JALAN UNTUK MELANGKAH DENGANMU, JALAN MENUJU MIMPI

(Part 4)

(Translator : Hikari)


Saat liburan singkat musim dingin usai, semester terakhir bagi Sorata dan siswa kelas tiga lainnya pun tiba.

Di jam bebas setelah upacara pembukaan, semua orang terlihat mempersiapkan mental mereka untuk kelulusan. Bersama dengan rasa tidak sabaran untuk ujian, dia merasakan sesuatu seperti kesedihan mendalam atas waktu yang tersisa. Perpaduan perasaan ini menjadi kegelisahan dan terbawa ke ruang kelas.

Teman-teman sekelas yang wajahnya ditemui setiap hari. Tinggal dua bulan lagi yang tersisa di kelas ini. Terlebih lagi, kebebasan sekolah akan segera dimulai. Berapa banyak waktu lagi bagi anggota kelas ini untuk berkumpul?

Pada akhir jam bebas, Sorata tidak pergi menjemput Mashiro dan mengalihkan kakinya ke atap.

Dia menyusuri anak-anak tangganya selangkah demi selangkah.

Dia diam menjejakkan kaki di langkah terakhir dan berdiri di depan sebuah pintu logam.

Mendorong pintu berat itu dengan tubuhnya, dia merasakan angin yang dingin.

Tapi, begitu dia melangkah keluar, suasana hatinya menjadi ringan di bawah langit biru yang membentang di depan matanya.

"U~n"

Langit yang dia lihat memanjang itu tembus pandang di segala arah.

Tidak ada orang lain selain Sorata. Meskipun dia mengenakan mantel, musim dingin kali ini terasa dingin. Seperti yang diduga, kaki-kaki para murid juga menjauh.

Sorata berbaring di bangku terdekat dari pintu masuk. Hanya langit yang ada dalam pandangannya. Tidak ada yang mengganggu. Dia merasa suara angin lebih dekat daripada saat dia berdiri.

Saat dia melihat awan-awan tipis yang berarak, dia ingin mengejarnya.

Kesadarannya perlahan memudar dari tubuhnya.

Dia merasa suara pintu yang terbuka berbaur dengan angin.

Pandangan Sorata mendadak menjadi berbayang. Saat dia berpikir mungkin itu karena angin,

“Memangnya tidak masalah membolos di tempat seperti ini?”

Itu adalah Kanna yang menatap wajahnya.

Dia menahan rambutnya yang tertiup angin.

“Kalau kau tidak pulang lebih cepat dan mengerjakan game, Akasaka-senpai akan marah lagi.”

“Yah... Dia sepertinya selalu terlihat marah.”

“”Itu salah?”

“Tidak salah juga, sih."

“Kalau begitu kau sebaiknya cepat pulang.”

Entah kenapa, hari ini Kanna sepertinya dalam suasana hati yang bagus.

“Apa terjadi sesuatu yang bagus?”

"... ..."

Kanna berwajah mencurigakan. Tapi, apa dia mendapat berita menyenangkan?

“Apa aku terlihat senang?” tanyanya.

“Tidak biasanya Kanna-san berbicara padaku.”

"..."

Dibilang begitu, Kanna terlihat berpikir.

“....Itu karena Sorata-senpai.”

"Huh? Aku?"

“...Karena Senpai sedang kesulitan, jadi suasana hatiku bagus.”

“Aku mengerti...”

Dia langsung mengerti bahwa Kanna berkata begitu karena Sorata sedang bertengkar.

“Tapi aku sedang menunggu Mashiro sekarang.”

“...Itu tugasmu, ya ‘kan?”

Kalau dia membaliknya, itu artinya “Bukan karena kau pacarnya”. Dia menebak Kanna mencoba berkata demikian.

Sorata pun menjelaskan.

“Saat ini, Mashiro sedang pergi bersama Chihiro-sensei ke kantor kepala sekolah.”

Pada akhirnya, selama libur musim dingin, minat para pembacara tentang Mashiro tidaklah mereda. Malahan, itu membantu buku-bukunya terjual habis di toko buku manapun dan kondisinya terus meningkat. Banyak komentar yang cenderung lebih tertarik dengan Mashiro secara individu daripada hasil karyanya, seperti “Ini orang yang sama dengan si pelukis jenius, ‘kan?”, “Apa dia ada di Jepang sekarang?”, “Apa tidak ada foto terbaru?”, “Tidak, malahan, umur segini adalah yang terbaik”, dan tulisan-tulisan yang tidak berkaitan pun terus bertambah.

Sorata pun menemukan komentar remeh di antaranya.

PAMERAN SENI UNIVERSITAS SUIMEI MEMAJANG KARYA SHIINA MASHIRO

Begitulah.

Sebelumnya, Mashiro dimintai pihai universitas untuk mendonasikan karyanya yang digambar di kelas.

Sebenarnya, sepertinya ada beberapa pembaca yang datang untuk memastikannya saat libur musim dingin. Begitu banyak foto lobi pameran universitas yang terpampang. Yang jadi masalah, komentar-komentarnya seperti “Ada SMA di situ. Apa dia murid di sana?”.

Kemarin adalah sehari sebelum upacara pembukaan.... Mashiro kembali dari Inggris dan Ayano datang untuk mendiskusikan situasi berikutnya.

“Apa Sorata tidak masalah?”

Mashiro yang menerima penjelasan dari Ayano, hanya sekali menanyai Sorata.

“Kurasa akan lebih baik pergi dengan Iida-san.”

"... ... Ya, aku mengerti."

Bagi orang lain, kelihatannya Mashiro tidak yakin. Tapi tetap saja, Mashiro tidak pernah mengutarakan ketidaksetujuannya atas keputusan itu.

Dan, hari ini pun tiba. Mashiro menjelaskan situasinya ke sekolah bersama Chihiro. Mereka mengatakan kepada kepala sekolah bahwa dia akan absen dari sekolah selama beberapa lama.

Sorata sedang menunggu pembicaraannya selesai. Seperti yang Kanna katakan sebelumnya, “Tugas Mashiro”. Sorata harus mengantar Mashrio pulang ke Sakurasou.

Ayano seharusnya datang untuk menjemputnya saat siang.

“Kenapa Kanna-san datang ke tempat seperti ini?”

“Tidak peduli apa yang kulakukan di manapun, kurasa itu tidak ada hubungannya dengan Sorata-senpai.”

“Kau mungkin melakukan sesuatu yang berbahaya seperti malam itu.”

“Sejak saat itu, aku tidak pernah melakukannya.”

Kanna jelas-jelas menggerutu.

“Gara-gara dirimu, aku sedang dalam masalah karena tidak bisa melepaskan stress.”

“Jadi berhentilah melepaskan celana dalammu. Itu tidak baik bagi jantung.”

"..."

Sepertiinya dia tidak benar-benar menyangkalnya. Mugnkin itu adalah kebiasaan yang belum bisa diperbaiki.

“Yah, tapi itu memang benar.”

".........."

Menatap lewat kacamatanya, pandangan Kanna terlihat ragu.

“Ada sesuatu yang harus kukatakan pada Kanna-san.”

Kanna kembali dari rumah orangntuanya semalam. Sorata sibuk dengan Mashiro, jadi dia belum bisa berbicara tentang skenario.

“...Ada apa?”

Mempersiapkan diri secara terang-terangan. Jika ini adalah sesuatu yang tidak ingin didengar, ada perasaan kuat untuk kabur.

Sorata mengangkat tubuh bagian atasnya karena ini bukanlah urusan yang bisa dibicarakan sambil berbaring.

“Baiklah, silakan duduk.”

Sorata mengosongkan tempat untuk Kanna. Walau begitu, Kanna duduk sambil terlihat waspada.

“Kanna-san, apa kau tertarik dengan skenario game?”

"... ..."

“Aku berbicara tentang menambahkan skenario ke dalam game yang kubuat saat ini. Aku ingni Kanna-san menuiisnya.”

“Apa kau tidak waras?”

Reaksi pertamanya dingin.

“Aku bertanya pada Kanna-san yang sudah menerbitkan sebuah karya sebagai seorang novelis, jadi aku masih waras untuk berkata begitu.”

“Bukan itu maksudku... ...kau melakukannya dengan sengaja, ‘kan?”

“Memang benar kalau aku ingin Kanna-san yang menuliskannya, dan memang benar juga bahwa rasanya mungkin ini adalah permintaan yang tidak waras.”

“Kenapa aku?”

“Sejujurnya, awalnya aku meminta Jin-san.”

“Apa dia menolak?”

Sorata mengangguk pelan.

“Jin-san mengatakan padaku bahwa sebaiknya aku meminta pada Kanna-san.”

“Apakah aku pengganti untuk Mitaka-san?”

“Tentu saja tidak.”

Sorata langsung menjawab.

“Aku tidak menyadari hal itu saat berbicara dengannya, tapi... kurasa mungkin saja Jin-san sengaja menolak.”

“Dengan sengaja?”

“Kelihatannya Kanna-san dinilai sesuai untuk pekerjaan ini... Kupikir skenario yang Kanna-san tulis meningkatkan kualitas game-nya daripada kalau aku yang menulisnya. Kurasa begitu.”

"........"

“Jadi, sekarang aku ingin meminta Kanna-san. Aku merasa gelisah dan aku serius.”

“Aku... Aku tidak pernah menulis skenario.”

“Kalau kau ingin menulisnya, akan sangat membantu untuk memikirkan apa yang akan ditulis. Aku akan memberimu materinya saat di rumah. Aku akan menjelaskan.”

"..."

Ada kemungkinan dia menolak.

“Kapan deadline-nya?”

“Akan sangat membantu kalau teksnya selesai di pertengahan Februari.”

“Itu mendadak sekali.”

Sorata mendapatkan tatapan dingin darinya. Tapi sepertinya di balik mata Kanna nampak senang.

Ngomong-ngomong, walaupun memberikan pernyataan negatif, suara Kanna tenang. Apakah dia sedang dalam suasana hati yang bagus sekarang? Karena Sorata dan Mashiro tidak akur...

“Senpai, menurutmu aku bisa melakukannya?”

“Ini pendapatnya Jin-san, tapi novel Kanna-san memiliki dongeng sebagai bagian dasarnya, jadi kurasa kau bisa melakukannya. Misalnya seperti “Hari Minggu Cinderella” dan “Apel Beracun Sang Pangeran”.”

"Tsu!"

Kanna yang membelalakkan matanya, memalingkan wajah dari Sorata. Dia menunduk dengan tidak nyaman.

“Apa kau membacanya?”

“Aku ingin kau memberitahukanku saat itu diterbitkan.”

“...Aku tidak bisa mengatakannya.”

Kanna mencengkeram tangannya yang secara alamiah berjejer di atas pahanya.

"........."

“’Kenapa?’, kau tidak bertanya begitu karena kau membacanya, ‘kan?”

"Yeah"

Sorata bangkit dari bangku dan memegangi pagar sebelum mendekat.

Di novel yang baru, perasaan yang Kanna miliki saat ini terlihat jelas. Perasaannya tercurah sampai dapat memahami Kanna lebih dalam lagi.

Jadi, ada yang harus Sorata katakan.

"Kanna-san"

"Tolong jangan katakan!"

Jeritan penolakan. Mudah untuk menggambarkan perasaan itu. Tapi, tidak akan ada yang berubah. Itu akan tetap seperti itu.

"Maaf."

"... Tolong jangan meminta maaf."

Suara yang Sorata pikir mati-matian diucapkan pun terdengar. Itu mengandung perasaan sedih. Kanna mengerti bahwa Sorata sedang memohon, jadi dia tidak berkata apa-apa lagi.

Karena itulah Sorata membuka mulutnya tanpa ragu-ragu.

“Aku menyukai Mashiro.”

“Bukankah kalian bertengkar?”

Suaranya sedikit serak.

"Ya."

“Sekalipun kalian berdua tidak punya waktu untuk berkencan?”

Sebuah pertanyaan yang lebih kuat daripada sebelumnya.

"Ya."

“Tidakkah kau mengerti, Sorata-senpai?”

Perlahan, suara Kanna yang tenang pun berubah.

"Ya"

“Walaupun kalian tidak bisa sepakat dengan hal seperti ini?”

Sorata merasakan perasaan Kanna meledak Hal itu tersampaikan dengan sangat kuat.

"Ya."

“Kalau begitu, sekailpun nantinya akan putus!?”

Emosi yang dia tahan-tahan pun akhirnya membuncah.

Sorata memandangi Kanna. Gadis itu menatapi Sorata dengan mata yang seperti kucing yang dibuang.

“Ya...aku tetap menyukai Mashiro.”

“Yang benar saja.”

“Aku sangat menyukainya.”

“Ini parah!”

“Benar.”

“Aku belum mengatakan apapun!”

"..."

Kanna mati-matian memohon.

“Aku belum mengucapkan satu kata pun kalau aku ingin menjadi pacar Senpai!”

"..."

“Kenapa kau tidak biarkan saja aku untuk tetap memikirkannya?”

Kalimat terakhir muncul pada akhirnya. Kanna tertunduk dan menanis tersedu-sedu. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan terus berkata. “Ini kacau, sangat kacau.

Setiap kali mendengar gumaman tersebut, dada Sorata sangat sakit.

Tapi Sorata selalu berpikir bahwa dia seharusnya tidak membiarkan hal ini begitu saja. Dia berpikir bahwa ini tidak akan menguntungkan siapapun. Bagi Sorata dan bagi Kanna... ... Mungkin untuk orang lain...

Dengan pulang ke rumah orang tuanya, Sorata dapat menemukan kembali perasaannya.

Dia tidak pernah berpikir bahwa ayahnya akan mendorongnya pada kesimpulan itu...

Hal yang penting adalah Sorata mencintai Mashiro. Walaupun hal pentingnya berbeda dari Sorata, itu berarti Sorata juga menyukai Mashiro. Sekalipun mereka bertengkar, dia berpikir bahwa pertengkaran itu pun dalan “cinta”. Adalah hal yang bagus untuk berpikir seperti itu.

Dari isakan Kanna, suara getaran handphone pun muncul. Saat dia mellihatnya, itu adalah sebuah email dari Mashiro.

- Aku sudah selesai

Pesan singkat.

- Tunggu di depan kantor kepala sekolah. Aku akan menjemputmu. 

Dia menjawabnya dan memasukkan handphone ke dalam saku.

“Kanna-san, aku harus pergi.”

"........"

Kanna menangis dalam diam. Bahkan meskipun Sorata memanggil saat ini, itu akan berdampak sebaliknya.

Kembali masuk ke gedung sekolah tanpa menoleh.

Dia melihat semacam bayangan besar di sudut penglihatannya. Di tempat yang baru saja dia masuki, ada dua orang yang sedang berdiri seperti ninja. Iori dan Rita.

“Apa yang sedang kalian lakukan?”

“Aku melihat Kanna pergi ke atap mengikuti Sorata, jadi aku mengikuti Iori.”

"I saw Kanna go to the rooftop following Sorata, so I followed Iori."

Rita mengakui.

"Asal kalian tahu, ya...."

Sejujurnya, dosa tersebut tidak bisa dibatalkan. Akan tetapi, Sorata menelan keluhannya dan alih-alih menyambar leher Iori. Dia mencengkeramnya.

Di luar dugaan, dia menarik Iori dan membawanya ke atap.

"Ok, hei, Oh! Oh!"

Meskipun kebingungan, Iori berhasil mendarat. Dia mengangkat kedua tangannya seperti sedang senam gimnastik.

Kanna menyadari keributan itu dan menatap dingin Iori.

“Oh, tunggu. Ini hanya kebetulan!”

Sebuah kebohongan yang terlalu mudah untuk disadari.

Berikutnya, dia merapat ke tembok dengan Rita yang memutuskan untuk mengawasi.

“Menguping sambil menguntit... Kalian benar-benar rendah.”

Seperti menyembunyikan wajah menangisnya, Kanna mengusap air mata dengan tangan.

“Tapi, aku suka padamu!” 

Iori menjawab dengan luar biasa

“......Tolong perhatian alur percakapannya. Karena penggunaan konjungsinya konyol.”

Kanna kembali bersikap dingin seperti biasa karena rasanya bodoh untuk menangis.

“Jadi, ayo buat game besama-sama.”

“Apa kau sudah dengar cerita orang-orang?”

“Setiap hari, sempurna untuk wajahmu yang bersemangat.”

"........."

Kanna yang dikatakan bersemangat sudah jelas terlihat kecewa.

“Ini menarik.”

“Kau sering berkumpul dengan para senpai.”

“Itu tidak sopan.”

Tidak, dia tidak berpikir begitu.

"..."

Kanna terlalu repot untuk menekankan hal itu.

“Dragon-senpai, dia, dia itu seorang iblis, atau seorang dewa.”

"Yang mana sebenarnya ..."

“Bagaimanapun, yang ingin kukatakan adalah kalau kau melihatnya, kau akan menjadi musuh!”

“Tidak ada elemen semacam itu dalam percakapan sejauh ini.”

“Kukatakan padamu sekarang, setelah itu, aku merasa parah.”

"..."

Sepertinya pandangan dingin membekukan Kanna tidak berpengaruh pada Iori yang tidak memhamami situasinya.

“Kurasa gaya rambutmu yang sekarang lebih baik.”

".... Kau tahu apa?"

“Aku tidak suka pakaiannya, rok yang menggoda. Aku sama sekali tidak menyukainya.”

“Yang kau ucapakan barusan, apa yang sebenarnya kau bicarakan....”

Kanna kebingungan, namun Iori tidak peduli.

“Kalau begitu, bermain atau menonton sesuatu sendirian, aku akan mati karena sedih. Bisakah kau menghentikannya?”

“Kau tidak perlu melihatnya.”

“Jadi, ajak aku kali ini dan aku akan pergi denganmu.”

"Haa?"

“Karaoke, aku tidak pernah melakukannya. Aku ingin mencobanya sekali....”

“Sekalipun aku tidak punya teman untuk diajak main, aku tidak akan mengajakmu...”

Kanna benar-benar tercengang.

“Game capit-capit? Itu cukup bagus, itu sangat menyenangkan.”

“... ...boneka hewan yang kulempar waktu itu, kau mengambilnya.”

Pandangan yang mengarah ke suatu tempat. Selain itu, Iori tidak menyadarinya.

“Juga booth foto otomatis.” 

"... Haa"

Kanna mengjela napas dalam-dalam untuk menghentikan percakapan.

"A, apa?"

"...Baiklah"

"Ya?"

"Aku akan mempertimbangkannya.t"

"Huh? Benarkah!?"

Iori menunjukkan keterkejutannya dengan seluruh tubuh.

“Aku akan memberitahukan padamu skenario game-nya.”.

"Oh, Ok"

"Haa ..."

Sekali lagi, Kanna menghela napas dalam-dalam.

“Itu helaan napas yang tidak sopan.”

“Saat melihatmu, berpikir banyak, kurasa kau mencuci otakku.”

“Asal kau tahu, aku punya satu atau dua kekhawatiran.”

“Benarkah? Aku tidak bisa melihatnya.”

Benar-benar sikap yang tidak sesuai saat mengatakannya.

“Aku selalu berpikir bahwa aku sangat menyukai dada, tapi perhatianku tentang dirimu benar-benar tak terkendali. Aku tidak bisa tidur karena takut setiap malam.”

Iori berpikir bahwa dia tidak harus mengatakan hal-hal yang tidak diperlukan, tapi dia tidak bisa melakukannya. Semua hal yang dia pikirkan meluncur keluar dari mulutnya. Bahkan saat ditanya, dia menjawabnya tanpa berbohong.

“Jangan memikirkanku setiap malam. Rasanya mengerikan.”

“Itu mustahil.”

"Kenapa?"

“Sudah kubilang kalau aku menyukaimu, ya ‘kan?

"..."

Tapi Iori seperti itu. Dia penasaran apa Kanna sudah berhenti menangis. Itu karena Kanna tidak bisa menerima kenyataan bahwa pemuda itu bisa melihat wajah menangisnya dan ketahuan sedang patah hati.... Bahkan sekalipun Iori tidak tahu apa yang lawan bicaranya pikirkan, Iori akan mengutarakan perasaannya.... Dia tidak perlu takut bahwa dia mungkin ditertawakan dalam pikiran lawan bicaranya.

“Apa kau serius?”

Sebuah pandangan curiga terarah pada Iori.

“Kau pikir aku berbohong!?”

“Kurasa tidak ada laki-laki yang suka wanita jahat sepertiku.”

“Uwaa~ merepotkan~”

"Apa yang kau pikirkan tentang aku?”

Lebih banyak pertanyaan merepotkan lain yang muncul.

Iori menyilangkan lengan dan memiringkan kepala. Itu adalah pose sedang berpikir keras .

“Hmm~ Mungkin kurasa itu karena paha... Aah~ aku penasaran tentang dada saat aku kecil, tapi semakin besar, harus kukatakan aku jadi sadar dengan pesona dari bokong dan kaki. Bagaimana menurutmu?”

“... Kurasa kau bodoh.”

“Yeah, kurasa itu tidak buruk.”

Menatapi kaki Kanna, Iori mengangguk.

“Akan kukatakan padamu, aku benci kau.”

Ngomong-ngomong, Kanna sedang mencoba menyembunyikan pahanya dengan kedua tangan.

“Sudah kuduga, aku tahu sebanyak itu.”

“Kalau itu tidak masalah, kau bisa pergi denganku.”

Kanna mengalihkan pandangannya.

“Apa?”

“Sebagai gantinya, ambil satu boneka dari mesin capit, ya?”

“Apa? Ya? Serius!?”

Diajak begitu, Iori tercengang.

“Kau, apa kepalamu baik-baik saja? Apa karena terguncang gara-gara Sorata-senpai?”

“Kau sepertinya lebih suka kalau ada dokter yang memeriksa kepalamu sekarang.”

Tiba-tiba, Kanna mendekati Iori dan menginjak kakinya

"Wadawwwww!"

Iori berlutut dengan kaki yang terinjak.

“Berlebihan.”

Kanna memandang ke bawah dengan dingin.

“Kau, kau anak setan, ya ‘kan!?”

Dengan suara merintih, Iori mengangkat wajah. Di saat itulah, angin berhembus di atap dan rok Kanna tersibak.

Dalam situasi panik, Kanna menahan lipatan roknya dengan kedua tangan.

Tapi itu jelas terlambat. Sorata tidak bisa melihatnya sama sekali dari posisinya, tapi Iori sedang berlutut di depan Kanna, jadi pastinya terlihat.

“Kau punya celana dalam?”

Iori berkata tanpa berpikir.

Kanna menampar pipinya tanpa ragu.

“Cukup katakan! Baguslah! Kau memakai celana dalam!”

“I, Itu tidak bagus!”

Detik berikutnya, tidak perlu dikatakan lagi bahwa suara tamparan lainnya menyusul.

Setelah melihat percakapan antara Iori dan Kanna, Sorata perlahan menuruni tangga. Itu demi dirinya sendiri untuk pergi seperti ini sebelum Kanna menemukan dirinya mengintip. Dia tidak mau mendapat tamparan itu.

Rita mengikuti dengan segera di belakangnya. Cara berjalannya melompat-lompat dan suasana hatinya terlihat sangat bagus.

“Sorata, kau mengatakannya dengan sangat jelas pada Kanna.”

“Oh... ah... kalau ada cara untuk tidak perlu mengatakannya, aku pasti sudah melakukan itu.”

Karena dia tidak tahu, dia baru menyadari bahwa dirinya telah menyakiti lawan bicaranya. Dia memaksa Kanna, yang menolak untuk melangkah maju, untuk melangkah.

“Kurasa mungkin aku seharusnya membuat diriku sendiri tentang hal itu secepat mungkin.”

“Apa kau menyadarinya?”

“Kata Chihiro-sensei, itu juga adalah peran dari induk burung untuk menyadari kesalahpahaman anak-anak burungnya.”

“Apakah itu cerita tentang bayi-bayi burung pikirkan untuk pertama kalinya saat melihat induk mereka?”

“Aku melangkah begitu dalam ke rahasia Kanna. Dia berpikir aku sedikit spesial. Aku menerimanya.”

“Kurasa itu perselingkuhan cinta yang hebat, lho.”

“Tentu saja aku tidak akan menyangkal semuanya. Kurasa Rita benar.”

Ada hal yang perlu dicemaskan, dan perasaannya bertumbuh dari situ. Tapi itu tidak bertumbuh menjadi perasaan cinta.

Saat Sorata sampai di lantai dua, dia memutar arah kakinya ke kantor kepala sekolah tempat Mashiro menunggu. Dia datang bersebelahan dengan Rita.

“Itu adalah cerita tentang burung tersebut....”

Rita berbicara membatasi kata-katanya.

“Apa?”

“Apa Sorata sadar tentang itu?”

"..."

Dia tidak membalas. Dia tidak meresponi pandangan Rita yang meminta jawaban. Terus berjalan lurus ke depan. Tapi dia berpikir itulah balasannya.

“Wajahmu menunjukkan kalau kau sadar.”

Ya... seperti yang Rita pikirkan. Sebelum dia bicara dengan Chihiro... ... Sebelumnya, dia merasakannya samar-samar.

“... Bagi Mashiro, kurasa aku tidaklah spesial karena karakter dan penampilanku. Hal semacam itu sama sekali tidak ada artinya. Kurasa awalnya adalah “Tugas Mashiro”. Kupikir “Sakurasou” adalah keberadaan yang paling familiar.”

Sama halnya dengan hubungan antara anak burung dan induknya.

Tidak ada yang lain.

Yang selalu berada di sisi Mashiro adalah Sorata.

Tentu saja, dia tidak memikirkan itu sama sekali. Kalau memang seperti itu, dia yakin dia tidak bisa mengakui kisah itu. Sorata berpikir bahwa tidaklah mungkin untuk berwajah tenang dan membicarakan maslah ini dengan Rita.

Itu adalah salah satu alasan terbesarnya. Waktu yang dihabiskan dengan Mashiro di Sakurasou memperkuat hati Sorata hingga hari ini.

Hubungan yang dimulai dengan “Tugas Mashiro”. Di antara semuanya, Sorata terpukau oleh bakat Mashiro dan dapat memiliki tujuannya sendiri. Dia ingin bisa menyusulnya. Memadukan emosinya dan membuat pengakuan pada seorang gadis bernama Shiina Mashiro. Terkadang mereka menyakiti satu sama lain. Dia mengumpulkannya menjadi sebuah perasaan “cinta”. Bahkan bagi Mashiro, dia yakin itu juga yang terjadi. Dia baru terpikirkan itu untuk mempercayainya.

Ternyaa seperti itu... Jadi, dia tidak punya kecemasan.

“Tapi aku merasa harus memastikannya.”

“Memastikan?”

“Akhirnya, aku akan melepaskan “Tugas Mashiro”, kami akan meninggalkan Sakurasou... Aku penasaran apa kami bisa tinggal bersama.”

Sebuah alasan besar untuk mengikat mereka berdua bersama. Jika memungkinkan untuk bersama-sama, maka dia merasa dapat berkata menjadi seorang kekasih dengan baik.

Karena mereka mulai menjalin hubungan, berapa banyak waktu yang dihabiskan Sorata dan Mashiro? Secara spesifik, akhir tahun lalu. Periode dari akhir November sampai Natal. Kalau mereka berdua hidup di tempat yang berbeda, sepertinya akan ada lebih banyak hari di mana mereka tidak bertatap muka. Akan ada lebih banyak hari tanpa kata. Karena dalam kesibukan produksi game, dia harus kembali ke kehidupannya yang normal.

“Yang menghubungkan kami sampai saat ini adalah ‘Sakurasou’ dan ‘Tugas Mashiro’.”

Dan dia telah menyadarinya. Kalau bukan karena dua hal itu, dia pikir situasinya akan sama ketatnya dengan saat ini.

Mereka hidup di asrama yang sama bernama Sakurasou, jadi dia tidak menyadarinya. Setiap hari, adalah hal yang lumrah untuk melihat wajahnya, jadi dia pikir dirinya menjadi pacar Mashiro yang baik. Sampai hari Natal, dia berjanji untuk menahan diri jadi dia berhenti berpikir mendalam. Tapi, saat dia diberitahu Chihiro dan Jin, dia tidak tahu kenapa mereka berdua berkencan dan untuk alasan apa.

“... Jadi, apa Sorata pikir akan lebih baik mencoba menjaga jarak, makanya setuju membiarkan Mashiro pergi dengan Ayano?”

Bukan hanya itu alasannya. Itu salah satunya.

“Sekarang, walaupun kami dipaksa untuk berkencan, juga menghabiskan waktu bersama... Kurasa itu akan terasa sebagai tanggung jawab untuk melakukannya karena berkencan... Itu terlalu menyedihkan... Kurasa, itu seperti aku sedang terlalu banyak bermimpi. Tapi, karena aku dan Mashiro bersama-sama, aku tidak memerlukan hal lain selain alasan ‘aku mencintai dia’.”

"......."

Rita mengerjapkan matanya terhadap jawaban Sorata yang memikrikannya secara objektif.

“Sorata terlalu banyak bermimpi.”

“Sesuai dugaan?”

"Terlebih lagi, itu terlalu kecewek-cewekan."

“Jangan merasa senang dengan pemikiranmu...”

Hanya senyuman getir yang muncul.

“Tapi perasaan itu sangat menyenangkan. Karena itu adalah Sorata dan Mashiro. Kupikir itu adalah perasaan ekstra.”

“Aku bisa selamat kalau kau berkata begitu.”

“Dan kurasa aku memahaminya.”

Dia menanyai Rita dengan matanya.

“Sorata akan berubah.”

"Ah..."

“Mashiro sebaiknya juga menjadi dewasa.”

Saat Sorata menyadarinya, suara Rita terdengar penuh semangat.

“Tidak hanya mencoba membuat Sorata mengerti, aku harus ingat untuk mengerti Sorata.”

Dia berharap yang lain pun bisa melakukannya.

Sambil berpikir demikian, Sorata tertawa sedikit.