GOBLIN SLAYER YANG BERKELANA

(Translator : Zerard)



“Pastikan kamu jaga diri,” pria itu berkata. “Nanti kamu kena radang dingin.”

“Ba-baik...” Bingung, sang gadis memeganb pakaian dalamnya, kemudian pada akhirnya memiliki kese patan untuk memperhatikam bangunan sekitar yang telah rubuh. Ini tidak dapat di sebut sebagai rumah. Adalah sisa puing dari rumah, mungkin, seperti sebuah tengkorak yang tergeletak di tengah lahan. Itulah apa yang dia pikirkan.

Namun ini masih memiliki empat dinding dan sebuah atap, walaupun hanya sekedarnya, dan akan menghalau elemen. Di sini sama sekali tidak hangat sedikitpun, namun mereka tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih.

“Kita beruntung sekarang lagi bersalju.” Goblin Slayer mengintip melalui lubang dinding.

Di luar dalam malam putih, mata-mata bersinar layaknya api yang membara. Para goblin tampak dapat keluar tanpa masalah walaupun dalam keadaan dingin ini, akan tetapi, mereka tidak memiliki kelincahan dalam setiap langkah mereka, pergerakan mereka tampak kaku dan pelan.

Makhluk ini yang di sebut sebagai goblin selalu berharap bahwa orang lainlah yang akan menangani konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan. Mereka tidak dapat berbuat banyak jika dingin dan bersalju di luar; bagaimana mereka dapat bekerja dalam keadaan seperti ini? Tidak ada yang akan menyadari jika mereka bermalas-malasan sedikit juga. Paling tidak, tidak segera.

“Saljunya membantu menutupi aromamu juga.”

Ucapan singkat itu membuat Gadis Sapi tersipu. “Ja-jangan lihat oke?”

“Nggak.” Goblin Slayer menoleh mengarah bagian dalam ruangan, suara akan kling-kling akan sabuk gadis itu yang sedang di lepas terdengar di belakang prianitu.

Sebagian besar isi rumah ini telah di curi, tetapi mungkin masih ada sesuatu yang tersisa. Pencarian dengan seksama sangatlah penting. Lagipupa, mereka adalah goblin. Mereka tidaklah di kenal dengan ketelitian mereka.

“...Hei,” Gadis Sapi berkata pelan, di iringi dengan suara gesekan halus dari pakian seraya dia mengeringkan dirinya sendiri. “...Jangan ketawa, atau...berpikir aku ini menyedihkan, atau...”

“Nggak,” dia menjawab, mengobrak abrik sebuah lemari usang, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara. Kemudian,seolah dia telah memutuskan bahwa ini tidaklah cukup, dia menambahkan, “Guruku mengajari itu, dulu sekali.”

“Gurumu...?”

Ya. Goblin Slayer mengangguk. Guru besar yang melampaui pria ini dalam segi apapun. “Saat keadaan sulit, buang semua barang-berat-nggak guna dan bersiaplah lari.”

“’Nggak guna’...””Ucapan guruku,” dia berkata acuh. “Sepertinya, itu bukti bahwa kamu belum menyerah.”

Menghiraukan Gadis Sapi yang malu, pria itu menarik sepasang sarung tangan yang termakan ngengat dari lemari. Memberikan gadis itu jaketnya yang terlempar di saat mereka berlari, jaket ini adalah sesuatu yang bagus seperti jaket sihir berkualitas tinggi.

Goblin Slayer melempar pakaian itu kepada Gadis Sapi di belakangnya seraya dia berkata, “Setidaaknya, tubuhmu, atau hati dan pikiranmu.”

“...”

“Jika tubuhmu belum menyerah, yang tersisa hanyalah upaya.”

Gadis Sapi tak dapat bersuara. Goblin Slayer hanya dapat mendengar beberapa napas pendek dan, satu atau dua, sebuah suara mmm. Gadis itu mungkin sedang mengelap keringat dan sisa-sisa dari kecelakaannya selama serangan goblin.

Goblin Slayer berfokus pada salah satu sudut ruangan, menarik belati dari sarung dalam genggaman terbalik. “Aku di bertiahu, bahwa barang siapa yang tertawa melihat itu adalah orang tolol yang tidak tahu apa-apa. Sementara mereka yang berusaha memaksa jalan mereka melalui situasi buruk adalah orang bodoh yang tidak memiliki indra bagus akan kapan untuk melarikan diri.”

“...Dan bagaimana kalau kamu mati dalam mencoba?”

Pria itu menusukkan belati ke tanah, dan hampir segera merasakan sesuatu yang keras. Dia mulai menggalinya. Dan seperti yang dia duga, di dalam sebuah peti kayu, terdapat beberapa botol yang terkubur. Sebagian besar sudah tidak berguna setelah berbulan dan bertahun-tahun terkurung di sini, namun mereka dapat mengikis lumut dari daging kering dan mungkin mereka dapat memakannya.

“Kamu bego.”

“...Oh.”

Ya sudahlah. Suara Gadis Sapi begitu halus, hingga membuat Goblin Slayer berputar perlahan.

Dia telah selesai mengeringkan dirinya dan telah mengenakan pakaian dalam dan bajunya kembali; dia tengah menggantung celananya pada sebatang kayu dan sedang memeluk sebuah selimut. Goblin Slayer berjalan dan duduk di samping gadis itu, menawarkan daging, yang telah dia keluarkan ke permukaan. “Makan. Ini lebih baik dari nggak ada sama sekali.”

“...Baik.” dia mengangguk, duduk di samping pria itu. Dia menggeserkan tubuh lembutnya mendekat kepada pria itu, kemudian melebarkan selimut agar dapat menutupi mereka berdua sebelum melihat ke bawah untuk menyembunyikan pipinya yang dengan cepat menjadi merah. “Aku nggak, uh...berbau atau semacamnya, kan?”

“Itu nggak mengusikku.”

“...Jadi maksudmu aku memang bau.”

Haaa. Napas gadis itu berubah menjadi kabut dan mengambang menjauh.

Dingin ini sangatlah sulit di hadapi. Getaran kecil mulai menyebar di tubuhnya.

“...Kamu nggak apa-apa?”

“...Yeah.” Suara yang menjawab pertanyaan Goblin Slayer sangatlah kecil. Bagi pria itu, suara itu semakin melemah setiap kali dia mendengarnya.

Gadis Sapi mengunyaj tanpa henti pada daging keras itu. Sedangkan untuk Goblin Slayer, dia memasukkan makanan melalui helmya, mengunyah seraya dia merogoh isi tas peralatannya.  Dia sangat sadar bahwa mereka tidak dapat menyalakan api. Namun itu bukanlah alasam untuk tidak melakukan sesuatu untuk Gadis Sapi. Sayangnya, cincin Breath tidak dapat menangkal dingin yang tidak berasalah langsung dari salju. Oleh karena itu...

“Minum ini.”

Dia memberikan sesuatu kepada gadis itu: sebuah stamina potion. Gadis Sapi melihat pada cairan yang berguncang itu dan berkedip.

“Kamu yakin...? Obat itu mahal, kan?”

“Aku membelinya supaya dapat di pakai saat di perlukan.”

“...Terima kasih.” Gadis Sapi meminumnya dengan berisik, kemudian menghela napas panjang. “...Mmm, rasanya memang bikin hangat ya?” Gadis Sapi mengangguk dan bahkan tersenyum, walaupun ini mungkin hanyalah topengnya untuk meringankan beban Goblin Slayer. Kemudian dia menyerahkan botol itu kembali kepada Goblin Slayer. “Ini!” dan pria itu mengambilnya “Ya.”

Cairan pahit itu tampak menghangatkan tubuhnya dari dalam.

“Kamu bida tidur kalau jamu mau, seharusnya ini masih belum cukup dingin untuk membunuhmu.”

“...Itu nggak meyakinkan banget.”

“Aku bercandan.”

Senyum Gadis Sapi tersirat. Goblin Slayer menghiraukannya dan menoleh keluar gubuk sekali lagi. Untuk melarikan diri, atau menunggu di selamatkan?

Kita mungkin bisa bertahan selama beberapa hari.

Mereka mungkin akan terperangkap di dalam salju berlapis kegelapan, namun Goblin Slayer ragu bahwa akan sulit untuk menghindari pencarian para goblin. Walaupun jika monster itu mencari juga di siang hari seperti saat malam. Akan tetap sama dinginnya, dan akan banyak tempat untuk bersembunyi.

Bahkan jika tujuan utamanya adalah mengantarkan gadis di sampingnya ini pulang dengan aman, dia merasa tidak akan ada masalah.

Tentunya, kita hanya bisa melakukan apa yang bisa di lakukan.

Dengan itu, percakapan mereka berhentu. Dia mendeteksi hanha kelembutan dan kehangatan halus setiap kali gadis itu bergerak. Suara pelan akan napasnya, dadanya yang kembang kempis. Goblin yang meracau di luar, kaki mereka yang menginjak dalju. Namun semua itu terasa sangat jauh.

Akhirnya, kelopak mata Gadis Sapi tertutup. Dia sedikit merosot, bersandar pada Goblin Slayer. Dan kemudian.

Duk! Sebuah benturan mengubah segalanya menjadi kacau.

“Heek...?!” Seraya Gadis Sapi terduduk dengan kaget, Goblin Slayer sudah bersiap untuk bertarung jika di haruskan. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan siaga, senjata terhunus, kuda-kuda rendah, dan matanya terpaku pada—

Gadis Sapi melihatnya juga.

Sebuah tubuh besar hitam kebiruan. Tanduk mencuat dari dahinya. Sebuah mulut yang menghembuskan aroma busuk. Sebuah palu perang besar di tangan.

Mata Gadis Sapi terbelalak terkejut, menjeritkan suaranya yang bahkan tidak bisa di sebut sebagai bisikan. “Apa...itu...?”

“Aku nggak tahu,” Goblin Slayer berkata pendek. “Sepertinya bukan goblin.”

Dengan duk, duk, di setiap langkah yang menggetarkan tanah, makhluk itu kian mendekat. Goblin mengelilingi mahluk itu seolah mereka terpikat dengannya.

Begitu—jadi itu pemimpin mereka.

“Monster itu kelihatannya nggak asing.” Goblin Slayer berkata, kemudian memperhatikan gerakan makhluk itu dengan seksama. Apa sebutan makhku itu?

“Grah! Apa kamu belum menemukan petualang itu?!” makhluk itu meraung dengan bahasan yang dapat cukup di mengerti. Dia memberikan seekor goblin yang berada di dekatnya sebuah tendangan.

“GOBG?!”

“Goblin! Argh, tidak berguna...!” Makhluk itu meludah mengarah goblin yang bergulinh di salju, yang kemudian merangkak bersujud memohon ampunan.

Monster itu duduk pada apa yang masih tersisa pada gerobak, meletakkan palu di sampingnya dengan keras. “...Bah, sudahlah. Kalian semua itu otak udang. Tidak akan mengerti walaupun aku menjelaskannya pada kalian.”

“GBOR...”

“Aku bilang ‘sudahlah’ Buruan dan cari pria itu. Regu pertama yang menemukan mereka berdua akan bisa melakukan apapun terhadap gadisnya.”

“GROGB! GOBOGR!”

“Paham? Kalau begitu pergilah!”

Para goblin berlari, meneriakkan perintah pemimpin mereka kepada yang lain dengan suara bernada tinggi. Goblin Slayer menjentikkan lidah melihat musuh mereka yang ramai bersemangat. Goblin terdorong oleh rasa takut dan nafsu. Dan raksasa ini sangat mengetahui bagaimana cara untuk menyemangati pasukannya.

Mengerikan memang, Goblin Slayer menyimpulkan.

Tampaknya, melarikan diri ataupun menunggu tidak akan menjadi mudah.

“Um, h-hei...?”

Gadis yang merinding di sampingnya semakin menjandi. Goblin Slayer menjulurkan tangannya, mendekap gadis itu, dan dengan lembut menurunkannya ke tanah. “...Tidurlah.” Tidak dapat mencari kata lain, dia menyentuh pedangnya, dan kemudian mengulangi dengan pelan, “Tidurlah... Besok nggak akan mudah.”

“...Baik.” Gadis Sapi mengangguk, kemudian menutup kedua matanya. Dia sedikit terhanyut, namun tidak dapat membuat dirinya tertidur.

Goblin Slayer tidur dengan satu mata terbuka, siaga setiap saat.

Dia harus; tidak ada pilihan lain.

*****

“Ssseorang yang kamu cintai sekarat. Dan kami lihat seekor goblin melarikan diri. Yang mana yang kamu pilih?”

“Aku nggak tahu.”

Tidak lama setelah ucapan itu keluat dari mulutnya, dia merasakan sebuah hantaman di kepalanya. Masternya—gurunya—telah melemparnya dengan bola salju.

Dia terlempar di lantai yang gelap gua ber-es, namun dia tidak dapat lagi membedakan antara dingin dan sakit. Dia berdiri kembali dan memperhatikan sekitar, berharap untuk menghindsri serangan berikutnya, namun seperti biasa, dia tidak dapat melihat tanda akan masternya.

“Ah, sayang banget! Melihay teman kecilmu mati di depan matamu! Dan goblinnya melarikan diri!”

Dan itulah akhirnya! Di dalam kegelapan, masternya, masih tak kasat mata, mengunyah sesuatu di antara giginya. Kacang yang dia lempar ke bocah itu untuk di ambil di atas tanah beku. Bocah itu telah belajar bahkan di dalam gunung yang di kelilingi salju dan es, ada terdapat cukup banyak makanan jika kamu tahu cara mencarinya.

“Pfah, aku nggak akan bagi! Kamu mau, cari sendiri! Ini punyaku!”

Ya. Bocah itu mengangguk.

Dia sudah terbiasa dengan kesemerawutan masternya namun tidak pernah terlintas di benaknya untuk mencuri makanan dari pria itu. Dia bahkan tidak pernah membayangkannua.

Itu karena, masternya telah mengajari dirinya untuk jujur dan tulus.

“Hrmph,” masternya mendengus dan bersendawa. “Kurasa itu sedikit lebih baik daripada kamu pilih untuk melakukan keduanya.”

“Apa nggak bisa?”

“Sudah jelas nggak bisa!”

Sesuatu yang basah menamparnya di wajah. Cangkang dari salah satu kacang, di ludahkan oleh masternya, mungkin. Dia mengelap itu tanpa berkata apapun. Dia tidak ingin itu berubah menjadi radang dingin.

“Itu artinya kamu tidak mengerti apa permasalahannya. Jika kamu nggak menghadapi realita, maka kamu akan mati lebih cepat! Nggak berguna dan nggak berdaya,” gurunya menggerutu dan meludahkan cangkang lain mengarahnya, kali ini tepat mengarahnpipinya. “Tapi, satu hal,” Masternya menambahkan, dan walaupun dia masih tak terlihay, bocah itu dapat mendengar masternya mmenyeringai, “Ada sekeping jawaban di sana.”

“Sekeping?”

“Yeah—hanya anak jalang bego yang akan membiarkan sesuatu menjadi buruk!” sebuah cekikikan mengerikan bergema di dinding gua. Suara akan kunyahan sesuatu yang renyah, berubah menjadi kunyahan lain. Mungkin, jamur.

Setelah sejenak berpikir, dia membalas.

“Tapi apa yang harus ku lakukam kalau itu sampai terjadi?”

“Apa maksudmu, apa?”

Sebuah cahaya biru keputihan menyayay melewati hidungnya. Bilah dari brlati, ujung belati itu menggesek pipinya, sangat dekat hingga darah keluar dari pipi.

Tiba-tiba, dia bertatap mata dengan rhea itu, yang di mana pupil mata itu bersinar terang di kegelapan. Makhluk tua itu berteriak. “Kamu akan melakukan apapun—kalau dia adalah orang yang kamu cinta!!”

*****

“Mm, er...” Tidurnya begitu ringan hingga tidaklah mengejutkan melihat gadis itu tidak kesulitan bangun. Malam yang panjanh, dan mimpi gadis itu yang pendek. Dia terbangun di karenakan perasaan sesuatu yang bergerak di sampingnya. “Kamu bangun?”

“Eep...!” Gadis Sapi duduk dengan cepat, menutupi bagian bawahnya dengan selimut, kemudian menggunakan kedua tangan untuk menutupi mulutnya. Kemudian dia menyadari bahwa dia tidak mengetahui mengapa dia melakukan semua itu, dan berkedip.

Di mana dia? Ini bukanlah kamarnya. Dan pria itu di sini. Berpakaian seperti biasanya.

“.........Mmm. Selamat pagi.”

“Ya. Selamat pagi.”

Baik, baik. Gadis Sapi mengangguk seraya otak gadis itu pada akhirnya berhasil mengejar realita. Mereka masih berada di dalam gubuk bobrok itu, semuanya masih sama seperti sebelum dia tidur. Dia merinding, kemudian mengintip keluar.

Di lahan bersalju di luar tidak terdapat goblin, setidaknya itu apa yang dapat gadis bisa lihat.

Syukurlah.

Dada besarnya melemas menghela lega.

Sedangkan untuk pria itu, dia sedang memeriksa perlengkapannya, terlihat seperti saat dia melakukan inspeksi pagar di kebun. Helm metal yang terlihat murahannya ada di sana, beserta armor kulit kotor, pedang dengan panjang tidak biasa di pinggul, dan sebuah perisai bundar kecil terikat di lengannya.

Gadis Sapi duduk dan memperhatikan pria itu, kemudian dia batuk membersihkan tenggorkan. “...Apa yang akan kita lakukan hari ini?”

Dia tidak dapat memberanikan dirinya untuk bertanya, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?

“Hmm,” dia mendengus sebelum memberikan jawaban. “Entah kita akan melarikan diri atau menunggu di selamatkan, kita perlu mencari tempat lain untuk tidur.”

“Apa kita nggak bisa tinggal di sini?” Gadis Sapi melihat sekitarnya. “Mereka nggak menemukam kita kemarin.”

Jawaban pria itu acuh. “Mereka akan menemukan kita malam ini. Kita juga perlu tambahan makanan.”

“Makanan...” Gadis Sapi berpikir kembali pada daging kering yang dia makan di malam sebelumnya. Dia merasa seperti tidak memakan apapun.

Bekal kami...

Jika saja dia tidak menjatuhkannya, mereka dapat memakan itu sekarang.

Gadis Sapi menatap tanah terdiam, pria itu memperhatikan ekpresi gadis itu, dan berkata, “Aku akan mencari sekarang, selago para goblin tidur. Kamu tunggu di sini.”

“Apa? Aku nggak mau menunggu,” dengan segera Gadis Sapi menjawab. Dia tidak mengetahui mengapa dia mengatakan itu. Tentunya pria itu tidak akan dapat memahaminya.

“Kenapa?”

Aku kecepolosan! Adalah sesuatu yang bisa dia jawab. Sebagai gantinya, dia bergumam “Um, uh,” dan mencari alasan. Matanya celingak celinguk, namun dia tidak menemukan apapun di ruangan. Ataupun di luar. Gadis Sapi memeganh dadanya. “Ma-maksudku, kalau goblinnya menemukan aku saat aku sendiri, aku akan nggak berdaya...”

Adalah benar, dan itu adalah argumen yang masuk akal. Paling tidak untuk sesuatu yang dia karang di saat itu juga.

Dan juga...aku nggak mau sendirian.

Dia tidak dapat memungkiri itu. Dia memeras tangan yang memegang dadanya, menatap pria itu.

“...Gimana?”

“...” Dia mendengus pelan.

Gadis Sapi memahami situasi yang sedang berlangsung. Paling tidak, dia mengira bahwa dia mengerti. Jadi kali ini, dia merasa tidak bisa memaksakan permasalahan ini. Jika pria itu berkata tidak, Gadis Sapi berniat untuk menerimanya.

“...Maaf.”

“Ah...” Sudah kuduga. Gadis Sapi menggeleng kepala. “Nggak, nggak apa-apa...jangan di pikirkan.”

“Satu tempat bersembunyi itu lebih sulit di cari di banding dua. Aku salah perhitungan tadi.”

“...Huh?” Gadis Sapi baru hendak ingin berkata aku tunggu di sini saja, namun sekarang dia memiringkan kepalanya.

“Dan kamu benar; dengan kamu bersamaku, itu akan dapat membuatku mengatasi apapun yang muncul.”

“...Maksudmu aku bisa pergi denganmu?”

“Kita harus cepat,” dia membalas, tidak menjawab secara langsung “Waktu kita pendek.”

Kalau ada yang kamu perlukan, bawalah.

Dengan instruksi itu, Goblin Slayer berpaling dari dia; Gadis Sapi melihat sekitaran dengan gelisah. Pertama terdapat selimut yang dia gunakan sekarang, selimut yang pria itu lemparkan kepadanya di hari sebelumnya. Dia mengikatnya di sekitar pundak sebagai pengganti mantel, namun sekarang dia merasakan dingin pada kakinya.

Oh! 

Dia tersipu dan dengan cepat mengambil celananya. Dia memakai celana—pinggul, bokong, dan semuanya—dan menarik sabuknya kencang. Pria itu tampak seperti tidak memperhatikan gadis itu sang gadis berharap dia tetap seperti itu.

“Uh, dan, uh, senjata...”

“Kamu nggak perlu,” dia berkata acuh.” Kalau kita mengahadapi situasi di mana kamu butuh senjata, sebaiknya kamu lari. Kita nggak membutuhkan apapun yang mungkin akan membebani kita.”

“Er, baik...”

Kata membebani kita membuat sang gadis teringat pembicaraan dari malam sebelumnya. Dia senang celananya sekarang telah kering. Dia tidak yakin bagaimana dia akan bertahan dengan hanya satu selimut, namun dia tidak akan mendebat pria itu lebih lanjut.

“Ayo.”

“...Oke.”

Gadis Sapi tidak menyukainya; sejujurnya, tidak ingin mengakui itu. Tetapi pria ini, temannya selama bertahun-tahun, adalah Goblin Slayer.

*****

“Sudah ku duga pasti ada jaga malam,” Goblin Slayer menggerutu seraya mereka mengendap dari bayangan ke bayangan melintasi reruntuhan desa.

Pada perintah ogre (walaupun dia tidak akan memikirkan nama itu), beberapa goblin yang mengantuk sedang berdiri berjaga. Goblin Slayer mendekati goblin terdekat dan membungkan mulut goblin itu dengan tangan sebelum menyayatnya.

Terdapat banyak sudut untuk menyembunyikan sebuah mayat. Atau seseorang bisa saja menguburnya di dalam salju. Jejak darah juga tidak lama akan terselimuti oleh badai salju. Jadi salju ini tidaklah begitu buruk.

“Ayo.”

‘Ba-baik...” Gadis Sapi melirik mengarah mayat, kemudian mengikuti pria itu dengan penuh ketidakpastian. Makanan macam apa yang mereka sedang cari?

“Kita nggak bisa berharap desa ini memiliki persediaan pangan.” Tampilan daging dari malam sebelumnya telah membuat pria itu tidak memiliki kseimpulan lain. Jika ada sesuatu lain yang dapst di makan untuk di cari, maka para goblin tentunya sudah menghabisinya.

Dia mengamati iblis kecil ini dari balik salju. Adalah fakta sederhana bahwa kegelapan putih dari badai salju ini berada di sisi para goblin. Manusia tidak dapat melihat di kegelapan, dan mereka juga rentan terhadap dingin. Gadis Sapi berada di belakangnya, terbungkus oleh selimut, namun dia masih merinding dengan kencang. Goblin Slayer memutar helmnya sedikit, dan dapat melihat kulit gadis itu memucat.

Nggak ada gunanya untuk berburu.

Beban yang akan di rasakan tubuh gadis itu akan terlalu berat. Dan kemungkinan untuk ketahuan oleh goblin juga tinggi.

Nggak. Goblin Slayer menggeleng kepala, mengkoreksi dirinya sendiri: kemungkinan akan ketahuan oleh goblin sangatlah tinggi, dan beban yang akan di rasakan gadis itu sangatlah berat. Dia tidak boleh salah dalam menilai dua hal itu. Dia akan dalam bahaya jika mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya.

Jika prioritasnya salah, maka itu dapat menggiring mereka kepada kematian. Dan sangat sering, dengan goblin, itu tidak akan hanya berakhir dengan kematian.

“...Kamu ingat lingonberry?” Goblin Slayer bertanya, berhati-hati tetap membuat suaranya pelan.

Pada awalnya Gadis Sapi kebingungan, namun akhirnya dia berkata, “Yeah,” dan mengangguk. “Bearberry, kan? Kecil dan merah. Biasanya tumbuh tepat di luar desa.”

“Beberapa beri itu mungkin masih tersisa.”

Mereka akan mencari itu. Goblin Slayer mendegak ke langit. Awan abu-abu, tebal dan berat dan gelap, terus memuntahkan salju. Angin berhembus, dan tidak ada tanda adanya perubahan pada salju yang turun. Tidak ada tanda akan adanya burung di manapun. Namun jika ada...

“Kalau kamu lihat adanya burunh, maka itu pertanda adanya beri di sekitar situ.”

“Baiklah...burung ya.” Gadis Sapi menjawab serius. “Lingonberi... Ada yang lain?”

“Rock tripe.”

“Rock tripe...?”

Goblin Slayer mempertimbangkan sesaat, kemudian memberikan tanda dengan canggung. “Jamur hitam, datar.”

“Oh, aku mengerti... Oke. Aku tahu apa yang harus di lakukan sekarang,” Gadis Sapi berkata, dan dia tersenyum.

Dengan dingin dan takut dan ketegangan, mungkin senyum bukanlah kata yang tepat. Namun Goblin Slayer mengangguk. “Ya,” dia berkata, dan suaranya bergetar sedikit. “Kita harus hati-hati dengan sekitar kita selagi kita bekerja.”

Seharusnya itu tidak perlu lagi di katakan. Namun Goblin Slayer merasa dia harus mengatakannya.

*****

Mereka tidak dapat membuat api untuk melelehkan salju; ataupun mereka dapat menggunakan sumur, yang di mana sedang di jaga goblin. Mereka mendapatkan air dari danau beku di ujung desa

“....Cara untuk menyelesaikan ini.”

“Salju terakumulasi di sekujur lahan ini... Dan jika ada sumur, maka pasti ada sumber air. Walaupun ini mungkin di gunakan sebagai irigasi.”  Seraya dia berbicara, dia menarik belati dan menancapkannya ke es, menggesek es itu. “Para goblin nggak akan menyadari sesuatu seperti ini.”

Sementara dia bekerja, adalah pekerjaan Gadis Sapi untuk terus berjaga. Gadis Sapi memperhatikan sekitarannya, memeluk pundak berlapis selimutnya dan merinding. “Kalau saja kita bisa menggunakan sumurnya, ya?”

“Aku yakin para goblin juga berpikir hal yang sama.”

Kita nggak punya pilihan. Dengan itu, dia berlanjut bekerja dengan belatinya, dan tidak lama, dia telah menggali sebuah lubang kecil di dalam es. Dia menjulurkan tangan ke dalam untuk memeriksa airnya. Adalah jernih dan terlihat murni.

“Menurutmu apa itu nggak terkontaminasi atau semacamnya?”

“Karena dulunya ada desa di sini, aku ragu kita perlu khawatir.” Dia mengangguk, kemudian dia mengeluarkan sebuah sedotan hitam, tipis dari tas peralatannya. Dia memasukkan satu ujung ke dalam air dan ujung lain ke mulutnya dan menyedotnya; di saat sedotan itu telah penuh dengan air, dia menuangkan air itu ke dalam botol minumnya. Dia meletakkan botol itu pada sebuah turunan salju yang rendah yang sengaja dia gali untuk  tujuan itu, dan aliran air terus mengalir secara natural.

Gadis Sapi, yang menjaga satu matanya pada pekerjaan dan satu mata menjaga adanya masalah, memiringkan kepala penasaran. “Apa sedotan itu semacam sihir...?”

“Sedotan ini terbentuk dari getah pohon yang mengalir di pipa dan di biarkan mengeras.” Dia menjelaskan. “Aku hanya sekedar meletakkan botol minum ini lebih rendah dari tingkat airnya.”

Air mengalir ke bawah. Penjelasan itu sangat sederhana, namun pria itu tidaklah piawai dalam menjelaskan.

“Huh.” Gadis Sapi berjongkok di sampinh pria itu, terlihat ragu. Pria itu diam, satu tangan pada pedang seraya dia memperhatikan area sekitar.

Gadis Sapi menghela napas pelan. Dia ingin dekat dengan pria itu—tidak terlalu, tetapi dekat. Dia yakin jika dirinya berada terlalu jauh dari pria itu, dia akan mati.

Tapi aku nggak mau dia berpikir aku seperti itu.

Dia membiarkan perasaannya mengalir kendala udara beku bersama dengan kabut dari helaan napasnya. Betapa mudahnya jika dia hanya berpangku semuanya kepada pria itu—seperti apa yang dia sedang lakukan sekarang.

Tapi kalau aku melakukan itu, semuanya akan benar-benar berakhir.

Setidaknya untuk gadis itu, walau bagaimanapun perasaan pria itu.

“Kamu tahu banyak hal berbeda ya?” kata itu terucap begitu saja dari sang gadis; dia tidak dapat menahan keheningan ini, hanya melihat kepada pria itu dan menunggu sesuatu berubah.

Jawaban pria itu singkat. “Aku belajar.”

“Huh,” Gadis Sapi berkata. Dia memeluk kedua lutut untuk menghalau dingin, mendekap lutut ke dadanya yang besar. “Kamu ini pintar.”

“...Nggak.” Hampir terdengar seperti sebuah gerutu, dan dia menggeleng kepalanya. Gadis Sapi tidak dapat melihat wajah di balik helm itu, tetapi dia mempunyai perasaan bahwa mata pria itu sedang terpaku pada botol air. “Guruku sering bilang kalau aku ini tolol.”

“Gurumu bilang seperti itu?” Gadis Sapi berkedip. Ini sangat mengejutkan. Tentunya dia tidak percaya hal semacam itu.

Gadis Sapi menyeret tubuhnya lebih dekat dengan pria itu, berputar agar dia dapat melihat wajahnya. Adalah helm baja yang terlihat murahan seperti biasanya.

“Dia bilang aku nggak punya imajinasi,” Goblin Slayer melanjutkan. “Jadi aku akan mati dengan cepat.”.

“Mati...?” Gadis Sapi mendapati dirinya terbengong, dan berusaha mencari kata. “Tapi...kamu hidup sekarang.”

Gadis Sapi akan dalam masalah besar jika pria itu tidak hidup. Kata cepat itu membuatnya jijik; dia tidak ingin memikirkannya.

“Jadi, guruku bilang, jangan coba sesuatu yang tidak ada orang yang bisa melakukannya.”

“Karena kamu pasti nggak akan bisa melakukannya.”

“Kamu pikir kamu lebih pintar dari yang lain?”

“Kamu ini tolol nggak berguna, dan kamu nggak bisa melakukan apapun, selain hal-hal  nggak berguna.”

“Huh...” Gadis Sapi memanyunkan bibir. Dia tidak terhibur. Dia merasa seorang “guru” yanh dia tidak pernah lihay sedang mengejek pria itu. “...Kalau aku ada di sana, aku pasti sudah menegur dia untukmu.”

“Tapi dia juga mengajariku bahwa jawabannya selalu ada di kantongku.”

“Apa...?” kata itu seperti sesuatu yang keluar dari teka-teki, dan dia tidak dapat segera memahaminya. Gadis Sapi memiringkan kepala kembali, dan pria itu tersenyum—atau paling tidak, itu yang sang gadis rasakan.

“Berpikirlah sekeras yang kamu bisa, kemudian lakukan apa yang bisa di lakukan...kurasa artinya seperti itu.”

“Apa yang bisa kamu lakukan...”

“Apapun.”

“Apapun...?”

“Benar.”

Goblin Slayer mengambil botol air dan mengocoknya. Sebuah cipratan terdengar dari dalam. Puas botolnya telah penij, dia menukarnya dengan yang kosong. Mulai mengumpulkan air kembali.

“Minum.”

“Whoa!” Dia melempar botol yang penuh itu kepada sang gadis, dan Gados Sapi menangkapnya dengan lembut.

“Dan makan. Masih banyak yang belum di lakukan.”

“Ya, baik.” Gadis Sapi mengangguk dan membuka sapu tangan penuh akan lingonberry yang mereka kumpulkan di jalam. Lezat atau tidak, bukanlah masalah penting sekarang.

“...Apa yang kamu akan makan?”

“Aku punya ini,” dia berkata dan memasukkan rock tripe hitam dan keras ke dalam helmnya. Dia mengunyah dengan berisik, namun jamur itu tampakmtidak begitu nikmat bagi Gadis Sapi.

Dan dia makan mentah lagi...

“Hrgh,” Gadis Sapi mendengus, namun kemudian dia berkata, “Oke,” dan mengambil sisa setengah dari jamur yang tersisa dari pria itu. Dan dengan “Ini!”, Gadis Sapi mendorong setengah lingonberry kepada pria itu.

“Er...”

“Ayo berbagi!”

Dari suara gadis itu sangatlah jelas bahwa dia tidak ingin berdebat. Gadis Sapi menganggap diam dari pria itu sebagai persetujuan dan mulai memakam rock tripe itu.

Gadis Sapi mengira bahwa dia memahami situasinya. Keberutungan mereka belum terlalu berubah jauh dari yang di bayangkan. Namun airnya dingin, jamurnya keras, dan lingonberry itu sangat pahit.