JANTUNG YANG BERDEBAR

Penerjemah: Zerard

“Aku capek dan lelah membasmi goblin!” gadis itu mengumumkan, menghantamkan tangannya ke atas meja bundar. Gadis itu adalah, tentu saja, High Elf Archer. Telinganya menegang ke belakang seraya dia membuat proklamasi ini, teriakannya mengundang perhatian dari semua petualang dan pelayan yang ada di rumah makan—namun hanya untuk sesaat. Mereka dengan cepat kembali pada apapun yang sedang mereka lakukan seolah seperti mengatakan, Oh, si elf itu lagi.

Yang berarti bahwa rumah makan Guild Petualang di siang ini tengah menjalani hari yang benar-benar biasa.

“Ah yang benar? Aku yakin kita bisa carikan kamu naga yang bagus untuk di bunuh. Atau mungkin kamu mau menjadi pemburu hadiah?”

“Bukan itu maksudku, cebol.” High Elf Archer melambai tangan menepis pada Dwarf Shaman, yang sedang duduk di seberang dirinya dengan dagu di tangan, dan yang telah menghabisi siang ini dengan berminum ria. Sang elf menggambar lingkaran di udara dengan jari telunjuk, telinga berkedut seraya dia bergumam sesuatu tentang bagaimana sang dwarf tidak mengerti. “Akhir-akhir ini selalu saja goblin, goblin, goblin, goblin, goblin, kan?”

“Yah, dia kan memang Goblin Slayer…,” membalas, seorang manusia cleric kurus yang juga duduk di seberang High Elf Archer. Dia tersenyum canggung, memainkan cangkir di tangan dengan jari, kemudian melirik pada satu sisi. Di samping gadis itu, dengan tenang menggosok sebuah belati dan pedang dengan panjang yang aneh dengan kain usang, duduk seorang petualang. Pria ini yang menggunakan helm baja yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor dan mempunyai, sebuah perisai bundar terikat di lengannya, di sebut sebagai Goblin Slayer.

Tidaklah jelas apakah dia mendengarkan percakapan atau tidak, namun dia mendengus, “Hrm.” Kemudian dia menambahkan: “Aku nggak melihat adanya masalah dengan itu.”

“Ha-ha-ha, tidak masalah, namun juga bukanlah kisah biasa seorang petualang, keberanian dan kekosenan,” Lizard Priest berkata, menggigit besar bundaran keju di tangan. Dia menelan denagn berisik, berteriak atas rasa yang di kunyahnya seperti gambaran seekor naga yang melahap seorang pahlawan.

Dwarf Shaman memperhatikan pengunyahan itu dengan seringai, kemudian menggapai salah satu makanan yang masih ada di atas meja. Untuk makan siang mereka telah memesan roti, babi giling, dan sayuran—semua sangat familiar. Seraya dia memasukkan potongan rot yang di isi dengan babi ke dalam mulutnya, Dwarf Shaman mendorong piring sayuran itu kepada High Elf Archer. “Awas, Beardcutter. Minyakmu nanti masuk ke dalam makanan.”

“Maaf.” Goblin Slayer sedikit menggeser ke belakang dari meja namun tidak berhenti bekerja. Pedangnya bukanlah pedang yang bagus, namun sedikit keteledoran dapat menyebabkan situasi genting. Jangan sampai bilah pedang tercungkil ketika dia menariknya, atau tersangkut di dalam sarungnya, atau patah di hantaman pertama dalam pertarungan.

Lizard Priest, yang menghentikan singkat konsumsi kejunya, menjulurkan tangan dengan dengusan mengetahui. “Permisi,” dia berkata seraya dia meraih sebuah bawang kecil dari piring sayuran dan memasukkannya ke dalam mulut seperti sebuah permen untuk membersihkan lidah. Priestess mengira cara Lizard Priest memutar mata di kepalanya adalah di karenakan rasa yang tajam.

Sepengetahuanku, warga Beast nggak banyak makan herba aromatic.

Bukan berarti dirinya suka memakan banyak bawang kecil juga. Bukanlah karena dia tidak menyukanya. Dia suka mengunyah bawang itu ke dalam mulut, menggigitnya, dan menikmati rasa seperti cuka dari makanan kecil yang meleleh dalam lidahnya. Namun seorang wanita muda, bahkan seorang petualang wanita muda, mulai mencemaskan tentang suatu bau tertentu. Sepertinya itulah mengapa High Elf Archer selalu menggunakan parfum dengan aroma bunga hutan. Bukan berarti Priestess iri dengannya, --yah, tidak terlalu sering.

“Hitunganku sudah hilang semenjak ekspedisi pembasmian goblin ke sepuluh,” High Elf berkata dengan dengusan kecil imut, melambaikan tangan kepada Lizard Priest. “Aku mulai cemas selalu bersama Orcbolg akan membuatku lupa kalau ada monster lainnya di sana.”

“Tapi kita ada bertemu dengan vampire itu, dan para sasquatch…,” Priestess berkata tanpa pikir panjang. Dia sendiri tidaklah begitu mempermasalahkan situasi sekarang—yang di mana adalah sesuatu yang membuat High Elf Archer jengkel.”

“Yeah, musim dingin kemarin,” sang elf membalas. Dia menyeruput sedikit dari anggurnya, kemudian menghela theatrical. “Kamu tahu ketika kita pergi ke kebun anggur, beberapa dari petualang lain sedang bertarung dengan demon dan yang lainnya?”

“Aku nggak tertarik dengan itu,” datang gumaman dari Goblin Slayer. Dia pasti sudah merasa senang dengan kondisi senjatanya, karena dia meletakkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya dan pisau lemparnya ke dalam sabuk. High Elf Archer memberikannya tatapan: Kamu itu bakal melempar senjata itu juga. Namun Goblin Slayer tampaknya tidak menyadari. Dia berkata, “Sementara petualang lain bertarung dengan demon mereka, adalah peranku untuk melawan goblin.”

“Kenapa aku kok nggak kaget? Sejujurnya, kurasa memang bakal aneh banget kalau kamu tiba-tiba, ‘Bunuh semua demon!’” High Elf Archer menghela napas menyerah dan merosot ke atas meja,  hal yang paling mengagumkan adalah bahkan gerakan itu terlihat elegan ketika dia melakukannya.

“Sedikit mabuk?” Priestess bertanya, dengan santai melirik ke dalam cangkir anggur temannya, kemudian menuangkan sedikit air ke dalamnya. “Aku harus akui, kita memang sudah banyak melakukan perburuan goblin yang benar-benar biasa akhir-akhir ini.”

“Nggak ada yang benar-benar biasa tentang selalu melakukan perburuan goblin!”

“Menurutmu?”

“Menurutku!”

Priestess memiringkan kepalanya, masih tidak yakin, dan High Elf Archer terlihat lemas menatap plapon. Bahkan percakapan ini memiliki aura yang familiar, dan tidak ada seorangpun di rumah makan yang mempedulikan mereka. petualang aneh ini dan partynya hanyalah bagian dari kehidupan di kota perbatasan. Melihat semua orang menganggap mereka, bahkan para pemula yang baru saja mendaftar di musim semi ini dengan cepatpun ikut berpikiran demikian. Bahkan banyak dari mereka yang secara pribadi setuju bahwa memanglah aneh untuk selalu berburu goblin…

“Ahh, tapi suatu kehormatan untuk mempunyai gadis bertelinga panjang di sini,” ucap Dwarf Shaman. “Aku nggak pernah ingin pengiring cantik untuk anggurku.”

Lizard Priest mengambil kendi fire wine Dwarf Shaman dan menuangkannya ke dalam gelas sang shaman. “Saya hanya bisa menawarkan permohonan maaf bahwa anda harus menerima seorang lizardman menuangkannya untuk anda.”

“Nggak usah khawatir. Aku takut kalau membuat seorang elf menunggu bisa membuatkan buyar dari mabuk ini. Mungkin bakal lucu tapi yang itu saja.” Dia menghabisi gelas dengan penuh kepuasan, tetesan menyiprat ke jenggotnya—namun kemudian dia menyipit. Mungkin itu karena High Elf Archer tiba-tiba mendengak, telinganya berkedut. Tatapannya tertuju pada pintu masuk Guild. Tidak lama kemudian, Goblin Slayer juga ikut menoleh, di ikuti Lizard Priest dan Priestess.

Tiga petualang memasuki pintu rumah makan dengan masing-masing perspektif situasi mereka.

“Akhirnya, akhirnya pulang…”

“Tahan sedikit, kamu bikin malu kami saja…!”

“Ugh, aku lapar banget. Aku hampir nggak bisa melangkah lagi!”

Grup itu terdiri dari seorang warrior muda yang di iringi dengan clerik dari Supreme God, dan juga seorang Hunter yang berasal dari warga kelinci. Mereka semua berlumur dengan lumpur dan darah.

High Elf Archer mengernyit dan mengeluarkan suara tidak percaya. Priestess sangat terbiasa dengan aroma ini, hanya tersenyum ringan.

“Y-ya ampun… Apa seburuk apa yang terlihat?” Gadis Guild berkata, muncul dari belakang meja resepsionis. Dia memiliki terlalu banyak pengalaman dengan petualang hingga membuatnya tak pernah berhenti tersenyum, sesuatu yang sangat di kagumi Priestess.

Di sambut dengan sikap tenang Gadis Guild, sang warrior mengangguk sigap, walaupun dia terlihat seperti akan tumbang di pintu masuk. “Sulit, tapi entah bagaimana kami berhasil. Para goblin itu sudah terbasmi dan musnah.”

“Kerja bagus,” datang gumaman kecil—dari Goblin Slayer, dari sekian banyaknya orang, mengundang rasa kaget dan kemudian tawaan dari cleric.

“Kerja bagus, iya,” dia berkata. “Kerja hebat. Pentungannya nggak mengenai apapun selain udara, dan ketapel batu itu juga sama saja!”

“Eh, yang penting kita berhasil,” Harefolk Hunter berkata acuh. Gadis itu (mereka cukup yakin bahwa dia adalah seorang gadis) telah berbulu coklat dan putih sekarang, yang di mana untuk saat ini cukup tidak rapi, dengan bercak darah kering yang menempel di mantelnya. Priestess berdiri dari kursi, membasahi sapu tangannya pada keran, kemudian mendatangi tiga petualang. “Saat kamu membuat laporanmu, kamu harus pastikan mencuci diri kalian dengan bersih, oke?”

“Ooh, terima kasih,” Harefolk Hunter berkata seraya Priestess mengelap wajah dan rambutnya.

“Lihat dia, bertingkah seperti orang dewasa.” High Elf Archer tertawa. “Tapi aku mengerti sih. Kamu mau menjaga orang dengan pengalaman yang lebih sedikit.” Dia berbicara dengan pelan agar Priestess tidak mendengarnya. High Elf Archer sebenarnya tidaklah mengkritik sikap kebaikan hati Priestess, yang mengundang senyum.

“Apapun pendapat kita masing-masing mengenai pembasmian goblin, tentu saja itu mengandung keberanian dan kekosenan.” Lizard Priest menambahkan dengan tawa.

“Ha-ha-ha, kamu benar sekali!” Dwarf Shaman berkata.

“Yo, ceritakan pada kami semuanya saat kamu senggang!” Heavy Warrior memanggil di keramaian rumah makan. Bocah Scout dan Gadis Druid dalam partynya, yang merupakan teman dengan warrior dan cleric, tidak tampak cemas. Namun mereka tentunya tetap merasa senang melihat teman mereka kembali pulang. Mereka semua tersenyum dan melambai.

“Kamu berhasil sukses dalam petualanganmu, kamu harus traktir semua yang ada di sini satu ronde—itu tradisinya! Kami tunggu!” Knight Wanita menambahkan.

“Aku suka mendengarnya!” Padfoot Waitress berkata, menepuk kedua tangannya. “itu artinya kamu akan memesan banyak macam makanan malam ini, kan? Whoo-hoo!”

“H-hei, kami nggak punya uang sebanyak itu!” Di tengah badai pujian dan godaan dan teriakan, wajah warrior memerah, seolah malu atau sesuatu yang lainnya? Semua petualang, bahkan mereka yang tidak mengetahui namanya, tengah meneriaki dirinya. Beberapa menyelamati pekerjannya yang telah selesai dengan baik, yang lain menyelamati kepulangannya hidup-hidup, sementara yang lainnya mengeluh karena mereka telah kalah dalam taruhan mereka. “Dead pools,” perjudian pada siapa yang akan tumbang, bukanlah sesuatu yang baik, namun itu adalah salah satu takhayul di sini. Itu karena, jika yang di pertaruhkan beruntung, mereka akan “menang” dengan kembali pulang hidup-hidup. Dan semenjak mereka menang, adalah sebuah alasan yang bagus untuk meminta minuman dari mereka.

Dan itu Guild Petualang: berisik namun nyaman.

“Meriah sekali tempat ini,” Gadis harefolk berkata seraya Priestess melanjutkan mengelap bulu tebalnya.

“Iya,” Priestess berkata. “Memang selalu seperti ini.” Dia sendiri merasa terpukau dengan sekelilingnya pada mulanya, namun akhir-akhir dia sudah benar-benar terbiasa. Terkadang itu tampak sedikit menyedihkan baginya namun tidak di ragukan bahwa itu adalah sisi gembira juga, dan dia murni merasakan kebanggaan pada peringkat Steel yang menggantung di lehernya. “Aku yakin mereka berdua akan senang, walaupun mereka nggak akan pergi berpetualang hari ini.”

“Mereka itu petualang sesungguhnya. Kalau di bandingkan dengan pembasmian goblin, kita sama sekali nggak punya hak untuk berbicara tentang orang Terkuat Perbatasan,” Cleric berkata dengan setengah tersenyum,

Priestess memahami perasaan itu, namun dia tetap melipat bibirnya tidak menyetujui. “Maaf, tapi kurasa Goblin Slayer itu Termurah hati Perbatasan kan? Sini. Jangan begerak.”

“Kurasa itu sedikit kejam kan? …Oh, terima kasih.” Cleric tampak jelas merasa lega  karena debu telah di bersihkan dari rambut dan wajahnya. Dalam perjalan pulang dari petualang, dia mengingat, sang warrior dan scout sudah benar-benar kelelahan, dia lah yang harus mengawasi sekitarannya—dan dia berada di barisan belakang.

Iya, kamu pasti lelah.

Priestess mengelap lembut pada lapisan debu, lemah lembut dan sejuk pada wanita muda yang kelelahan.

“Oh yeah, yeah. Hei, mbak, aku boleh bilang sesuatu?” Harefolk Hunter bertanya, telinga panjangnya berkedut; tiba-tiba dia memiliki sepotong roti di tangan.

“Ya, kenapa?” Priestess membalas, tidak berhenti mengelap.

“Aw, nggak terlalu penting,” Hunter berkata. “Tapi di gerbang kota, kami bertemu dengan seseorang yang kata mereka sedang mencarimu. Mereka menunggu di sana.”

“Apa?” Priestess melihat pada pintu untuk menemukan sosok kurus berlapis mantel tebal. Lika-liku indah dari kaki orang ini terlihat dari balik celana kulit ketat. Dan di pinggulnya menggantung sebuah rapier silver yang hampir menyilaukan.

Orang ini memperhatikan keseluruhan ruangan yang penuh dengan petualang yang berbincang dengan apa yang tampak seperti senyum ramah. Ketika dia menyadari Priestess melihatnya, dia melepas mantel, menunjukkan wajah ayu dengan rambut kepang berwarna madu.

“Halo, dan maaf karena lama tidak ada kabar.” Ucap sang wanita—yang dulunya seorang petualang, sekarang seorang pedagang. Priestess menghela kaget dan senang, meninggalkan pekerjaannya mengelap waja cleric dan bergegas menuju Female Merchant. Dia menggenggam tangan temannya dengan tangannya sendiri setelah sekian lamanya.

“Ada apa kok tiba-tiba datang ke sini? Di suratmu kamu nggak ada bilang akan datang…”

Female Merchant tidak membiarkan kesenangannya tampak sejelas Priestess, namun tetaplah jelas bahwa dia merasa senang. “Ah, ada urusan bisnis, yang tiba-tiba muncul. Aku harus hati-hati untuk memisahkan bisnis dengan kehidupan pribadi…”

Reuni ini, tentu saja, tidak terlepas dari High Elf Archer, yang berteriak, “Wah, lama banget nggak lihat kamu! Jangan berdiri ngobrol di sana aja, sini kemari! Orcbolg, pinggirin mainanmu.”

“Oh, aku tidak bisa… Dengar, kalian tahu aku. Ketika sesuatu terjadi, aku cuma bisa datang menangis apda kalian…” Female Merchant terdengar cukup malu, namun dia tidak terlihat seperti itu. Dia membiarkan Priestess membimbingnya pada kursi.

“Hrm,” Goblin Slayer mendengus, namun setelah dia membersihkan peralatannya dan perlengakapannya, meja ini kembali menjadi cukup lebar.

“Ini artinya kita butuh minuman lagi! Yo-ho! Ambilkan gadis ini bir putih!” Dwarf Shaaman memanggil, dan Lizard Priest menambahkan, “Bawakan beberapa makanan ringan juga, apapun yang tampak cocok. Dan beberapa keju.”

“A-aku tidak terlalu bisa dengan alkohol,” Female Merchant berkata seraya dia di dorong menuju kursinya. “Yah, baikah, terima kasih. Bir putih saja.” Dia tampak tidak begitu yakin.

Female Merchant kemungkinan mengetahui caranya menghindari situasi semacam ini. Sedangkan Priestess, mempunyai perasaan bahwa Female Merchant telah menghabiskan waktunya selama ini untuk bernegosiasi dengan keluarga pedagang besar atau keturunan rumah bangsawan. Priestess selalu berhati-hati untuk tidak bertanya terlalu jauh tentang mantan party Female Merchant, seperti itulah intuitifnya. Dan merupakan hal yang indah dan beruntung bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk dapat duduk bersama dan minum.

“Jadi, bisnis apa yang sedang kamu kerjakan?” Priestess bertanya, menawarkan beberapa roti dan babi.

“Ya, tentang itu.” Female Merchant mengangguk. Gigitan kecilnya pada roti yang dia ambil sangatlah menggambarkan sosok bangsawan. Tidak seperti keanggunan tak di sengaja High Elf Archer, gerakan wanita ini di hasilkan dari pembelajaran yang membuat Priestess berpikir tentang seorang permaisuri. “Sebenarnya… Yah, sebagai formaliutas, aku perlu untuk mendatangi Guild.” Dengan pernyataan kecil itu telah terlontar, Female Merchant melirik di sekitar ruangan. Sisa petualang lainnya tengah sibuk merayakan beberapa dari mereka yang berhasil pulang hingga mereka sama sekali tidak menyadari meja ini.

Female Merchant menarik napas, dadanya yang terbentuk indah bergerak naik dan turun, kemudian dia berkata tegas. “Ada sebuah quest—sebuah petualangan—yang sangat ingin sekali aku minta pada kalian untuk berpatisipasi.”

Priestess mengetahui dengan segera apa yang akan di tanyakan Goblin Slayer berikutnya. Jadi, dia berasumsi, bahwa semua orang di meja ini juga berpikir demikian.

Hanya ada satu hal…

*****

“Jadi memang goblin.”

“Ya, kurang lebih seperti itu.”

“Kapan kamu akan pergi?  Aku akan ikut dengamu.”

Mereka tengah duduk di dalam ruang rapat Guild. Goblin Slayer duduk di seberang dari Female Merchant; Priestess duduk di sampingnya dengan cemas dan kaku. Sofa yang lembut menopang bokongnya yang bulat. Sementara kaki kurusnya menjuntai hingga menjentuh karpet, yang di mana cukup tebal hingga menelan sepatunya. Rak-rak di sekitar mereka tersusun dengan berbagai macam piagam dari petualang besar, momento yang terlihat di wariskan oleh mereka.

Priestess mengingat betapa jarangnya dia datang kemarin, seberapa dia asingnya dengan ruangan ini. Satu-satunya saat dia datang kemari adalah ketika wawancara promosi.

Adalah berbeda dengan Goblin Slayer, duduk tegap di sampingnya, dan rekan lainnya. Mereka semua peringkat silver, peringkat ketiga tertinggi yang dapat di raih oleh petualang dan peringkat tertinggi yang berada di lapangan. Mereka di berikan kepercayaan dengan tugas yang berat dan sering (Priestess membayangkan) bertemu dengan quest pemberi quest penting di sini di dalam ruangan ini.

Tapi bukanlah dirinya. Dirinya masih belum piawai, kurang berpengalaman. Dia sudah tidak dapat lagi di sebut sebagai pemula, namun dia tidak percaya bahwa dia benar-benar sudah terhitung dewasa juga. Dan di sinilah dia bersama Goblin Slayer, mendengarkan rincian dari quest ini. Kalung peringkat Steel miliknya terasa begitu asing di tempat ini.

Terutama dengan mereka semua yang menunggu di bawah.

Kehadiran dari Female Merchant di seberang mereka, mencegah Priestess untuk bergerak tidak nyaman. Dia ingin duduk tegap seraya dia mendengar agar setidaknya dia tampak seperti seorang petualang yang tahu apa yang dia sedang lakukan.

“Untuk saat ini, goblin berjumlah besar telah terlihat di dekat perbatasan dengan Negara di timur.”

“Timur? Bukannya itu arah dari gurun pasir kan?” Gadis Guild dengan santun meletakkan cangkir beruap di atas menja seraya dia mendengarkan cerita Female Merchant. The Gadis Guild adalah salah satu dari kegemaran Priestess. Dia mengambil cangkira dengan kedua tangan, meniupnya sebelum menyeruput cangkir itu. Kehangatan mengisi mulutnya. Female Merchant mengambil lepekan dengan gerakan terlatih, menikmati the dengan semua keeleganan yang biasanya dia pancarkan.

Hanya Goblin Slayer yang tidak bergerak. Setelah beberapa saat terdiam, dia hanya berkata. “Begitu?”

Gadis Guild duduk, memiringkan kepalanya bingung, yang menyebabkan kepangnya berayun. “Oh?” dia bertanya “Kamu tidak mengetahuinya?”

“Nggak,” dia menjawab, melupat lengan dan mencondongkan armor dan lainnya ke sandaran kursi. “Aku nggak pernah meninggalkan Negara ini.”

Itu cukup mengejutkan—dan di saat yang sama, juga tidak mengejutkan. Priestess bertukar pandang dengan Gadis Guild, kemudian kedua matanya bertemua dengan Female Merchant. Tidak ada dari mereka yang membayangkan petualang aneh ini memprioritaskan perjalanan ke perbatasan di banding dengan kehancuran goblin yang ada di dekatnya. Kebanyakan orang tentunya akan lebih mengetahui tentang rumah mereka sendiri di bandingkan dengan lahan asingm bahkan jika mereka mempunyai cara untuk mencari tahu tentang tempat itu, yang di mana tidak banyak orang yang bisa. Apakan tidak cukup untuk mengenal lingkungan desa sekitar dari seseorang? Siapa yang peduli dengan apa yang ada di balik pegunungan?

Apapun itu, dari seorang petualang tingkat Silver, ini adalah pengumuman yang tidak biasa.

“Tapi kalau di sana ada goblin, maka ini lain cerita. Bagaimana situasinya?” Goblin Slayer bertanya. Priestess tersenyum seraya pria itu mencondong ke depan seperti yang selalu dia lakukan.

“Mereka buklan Negara yang bersahabat,” Gadis Guild berkata dengan ekspresi tegang. Dia sadar bahwa, pertama dan yang terpenting, dia adalah perwakilan birokrasi dari pemerintahannya. Dia harus memilig ucapannya dengan hati-hati. “Beberapa Negara lainnya berbagi perbatasan timur dengan kita, tapi Negara yang ini…” Gadis Guild mengakui bahwa setidaknya ada jalan untuk mencapai Negara itu, namun kemudian dia menghela. “Negara itu tidak mempunyai Guild Petualang.”

Priestess mengeluarkan suara terkejut. Dia telah mendengar dengan samar akan Negara yang berdiri di ujung jauh dari gurun pasir, namun rincian ini baru terdengar olehnya.

“Mereka memang punya petualang,” Gadis Guild mengklarifikasi. “Atau setidaknya, orang yang menyebut diri mereka seperti itu.”

Tempat seperti apa itu ya? Priestess berpikir, menyentuh bibir dengan jari telunjuknya. Sebuah Negara dengan petualang tanpa Guild Petualang. Selama dua atau tiga tahun terakhir, dia telah mendapatkan banyak pengalaman dan belajar banyak hal, namun dunia adalah tempat yang luas, dan masih banyak yang dia tidak ketahui.

Bukannya dia pernah bilang tentang banyaknya orang yang mengetahui dunia di banding dirinya? Priestess mengangguk pada dirinya sendiri, mengingat sesuatu yang Goblin Slayer pernah katakan sebelumnya. Namun jika begitu, seseorang hanya perlu mendengarkan, melihat, mengingat, dan belajar. Bukankan dia sudah belajar dari temannya, yang begitu jauh perbedaan umur dari dirinya, pentingnya menjaga perasaan kagum pada sesuatu yang tidak di ketahui?

“Tapi kenapa hubungan dengan Negara itu jelek…?”

“Kami memilih istilah ‘tidak baik,’” Gadis Guild berkata, namun dia tersnyum. Diplomasi, sepertinya, sangatlah rumit. “Bagaimanapun juga, di masa raja sebelumnya—raja terakhir mereka, bukan kita—orang-orang biasa untuk datang dan pergi di antara Negara kita dengan lebih bebas.”

 Tapi di saat kepemilikan mahkota berubah, batasan akan orang asing di Negara menjadi di perketat. Rumor meresahkan yang terdengar adalah prajurit sedang di tarik, senjata dan perlengkapan di kumpulkan, dan sebuah pasukan terbentuk. Selama pertarungan dengan Demon Lord, beberapa dari prajurit raja di duga menyelinap melewati perbatasan ke dalam Negara ini, menyebut diri mereka sendiri sebagai tentara bayaran atau sukarelawan atau semacamnya.

Sebuah grup pahlawan, yang kebetulan berada di tempat yang sama dan di waktu yang sama, bangkit untuk melindungi warga—Yeah, yang benar saja. Sangat terlalu kebetulan ada banyaknya pengunjung dengan persenjataan yang bagus, kuda, dan pelatihan militer yang tampak jelas berada di sekitaran saat itu.

“Apa mungkin itu cuma…” Dalih? Priestess hendak mengatakan, namun menelan kembali kaliamtnya.

Gadis Guild tersenyum. Atau setidaknya…dia menempelkan senyumannya. Priestess mengangguk. “Bagaimanapun juga, seperti itulah situasinya dan alasan mengapa semuanya tidak berjalan baik di antara kita…”

“Tapi goblinnya berkembang biak.” Female Merchant menyela dengan suara pelan. Dercak dari cangkir tehnya entah mengapa terdengar seperti sebuah pedang yang sedang di tarik. “Dan mereka mulai mendatangi Negara ini. Kita tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” dia berkata sebelum menambahkan, “Ini harus di investigasi.” Kemudian dia menutup bibirnya rapat.

Terror. Takut dan kebimbangan. Sangatlah mudah untuk melihat salah satu dari ini di getaran kepal Female Merchant. Namun Priestess juga melihat bara cahaya di kedua mata wanita itu. Pucat dan dingin, sebuah api dingin. Dia merasa dia mengetahui itu; Priestess menarik napas dan menghelanya, membuang segalanya yang menggantung di dalam dirinya.

Tapi…

Seraya dia bernapas, kepalanya yang mulai menjadi jernih, mulai bekerja. Sebuah Negara dengan hubungan yang “tidak baik.” Sebuah tempat tandus di mana tidak ada Guild Petualang. Sebuah lahan dengan rumor-rumor meresahkan.

Goblin memasuki wilayah Negara ini. Pergi untuk menginvestigasi. Para petualang pergi untuk menginvestigasi.

Quest dia…mungkin sesuatu yang lainnya.

Sesuatu yang lebih tinggi dari sekedar perdagangan. Kemungkinan bahkan lebih tinggi dari Sword Maiden; jauh, jauh lebih tinggi. Sebuah gambaran rombongan bangsawan yang mereka temui ketika mereka menjelajahi Dungeon of the Dead terngiang di pikiran Priestess.

Dulu, dia tidaklah yakin, namun mungkin dia akan membenci situasi seperti itu. Namun sekarang, herannya, dia tidak membencinya. Kenyataan bahwa pemberi questnya juga adalah teman berharga dari Priestess juga sangat membantu. Seseorang yang hampir—dia terlalu malu untuk mengatakannya terang-terangan—seperti adiknya sendiri. Priestess tahu bahwa masa lalu pahit gadis itu, dan karena itu hatinya penuh terisi dengan keinginan untuk membantu, bahkan jika dia tidak mendapatkan apapun.

Sebagian besar dari itu adalah ketika dia menemani Goblin Slayer pada negosiasinya dengan Guild Rogue. Terdapat hal di dunia ini yang lebih baik untuk di selesaikan dalam bayang-bayang. Hal yang lebih baik untuk di tangani tanpa adanya halangan ceroboh dari pemerintahan nasional namun oleh para petualang. Ketika dia memikirkannya, pertemuan pertamanya dengan rekan langka dan berharganya ini adalah di karenakan insiden seperti itu.

Seperti takdir.

Pikiran itu membuatnya sedikit lebih merasa ringan. Diplomasi memang adalah subyek yang rumit.

Oleh karena itu ketika Priestess mengajukan pertanyaannya, dia melakukannya dengan sesopan mungkin, sesantun mungkin. “Apakah mungkin, ahem, seharusnya petualang tingkat Gold yang menangani kasus seperti ini?”

Biasanya, adalah mereka dengan peringkat Gold atau di atasnya yang menangani permasalahan nasional. Biasanya.

“Benar. Saya hanya berharap bahwa saya bisa meminta kalian untuk bertindak sebagai pengawal seraya saya berkelana ke sana dalam sebuah misi pedagang.” Ekspresi tegang Female Merchant tampak melembut. Mungkin malu. Seolah ingin mengatakan bahwa dia ingin untuk berpetualang bersama mereka lagi, walaupun hanya dalam kapasitas sebagai pemberi quest.

Aku akan senang banget kalau dia benar merasa seperti itu. Priestess mengangguk. Female Merchant menghela napas lega.

Akan tetapi, Gadis Guild dengan cepat melumpuhkan kebahagian ini. “Sayangannya kami tidak bisa mengirim seseorang dengan tingkat Steel ke dalam misi seperti itu.” Dia berkata. Priestess menelan liur. Wajah Female Merchant menengang. Akan tetapi, Gadis Guild tidak berhenti tersenyum seraya dia merapikan berkas kertas yang di berkan oleh Female Merchant. Priestess mengira bahwa ini adalah apa yang di sebut sebagai perbedaan pengalaman. Itu karena, jika dalam jumlah quest yang telah dia tangani, Gadis Guild adalah yang paling banyak di antara mereka yang ada di ruangan ini. Female Merchant sudah terbiasa dengan situasi seperti ini sekarang, namun dia masihlah anggota terbaru dari grup ini. Dan Priestess hanya sedikit lebih berpengalaman dari dia.

Priestess menoleh kepada helm baja di sampingnya. pemilik helm itu mendengus dan berkata tanpa bimbang. “Tapi ini berhubungan dengan goblin. Jadi aku akan pergi.”

“Tentu saja,” Gadis Guild membalas dengan senyum lembut. “Saya sama sekali tidak menghalangi anda, pak Goblin Slayer.”

“Kamu nggak keberatan untuk melewatkan quest ini?” Dia bertanya kepada Priestess.

“Ahem, tetapi, pemberi quest secara spesifik membawa quest ini untuk dirinya,” Gadis Guild menjelaskan.

Terdapat kegelisahan tidak terkontrol dari Female Merchant. Priestess melirik kepadanya, namun kemudian ekspresi itu sudah menghilang dari wajahnya. Priestess tidaklah terusik dengan tingkah sesaat itu, namun tetap saja butuh satu detik baginya untuk bisa memahami apa yang di ucapkan Gadis Guild berikutnya.

“Oleh karena itu, saya percaya bahwa ini adalah saatnya untuk wawancara promosi!” Dia menepuk kedua tangan, menyeringai dari telinga ke telinga. Ini bukanlah senyum tempelnya, melainkan senyum asli.

“Ap--?” Priestess berkedip. “Promosi? Maksudmu…ke Sapphire?!” Priestess melompat dari kursinya secara reflex tanpa di sadari, dan kemudian tersipu malu dan kembali duduk.

Promosi dari tingkat delapan ke tujuh. Tidak di ragukan bahwa ini adalah langkah pertamanya untuk mencapai tingkat tengah. Dia tidak akan lagi menjadi “seorang pemula dengan sedikit pengalaman,” namun sekrang, petualang sukses. Tanpa di sadari Priestess meremas kalung peringkat di lehernya. Jantungnya berdebar.

“Benar,” Gadis Guild berkata. “Anda akan bisa berkelana ke tempat berbahaya—“ Dia berkata dan membersihkan tenggorokannya. “Maksud saya, area tidak stabil seperti yang di minta oleh quest ini.”

Apa benar aku bisa melakukan ini? Priestess berpikir. Apa yang harus dia lakukan? Apa jawaban yang tepat? Dia melihat kelipan dalam mata Female Merchant. “Uh, um…”

Berharap adanya semacam bantuan, sekali lagi dia berputar mengara Goblin Slayer, namun pria itu hanya mendengus, “Hrm. Kalau begitu, aku yakin bukan keputusanku untuk membuatmu menerimanya atau tidak.”

Sangat jelas bahwa pria itu tetap akan pergi terlepas dari apa yang di pilih Priestess. Itu sudah menjadi sifatnya. Priestess merasakan adanya degupan di dalam dirinya. Tidak ada yang bertanya kepadanya apakah dia dapat melakukan ini. Mereka tidak menyuruhnya untuk tidak melakukannya. Semuanya, segalanya, adalah keputusan dirinya sendiri.

Seseorang dapat mencari beberapa jumlah perspektif dan alasan. Namun kemudian. Namun kemudian…

Lindungi, sembuhkan, selamatkan.

Dia tahu apa yang dia harapkan dengan pergi keluar ke dunia. Dia menggigit bibir, kemudian menarik napas dan berkata, “Aku…aku lakukan!”

Priestess melihat Gadis Guild tersenyum gembira. Mata Female Merchant menjadi cerah. Sedangkan untuk ekspresi wajah di balik pelindung helm itu di sampingnya, Priestess tidak dapat menerkanya. Namun rasa debar di dadanya ini sudah cukup baginya. 

Dia tahu apa yang dia inginkan: untuk menjadi petualang.

*****

“Jadi, tolong, beritahu kami tentang gurun!”

“I-iya, pak, tolong…”

Aduh, ribut sekali… Spearman berpikir, menggaruk kepalanya, dia baru saja kembali ke Guild dari sebuah petualangan. Membalas dengan tatapan lemas memangnya-kenapa kepada para petualang lain, Spearman mengamati situasi.

Berdiri di depannya  menundukkan kepalanya kepadanya adalah Priestess dari party orang aneh itu. Di sampingnya, juga menundukkan kepala (dia melihat kesopan santunan yang sempurna) adalah seorang gadis yang dia tidak kenali, tetapi adalah yang dia asumsikan sebagai seorang bangsawan atau semacamnya.

“Heh, heh,” Witch berakta dari sampingnya, merasa terhibur. Ini adalah situasi terburuk yang mungkin terjadi.

Satu-satunya pilihan adalah menerobosnya kalau begitu.

Tidak ada yang lebih tidak keren dari mencoba mencari alasan untuk melarikan diri ketika beberapa gadis meminta bantuanmu. Akan tetapi… Yah.



“Kenapa kamu nggak tanya, itu loh, dia?” Pertanyaan itu mengusik Spearman, dia merasa sangat perlu untuk mempertanyakannya. Dia bukanlah yang mempertaruhkan nyawanya di sini, karena itu tidaklah pantas baginya untuk memberikan saran kepada orang di party lain secara suka-suka.

“Yah, jadi begini…” Priestess menggaruk pipinya malu, tidak dapat mencari kalimat. “Dia bilang kami harus bertanya padamu…itu karena kamu mempunyai lebih banyak pengalaman ke Negara lain di bandingkan dia.”

Spearman menelan liur. Dia  bilang seperti itu? Sekarang Spearman benar-benar terpojok. Dasar bajing— namun Spearman menekan kekesalan pribadinya. Dia tidaklah dapat menyebut dirinya sebagai petualang tingkat Silver jika dia tidak siap untuk setidaknya mencoba terlihat keren untuk petualang yang kurang berpengalaman, terutama seorang gadis. Rasa malu itu bagus-bagus saja, namun seorang pria tanpa kepercayaan diri adalah seorang pria yang tidak bisa kamu andalkan. Penampilan luar dan karakter dalam, kepercayaan diri dan kemampuan asli, adalah dua sisi yang sama dari sebuah koin. Spearman akan sangat membenci jika tidak mempunyai dua hal tersebut. Jalannya masihlah jauh untuk menjadi seorang pahlawan besar, namun dia harus bisa untuk dapat merespon hal seperti ini dengan benar.

dengan sebuah lirikan kepada Gadis Guild untuk memastikan objek dari ketertarikannya sedang melihat, dia mengangguk. “Ayo cari tempat buat duduk. Nggak akan terlihat bagus bagiku kalau aku membuat beberapa gadis muda berdiri saja.”

Berpura-pura bahwa itu adalah untuk kepentingan dirinya sendiri adalah alasan yang bagus untuk memindahkan mereka ke bangku di dalam ruang tunggu. Witch mengikuti, tersenyum seolah dia mengetahui semuanya, namun sudah terlambat untuk mengkhawatirkan dia. Sudah terlambat untuk memintanya untuk membantu dia membaca dan menulis untuk menghadapi mantra sihir. Wanita itu mungkin sudah menebaknya.

Bukan berarti aku harus terlihat malas-malasan di depannya. Dalam hal ini, Spearman pemikirannya berbeda dari orang aneh itu atau bahkan Heavy Warrior. Atau mungkin mereka bertingkah berbeda dengan adanya pemula di sekitar mereka.

Dia mengabaikan pemikiran tidak berguna ini. Secara pribadi dia tidak pernah berpikir untuk mengangkat seorang murid, atau memaksa seorang petualang pemula untuk masuk ke dalam partynya atas nama untuk mendidik mereka. mengajari generasi berikutnya, itu adalah sesuatu yang dapat dia pikiran puluhan tahun dari sekarang ketika dia telah pensiun dari berpetualang. Tidak lebih, tidak kurang.

“Jadi… Gurun—itu…apa yang kalian ingin…tanyakan?” Dengan Spearman yang terlarut dalam pikirannya sendiri, adalah Witch yang memulai percakapan. Wanita itu mengeluarkan pipa dengan gerakan halus dan elegan, kemudian mengetuk ujung pipa dengan jari, menyalakannya. Asap ungu yang dia hembuskan, perlahan dan mewah, membalut dirinya tubuhnya yang seksi seolah sedang menjinakkan angin. Sebaliknya, kedua gadis itu menegang dan meremas tangan mereka di lutut.

Pada pertanyaan Spearman, Priestess berakta bahwa dia tengah dalam proses dari tingkat pemula masuk menuju tingkat menegah, tetapi…

Eh, kurasa memang sudah seperti itu seharusnya. Spearman menahan sebuah senyuman. Jika kamu selalu sedikit cemas seraya kamu melangkah maju, itu artinya kamu berjalan ke arah yang benar.

“Ya, bu.” Priestess menjawab pertanyaan Witch. “Tapi… Yah, kami benar-benar tidak mengetahui apapun, jadi kami nggak tahu apa yang pertama harus di tanyakan…”

“Saya mendengar di sana begitu panas hingga di rekomendasikan untuk membawa sesuatu untuk memblokir matahari.” Female Merchant berkata.

“Memang, bakalan sulit jalan ke sana tanpa sesuatu seperti itu. Bahkan walaupun kamu membawanya, god of sunstroke akan tetap dapat membunuhmu.” Spearman mengucapkan ini dengan niat untuk memberikan mereka sedikit rasa takut dan menerima sebuah “Huh?” dari para gadis yang saling bertukar pandang.

“Um,” Priestess berkata bimbang. “Apa mereka ada di sana, walaupun di sana nggak ada pegunungan?”

Gods of Sunstroke sangat di percaya adalah semacam demon yang hidup di pegunungan tinggi. Mereka akan menempel, tidak dapat di lepas, pada punggung mereka yang bekerja di bawah terik panas. Mereka akan menghisap kering jiwa dan kekuatan dari tubuh hingga korban merasa lunglai dan akhirnya mati. Tidak ada yang setuju tentang seperti apa bentuk mereka: roh akan mereka yang telah mati kelaparan, hantu jahat dari kedalaman bumi, atau mungkin sesuatu yang lainnya.

Spearman telah bertemu dengan makhluk itu sekali atau dia kali. Ketika dia baru mendapatkan armor baja untuk pertama kalinya dan menggunakannya tanpa pikir panjang—ketika dia masih kurang berpengalaman di bandingkan dirinya yang sekarang. Ketika dia memikirkannya kembali, dia mengingat tentara bayaran tua di rumah makan pada kotanya tertawa terbahak-bahak melihat betapa seringnya ksatria, bahkan di dalam militer, akan terjatuh dari kuda mereka dan mati.

“Kalau kamu tanya aku, mereka kemungkinan semacam roh penyakit,” Spearman berkata, namun kemudian dia membuat gerakan dengan tangannya seolah untuk menyudahkan topic ini. Gods of sunstroke bukanlah masalah besar kalau kamu mengetahu cara untuk menghadapinya. Makan, dan minum air sebentar di dalam bayang-bayang; hanya itu yang di perlukan. Tentu saja, tidak ada bayang-bayang di dalam gurun, karena itu kamu harus sangat berhati-hati. “Pokoknya, itu lebih dari sekedar panas di gurunnya.” Dia menambahkan. “Di malam bakal jadi sangat dingin.”

“Dingin?” Female Merchant berkata, berkedip. Dia telihat sedikit pucat. “Maksudmu…sedingin pegunungan salju?”

“Ya…” Witch mengangguk. “Kurang lebih, sedingin, itu…” Apakah hanya Spearman satu-satunya yang menyadari Female Merchant yang merinding mendengar ini? Sebuah kenangan buruk, mungkin. Jemarinya menggosok sebuah titik di belakang punggungnya. “Dan…karena itu,” Witch melanjutkan dengan lirikan manis mengarah Female Merchant, “Kamu, harus, bawa, sebuah kain…tipis, loh? Dan menutupi, dirimu, dari kepala…hingga, kaki.”

“Tidak memaparkan sedikitpun kulit adalah pilihan terbaik,” Spearman menjelaskan. “Nggak ada yang terpapar ke keluar, nggak ada yang terbakar.” Dia melirik kepada wajah para gadis cantik. Akan sangat di sayangkan jika wajah cantik itu membengkak dan memerah di karenakan matahari atau dingin.

Harta karun berharga harus di lindungi. Spearman mengulangi untuk memberikan tekanan, “Atas dan bawah, ingat. Pakai mantel tipis yang bagus. Sesuatu yang longgar, terbuat dari rami.”

“Apa maksudmu ‘dan bawah’?” Priestess bertanya, bingung.

“Itu untuk pantulan,” Speaman menjawab.

Hingga mereka melihat cara matahari berkelip memantul dari pasir dengan mata kepala mereka sendiri, mereka tidak akan mengerti. Tetapi, Priestess, menyentuh bibir dengan jari dan berkata, “Begitu. Ternyata memang seperti pergi ke pegunungan salju...”

Oh yeah… Kurasa dia sudah pernah ke pegunungan itu beberapa kali. Spearman mengingat bahwa gadis itu pernah bergabung dengan teman warrior dan cleric itu sebagai bagian dari party mereka dalam perjalanan ke pegunungan salju. Wah! Spearman merasakan dirinya tersenyum sedikit. Gadis itu benar-benar sudah mendapatkan beberapa pengalaman.

Bertarung dengan monster bukanlah satu-satunya cara untuk mengakumulasi poin pengalaman. Pertumbuhan pribadi lebih berarti dari sekedar peningkatan kemampuan atau skill baru. Orang-orang yang tidak mengerti itu memiliki kebiasaan untuk bergegas menyerang ke depan dan berujung mati. Namun gadis ini, Spearman melihat bahwa gadis ini sedang mengambil jalan yang benar dan benar-benar berhasil.

Walaupun dia tidak menyadarinya sendiri. Dan siapa yang bisa menyalahkan gadis itu, gadis yang di kelilingi oleh Silver, seolah dia adalah….

“Apa ada yang lain?” Spearman kembali ke kenyataan mendengar pertanyaan langsung itu. Dia menyadari Female Merchant tengah melihat kepadanya dengan kedua mata yang sejernih kaca. Seolah rapier yang ada di pinggulnya tidak cukup membuktikan, tatapan ini adalah bukti bahwa dia bukanlan anak manja. Dia, kurang lebih memiliki pengalaman seperti Priestess.

“Oh, maaf,” Spearman bergumam. Terdapat banyak hal untuk di ajarkan pada mereka. “Pertama, pasir apung. Alasan mengapa di sebut apung adalah karena kamu akan tenggelam ke dalam di saat kamu menginjaknya…”

Kemudian adanya angin yang harus mereka waspadai. Monster yang hidup di gurun. Bagaimana caranya untuk berjalan. Bagaimana untuk beristirahat. Kota gurun. Pertanyaan apapun yang tidak dapat di jawab atau ketika dia melupakan sesuatu. Witch akan menyela dengan sarannya sendiri. Itu semua adalah pengetahuan yang mereka dapatkan dari berpergian ke tempat yang tidak mereka ketahui dan tidak mengerti dan terus gagal lagi dan lagi.

Dia tidak memiliki niatan untuk memberikan ini semua tanpa hadiah. Siapapun yang mengharapkannya untuk memberikannya secara gratis, tidak memahami nilai sebenarnya dari pengetahuan ini. Tetapi menolong seseorang yang mencoba untuk mendalami jalan ini, itu adalah sesuatu yang berbeda. Setidaknya Spearman berpikir seperti itu.

Female Merchant mengangguk bersama dengan serius, menulis dalam buku catatan dengan sebuah pensil, mengeluarkan suara latar belakang gesekan secara konstan pada percakapan mereka. di sampingnya, Priestess sedang mengulangi semua yang di ucapkan Spearman dengan pelan, berusaha mengingatnya. Satu-satunya yang persis dari mereka berdua adalah mata berwarna madu dan rambut emas mereka, akan tetapi, bagi Spearman, mereka tampak seperti saudari. Spearman membayangkan mereka kembali dengan selamat dari petualangan mereka…

Yeah, aku suka gambaran itu…

Ketertarikan Witch tampak terpincut. Dia memberikan gerakan dengan pipa dan menghela beberapa asap. “Hei, kamu, apa, kamu…tidak perlu…menulis sesuatu?”

“Oh, nggak, bu,” Priestess membalas. “Aku nggak mau informasi ini jatuh ke tangan orang lain. Itu bisa jadi masalah.”

Spearman mendengak tanpa suara. Yang hanya dia lihat hanyalah plapon.

“Apa ada masalah?”

Dia tidak menghiraukan siapa yang menyuarakan pertanyaan itu. Mungkin Female Merchant, mungkin Priestess. Mungkin keduanya.

“…Ah, nggak usah di pikirkan.”

Yah, dia memang kepikiran, tapi… Tidak, itu tidak masalah. Dia akan membiarkannya saja. Itu bukanlah tanggung jawabnya.

“Gygax!” Spearman mengumpat dari balik napasnya, kemudian melanjutkan memberi tahu apa yang dia ketahui. Witch tertawa pelan di sampingnya, dan bagi Spearman tawaan itu seperti tawa semacam dewa.

*****

Dia kerja sampai cukup larut hari ini, Gadis itu berpikir, berhenti mengaduk rebusan yang ada di tangan dan dengan perlahan  mengeratkan lengannya. Dai melihat kenari di sangkarnya yang ada di luar jendela. Dalam keremangan sore hari, dia dapat melihat sebuah cahaya oranye yang merembes dari gudang.

Pria itu berada di sana. Mengetahui itu saja sudah membuat wajahnya tersenyum,

Adalah bukan hal yang aneh bagi pria itu untuk pulang telat. Itu karena, dia sering pergi keluar untuk berpetualang. Bahkan di hari liburnya—jika mereka dapat menyebutnya seperti itu—dia sering pergi keluar, atau setidaknya menolong pekerjaan di sekitar kebun. Gadis Sapi berpikir tentang “hari ini” terutama karena pria itu sedang mengurung diri di gudangnya.

Pria itu telah berada di sana sepanjang siang, semenjak dia telah pulang dan kemudian mengatakan bahwa ada sesuatu yang perlu untuk di investigasi. Dia pergi masuk ke dalam gudang dengan pilihan beberapa buku besar yang dia terima beberapa tahun yang lalu. Kebanyakan dari mereka telah di donasikan ke Guild Petualang; dia bahkan membantunya memindahkan buku itu, namun sekarang…

Buku, huh?

Gadis Sapi sebenarnya terkesan bahwa pria itu dapat membaca. Dirinya sendiri dapat mengenali huruf; Gadis Sapi telah belajar dengan terbata-bata. Perhitungan juga, dia dapat sedikit menghitung. Itu akan berguna di sekitar kebun. Namun membaca buku sesungguhnya, itu adalah sulit. Belajar sangatlah sulit. Seseorang tentunya dapat bertahan hidup tanpa mempelajari sesuatu, namun untuk bisa hidup dengan lebih baik, dia merasa bahwa belajar adalah sangat penting. Sebagai contoh rapat yang akan di kunjungi pamannya malam. Seseorang harus memahami perdagangan dalam rapat itu.

Pasti sulit baginya, dia berpikir, kemudian tersenyum pada dirinya sendiri karena berakting seolah hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Pada saat ini, memang tidak. Tapi seberapa lama lagi hal itu akan berlaku?

Pamannya sudah mulai menua. Gadis Sapi membayangkan pamannya yang dia lihat kala dirinya masih muda, namun ketika dia memperhatikan pamannya sekarang…

Yah, terdapat banyak tantangan.

Gadis Sapi menghela dan menepuk pipinya sendiri. Waktunya untuk mengembalik perspektifnya.

“Baiklah!”

Dengan tekad yang kembali, adalah lebih baik untuk bergerak beraksi. Meresahkan dan menyeret kakimu hanya akan membuatmu lumpuh suatu hari. Seperti itulah semua seharusnya.

Dia mengangguk dengan tekad, kemudian merogoh rak-rak hingga dia menemukan oven kemah mereka. sebuah benda besi kecil, adalah sebuah alat masak portable yang di gunakan ketika berkemah. Dia memasukkan beberapa dari rebusan dari panci besar ke dalam panci yang lebih kecil dan menutupnya, kemudian mengambil beberapa potong roti. Dia memastikan untuk mengambil sebuah sendok, kendi anggur, dan gelas, dan kemudian dengan panci rebusan yang menggantung di tangan sebelahnya, dia pergi keluar.

Itu baru langit musim panas. Dia mendengak di mana bulan kembar melayang dalam lautan bintang. Helaan napasnya tidak berkabut dan menjadi satu dengan angin sejuk yang menghembus udara lembab. Gumaman lembut dari kebun berada di sekitar di dirinya. Di kejauhan, dia dapat mendengar lenguhan beberapa sapi. Jika dia memusatkan kedua matanya mengarah jalanan, dia dapat melihat cahaya kota di kejauhan.

Dia menghabiskan momen ini dengan minum  seraya memandang pemandangan, dan kemudian berlari menuju gudang. Menyipitkan mata yang membanjiri dari dalam, dia mendorong pintu dengan pelan yang di sambut dengan decitan engsel pintu.

“…Hei, aku sudah buat makan malam, oke?”

“Baiklah.”

Hanya itulah keseluruhan jawabannya. Namun kali ini, suaranya tidak terdengar teredam.

Rak-rak penuh dengan berbagai macam benda yang tidak dapat dia identifikasi, dan pria itu duduk pada ujung dalam gudang kecil ini. Dia sedang membalikkan halaman sebuah buku dengan cahaya sebuah lampu.

Dia tidak menggunakan armor atau helmnya. Pemandangan akan dirinya yang diam namun serius, membuat jantung Gadis Sapi berdegup. Tidak ingin mengganggu pria itu, dia masuk dan menutup pintuk di belakangnya sepelan mungkin.

“Apa yang lagi kamu baca?”

“Aku sedang mempelajari tentang gurun.”

Gurun? Butuh sedetik baginya untuk memahami kata itu, dan dia melihat pria itu dengan bingung. Gurun. Hanya gurun. Keadilan. Gurun. Ahh—gurun.

Gadis Sapi tiba pada penghujung rantai asosiasi ini—namun dia juga sudah memahami arti sebenarnya dari kata itu. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pria ini akan belajar sesuatu selain goblin. Walaupun ketika mereka masih kecil, tentu saja, pria itu akan merepotkan kakaknya dengan berbagai macam pertanyaan.

“Aku menemukan buku yang tampaknya meliputi kisah dari Negara itu, tapi ceritanya bercampur dengan cerita dari berbagai macam tempat lainnya,” dia berkata, menggeleng kepala seraya dia membalikkan halaman. Lampu sihir dan roh, seorang gadis arang. “Ini seperti yang pernah di katakan kenalan lamaku…kamu nggak akan pernah tahu sampai kamu pergi dan melihatnya dengan mata kepalamu sendiri.”

“Maksudmu kamu akan pergi ke Negara gurun nanti?”

“Seharusnya.”

“Huh…”

Kira-kira seperti apa tempatnya ya.

Dia mendengar rumor dahulu sekali, bahwa gurun adalah bagian dari Negara yang ada di perbatasan timur dan di sana mereka mengendarai keledai dengan punuk pada punggungnya atau sesuatu…

Ketika dia bergumam ini, pria itu bergumam memabalas. “Sepertinya itu benar.”

Aku yakin itu cuma cerita…

Satu hal yang pasti di miliki gurun adalah banyaknya pasir. Gadis Sapi mengernyit, mencoba untuk membayangkan pasir sejauh mata memandang, dan gambaran di dalam mata hatinya juga tidaklah lebih detil dari coretan anak kecil. Akhirnya dia meninggalkan bayangan setengah jadi itu. Dia duduk dengan cepat, bersandar pada punggung pria itu. Gadis Sapi merasakan pria itu, kekar dan hangat, di belakangnya. “Makan malammu bakal dingin.”

“Aku tahu,” dia berkata dan kemudian menambahkan, “Aku akan makan sebentar lagi.”

Dia berpikir tentang itu untuk beberapa saat, kemudian tertawa; tidak ada yang dapat dia lakulan. Mereka sudah sangat lama saling mengenal, bahkan ketika mereka telah kehilangan lima tahun di antara itu. Gadis Sapi dengan segera mengetahui bahwa pria itu sedang memikirkan sesuatu dengan serius.

“Apa gurun itu tempat yang sulit?”

“Aku nggak tahu,” dia berkata. “Aku nggak pernah ke sana.”

“Oh, benar juga.” Dia membalas dengan anggukkan, dan dia membalas menyetujui.

“Itu Negara yang berbeda. Pertama kalinya kamu pergi ke Negara lain. Itu mantap banget.” Dia menepuk kedua tangan, menunjukkan kebahagian murni. Dirinya sendiri tidak pernah ke Negara lain. Ini adalah benar-benar sesuatu.

Tapi dia pernah membawaku ke desa elf itu sih.

Dia tidak merasa bahwa itu sama dengan Negara asing. Sebuah tempat yang luar biasa, semacam tempat yang tidak akan pernah di lihat oleh beberapa orang dalam seumur hidupnya, dan sebuah kenangan indah tentunya. Tetapi benar-benar pergi ke Negara lain untuk melakukan apa yang harus di lakukan—apakah itu namanya jika bukan sebuah petualangan?

“Kamu juga nggak pernah ke sana juga.” Kalimatnya pendek. Kalimat itu terdengar seperti sebuah dengusan, seperti dia memaksa kalimat itu keluar. “Kurasa lebih baik untuk di ku tanyakan…apa kamu keberatan atau nggak.”

“Oh...”

Aku paham. Jadi itu yang dia maksud. Dahulu sekali, Gadis Sapi telah pergi ke kota yang tidak pernah pria itu datangi. Hal itu menyebabkan sebuah perkelahian dan terakhir kalinya dia melihat pria itu dalam jangka waktu yang lama.

Sekarang posisi mereka terbalik. Dan itulah mengapa pria itu terlihat sedikit gugup. Gadis Sapi tersenyum seraya dia menyambungkan titik demi titik itu. Dia berputar, dan sebelum pria itu dapat mendengus padanya, Gadis Sapi melingkarkan lengannya di kepala pria itu.

“…Apa?” Goblin Slayer terdenger terganggu. Entah mengapa, Gadis Sapi menganggap itu sangatlah menghibur, dan dia mengacak-acak rambut pria itu dengan antusias. Gadis Sapi terkejut untuk mendapati pria itu tidak melawannya namun hanya bergumam layaknya anak anjing yang jinak.

“Hei. Kamu mau jadi petualang kan?”

“…”



Tidak ada jawaban. Namun Gadis Sapi tidak terlalu perlu menanyakannya.

“Maka kamu harus berpetualang.”

Gadis Sapi menarik kepala pria itu lebih dekat dan membisikkan kata itu ke dalam telinganya. Sekali lagi, tidak ada respon cepat, Gadis Sapi tidak menduga itu.

Setelah jeda panjang, pria itu bertanya, “…Begitu?”

“Begitu.” Gadis Sapi membalas, kemudian mengangguk menambahkan “Pastinya” untuk memberikan tekanan. “Dan untuk membantumu dalam petualanganmu, kurasa kamu perlu makan yang sudah dengan penuh hati ku buat untukmu dan tidur nyenyak sebelum kamu berangkat.”

“…Hrm,” dia mendengus namun sekali lagi tidak melawan. Gadis Sapi menarik panci rebus itu mendekati mereka, membuka tutupnya, dan membagi roti dan rebusan kepadanya. Rebusan itu sudah sedikit menjadi dingin, namun walaupun begitu makanan ini mengandung banyak kasih sayang.

Selalu seperti itu.\



Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya