ASSASSIN DI DALAM DESA YANG HANCUR

(Translator : Zerard)


Tempat persembunyian mereka berdua yang mereka temukan adalah sebuah gudang yang setengah terkubur. Gudang itu pastilah tempat di mana rakyat jelata menyimpan makanan mereka dahulu kalah. Keseluruhan tempat ini mulai membusuk, namun ketidakasingan struktur ini tampak menenangkan bagi Gadis Sapi; dia mulai tenang.

“Para goblin mungkin sudah ke sini,” Goblin Slayer berkata, menggali isi tong hancur. Bahkan para goblin menolak untuk memakan sekam.

Mereka berdua kini telah terlindungi dari dingin di luar; gudang ini tidaklah bisa di sebut hangay, namun setidaknya tempat ini melindungi mereka dari angin dan salju. Gadis Sapi duduk di sebuah sudut, menghela. “Apa kita akan aman di sini?” walaupun Gadis Sapi tidak mengatakannya, di dalam pikirannya, dia menambahkan setidaknya untuk saat ini.

“Kita nggak bisa yakin.” Goblin Slayer duduk di samping pintu, mengenggam pedang yang menggantung di pinggulnya. Sesekali dia akan memiringkan kepalanya untuk melihat keluar. Untuk saat ini, yang hanya dapat mereka dengar adalah suara badai salju. “Mereka nggak cukup rajin untuk memeriksa tempat yang baru mereka datangi dua kali.” Dia berhenti, kemudian menambahkan, “Tapi.” Dia berusaha untuk tidak membiarkan suara lelahnya terdengar. “Yang kita hadapi ini adalah goblin.

“...Benar.” Gadis Sapi mengangguk, membuka mulutnya, kemudian menutupnya kembali.

Apakah ada sesuatu yang ingin sang gadis katakan? Di balik helm pria itu, Goblin Slayer menggerakkan mata menatap gadis itu. “Ada apa?”

“Nggak,” Gadis Sapi, menggelengkan kepala dan menawarkan senyuman lemah. “Nggak perlu di pikirkan.”

“Begitu.”

“...Hei.”

“Ya?”

“Apa yang mau kamu makan saat kita pulang?”

Goblin Slayer berpikir sejenak. Namun bagi pria itu, ini tidaklah membutuhkan waktu yang lama. “Rebusan.”

“Kamu benae-benar suka itu, ya?”

“Ya.” Dia mengangguk pendek, kemudian terdiam. Gadis Sapi melihat kepadanya dan membuka mulutnya kembali, namun sekali lagi dia mengurungkan niatnya. Dia menyadari, bahwa dia tidak boleh.

Terdengar langkah kaki di luar melintasi salju. Ramai dan ragu, nyaris tak terdengar di dalam angin.

Goblin.

Dia bergerak dalam sekejap di saat bayangan itu mendekati gudang.

“GOROGB?!”

Dia membekam mulut goblin itu dengan tangan, kemudian menyayat tenggorokan makhluk itu dengan pedang yang terhunus. Terdapat cipratan darah hitam, cipratan itu bahkan mencapai wajah Gadis Sapi.

“Heek...?!”  Entah bagaimana dia dapat menahan jeritannya; Goblin Slayer menjentikkan lidahnya. Bukanlah bermaksud untuk memarahi gadis itu, tetapi dirinya sendiri. Hal yang sama terjadi berikutnya.

Goblin, tentunya, telah melalaikan tugasnya. Tetapi, tugas itu adalah, mencari para petualang. Dia mempunyai pisau di tangannya.

Goblin, seperti yang di ketahui semua orang, tidak memiliki konsep akan pengorbanan diri, akan melakukan apapun demi keuntungan rekan mereka. Jika seseorang berniat repot-repot mempelajari bahasa goblin, mereka tentunya tidak akan menemukan kata untuk hal semacam itu. Goblin kali ini hanya sekedar melancarkan serangan di karenakan takut akan kematian. Hanya seledar gerakan reflek dari tubuh.

Gerakan itu mengenai tong busuk di sekitar, akan tetapi, cukup untuk menghancurkannya. Deritus yang bertumpuk di atas tong terhambur ke tanah dengan berisik.

“Hrg...!”  Bagi Goblin Slayer, itu terdengar bagaikan suara lemparan dadu.

Yah, persetan dengan dadu.

“Berdiri di belakangku!”

“Huh? Er... Ba-baik!” Gadis Sapi mengelap darah dari wajah dan berdiri dengan cepat, melakukan apa yang dia perintahkan. Pria itu menendang mayat ke dalam gudang, membuat ruang untuk dirinya sendiri. Gadis Sapi merinding. “Kita nggak lari...?”

“Sebentar lagi.”

Pria itu dengan lincah menarik beberapa tali dari kantungnya, mengikatnya di bagian bawah di sekitar pintu. Kemudian dia berdiri di samping pintu dengan pedangnya yang telah siap, bernapas dengan tenang dan menghitung detik.

Terdengar cekikan tawa dan langkah kaki yang cepat—goblin.

“GOROBG! GOROBGGB...?!”

“Dua!”

Monster yang mendekat tersandung pada tali, dan Goblin Slayer menghujam pedangnya ke bawah. Tebasannya menembus tulang punggung dari goblin; makhluk itu bahkan tidak sempat mengeluarkan suara sebelum berakhir menjadi gumpalan daging yang kejang-kejang. Kali ini, Gadis Sapi tidak menjerit. Dia hanya tegang, karena itu dia akan siap untuk bereaksi di kala pria itu bergerak.

“Tiga!”

Goblin berikut juga tersandung, dan Goblin Slayer menanamkan pedang tumpul berlapis lemaknya ke dalam medulla oblongata makhluk itu.

Membunuh goblin cukuplah mudah. Tetapi permasalahannya adalah melakukannya berulang-ulang kali.

Goblin Slayer membiarkan pedangnya tertancap di sana, mengambil tombak dari mayat baru. Satu sosok lainnya mengisi pintu. Goblin Slayer menyiapkan senjatanya dalam sekejap.

“Empat!”

“GROGOBG?!”

Sang goblin tersandung tali dan mati dengan tombak yang tertanam di tubuhnya. Goblin Slayer melempar mayat dengan tombak yang menonjol itu, dan menghela. “Sepertinya mereka sudah berhenti.”

Dengan tangan kanan, dia sudah bergerak untuk menarik pedang dari goblin ketiga yang mati. Dia menguncangkannya untuk membersihkan darah, kemudian mengelap bersih dengan salah satu kain celana goblin, kemudian memperhatikan bilah pedang dengan seksama. Pedang ini masih akan dapat bertahan.

“....Menurutmu mereka menyerah?”

“Akan lebih mudah buat kita kalau seperti itu.” Namun dia sangat meragukan itu, tangan kirinya menarik sang gadis. “Ayo,” dia berkata. Kemudian dia menambahkan. “Jangan berhenti.” Dia terdengar sangat serius. “Atau kamu akan mati.”

“O-oke...!” Gadis Sapi meremas tangan pria itu. “...Aku mengerti.”

Goblin Slayer memperkuat genggamannya pada tangan Gadis Sapi, kemudian berlari keluar masuk ke dalam salju.

“GORG!”

“GOROOGOR!!”

Para goblin yang menunggu mereka keluar tampak terkejut; para petualang telah bergerak lebih cepat dari yang mereka kira.

Akan ku tunjukkan padamu.

Para goblin bersusah payah mencoba untuk mengangkit sebuah panci air mendidih. Mungkin seseekor di antara mereka telah belajar sesuatu dari pertarungan sebelumnya perihal penyerangan sebuah pertahanan.

“Lima—enam, tujuh!”

Gerakan Goblin Slayer sangat presisi. Dia memutar pedang di tangan, menggenggam secara terbalik, ksmudian melemparkannya.

“GOBG?!” Seekor goblin dengan pedang yang menembus lengannya menjerit dan melepaskan panci itu tanpa berpikir akan konsekuensinya.

“GOROGBBGB?!”

“GRG?! GROGBB?!”

Itu, tentu saja, menyebabkan tiga goblin merintih kesakitan ketika mereka tersiram air mendidih. Tak peduli semua salju yang ada di sekitar mereka, tubuh mereka membengkak terbakar dalam sekejap. Mereka tidak dapat di tolong. Goblin Slayer berlari melintasi barisan goblin dan mengambil sebuah pentungan yang bagus dan hangat.

Dia tidak perlu menghabisi mereka sendiri; mereka akan mati. Goblin tidak akan menolong temannya sendiri.

Goblin paladin.

Jika berasumsi sosok seperti itu tidak ada sekarang.

“GROGOB!”

“GOOGOBGR!!”

Para goblin datang secara terus menerus di kala mereka menemukan Goblin Slayer dan Gadis Sapi. Mereka merasa takut dengan kematian rekan mereka, merasakan marah dan murka pada para petualang ini yang berpikir bahwa mereka dapat melakukan apapun yang mereka inginkan, dengan birahi pada wanita muda itu.

Dalam keadaan lain, Goblin Slayer akan membunuh mereka semua. Jika dia bertemu gerombolan ini bukan di tempat terbuka namun di lokasi yang aman, di suatu tempat yang tertutup, akan banyak cara untuk menghadapi ini.

“Kamu masih bisa lari?” dia bertanya, dan setelah beberapa saat berpikir dia menambahkan, “Nggak apa-apa untuk menutup matamu.”

“Aku... Baik-baik saja...!” Gadis Sapi berkata dengan napasnya yang berat, berlari mengikuti pria itu. “Aku...mulai terbiasa...!”

“Baiklah.”

Namun mereka tidak mempunyai ruang untuk melakukan kesalahan. Apa yang harus di lakukan? Dia harus berpikir. Di dalam kantungnya. Pikir.

Salju. Gobkin. Bangunan hancur. Air. Danau. Goblin. Pengawas. Sumur. Goblin. Goblin. Goblin.

“—!”

Gobkin Slayer memutuskan dan berlari ke depan. Apapun itu, dia harus mengalihkan perhatian para goblin, walau hanya sekejap. Bukanlah hal yang sulit untuk di lakukan.

“Dengar!”

“I-iya?!”

“Di pinggulku, ada belati di sana—tarik!”

“Be-belati...?!” Goblin Slayer dapat merasakan Gadis Sapi yang meraba mencari pisau seraya mereka berlari. “Uh...” Gadis Sapi terdengar ragu. “Yang bentuknya aneh ini...?!”

“Iya!” Goblin Slayer memukul goblin yang mendekat dengan pentungan. Delapan. “Lempar ke pohon!”

“Kamu yakin?!”

“Ya!”

Dia tidak mengatakan apapun lagi. Dia dapat merasakan Gadis Sapi melempar. Itu sudah cukup. Dia mengangkat pentungan dan melemparnya ke goblin yang ceroboh dalam mendekat. Pentungan itu mrnghantam makhluk itu di dahi dan menyebabkan lehernya terputar pada arah yang aneh.

“Sembilan!”

Seraya Goblin Slayer merogoh kantung peralatannya dengan tangan, dia mendengar Gadis Sapi berteriak, “Hi....yaaaah!”

Pisau bengkok itu bersiul seraya benda itu berputar di udara. Para goblin memperhatikan Lintasan pisau itu melengkung itu di udara dengan mata dan telinga mereka. Mereka tertawa. Sang wanita ini berpikir untuk melempar kemana? Bodoh sekali. Tawa, dan terus tertawa.

Goblin Slayer mengetahui ini. Gadis Sapi tidak pernah melakukan latihan apapun. Dia tidak dapat mengenai apapun walaupun dia mencoba.

Oleh karena itu pisau itu mengenai akar pohon. Sesuatu yang besar dan tidak bergerak, mudah untuk di cari.

“Kita lompat masuk!”

“Huh?! Hei, tunggu, itu... tidak, jangan—!”

Dia dapat mendengar Gadis Sapi yang menolak. Namun tetap saja, Goblin Slayer melompat.

Salju terjatuh dari ranting pohon yang tertancap belati. Ketika semua telah berakhir, tawaan para goblin berubah jadi kedipan.

Kemana mereka pergi? Pikir mereka, namun para goblin tidak akan pernah dapat menebak. Mereka akan dengan cepat saling menyalahkan satu sama lain dikarenakan petualang yang melarikan diri, dan perdebatan burukpun akan terjadi.

Tentu saja, tentu saja.

Tidak satupun dari mereka yang berpikir untuk melihat di sumur yang ada di sekitaran.

*****

“Heek?!” Gadis Sapi menjerit seraya tubuhnya merasakan air yang begitu dingin.

Dia berkedip dengan cepat. Namun ini tidaklah seburuk yang dia kira. Bahkan, ini terasa lebih hangat di bandingkan dengan di luar. Dan...

“Aku...bisa bernapas?”

“Ini cincin Breath.”

Sumber suara itu terdengar dekat, suaranya terdengar lebih samar dari biasanya di karenakan air.

Adalah Goblin Slayer.

Pria itu sedang memegang Gadis Sapi, menahan tubuh gadis itu agar mengambang di air. Gadis Sapi sedikit menegang setelah menyadari itu, berpikir apakah dirinya harus menjauh, namun kemudian tubuhnya terasa santai seraya dia menerima dekapan pria itu. Akanlah memalukan untuk meronta dalam situasi seperti ini, bodoh juga. Gadis Sapi melihat helm itu dari titik buta, sedikit memiringkan kepalanya.

“Cincin...?”

“Aku memasangnya di jarimu.”

Sekarang setelah pria itu singgung, Gadis Sapi menyadari adanya cincin yang berkelip redup di tangan kanannya, cincin hang pria itu pegang sebelumnya. Ini pastilah apa yang membuat Gadis Sapi aman di dalam sumur ini. Gadis Sapi merasakan perasaan aneh seperti tubuhnya terliputi dengan sebuah gelembung. Tetapi, dia masih basah; rambut dan bajunya mengambang perlahan.

Dia mendengak dan melihat lingkaran langit, meliuk dan jauh, terdistorsi oleh air.

Mereka berada di dalam sumur. Gadis Sapi memastikan kenyataan itu kembali, memahami bahwa mereka harus lompat ke dalamnya.

“Begitu,” Gadis Sapi berkata, gelembung keluar bersamaan dengan ucapannya dan mengambang menuju langit. “...Setidaknya kasih tahu aku sebelum kita lompat masuk.”

“Maaf,” Pria itu berkata. “Nggak ada waktu.”

“Apa kita akan aman di sini?”

“Aku nggak tahu.” Seraya pria itu menjawab, gelembung keluar dari celah helmnya. Gelembung itu tampak seperti tanda samar akan ketidakpastian. “Aku menutupi suara lompatan kita. Dan mereka nggak melihat kita. Jejak kaki kita seharusnya akan tertutup dengan salju sebentar lagi. Mencari kita akan sulit.” Dia menyebutkan semua faktor itu satu persatu—bagi Gadis Sapi, ini terdengar bagaikan pria itu sedang berdoa—dan kemudian pria itu menambahkan pelan, “Kemungkinan.”

“.....”

“Yang kita hadapi ini adalah goblin. Mereka nggaklah terlalu pandai. Tapi mereka bisa beruntung. Selalu ada kemungkinan.”

“...Dan kalau mereka menemukan kita?”

“Mudahan mereka berpikir kita terjun bunuh diri di karenakan putus asa.”

Aku ragu mereka menyadari cincinnya. Mendengar itu, Gadis Sapi melihat tangannya sendiri.

Mereka memiliki cincin yang sama. Gadis Sapi adalah gadis kebun sederhana; dia tidak mengetahui berapa nilai dari benda ini. Ternak, tanaman: itulah yang dia ketahui. Tetapi ini adalah cincin sihir. Tentunya sangat berharga.

Walaupun begitu, cincin yang pria itu belikan untuknya pada festival itu bernilai lebih tinggi bagi Gadis Sapi.

“Sulit untuk mencari mayat di sumur. Terkecuali monster itu, apapun sebutannya, memerintahkan mereka...”

Goblin Slayer menggunakan armor. Airnya dingin. Mengangkat mereka ke atas akan memakan waktu. Para goblin akan menolak. Itu akan lebih memakan waktu lagi.

Goblin Slayer sedang bergumam pada dirinya sendiri hingga, dengan semburan gelembung lagi, dia berkata, “Keberuntungan akan memutuskan takdir kita. Kita nggak punya pilihan lain.”

“Keluar dari panci, masuk ke dalam api ya?” Gadis Sapi berbisik, dan kemudian  dia menyeringai tersenyum. “Kamu tahu nggak? Aku nggak masalah dengan itu.” Gadis Sapi menyandarkan kepalanya pada armor kulit keras pria itu. Dada Gadis Sapi begitu dekat dia, namun, Gadis Sapi yakin pria itu tidak dapat merasakan detak jantungnya. Gadis Sapi tidak ingin pria itu berpikir bahwa dirinya sedang takut. “Aku tahu seberapa kerasnya kamu bekerja untuk kita berdua.”

“Kalau ini gagal, semua akan percuma.” Dia terdengar seperti sedang mencemooh upayanya sendiri. “Aku yakin guruku setidaknya bisa memikirkan sesuatu yang lebih baik dari ini.”

“Tapi gurumu nggak ada di sini sekarang. Kamu yang ada.” Sebelum pria itu dapat menyela, Gadis Sapi melanjutkan. “Kamulah yang menyelamatkanku.”

“...Benarkah?”

“Uh-huh.”

“Begitu.”

Bagus. Gadis Sapi mengangguk, kemudian tenggelam dalam lengan pria itu kembali. Dia menggeliat, agar punggungnya dapat bersandar pada dada pria itu, dan kemudian Gadis Sapi mendengak. Dia berharap dia dapat melihat bintang atau bulan atau apapun, namun langit masihlah abu-abu yang sama, dan hampir tengah hari. Jika mereka akan mati bersama di sini, ini adalah tempat yang sangat prasais sekali untuk mati.

Kurasa setidaknya dia nggak bisa lihat wajahku.

Adalah selalu Gadis Sapi yang tidak dapat melihat pria itu.

“...Um, pokoknya... aku minta maaf.”

“Kenapa?”



“Yah, maksudku,” Gadis Sapi menggaruk pipi, tidak yakin harus berkata apa. “Aku cuma jadi beban.”

Tidak ada jeda sama sekali sebelum pria itu menjawab. “Nggak.” Gadis Sapi menoleh kepada pria itu dan berkedip. “Kamu nggak seperti itu.”

“...Nggak?”

“Nggak.”

“Begitu,” Gadis Sapi berkata, gelembung kecil keluar dari bibirnya. “Begitu.”

Dengan “Ya,” terakhir, pria itu terdiam. Gadis Sapi juga tidak mengatakan apapun, dia mendengak ke langit. Butir salju berdansa turun, membentuk pola pada air yang dapat Gadis Sapi amati dari bawah. Bukanlah langit penuh bintang, namun pemulung tidak dapat pilih-pilih.

“Kamu nggak...capek?”

“Nggak.”

“Nggak apa-apa—kamu bisa tidur.” Gadis Sapi menarik rambutnya, menggerainya di air. Di bawah sini, warnanya terlihat berbeda, berbeda dari merah biasanya, dan walaupun dengan keadaan yang seperti ini, Gadis Sapi merasa ini lucu. Tiba-tiba, sebuah ingatan mengiang di kepalanya, akan ketika mereka bermain bersama di sungai ketika mereka masih muda. Pastilah musim panas kala itu. Bukan musim dingin. “Kita nggak akan pergi kemana-mana untuk saat ini, kan?”

“...”Goblin Slayer mendengus. “Mereka bisa menjatuhkan batu dari atas.”

“Kalau yang perlu kita lakukan hanya memperhatikam di atas kita, aku bisa lakukan itu.”

Goblin Slayer tampak bimbang. Namun tidak lama setelah itu, Gadis Sapi menghela panjang. Gelembung mengambang ke atas.

“...Tolong.”

“Baik.”

Gadis sapi bergerak agar pria itu dapat bersantai. Gadis Sapi menendang air, badannya meliuk seolah berdansa, agar dirinya dapat bersandar pada sisi dinding sumur, menghadap pria itu. Dindingnya terbuat dari batu, jauh lebih keras dan dingin di banding armornya.

“...” Gadis Sapi mendengak, kemudian mencuri lirik kepada pria itu. Helmnya sedikit miring condong ke depan, dan dia tampak sudah terlelap. Sangat dapat di pahami: pria itu tidak berhenti bergerak semenjak kemarin, tidak berhenti berjaga dan berpikir.

“Hei,” Gadis Sapi berbisik, begitu pelan agar dia tidak mengganggu tidur Goblin Slayer. Beberapa gelembung keluar lagi dari dirinya. “...Apa kamu mau pulang?”

Gadis Sapi tidak bertanya kemana. Dia tidak mencari jawaban itu.

Goblin Slayer tidak mengatakan apapun, cukup lama hingga Gadis Sapi mengira bahwa pria itu sudah benar-benar tertidur, namun kemudian pria itu menjawab, “Ya.” Suaranya terdengar seperti seorang bayi yang mengucapkan kata pertamanya. “Aku mau.” (TL Note : Sedih aku baca jawaban Goblin Slayernya.... T.T )

Begitu. Gadis Sapi mengangguk. Dia menepuk kedua lututnya, dan mengambang di sana, menatap pada lingkaran langit.

Gadis Sapi benar-benar membenci goblin.