prajurit—berhati-hati justru karena di sana terdapat prajurit.

Karena itu, dia berusaha untuk melintasi kota dengan tidak mencolok sebisa mungkin. Tidak bergerak terlalu cepat. Tidak celingak-celinguk terlalu sering.

Pada perjalanan mereka menuju penginapan, mereka melewati tempat di mana Goblin Slayer berkata akan kunjungi. Priestess mengingat bahwa itu tentang...

“Um, permisi...”

“Buh?” Jeritan kaget Priestess terdengar begitu konyol, bahkan pada telinga dia sendiri. Dia melihat seorang wanita dengan pakaian yang tidak asing—yang artinya bahwa itu adalah pakaian dari negaranya sendiri. 

“Elf...?”

“Syukurlah. Aku tahu pasti kamu berasal dari tempat yang sama denganku. Aku terlalu takut untuk bertanya dengan orang lokal di sekitar sini.” Wanita elf muda itu, masih tersenyum, mendatangi Priestess, yang melihat sekitarannya kebingungan. Dia tentunya tidak membayangkan situasi ini. “Sebenarnya aku lagi mencari arah untuk ke rumah pemandian. Apa kamu tahu...?”

“Oh, i-iya.” Apa yang harus dia katakan? Priestess mengangguk walaupum dia tidak yakin apa yang harus dia lakukan. “Aku tahu, uh, tahu jalannya...”

Perasaan apa ini, sensasi menggantung yang terasa janggal? Apakah karena hubungan dirinya dengan High Elf Archer dan semua elf yang dia temui di desa itu? Di bandingkan dengan mereka, gadis ini tampak...

“Hentikan.” Pikiran Priestess yang berantakan terhentikan oleh sebuah suara tidak terduga lainnya, suara ini tenang dan jelas. Suara itu berasal dari bayangan pinggir jalan. Dari seorang gadis berambut merah, yang juga bertelinga panjang.

Elf berambut merah ini berjalan menuju mereka dengan penuh wibawa, melotot kepada rekan elfnya dengan tatapan tajam. “Kamu palsu. Aku tahu—jelas sekali dari cara kamu berbicara.”

“Astaga, apa yang kamu bicarakan? Aku Cuma sekedar tanya arah...” Elf bersyal mencoba untuk terlihat bingung, namun keresahannya sangatlah mustahil untuk di sembunyikan. Elf berambut merah tidak berkata apapun. Priestess menoleh dari satu orang ke orang lainnya, kebingungan, dan kemudian dia menyadari sesuatu dengan elf pertama.

Biji keringat...

“...Maafkan aku!”

“Huh?!”

Ketika kamu mempunyai ide, lakukan segera. Itu adalah yang dia pelajari dari waktu ke waktu, adalah kunci dari keselamatan.

Priestess menjulur tangan, ke bawah syal elf, mengelus pipi wanita itu dengan tangan. Dia merasakan sesuatu yang basah pada telapak tangannya, namun ternyata kilauan gang dia lihat bukanlah keringat, melainkan riasan wajah putih. Di balik bubuk kue itu, dia melihat kilasan kulit biru kehitaman.

“Dark elf...!”

“Pfah...” Sang elf—atau tepatnya, gadis dark elf—menjentikan lidah, kemudian berputar dan mulai berlari. Priestess mengambil tongkat derik dan hendak memukul elf itu, namun dia mengabaikan hal itu. Membuat masalah dengan penjaga di setiap sudut jalan bukanlah rencana terbaik...

“Keputusan bagus. Itu tadi keputusan yang benar,” elf berambut merah berkata dengan senyuman.

Oh... Priestess berkedip. Dia tidaklah ahli dalam menembak umur elf, namun apakah wanita ini lebih muda dari yang dia kira...?

“...Dia itu bersekongkol dengan penjaga. Mereka akan mengepungmu dalam sekejap, menuduh kamu sebagai pengedar obat atau sesuatu... Oh lihat.” Elf berambut merah menunjuk seorang prajurit yang datang ke arah mereka dengan pedang di tangan dan tatapan mata berbahaya.

Priestess mempertimbangkan pilihan di kepala, cara terbaik dirinya untuk bisa keluar dari situasi ini, namun elf itu sudah mulai mengatasinya. Sebelum Priestess dapat mengatakan apapun yang dia dapat pikirkan, elf berambut merah itu melambaikan tangan dengan gerakan misterius di depan prajurit.

“Kami belum, berbicara dengan siapapun,” dia berkata.

“....” Sang penjaga bingung untuk beberapa saat, namun kemudian mengangguk. “Kamu belum berbicara dengan siapapun.”

“Kamu bisa pergi melakukan urusanmu.”

“Aku akan pergi melakukan urusanku.”

Priestess tidak mengetahui apa yang dia lihat, jika itu semacam trik aneh atau tipuan tangan atau sesuatu, prajurit berputar lunglai dan berjalan kembali menuju persimpangan yang dia jaga sebelumnya.

“Efeknya tidak tahan lama, sekarang kesempatan kita. Ayo.” Elf berambut merah mengelap beberapa keringay di dahi dengan sebuah helaan dan mulai berjalan. Kali ini Priestess tidak melihat adanya riasan rusak pada wajah wanita itu. Dia mengikuti sang elf, masih siaga dan berhati-hati.

“Seperti itulah mulanya,” rambut merah berkata tanpa berputar. “Terus mereka nanti akan bilang kalau mereka perlu memeriksa barangmu untuk mencari barang selundupan dan mereka akan menagih uang darimu.”

“Jadi itu semua tadi penipu?”

“Mungkin tidak semuanya—mereka itu adalah prajurit sungguhan.” Elf berambut merah mengangkat bahunya sedikit, dan Priestess hanya menggigit bibirnya tanpa bersuara.

Adalah sebuah intuisi akan Kekacauan. Dia percaya bahwa tidak semua manusia di segala penjuru tempat akan selalu sempurna. Bahkan para dewa tidak mengkehendaki itu. Namun korupsi dan ketidakadilan adalah bibit dari Kekacauan. Ketika mereka bersemi, mereka akan memasang akar, menyebar, dan tidak dapat di tarik kembali. Dan kemudian mereka dapat menodai bunga indah akan sebuah negara, seperti sebuah invasi dari witchweed. (TL Note : witchweed = sejenis tanaman parasit.)

“Kenapa...?” Priestess sekedar bertanya, namun elf berambut merah tampak mengartikan pertanyaan itu ke arah yang lain.

“Kepuasan pribadi,” dia menjawab dengan tawa. “Ingin membangun secamam karma.”

Priestess sulit berucap. Dari awal dia bukanlah benar-benar tipe yang suka meragukan orang lain.

Tapi kalau terus ragu...

Seseorang tidak akan bertahan dengan cara seperti itu juga. Dia menarik napas dan menghela, pundaknya melemas. Adalah persis ketika kamu berada di dalam gua. Tetap siaga ketika waktunya siaga. Jika sesuatu terjadi, respon dengan segera. Dia telah terselamatkan dengan cara ini. Hal pertama yang perlu dia lakukan sudah menjadi jelas.

Priestess berhenti dan menundukkan kepala. “U-um, te-terima kasih banyak!”

Elf berambut merah berkedip kepadanya, kemudian terlihat sedikit tidak nyaman—lebih tepatnya malu—seraya dia menggaruk pipinya. “Itu tidak terlalu serius kok. Uh, hei... Kamu petualang, kan?”

“Iya benar.” Priestess berkata. “Aku lagi mencari tempat yang bernama Golden Mirage...”

“Mantap kalau begiyu.” Elf berambut merah berhenti dan memberikannya senyuman yang tampak seperti senyum gadis berumur lima belas atau enam belas tahun. “Aku juga lagi mau kesana.”

Priestess mendengak ketika tersadarkan. Sebuah paviliun indah berdiri di depannya, seolah baru saja muncul pada detik itu, seperti sebuah ilusi.

*****

Di saat mereka melangkah ke dalam, Priestess, bisa di bilang, terpukau. Bangunan berlantai ganda ini di bangun di sekitar area terbuka di halaman tengah, dan keseluruhan tempat ini jauh lebih besar dari apa yang tampak dari luar. Masing-masing ruangan di rancang dengan bentuk kotrek, agar ruangan-ruangan itu menghadap ke bawah pada lingkaran area tengah. Dan segalanya yang dia lihat tampak berkilau dengan emas—namun bukan hanya itu saja.

Air. Terdapat aliran air di tengah bangunan dengan jumlah yang sangat banyak. Air sungguhan di sini di dalam gurun—cukup untuk dj gunakan untuk mandi!

Priestess berhenti tanpa di sadarinya; di sekelilingnya, khalayak dari berbagai macam ras berbagi bisikan-bisikan percakapan.

“Rumor mengatakan kalau tempat ini benar-benar sebuah ilusi...”

“...Apa belum di mulai? Aku sudah berusaha untuk mendapatkan reservasi selama berbulan-bulan...”

“Jangan terlalu senang. Penjaga pilihan master itu semuanya sangat jago—“

“Hei, lihat itu. Bukannya dia pemilik dari toko besar itu?”

Seorang wanita dengan bagian bawah berbentuk seperti ular, merayap—dan bergumam dalam tangki air di bagian dalam, apakah dia seorang merfolk? Beberapa dari pelayan memiliki dua kepala, dan beberapa dari pelanggan mempunyai tubuh yang benar-benar tertutupi dengan tato aneh.

Priestess melongo untuk sesaat sebelum dia tersadarkan kembali. Menggeleng kepalanya. Nggak, nggak. Dia tidak boleh berdiri melamun di sana saja. Dengan cepat dia mengikuti elf berambut merah, yang berjalan ke dalam seolah ini adalah hal biasa baginya.

Sungguh, segalanya yang ada di dalam bangunan ini sangatlah memukau. Priestess dapat mencium asap yang mengambang dari sebuah pipa yang terpasang pada sebuah botol gelas. Pelayan berjalam dengan piring makanan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Terdengar suara cepat akan duk duk dari sebuah meja di aman seseorang sedang menusukkan belati di antara jemari mereka yzng terbuka—semacam judi, Priestess menduga. Pelayan wanita berjalan di loronh, melinggak-linggukkan pinggul mereka, berpakaian dengan sangat terbuka hingga cukup untuk membuat Priestess tersipu. Sang padfoot yang berdiri pada pintu depan di bagian dalam pasti adalah semacam penjaga. Pria itu sangat berotot, seperti yang seharusnya, namun juga dia tampak menggunakam sebuah armor di balik pakaiannya. Tubuhnya menonjol di bagian-bagian yang aneh, dan kemudian terdapat tanduk tajam yang tumbuh di wajahnya!

“Orang yang di sana... Apa dia orang unicorn?”

“Entahlah.” Elf berambut merah tertawa. “Kalau tidak salah dia itu apa yang mereka sebut dengan rhinoman.” Dia duduk di tempat pada sebuah meja di kana dia dapat melihat halaman melingkar, dan Priestess yang megikutinya, ikut duduk di samping elf itu. Di seberang meja dari dirinya, seorang pegawai kurus mengenakan topeng—seorang wanita?—menunggu pesanannya.

“Umm...” Priestess melihat menu yang menggantung di atas kepalanya. Adalah bahasa umum, kurang lebih. Dia dapat membaca nama dari minuman, namun sebenarnya tidak tahu minuman macam apa itu. Elf berambut merah tertawa ketika melihat Priestess kebingungan, dan mengacungkan jari kepada pegawai bertopeng. “Kamu punya sesuatu yang tidak beralkohol?”

“Kami tidak mempunyai sesuatu yang mengandung alkohol.” Pegawai berkata dengan gelengan kepala. “Teh atau minuman lain, ya. Dan makanan.”

“Kalau begitu tolong bawakan saja aku sesuatu yang manis dan dingin. Dan sesuatu untuk di makan. Pilihan sang koki.”

“Oh, uh!” Priestess menjerit. “Aku juga. Yang sama...!”

“Baiklah.” Pegawai bertopeng menunduk hormat kepada Priestess, enggan mengolok dirinya karena kurangnya pengalaman Priestess yang tampak jelas. Pelayan wanita itu –Priestess masih mengira bahwa pelayan itu adalah perempuan—kembali ke belakang, dan Priestess menghela napas. Dia melirik untuk melihat elf berambut merah tengah benar-benar bersantai.

Mata Priestess tertuju pada telinga sang elf, kemudian dia bergumam, “Huh?” dan berkedip. Telinga itu benar-benar pendek untuk seorang elf namun sedikit panjang untuk seorang half elf. “Kamu seorang elf—“

Priestess memilih kata-katanya dengan hati-hati.

“—petualang, kan?”

Wanita itu sedikit menyeringai dan menggeleng kepala. “Bukan, aku blasteran.” (TL Note : di novel di sebutnya “changeling”. Tapi di sini aku pake blasteran saja.)

Priestess mengingat bahwa ini adalah sebutan untuk anak seorang elf yang lahir dari ibu manusia. Tidaklah jelas apakah anak seperti itu adalah produk dari darah lampau para leluhur yang akhirnya terbangkitkan, atau memang mereka tengah di permainkan oleh takdir...

Apapun mereka, mereka terlahir berbeda dari manusia. Wanita ini pasti telah menjalani rintangan dan kesedihan yang begitu banyak dalam kehidupannya.

Sebelum Priestess dapat memohon maaf karena kesalahannya, wanita itu melanjutkan, “Dan aku bukanlah macam petualang seperti...” Dia tampak tidak gentar, bukti bahwa dia sudah menjalani pilihan jalannya dalam kkehidupan dengan nyaman. Priestess tiba-tiba merasa malu karena dia sudah berniat untuk meminta maaf dan menunduk ke lantai. “...seorang seorang penyetor profesional yang suka pamer-pamer.” Blasteran berambut merah tersenyum malu. Priestess menganga mendengar ungkapan.

“Profesional...?”

“Yah, ini karena pekerjaanku, maksudku, ini lebih dari sekedar itu saja, tapi...” Dia hampir terdengar seperti sedang membuat alasan.

“...Minuman anda, nona.” Pelayan bertopeng kembali, meletakkan cangkir dan piring di atas meja tanpa suara, “Madu pir yang di campur air, di rebus dengan jujube dan gula es, kemudian di tuang di atas susu. “Melanjutkan, pelayan bertopeng menunjuk piring. “Dan ini adalah skate yang di masak dengan minyak.”

“Skate?”

“Hewa yang terbang di atas lautan pasir.”

Oh, ini pasti manta pasir itu...

Priestess mengangguk, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Ibunda Bumi dan mulai makan, mengapa tidak? Dia tidak melihat adanya helm unik yang tampak murahan itu di manapun dalam bangunan ini. Dan juga, kepercayaannya melarang membiarkan makanan baik dan hangat untuk menjadi dingin. Setelah dia selesai berdoa, hal pertama yang dia coba adalah ikan—yang bisa di bilang, sederhananya adalah gorengan—minyak.

“...!”

Makanan panas mengepul, remuk menjadi bagian-bagian kecil dalam mulutnya, melepaskan rasa tubuh ikan secara keseluruhan. Rasanya seperti roti mentega yang masih segar dari panggangan. Rasanya begitu lezat. Namun juga, ini sangat panas. Tentu saja dia akan menggapai cangkir kuarsa itu.

“Eep... Wow...!” Minuman manis dan dingin, hampir menetes dari mulutnya, namun ini sangat menyegarkan. Dia menelan dengan berisik, dan dia dapat merasakan minuman itu mengalir hingga ke perut, sebuah dingin yang begitu nikmat dan nyaman.

“Mm... Yep, enak,” Blasteran berambut merah berkata dengan senyuman, mengunyah bibir dan tampak begitu bersemangat. Priestess merasa pemandangan ini begitu asing baginya, karena High Elf Archer sama sekali tidak tertarik dengan daging atau ikan.

Namun dia tidak bisa menghabiskan waktu yang di miliki dengan terpukau saja. Dia di sini tidak untuk bersenang-senang. Priestess berbisik kepada pegawai bertopeng, “Um, permisi. Kurasa salah satu anggota partyku mungkin ada di sini—apa kamu ada melihatnya?”

“Orang seperti apa yang anda cari?”

“Erm.” Priestess mengacungkan jari telunjuknya dan berpikir. Bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan pria itu? “Dia memakai helm, armor kulit, baju besi...pedang agak pendek dan perisai bundar di lengan...”

...Uh-huh, ini sudah cukup. Dia tersenyum menyadari bahwa litani dari penampilan luar pria itu sudah lebih dari cukup untuk membuat jelas siapa yang dia cari. Kemudian Priestess menyadari pegawai bertopeng itu tampak sedikit menegang, mungkin tidak nyaman. “...Jika begiti,” wanita(?) Itu berkata, “Mungkin lebih baik anda mulai mencari beliau dari atas panggung.”

“Panggung..?” Priestess mendengak seraya lampu padam, dan sebuah cahaya besar bersinar pada panggung di tengah ruangan. Kerumunan terdiam, menunggu tidak sabar pada sesuatu yang dengan jelas akan terjadi.

Blasteran berambut merah berbisik pada telinga Priestess, “Ooh, sudah di mulai.”

Oh aduhai, memang sudah di mulai.

*****


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya