BAB 2
(Translater : Fulcrum)


Dalam kompetisi apapun; baik olahraga maupun nonolahraga, sihir dan nonsihir, konfrontasi seperti ini pasti akan terjadi kapanpun itu bahkan sebelum pertandingan itu sendiri. Dan di Kompetisi Sembilan Sekolah tahun 2096, hal seperti ini juga masih bisa temukan.

Semua sekolah sihir bersaing mati-matian di ajang prestisius ini, dan semuanya, dari SMA 1 sampai SMA 9, membentuk sebuah kelompok untuk persiapan ajang ini. Sayangnya, bisa dibilang tidak semua sekolah mematok target untuk menduduki peringkat satu umum. Namun, setidaknya mereka semua punya target untuk mendapatkan hasil yang baik.

Pemilihan atlet, pemilihan CAD atlet, penyesuaian Rangkaian Aktivasi. Itulah persiapan yang dilakukan sebelum kompetisi. Ketua OSIS, Nakajou Azusa sangat syok menyadari banyaknya tumpukan pekerjaan untuk OSIS selama dua sampai tiga hari ke depan.

Waktu berlalu, dan tidak ada kemajuan. Tapi situasi akan memburuk jika cuma diam saja dan tidak berlatih. Azusa mampu mengembalikan tekadnya dan memulai semuanya dari awal lagi karena ketakutannya, dan bukan karena rasa tanggung jawab.

Saat ‘atasan’nya sudah bersemangat, maka yang lainnya juga sama, segera setelahnya latihan dimulai. Azusa lah orang yang paling terdampak di masalah ini, karena jika dilihat dari keseluruhan murid, tidak ada yang terlalu memikirkan perubahan ini.

Berita mengejutkan datang di Senin, 2 Juli. Tiga hari kemudian, Kamis, 5 Juli, di akhir istirahat makan siang, ada atlet-atlet baru yang ditunjuk.

Sepulang sekolah, di hari yang sama, pertemuan diadakan di tempat dan waktu yang berbeda untuk masing-masing tim di kompetisi.

◊ ◊ ◊

“Permisi.”

SMA 1, Kelas 2B, Akechi Eimi. Seorang gadis dengan rambut merah gelap bergelombang, yang sering dipanggil ‘Eimi’, masuk ke ruang persiapan.

Dia ditunjuk sebagai pemain kelas ganda di Kompetisi Sembilan Sekolah tahun ini, di lomba ‘Rower and Gunner’. 

Menurut jadwal, mulai hari ini dia akan bertemu dengan rekannya di ruangan ini, sekaligus dengan teknisi yang akan mengurusnya.

Meski begitu dia sudah tahu siapa teknisinya bahkan sebelum pertemuan ini. Orang itu adalah temannya, yang sama sekali bukan orang biasa, dan yang juga sudah menjadi teknisinya sejak Kompetisi Sembilan Sekolah tahun lalu. Setahun yang lalu, dia terkejut melihat bagaimana dia yang notabene murid Golongan 2, tapi, karena beruntung (?), bisa masuk ke Jurusan Teknik Sihir yang baru. Singkatnya, kemampuan dan kecerdasannya ada di jalur yang tepat.

Saat dia mendengar hal ini, dia merasa bahagia. Lebih tepatnya ia merasa lega. Karena bahkan mereka sekalipun, para anak Golongan 1, kalah dalam hal teori sihir dibanding dia, dan memang tidak ada gunanya dia terus berada di Golongan 2. Meski ada beberapa orang yang tidak mau mengakuinya. Mereka bilang “Itu cuma nilai keseluruhan. Kita hanya kalah di bagian tes tulis”. Tapi bagi Eimi, itu cuma kata-kata pecundang, yang tidak mau mengakui kekalahan.

Jika dilihat dari nilai tes, maka skor total itu cuma sebuah sistem evaluasi di sekolah ini. Itulah yang Eimi rasa. Teman-temannya untuk alasan tertentu tidak menyadari kemampuan asli orang itu, yang ditunjukkannya di Monolith Code divisi kelas 1 tahun lalu, saat dia membawa SMA 1 ke peringkat satu umum, mengalahkan SMA 3, yang mana salah satu anggotanya merupakan keturunan Keluarga Ichijou dari Sepuluh Master Clan.

Seperti yang diduga Eimi, tidak ada jawaban dari dalam ruangan itu. 10 menit lagi pertemuan dimulai. Rekannya adalah seorang anak kelas 3, dan seorang teknisi kelas 3 yang juga Ketua OSIS. Dan logikanya, tidaklah sopan membuat orang-orang seperti itu menunggu. Eimi menghela napas lega mengetahui kalau baru dia yang sampai.


“Wow, kau sudah di sini. Cepat juga~”

Lima menit kemudian datang dua anak perempuan.

“Oh, terima kasih sudah datang.”

Eimi, yang sedang memelajari aturan Rower and Gunner, sedang menjelajahi berkas-berkas yang diunggah ke terminal informasinya, melompat dari kursinya dan menunduk dengan sigap.

“Aku Akechi Eimi dari kelas 2-B. Teman-temanku memanggilku Eimi. Senang bisa bekerja bersama senpai!”

Dua anak kelas 3 itu tersenyum pada sapaan energetik Eimi.

Gadis dengan mata warna coklat dan rambut lurus gelap pendek, yang kira-kira setinggi Eimi, menanggapi perkenalannya.

“Eimi-chan, ya? Aku Kunisaki Kumiko dari kelas 3-B. Panggil saja Ku-chan.”

Rekannya ini sepertinya punya sikap santai yang melebihi dugaan Eimi.

“Ti-tidak, rasanya itu agak……..”

“Tidak apa-apa. Tidak perlu memaksakan diri. Kalau kau sudah berubah pikiran, kau bisa memanggilku ‘Ku-chan’ kapanpun.”

“Baik…..”

(Oh orangnya cukup terus terang…..!)

Eimi sekarang mendapati kesan yang seperti orang-orang biasa dapatkan dari senpai-nya ini.

“Dan ini, kau mungkin sudah tahu? Ketua OSIS A-chan.”

“Ku-chan!”

Azusa tersipu dan berteriak mendengar dirinya dipanggil Kumiko dengan panggilan akrabnya. Eimi, yang tidak menduga kalau Azusa akan menaikkan suaranya, berdiri terkejut dan hanya berkedip melihat pemandangan ini. 

“Uh, apa? Jangan teriak mendadak. Kau menakuti Eimi-chan.”

“Itu karena Ku-chan melakukan hal yang bodoh! Jangan panggil aku ‘A-chan’!”

“Um, tapi bukannya biasanya aku juga memanggilmu seperti itu?”

“Ini biasa untukmu, Ku-chan! Tapi kalau kouhai juga seperti itu…….”

“Um, Nakajou-kaichou? Tentu saja, aku tahu nama kaichou”. Memanfaatkan jeda perkataan Azusa, Eimi bisa masuk ke dalam percakapan ini dan menenangkan suasana.

“Eh? Oh, aku mengerti…… Akechi-san, senang berkenalan denganmu”. Azusa menjawab dengan malu, mengembalikan ketenangannya berkat intervensi ini, selagi tubuh kecilnya semakin mengecil.

Walau ini tidak sopan, Eimi kagum melihat sikap Ketua OSISnya yang bisa memasang wajah seperti itu.


“Maaf membuat kalian menunggu.”

Dengan datangnya orang terakhir ke ruangan, Tatsuya, ketegangan di ruangan ini yang sempat turun, sedikit naik kembali.

“Tidak apa-apa! Kau tepat waktu!”

Ketegangan ini terutama datang dari Azusa.

Di mata orang lain, keadaan ini terlihat seakan Tatsuya biasa menjahili Azusa tiap hari, tapi kenyataannya sama sekali tidak seperti itu. Azusa terlihat gugup.

Tapi rasa malunya membuat yang lain sadar kalau dia ‘butuh pertolongan’.

“Shiba-kun, tahun ini kupercayakan lagi semuanya padamu!”

Eimi menunduk dengan dalam seperti melakukan salam tahun baru.

“Senang bertemu denganmu, aku Kunisaki Kumiko dari Kelas 3B. Kuserahkan semuanya padamu.”

Kumiko menunduk dengan santai setelah Eimi, seolah ia adalah orang yang berbeda dari sebelumnya. Dia tidak terlihat seperti sebelumnya, yang, pada awalnya, meminta kouhainya untuk ikut memanggilnya ‘Ku-chan’.

Setidaknya itulah yang Eimi pikirkan. Dia memperhatikan ekspresi Kumiko dengan serius.

Tapi Tatsuya tidak tahu tentang ‘perubahan’ itu.

“Kunisaki-senpai, mari kita lakukan yang terbaik. Eimi, juga, mari lakukan yang terbaik. Jadi, kaichou, ayo kita mulai pertemuannya.”

Dia merasakan atmosfer yang semakin menegang. Dilihat dari sikap Kumiko, dia segera memulai pertemuan ini.

“Oh ya.”

Mendapati itu, Azusa melihat ke arah Tatsuya.

Namun, Tatsuya diam. Mendapat sikap seperti ini, Azusa jadi gugup.

“Eh, Shiba?”

“Kaichou, silakan.”

Tatsuya meminta Azusa untuk membuka pertemuan ini. Dia tidak peduli jikalau sikapnya tidak sopan. Dia yakin kalau Azusa, yang bukan hanya anak SMA biasa dan merupakan Ketua OSIS sekolah ini, tapi juga pemimpin tim Kompetisi Sembilan Sekolah, lah yang seharusnya memimpin pertemuan ini.

Seolah menyetujui hal itu, Eimi dan Kumiko melihat ke Azusa.

“…..Jadi, ayo kita mulai perancangan strategi untuk Rower and Gunner divisi perempuan.”

Azusa dengan cepat mengenyahkan keengganannya dan berdiri di podium, yang ada di ruang ‘konferensi’ kecil ini. Daripada duduk di samping Tatsuya, dia lebih nyaman jauh darinya.

“Pertama-tama….. ayo kita perkenalkan diri kita masing-masing dengan baik?”

“Baik. Aku Shiba Tatsuya, teknisi yang bertanggung jawab atas Akechi-san.”

Setelah masuk ke ruangan, dia belum memperkenalkan dirinya. Tatsuya tidak bertele-tele, dia langsung berdiri dan memperkenalkan dirinya.

“Akechi Eimi, kelas 2. Aku dipilih jadi anggota. Aku akan berusaha sekeras mungkin dan tidak menghambat Kunisaki-senpai.”

Melihat tatapan memaksa dari Tatsuya, yang sudah kembali duduk, Eimi melanjutkan dengan perkenalan dirinya.

Setelah Eimi duduk, ganti Kumiko yang dengan malu berdiri.

“Kelas 3B, Kunisaki Kumiko. ….Ini pertama kalinya aku dipilih jadi anggota di Kompetisi Sembilan Sekolah, tapi aku akan berusaha sekeras mungkin.”

Dengan enggan, Kumiko berbicara dengan suara kecil dan melirik ke arah Azusa.

“Um, A-cha…. Nakajou-san? Aku sudah selesai memperkenalkan diriku…….”

Wajah Azusa berubah mendengar perkataan Kumiko. Namun, sifat Azusa tidak akan membiarkan dirinya tidak melakukan hal yang sama.

“Aku ditunjuk sebagai teknisi untuk Kunisaki-san. Kelas 3, Nakajou Azusa….”

Saat Azusa kembali ke tempatnya, dia terlihat benar-benar putus asa. Wajahnya, dipenuhi rasa malu, menunjukkan kalau dia kehabisan semua tenaga dalam bicaranya tadi, jadi Tatsuya memutuskan untuk memberinya bantuan.

“Kaichou, mungkin, pertama-tama, kita akan memilih siapa yang jadi Rower dan siapa yang Gunner?”

“Benar”. Seolah menggigit lidahnya sendiri, Azusa segera bergumam merespon pertanyaan Tatsuya.

Bahkan jika Tatsuya tidak peduli dengan sikap orang lain kepadanya, tapi ketika ada orang yang kelihatan takut, dia tidak bisa mengabaikannya. Tapi itu akan memberikan dampak yang sebaliknya. Menyimpulkan hal itu, Tatsuya menelan kembali perkataan yang akan dikatakannya.

“Tapi, itu tidak perlu dibicarakan, ‘kan?”

“Aku akan jadi Rower.”

“Aku akan jadi Gunner.”

Tanpa ragu, Kumiko dan Eimi seketika merespon setelah Tatsuya selesai bicara.

“Untunglah. Kalau aku disuruh jadi Rower, aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana.”

Eimi menaruh tangannya di dada, menunjukkan perasaan leganya, tapi sebaliknya dia malah terlihat seperti orang yang sedang bermain drama.

“Lagipula, memang sudah jelas siapa yang perlu jadi Rower.”

Tatsuya merespon candaan Eimi dengan nada yang tidak jelas antara serius atau bercanda. Lalu dia menoleh ke arah Azusa.

“Kaichou, apa tidak apa-apa?”

“Ya, ya."

Azusa sudah tidak terlihat bingung lagi. Penentuan peran ini telah ditentukan sejak pemilihan Eimi dan Kumiko sebagai tim, oleh karena itu, seperti kata Tatsuya, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan tentang itu.

Eimi yang bertugas jadi penembak. Dan Kumiko lah yang bertanggung jawab untuk perahunya.

Jika perlombaan di Kompetisi Sembilan Sekolah tidak berubah, maka Eimi pasti akan ikut serta di Speed Shooting, dan Kumiko di Battle Board. Mereka punya keahlian sihir untuk menembak dan bergerak di permukaan air. Oleh karena itu, mereka ditunjuk sebagai peserta Rower and Gunner berdasarkan kemampuan mereka. Tidak akan ada yang diberikan peran yang tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

“Kalau begitu masalah ini sudah selesai” kata Tatsuya, dan Azusa, Eimi, Kumiko mengangguk, setuju dengannya.

Azusa melihat ke arah terminal bentuk notebooknya dan membaca apa yang ada di layar. Dia membaca penjelasan tentang apa yang perlu mereka bahas tentang kompetisi ini setelahnya. Namun, ada terlalu banyak detail tentang Rower and Gunner di terminalnya. Dia tidak mengira kalau dialah yang harus menjelaskan itu semua, jadi setelah melirik ke arah dokumen di terminalnya dia tidak bisa segera membuka topik pembicaraan baru.

“…..Um, apa ada yang ingin kalian bicarakan hari ini?” Pada akhirnya, Azusa bertanya, melihat ke arah tiga orang itu. Tapi dari lama kontak matanya dengan Tatsuya, jelas pertanyaan itu sebenarnya ditujukan pada dirinya.

“Aku rasa kita perlu menentukan jenis perahunya.”

Seperti yang diharapkan, Tatsuya menjawab pertanyaan itu.

“Jenis perahu?”

Sayangnya, sepertinya, Azusa tidak mengerti maksud jawaban itu.

“Apa kita sebaiknya pakai perahu yang ujungnya tajam untuk fokus di kecepatan, atau kapal yang lebar yang fokus di stabilitas untuk meningkatkan kualitas penembakan? Apa dimensi kapalnya perlu dalam untuk memberikan pergerakan yang baik, atau yang rendah agar fokus dalam pengendalian arah saat belokan? Karena pergerakannya akan dilakukan dengan bantuan sihir, kita juga tidak bisa hanya mengandalkan laju aliran air saja. Dengan perahu yang pendek, maka kendali kemudi di permukaan air akan lemah dan perahu bisa dengan mudah terguling. Namun, saat mengendalikan kapal dengan sihir, hal seperti itu tidak jadi masalah.”

“Menurut Kunisaki-senpai sendiri bagaimana?” Setelah berkata seperti itu, Tatsuya menanyakan opini Kumiko.

“Akan lebih baik kalau perahunya berujung tajam dan dalam….”

Kumiko melirik ekspresi Eimi. Opininya itu lebih untuk memermudah pergerakan perahu. Tapi di saat yang sama, meski mereka tidak akan menggunakan peluru asli, tetap saja sulit membidik di kondisi perahu yang terus bergoyang.

“Aku rasa masih bisa. Dibanding guncangan saat naik kuda ini masih bisa.”

Mendengar jawaban kedua gadis itu, Tatsuya langsung mulai mengutak-atik terminal seukuran kertas A4 miliknya. Dengan begitu, dia memesan perahu yang sesuai.

“Walaupun ini dibuat fokus pada kecepatan, tapi perahu ini tidak sepanjang dan seramping yang digunakan di kompetisi. Namun, aku rasa akan sulit untuk berdiri di perahu seperti itu.”

Paruh pertama perkataannya ditujukan kepada Kumiko, dan sisanya kepada Eimi.

“Tidak bisa menembak sambil berdiri? Berbeda saat menembak dengan peluru asli, saat menggunakan sihir, posisi berdiri adalah salah satu cara terbaik memaksimalkan penglihatan pada target. Bagaimana dengan posisi satu kaki ditekuk? Kalau sambil duduk akan sulit untuk membidik, bukan?”

“Pembidikan tiga dimensi masih bisa. Kenyataannya, posisi tekuk satu kaki itu bisa dilatih selama latihan nanti.”

“Ahem. Dan apa aku nanti tidak jatuh?”

Daripada menjawab pertanyaan Eimi, yang berwajah melas. Tatsuya menoleh ke Kumiko.

“Kunisaki-senpai, bagaimana menurutmu?”

“Tekuk satu kaki? Ya, itu agak bahaya terpeleset…..”

Jawaban Kumiko membuat Eimi semakin kecewa.

“Kalau begitu, ayo mulai berlatih, belajar caranya agar tidak jatuh.”

Eimi tidak punya masalah dengan tawaran Tatsuya.


Pertemuan ini berakhir kurang dari sepuluh menit. Tatsuya bergegas pergi ke pertemuan yang lain, dan Azusa, di ruangan OSIS masih perlu mengerjakan tugas-tugasnya sebagai ketua. Ditinggal sendirian dengan Eimi, Kumiko meregangkan tubuhnya dan menyandar di kursinya kelelahan.

“Oh, aku capek.”

“Apa pertemuan ini setegang itu buat Kunisaki-senpai?”

Meski dia bilang seperti itu, tapi di depan Tatsuya, dia menunjukkan citra cewek kalem, jadi Eimi sendiri ragu apa dirinya yang terbuka ini cuma pura-pura atau bukan.

“Ku-chan.”

“Uh, tapi…..”

Eimi tidak bisa menyembunyikan rasa malu di depan senpainya, yang sepertinya berubah pikirannya, dan sekarang memintanya lagi untuk memanggilnya dengan panggilan akrab itu.

“Maaf. Panggil saja aku seperti itu untuk sekarang. Kalau tidak, aku tidak akan bisa rileks.”

Bagi Eimi, hubungan antara kedua hal itu seperti sebuah teori super kompleks yang tidak mampu dipahaminya sama sekali, tapi melihat ekspresi Kumiko, dia tidak bisa menolaknya.

“…..Kalau begitu, baiklah ‘Ku-chan-senpai’.”

Itu sudah batas apa yang bisa dilakukan Eimi.

“Hmm, uh, baiklah.”

Setelah menerima tanggapannya, Eimi lega. Namun, dia memikirkan keabsurdan situasi ini, dan penasaran kenapa dia sendiri lelah dengan pembicaraan ini.

“Jadi, Ku-chan-senpai, apa yang membuatmu tertekan?”

Mendengar pertanyaan itu lagi, Kumiko tertawa, lalu menjawab dengan senyuman malu.

“Aku tidak suka cowok.”

Mendapati jawaban yang tidak diduganya, ekspresi wajah Eimi berubah.

“Oh, bukan, bukan seperti itu maksudku!”

Melihat hal itu, Kumiko memutuskan untuk meluruskan kesalahpahaman dan menggerakkan tangannya sambil panik, mencari alasan.

“Bukan berarti aku suka cewek! Dan aku bukan orang yang tidak suka hal-hal yang kejam dan berbau militer. Kalau aku di depan cowok yang lebih kuat dariku, maka aku akan merasa kecil karena rasa takutku, bahkan membuatku sulit berbicara.”

“…..Maafkan aku.”

Mendengar penjelasan Kumiko, Eimi meminta maaf dengan raut menyesal.

“Kenapa memangnya? Kau minta maaf buat apa?”

“Tidak, tidak apa-apa.”

Ia merasa takut terhadap kekuatan yang besar. Itu bukanlah hal yang aneh. Dan kebanyakan orang juga merasakan hal yang sama.

Eimi tahu kalau Kumiko termasuk mereka yang disebut ‘First Generation’, penyihir yang lahir dari hasil mutasi orang biasa yang tidak punya kemampuan sihir dan tidak punya keturunan penyihir. Di antara wanita-wanita ‘First Generation’, ada beberapa dari mereka yang tidak suka kekerasan, dan disposisi psikologis mereka yang seperti itu sebagian besar mencerminkan pengalaman mereka di masa kecilnya. Eimi lebih paham tentang hal itu daripada teman-temannya (dan, mungkin, bahkan seluruh anak SMA), karena ayahnya sendiri juga merupakan ‘First Generation’.

Dia tahu kalau ini bukanlah topik yang bisa dibicarakan santai dengan orang lain.

“Ku-chan-senpai, apa kau tipe orang pacifist (orang yang tidak suka kekerasan)?”

“Hmm, pacifist mungkin benar juga…. Faktanya, aku tidak terlalu ingin ikut di kompetisi ini. Tapi aku lega A-chan yang menjadi teknisiku.”

“Jadi, kau punya hubungan yang baik dengan kaichou?”

“Ya, lumayan.”

“Apa tidak apa-apa, membicarakannya seperti itu?”

Eimi dan Kumiko saling tersenyum. Jadi mereka bisa lebih dekat berkat ‘simpati’ satu sama lain.

“Tapi bukannya Shiba-kun tipe orang yang akan membully orang tanpa sebab?”

Dengan perkatannya ini, atmosfer rileks di ruangan itu menghilang lagi. Eimi tidak terlalu mengetahui karakter Tatsuya sampai bisa membantahnya. Eimi menjawab seperti ini bukan untuk Tatsuya, tapi lebih untuk menekan sikap negatif Kumiko kepadanya.

Alasannya bukan karna Eimi setuju dengan sikap Tatsuya. Kumiko juga mengerti maksudnya.

“Ya…. Sepertinya kau benar, Eimi-chan. Walaupun dia sangat menakutkan, A-chan sepertinya bisa bergantung padanya. Aku bisa mengerti kalau dia bukan orang yang buruk, setidaknya dilihat dari sikap kalian, anak kelas 2, yang sangat dekat dengannya.”

“Dekat…..!?”

Pergeseran topik yang tak terduga dan interpretasi aneh itu membuat Eimi sedikit panik. Selagi dia berusaha untuk merangkai kata-kata untuk menjelaskan apa yang sebenarnya, Kumiko lanjut berbicara, mengingat sesuatu dari masa lalu.


“Tapi saat aku melihatnya di Yokohama….”

Mungkin dia sudah mulai mengerti, pikir Eimi.

Kumiko menceritakan tentang Kompetisi Thesis tahun lalu. Karena satu dua hal, Eimi tidak bisa meluruskan keadaan, tapi dia beruntung tidak ada saat insiden itu. Oleh karenanya, apa yang terjadi di Aula Konferensi Internasional Yokohama, dan apa yang Tatsuya lakukan, hanya pernah Eimi dengar rumornya saja.

Meski begitu, ‘aksi’nya mengejutkan, bahkan dari rumor sekalipun.

“Kudengar dia menangkap peluru hanya dengan tangan kosong, dan dia juga memotong tangan penyerangnya.”

“Tentu saja, faktanya, bisa dibilang itu tidak tangan kosong. Dia pasti menggunakan semacam sihir.”

“Kichijouji Shinkuro-kun dari SMA 3 menduga itu ‘Molecular Divider’. Kudengar itu sihir rahasia militer USNA, tapi bukan itu masalahnya….”

“Dia memotong tangan penyerangnya tanpa ragu sama sekali.”

“Itu menakutkan. Bahkan aku takut saat mendengarnya, tapi……”

“Tapi dia bukan orang jahat, kan?”

Pada akhirnya, Eimi membalas senyuman Kumiko dengan senyuman. Kalau ada orang yang mengenal Tatsuya mendengar hal ini, dia mungkin akan langsung menduga kalau semua itu cuma kebohongan besar.

◊ ◊ ◊

Sabtu, 14 Juli. Hari ini latihan tetap dilanjutkan meski di pekan ujian tengah semester.

Di lapangan yang ada di area SMA 1 sudah ada kolam air yang berbentuk elips. Sampai tahun lalu, tempat ini digunakan untuk latihan berselancar. Dan sekarang digunakan untuk persiapan kompetisi Rower and Gunner. Ini cukup masuk akal, mengingat jika ingin menggunakan sihir di luar sekolah memerlukan banyak sekali prosedur yang butuh waktu panjang dan merepotkan, dan itu pun masih ada beberapa larangan.

Kolam latihan yang ada di lapangan itu tidak terlalu nyata seperti apa yang biasa ada pada medan selancar, kolamnya berbentuk panjang dan lebar. Di salah satu tikungan, Kasumi dan rekan penembaknya, anak kelas 1 yang berwajah khawatir, berjalan melewati Kumiko dan Eimi yang hanya kelihatan setinggi bahu di atas air.

“Eimi-chan, apa kau tidak apa-apa?”

Kedalaman airnya sekitar 3 meter, dan, tentu saja, kaki mereka tidak sampai dasar, tapi mereka sudah mengenakan jaket pelampung, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini juga sedang di tengah musim panas, suhur air juga tidak terlalu dingin. …Namun, waktu demi waktu, rasanya makin tidak enak untuk tercebur di air.

“Ya, tidak apa-apa.”

Meski Eimi menjawab “tidak apa-apa” untuk pertanyaan Kumiko, yang mengambang di sebelahnya, dia sebenarnya merasa kecewa. Tidak seperti Kumiko yang berambut pendek, rambut Eimi terbilang cukup panjang. Sama seperti pakaian, rambutnya yang merah seperti rubi itu akan berat jika basah.

(Sudah pikiran berat ditambah lagi rambut berat huh…)

Dia tidak akan mengeluh tentang kesalahan mereka sendiri. Tapi tidak perlu sampai keluar omongan itu, memikirkannya saja sudah membuatnya makin kecewa. Eimi menghela napas, tidak menyembunyikannya, dan berenang menuju perahunya yang terbalik.


Setelah tidak terpeleset lagi, dan perahu mereka akhirnya sampai di garis finish.

Eimi, turun dari perahu dan mengeringkan rambut dan pakaiannya dengan sihir, memanggil Tatsuya, yang datang menemuinya.

“Eimi, kerja bagus.”

“Oh, Shiba-kun?”

Selama awal latihan, hanya Azusa yang mengawasi latihan Eimi dan yang lain. Menurut jadwal hari ini, Tatsuya lah yang akan menggantikannya untuk sesaat, dan bukan untuk sekarang.

“Apa kau sudah ganti baju?”

“Sepertinya ada masalah dengan pengaturan kompetisinya. Kaichou sedang mengurus hal itu.”

“Pasti merepotkan.”

Eimi punya kesan seperti itu ketika mendengar situasinya.

“Ya. Namun, di sini kau juga punya masalah.”

Jika dilihat dari ada-tidaknya masalah, bagi Eimi, ini bukanlah masalah besar.

“Ahaha, kau benar.”

Karena itu, dia hanya tertawa dengan situasinya.

Hari ini, latihan berdiri dengan satu kaki ditekuk sambil ada di atas perahu berjalan baru saja dimulai, tapi Eimi merasa kecewa dengan kenyataan dirinya yang terpeleset empat kali dalam 1 putaran. Senyumannya, menurut Tatsuya, terasa lesu dan hampa.

“Ternyata tidak seperti naik kuda ya?”

Dari gumaman Tatsuya itu, perasannya hanya berubah dari buruk menjadi semakin buruk.

“Ya~ begitulah. Naik kuda saja kalau satu kaki ditekuk juga akan jatuh…..”

Tapi, dia bukanlah tipe orang yang menunjukkan kesedihan pada orang lain. Dia memberikan jawaban dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Kau nyaman di posisi seperti apa?”

Tatsuya sepertinya tidak akan menyalahkan perkataan Eimi yang menyalahkan diri sendiri. Dia menanyakan pertanyaannya pada Eimi dengan wajah yang sangat serius.

“Uh, apa maksudmu posisi?”

“Posisimu saat naik kuda bagaimana sampai kau tidak jatuh?”

Kepada Eimi, yang tidak paham maksud pertanyaan ini, Tatsuya dengan halus mengulangi pertanyaannya dengan kalimat yang lebih jelas.

Eimi akhirnya paham pertanyaan Tatsuya. Dia memiringkan kepalanya, bingung, dan menaruh tangan di dagunya.

“Maksudmu posisi selain duduk di pelana, ‘kan? Hmm….. selain teknik-teknik akrobat sirkus, aku hanya tahu ‘sideways’, ‘two-point’, dan ‘monkey crouch ’.”

“Tidak terlalu banyak variasinya. Aku tau sideways, lalu bagaimana yang lainnya?”

“Posisi two point, bisa dibilang, seperti naik kuda dengan bokongmu tidak sepenuhnya duduk di pelana. Itu digunakan saat lomba loncat rintangan. Monkey saddle…. Apa kau bisa membayangkan posisi penunggang di perlombaan kuda yang tubuhnya melengkung condong ke depan?”

“Aku mengerti…. Di posisi monkey crouch kedua lutut ada di pelana?”

“Aku sendiri belum pernah mencobanya, tapi tidak seperti sedang jongkong. Penunggangnya hanya mengendalikan tali kekangnya dan menggunakan lututnya untuk jaga keseimbangan.”

“Jadi itu berarti….. Eimi, dan apa kau bisa membidik di posisi seperti itu?”

“Uh, coba kupikir dulu.”

Setelah mengkalkulasikan beberapa hal dan melakukan simulasi di kepalanya, Eimi mengangguk percaya diri.

“Aku rasa bisa, tapi kenapa memangnya?”

Pertanyaan ‘kenapa’ sudah diduga Tatsuya akan didapatnya, jadi dia tidak ragu untuk menjawab.

“Bagaimana kalau kau mencoba untuk berdiri jangan pakai satu lutut saja, tapi dua-duanya? Posisi seperti itu lebih stabil, dan ketinggian pandangannya tidak terlalu berubah.

Eimi naik ke perahu dengan satu kaki dan mencoba membayangkan bagaimana posisinya nanti, lalu dia melihat ke arah Tatsuya dan bertanya.

“……..Tapi bagaimana caranya?”

“Menurutku kalau kita melebarkan kaki, getaran perahu akan teredam oleh lekukan sendi lutut.”

Eimi melakukan posisi itu sambil mencoba menggoyang-goyangkan tangannya yang membawa CAD bentuk shotgun miliknya.

“Ya…. pastikan dulu posisinya. Lalu coba lagi.”

“Bagus. Kunisaki-senpai, kuserahkan padamu.”

Kumiko memandang Tatsuya dari tempatnya di depan Eimi dengan malu, dan mengangguk padanya. Setelah itu, perahunya berjalan perlahan.


“Ini pertandingan balap motorboat model kuno.”

Saat dia melewati satu tikungan, Kumiko berbicara dengan Eimi, tanpa menoleh ke belakang. Tikungan itu tidak tajam, dan perahunya terasa lebih stabil daripada terakhir kali.

“Balap motorboat?”

“Hmm? Eimi-chan, apa kau tidak tahu? Bagaimana kalau balap perahu?”

“Tidak tahu.”

Mereka masih belum menaikkan kecepatan, jadi Eimi masih punya waktu untuk berbicara dengan Kumiko. Di percobaan sebelumnya, mereka hanya bisa berbicara setelah terjatuh ke air.

“Kudengar sebelum perang ada kompetisi motorboat. Itu seperti lomba balap kuda, tapi bedanya kalau itu pakai kuda ini pakai motorboat.”

“Heh, jadi itu seperti ini?”

“Jadi, menurut yang kubaca di buku lama, atlet-atlet itu duduk di kursi mereka dengan lututnya, dan kakinya sedikit terbuka.”

“Itu jelas sama seperti yang kulakukan sekarang. Mungkin Shiba-kun juga tahu tentang balap itu?”

“Aku tak tahu. Aku rasa tidak. Tapi dia memberi contoh yang bagus seperti buku itu, jadi mungkin ini akan berhasil.”

“Aku setuju. Senpai, naikkan kecepatan.”

“Siap-siap!” Kumiko segera memercepat laju perahunya.

Saat mereka berdua sudah selesai dan kembali ke garis start, tidak ada rambut ataupun pakaian mereka yang basah. Tidak, mereka bukan sama sekali kering, karena pasti tetap kena cipratan-cipratan air. Tapi, mereka tidak tercebur sama sekali.

“Lihat, lihat!? Dalam satu putaran, aku tidak jatuh satu kalipun!”

“Ya, ini kemajuan yang hebat dalam satu putaran saja.”

Tatsuya sedikit tersenyum, menjawab Eimi, yang berlari ke arahnya dengan wajah bahagia. Setelah itu, Tatsuya menghadap Kumiko, yang masih duduk di perahu.

“Kunisaki-senpai, apa ada masalah dengan pengaturan posisi perahunya?”

“Ya…. lapang pandangnya tidak terlalu bagus.”

Di depan Tatsuya, Kumiko menjadi orang yang berbeda. Tatsuya bukan dukun, jadi dia tahunya Kumiko adalah orang yang kalem. Oleh karena itu, dia tidak tahu kalau sikapnya padanya bisa dibilang dingin.

“Hmmm, seperti yang kuperkirakan…..”

Di kompetisi Rower and Gunner, satu orang mengontrol perahu, dan satunya lagi menembak target.

Lapang pandang mereka berdua adalah hal yang penting. Posisi keduanya tersusun lurus, kalau Rower-nya ada di depan maka akan menyulitkan Gunner untuk menembak, dan jika Gunner di depan maka akan menyulitkan Rower melihat depan.

Untuk menyelesaikan masalah ini, perahu mereka didesain sehingga tempat duduk Rower sedikit lebih rendah, dan yang belakang sedikit lebih tinggi. Karena itu, saat Rower duduk, separuh badannya ada di dalam perahu. Pendekatan ini menyelesaikan masalah Gunner yang terhalang Rower. Namun, akibatnya terjadi keterbatasan lapang pandang.

“Selama kompetisi, ronde pertama hanya untuk pemanasan. Selama ronde pertama kita bisa mengetahui rute pertandingan, jadi seharusnya tidak ada masalah…. Akan kita bicarakan masalah ini dengan kaichou nanti.”

Melihat Tatsuya yang sudah punya rencana. Meski nada bicara dan penampilannya seperti tidak perhatian, perkataannya jauh lebih positif. Eimi tidak paham apa yang dipikirkannya, dan agak sedikit tegang mendengarnya, meski dia tidak sedang ikut dalam pembicaraan itu.

Dia masih ingat syoknya (atau mungkin rasa takutnya) ketika dia mencoba ‘tune up’ pertama Tatsuya buatnya.

Mungkin dia bahkan tidak akan lupa sepanjang hidupnya.

Walaupun itu cuma pengaturan CAD, dia punya perasaan tidak enak akan dirinya sendiri. Seakan-akan panel pengaturan tempatnya terlentang jadi seperti telenan, dan dirinya yang di atasnya seperti bahan makanan yang akan dimasak.

Sensasinya seperti dilihat sekujur badan.

Tidak, bukan seperti dilihat sambil telanjang, bukan seperti tembus pandang.

Sensasinya seperti orang itu bisa melihat isi dalam tubuhnya; menembus kulit, mempelajari otot-ototnya, organ dalamnya, tulangnya, dan bahkan masing-masing sel dan informasi genetik yang ada di dalamnya.

Itu seperti analisis yang tidak hanya terbatas tentang area kalkulasi sihir, tapi juga seluruhnya, itu sangat mendalam.

CAD siap pakai membuatnya bisa menggunakan kekuatan di atas batasnya.

Tidak, dia sadar kalau sebenarnya memang itulah batasnya, dan dia bukan tidak mengetahuinya sebelumnya.

Perasaan ini sama seperti yang dirasakannya saat neneknya dari Keluarga Goldie mengajarinya ‘Magic Bullet Tathlum’. Perasaannya menggunaan CAD, yang diatur oleh Tatsuya, juga mengingatkannya saat ia belajar dari neneknya tapi dari perspektif seakan sihir itu menyerangnya. Ini, kemungkinan besar, bisa dibilang alasan kenapa ia kewalahan setelah babak penyisihan Ice Pillar Break.

Kelelahan yang dirasakannya dari Speed Shooting masih belum hilang, dan dia juga tidak bisa tidur kegirangan mendapat posisi kedua. Namun, di babak final, dia kelelahan sehingga tidak bisa ikut. Eimi yakin kalau CAD Tatsuya lah yang menjadi alasan. Saat makan malam, dia bilang: “Saat melakukan pengaturan CAD, dirimu akan menunjukkan sisimu yang sesungguhnya dan mengungkap rahasia-rahasiamu”, perkataan itu bukan cuma omong kosong, tapi itulah pandangannya tentang pengaturan yang dibuat Tatsuya.

Dan sekarang, mungkin, ini giliran Kumiko yang menjadi bahan masakan di atas telenan.

(….Teknisi Kunisaki-senpai adalah Nakajou-kaichou, jadi tidak ada masalah, ‘kan?)

Faktanya pekerjaan Tatsuya tidak membahayakan. Sebaliknya, kesempatan dirinya menggunakan CAD yang dikustomisasi Tatsuya lah yang berbahaya. Tahun lalu, menurut Eimi, semuanya berakhir sangat melelahkan, tapi sebaliknya, dia bisa memeroleh hasil yang diluar perkiraan. Jadi bisa dibilang itu plus-minus nya.

Namun, Eimi tidak bisa menghilangkan kekhawatiran kalau Kumiko akan jadi objek studi barunya.

◊ ◊ ◊

Minggu, 15 Juli. Tentunya, tidak ada kelas hari itu, tapi, sebelum mulainya Kompetisi Sembilan Sekolah yang hanya tinggal kurang dari sebulan, semua atlet yang ikut bertanding berbondong-bondong pergi ke sekolah untuk latihan.

Tentu saja, pasangan Eimi-Kumiko juga datang berlatih. Ada beberapa kesempatan untuk mereka berlatih buat Rower and Gunner, jadi mereka datang pagi-pagi ke sekolah, dekat kolam yang ada di lapangan, mereka berdua dan tim-tim divisi kelas 1, termasuk divisi laki-laki, berkumpul di waktu yang sama.

“Selamat pagi.”

Di garis start terdapat bangunan yang berisi ruang ganti, ruang bilas, dan toilet. Di situlah mereka menunggu Azusa. Seperti biasa, mereka juga ramah kepada adik kelas mereka yang juga ada di situ.

Menurut jadwal, Azusa akan ada sampai jam 12 siang, dan Tatsuya yang akan melanjutkannya, sudah diketahui sebelumnya, jadi baik Eimi atau Kumiko tidak terkejut sedikit pun melihat Azusa yang menemui mereka. Perhatian Eimi dan Kumiko tertuju pada sebuah kotak kecil seukuran tepak sandwich.

“Selamat pagi, kaichou.”

“Pagi, A-chan. Kau bawa apa?”

Eimi memilih sikap untuk menghormati senpainya, tapi Kumiko tidak punya masalah untuk menanyakan hal itu.

“Apa? Ah ini”

“…..?”

Azusa menyerahkan kotak itu pada Kumiko. Tanpa banyak basa-basi.

Kotak itu langsung ditaruh ke tangan Kumiko. Kesan pertamanya adalah kotak itu cukup ringan.

Kotak itu sepertinya terbuat dari campuran logam, tapi ternyata dari plastik.

Mudah untuk menebak apa isinya.

“Pelindung mata?”

Di dalamnya terdapat pelindung mata berbentuk kacamata. Dengan satu hal yang membedakannya dari kacamata biasa; sebuah kamera kecil dengan ukuran cuma 1 cm x 5 mm yang berada di bawah lengkungannya.

“Dan, apa mungkin, ada navigatornya?”

“Benar~. Sepertinya yang diharapkan dari Ku-chan.”

Azusa bertepuk tangan.

“Tada! Navigator ini didesain sedemikian rupa sehingga mampu merekam rute pada ronde pertama, dan di ronde kedua, yang mana sudah masuk ke kompetisi sesungguhnya, akan menunjukkan arah pada kacamatanya. Ini bisa memberikan bantuan mengatasi masalah lapang pandang.”

“A-chan, ya, kau ini bicara sama siapa?” Kumiko membalas pidato Azusa dengan candaan.

“Ehehehe…..”

Azusa tertawa, tidak terlalu keras, seperti biasa, hanya karena mereka berteman, dan karena di situ hanya ada perempuan; baik teman sekelasnya dan adik kelas. Tapi meski di situ cuma ada perempuan, kasusnya tidak akan sama kalau ada Mayumi atau Mari di situ.

“Dalam kondisi apapun, dengan kacamata ini masalah lapang pandang akan terpecahkan. Di Rower and Gunner, masing-masing pasangan akan bekerja sendiri-sendiri, jadi yang perlu kau fokuskan hanya untuk mengikuti rute.”

Dia merubah cara biacaranya bukan karena adanya Eimi di samping Kumiko, tapi karena dia sekarang sedang dalam ‘mode menjelaskan’.

“Betul sekali, kalau sudah tahu rutenya, maka tidak ada masalah dalam mengendalikan perahunya.”

“Tidak ada masalah dengan peraturan, bahkan jika perahu ini tidak bersentuhan dengan permukaan air.”

“Tapi bukannya itu dilarang?”

Mendengar pertanyaan Kumiko, Azusa menunjukkan wajah yang seakan berkata “sudah kuduga kau akan menanyakannya”.

“Pembatasan peralatan di Rower and Gunner hanya bilang kalau perahu harus dijalankan tanpa menggunakan kekuatan fisik. Tidak ada peraturan yang melarang penggunaan navigator.”

Mendengar jawaban itu, Kumiko mengangguk dengan wajah paham.

“Ho ho. Jadi kau sendiri yang mencetuskan ide ini, A-chan?”

“Uh…. Sebenarnya, ini ide Shiba-kun?”

“Sudah kuduga. Melihat kelemahan peraturan bukanlah tipe A-chan.”

“Tapi aku yang mengembangkan sistem navigasi ini! Selain konsep dasarnya, Shiba-kun tidak menolong apa-apa!”

“Hmm…. Alasan saja”

“Memang begitu, tapi!”

Azusa tersinggung mendengarnya, dan Kumiko dengan tersenyum mulai berusaha menenangkannya.

Melihat pemandangan ini, Eimi merasa frustasi. Menurutnya menggunakan segala cara tidak peduli sihir atau bukan untuk mencapai keberhasilan memang gaya seorang Tatsuya. Namun, kekecewaannya bukan datang dari situ, dari keluhan Kumiko, solusi yang diberikan bukanlah dalam bentuk semacam sihir, tapi dalam sebuah alat elektronik yang bisa disiapkan siapapun.

(….Dan memangnya, kira-kira, apa yang kuharapkan?)

Eimi sendiri terkejut, menyadari apa yang dipikirkannya sekarang. Meski kemarin dia khawatir jika Kumiko menjadi kelinci percobaan baru, tapi di dalam hatinya dia sedang menunggu-nunggu suatu kejutan sihir super yang baru.

(Pertama-tama, menambahkan taktik sihir baru pada dasarnya tidak diperlukan untuk menyelesaikan masalah.)

Bagi Tatsuya, mungkin menemukan ide untuk sihir baru adalah makanan sehari-harinya. Tapi dengan waktu kurang dari sebulan sebelum kompetisi. Jujur saja, mencoba belajar sihir baru dalam waktu sesingkat itu bisa dibilang ceroboh. Hal ini bisa dimengerti dari pengalamannya tahun lalu.

(Shizuku juga pernah bilang kalau dia kesulitan mempelajari ‘Active Air Mines’nya, dan dia tidak mampu menguasai ‘Phonon Maser’ dengan sempurna. Jadi secara keseluruhan, Shiba-kun, bukanlah model orang yang selalu memperkenalkan sihir baru dengan membabi-buta?)

(Cara untuk menang hanya dengan menggunakan sihir yang familiar akan lebih bagus. Aku seharusnya juga melakukan yang terbaik sebisa mungkin.)

Setelah mengatakan itu kepada dirinya, Eimi menaiki perahu dan memulai latihannya.

“Akan butuh waktu untuk terbiasa dengan navigator itu, jadi beri waktu sejam dulu untuk latihan pergerakannya.”

“Baik.”

Duduk di kursi depan, Kumiko mengangguk pada perkataan Azusa.

“Saat kau merasa ada masalah dengan pergerakannya, maka coba gabungkan dengan tembakan. Akechi-san, begitu rencananya.”

“Mengerti!”

Perahu itu langsung berjalan setelah jawaban membara Eimi, yang sedang duduk berlutut.

◊ ◊ ◊

Ada pepatah yang bilang; saat suatu bahaya t’lah berlalu, maka kita akan melupakannya. Dan bisa sangat ‘berbahaya’ jika tekad kita bisa turun karena apa yang ada di pikiran kita.

“Shiba-kun, tolong~”

Dalam setengah hari, Eimi sudah lupa keputusannya untuk ‘berjuang dengan segala kemampuan yang sudah ada’.

“Ini cukup di luar dugaan. Eimi, ada masalah apa?”

Saat sif siang Tatsuya dimulai, Eimi, seketika melihatnya, turun dari perahu dan mulai menangis di depannya.

Tatsuya melihat di belakang Eimi dan melihat Kumiko di sana, memandangi mereka dengan senyuman tegang.

“Kenapa kita bicara di sini? Ayo ke dalam saja.” Tatsuya mengajak Eimi untuk berbicara di ruang istirahat.


“Berburu itu olahraga yang biasanya mengejar satu benda.”

“Tidak salah. Lalu…..?”

Tatsuya setuju dengan Eimi, yang mana tanpa basa-basi langsung membicarakan kelogisan yang tidak bisa ditebak apa maksudnya.

Pertama-tama, kata yang digunakan Eimi adalah ‘satu benda’ bukan ‘satu hewan’, ini karena di zaman ini, robot digunakan menggantikan mahluk hidup seperti kelinci atau rubah.

“Di Speed Shooting, walaupun banyak target yang dilempar bersamaan, tidak terasa kacau, karena pemainnya punya sudut pandang yang jelas.”

“Dengan kata lain, Eimi, apa kau khawatir dirimu tidak bisa menangani begitu banyak target yang ada dengan baik?”

“Betul sekali! Shiba-kun, kau sudah mengerti hanya dengan itu?” tanya Eimi terkejut mendengar Tatsuya.

Kumiko juga terbelalak, dan Tatsuya pikir mereka berdua terlalu berlebihan. Mengingat karakteristik Rower and Gunner, dari percakapan ini sudah mudah untuk mengerti kalau yang Gunner, yang dalam kasus ini Eimi, permasalahkan di sini….. bisa dibilang mudah ditebak bagi Tatsuya.

“Shiba-kun, apa kau ada ide?”

Eimi melihat Tatsuya dengan mata penuh harapan. Dia jelas berharap Tatsuya punya trik-trik khusus atau semacam ‘senjata rahasia’ yang bisa menyelesaikan situasi ini.

“Solusinya sudah ada.”

Mengabaikan aksi Eimi, Tatsuya sudah menduga sebelumnya kalau dia akan punya masalah dengan pembidikan bersamaan. Oleh karena itu, dia sudah menyiapkan solusi untuk itu. Dia tidak mengatakannya sejak awal, karena dia tahu sebesar apa beban untuk mempelajari sihir baru. Dia awalnya ingin mencoba, melihat apa bisa mengatur segalanya sesuai rencananya.

“Uh, sudah ada solusinya?”

Umumnya, tugasnya di sini memang untuk menyiapkan atlet yang dibimbingnya untuk menang. Karenanya, Tatsuya lah yang seharusnya terkejut pada saat itu, tapi wajahnya tidak menunjukkan perubahan apapun.

“Tunggu sebentar.” Kata Tatsuya dan pergi ke ruang ganti.

Dia kembali dengan sebuah kotak lonjong di tangannya. Orang mungkin akan mengira kalau isi kotak itu adalah CAD. Dari bentuknya, itu sama seperti yang Eimi gunakan di latihan ini, sebuah senapan berlaras pendek.

“CAD ini punya rangakaian yang mampu mengaktivasi banyak ‘Invisible Bullet’ dalam waktu bersamaan.” 

“Uh!?”

“‘Invisible Bullet’?”

Tatsuya mengerutkan alisnya mendengar kedua gadis itu yang berteriak di saat yang sama.

“…..Kenapa kalian kaget? Dan Kunisaki-senpai terlalu berlebihan.”

“Tidak-tidak-tidak-tidak-tidak!”

Kumiko menatap Tatsuya. Senyuman telah hilang dari wajahnya, yang mana merupakan hal yang jarang terjadi padanya. Tapi bukan itu saja, sepertinya dia juga lupa akan perasaan dinginnya pada Tatsuya (lebih tepatnya, pada laki-laki).

“Kenapa aku kaget? Kaget katamu? Ya, jelas aku benar-benar kaget!”

Setelah itu, Kumiko berusaha mencari bantuan, dan Eimi mengangguk, setuju dengannya.

“Tapi tetap saja, kenapa harus kaget?”

“‘Invisible Bullet’ adalah sihir tingkat lanjut yang menggunakan Cardinal Code!”

“Itu adalah sihir murni, yang membutuhkan kemampuan sihir tingkat tinggi, tapi Rangkaian Aktivasi-nya cukup umum, ‘kan?”

“Tapi tidak semua penyihir bisa menggunakannya, kalau kau tidak mengerti apa isi hasil penelitiannya! Itulah kenapa sampai sekarang belum ada pengguna lain, selain Kichijouji Shinkurou-kun sendiri!”

Argumen Kumiko cukup bisa diterima berdasarkan apa yang diketahui banyak orang. Tatsuya memutuskan untuk memberikan penjelasan singkat untuk meluruskan semua ini.

“‘Invisible Bullet’ tidak populer karena sihir itu punya kerterbatasan. Efek sihir itu hanya membentuk sebuah tekanan pada titik tertentu. Sihir itu tidak punya efek perubahan fenomena secara langsung. Karena itu, jumlah situasi yang cocok dengan sihir itu baik di pertarungan atau tidak cukup sedikit. Dalam sains, ini bisa sangat efektif, tapi di luar laboratorium keefektifan sihir lain lebih tinggi.”

Setelah mendengar penjelasan Tatsuya, kedua gadis itu sedikit lebih tenang. Tapi setelah mendengar penjelasan ini, Eimi muncul dengan pertanyaan baru.

“Kalau begitu kenapa pakai sihir seperti itu? Selain itu, apa modifikasinya untuk menembak? Kau bahkan sampai mengatur ulang Rangkaian Aktivasi aslinya….”

“Mengatur ulang Rangkaian Aktivasi!?” teriak Kumiko. Bagi Eimi sendiri, akal sehat Tatsuya memang seperti ini.

“Tentu saja, karena sihir ini cocok untuk Rower and Gunner.”

“….Apa iya?”

“Iya. Tapi versi aslinya agak kurang efisien. Jadi kutata ulang menjadi tipe shotgun. …Kira-kira Kichijouji Shinkuro akan sadar tidak ya?”

Bibir Tatsuya melengkung menunjukkan sebuah seringaian lebar.

(Aku tahu Shiba-kun orangnya memang seperti ini, pikir Eimi yang menyadari hal itu.)

◊ ◊ ◊

5 Agustus 2096, hari pertama Kompetisi Sembilan Sekolah.

Di ruang tunggu atlet Rower and Gunner, para teknisi telah selesai melakukan pemeriksaan CAD final, dan sisanya cuma tinggal menunggu kompetisi dimulai.

“Akhirnya, sebentar lagi. Jujur saja, aku sebenarnya enggan bilang ini, tapi kompetisi ini dapat banyak sorotan.”

Kumiko, yang mengatakan itu, menunjukkan sikap menyesal, melipat kedua lengan di depan wajahnya. Sedikit terlihat senyuman licik di wajahnya.

(Kunisaki-senpai kelihatannya sedang rileks dan good mood, pikir Tatsuya yang melihatnya)

“Namun, itu sama saja kita tidak tahu apa-apa tentang sekolah lain, itu bisa membuat kita tertekan. Jadi tenangkan diri sendiri.”

Azusa dan Kumiko setuju dengan perkataan Tatsuya. Namun, perkataan ini utamanya ditujukan pada Eimi. Jelas terlihat kakinya sedikit gemetar. Sejauh yang diingat Tatsuya, dia tidak setegang ini tahun lalu.

“Eimi-chan, semuanya akan baik-baik saja seperti biasa.”

Kumiko menepuk bahu Eimi.

Karena ada Tatsuya di dekatnya, suara dan nada bicaranya agak rendah dan tertekan (bukan karena dia mencoba untuk terbiasa dengan laki-laki, tapi karena tidak bisa berlaku berbeda karena fobianya), tapi dia masih bisa menepuk.

“Ukya!?” teriak Eimi. Dia melompat mundur 2 kali dan menoleh ke arah Kumiko, sambil memajang wajah kesal.

“Ku-chan-senpai, sakit lho!”

“Maaf maaf. Soalnya Eimi-chan kelihatan terlalu tegang. Tidak seperti biasa.”

“Jahat! Apa maksudnya ‘tidak seperti biasa’!? Aku memang seperti itu!”

“Ya, ya, aku tahu, lembut, elegan, kalem.”

“Ku-chan-senpai!” tegur Eimi pada Kumiko, yang meminta maaf dengan suara monoton.

Di saat itu, Tatsuya memotongnya.

“Eimi, sepertinya kakimu sudah tidak gemetaran lagi.”

“Uh, ah…..!”

Bahkan jika kau bisa membohongi mata orang lain, kau tetap tidak bisa membohongi diri sendiri. Semua itu pasti akan terasa.

Eimi jelas sadar kalau dia gemetaran karena tegang. Jadi dia langsung tahu apa maksud Tatsuya.

“Jadi maksudnya keteganganku hilang karena candaan itu?”

“….Mungkin?”

Eimi memiringkan kepalanya, dan Kumiko di belakangnya membusungkan dadanya dengan wajah sombong ‘aku memecahkan masalahmu’. ….Bagi Tatsuya, sikap seperti itu tidak cocok dengan citranya, jadi dia tidak memerdulikannya.

“Aku paham kalau kau tegang karena kau orang pertama di kompetisi pertama. Tapi percaya pada dirimu. Eimi, kau sudah menguasai ‘Invisible Bullet’ yang sudah dimodifikasi untuk shotgun.”

“….Benar begitu?”

“Ya.”

Dari belakang, Kumiko bergumam, “Itu kedengaran seakan-akan Shiba-kun, yang mengembangkan Rangkaian Aktivasi itu, sedang memuji diri sendiri”, tapi Tatsuya mengabaikan itu.

“Eimi, kau dan Kunisaki-senpai lah jadi bintang utamanya. Pergi dan tunjukkan pada semua orang.”

“Benar, Eimi-chan. Ayo kita menangkan kompetisi ini!”

“…..Ya.”

Wajah Eimi akhirnya kembali bersinar seperti biasa.

“Ya, tidak ada gunanya kita memikirkan kekalahan. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk memenangkan kompetisi ini!”

“Itu namanya semangat! Kalau begitu, A-chan, Shiba-kun, kita pergi dulu!”

Mereka memberi jempol pada Tatsuya dan Azusa dan menaiki perahu yang sudah disiapkan.

(Bukannya barusan Kunisaki-senpai lagi berusaha untuk tenang?, pikir Tatsuya yang melihat mereka berdua pergi.)


“Ini…. Apa ini?”

Di tenda, yang menjadi markas SMA 3, suara seorang teknisi, yang menonton monitor, menunjuk rute Rower and Gunner.

“SMA 1….. orang itu? Lagi-lagi, taktik anehnya….”

Perhatian teknisi SMA 3 terpaku pada kacamata pengaman Kumiko.

“Itu….. kacamata navigator?”

“Uh? Memangnya itu tidak melanggar peraturan?”

Mendatangi teknisi-teknisi perempuan SMA 1, Kichijouji Shinkuro dengan kesal menggigit bibirnya.

“…..Peraturannya cuma bilang ‘kendaraan yang digunakan harus ada di atas permukaan air, dan tidak boleh bergerak otomatis’. Penggunaan alat elektronik yang tidak mampu mengemudikan kendaraan tidak melanggar aturan. Dan sikap SMA 1 yang diam menunggu di garis start membuktikan hal itu.”

Di bahu Kichijouji terletak tangan Ichijou Masaki, yang berdiri di belakangnya.

“Kursi untuk Rower agak direndahkan, dan untuk Gunner yang berlutut posisinya sedikit lebih tinggi. Posisi seperti ini sama sepertinya yang kita gunakan. Dan jenis perahunya juga sama; ujung tajam dan dalam. Sepertinya George dan orang itu punya pemikiran yang sama.”

“Masaki….”

“George tidak berusaha untuk mengakali peraturan, karena Rower kita tidak butuh peralatan tambahan untuk mengontrol perahu. Karena itu, dia tidak melakukannya.”

“Ya, benar….. Maaf, terima kasih penjelasannya.”

Melihat Kichijouji mengangguk, Masaki menarik tangannya yang ada di bahu Kichijouji.

“Oke, sekarang kita perlu melihat bagaimana cara mereka menyelesaikan putaran ini. Ini kompetisi baru, dan mereka orang pertama. Ini jelas jadi keuntungan buat kita pelajari.”

Mendengar perkataan Masaki, bukan hanya Kichijouji, tapi semua anak SMA 3 juga ikut memerhatikan monitor.

Lampu aba-aba sudah mulai menyala. Tiga lampu menyala satu per satu, dan di saat yang bersamaan semuanya mati. Seketika perahu SMA 1 meluncur.

“Wow? Cepat sekali.”

“Tapi ronde pertama untuk pemanasan. Jadi tidak ada gunanya mulai cepat-cepat.”

“Di ronde pertama tidak dinilai, ‘kan?”

“Ya. Ronde pertama cuma buat pemanasan. ….Tapi, mereka sudah langsung bergerak cepat.”

“Bahkan jika terjatuh di ronde satu, itu tidak akan mempengaruhi perolehan poin. Kurasa mereka seperti itu untuk mengira-ngira seberapa cepat mereka bisa melaju, sambil bergerak.”

“Kita harus meniru mereka. Sekolah kita perlu menggunakan taktik seperti itu.”

“Perahu mereka cukup stabil.”

“Mereka sepertinya tidak terlalu menggunakan sihir untuk menstabilkan aliran air.”

“Daripada pakai sihir, sepertinya mereka mampu mengendalikan laju perahu dengan manual. Mereka memilih pemain yang punya kemampuan mengendalikan perahu yang baik daripada menggunakan sihir?”

Selagi para teknisi dan pemain SMA 3 mendiskusikan metode kontrol perahu SMA 1, ronde pertama sudah selesai dan kompetisi yang sesungguhnya akan dimulai.

“Cepat sekali!”

“Sihir apa itu!? Itu seperti tembakan shotgun!”

Mereka bukan terkejut dengan kecepatan perahunya, tapi dengan sihir sang Gunner, menembaki target, yang muncul acak, satu per satu.

“Seperti yang kuduga! Lihat! Di sekitar target bisa kelihatan ada tanda tembakan!”

“Itu tidak kelihatan seperti peluru es. Apa mungkin itu peluru udara?”

“Besarkan gambar yang menunjukkan target tembakannya!”

Kichijouji sudah melakukannya saat ada yang meneriakkan hal itu.

Sebuah perahu kecil, yang mengambang di atas air, tertembak oleh tembakan SMA 1 dan sudah mulai tenggelam.

Gambar itu ditampilkan oleh monitor di sebelahnya.

“…..Tidak diragukan lagi. Bekas tembakan di permukaan air itu jelas punya peluru udara.”

“Tidak ada peluru padat atau cair yang terlihat. Kalau begitu, itu pasti, peluru udara!?”

“….Bukan.”

Kichijouji hampir menggertakkan giginya kesal saat dia mendengar tebakan teman-temannya.

“Itu….. ‘Invisible Bullet’.”

Di saat yang sama, pasangan SMA 1 menang, menghancurkan hampir semua target yang muncul. Meski tidak semuanya kena, poin mereka sangat tinggi.

Tapi, tatapan pasang mata di tenda SMA 3 tidak tertuju pada monitor yang menunjukkan lawan mereka, melainkan pada Kichijouji.

“Apa benar? Tidak, George tidak mungkin salah.” Hanya Masaki yang mampu merespon kesimpulan yang dibuat Kichijouji.

“Ya, tidak salah lagi. Namun, itu bukan ‘Invisible Bullet’ yang asli.”

“Tidak asli?”

Bahkan orang seperti Masaki terkejut mendengarnya dari ia yang mengulangi ucapan Kichijouji.

“‘Invisible Bullet’ milikku bertipe tembakan sniper. Yang digunakan pemain SMA 1 semacam shotgun, yang mampu membidik banyak target di waktu bersamaan. Dan shotgun itu, di antara semua itu, laras panjangnya lah yang memungkinkan semua itu terjadi, seperti menembak dengan machine gun. Tidak ada pengurangan poin untuk target yang tidak kena, jadi bisa dibilang itu adalah penyesuaian sempurna sihir untuk kompetisi ini.”

Semua orang yang ada di tenda, mungkin, mendengar jelas suara gertakan gigi Kichijouji saat itu. Setidaknya, wajah tak senang Kichijouji disadari semua orang.

“…..Bagaimana, bagaimana, bagaimana mungkin! Bukan hanya mereka ulang ‘Invisible Bullet’ku, tapi memodifikasinya!”

Kali ini, bahkan Masaki tidak bisa mencari jawaban untuk Kichijouji.

Di tengah keheningan tenda SMA 3, di monitor menunjukkan gambar pasangan SMA 1. Mereka memeroleh banyak poin dalam waktu singkat yang mana, menurut komentator, memenangkan kompetisi ini. 


Turun dari perahu, Eimi berlari dengan kecepatan penuh ke arah Tatsuya.

Mengingat pengalamannya tahun lalu, Tatsuya tidak akan mencoba menghentikannya.

Tidak tahu karena kontrol dirinya, atau mungkin, rasa takutnya, Eimi mendadak berhenti tepat di depan Tatsuya.

“Luar biasa! Kami berhasil! Kau lihat? Lihat, lihat!?”

Sebaliknya, dia mulai menghujaninya dengan kebahagiaannya.

“Ya tentu saja. Kerja bagus Eimi.”

“Aku berhasil, berhasil!”

“Ya. Baik penonton dan sekolah lain juga sangat terkejut.”

“Dan tidak jatuh sama sekali! Dari awal sampai finish!”

“Ya, kerja bagus.”

Tidak tahu bagaimana cara menenangkan Eimi, Tatsuya melirik Kumiko untuk meminta tolong.

Tapi, Kumiko juga sibuk menggengam tangan Azusa dengan berlinang air mata.

Tanpa emosi, sambil berpikir “untuk anak SMA sekarang, sepertinya cukup normal untuk menangis di momen seperti itu”, Tatsuya dengan sekuat mungkin menahannya sampai petugas acara datang menyampaikan kalau mereka harus pergi untuk digunakan pemain selanjutnya.

◊ ◊ ◊

Kichijouji Shikuro ikut dalam Rower and Gunner divisi laki-laki. Meski dia diperkirakan akan menyabet posisi pemenang, dia gagal.

Para ahli, yang menganalisa keadaan tak terduga ini, menyimpulkan kalau ini terjadi karena ‘taktik berani’ tak terduga yang digunakan SMA 7.

Tapi ada rumor yang bilang kalau itu disebabkan karena syok melihat ‘Invisible Bullet’ yang digunakan sehari sebelumnya oleh Gunner divisi perempuan SMA 1.