JALAN UNTUK MELANGKAH DENGANMU, 

JALAN MENUJU MIMPI

(Part 3)

(Translator : Hikari)


Sorata memutuskan untuk pulang ke rumahnya di Fukuoka pada Malam Tahun Baru. 

Meninggalkan Sakurasou di siang hari, menuju Bandara Haneda. Di perjalanan, dia membeli novel baru Kanna “Apel Beracun Pemberian Pangeran” di sebuah toko buku. Dia akan membacanya dalam perjalanan.

Beralih ke kereta merah yang menuju bandara dan duduk di kursinya. Sementara dia membaca buku tersebut, dia akhirnya tiba di terminal stasiun di jalur domestik. Ini praktis karena terhubung langsung ke lobi.

Selesai proses boarding dan menunggu waktunya. Sementara itu, dia membalik lembaran-lembaran novel Kanna.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, pemberitahuan penerbangan ke Fukuoka pun terdengar, jadi Sorata ikut berbaris di gerbang berdasarkan aliran orang di sekitar.

Lima belas menit kemudian, pesawat yang membawa Sorata, tanpa masalah lepas landas dari Bandara Haneda.

Menunggu lampu tanda sabuk pengaman dimatikan, Sorata membuka kembali novel tersebut.

- Aku makan apel juga hari ini.

Kalimat pertama dimulai seperti itu.

Karakter utama cerita ini adalah seorang gadis berumur lima belas tahun yang baru saja menjadi seorang siswi SMA. Dia tidak begitu menarik perhatian di kelas, dan dia tidak mendapat keuntungan apapun setelah berkumpul. Dengan kata lain, nilai-nilai baik. Tapi dia bukan apa-apa selain seseorang yang belajar mati-matian karena tidak ada teman untuk bermain setelah sekolah. Ini diceritakan berdasarkan penuturan gadis itu sendiri.

Dengan polosnya, membalas teman-teman sekelas yang datang berkata “Kau pintar” dengan “Tidak, tidak begitu, kok.” Ini diulang-ulang di setiap ujian. Dalam pikirannya, dia mengambil satu langkah mundur dan memandangi teman-teman sekelas yang mengatakan hal-hal sama tersebut setiap hari.

Rasanya membosankan, tidak menarik, hambar dan menjemukan setiap harinya.

- Dunia ini berwarna kelabu. Aku hanya bisa melihat warna kelabu. Ada sebuah penekanan dalam kalimat-kalimat yang mirip monolog itu yang mungkin seperti para penyihir yang tersesat ke dunia manusia. Seakan-akan napas tersengal-sengal seorang gadis kecil terdengar.

Suatu hari, gadis itu menulis ‘Perasaanku yang sebenarnya’ dan dia menjatuhkan pupuk jiwanya.

Sebuah tatapan dingin terhadap seorang teman sekelas. Apa yang tersungging adalah seulas senyuman ramah. Sambil memikirkan hal tersebut, dia berbicara dengan sekelilingnya. Dan warna dunia itu hanyalah kelabu.

Jika seseorang melihatnya, dunia akan berakhir bermandikan warna hitam.

Adalah seorang senpai tiga yang memungut buku harian yang berisi ‘perasaan sebenarnya’ gadis itu.

- "Apa kau membacanya?"

- "Kurasa aku tahu kau kehilangan apa."

- "Kau membacanya, ya?"

- "Maaf, aku membacanya."

- "Kalau begitu, tolong matilah."

- "Aku mengerti. Ayo makan apel ini bersama-sama."

- "Ya?"

- "Ini adalah apel beracun."

Senpai tersebut lebih dulu menggigit apel itu. Gadis itu dengan bersemangat mencobanya segigit. Sambil berpikir bahwa mungkin memang benar apelnya beracun...

Tapi tidak ada racun. 

- Saat aku memandanginya, senpai berkata, “Aku meminjamnya dari kantor kepala sekolah, jadi kita sama-sama punya rahasia, ya ‘kan?” dan tertawa.

Pada saat itu, dalam dunia hitam putih ini, hanya senpai yang berwarna. Keseharian gadis itu perlahan berubah saat bertemu dengan seniornya. 

Aku selalu mencari sosok senpai. Aku menantikan saat-saat pergi ke sekolah.

Tapi segera kemudian, dia menyadari kenyataan yang kejam.

Senpai memiliki seorang kekasih.

- Dia cantik bagaikan seorang peri.

Dia berharap dapat menyerah ketika mengetahuinya. Tapi, dia tidak bisa melupakannya, sambil mencari-cari sosok senpainya itu. Senyumnya terasa menyakitkan. Suara lembut itu diarahkan hanya pada “orang itu” dan bukan dia.

- Tidak mungkin untuk dibandingkan. Jika dia tidak bisa menggunakan metode si penyihir, dia tidak bisa mengutuk orang ataupun mengalahkan si peri cantik. 

Jadi si gadis bahkan tidak mencoba untuk menantang.

Meski demikian, gadis itu terus mengejar senpai yang berwarna-warni itu seakan mencari-cari cahaya. Sambil menderita, sambil terluka… Akan tetapi, bahkan untuk sesaat pun, dia berpikir tatapan senpai bisa ditangkap untuk dirinya sendiri...

Pada akhirnya,

- Karena itulah, aku juga makan apel hari ini. Sambil berharap bahwa ini adalah apel beracun. 

Itulah kesimpulannya.

"....fuu"

Saat dia selesai membaca, Sorata menutup buku itu.

Novel debut “Hari Minggu Cinderella” juga sama, tapi rasa tidak enaknya luar biasa pekat. Ini membawa realita yang mengigit. Cerita ini mengisahkan pada kita bahwa dunia tidak hanya ada happy ending.

Pada saat yang sama, Sorata juga merasakan sebuah keraguan.

Apakah gadis itu jatuh cinta? Apakah rasa cinta dari senpai yang gadis itu cari-cari?

Gadis itu merasakan sesuatu yang berbeda. Apa yang dia harapkan adalah untuk ditarik keluar dari dunia kelabu tersebut. Dia berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang berbeda dari perasaan semacam itu, karena dia menyukainya atau ingin menyukainya.

Sorata memasukkan buku tertutup tersebut ke dalam tasnya.

Melihat ke luar jendela, jalan-jalan di Fukuoka membentang di depan matanya.

Sebentar lagi sampai.

Setelah turun di Bandara Fukuoka, Sorata beralih ke kereta dan menuju stasiun terdekat rumah orang tuanya. Karena bandara tersebut berlokasi di daerah perkotaan, transportasinya praktis dan mudah bergerak.

Dia tiba di rumah orang tuanya dalam waktu sekitar 40 menit dan mengawasi PR Yuuko sebelum makan malam.

Sekitar pukul 7, keluarga beranggotakan 4 orang itu mengelilingi hidangan terakhir tahun itu. Ada mochi yang ditempatkan di tengan-tengah meja. Makanan utama hari ini adalah sup miso. Walaupun dia tidak lama berada di sini sejak transfer kerja ayahnya, Sorata sangat terbiasa  dengan selera setempat.

Semakin dia mengunyahnya, semakin banyak rasa yang muncul. Tekstur yang unik menjadi hal yang biasa.

“Sorata juga akan lulus di bulan Maret.”

Ibunya berbicara santai.

“Meskipun Yuuko juga sudah masuk ke Suiko, kesal rasanya karena tidak bisa menjalani kehidupan sekolah dengan Onii-chan walau dua bulan!”

Yuuko yang duduk di sebelahnya marah-marah dengan nasi bertabur mentaiko.

"Oh, ya! Yuuko punya ide bagus!"

"Aku tidak akan mengulang kelas."

"Oh tidak ~"

“Apa kau tidak merasa senang merayakan kelulusan kakakmu?”

"Tidak!"

"Kenapa...?"

Saat percakapan dimulai, Sorata melihat ayahnya. Dia dengan tenang menyantap moto nabe. Saat dia menghindari kedua orang itu, ibunya yang berada di sebelahnya mengambil sedikit kucai dan memasukkan ke dalam mangkuknya.

"Kau bisa makan, ‘kan?"

"...Ah"

Sekarang dia mulai memakan kucai itu dalam diam.

"Entah bagaimana, tahun ini tenang."

Ibunya berbicara sambil meneguk air.

“Kurasa ini cukup normal.”

Empat orang duduk di depan TV, yang menampilkan kontes menyanyi. Mereka mendengar dan merasakan tanpa melihat. Ayahnya berkata, “Aku tidak mengerti lagu-lagu saat ini” dan meminum bir. Ini adalah pemandangan akhir tahun yang tidak asing.

“Tahun lalu Sorata membawa empat gadis dan suasananya ramai.”

Sorata bertanya-tanya apa ada satu lagi.

“Mashiro-chan, Nanami-chan, Misaki-chan, dan Komachi-chan.”

"Komachi itu kucing!"

Tepatnya, tiga gadis dan satu kucing betina.

“Maaf, mochi Sorata habis.”

“Itu cukup untuk tahun lalu.”

"Ah ya~. Sorata memilih Mashiro-chan."

"Buuh~"

Sorata menyemburkan teh yang ada di mulutnya. Dia pikir gawat kalau mengenai panci dan menoleh ke samping, sehingga langsung mengenai Yuuko.

"Wow! Onii-chan, kau jorok sekali!"

"Bukan begitu, Yuuko. Tapi, kenapa Ibu tahu?"

“Yuuko menceritakan padaku hal-hal menarik.”

"Begitukah...."

Dia sama sekali lupa untuk merahasiakannya. Tidak, dia tidak bisa percaya Yuuko bisa menyimpan rahasia, dan sepertinya bagaimanapun caranya, entah bagaimana ibunya yang berinsting tajam dengan pintarnya mendapat berita.

“Tapi, dia sangat manis sementara Sorata tidak bersemangat ~"

"Memangnya kenapa? Perbedaan adalah hal yang biasa.”

Saat dia mencoba untuk mengalihkan, suaranya naik turun dan dia menggali lubang kuburnya sendiri.

"Ah, itu dia, Bu!"

Yuuko yang selesai menyeka wajahnya pun mulai ambil bagia. Dia menjulurkan wajahnya ke atas panci dan bersuara berisik seperti, “Aduh, panas!” sendirian.

“Ah ya, kau bertengkat dengan Mashiro-chan saat Natal.”

“Kenapa, rinci sekali?”

Yuuko belum berkata apapun, dan saat dia melakukannya, gadis itu akan tepat sasaran di saat yang tepat… Kalau Sorata terus berada di sini, dia akan ditelanjangi. Dia harus cepat-cepat pergi.

"Aku selesai."

Sorata berdiri dan membereskan piring-piringnya.

"Aku akan mandi belakangan."

Berkata demikian, Sorata melarikan diri dari meja makan.

“Oh, tunggu, Duh, Onii-chan! Manjakan Yuuko saat pulang ke rumah!”

Tentu saja, Sorata mengabaikannya dan menuju lantai dua tempat kamarnya berada.

Sebenarnya, Sorata punya masalah sehingga dia tidak bisa bersantai.

Sebelum kembali ke Sakurasou, dia harus merampungkan material untuk urutan skenario.

Lonceng malam ini berdentang di kejauhan.

Sorata memutuskan untuk mandi saat pekerjaannya macet.

Sambi bersantai hingga waktunya mandi, dia dengan santai mendengarkan suara lonceng. Ketika dentang kedelapan-belas terdengar, tibalah Tahun Baru.

Dia menatapi langit-langit dengan samar-samar.

“Apa kau lulus dalam dua bulan lagi?”

Entah kenapa dia teringat apa yang ibunya dan Yuuko katakan saat dia makan.

Upacara kelulusan diadakan pada tanggal 8 Maret.

Dia  benar-benar hanya punya beberapa bulan tersisa. Perasaan ini secara mengejutkan cukup tipis. Bukan karena ada perasaan bersemangat, dan juga tidak ada rasa tegang dan ketidaksabaran. Untuk kata ‘kelulusan’, Sorata tidak merasa ada apapun untuk dikatakan, perasaannya kosong.

Ini juga bukan karena tidak ada emosi. Hanya ada kenangan-kenangan dan perasaan-perasaan tertentu yang dia habiskan selama tiga tahun di Suiko. Akan tetapi, dia tidak merasakan kesenangan atau penyesalan khusus. Apakah itu akan berubah ketika harinya mendekat?

Kalau begitu, dia berpikir bahwa tahun lalu, kesadaran tentang kelulusan sangatlah kuat. Kelulusan Misaki dan Jin yang saat itu kelas tiga. Kenyataan bahwa para senpainya pergi dari Sakurasou adalah sebuah peristiwa luar biasa hebat bagi Sorata - sebuah peristiwa besar.

Namun, saat dia sendiri akan lulus, secara mengejutkan dia merasa tenang.

"Ini aneh..."

Ini mungkin karena ada terlalu banyak hal untuk dihadapi. Bahkan saat ini, setengah dari kesadarannya dipenuhi dengan material urutan skenario.

Pekerjaan berjalan dengan baik saat ini. Jika kondisinya seperti ini, bisa saja merampungkannya besok.

".....Masalahnya adalah setelah itu."

Tidak ada jaminan bahwa Kanna akan menyetujui. Dia berpikir bahwa ini tidaklah mudah karena berada dalam situasi jadwal yang sulit.

Selain itu, setelah dia membaca “Apel Beracun Pemberian Pangeran”, dia merasa tidak bisa memintanya begitu saja.

“Aku harus menjernihkannya.”

Dia berkata pada dirinya sendiri.

Dia berpikir adalah hal yang baik untuk mengatakan secara langsung pada Kanna bahwa dirinya menyukai Mashiro.

Akan tetapi, pada saat ini, dia tidak percaya diri bisa mengekspresikan perasaannya pada Mashiro tanpa hambatan.

Peristiwa saat Natal masih membayanginya.

Dia berpikir hanya ada rasa sangsi saat berbicara dengan Kanna sementara ada rasa keraguan. Juga rasanya tidak sopan meragukan perasaan Kanna.

Pertama-tama, Sorata sendiri harus memantapkan pikirannya.

Setelah itu baru menjernihkan masalah.

"Aku harus mengatakannya."

Dia tidak tahu ke arah mana dia harus bicara. Tidak ada panduan.

Saat dia menghela napas perlahan, lonceng malam berdentang, yang mana tidak dia ketahui selama beberapa saat. Sekarang sudah waktunya bagi Sorata untuk mandi, sebentar lagi sebelum hari ini berakhir, jadi sudah hampir waktunya untuk berakhirnya tahun.

Mendengarkannya baik-baik dan menunggu suara dentang bel berikutnya.

"........"

Sekalipun dia menunggu beberapa lama, dia tidak bisa mendengarnya. Kelihatannya itu adalah suara dentang terakhir.

“Aku mendengar suara lonceng. Sudah waktunya untuk pergi.”

Dia bergumam tidak pada siapapun dan berdiri di kamar mandi.

Dan di waktu yang hampir bersamaan,

"Selamat tahun baru!"

Bersama dengan suara tersebut, pintu ke kamar mandi terbuka dengan mulusnya...

Ayahnyalah yang muncul. Dia telanjang. Dia juga adalah ayah kandungnya.

"Aaaaaa, apa yang Ayah lakukan!"

Dengan panik, Sorata berjongkok di dalam bak mandi.

“Apa? Kau tidak bisa merasa senang dalam menyambut Tahun Baru?”

Ayahnya memasuki kamar mandi secepat mungkin.

“Hanya pemikiran Ayah saja sudah cukup untuk membuatku tidak merasakannya! Kenapa Ayah masuk?”

Tanpa mendengarkan protes Sorata, ayahnya duduk di depan shower dan mulai keramas.

"Dengarkan orang lain bicara!"

“Selalu mengomel dan berisik. Apa kau tidak punya pilihan selain mengeluh padaku?”

"Itu benar! Memang begitu!"

Ayahnya tidak menggubrisnya, dan kali ini membersihkan tubuhnya dengan sikat badan, sambil berkata,

“Tidak sopan meminta orang lain untuk mendengarkan keluhan masalah hidup.”

“Ayahlah yang selalu paling menggangguku sampai saat ini!”

“Itu cara lain untuk mengatakan aku adalah ayahmu yang sebenarnya. Aku jadi ingin melihat wajah orang tuaku sendiri.”

“Aku tahu apa yang sedang kubicarakan!”

Tepat di saat itu, ayahnya menyiramkan air panas yang ada di dalam baskom ke atas kepalanya sendiri sambil merunduk.

"Apa kau mengatakan sesuatu?"

Sepertinya keluhannya tidak terdengar gara-gara hal itu.

Terlebih lagi, saat ayahnya merosot masuk, Sorata mencoba mengerutkan tubuhnya di bak mandi.

"Yokkorashii"

"Waa~! Aduh!"

“Kalau kau membasuh sesuatu dengan benar, itu akan jadi indah.”

Saat ini, Sorata ingin melarikan diri dari kamar mandi.

Sebagai seorang murid SMA, dia akan mati kalau mandi bersama dengan ayahnya.

“Jadi, apa ada sesuatu dalam kepalamu itu?”

Ayahnya yang menempati sebagian besar bak mandi, menanyakan dengan wajah datar.

Ini memang mengkhawatirkan. Itu adalah fakta. Dan sayangnya dia bahkan tidak menemukan solusi untuk masalah ini. Pepatah memegang jerami saat tenggelam pastilah seperti ini.

Untuk sementara waktu, dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan pria payah ini.

Sulit untuk membayangkan, tapi pastinya ada waktu di mana ayahnya seumuran dengan Sorata. Di masa ketika dia menikahi ibu Sorata, mereka pasti pernah sekali atau dua kali bertengkar.

".....Hei, Ayah."

"Ada apa, anakku?"

“Karena rasanya aneh, jangan katakan ‘anakku’ seperti itu!”

“Kau hanyalah anak SD dalam kepalaku, kau adalah seorang anak SD. Hanya ini satu-satunya sosok yang terpikir dan itu sangat bagus, ya ‘kan?”

“Pernyataan Ayah luar biasa parah! Ayah akan membunuhku dengan rasa syok!”

“Jadi, ada apa? Cepat lakukan sebelum kau tidak bisa bergerak.”

“Apa Ayah pernah berbeda pendapat dengan Ibu?”

“Apa kau sedang membicarakan tentang mi soba dan udon?”

Dia terlihat puas dengan dirinya sendiri, mengangguk-angguk kuat.

“Tidak, bukan!”

“Kurasa kau tahu bahwa buckwheat dan kaa-san (ibu) adalah bagian dari fraksi udon.”

“Tidak, aku tidak tahu! Itu baru!”

“Waktu itu adalah saat aku memulai hubungan dengan ibumu. Aku tidak ingin membicarakan cerita itu, tapi…”

“Bisa tidak dengarkan orang lain bicara!?”

“Selama sebulan, dia berkata ‘Apa kau punya udon untuk ditawarkan padaku, Soba Kanda-san?’ dengan wajah tersenyum. Hari-hari mengerikan pun berlalu.”

Ada banyak hal yang konyol, tapi memang menegangkan.

“Bagaimana caranya kalian berbaikan sampai menikah?”

“20 tahun berlalu sejak saat itu, tapi perang sengit antara soba dan udon tetap berlangsung.”

"Eh?"

“Perjanjian damai soba udon tidak terjalin.”

“Kalian belum berdamai?”

Sebelum itu, berapa banyak mi soba dan udon yang dia makan...

“Tapi kejadian itu membuatku menjadi dewasa.”

“Begitukah…”

Rasa menyesal karena tidak berkonsultasi pun muncul dan tenggelam.

“Setiap orang adalah makhluk yang berbeda. Mereka tidak memiliki selera yang sama denganku.”

“Aku setuju.”

Sorata membalas begitu saja.

“Hal yang penting adalah bukan tentang apakah aku penyuka soba ataupun ibumu yang penyuka udon. Yang penting adalah aku mencintai ibumu yang penyuka udon.”

Kenapa ayahnya ini mendadak mengatakan sesuatu yang bagus? Dia penasaran kenapa ayahnya sosok yang seperti ini.

Sorata baru mendengar tentang soba dan udon, tapi baginya itu sekarang adalah semacam kata pencerahan.

Tidak ada satu pun perbedaan yang harus kau perhatikan. Daripada itu, yang penting adalah apa yang kau pikirkan tentang pasanganmu.

Walaupun dia merasa kesulitan, perasaannya terhadap Mashiro tidak berubah. Sama sekali tidak. Malahan, dalam situasi ini, dia lebih memikirkan Mashiro daripada sebelumnya.

Dengan mundur selangkah dan melihatnya, Sorata memastikan kembali kekuatan perasaannya.

Dia tidak akan bisa menyadari hal ini tanpa ayahnya.

“Aku merasa letih karena agak malu. Dalam keadaan telanjang begini, Ayah menyatakan rasa cinta!”

“Sorata, kau membuat kesalahpahaman besar.”

“Salah paham?”

“Aku merasa malu setengah mati sekarang.”

“Jangan mengatakan itu dengan bangga!”

"Sorata."

"Ada apa?"

“Aku tidak bisa bergerak. Tolong bantu aku.”

“Tahun ini juga?!”

“Ternyata, bukan hal yang bagus minum alkohol lalu mandi.”

Ayahnya berada di dalam bak mandi.

“Kenapa Ayah tidak belajar?!”

“Berhati-hatilah tahun depan.”

“Aku tidak ingin membuat ini menjadi acara tahunan! Benar-benar berhenti melakukannya!!”

Sorata menarik keluar ayahnya dari bak mandi. Mau tidak mau merasa telanjang bulat.

"Sorata."

"Apa lagi?"

“Kau berada di pihak mana dalam perang mie ini?”

“Tolong diamlah sebentar!”

Di awal Tahun Baru, jeritan jiwa Sorata bergema di kamar mandi keluarga Kanda untuk dua tahun berturut-turut… ...

Setelah itu, Sorata menghabiskan tiga hari lagi di rumah orang tuanya. Selama itu, dia mengumpulkan material-material skenario yang dia bawa dan membantu Yuuko mengerjakan PR-nya di waktu yang tersisa.

Kemudian, dia mengambil jalur umum penerbangan keempat.

Ibunya ikut mengantar ke bandara.

“Tolong datanglah bersama Mashiro-chan nantinya,” katanya.

“Aku akan mempertimbangkannya secara positif,” jawab Sorata.

- Berbicara pada Mashiro dengan baik-baik saat dia pulang dari Inggris. Biar kuberitahu Mashiro apa yang sebenarnya kurasakan saat ini.

Ya, Sorata memutuskan hal itu di perjalanan pulang.

---0---

TL Note : Turut bersimpati bgi yg bingung sma chapter ini, trutama pas bgian novelnya Kanna dan "nasihat" Ayahnya Sorata. Inti chapter ini :

1. Kanna dalam novelnya menceritakan dirinya yg merasa jenuh dan monoton dengan kesehariannya, brtemu dan merasa trtarik dengan senpai (Sorata). Sygnya senpai tsb sdh pny kekasih dan Kanna galau, tdk bisa jdi "penyihir jahat" untuk merebut senpai tpi di saat yg sma tidak bisa merelakan/melupakan. Walau bgitu, Sorata merasa ketertarikan Kanna trhadap dirinya bisa saja bukanlah rasa cinta yg sesungguhnya, tpi hanya keinginan untuk ditarik keluar oleh Sorata/seseorang dri khidupannya yg menjemukan.

2. Contoh dlam "Nasehat" Ayah Sorata mirip Indomie vs Mi Sedap atau bubur diaduk vs tdk diaduk. Intinya, krn smua orang pny selera dan pmikiran yg berbeda, itu bukanlah halangan dlam saling mencintai.

Kira2 gtulah yg kutangkap. Ada yg mw nambahin atau ngasih pendapat lain? Silakan~