Serikat Percetakan

Penerjemah: Hikari


Kepala Pastor menggunakan sebuah alat sihir untuk melihat ingatan kehidupan masa laluku. Itu sangat mengejutkan, tapi aku mengerti alasannya dengan cukup baik. Tidak ada cara lain yang lebih baik untuk membuktikan padanya bahwa aku tidak bersalah dan bukanlah sebuah ancaman. Dan pada akhirnya, alat sihir itu terbukti benar-benar hebat. Dengan alat itu, aku bisa membaca buku apapun yang pernah kubaca di masa lalu hanya dengan mengunjungi dunia dalam pikiranku.

...Aku tahu kalau dia memeriksa ingatan hanya untuk menentukan nilaiku dan melihat apakah aku sebuah ancaman, tapi tetap saja, apa salahnya membantuku dan bermain-main sebentar? Kepala Pastor

, kau benar-benar tega.

Aku mengeluh sedikit, tapi kenyataannya aku benar-benar merasa berterima kasih bahwa Kepala Pastor pada akhirnya memutuskan bahwa aku bukanlah sebuah ancaman dan dengan demikian aku bisa terus melanjutkan penemuan produk-produk baruku di bawah pengawasan Benno. Berkat hal itu, aku bisa tetap menjalani hidupku seperti biasa tanpa ada yang benar-benar berubah.

...Belum lagi, aku belajar banyak dari hal itu.

Aku mengetahui betapa ibuku yang dulu memperhatikanku, dan seberapa besar keluargaku yang saat ini menyayangiku. Aku ingin membalas keluargaku di kehidupanku ini, sebagai ganti karena aku tidak melakukannya di masa lalu. Aku ingin menghargai waktuku dengan mereka, daripada sekedar memperlakukannya sebagai hal yang biasa-biasa saja dan tidak signifikan dalam kehidupanku sehari-hari.

“Myne, kita mulai mencetak buku-buku bergambar kemarin, membuatnya sekalian dengan kertas.”

Sekarang adalah hari setelah pengalaman mimpiku, dan Lutz memberitahukan tentang bagaimana Lokakarya Myne berjalan sambil kami berjalan menuju Firma Gilberta yang rasanya seperti sudah sekian lama.

“Jadi, Lutz. Berapa banyak buku bergambar yang kira-kira bisa kau buat? Berapa banyak kertas yang akhirnya kau selesaikan?”

“Kurasa paling banyak delapan puluh buku yang bisa kita buat, dan itu kalau kita juga menggunakan kertas yang kita buat sekarang. Kita bisa membuat tujuh puluh lima buku dengan apa yang kita punya saat ini—tujuh puluh enam yang paling bagusnya—tapi aku tahu kau bilang kau mau membuat sebanyak mungkin sekaligus.”

“Uh-huh, makasih. Aku tahu ini memang lebih sulit karena sekarang mulai dingin, tapi aku mengandalkanmu.”

Menurut Lutz, pencetakan kedua kitab suci anak-anak berakhir dengan memproduksi delapan puluh buku. Mereka tidak akan memerlukan waktu selama itu untuk menyelesaikannya, karena para biarawan abu-abu yang telah belajar bagaimana percetakan bekerja kemarin sudah bisa menangani semuanya. Dengan semua hal yang sudah diatur, aku hanya perlu memikirkan penjualan buku bergambar.

Aku menatap kakiku dan bergumam, “Mungkin kita sebaiknya membuat sebuah perserikatan baru untuk ini.”

“Serikat baru?”

“Uh-huh. Seperti Serikat Percetakan atau Serikat Penerbitan... Buku-buku yang kita buat di Lokakarya Myne tidak seperti buku manapun yang dimiliki para bangsawan, ‘kan?”

Buku-buku yang ada sebelum yang kami buat ini adalah kumpulan perkamen, yang ditulis tangan secara individual. Ilustrasi-ilustrasi berwarna dan mendetail ditambahkan pada halaman-halaman dan sampul-sampul kulit yang dihiasi dengan emas dan permata, membuat buku-buku itu menjadi karya seni dengan harga yang luar biasa mewah.

“Buku-buku yang kita buat nyaris tidak bisa disebut seni, yah,” sahut Lutz. “Itu semua buku untuk anak-anak...”

“Dan proses produksinya sama sekali berbeda. Aku baru tahu ini karena Kepala Pastor memberitahukannya padaku, tapi ternyata buku-buku lain tidak dibuat hanya di satu lokakarya.”

Sampai saat ini, setiap langkah dalam proses membuat satu buku memerlukan kontribusi dari para perajin beberapa lokakarya yang berbeda—seseorang untuk menulis teksnya, untuk menggambar seninya, seseorang untuk mengumpulkan kertas dan menjilidnya sebagai sebuah buku, seseorang untuk membuat sampul kulit, seseorang untuk memasangkan emas dan permata pada sampul, dan sebagainya. Karena itulah, tidak ada satu lokakarya saja yang dikhususkan untuk pengadaan buku di dunia ini.

Akan tetapi, buku-buku yang dibuat oleh Lokakarya Myne kami menggunakan teknologi percetakan, dan dengan demikian satu lokakarya dapat membuat banyak sekali salinan dari buku yang sama sekaligus. Hal ini akan memperkenalkan jalur kerja yang sama sekali baru. Profesi pembuatan buku telah lahir dalam satu malam, jadi sebuah serikat diperlukan untuk mengamankan hak atas teknologi dan keuntungan, dan untuk mengorganisir lokakarya-lokakarya demi mempertahankan standar kualitas tertentu.

“Pertama, aku perlu bicara dengan Benno, tapi... Yah, begitulah.”

Kalau aku mulai menjual buku, aku akan harus melakukannya lewat Lutz untuk menjualnya ke Firma Gilberta. Dengan demikian, Benno-lah yang perlu menambahkan pembuatan Serikat Percetakan dalam daftar kerjanya. Bagaimanapun, sulit untuk membayangkan mempercayakan pekerjaan semacam itu pada orang lain. Mungkin itu akan jadi hal terakhir dilakukan saat dia sudah muak dan tidak tahan lagi.

“Firma Gilberta adalah toko baju, ‘kan? Kemudian ada lokakarya rinsham, Serikat Kertas Tumbuhan dan lokakarya-lokakaryanya, restoran Italia yang kita harapkan akan siap saat musim semi...” Aku mengingat setiap pekerjaan yang setahuku Benno lakukan, terkejut dengan betapa terlibatnya aku pada dasarnya dalam semua itu. “Ada sangat banyak hal untuk dilakukan, dan kita menambahkan Serikat Percetakan. Aku takut Benno akan jadi begitu sibuk sampai-sampai ambruk.”

Kalau Benno sampai meninggal karena terlalu banyak kerja, apa aku harus bertanggung jawab? Lutz menggelengkan kepala sementara aku memucat karena khawatir.

“Kesibukan Master Benno adalah karena dia yang mau. Itu bukan sesuatu yang perlu kau cemaskan. Kita hanya perlu khawatir kapan Mark mulai ikutan.”

Mempertimbangkan bahwa Benno mengambil pekerjaan tambahan karena kemauannya sendiri sementara Mark hanya ikut begitu saja dari belakang untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik, aku memutuskan bahwa sebaiknya aku lebih dulu mencemaskan Mark yang sekarat karena terlalu banyak kerja.


“Myne! Apa lagi yang kau lakukan kali ini?!”

Guntur Benno menyambar begitu aku melangkah masuk ke kantornya. Aku bahkan belum menyebutkan soal Serikat Percetakan—malahan, aku datang untuk membicarakan itu dengannya sebelum melakukan apa pun itu sendiri, jadi aku tidak tahu kenapa dia begitu marah. Yang bisa kulakukan hanyalah menggeleng kepala, mengerjapkan mata kebingungan dan gemetar ketakutan.

“A-apa yang kau bicarakan?! Aku belum melakukan apa-apa!”

“Aku mendapat sebuah pesanan dari seorang bangsawan kelas atas—dia mengatakan padaku untuk membuat jubah upacara baru untukmu secepat mungkin. Tentu saja kau melakukan sesuatu! Jadi katakan semuanya! Apa yang terjadi?!”

Aku segera mengerti apa yang Benno maksudkan dan menepukkan tangan. “Ooh, maksudmu bangwasan kelas atas itu Tuan Karstedt, ya? Dia kapten dari Ordo Kesatria, kau tahu. Syukurlah dia menepati janjinya. Aku agak khawatir dia tidak akan melakukannya.... Syukurlah.”

“Tidak denganku! Jantungku hampir berhenti saat seorang bangsawan kelas atas memanggilku tiba-tiba, dasar bodoh!” omel Benno. “Katakan padaku kalau ada sesuatu yang terjadi!”

Setelah membayangkan diriku sendiri dalam posisinya, darah terkuras dari wajahku. Dipanggil oleh seorang bangsawan kelas atas yang tidak kau kenal begitu saja adalah hal yang benar-benar menyeramkan.

“Ma-maaf! Aku terbaring di tempat tidur karena demam dan lupa sama sekali soal itu.”

Belum lagi aku telah diminta untuk tidak mendiskusikan masalah tentang Ordo pada siapapun, jadi aku bahkan tidak memberitahukan detailnya pada Lutz atau pelayan-pelayanku. Pemikiran untuk melaporkan apapun pada Benno bahkan sama sekali tidak terlintas di pikiranku.

“Yah, terserahlah. Aku hampir mendapat serangan jantung, tapi sekarang aku sudah mendapatkan koneksi dengan seorang bangsawan kelas atas. Aku akan mengeksploitasi kesempatan ini sebisa mungkin. Ngomong-ngomong... Bukannya kita baru saja menyelesaikan jubah upacaramu tempo hari? Ada apa dengan jubah itu?”

“Aku disuruh untuk tidak mengatakan apapun karena itu menyangkut Ordo Kesatria, tapi intinya, jubah itu benar-benar rusak.” Dengan bayangan jubah yang robek-robek dalam pikiran, bahuku merosot dan membentuk huruf “X” dengan lengan di depan dada.

Benno menggaruk kepalanya. “Mau bagaimana lagi kalau begitu. Aku bisa menduga kali ini aku lebih baik tidak mengetahuinya. Tapi, kalau tidak di sini untuk jubah, ada perlu apa denganku?”

“Kami telah memulai pencetakan kedua kitab suci, dan kurasa akan lebih baik membicarakannya denganmu tentang bagaimana kita akan menjualnya. Kau membuat Serikat Kertas Tumbuhan untuk kertas tumbuhan yang kita buat, jadi aku penasaran apakah kau mungkin mau membuat Serikat Percetakan untuk buku.”

Aku menjelaskan kenapa aku memikirkan Serikat Percetakan mungkin diperlukan sementara menatap diptych-ku, dan Benno mengangguk sambil mengelus dagu.

“Serikat Percetakan,ya? Itu akan diperlukan cepat atau lambat, dan kita tidak mau orang lain mencuri hak milik penemuanmu, jadi kita mungkin sebaiknya lakukan lebih dulu dan membuatnya sekarang. Myne, berapa banyak buku yang kau punya sekarang yang bisa kau jual?”

“...Aku bisa menggunakan beberapa buku yang akan kami pakai sebagai buku teks, jadi kami bisa menjual dua puluh yang kubuat sebelumnya kalau perlu.”

Aku pada akhirnya tidak perlu menjual buku apapun saat membeli baju. Aku telah memberikan lima buku sebagai hadiah dan meninggalkan lima lainnya di ruang makan, tapi dua puluh buku lagi masih menumpuk di lokakarya.

“Lutz,” kata Benno, “pergi ambil semuanya dari lokakarya. Kita tidak akan mendapatkan izin untuk membuat Serikat Percetakan tanpa contoh nyata.”

Lutz lari ke biara, meninggalkanku untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang Benno butuhkan untuk diketahui demi dokumen pendirian serikat. Dia kelihatan sibuk menulis-nulis di papan-papan kayu sampai-sampai aku pun menyaksikannya dengan alis berkerut, khawatir apakah aku benar-benar telah memberinya terlalu banyak pekerjaan.

“...Benno, bukankah membuat Serikat Percetakan pada dasarnya pekerjaan yang sedikit terlalu berlebihan untukmu?” tanyaku, cemas, “Apa kau akan baik-baik saja?”

Dia melirikku dan mendengus. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Dan kita mungkin membuat sebuah serikat di sini, tapi itu tidak akan membuat banyak lokakarya percetakan lain bermunculan.”

“Apa? Kenapa tidak? Aku perlu lebih banyak lokakarya percetakan untuk muncul supaya mereka bisa memenuhi dunia dengan buku.”

“Pertama-tama, pasarnya terlalu kecil; tidak banyak orang yang membeli buku. Yang kedua, masih belum banyak lokakarya kertas tumbuhan di luar sana. Bahkan tidak ada yang tahu bagaimana caranya membuat tinta cetak yang kau buat. Banyak hal yang belum cukup berkembang untuk memungkinkan lebih banyak lokakarya. Karena itulah berjalan lebih dulu dan membuat sebuah serikat saat ini tidak akan menyebabkan terlalu banyak pekerjaan tambahan.”

Benno sudah luar biasa sibuk saat membuat Serikat Kertas Tumbuhan karena dia harus menghadapi kepentingan golongan sambil mendirikan lokakarya-lokakarya sebelum orang lain bisa melakukannya. Tapi dalam kasus Serikat Percetakan, tidak banyak yang akan terjadi karena komponen-komponen yang diperlukan untuk mencetak belum terkumpul atau tersebar.

“Aku tidak bisa percaya kalau aku sudah bekerja begitu keras untuk membuat percetakan ini terjadi dan hal ini bahkan tidak mendorong lebih banyak buku. Aku senang kau tidak akan sibuk, Benno, tapi aku sama sekali tidak senang mendengar Serikat Percetakan tidak akan tumbuh subur.”

“Entah apakah Serikat Percetakan akan berakhir sibuk atau tidak tergantung dari seberapa besar orang-orang menyukai buku yang kau buat,” gumam Benno sambil mencorat-coret dokumennya.

Aku mulai memikirkan baik-baik basis konsumen kami dan tingkat literasi negara ini. “Kurasa kitab suci anak-anak akan cukup disukai oleh para bangsawan yang memiliki anak-anak kecil... Terutama bangsawan tingkat rendah dan menengah, karena mereka tidak begitu kaya pada umumnya. Untuk alasan itu, aku berencana untuk terus membuat buku-buku bergambar tentang para dewa dan kesatria serta semacamnya untuk sementara waktu.

Aku telah banyak berpikir sementara aku berbaring sakit di tempat tidur. Terutama tentang senjata sihir yang Ordo Kesatria gunakan saat melawan trombe, berkat ilahi, dan Ritual Penyembuhan. Tongkat pendek berpendar yang mereka semua miliki sepertinya adalah katalis untuk menggunakan sihir, jadi menggunakan mana untuk mengubah bentuknya cukuplah mudah. Tapi saat berurusan dengan pemberkatan, ritual, dan penggunaan sihir berskala besar, menjadi hal yang esensial untuk menggunakan nama para dewa. Semua doa-doa sulit yang harus kuhafalkan berkaitan dengan mereka, sama halnya dengan yang digunakan para kesatria untuk memperkuat senjata mereka dengan berkat Dewa Kegelapan. Aku bahkan memberikan mereka sebuah berkat tanpa sengaja hanya dengan menyebutkan nama salah satu dewa dalam doaku.

Sederhananya, dalam lingkungan bangsawan, adalah hal yang benar-benar vital untuk mempelajari nama-nama para dewa untuk melakukan sihir apapun secara signifikan.

“Para bangsawan harus mempelajari nama para dewa, mau tidak mau. Dan para pemilik toko besar yang memiliki koneksi dengan bangsawan harus menghafalkan nama para dewa juga, ‘kan? Aku ingat kau menyebutkan nama seorang dewa saat menyalami Kepala Pastor, Benno. Kurasa kita bisa menjual buku-buku kita ke bangsawan dan pemilik toko kaya kalau kita menekankan pada akan seberapa produktifnya mereka untuk mempelajarinya.”

“...Kau sudah belajar lebih banyak tentang bangsawan sedikit demi sedikit di sana. Kalau itu yang kau pikirkan, harus kukatakan kau mungkin ada benarnya. Tapi buku-buku itu tidak terlihat bagus saat ini. Kau benar-benar harus mengusahakan untuk mendapatkan sampul kulitnya,” kata Benno.

Tapi aku menggelengkan kepala. “Tidak, cukup seperti itu saja. Kurasa akan lebih baik bagi siapapun yang menginginkan sampul kulit untuk memesannya saja sendiri dari lokakarya kulit yang ada untuk membuat sampul bukunya.”

“Alasanmu?” tatapan Benno menjadi tajam, mata merah gelapnya bersinar penasaran.

Aku mengacungkan satu jari, menunjuk ke langit-langit. “Pertama-tama, untuk membagi beban kerja. Kalau kau memesan sampul kulitnya sendiri lewat Firma Filberta, kau akan harus memesan semuanya dari lokakarya yang sama. Kurasa menaruh terlalu banyak beban pada satu lokakarya tidak akan bagus untuk kualitas atau waktu pengiriman. Prinsip kompetisi ekonomi sangatlah penting di sini.”

“Oh ya, kau benci eksklusifitas dan semacamnya.”

Benno sepertinya telah menginterpretasikan dari diskusi kami tentang restoran Italia bahwa aku sangat tidak suka memiliki lokakarya khusus. Akan tetapi, aku tidak benci ide tentang itu.

“Aku sebenarnya berpikir tidak masalah untuk memiliki lokakarya pilihan yang jadi langgananmu, tapi tidak saat itu mencegahmu untuk memesan dari lokakarya lain bahkan saat kau tahu lokakarya pilihanmu tidak akan bisa menangani semua pekerjaan yang didapat. Belum lagi aku berpikir dengan membiarkan satu lokakarya memonopoli semua pekerjaan akan menimbulkan banyak konflik,” aku mengerucutkan bibir, dan Benno mendengus.

“Berikutnya?”

“Kedua, untuk membiarkan pembeli menata bukunya sesuai selera mereka,” lanjutku, sekarang dengan jari kedua yang teracung. “Kalau mereka akan menghabiskan begitu banyak uang pada satu buku, mereka pasti akan menginginkannya sesuai yang mereka suka, ‘kan? Kurasa pembeli akan lebih puas kalau kita membiarkan mereka untuk memesan sendiri jenis sampul yang mereka suka. Dengan begitu mereka tidak akan perlu melepas sampul yang kita buat untuk digantikan dengan sampul mereka. Buku-buku yang dibuat di lokakarya kita hanya akan diikat dengan benang, jadi mudah untuk melepas dan menyesuaikannya.”

Sementara aku menjelaskan, aku memikirkan kumpulan buku kami yang kedua. Niatku adalah menggunakan lem kulit yang telah kuusahakan habis-habisan saat membuatnya, tapi kalau kami akan membuat buku dengan pemikiran itu akan dikustomisasi, akan lebih baik untuk tetap mengikatnya dengan benang.

“Yang ketiga adalah waktu. Akan makan waktu lebih banyak untuk membuat buku kalau setiap buku memerlukan sampul kulit mewah. Kunci kekuatan Lokakarya Myne adalah dapat memproduksi sekumpulan besar buku yang sama dalam jangka waktu yang pendek, yang mana akan dirusak oleh waktu yang diperlukan untuk membuat sampul kulit. Aku lebih baik menghabiskan waktu tersebut untuk membuat buku jenis lainnya.”

Aku lebih memperhatikan kuantitas buku di dunia ini daripada memastikan setiap buku adalah hasil tempaan karya seni yang indah, jadi aku akan benci setiap buku yang memerlukan waktu panjang untuk dibuat. Ini murni penilaian bias pribadiku, tapi tetap saja, aku tidak goyah soal itu.

“Keempat adalah harga. Kalau buku-bukunya tidak murah, basis pembeli kita yang sejak awal kecil tidak akan berkembang, dan hal yang paling penting bagi kita sejak awal adalah menjual buku-buku itu. Belum lagi, bahkan bangsawan miskin yang hanya menginginkan gengsi karena memiliki buku bisa membuat alasan kurangnya sampul dengan mengatakan bahwa lokakarya pilihan mereka sibuk, dan aku yakin ada pembeli di luar sana yang hanya peduli dengan isi buku, tidak dengan penampilannya.”

Benno berkerut saat aku selesai menyebutkan semua alasan kenapa aku tidak ingin memberikan sampul kulit pada buku.

“Aku mengerti kalau kau ingin menjual buku semurah mungkin untuk mengedarkannya sebanyak mungkin. Sayang sekali itu benar-benar kebalikan dari apa yang seorang pedagang akan lakukan. Aku ingin mendongkrak harganya setinggi mungkin dan mendapatkan semua keuntungan yang bisa kudapat.”

Menurut Benno, adalah hal yang umum untuk fokus pada estetika visual untuk meningkatkan nilai suatu produk. Harganya akan naik sampai-sampai pembeli nyaris tidak bisa membelinya untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin.

“...Apa caraku tidak akan berhasil?”

“Kalau kau hanya berkutat dengan kota ini maka kemungkinan tidak, tapi sebenarnya itu ide yang lumayan kalau kau memikirkan untuk menjualnya ke seluruh negeri. Kau hanya perlu fokus pada betapa berbedanya mereka dari buku-buku yang ada.” Benno memejamkan matanya sekilas, kemudian menatapku dengan pandangan oportunis seorang pedagang.

“Aku berbicara berdasarkan instingku sebagai seorang pedagang saat ini, tapi... aku punya firasat bahwa saat berkaitan dengan buku, aku sebaiknya membiarkanmu melakukan apa yang kau mau sebisa mungkin. Aku hanya mendengar alasanmu, karena ini adalah wilayah baru untuk semua orang,” katanya, dengan demikian mempersilakan aku untuk menjual buku-bukuku yang diikat benang apa adanya.

“Baiklah kalau begitu, ayo tentukan harganya serendah yang kita bisa sambil mempertahankan titik impasnya."

“Tidak, kita masih akan mengambil keuntungan di sini. Sebarkan buku sambil tetap menghasilkan uang, bodoh.”

...Grr, selalu tentang keuntungan saat berurusan dengan Benno.


Lutz kembali dengan sebuah tas penuh dengan buku tepat setelah kami menyelesaikan urusan dokumennya. Aku menjual semuanya pada Benno, dan dengan demikian aku mendapatkan tiga koin emas besar. Di satu sisi aku sedih karena masih cukup lama sebelum buku bisa dijual dengan murah, tapi di sisi lain aku lega mendapatkan sejumlah uang lagi. Aku bisa menggunakannya untuk membeli sedikit lebih banyak makanan untuk diriku sendiri dan panti asuhan sebelum salju mulai turun.

“Myne, kita akan pergi ke Serikat Pedagang.”

Benno menyuruh Lutz membawa buku-buku itu dan dia menggendongku seperti yang biasanya dia lakukan saat kami menuju ke Serikat. Begitu kami melangkah ke luar, kami disambut oleh pemandangan berbagai kereta yang melintas, dimuati dengan tanaman hasil pertanian. Para petani menjual hasil panen mereka sementara kota mulai bersiap untuk musim dingin, dan karena ada banyak orang yang membeli dalam jumlah banyak, jalanan menjadi jauh lebih sibuk dibanding biasanya. Udara dipenuhi dengan bau tak sedap dari orang-orang yang membuat lilin lemak hewan.

“Sebenarnya, Benno—menurutmu bangsawan akan membeli lilin yang tak berbau?”

Kudengar bangsawan-bangsawan kaya menggunakan lilin yang terbuat dari lilin lebah, tapi mungkin bangsawan yang ingin alternatif yang lebih murah akan tertarik dengan lilin biasa yang tidak berbau. Aku menanyakan pendapat Benno sambil memikirkan lilin herba yang kami buat di panti asuhan, dan alisnya langsung terangkat naik saat menatapku dengan tidak percaya.

“Lilin yang tidak berbau, katamu?”

“Oh, Myne, apa kau membicarakan lilin-lilin yang kau garami kemudian campurkan herba? Aku sendiri belum menggunakannya, tapi lilin-lilin itu memang kurang berbau dibanding yang biasanya.”

“Lutz! Kau tidak mengatakan padaku soal itu!” omel Benno, yang membuat mata sewarna giok Lutz melebar.

“Apa...? Saya sudah memberitahukannya saat memberikan laporan tentang persiapan musim dingin. Kurasa Anda mungkin mengabaikannya karena begitu fokus dengan lem kulit.”

“Aaah... Bisa jadi.”

Lem kulit jauh lebih menarik bagi Benno daripada lilin, begitu menarik sampai itu mendominasi perhatiannya. Lem kulit sudah ada di dunia ini, tapi orang-orang biasanya hanya membeli apa yang mereka perlukan saat mereka benar-benar harus melakukannya, dan tidak ada orang yang membuatnya sendiri di luar lokakarya yang membutuhkan lem tersebut untuk produk mereka.

“Di lingkungaku tidak ada orang yang menggarami lilin-lilinnya karena mereka miskin, tapi aku penasaran apakah orang-orang kaya menggarami lilin mereka. Apakah lilin yang kau gunakan berwarna kuning, Benno? Atau warnanya putih?”

“Semuanya kuning terang, karena setengah lemak dan setengah lilin lebah.”

“Itu artinya bahkan orang kaya pun tidak menggarami lilin mereka kalau begitu.”

Benno pernah mengatakan bahwa dia menggunakan uang untuk mengurus sebanyak mungkin persiapan musim dinginnya. Kalau dia tidak tahu soal lilin yang digarami, aman untuk mengatakan kalau tidak ada satu pun juga orang di kota yang tahu.

“Aku membeli lilinku alih-alih membuatnya, jadi kau sebaiknya menjual info itu pada lokakarya lilin atau serikat.”

“Baiklah, aku akan pergi ke sebuah lokakarya lilin di musim semi untuk menjual informasi itu, kemudian meminta mereka membantuku untuk membuat kertas stensil lilin.”

Sementara kami terus membicarakan kertas, kami melewati lantai dua yang sibuk di Serikat Dagang dan naik ke lantai tiga. Saat Benno berbicara dengan resepsionis di situ tentang mendaftarkan Serikat Percetakan, Freida muncul dari belakang ruangan mengenakan pakaian magangnya, kuncir duanya berayun saat dia menyunggingkan seulas senyum kecil. Mungkin karena dia telah tumbuh besar sejak terakhir kali aku melihatnya di musim panas, dia semakin terlihat seperti seorang dewasa daripada yang kuingat. 

“Ahah! Senang bertemu denganmu, Myne.”

“Lama tidak bertemu, Freida. Bagaimana penjualan pound cakenya?”

Terakhir kali aku bertemu Freida adalah saat acara pencicipan pound cake di musim panas. Itu telah menjadi sebuah kesuksesan besar, dengan nama “pound cake” dan ragam rasanya yang menyebar ke penjuru kelas atas seperti kobaran api, melesatkan reputasi Freida dan Leise dalam prosesnya. 

“Semuanya terjual dengan sangat luar biasa—bahkan para bangsawan sangat menyukainya. Banyak yang bahkan menanyakan apakah aku punya ide kue lainnya. Myne, apa kau mau memenuhi permintaan mereka? Aku akan membeli resepnya sesuai harga pasar,” kata Freida sambil tersenyum.

Aku melihat Benno. Begitu kami melakukan kontak mata, dia memberiku tatapan serius yang langsung kupahami sebagai jawaban tegas “tidak”. Meski begitu, sejujurnya, aku mungkin akan menjual padanya sedikit resep saat ini juga kalau aku masih kekurangan uang. Mendapat kelonggaran dalam hal keuangan adalah hal yang sangat penting.

“Kurasa Benno mungkin akan membunuhku kalau aku melakukannya, dan aku punya cukup uang saat ini, jadi mungkin lain waktu.”

Dia pasti telah menduga bahwa Benno tidak akan memberikan izin, karena dia hanya menaruh sebelah tangannya di pipi dan berkata “Oh ya sudahlah” tanpa benar-benar terlihat kecewa.

“...Aku jadi semakin khawatir saat mendengarmu masuk ke biara, tapi bisa kulihat bahwa kau baik-baik. Apakah panas dari Kondisi Pelahapmu sudah mereda? Apa kau sudah menemukan seorang bangsawan untuk melakukan perjanjian?”

“Terima kasih telah memikirkanku. Kondisi Pelahapku saat ini baik-baik saja, tapi aku pasti juga tidak akan melakukan perjanjian dengan bangsawan. Aku lebih baik bersama dengan keluargaku.”

“Oh, benarkah? Tentu sudah banyak yang mengajukan permintaan padamu,” kata Freida, kepalanya meneleng bingung.

Aku pun sama bingungnya; tidak ada satu bangsawan pun yang mengajukan permintaan untukku atau apapun yang semacam itu. “Tidak ada yang mengajukan permintaan untukku, dan aku tidak berniat untuk melakukan perjanjian dengan siapapun juga lagipula. Karena kau tahu, aku akan punya adik bayi musim semi nanti. Bagaimana mungkin aku melakukan perjanjian dengan bangsawan saat aku akan menjadi seorang kakak?” Kalau aku melakukan perjanjian sekarang, aku bahkan tidak akan bisa melihat wajah si bayi. Itu akan sangat keterlaluan.

“Wah wah, selamat. Katakan pada ibumu kalau aku mengharapkan yang terbaik untuknya. Kebetulan, mampirlah ke rumah saat kau ada waktu. Leise sedang menunggumu."

“...Mm, kurasa aku akan sibuk sementara waktu ini, Ada  terlalu banyak hal yang harus kulakukan.”

Aku benar-benar sibuk sejak aku mulai bolak-balik dari dan ke biara. Mengecualikan hari libur saat aku sakit, aku begitu sibuk sampai-sampai tidak ada hari di  mana aku bisa bersantai di rumah saja.

“Apakah serikat baru yang akan kau buat ini ada kaitannya dengan alasan kenapa kau begitu sibuk, Myne?”

“Uh huh. Inilah hal yang paling ingin kulakukan, jadi...”

Kami menggunakan kertas tebal sebagai stensil saat ini, tapi aku ingin bergerak maju ke percetakan mimeograf yang seharusnya. Dan jika mungkin, aku ingin mencoba-coba percetakan tipe yang bisa digerakkan juga. Aku masih punya banyak sekali pekerjaan untuk dilakukan dalam meningkatkan kertas, belum lagi tintanya. Pikiranku terpaku pada buku, dan sekalipun aku sibuk, aku masih sangat bersenang-senang.

“Itu adalah hal yang paling ingin kau lakukan...? Apa itu berhubungan dengan buku, kalau begitu?”

“Yep! Aku menyelesaikan buku pertamaku. Aku akan membuat dan menjual mereka sebanyak mungkin. Kau sebaiknya membelinya juga, Freida.”

“Aku takut aku tidak bisa menjanjikan apapun sebelum melihatnya dulu,” balas Freida dengan seulas senyum tipis dan sebuah gelengan kepala.

Bahkan pertemanan kami tidak cukup baginya untuk membeli sebuah buku hanya berdasarkan info lisan saja. Tepat seperti yang kuduga dari seorang calon pedagang yang bahkan membuat Benno waspada.

Aku mengambil sebuah kitab suci anak-anak dari tumpukan yang Lutz bawa dan menyodorkannya pada Freida. Dia memiliki kecerdasan bisnis seorang gadis kaya yang dibesarkan menjadi seorang pedagang, dan aku ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mendengar pendapatnya tentang ini.

“Ini, salah satu bukunya. Bagaimana menurutmu?”

Benno pastinya juga sama-sama tertarik dengan pendapatnya seperti aku, karena dia berhenti mengisi formulir dan mengalihkan tatapannya pada Freida. Dia melihat buku itu dengan mata menyipit, menilainya dari sudut pandang seorang pedagang.

“...Ini memang benar sebuah buku,” Freida mengamati sambil membalik-balik halamannya. “Tapi ini hanya bagian dalamnya, ya?”

Aku telah menaruh bunga-bunga di bagian sampul, tapi sepertinya sejauh ini orang-orang yang terbiasa dengan buku, sampul kertas sama saja halnya dengan tidak ada sampul sama sekali.

“Halaman dengan bunga itu adalah sampulnya. Rencananya adalah pembeli memesan jenis sampul yang mereka mau dari lokakarya pilihan mereka. Mereka yang tidak punya lokakarya pilihan bisa meminta rekomendasi dari Firma Gilberta.”

“Adalah hal yang bagus tidak perlu bergantung pada lokakarya pilihan Firma Gilberta,” sahut Freida sambil melirik Benno. “Berapa harga buku ini kalau begitu?”

Aku menoleh pada Benno agar menjawabnya untukku. Aku tidak tahu seberapa besar keuntungan yang mau dia ambil dari buku-buku itu.

“Satu emas kecil dan delapan perak besar. Berminat?”

“Ya, tentu saja.”

Freida segera mengetukkan kartu dengan Benno untuk membeli kitab suci anak-anak itu. Aku terkesan bahwa dia bersedia untuk membeli buku itu secara langsung, tapi lebih terkesan lagi bahwa Benno telah mengincar untuk mengambil untung tiga perak besar dari setiap buku. Mungkin aku sebaiknya menaikkan harganya agar mendapat keuntungan sedikit lebih banyak untuk diriku sendiri juga. 

Sementara aku lesu karena kecewa, kesal pada diriku sendiri karena tidak menjadi pedagang yang cukup baik, Freida menutup buku bergambar itu dan tersenyum.

“Myne, kusarankan buku bergambarmu berikutnya adalah tentang dewa dari setiap musim. Aku cukup kesulitan mengingat para dewa bawahan dari Lima Yang Abadi.”

Buku bergambar yang telah kubuat membahas tentang raja dan ratu para dewa, ditambah lima dewa inti yang membentuk siklus musim. Banyaknya dewa-dewa bawahan dari setiap Lima Yang Abadi sama sekali tidak muncul. Dengan memberitahukanku apa yang dia inginkan dari buku-buku, Freida telah mengatakan apa yang mungkin para anak-anak bangsawan dan orang-orang kaya ingin ketahui. Permintaan seperti itu memudahkanku untuk memutuskan buku apa yang akan dibuat berikutnya.

“Terima kasih untuk idenya, Freida. Buku bergambarku berikutnya akan tentang para dewa bawahan.” Aku menuliskannya pada diptych-ku, yang mana membuat Freida melebarkan matanya sedikit. Dia mengamatinya, dengan mata yang terkunci pada stylus.

“Myne, apa itu? Apa Benno sudah mendapatkan hak ciptanya?”

“...Kau benar-benar punya hidung tajam untuk mengendus keuntungan, gadis kecil.” Benno menghela napas berat kagum saat memandang ke bawah pada Freida, yang membalas menghela napas kecewa.

“Penyesalan terbesarku adalah kau menemukan Myne sebelum aku, Benno. Hidung yang tajam tidak ada artinya saat yang kau inginkan berada di luar jangkauan.”

---o0o---


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya