WARNA DUA LUKISAN

(Part 4)

(Translator : Hikari)


Keesokan harinya, sudah pukul dua siang ketika Sorata terbangun.

Saat dia bangun dengan Sakura si kucing putih yang tertidur di atas perutnya, dia melongokkan wajah ke ruang makan sambil mengucek kelopak matanya yang berat agar dia tidak tertidur.

"... Yah ..."

Dia merasa canggung dan melihat ke sekeliling. Suasananya sunyi. Dia mendongak ke langit-langit dan juga mencari tanda-tanda di lantai dua, tapi tidak ada suara apapun.

Alasannya bisa langsung dimengerti. Sebuah catatan kecil terdapat di atas meja bundar. 

- Master-up ROM dikirim lewat kurir. Misaki, Iori, Kanna dan Ryuunosuke akan pergi taman bermain nasional. Dari Rita. 

Tertera di sana. Selain itu Iori dan Kanna berarti membolos… Itu bukan tindakan terpuji, tapi seperti tren yang bagus untuk Kanna.

Ada juga catatan tambahan dengan huruf kecil-kecil di bagian bawahnya.

- Sorata sebaiknya mengajak Mashiro juga. 

Itu bukan berarti pergi ke taman bermain bersama-sama. Rita berkata begitu untuk membantunya berbaikan. Tidak, tidak hanya Rita, tapi mungkin semua orang yang ada di Sakurasou berpikiran yang sama.

Iori bertanya secara langsung setiap hari, “Sorata-senpai, kau tidak akan putus dengan Shiina-senpai?” dan Kanna berkata, “Kalau senpai tidak bersikap tegas, aku tidak bisa menyerah”. DIa diberitahu itu setelah pertemuan untuk skenario tempo hari

Ryuunosuke tetaplah Ryuunosuke. Dia sering melemparkan lirikan penuh arti.

Misaki datang ke kamar Sorata setiap hari dan Jin juga menanyakan laporan di handphone tentang status terbaru jika tidak mendengarnya secara teratur. Kalau ada sesuatu, mereka selalu bilang mereka akan berkonsultasi.

Sebagai tambahan, di sekitar area perbelanjaan,

“Apa kau masih bertengkar dengan Mashiro-chan? Tidak, kau harus segera berbaikan.”

“Itu benar, sobat Kanda. Aku minta maaf untuk hal-hal semacam ini.”

Dan begitu sering dari ibu-ibu di toko daging dan paman di toko ikan.

Semuanya perhatian. Dia ingin merespon perasaan itu secepat mungkin. Dia ingin merasa lega. Bahkan bagi Sorata sendiri, dia tidak ingin tetap terpisah dari Mashiro.

“Yah, aku tidak diberitahu.”

Kalau dia bisa menyelesaikannya dengan mudah, dia sudah melakukannya. Karena itu tidak bisa dilakukan, hal tersebut menyebabkan suasana berat selama beberapa bulan.

"..."

Entah kenapa kaki Sorata menuju ke lantai dua.

Kamar 202. Dia berhenti di kamar Mashiro.

Menarik napas kecil dalam-dalam dan kemudian mengetuknya dua kali.

"..."

Tidak ada balasan. Sudah jelas itu tidak diperlukan. Mashiro masih menginap di hotel. Kehebohan akibat internet telah mereda dalam satu bulan ini, dan Ayano sudah bilang “Kurasa dia bisa kembali ke Sakurasou lagi.” Tapi kelihatannya Mashiro berkata “Aku tidak mau pulang”. Alasannya adalah karena Sorata.

“Aku bisa membukanya.”

Dia membuka pintu setelah melakukan penolakan yang tak ada artinya selama beberapa saat.

Sebuah ruangan yang dia temukan bersih. Meja, ranjang, lantai, dia tidak merasakan kehangatan apapun. Dia tidak merasakan Mashiro.

Agak menyakitkan melihat kamar kosong ini. Sorata pun menutup pintunya cepat-cepat.

Dia menuruni tangga dan menyantap sarapan yang sudah terlalu terlambat di ruang makan. Makan sendirian saja. Setelah menyelesaikannya, dia mencuci muka kemudian masuk ke kamarnya. Saat ini sudah lewat pukul 2.30.

Tidak ada hal khusus untuk dilakukan.

“...Haruskah aku mengambil tas dan pergi ke sekolah?”

Seminggu sebelum kelulusan. Waktu untuk kembali mengerjakan produksi game adalah mulai besok, tinggal hari ini dia bisa bersantai. Pada hari ini upacara kelulusan, sulit rasanya untuk membawa kembali semua buku teks yang tertinggal di dalam meja.

Sorata mengganti bajunya dengan seragam.

"Sampai nanti."

Mengucapkannya begitu saja, dia pergi dari Sakurasou.

Dia berjalan perlahan menuju sekolah.

Dia merasa agak gelisah.

Apakah ini karena dia akan menyusuri jalan ini hanya pada saat upacara kelulusan?

Atau karena dia sadar bahwa dia mengenakan seragam Suiko tinggal sekali lagi?

"..."

Mungkin saja, tidak keduanya.

Ini karena dia tidak terbiasa menyusuri jalan dari Sakurasou ke sekolah sendirian saja.

Di sisinya selalu ada Mashiro. Ya, tadinya selalu ada….

Saat dia pertama kali bertemu mashiro, dia berpikir gadis itu tidak masuk akal… Keberadaannya menjadi sebuah rutinitas harian Sorata setelah dua tahun. Lama-lama terbiasa. Dia tidak bisa membiarkan gadis itu pergi bahkan hanya di jalan ke sekolah yang sudah dia terbiasa tanpa merasa khawatir.

Sorata menertawakan diri sendiri.

“Bahkan sekalipun aku lulus seminggu lagi, aku tidak tahan dengan perasaan semacam ini…”

Kata-kata yang Sorata ucapkan ke langit, bergema dalam dadanya sendiri lebih dari yang dia pikirkan.

Dia tiba di sekolah pukul 3 lewat setelah KBM. Anak-anak kelas satu dan dua dalam perjalanan pulang. Melintasi gerbang sekolah melawan tren dari siswa-siswa kelas lebih rendah yang sedang keluar dari sekolah. Dia mengganti sepatu luarnya dengan sepatu untuk di dalam ruangan di area kotak sepatu yang berisik seusai jam sekolah. 

Di tengah jalan menuju tangga, dia berpapasan dengan sekumpulan anggota klub baseball yang terburu-buru untuk kegiatan klub. Seragam putih untuk latihannya terlihat kotor pada bagian dada, lutut, dan bokong. Pada saat mereka lulus, akan ada lebih banyak lagi noda tanah. Sambil menyaksikan punggung mereka yang menjauh, dia memikirkan hal semacam itu.

Di koridor, para murid dengan kain pel sedang sibuk ke sana sini. Dia mana-mana terasa ramai, karena sekarang adalah waktunya bersih-bersih.

Itu semua sampai lantai dua. Ketika dia sampai di lantai 3 tempat ruang-ruang kelas 3, suasana di dalam sekolah berubah drastis. Dia merasakan suhunya turun mendadak. Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang. Dia juga merasa suara yang dia dengar sangat jauh. Rasa jauh itu sedihnya tercermin di koridor.

Saat dia memasuki sebuah ruang kelas untuk anak kelas tiga, kesan tersebut menjadi semakin kuat. Suara dari pintu yang terbuka terdengar membakar hebat.

Tiga puluh pasang meja dan kursi. Tidak ada yang sedang duduk. Walaupun ini adalah ruang kelas yang biasanya, dia merasa seakan dia sedang berdiri di sebuah tempat yang tidak dia kenal.

Tapi, ini adalah ruang kelas di mana dia telah belajar selama tahun ini sejak dia menjadi anak kelas tiga.

Dia pergi ke bagian depannya dan menuju ke kursi kedua dari jendela.

Di situlah kursi Sorata.

Dia duduk di sana. Dia merasa itu bukanlah tempat duduknya. Dia ingat dengan noda di kursinya dan buku-buku teks di dalamnya yang jelas milik Sorata….

Dia berniat untuk mengambil barang-barangnya dan pulang secepatnya, tapi Sorata tidak dapat cepat-cepat berdiri. Dia memperhatikan papan tulis samar-samar. Sebuah papan tulis tanpa apapun yang tertulis di sana.

Dari luar dia bisa mendengar keriuhan aktivitas klub-klub.

Dia memejamkan mata dan menarik napas dengan berat. Saat dia menghelanya perlahan, suara pintu yang terbuka bergetar di gendang telinganya.

"Ah."

Suara seseorang. Dia sepertinya menyadari keberadaan Sorata.

Langkah-langkah kaki mendekatinya dengan tenang dan berhenti di samping Sorata.

"Kanda-kun."

Dia kenal suara ini. Terdengar nyaman dan akrab. Sebuah nada yang sedikit menarik perhatian saat ini.

Dia berpikir ada Nanami di sebelahnya. Sorata pun membuka mata.

"Huh!?"

Suara terkejutlah yang pertama kali terdengar. Memang benar bahwa nanami yang berdiri di mejanya dan sedang menatap wajah Sorata. Akan tetapi, dia bukanlah Nanami yang Sorata kenal dengan baik.

"Siapa!?"

"Aku Aoyama Nanami."

Gadis itu menyipitkan mata dan menatapinya lekat-lekat.

“Ah, tidak. Benar, Aoyama! Aoyama!?”

“Kurasa kau kaget berlebihan.”

“Tidak, tidak, itu!”

Mustahil mengatakan dia tidak akan merasa kaget.

Ada perbedaan penting dari Nanami yang ada dalam ingatannya.

Rambutnya pendek.

Tidak ada kuncir kuda yang jadi ciri khasnya.

Rambutnya benar-benar pendek.

“Rasanya aneh sekali.”

Nanami menyentuh rambut pendeknya dengan kedua tangan. Orang yang sedang dibicarakan ini masih belum terlihat nyaman.

“Bu-bukan begitu, ini berbeda… Ini pertama kalinya aku melihat Aoyama dengan rambut pendek.”

“Bisa kau mengatakan hal yang lain?”

Mengatakan sesuatu seperti itu. Jawabannya dengan cepat muncul.

“...Itu cocok untukmu.”

“Kau sebaiknya tidak mengatakan hal itu pada orang lain selain Mashiro.”

“Nah, ini jelas apa yang Aoyama katakan.”

Sorata merasa ini adalah induksi yang sempurna.

“Jangan katakan itu juga.”

“Aku akan berhati-hati di waktu berikutnya.”

“Bagus.”

Nanami tertawa, dengan kedua tangan di pinggang.

“Tapi, kenapa mendadak memendekkannya?”

“Ini tidak mendadak untukku.”

“Begitukah?”

“Aku ingin memotongnya untuk melihat apakah ini bisa mengubah suasana hatiku setelah gagal di audisi tahun lalu.”

Matanya yang tak tentu arah akhirnya menatap Sorata.

“Ada Kanda-kun dalam pikiranku sementara aku mencoba melakukan sesuatu.”

"..."

Sejujurnya, dia tidak tahu harus berkata apa.

“Selain itu, aku membencinya karena seakan ini adalah alasan untuk patah hatiku.”

“Yah, kenapa kau tidak memotongnya sejak dulu?”

“Apakah kau repot-repot menanyakan alasannya?”

“Tidak juga…”

Matanya tertarik pada rambut yang memendek itu.

Sepertinya akan perlu waktu sampai dua terbiasa dengan hal itu.

“Jangan memandangiku. Itu memalukan.”

“Maaf.”

“Itu bagus, tapi…”

"Tapi ...?"

Nanami yang tersenyum hangat duduk di tempat duduknya. Tepat di sebelah Sorata. Dia melihat lurus ke papan tulis. Sorata juga melihat papan tulis tersebut. Dia juga memperhatikan baik-baik pemandangan dari kursinya.

“Akan menyenangkan kalau kita bisa kembali ketika rambut ini kembali ke panjangnya yang semula.”

Berada di dekat Nanami dan bergumam. Mereka tidak memikirkan hal-hal yang rumit, mereka hanya bersenang-senang bersama. Pada saat itu mereka masih polos.... Pada saat itu gadis itu menyimpan perasaan dalam hatinya dan Sorata tidak menyadari hal itu...

“Mungkin itu mustahil.”

"..."

Ketegangan dari pembicaraan sunyi itu muncul dari samping.

“Aku yakin aku tidak bisa kembali.”

"...Aku mengerti."

“Kurasa aku tidak bisa kembali. Kupikir aku tidak mencoba untuk kembali. Setelah seminggu lagi, kita akan lulus dari Suiko dan kita tidak bisa kembali menjadi murid SMA lagi.”

"...Un."

“Aku tidak bisa kembali, jadi aku akan berjalan maju. Tidak melupakan, tidak melampaui, tidak mengubahnya menjadi kenangan… Aku tidak tahu harus melakukan apa, atau bagaimana menyebutnya… Tidak seperti hari-hari itu, aku tidak punya pilihan selain percaya bahwa hal terbaik yang bisa kukatakan adalah hari-hari yang akan datang.”

Kalau dia menanggapi reaksi Nanami dan mengesampingkannya, dia mati-matian mencoba untuk tertawa.

“Seperti itulah Kanda-kun.”

“Apa maksudmu?”

“Tidak bagus untuk menyerah.”

"....Aku mengerti."

“Sekarang jadi sedikit panas dan bisa kukatakan kalau aku merasa malu saat mendengarnya.”

Nanami menyeka air mata yang terkumpul di ujung matanya. Sorata penasaran apakah dirinya mengatakan hal yang aneh.

“Bisakah kau berhenti mengutarakan pikiranmu dengan tenangnya?”

“Tapi, aku pun bisa meyakininya.”

“Itu pujian?”

“Entahlah.”

“Bukankah ini berbeda…?”

“Tapi, karena itulah orang-orang berkumpul di sekitar Kanda-kun. Orang-orang berubah. Aku penasaran apakah Kanda-kun juga berubah.”

“Kurasa aku normal seperti biasanya.”

Nanami tertawa dan mengabaikannya. Itu adalah wajah yang tidak asing bagi Sorata. Itu adalah wajah yang dia kenal.

“Benar juga. Kenapa Kanda-kun sendirian saja di sekolah?”

“Aku datang untuk mengambil buku-buku teks yang masih tertinggal… Dan entah kenapa jadi seperti sekarang.”

“Karena kelulusan sebentar lagi, rasanya muram?”

“Yah, kurasa akan seperti itu….”

“Ah, di mana Mashiro?”

“Ugh!”

Kerongkongannya tercekat oleh pertanyaan mengejutkan Nanami. Tersedak dengan mata berair.

“Itu sudah jadi topik di internet, ‘kan?”

"Oh, yang itu."

“Ada juga rumor yang mengatakan kalau dia tidak berjalan baik dengan Kanda-kun di sekolah, dan sedang di ambang putus,” lanjut Nanami. “Apa yang terjadi?”

“... ...Bisakah Aoyama mengabaikan topik itu?”

“Aku juga ingin mengabaikannya kalau bisa.”

Gadis itu membalas dengan sorot mata setengah bercanda setengah serius.”

"...Maaf."

“Tidak perlu minta maaf.”

“Aoyama selalu mencemaskanku. Aku…”

"Aku?"

“Akhir-akhir ini, semua orang bersikap ramah.”

“Memangnya kenapa?”

Tiba-tiba, Nanami tertawa.

“Yah, aku tidak mengatakan apa-apa, tapi Misaki-senpai datang bermain setiap hari dan Jin-san menghubungiku… Bahkan Akasaka bertanya padaku “Kau tidak apa-apa?”. Iori dan Kanna juga khawatir. Aku diminta untuk cepat-cepat berbaikan oleh orang-orang di tempat perbelanjaan.”

“Semua orang tidak bisa membiarkan Kanda-kun dan Mashiro begitu saja, karena Kanda-kun tidak bisa membiarkan orang lain sendirian, jadi kami pun tidak bisa membiarkan kalian sendirian.”

“...Kalau begitu, aku merasa sangat senang.”

Ini sepertinya terhubung. Ini bukanlah tentang mencemaskan atau memperhatikan… Karena ada lebih banyak perasaan yang berbeda.

‘Karena aku suka orang itu, maka ini penting’, Tubuh mulai bergerak atas perasaan. Ini adalah perasaan murni yang tidak ada keuntungan atau kewajiban.

“Apa yang jadi penyebab pertengkaran kalian?”

"Itu..."

Sorata menelan kata-kata yang ingin dia katakan di tengah jalan.

"..."

"... Kanda-kun?"

Nanami yang mencondongkan diri memperlihatkan wajah penasaran.

“Sudah kuduga, aku tidak bisa mengatakannya pada Aoyama….”

"... ...."

"Terlalu tidak peka."

“Kanda-kun, kau sudah dewasa.”

Nanami memandangi Sorata dengan ekspresi kaget.

“Bisakah kau berhenti mengejutkanku?”

“Tapi, kalau begitu, aku ingin kita berhenti membahas tentang Mashiro sejak awal.”

Menghela napas dalam-dalam.

“Uh, yah, itu benar….”

“Kalau kau begitu pintar, mungkin kau bukan Kanda-kun.”

“Kau parah.”

“Aku tidak masalah dengan Mashiro.”

Dia tidak bisa bilang semuanya baik-baik saja, Dia berpikir itu sangatlah berbahaya. Tapi, bukan itu yang Nanami bicarakan.

“Aku berusaha mengaturnya.”

"Tepatnya?"

Sebuah kata yang tajam mengejar, menembus jawaban yang mencoba untuk berdalih.

"..."

Sama sekali tidak ada ide yang bagus. Dia akan menyelesaikannya secepat mungkin.

“Tidak ada rencana.”

“Tidak ada kata kembali.”

"Haa..."

Nanami menghela napas besar. Dia kelihatan kecewa. Tapi tetap saja, ekspresi Nanami, yang terarah pada Sorata lagi, terlihat segar.

“Karena hanya kali ini saja membantu.”

"Eh?"

“Di mana Mashiro hari ini?”

Pertanyaan itu muncul begitu saja.

“Kurasa dia sedang di hotel mengerjakan manuskripnya.”

Meninggalkan Sorata yang bertanya-tanya, Nanami mengeluarkan handphone dari tasnya. Saat dia memilih kontaknya, dia menghubungi seseorang dengan cepat.

Siapa yang dia hubungi? Dinilai dari alur percakapan barusan, Sorata hanya bisa memikirkan satu orang.

"Ah, Mashiro?"

Pemikirannya terbukti.

"O, Oi, Aoyama!"

Sorata memanggil dengan suara kencang, tapi Nanami tidak menggubrisnya.

“Sekarang, aku bersama Kanda-kun di ruang kelas kita di sekolah.”

Dia mengatakannya dengan penuh makna. Sorata berdebar sedikit. Dia penasaran apa yang akan Mashiro katakan.

"Hei, Mashiro"

Bagaimana Mashiro akan bereaksi di sisi lain handphone?

Sekarang dia tidak punya pilihan selain tetap menyaksikan kemajuannya.

“Kalau Mashiro bilang tidak perlu, Kanda-kun akan jadi milikku.”

"Hah?"

Nanami menarik handphone itu dari telinganya, lalu memasukkan ke dalam tas setelah menyelesaikan panggilan.

"Ha~ Aku tadi gugup."

Nanami yang mengelus dadanya menarik napas dalam-dalam.

“Ini bukan sesuatu yang biasa kulakukan.”

Merasa malu dengan aktingnya sebagai tokoh jahat, Nanami tertawa untuk mengalihkan.

“Saat Mashiro datang, bicaralah dengan baik.”

“Apa dia akan datang?”

Dia tidak yakin. Mashiro seharusnya juga sedang mengerjakan manganya hari ini. Selain itu, dia dengan jelas berkata tidak ingin melihatnya. Dia menolak untuk kembali ke Sakurasou.

"Datang."

Kontras dengan Sorata, kata-kata Nanami memiliki kekuatan.

“Pasti datang.”

Dia mengulangi untuk menekankannya.

“Kenapa kau bisa bilang begitu?”

“Jika posisinya terbalik, kalau hal semacam itu dikatakan padaku… Aku akan segera bertindak karena merasa tidak aman. Hanya Kanda-kun yang terpikirkan.”

Ada kebaikan sekaligus kesedihan dalam senyumnya itu.

"Aoyama..."

“Jadi, dia akan datang.”

"Ah..."

“Baiklah… orang jahat akan pergi.”

Nanami berdiri dan menggantung tasnya di pundak.

"Oh, iya."

"Hmm?"

“Sekalipun Kanda-kun putus dengan Mashiro, aku tidak akan pacaran dengan Kanda-kun.”

Itu adalah senyum yang tidak dimengerti Sorata.

"O, Ou"

Dengan ekspresi Nanami seperti itu, Sorata kebingungan.

"Jadi, Kanda-kun ..."

Dari situ dia bisa paham meskipun tidak ada lagi kata-kata. Dia berpikir bahwa dia seharusnya tidak membiarkan Nanami mengatakannya.

“Aku akan menangkap Mashiro dengan benar.”

Untuk sesaat, Nanami membelalakkan mata. Tapi, dia segera menunjukkan raut wajah lembut.

“Kuharap aku bisa mengerti. Baiklah kalau begitu, sampai bertemu lagi.”

"Ah, sampai bertemu lagi."

Dengan sedikit terburu-buru, Nanami meninggalkan ruang kelas.

Langit di ufuk barat mulai terlihat kemerahan.

Sorata mengamatinya dari jendela kelas.

“Kira-kira dia akan datang tidak, ya?”

Walaupun Nanami bilang dia pasti akan datang, Sorata masih belum yakin.

“Ngomong-ngomong, apa dia bisa datang sendirian?”

Terhadap pertanyaan untuk dirinya sendiri, jawaban di pikirannya adalah “mustahil”...

Pemikiran bahwa mungkin tidak gunanya sekalipun dia menunggu menjadi semakin kuat seiring jarum jam yang bergerak setiap detiknya.

Sekarang sudah lewat 4.30. Dia bisa meninggalkan hotel tepat setelah menelepon dan dia akan tiba kalau menaiki taksi. Akan tetapi, dia tidak bisa membayangkan penampilan Mashiro yang mungkin kacau balau.

Saat dia memikirkan hal semacam itu, dia merasa mendengar sesuatu dari koridor.

"..."

Dia mendengarkan baik-baik.

Itu adalah langkah kaki seseorang.

Itu terdengar seperti suara pihak ketiga yang berlari ke arah Sorata.

Dia bahkan bisa mendengar napas yang terengah-engah.

Tidak ada alasan kalau itu adalah Mashiro. Dia tidak bisa membayangkan penampilan Mashiro yang berlari kencang dengan napas terengah-engah.

Jadi, Sorata berkata pada dirinya sendiri bahwa langkah-langkah kaki yang mendekat itu berbeda. Kalau dia berharap, rasa terguncangnya akan lebih besar nantinya.

Tetap saja, dengan semakin mendekatnya langkah-langkah tersebut, harapan menjadi sebuah ujian. Sorata dengan tidak sabar mendengarkan napas yang sejak tadi terdengar sambil berpikir bahwa ini tidak mungkin. Dia sepertinya tahu dengan baik.

Itu akan segera tiba.

Langkah tersebut berhenti di depan pintu. 

Saat berikutnya,

"Sorata!"

Bersama dengan panggilan itu, pintu terbuka dengan cepat.

Saat terhisap, Sorata melihat ke arah koridor.

"Haa... Haa"

Ada Mashiro di pintu yang terbuka itu.

"Haa ... Haa ... Haa ..."

Dia memodifikasi rambutnya dan bernapas terengah-engah dengan menyakitkan.

"Haa ..."

Dia bernapas dengan bahu yang naik turun, menumpukan kedua tangannya di atas  lutut, sepertinya sulit untuk menegakkan tubuhnya.

"Mashiro ..."

Saat Sorata memanggil namanya, Mashiro mengangkat wajah. Matanya bertemu dengan Sorata, tapi segera beralih mencari-cari ke penjuru kelas.

"..."

Raut wajah Mashiro terlihat aneh.

“Di mana Nanami?”

"Dia pulang."

"Ituuu ..."

Terbatuk-batuk parah, Mashiro duduk sambil berpegangan pada pintu.

"O, oi, kau tidak apa-apa?"

Sorata berdiri menuju Mashiro yang ada di pintu masuk. Dia mengulurkan tangan, tapi Mashiro tidak memegangnya.

Sebaliknya, dia mendongak melihat Sorata dengan ekspresi seperti akan menangis.

“Sorata, apa Nanami sudah merampasmu?”

Benar-benar hebat memikirkan apa yang harus dikatakan.

“Aku tidak dirampas.”

“Benarkah?”

Dia bergerak maju dengan mencondongkan tubuh.

“Benar.”

"Tidak bohong?"

Cemas. Sosok yang putus asa….

“Aku tidak bohong. Kau tidak percaya padaku?”

“Bahkan sejak Natal…. Bahkan sebelum itu, aku belum pernah menjadi pacar Sorata yang seharusnya….”

"Tidak begitu."

Mashiro mengusap telinganya dengan kedua tangan, menggeleng kepala seakan membenci dirinya sendiri.

Sorata meraih tangannya.

Mashiro dengan tubuh gemetar, mengangkat wajahnya.

"Mashiro"

"Apa?"

Dengan mata waspada yang bercampur dengan kegelisahan.

“Ayo kita kencan sekarang.”

Dengan ajakan yang mendadak itu, Mashiro terpaku.

Meski demikian, setelah mengerjapkan mata beberapa kali, 

“Aku juga ingin berkencan!”

Dia pun mengucapkannya.

"Ah, tapi ... aku ..."

Tanpa perlu dikatakan, Mashiro mengkhawatirkan rambutnya yang berantakan. Kalau dilihat dengan cermat, bajunya cukup parah. Dia hanya memakai mantel untuk menutupi piyamanya.

Tidak ingin menunjukkan penampilan Mashiro yang seperti ini, Sorata mengancingkan semua kancing depan mantelnya. Sekarang, tidak ada yang tahu bahwa di balik mantel itu adalah piyama. Karena bagian bawahnya adalah celana, dia bertanya-tanya apakah aman untuk pergi keluar.  Mereka bisa pergi setidak ke toserba di lingkungan rumah mereka.

“Wow, jadi kelihatan keren.”

Sorata memperbaiki dan merapikan rambutnya.

“Karena kupikir Sorata akan diambil.”

“Yang benar saja, kau tidak percaya padaku?”

Saat Sorata menggenggam tangan Mashiro, dia berdiri dan menariknya sambil berkata “Yosh”. Kemudian membawa Mashiro ke lorong sambil memegangi tangannya.

“Sorata, pergi ke mana?”

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Sorata berjalan keluar sambil menggenggam tangan Mashiro.

Koridor yang memanjang lurus dari depan beberapa kelas tiga. Di bagian paling dalam… Di ujung terdapat sebuah ruang kelas jurusan seni tempat Mashiro belajar.

“Sejak Mashiro datang ke Sakurasou, aku berjalan menyusuri koridor panjang ini setiap hari sesudah sekolah.”

"..."

“Untuk menjemput Mashiro.”

“Aku pergi menjemputmu beberapa kali.”

“Sekitar lima kali, ya ‘kan?”

“Aku pergi enam kali.”

“Memangnya perlu?”

“Itu penting.”

Saat mereka datang ke depan pintu ruang kelas jurusan seni, mereka melihat ke dalam dari pintu.

“Tapi, akhir-akhir ini, kau tidak di sini.”

Kelas di siang hari hampir praktis. Ada banyak murid yang tetap di ruang seni di bangunan terpisah. Beberapa membersihkan peralatan, yang lain masih melukis.

Alih-alih memasuki ruang kelas, Sorata mengarahkan kakinya ke koridor yang menuju ke ruangan lain.

“Pada awalnya, cukup menegangkan berjalan di sini.”

Mata Mashiro menunggu kata-kata berikutnya.

“Karena biasanya murid reguler tidak datang ke sini.”

Bangunan terpisah adalah tempat yang biasanya digunakan untuk berlatih di Jurusan Seni. Di lantai dua adalah ruang praktik piano dari Departemen Musik, lantai tiga adalah ruang seni luas yang menjadi tempat asal Mashiro.

“Ketika bertemu Misaki-senpai di Jurusan Seni, dia bertanya “Kenapa murid reguler datang kemari?”.”

Departemen Musik Suiko. Ujian masuk Jurusan Seni sangatlah sulit. Hanya murid-murid elit yang bisa melewati gerbang yang sempit itu.

Sementara dia berbicara, mereka tiba di ruang seni, membuka pintunya dan masuk ke dalam.

Hari itu mewarnai ruang kelas dengan warna merah.

Sama seperti hari itu. Pada hari tersebut dia mengungkapkan perasaan pada Mashiro….

‘Mashiro selalu berada di depan kanvas.”

“Ini adalah tempat untuk menggambar.”

Lukisan seseorang dipajang pada rangka kayu. Sambil memperhatikannya, Sorata lebih banyak berucap.

“Fokus pada lukisan di depanmu dan tidak bisa dialihkan.”

“Tidak juga.”

“Benarkah?”

“Aku memikirkan Sorata.”

"..."

“Aku sedang menunggu Sorata datang.”

“Aku mengerti.”

“Saat itu, aku menyukainya.”

Dia merasakan kehangatan. Hatinya menghangat dengan perasaan Mashiro yang tidak dia ketahui. Akan tetapi, Sorata menyadari bahwa itu juga berarti bahwa Mashiro tidak yakin pada saat ini. Tapi tetap saja, hatinya terasa hangat.

Sorata meninggalkan ruang seni sambil menarik tangan Mashiro dan turun ke lantai satu. Mengganti sepatu dalamnya di loker sepatu dan menuju ke gerbang sekolah. Tangan mereka selalu terhubung. Dia tidak merasa keberatan bahkan saat dilihat oleh para junior yang sedang melakukan aktivitas klub.

"Sorata"

"Hmm?"

"Semua orang, melihatmu."

Pandangan Mashiro tertuju pada tangan mereka yang sedang berpegangan.

"Tidak masalah. Aku akan segera lulus dan aku tidak keberatan digosipkan sebentar."

Saat berikutnya Sorata datang ke sekolah adalah hari upacara kelulusan.

Bahu Mashiro mendekat sebagai ganti jawaban.

"Hmm?"

"Aku akan segera lulus, tidak masalah walaupun digosipkan."

"Itu benar."

Sambil tertawa melewati gerbang sekolah, dia menemukan seorang supir taksi berhenti di depan gerbang dan melihat mereka seakan mereka dalam masalah.

...Saat dia sedang berpikir, supir taksi itu berlari mendekat ketika melihat Sorata.

"Ah, bagus, kau kembali."

Tepatnya, Mashiro yang sepertinya punya urusan.

Dia bisa memahami maksudnya tanpa bertanya. Mengingat alasan kenapa Mashiro bisa datang ke Suiko dengan begitu cepat dan tepat, Sorata mendapatkan jawabannya begitu saja.

"Oh, berapa totalnya?" tanyanya sambil mengeluarkan dompet.

Meteran tarif di dalam mobil mencapai angka 15.000 yen.

Sudah jelas, itu jumlah uang yang besar. Dompet Sorata tidak cukup. Kelihatannya mereka harus bersama-sama ke Sakurasou.

"Aku, punya" 

Mashiro mengeluarkan tiga lembar uang 10.000 yen dari saku mantelnya. 

"Apa ini!?"

"Ayano bilang kalau aku perlu sesuatu… lalu dia memberikannya padaku."

"Kalau begitu, kalau kau punya uang, kau seharusnya membayarnya."

Si supir mengangguk setuju.

"Sorata bilang belanja bukan sesuatu yang dilakukan sendirian."

"Ini bukan belanja, tapi membayar ongkos. Kenapa kau hanya ingat kata-kata itu pada saat ini…."

Menyerahkan 20.000 yen pada si supir, dia memberikan mereka kembalian dengan cepat.

"Yah, saya pergi."

Setelah membungkuk, si supir mengendarai mobilnya. Sorata memperhatikan sampai taksi itu menghilang.

Pada saat itulah handphonenya berdering dan dia mengeluarkan dari sakunya.

Itu adalah Ayano.

"Ya, Kan..."

Soraya mencoba untuk menyebutkan Kanda.

"Kanda-kun!?"

Suara tegang Ayano memekakkan gendang telinganya.

"Shiina-san, apa dia pergi ke sana? Aku tidak melihatnya di hotel sekarang… Saat aku bertanya ke resepsionis, mereka bilang dia sudah pergi sekitar satu jam yang lalu."

"Dia denganku sekarang, aku akan memberikan ini padanya."

Dia memberikan handphonenya pada Mashiro.

"Ayano? ... Ya, aku minta maaf, un ... un ... un"

Setelah bicara sekitar tiga menit, Mashiro memutuskan kontak.

"Dia marah."

"Sudah pasti karena kau pergi tanpa izin."

Sorata menjawab dengan suara takjub sambil menerima kembali handphonenya.

"Tapi aku tidak perlu kembali lagi."

"Iida-san?"

"Aku bilang aku akan dengan Sorata."

"...aku mengerti."

Keriuhan di internet sudah mereda. Akhir-akhir ini, Mashiro meningkatkan jumlah pekerjaannya juga.

Selain itu, mereka akan lulus seminggu lagi.

Sekarang dia tidak perlu pergi ke sekolah.

Awalnya, di pertengahan bulan lalu, Ayano telah memutuskan bahwa akan lebih baik untuk kembali. Mungkin dia berpikir ini adalah kesempatan yang bagus.

Hari ini akan segera berakhir. Ketika sore tiba, Sorata dan Mashiro berada di depan stasiun. Stasiun Geidaimae. Sebuah stasiun di mana dia harus berjalan lebih dari cukup untuk mencapai universitas, berkebalikan dari namanya.

Ada banyak murid yang kembali dan murid-murid yang pulang. Para ibu rumah tangga yang menurunkan tas-tas belanjanya juga terlihat menarik perhatian. Mereka bersiap untuk memasak setelah sampai di rumah.

Sorata berpindah ke kursi putar bagian depan bis yang tidak diduduki siapapun.

Membiarkan Mashiro duduk di situ dan menatap ke arah depan.

Tangan mereka masih bertaut. Dia juga mengambil tangan lain yang Mashiro julurkan.

“Mashiro, apa kau ingat?”

“Itu pertama kalinya aku melihat Sorata.”

Pada hari itu, Chihiro meminta melakukan sesuatu. Karena sepupunya datang, dia diminta untuk menjemputnya…. Karena foto yang diberikan adalah yang diambil saat sepuluh tahun lalu, Sorata salah paham kalau yang datang adalah seorang gadis kecil.

“Kupikir kau pasti akan datang dengan kereta.”

Mashiro muncul dari sebuah taksi yang berhenti di sekitar putaran.

“Taksi lebih praktis.”

Begitu dia melihat sosok itu, kelihatannya arus listrik menjalari tubuhnya.

“Pada saat itu, aku tidak tahu apapun.”

Adalah hal yang alamiah kalau dia tidak tahu, karena Chihiro tidak memberitahukan apapun.

“Bahkan tentang Mashiro adalah seorang pelukis jenius, itu benar-benar luar biasa mencengangkan. Bahkan tentang ingin menjadi komikus….Aku tidak tahu apapun. Kupikir kau adalah gadis hebat dan merasa senang karena itu.”

"..."

“Mungkin sejak saat itu, kurasa aku menyukai Mashiro.”

Dan dia berpikir bahwa itu adalah perasaan yang umum bagi banyak pria. Gadis-gadis manis mencuri perhatian mereka. Itu cerita sederhana.

Akan tetapi, bagi Sorata, itu saja tidaklah cukup. Kesempatan untuk hidup di bawah satu atap yang sama pun muncul dan situasinya berubah sepenuhnya.

"Nee, Sorata"

"Apa?"

"Aku mencintai Sorata."

"Ah."

"Sorata itu penting."

"Un..."

"Manga juga penting."

"Aku tahu."

Dia telah memperhatikan Mashiro dari samping. Dia telah mengejar Mashiro, yang memiliki kemampuan lebih dari siapapun, dan yang bersedia melakukan hal yang lebih.

“Menggambar adalah milikku.”

“Aku juga tahu soal itu.”

Melukis adalah hidupnya. Bagi Mashiro, dia tidak berpikir itu adalah kata-kata yang berlebihan. Sorata berpikir itu memang sangat tepat.

“Kuharap impian Sorata menjadi kenyataan.”

Nada suara Mashiro samar-samar merendah.

“Tapi tolong jangan ambil Sorata dariku.”

"Ah..."

“Aku tidak bisa mengubah perasaan ini.”

Tenaga dikerahkan pada tangan yang digenggam.

"Aku tahu."

“Semuanya, Sorata berikan.”

"..."

“Segalanya memberiku cinta untuk Sorata…. Aku tidak bagaimana caranya menyerah.”

"Aa."

“Aku tidak akan menyerah untuk apapun.”

“Yah, milikilah semuanya.”

Sorata menarik kedua tangannya dan membuat Mashiro berdiri.

"Sorata?"

“Kalau kau tidak bisa membuangnya… Kalau kau tidak bisa memilih… Kalau kau tidak bisa menyerah, kau harus berjuang sekuat tenaga sekarang.”

“Sekalipun kita tidak bisa memilikinya?”

“Sekalipun kita tidak bisa memilikinya… Kurasa kita akan bisa mendapatkan suatu hari nanti.”

“Pada akhirnya…”

Sebuah gumaman seperti menanyai dirinya sendiri. Begitu dia memejamkan mata, Mashiro kemudian menatap langsung Sorata. Kemudian,

“Baiklah.”

Mashiro tersenyum dan mengatakannya.


1 Maret

Inilah yang tertulis di buku harian pertemuan Sakurasou.

  • Sangat menyenangkan dengan - Sekretaris · Rita Ainsworth

  • Itu bukan kencan – Catatan tambahan · Akasaka Ryuunosuke

  • Muki~! Aku tidak akakn memaafkanmu berkencan dengan Ryuunosuke-sama di Taman Bermain Nasional Tikus! - Catatan Tambahan · Maid-chan

  • Ngomong-ngomong, ini bukan kencan - Catatan Tambahan · Akasaka Ryuunosuke

  • Sangat menyenangkan di hari biasa. Aku senang bolos sekolah. - Catatan Tambahan · Himemiya Iori

  • Ini menyenangkan - Catatan Tambahan · Hase Kanna

  • Yah, “Hanya itu?” Kau, kau memakai topi yang ada telinganya. Itu luar biasa. - Catatan Tambahan · Himemiya Iori

  • Misaki-san memaksaku memakainya, jadi mau bagaimana lagi. - Catatan Tambahan · Hase Kanna

  • Ayo perjelas itu dengan bukti foto. Aku akan menaruh foto-foto yang diambil di depan kastil. - Catatan Tambahan · Rita Ainsworth

  • Kanna, tidak apa-apa. Aku juga ingin pergi. - Catatan Tambahan · Shiina Mashiro

  • Oke, kalau begitu besok kita akan pergi ke Taman Bermain Tikus Laut! Ngomong-ngomong, Mashiron, selamat datang kembali – Catatan Tambahan · Mitaka Misaki

  • Aku pulang. Catatan Tambahan · Shiina Mashiro

  • Akhir-akhir ini, catatan buku hariannya parah! - Catatan Tambahan · Kanda Sorata