FIRASAT KEHANCURAN

(Translator : Zerard)


Sesuatu yang gelap menciprat di keseluruhan salju putih

“GOROBOGO?!”

Jeritan melengking itu bukanlah milik manusia. Adalah suara hina dan menjijikkan dari seekor goblin

Monter itu meronta dan mengerang di tengah badai. Sebuah pedang menembus tubuhnya dengan dinginnya es. Monster itu menjerit sekali, dan kemudian tidak terdengar jeritan lainnya lagi.

…Tidak, terdapat sesuatu yang lainnya.

Berjalan dengan santai di atas karpet es dan salju adalah sesosok figur—seorang petualang.

Dia memiliki helm baja yang terlihat murahan, armor kulit yang kotor, sebuah perisai bundar di lengannya, dan sebuah pedang dengan panjang yang aneh pada pinggulnya.

Ternoda merah dan putih dari cipratan darah dan salju, sang petualang berkata dengan tenang, seolah dia tidak baru saja mencabut nyawa. “Lima.”

Penuh belas kasih dan dingin, butir indah yang berdansa, roh salju, telah menutupi semua jasad itu. Atau mungkin bagi mereka, keputihan murni ini sendiri sangatlah indah, dan putih ini akan melapisi seluruh dunia. Tidak akan butuh lama hingga gumpalan salju untuk menutupi mayat segar itu.

Sedangkan bagi pria itu, goblin hidup adalah sesuatu yang sangat patut di cemaskan, namun goblin yang mati, tidaklah penting untuk di ingat. Dia berjalan melintasi salju yang terjatuh tanpa suara, tetap siaga seraya berbicara dengan nada pelan biasanya.

“Ayo.”

“Ba-baik…!”

Suara yang menjawab itu begitu rapuh, merinding dan bergetar seperti sebuah bola yang di lempar secara paksa ke tanaha. Gadis itu muncul dari salju di belakangnya dengan wajah yang pucat, mencoba untuk mengikuti. Gadis itu memiliki rambut merah dan dada yang besar. Bukanlah salju yang membuat dirinya merinding.

“A-apa kamu yakin soal ini………?”

“Aku nggak melihat adanya masalah,” pria itu berkata, kemudian berpikir sejenak dan menambahkan, “Buat aku ataupun sekeliling kita.”

“O-oke…”

“Kamu nggak apa-apa?”

Situasi mereka tidak mengijinkan mereka untuk bersantai. Tetap saja, sang gadis memaksa wajahnya yang tegang untuk sedikit lebih santai. Tetapi itu bukanlah sebuah senyuman yang biasa di lihat pria ini dari gadis itu.

“Yeah. Aku baik-baik aja…”

Pria itu mengangguk, kemudian mulai berjalan, dengan tetap siaga. Sang gadis mengikuti pria itu dengan langkah pendek dan cepat. Dari cara sang gadis terus memeriksa keadaan sekitarnya membuat rasa cemasnya tampak begitu jelas.

Gadis itu tersandung sebuah kayu, yang membuatnya kaget. Di balik salju adalah pohon yang membusuk. Bebatuan juga. Dan mungkin tulang manusia.

Terdapat sebuah desa di sini, dulu. Dulu sekali.

Bukan desa yang pria dan gadis itu tinggali. Tempat itu sudah di dirikan sebuah bagunan untuk di gunakan sebagai fasilitas latihan untuk para petualang.

Desa hancur yang dapat di temukan di manapun. Mungkin goblin yang melakukannya, atau sebuah bencana, atau seekor naga.

Pria itu mengetahui itu, dan begitu juga sang gadis.

Walaupun pria itu memahami ini sepenuhnya, sang gadis tidak pernah merasakan ini pada tulangnya sebelumnya.

Pada angina yang berhembus, tawaan liar para goblin bergema.

Dan sekarang, pada akhirnya, sang gadis memahami apa arti dari berpetualang ke tempat hunian goblin.

*****

“Lihat salju itu!”

Jendela dari Guild Petualang menjadi putih. Bagi mata seorang elf, itu pasti terlihat seperti anak perempuan dari es dan salju sedang berdansa. Dia duduk melihat keluar dengan dagu di kedua tangan dan telinga panjangnya mengepak, sebuah senyum riang pada wajahnya. “Musim salju itu seharusnya begini. Biarpun itu artinya di luar dingin menggigil dan di di hempas sama angin.”

“Sedangkan untuk saya, suhu yang terlalu dingin membuat tekanan darah saya menurun hingga mencapai titik di mana saya bercumbu dengan kematian.” Kebalikkannya, sang lizardman priest berusaha untuk tetap dekat dengan api sebisa mungkin. Petualang lain menjaga jarak sehat dengannya namun tetap menerima keberadaan sang lizardman. Itu karena, sudah hampir dua tahun sekarang semenjak pengujung mengerikan ini telah datang ke kota perbatasan. Satu-satunya yang terbelalak melihat sang lizardman akhir-akhir ini hanyalah pegawai Guild baru.

“Itu artinya kamu belum kuat!” Knight Wanita membuka pintu dengan kencang, terlihat bersemangat seperti anak anjing yang di ajak bermain ke luar di salju. Di belakangnya datang Heavy Warrior, Bocah Scout, dan Hal Elf Light Warrior, semua tampak lelah. Jika di lihat dari mereka semua yang terlapisi dengan salju, tampaknya mereka telah di paksa untuk menemani Knight Wanita untuk berlatih.

Gadis Druid membantu mereka membawakan anggur hangat, yang mana di terima Knight Wanita. “Bukannya kamu pernah mendengar dengan Diamond Drake?”

“Alam suci seperti itu masihlah di luar jangkauan saya.” Lizard Priest berkata, bernapas pelan seraya dia mencondongkan tubuhnya pada perapian.

“Mau…Di…hangatkan…?” Tanpa pernah merubah tingkah lakunya yang terlihat melankolis, Witch melakukan sesuatu yang tidak biasa. Dia menyalakan api pada ujung jarinya. Dia melepaskannya seperti sebuah bola api, dan melemparkannya ke perapian, memicu api hingga membara.

“Ohhh, terima kasih banya…!” Lizard Priest menggabungkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh, seolah dia sedang memuja seorang dewi, yang di mana Witch hanya tersenyum.

Spearman datang (Witch tidak sama sekali menyuruhnya) dan duduk di samping wanita itu dengan penuh otoritas. “Spesies besar artinya masalah besar,” dia berkata. Dia mendorongkan gelas madu berbuihnya: Ini.

“Hmmm…”

“Ini bukan keju, tapi aku yakin kamu pasti berteriak ‘Madu manis!’ seperti biasanya”

“Mmm.” Lizard Priest menelan isi gelas dengan satu tegukan, kemudian menghela, hanyut dalam pikiran. “Rasanya cukup unik.”

“Aku selalu merasa aneh melihat betapa sensitifnya lidahmu itu. Bukanlah hal yang bagus bagi seorang pria untuk mempunyai rasa suka dan tidak suka yang terlalu kuat, loh.”

“Ha-ha-ha-ha-ha, Anda perlu ingat, bahwa saya adalah karnivora. Memakan dedaunan, saya tidak dapat melakukannya.” Perdebatan itu menandakan bahwa dia sudah sedikit menjadi lebih hangat.

High Elf Archer, melihat Lizard Priest bersemangat lagi, menyodok pundak Lizard Priest dengan jari dan berkata “Oh” lalu sebuah seringai. “Kalau begitu kami ini apa?”

“Pemakan dandelion, menurutku. Selera yang buruk sekali.” Dwarf Shaman menjulurkan kepalanya dari dapur untuk memberikan jawabannya.

“Kamu ini!” High Elf Archer melotot kepadanya, telinganya menegang ke belakang. “Itu diskriminasi ras, dwarf!”

“Kamu itu harus belajar untuk makan daging. Karena itu kamu selalu penasaran kenapa kamu masih datar saja selama berabad-abad ini.”

“Jangan ngolok aku ya!” High Elf Archer membalas, membusungkan dadanya dalam kemarahan murni. “Umurku itu dua ribu tahun, tahu!”

“Itu bukan sesuatu buat di sombongkan,” Dwarf Shaman membalas, membelai jenggotnya lelah. Di tengah meja rumah makan, dia membeli sebuah panci rebusan besar. Di dalamnya, terdapat banyak kubis, kentang, hati, dan sepek yang mendidih bersama dengan berisik.

“Menu spesial kami!” Paddfoot Waitress memanggil dari dalam dapur dengan lengan terangkat, memberikan mereka sebuah jempol. “Buatan Rhea yang di siapkan oleh padfoot!”

“…Dan di bumbui oleh dwarf. Ini, makan.”

Uap mengepul dari dalam panci. Rookie Warrior dan Apprentice Cleric, membungkuk kelaparan dan kedingingan, datang mendekat dan melihat makanan dengan mesra. Pasangan itu akhirnya telah lulus dari berburu tikus, namun mereka masih merasa sulit untuk dapat menjalani hidup dengan mapan.

“Apa boleh…?”

“…Kenapa nggak.” Dwarf Shaman menjulurkan mangkuk untuk pasangan yang merasa enggan itu. Bocah dan gadis muda itu saling bertukar pandang, kemudian pada panci yang beruap, dan detik berikutnya, mereka menatap makanan itu. “Ah, lanjut aja dan habiskan bocah. Makan sampai kenyang.”

Kemudian…

“Ah, Phew…!” Masuk ke dalam Guild seperti seekor anak anjing adalah Priestess yang kurus dan langsing. Dia mengguncangkan badannya dengan kuat, berusaha menjatuhkan salju yang ada di bajunya. Dia menghela napas pada tangannya yang gemetar, menghela dengan lega karena sudah berada di dalam kehangatan. “Hai, semuanya, aku sudah kembali…”

“Selamat datang kembali,” High Elf Archer berkata dengan lambaian tangan. “Gimana kuilnya?”

“Dingin bangen tahun ini. Ada banyak flu mengerikan yang menyebar…” Wajah Priestess menjadi murung.

Suhu musim dingin benar-benar dingin tahun ini. Jika hanya karena sekedar roh es lebih aktif dari biasanya, maka setidaknya itu masih dalam jangkuan fenomena alam biasa. Sebagai pelayan dari Ibunda Bumi, dia akan menerima itu tanpa rasa pahit atau mengeluh dan mencoba sebaik mungkin untuk menghadapinya…

Namun penyakit yang menyebar sangatlah buruk hingga Priestess di butuhkan untuk merawat yang terjangkit, yang di mana Priestess tidaklah lagi bekerja sebagai pegawai di kuil.

“Mudahan saja itu bukan maut hitam atau flu barat,” Dwarf Shaman berkata. “Ini.” Dia meyuguhkan mangkuk penuh dengan rebusan kepada Priestess (TL note : Maut hitam = Black death)

“Terima kasih!” Priestess berkata, menerima makanan hangan dengan kedua tangan dan mencicipinya. “...Enak.” Dia bahkan tidak bermaksud berkata seperti itu, ucapannya keluar secara sendirinya—bukti bahwa dia tidak berbohong. Betapa nikmatnya merasakan kehangatan yang menyebar di keseluruhan tubuhnya.

Apa ini merica?

Rasa menggelitik tipis pada ujung lidahnya mungkin adalah—pasti adalah—merica. Priestess mengganguk dan menyeruput kembali. Kemudian, tiba-tiba, dia melihat sekitaran, tampak cemas. “Um, di mana Goblin Slayer…?

“Dan hal pertama yang dia cemaskan itu Orcbolg. Huuu.” Ucapan lelah dari suara High Elf Archer membuat Priestess tersipu dan menatap ke lantai.

“Goblin Slayer? Sayangnya dia tidak ada di sini hari ini.”

Jawaban yang di cari Priestess datang tidak dari rumah makan tetapi dari samping bangunan yang menangani bisnin Guild. Gadis Guild, selesai bekerja hari ini, ikut bergabung dalam pembicaraan seraya dia memakai jubahnya, bersiap untuk pergi pulang.

“Apa dia pergi bekerja?”

“Uh-huh. Itulah mengapa saya tidak tinggal lebih lama.” Gadis Guild tersenyum, menghiraukan Spearman, yang di mana Witch sudah duduk pada kursi pria itu. “Ada beberapa desa yang tidak akan bisa bertahan di musim dingin dengan dingin yang seperti ini. Kita akan meminjami mereka dengan persediaan, jadi dia akan membantu pengirimannya.”

“Jadi…wanita dari kebun itu ikut terlibat?” Priestess berpikir singkat akan wanita muda riang yang tinggal di kebun dengan Goblin Slayer. Priestess terpesona dengan wanita tua di sekitarnya seperti Witch dan Sword Maiden, namun dia juga merasakan hal yang sama dengan Gadis Sapi. Dia berhasil bertingkah begitu…..natural.

“Ya. Perjalanannya cukup sulit, jadi saya rasa mereka tidak akan kembali untuk beberapa hari.” Gadis Guild menjawab dengan nada sepi dalam suaranya.

“Begitu…” Priestess mengangguk, kemudian berputar menuju jendela. Kegelapan putih semakin padat dan padat. Ketika dia berpikir tentang bagaimana pria itu berada di suatu tempat di balik jendela sementara dirinya sendiri berada di tempat yang pria itu tidak dapat melihatnya.

Nggak, hentikan. Aku harus tenang.

Perasaaan akan tidak nyaman dan kesepian berputar di kepala Priestess, namun Priestess menggelengkan kepalanya.

Dia tidak dapat mengumpulkan keinginannya untuk kembali ke kuil hari ini. Dan tampaknya mustahil untuk berlatih ketapel batu di luar.

Kurasa aku sebaiknya melakukan apa yang aku bisa.

Dengan pikiran itu di kepalanya, Priestess berkata, “Um,” berucap dengan ragu namun jelas kepada Gadis Guild. “Apa bisa, aku meminjam buku Monster Manual lagi?”

“Ooh, kutu buku kecil juga ya,” Gadis Guild berkata dengan senyuman. “Tentu saja. Tunggu sebentar.”

Priestess menghela napas seraya Gadis Guild kembali masuk ke dalam kantor seperti anak kecil kegirangan. Priestess melirik kepada High Elf Archer, yang menyeringai mengarahnya. “I-iya, apa?”

“Nggak sabaran banget ya.”

“Bukan begitu,” Priestess berbisik, namun High Elf Archer menghiraukannya.

“Hal seperti itu bukan buat aku. Aku nggak bisa. Walaupun aku mencoba buat membacanya, aku yakin aku Cuma akan membaca bagian yang terkenalnya saja. Seperti naga, raksasa, vampire.” High Elf Archer menghitung dengan jari, dan benar, itu adalah semua monster yang bahkan Priestess ketahui namanya. Karena itu dia memutuskan untuk tidak mengatakan apapun lagi, dan menunggu Gadis Guild kembali dengan sabar.

Jika mereka mendapati bahwa halaman pertama yang dia balik adalah selalu tentang goblin, dan bagaimana dia harus memulai membaca dari bagian itu setiap kali…

Priestess menerima Manual itu, dan mulai membaca dengan setenang mungkin.

*****

“Ugh, aku nggak bisa lagi!”

Seraya keponakannya datang kerumah dengan teriakan yang semestinya, sang pemilik kebun hanya mengangguk. “Sudah ku bilang. Kamu seharusnya nggak keluar seperti itu.”

“Aw, tapi…”

Gadis Sapi membalas tanpa banyak antusiasme, terlihat seperti akan menangis.

Ekspresi gadis itu bukanlah satu-satunya yang tidak biasa dari gadis itu, pakaiannya berbeda juga. Dia menggunakan baju renda yang menonjolkan dadanya, dan dia menggunakan sebuah rok berlipat merah. Pakaian itu bukanlah pakaian bekerja biasanya, ataupun gaun yang dia gunakan ke festival. Dia tentunya sedang mengenakan pakaian terbaiknya.

Akan tetapi. Pemilik kebun berbicara dengan nada memarahi, seolah dia sedang menegur anak perempuannya karena sudah melakukan sesuatu yang bodoh. “Ini musim dingin—ada salju di luar sana, ya ampun.”

“Ta-tapi ini pakaian baru yang ku beli…” Dia menjulurkan lidahnya, namun ucapannya tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah realita. Tidak setelah dia pergi keluar pintu dengan tidak sabar dan kembali ke dalam secepat mungkin, dengan pundak yang gemetar yang ujung rok yang mengerut ke atas…

Sangatlah dingin, dan rok itu membuatnya sulit berjalan, dan tampak rentan menjadi kotor karena salju dan lumpur.

“Gimana aku nggak mau memakainya?”



Semua factor ini telah berkontribusi untuk memaksanya kembali ke dalam, memegang roknya dan hampir menangis. Sang pemilik terlihat cukup kesal. “Dan kalau kamu sampai demam karena menggunakan itu, terus gimana?”

Sebuah pertanyaan melintas di pikiran pria itu—apakah gadis ini sudah mulai membawa seseorang ke kamarnya?—namun pria itu tidak menyuarakan pikirinya. Sang gadis tidaklah terlihat seperti tipe yang akan melakukan hal seperti itu. Paman sangatlah senang untuk melihat sang gadis mempunyai ketertarikan terhadap fesyen, dalam jalan keluar, dalam melakukan hal-hal kewanitaan yang seharusnya di lakukan oleh gadis seumuran dia. Permasalahannya adalah—

--siapa yang melakukan hal-hal itu bersamanya.

Sang pemilik menghela kecil, mencoba agar keponakannya tidak melihat apa yang dia pikirkan. “Daripada rok itu, pakai celana panjang atau yang lainnya. Dan pakai jaket.”

“Baik, pak…”

Keponakannya menghilang masuk ke dalam ruangan, tampak jelas murung. Sang pemilik menoleh dari pintu tertutup menuju jendela, yang di mana dia dapat melihat sosok berarmor berdiri di tengah salju. Sang pemilik menghela kembali.

*****

Goblin Slayer memperhatikan salju yang turun secara konsisten. Dia berdiri melihat langit, di samping sebuah gerobak, di mana dia mengisinya dengan kargo dan yang paling tidak biasa adalah, terdapat kuda yang terikat pada gerobak itu.

“…” Napas yang menyembul dari balik helm baja, berkabut putih sebelum mengambang menuju langit di surge.

Ini bukanlah karena dia mempunyai perasaan spesial terhadap salju. Hal yang di ajarkan masternya pada pegunungan salju itu terlalu brutal untuk di anggap sebagai kenangan indah. Pada saat ini, dia sedang memikirkan kesulitan akan party bersenjata yang berjalan melewati salju, tentang potensial bahaya, dan tentang goblin. Dia perlu untuk melindungi kargo, kuda, dan gadis itu juga. Bagaimana dia harus merespon jika mereka bertemu dengan goblin?

Apa aku perlu memanggil temanku?

Penyesalannya berpikir tentang gadis itu dan yang lainnya sebagai teman sudah lama menghilang sekarang. Namun “quest” ini tidaklah resmi, sebuah pertolongan pribadi.

Lebih jangan, kalau begitu.

“Maaf membuatmu menunggu!” dia di sambut oleh suara riang yang datang melintasi salju.

Dia menoleh untuk melihat Gadis Sapi berlari mengarahnya, napas gadis itu menguap di udara dingin.kulit pundaknya yang terpapar berwarna merah, hangat akan darah yang terpicu oleh dingin. Dia menggunakan jaket panjang untuk membantu melindungi dirinya dari elemen, memakai tudungnya seraya dia berlari. “Bagaimana menurutmu?”

“Kalau kamu nggak kedinginan, maka nggak masalah.”

“Yeah?” Sang gadis tampak seperti senang menunjukkan pakaiannya kepada Goblin Slayer, berputar di depannya.

“Kakimu,” Pria itu berkata, menyadari sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. “Kamu nggak apa-apa seperti itu?”

“Oh, celana ini? ….Yeah.” Gadis Sapi mengangguk. “Apa kamu lebih suka rok?”

“Dua-duanya bagus,” dia berkata pelan.

“Hmm,” Gadis Sapi berkata, menyatukan jemarinya bersama seraya berpikir. “Kurasa rok itu sedikit lebih berat. Dan membuat kakiku sedikit lebih dingin.”

“Kalau begitu, celana panjang.”

“Tapi bukannya rok itu lebih imut?”

“…Aku nggak yakin.” Seraya dia berbicara, Goblin Slayer menaiki bangku pengemudi. Dia menggenggam tali kuda di tangan kanan, menjulurkan tangan kiri kepada Gadis Sapi. “Naik.”

“Oh, iya.” Tangan gadis itu—sedikit lebih besar dan berotot untuk seorang gadis muda—menyambut tangan itu. Dengan genggaman kuat, Goblin Slayer membantunya naik ke atas bangku.

Bokong gadis itu yang cukup besar mendarat di kursi di samping pria itu dengan poompf, dan sang gadis tertawa, “Hee-hee.” Kemudian dia berkata. “Oh, gimana dengan bekalnya…?”

“Yang kamu buat?” Goblin Slayer bertanya.

“Uh-huh.” Gadis Sapi mengangguk kembali.

“Aku membawanya.”

“Baguslah.” Gadis Sapi membusungkan dadanya yang besar dengan bangga, menepuk lengan Goblin Slayer dengan lembut. Kepala pria itu mengangguk ke atas dan ke bawah, kemudian dia memberikan cambukan pada tali kuda. Kuda meringkik dan mulai berjala ke depan. Roda gerobak berdecit, mengukir jalur roda di salju.

Akan membutuhkan waktu beberapa hari bagi mereka untuk mencapai desa yang menunggu persediaan yang mereka bawa. Sebuah pengantaran sederhana. Tidak lebih dan tidak kurang.

Dunia di banjiri dengan monster, dan bandit segala penjuru. Tidak pernah ada yang namanya sebuah perjalanan yang benar-benar aman. Sebuah fakta kehidupan sederhana.

Ini bukanlah petualangan. Hanya pengantaran.

Bahkan Goblin Slayer-pun berpikir demikian.

*****

Salju berlanjut jatuh. Decitan roda gerobak hanyalah satu-satunya suara yang terdengar seraya mereka melintasi dunia yang menjadi putih. Pada sumber suara itu adalah sesosok figure gelap, duduk di atas gerobak. Goblin Slayer melanjutkan perjalanan tanpa suara, di sampignya, gadis itu mendapati dirinya tidak dapat mengatakan apapun.

Atau lebih tepatnya, aku nggak tahu harus ngomong apa…

Sekarang jika dia pikir kembali, ini adalah pertama kalinya dia melakukan perjalanan bersama pria itu, walaupun hanya berlangsung selama beberapa hari. Ini tidaklah seperti di kala mereka pergi ke desa High Elf Archer. Dan bukanlah seperti saat mereka melakukan pengantaran pesanan harian mereka.

Aneh banget.

Gadis Sapi bergerak, menarik lututnya ke dalam, dan menghela napas. Dia merasa seperti dia telah bersama pria itu secara virtual setiap kali dirinya berada di kota. Namun sekarang yang hanya gadis itu dapat lakukan hanyalah duduk terdiam, menatap wajah pria itu dari samping. Yang tampak seperti biasanya: helm baja tak berekspresi.

Kira-kira ekspresi dia sekarang bagaimana ya…?

“Hei.”

“Hwha?!” Dari cara pria itu yang berbicara tiba-tiba ketika sang gadis sedang hanyut dalam pikirannya menyebabkan pundak gadis itu melompat terkejut. “I-iya, apa?!”

“Kamu nggak dingin?”

“Er, uh, ng-nggak… Aku nggak apa-apa.”

“Begitu.”

Gadis Sapi mengangguk, dan itulah akhir percakapan mereka.

Untuk beberapa saat, sekali lagi hanya terdengar suara roda yang menggesek jalanan. Jari Gadis Sapi bergerak resah di depan dadanya yang besar. Dia menarik napas, kemudian menghela. Jika dia membiarkan kesempatan ini begitu saja, maka mereka akan terus seperti ini.

“H-hey, uh…”

“Apa?” ucapan itu singkat, pelan. Gadis Sapi mengetahui bahwa seperti itulah suara pria itu selalu terdengar, namun dalam sekejap dia merasa dirinya kewalahan.

“Um…” Ucapan itu menyangkut di tenggorokannya, dia menutup mulut, kemudian membukanya kembali. “A-apa yang biasanya kamu…ceritakan?”

“Biasanya?”

“Kayak, saat kamu lagi berpetualang… Maksudku, sama partymu.”

Dia mendengus pelan dan tiidak menjawab dengan segera. Mungkin dia sedang mencari kata. Seperti biasanya.

“…Nggak ada yang istimewa.”

Hanya itulah jawaban yang di terima gadis itu, pendek dan ringkas.

“Oh, oke,” Gadis Sapi berbisik, dan melihat ke bawah. Salju menumpuk di tudungnya, dan dia merasa merinding di sekujur tubuhnya.

Sangat, sangatlah dingin.

“………………Memulai…”

“Huh?” Ucapan itu membuatnya terkejut, dan sang gadis berkedip.

“Memulai percakapan itu bukan keahlianku.”

“….Iya.”

Dia mengetahui itu. Gadis Sapi mengangguk. Sang gadis tidak dapat mengingat apakah itu memang selalu benar. Namun tentunya sekarang adalah benar. Dia sangat memahami itu.

“Jadi,” Pria itu berkata, dan kemudian berhenti sesaat. “Jadi…Aku mendengar apa yang orang lain katakan, dan aku menjawab.”

“…Begitu.” Gadis Sapi memalingkan pandangan dari pria itu, mendengak menuju langit. Dia melihat butir putih salju berdansa dari awan tebal, seolah datang mendekati mereka. dia melihat napasnya sendiri menjadi uap, bercampur dengan butir salju seraya uap itu melayang. “Kalau begitu…”

“Ya?”

Gadis Sapi berkedip seraya dia mendengak, kemudian melirik kepada pria itu. “Aku… Aku boleh bicara? Tentang, kamu tahulah…apapun.”

“Ya.”

Pria itu menjawab dua kali sekarang dengan kata yang sama, namun wajah Gadis Sapi menjadi ceria. “Y-yah, oke, uh…! Saat kita sedang istirahat waktu itu--!”

“Hmm.”

“Gadis resepsionis dan yang lainnya dan aku juga, kita semua bermain bersama. Semacam permainan, uh, permainan papan gitu…”

Gadis Sapi terdengar seperti sedang menyombongkan dirinya kepada bocah tetangga. Ucapannya mengalir ke segala arah. Bukanlah seperti ada sesuatu yang patut di ingat telah terjadi. Terkadang lemparan dadu sangatlah bagus, dan terkadang sangatlah buruk. Gadis Sapi berbicara tentang cuaca yang mereka jalani tiap hari dan panen dan binatan di kebun.

Dia berbicara tentang apa yang akan terjadi seraya pria itu sedang pergi. Bagaimana petualang lain terlihat di matanya. Suara riangnya memantul di salju, menghilang di telan suara roda. Masihlah dingin seperti biasanya, namun Gadis Sapi tidak lagi peduli.

Tidaklah begitu jauh untuk mencapai desa, bahkan jika jalannya tertutupi dengan salju. Dan banyak orang yang menunggu mereka. tidaklah baik untuk terlambat tanpa alasan. Walaupun begitu…

Aku harap kita bisa, mungkin menghabiskan sedikit waktu lebih panjang seperti ini.

Gadis Sapi menggelengkan kepala pada pikiran yang memalukan itu. “Oh, benar. Ini hampir tengah hari. Kalau kamu mau makan siang, kita bisa berhenti di suatu tempat dan—“

Kreak. Gerobak berhenti.

“…? Oh, kamu mau makan di sini?”

Tidak ada jawaban.

Pria itu sedang melihat lurus ke depan, dan tampak seperti hampir berhenti bernapas. Kemudian helmnya berputar—kanan, kemudian kiri—dengan gerakan yang cepat. Apakah dia melirik kepada gadis itu? Tidak, bukanlan itu. Tatapannya sekarang telah melampaui Gadis Sapi di mana salju menumpuk di kejauhan.

“Uh, hei…?”

“Ini nggak bagus.” Dia berkata cepat dan muram.

Dalam sekejap, salju itu tampak meledak ke atas, terhambur ke udara.

“Eek?!” Gadis Sapi menjerit dan berteriak, terlempar ke samping. Sesuatu menancap pada kursi kusir dengan suara jleb  di mana kepala yang gadis berada beberapa detik sebelumnya.

Tombak…?!

Gadi Sapi telah terlempar ke tanah, namun dia terkejut untuk mendapati dirinya tidak begitu merasakan benturan.

Alasannya sangatlah jelas. Gadis Sapi di dekap oleh lengan pria itu. Dia menegang ketika dia menyadari itu.

“Er, uh, ap—apa….?!

“GROORBB!!”

Jeritan tak karuan itu adalah jawaban yang dia perlukan

“GBB! GOROB!”

“GROBR!”

Bayangan demi bayangan demi bayangan demi bayangan bangkit dari salju, melontarkan kain-kain yang menutupi salju itu. Wajah menjijikkan penuh akan nafsu, mereka adalah monster yang mengenggam berbagai macam senjata. Mereka hampir sebesar anak kecil dan hampir sama kuatnya dan memiliki kecerdasan kejam seperti mereka. mereka adalah yang paling lemah di antara Yang Tidak Berdoa, dan dapat di temukan di segala penjuru dunia.

“G-goblin…?!”

“Lewat sini!” Goblin Slayer tidak bimbang. Dia memberikan tarikan keras pada tangan Gadis Sapid an berlari sekencang panah.

“G-gimana dengan kuda dan barang kita…?!”

“Anggap saja itu sudah hilang.”

Kita gagal. Respon standar adalah untuk menghiraukan serangan itu dan membuat kuda berlari secepat mungkin, meninggalkan goblin hanya dengan bermodalkan kecepatan. Namun syukurnya—tidak, dia tidak akan membiarkan pikirannya berpikir lebih jauh. Penjelasan akan tindakannya berada dekat di depan matanya—bahkan, secara harfiah ada di depan matanya. Tidak perlu untuk memikirkan hal lainnya.

“Satu!”

“GGOORBG?!”

Goblin Slayer menghantam salah satu goblin yang mengelilingi mereka. sebelum makhluk itu dapat merespon, dia telah mengayunkan pedang dan menusuk makhluk itu di perut. Adalah titik vital; sang goblin tewas tanpa menarik napas lainnya. Goblin Slayer menendang mayat itu menjauh, menarik pedang makhluk itu; dia tidak pernah berhenti.

“GOR! GOBG!”

“GBBGR!”

“Heek?!”

Bebatuan berterbangan, teriakan goblin, mayat. Gadis Sapi tidak tahu bagaimana harus bereaksi.

Mendengar jeritan melengking dari belakangnya, Goblin Slayer mempererat genggaman pada tangan gadis itu. Dia tidak dapat menggunakan perisai dengan tangan kirinya. Dan punggungnya terpapar. Dia harus menembus paksa mereka seraya benar-benar memberikan perhatian penuh. Seberapa besar kemungkinan dia?

Dia merasa seperti hampir dapat mendengar suara dadu yang di lempar di atas kepalanya. Namun persetan dengan Takdir dan Kemungkinan.

Di atas salju dapat terdengar jeritan terakhir dari kuda seraya kuda itu di makan hidup-hidup. Goblin Slayer melirik dari balik pundak untuk melihat wajah Gadis itu, sang gadis tampak akan menangis saat ini juga.

Dia terus berlari. Tidak ada pilihan lain.

“Hei—Hei… Kuda itu…!” Gadis Sapi menarik tangan pria itu, suaranya bergetar. “Hewan itu akan mati…!”

Goblin Slayer tidak berucap apapun, hanya menghadap ke depan dan berlari.

Bukanlah karena dia memilih untuk tidak berbicara. Dia tidak bisa.

Ataupun dia dapat menoleh ke belakang untuk melihat wajah gadis itu. Karena dia tidak dapat mengatakan padanya betapa dia bersyukur karena perhatian para goblin dapat teralihkan karena kuda itu. Ekspresi seperti apa yang harus dia kenakan seraya memberi tahu gadis ini tentang hal itu? Walaupun dengan wajahnya yang tertutup helm baja.

Tentunya bahkan gadis itu akan lebih khawatir tentang keselamatannya—tidak, mungkin keselamatan Goblin Slayer—dari pada kuda itu. Namun bagaimana mungkin Goblin Slayer dapat merasakan kesenangan dari itu?

“GOOROBG!!”

Karena itu dia menerima semua itu dan melampiaskannya kepada goblin yang ada di depannya.

Monster itu berlari mengikuti, tidak sabar untuk mendapatkan bagiannya, enggan di tinggalkan oleh rekannya. Goblin Slayer mungkin menyadari itu, atau tidak; apapun itu, dia menghabisi makhluk itu dengan pedangnya.

“?!”

Sang goblin, otaknya terhambur di karenakan pedang, terjatuh tanpa menyadari apa yang telah terjadi.

“Dua!” Goblin Slayer mengambil pentungan dari sabuk monster itu seraya dia berlari. Adalah sebuah pentungan sederhana yang di buat dari tulang. Tulang paha—manusia kemungkinan.

“Ugh… Errgh…!” Gadis Sapi memaksa apa yang mengancam keluar dari mulutnya, menggunakan tangannya yang bebas untuk menutupi mulutnya. Mereka sama sekali tidak mempunyai waktu untuk berhenti dan muntah.

Alih-alih, dia meremas tangan pria itu semakin kuat. Jika pria itu melepaskannya—walaupun tidak mungkin pria itu melakukannya—Gadis Sapi tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Tiba-tiba merasa bahwa dia akan di tinggalkan seorang diri, dia merinding, dan bukan karena hawa dingin.

“Ap-apa yang akan kita lakukan…?” dia bertanya, tidak dapat menahan getaran suaranya. “Kota perbatasan…lewat sana kan?”

“Kita nggak bisa kembali.” Jawaban pria itu datar dan acuh. “Para goblin sudah menyiapkan penyergapan.”

“Kalau begitu…”

“Desa seharusnya sudah dekat,” pria itu berkata dan kemudian dia menambahkan. “Paling nggak, seharusnya sudah dekat.”

Gadis Sapi menelan liur, menelan kembali liur, dan juga ucapan yang hendak dia katakana.

Dengan banyakannya goblin…

…apakah desanya bisa selamat?

Gadis Sapi mengetahui bahwa dia hanyalah mengganggu pria itu dengan bertanya.

Dan kemudian terdapat salju. Pria itu mungkin dapat berhasil mencapai kota dengan kakinya, namun Gadis Sapi ragu bahwa dirinya dapat melakukan itu.  Hanya terdapat satu jalan.

Gadis itu… kalau dia…

Priestess yang selalu bersama pria itu—apa yang akan dia lakukan?

Gadis Sapi tidak pernah memiliki ketertarikan untuk menjadi petualang. Namun sekarang dia menyesali mengapa dia tidak menjadi petualang. Jika dia seorang petualang….

“Mereka datang!”

“Ba-baik!” Gadis Sapi tersadarkan kembali kepada realita yang hampir terhanyut dalam pikirannya. Pada saat yang sama seraya pria itu berbicara, terdapat dua teriakan mengerikan. Gadis Sapi dapat mendengar mereka walau di tengah badai salju.

“GOROGB!”

“GBG! GOOBG!”

Goblin!

Satu petualang dan satu wanita muda—para goblin tentu merasa mereka seperti sudah menang. Mereka datang mendekat, penuh akan hasrat, wajah mereka tersirat kegembiraan menjijikkan. Adalah lebih dari cukup untuk membuat Gadis Sapi takut, untuk membuatnya ingin menjerit. Tanpa peringatan, dia merasakan sesuatu yang hangat mengalir di kakinya, dan kemudian dia tidak lagi mengetahui apa yang harus di lakukan.

“Tiga!”

Masih menggenggam tangan Gadis Sapi, dia mengambil langkah besar ke depan, menggiring pentungannya turun dari atas kepalanya.

Goblin lebih pendek dari manusia. Dan manusia juga memiliki bagian tubuh yang lebih panjang.

“?!”

Para goblin tidak dapat memperpendek jarak di antara mereka sebelum kepalanya di hancurkan dan otaknya terburai ke segala arah. Mayat itu tersungkur, dengan cepat tertutupi dengan salju.

Ganjaran yang di terima Goblin Slayer dari serangan itu adalah pentungan yang di genggam menjadi patah. Terkadang tulang sangatlah rapuh.

“GGBBGRO!” Goblin yang tersisa menyeringai ketika mereka melihat itu. Musuhnya sekarang tak bersenjata. Kemenangan adalah milik mereka. mereka akan membunuh pria ini—tidak, sementara petualang ini memperhatikan, mereka akan mengambil gadis itu dan…!

“?!”

Namun tidaklah seperti itu apa yang seharusnya.

Tanpa bimbang, Goblin Slayer membenamkan tulang yang patah masuk ke dalam mata goblin. Kepingan tulang itu menembus bola mata yang rentan hingga mencapai otak monster itu. Kematian instan. Makhluk itu terjungkir, mendarat di salju, yang di mana dia berlanjut kejang-kejang.

Goblin Slayer menghancurkan tangan monster itu dengan kaki dan menenangkan pernapasannya. “Kamu masih bisa lanjut?”

“Ak…aku bisa…Kurasa.”

Akan tetapi, Gadis Sapi tidak mengetahui apa yang bisa. Dia hanya mengetahui bahwa dirinya tentu terlihat menyedihkan.

“Ayo.” Pria itu pasti telah menyadari penampilan gadis itu, namun, pria itu tidak mengatakan apapun.

“Baik,” Gadis Sapi berkata dengan suara yang sangat kecil dan mengangguk, menyambut genggaman baru tangan pria itu. Dia tidak dapat membayangkan untuk melepaskannya. Tentunya dia merasa seperti itu beberapa waktu ini.

“GOROBG!!”

Terdapat teriakan yang memekikkan telinga. Pria itu pasti sudah menyadari itu jauh sebelum sang gadis.

Menggenggam tangan Gadis Sapi, dia berlari ke depan melewati badai salju. 

Sesuatu yang gelap menciprat di keseluruhan salju putih

“GOROBOGO?!”

Jeritan melengking itu bukanlah milik manusia. Adalah suara hina dan menjijikkan dari seekor goblin

Monter itu meronta dan mengerang di tengah badai. Sebuah pedang menembus tubuhnya dengan dinginnya es. Monster itu menjerit sekali, dan kemudian tidak terdengar jeritan lainnya lagi.

…Tidak, terdapat sesuatu yang lainnya.

Berjalan dengan santai di atas karpet es dan salju adalah sesosok figur—seorang petualang.

Dia memiliki helm baja yang terlihat murahan, armor kulit yang kotor, sebuah perisai bundar di lengannya, dan sebuah pedang dengan panjang yang aneh pada pinggulnya.

Ternoda merah dan putih dari cipratan darah dan salju, sang petualang berkata dengan tenang, seolah dia tidak baru saja mencabut nyawa. “Lima.”

Penuh belas kasih dan dingin, butir indah yang berdansa, roh salju, telah menutupi semua jasad itu. Atau mungkin bagi mereka, keputihan murni ini sendiri sangatlah indah, dan putih ini akan melapisi seluruh dunia. Tidak akan butuh lama hingga gumpalan salju untuk menutupi mayat segar itu.

Sedangkan bagi pria itu, goblin hidup adalah sesuatu yang sangat patut di cemaskan, namun goblin yang mati, tidaklah penting untuk di ingat. Dia berjalan melintasi salju yang terjatuh tanpa suara, tetap siaga seraya berbicara dengan nada pelan biasanya.

“Ayo.”

“Ba-baik…!”

Suara yang menjawab itu begitu rapuh, merinding dan bergetar seperti sebuah bola yang di lempar secara paksa ke tanaha. Gadis itu muncul dari salju di belakangnya dengan wajah yang pucat, mencoba untuk mengikuti. Gadis itu memiliki rambut merah dan dada yang besar. Bukanlah salju yang membuat dirinya merinding.

“A-apa kamu yakin soal ini………?”

“Aku nggak melihat adanya masalah,” pria itu berkata, kemudian berpikir sejenak dan menambahkan, “Buat aku ataupun sekeliling kita.”

“O-oke…”

“Kamu nggak apa-apa?”

Situasi mereka tidak mengijinkan mereka untuk bersantai. Tetap saja, sang gadis memaksa wajahnya yang tegang untuk sedikit lebih santai. Tetapi itu bukanlah sebuah senyuman yang biasa di lihat pria ini dari gadis itu.

“Yeah. Aku baik-baik aja…”

Pria itu mengangguk, kemudian mulai berjalan, dengan tetap siaga. Sang gadis mengikuti pria itu dengan langkah pendek dan cepat. Dari cara sang gadis terus memeriksa keadaan sekitarnya membuat rasa cemasnya tampak begitu jelas.

Gadis itu tersandung sebuah kayu, yang membuatnya kaget. Di balik salju adalah pohon yang membusuk. Bebatuan juga. Dan mungkin tulang manusia.

Terdapat sebuah desa di sini, dulu. Dulu sekali.

Bukan desa yang pria dan gadis itu tinggali. Tempat itu sudah di dirikan sebuah bagunan untuk di gunakan sebagai fasilitas latihan untuk para petualang.

Desa hancur yang dapat di temukan di manapun. Mungkin goblin yang melakukannya, atau sebuah bencana, atau seekor naga.

Pria itu mengetahui itu, dan begitu juga sang gadis.

Walaupun pria itu memahami ini sepenuhnya, sang gadis tidak pernah merasakan ini pada tulangnya sebelumnya.

Pada angin yang berhembus, tawaan liar para goblin bergema.

Dan sekarang, pada akhirnya, sang gadis memahami apa arti dari berpetualang ke tempat hunian goblin.

*****

“Ahhh, aduh, enaknya ngapain ya…” Suara sayu High Elf Archer terdengar di rumah makan. Terbaring di atas meja, mengayunkan lengan dan kakinya, dia benar-benar terlihat seperti seorang anak kecil.

“Kamu ini benaran berumur dua ribu tahun kan?”

“Iya dong, nggak sopan.”

“Seharusnya kamu beruntung bisa lewat umur tiga belas.” Dwarf Shaman menghela, lelah dari lubuk hati, dan meneguk gelas miliknya.

Matahari sudah terbenam, dan para petualang sudah mulai berkumpul di dalam rumah makan.

Salju sangatlah tebal, angina berhembus kencang dan dingin. Seseorang tentunya sedang kepepet uang jika dia akan berpetualang di dalam kondisi seperti ini.

“Goblin Slayer itu, dia punya banyak sekali waktu di tangannya,” Knight Wanita telah mengeluh dari awal, bersama dengan hal lainnya, namun sekarang dia telah benar-benar hanyut di karenakan mabuk. Wanita itu tersungkur di atas meja—dengan apa yang tampaknya adalah lautan liur.

Heavy Warrior melihat kepada wanita itu dan mendengus, “Astaga. Kamu ini sama saja seperti anak kecil.”

Dia mengangkat wanita itu ke atas pundaknya. Bocah Scout, Gadis Druid, dan Half Elf Warrior tidak terlihat di manapun. Dua anggota termuda itu telah di suruh untuk tidur lebih awal, sementara Heavy Warrior di temani Knight Wanita untuk minum.

“Malam ini sudah cukup,” pria itu berkata. “Jangan sampai kamu masih mabuk besok pagi.”

“Kampret… kalau kamu mau membawa seorang gadis ke kamarnya, perlakukan dia seperti permaisuri…”

“Iya—iya, kamu permaisuriii….” Heavy Warrior menghiraukan racauan mabuk Knight Wanita, tangan berdecit seraya dia menaikinya.

“Baiklah,” Spearman berakta, dan mencuri lirik mengarah Priestess. “Apa kamu nggak butuh tidur juga, gadis kecil? Kamu bekerja di kuil lagi hari ini, kan?”

“Aku nggak apa-apa,” Priestess berkata, mengedipkan kelopak matanya yang berat. “Sesuatu mungkin akan…terjadi…”

“Kamu ini terlalu terobsesi.” Spearman menguap. “Kamu bisa saja menunggu semalaman, dia nggak akan kembali secepat ini.”

“Bukan itu kenapa aku…”

…Menunggu. Priestess menggaruk pipinya malu, melihat ke bawah seraya Witch tersenyum. Priestess mengetahui betapa transparannya perasaan yang dia rasakan, namun dia tidak dapat menangkis rasa malu itu. Dia mencoba untuk menyembunyikan itu dengan menambahkan, “Ta-tapi kamu benar, Cuma menunggu saja tanpa melakukan sesuatu….”

High Elf Archer mengangkat bahunya. “Kalau, begitu, bagaimana kalau latihan main permainan papan?” Dia melirik mengarah meja respsionis, yang sekarang tengah kosong. Gadis Guild, yang telah pergi menembus salju ketika jam kerjanya telah berakhir, kini sudah tidak terlihat lagi, gadis itu mungkin sedang bernyanyi di rumah sekarang. Petugas respsionis malam sedang mencoba menghalau kantuk dengan sebuah teh, seraya mengisi berkas-berkas. “Tapi, kita nggak punya cukup orang, jadi kita nggak bisa memulai petualangannya.”

“Kalau begitu…” Lizard Priestes, yang daritadi berada dekat dengan perapian, menjulurkan leher panjangnya. “…Bagaimana jika kita menganggapnya sebagai petualangan yang sesungguhnya?”

“Nggak cukup orangnya untuk itu juga!”

Dengan orang, dalam hal ini, yang di maksud gadis itu adalah orang di barisan depan.

Goblin Slayer, Priestess, High Elf Archer, Dwarf Shaman, Lizard Priest. Mereka semua sadar bahwa party mereka di berkahi dengan tiga pembaca mantra, saat ini, akan sangat serakah jika mereka menginginkan lebih. Namun itu juga benar bahwa mereka hanya memiliki satu anggota baris depan yang murni.

Priestess melirik mengarah Lizard Priest. Tentu saja, kadal itu juga dapat mengisi bagian itu. “Tanpa Goblin Slayer, ini nggak mudah ya?”

“Entahlah apa kita bisa menyebut si aneh itu sebagai warrior sungguhan.” High Elf Archer berkata dengan tawaan dan nada keakraban pada suaranya.

“Benar juga,” Priestess berkata ambigu, tidak dapat menyangkalnya.

Warrior, huh?

Dia menempelkan jari ke bibirnya dan berpikir, matanya menatap kepada Spearman. “…Er, apa kalian berdua sudah lama berpetualang bersama?”

“Hrm?” Spearman mengangkat alisnya. “Ah… Eh, lima atau enam tahun sekarang, atau…lebih mungkin?”

“Ya… Kurang, lebih, selama, itu.” Witch menyipitkan mata dan memberikan senyum mempesona. “Ada, yang, kamu, pikirkan?”

“Yah, uh, er…” Di bawah tatapan mata indah itu, Priestess mencoba untuk memutuskan kemana dia harus menatap. Untuk menyangkal pertanyaan itu akan tampak sangat kekanak-kanakan. “…K-kurang lebih?”

“Heh-heh…” Terhibur, Witch mengeluarkan sebuah pipa dari dada besarnya, berbisik sesuatu dan mengetuk ujung popa dengan jarinya. Terdengar sebuah wuuushh dan cahaya samar yang tampak, Witch mengarahkan ujung panjang dari pipa, tubuhnya bergerak dengan gemulai. Kemudian dia membuka bibirnya seolah dia hendak memberikan sebuah ciuman, menghasilkan sebuah cincin asap beraoma manis. “Semua, pada, waktunya,” dia berakta, sebuah tawaan terdengar dari tenggorokan wanita itu. “Kamu, akan, mencapainya… Semua, pada, waktunya.”

“…Baik.” Priestess mengangguk, kemudian membiarkan kedua matanya melirik pada segelas susu, yang sekarang sudah dingin.

Tapi seberapa banyak waktu hingga “pada waktunya”? Sampai dia menjadi petualang tingkat Silver? Atau sampai dia sudah tidak lagi cemas karena di tinggal sendirian?

Atau mungkin—sampai prasangka dan kecurigaannya lenyap?

Merasa seperti Witch telah mendeteksi bagian buruk dari dirinya, Priestess menggiring susu itu ke bibir dengan muram.

“…Uh, ada waktu?” sebuah suara memanggilnya ragu.

“?!” Prietess terbatuk dan hampir tersedak, kemudian dia berputar untuk melihat dua petualang yang tidak asing.

Adalah Apprentice Cleric dan Rookie Warrior—kedua orang yang seumuran dengannya yang tampak seperti mereka telah berhasil menaklukkan nama julukan mereka. pria muda ini tengah menggunakan armor kulit yang terawatt baik dan membawah sebuah pentungan (Sebenarnya, sebuah batang kayu panjang mungkin sedikit terlalu kecil untuk menyebut itu), dan dia mempunyai pedang pada pinggulnya. Sebuah pelindung kepala kulit menggantung di pundak. Dia tampak seperti seorang warrior yang sukses.

Sedangkan untuk sang cleric, dia tidak terlihat begitu berbeda, namun dari cara dia membawa dirinya sendiri terlihat lebih tenang dan percaya diri.

Sedangkan aku…?

Bagaimana dengan dirinya? Priestess hanya tersenyum, mencoba untuk tidak membiarkan pikiran itu tampak. “Ada apa?”

“Sebenarnya, Kami, uh… Sepertinya kami akan di promosikan…” Menggaruk pipinya malu, Rookie Warrior menjelaskan bahwa keputusan itu telah di buat secara tidak resmi.

“Wah,” Priestess berkata, matanya melebar, dan kemudian dia menepukkan kedua tangan. “Selamat ya kalian berdua!”

“Ya, tapi kurasa, masih dari Porcelain ke Obsidian.”

Dari peringkat sepuluh ke Sembilan. Bagaimana dengan Priestess? Dengan bertarung melawan ogre itu di saluran air, dia telah… Tidak, sebelum itu, dia telah di selamatkan oleh pria itu, kemudian bergabung dengan partynya saat ini, itu telah membiarkannya untuk maju lebih cepat. Jika tidak, tentunya dia akan berada di tempat yang sama seperti kedua orang muda yang ada di hadapannya sekarang—jika dia dapat berhasil selamat di gua pertamanya.

Tetapi—huh? Priestess memiringkan kepala penasaran. Dia telah menunjukkan bukti dari promosinya kepada pria itu dengan riang gembira…

“Kalian berdua nggak kelihatan senang. Ada apa?”

“Soal itu,” Apprentice Cleric berkata seraya menganggkat alisnya. “Saat aku di kuil, ada sebuah wahyu…”

Wahyu di berikan dari para dewa kepada pengikutnya: pesan, ramalan, dan terkadang, perintah. Tidak seorangpun dapat di paksa untuk mengikuti itu, namun sangatlah sedikit yang menghiraukannya. Itu karena, apa keuntungan yang di hasilkan karena menghiraukan itu? Jika berasumsi bahwa seseorang itu tidak terobsesi dengan membasmi goblin.

Dengan itu, Priestess dengan cepat menebak apa permasalahannya. “Tapi aku dengan ujian yang di berikan Supreme God itu bisa sangat sulit. Apa itu…?”

“Uh-huh.” Apprentice Cleric mengangguk, terlihat seperti anak kecil yang tersesat di jalan. “Pergilah menuju puncak utara, katanya. Tapi….”

“Kami sudah menghabiskan semua waktu kami berkeliling kota, tapi nggak pernah untuk ke puncak gunung.” Rookie Warrior berkata, ekspresinya muram. Adalah benar, jika mereka pergi sekarang, berkemungkinan besar mereka akan mati nanti.

Priestess menyentuh bibir dengan jari dan membuat suara berpikir. Benar, partynya telah terlibat dengan pertarungan di pegunungan bersalju pada musim dingin sebelumnya. Merupakan sebuah cobaan yang menantang, yang mungkin akan menjadi jauh lebih buruk bagi dirinya jika dia tidak memiliki rekan berpengalaman bersamanya.

Sejujurnya, dia tengah berpikir untuk kembali ke kuil untuk bekerja seraya dia menunggu pria itu, namun…

Apa yang akan dia lakukan?

“…Apa goblin?”

“Huh?”

“Ups…” Priestess tertawa canggung dan menggelengkan kepala. Dia tidak bermaksud berkata seperti itu. Itu sama sekali tidak memiliki arti apapun.

Tetapi itu tetap saja memberikannya dorongan yang dia butuhkan. Dia meremas kepal tangan, bertekad untuk menghabiskan sisa dari susunya, dan mengenggam tongkatnya. Dia dapat melihat Witch mengangguk di ujung pengellihatannya. Priestess mengangguk membalas.

“Aku mau membantumu,” Priestess berkata, suaranya sedikit bergetar. Dia menarik napas dalam. Berbicara seolah dia sedang berdoa.  “Apa kalian semua juga mau bergabung dengan kami?”

“Petualangan!” High Elf Archer membalas dengan segera. Dia menjatuhkan kursinya ke belakang dan meloncat berdiri, telinganya lurus tegak seperti lengannya yang di angkat untuk ikut serta. “Aku ikut! Aku mau pamer ke Orcbolg tentang petualangan yang aku jalani selagi dia nggak ada!”

“…Memangnya kamu pikir dia akan peduli?” Dwarf Shaman bertanya, menstabilkan meja yang hampir di jatuhkan High Elf Archer. Dwarf Shaman telah mengumpulkan semua makanan yang tersisa dan menghabiskannya seolah akan mubazir jika tidak di habiskan. Dia membilasnya dengan tegukan fire wine, kemudian bersendawa berisi. “Gimana denganmu, Scaly?”

“Saya sangat merasa tersanjung mengetahui bantuan saya sangat di perlukan. Ini hal yang jarang terjadi.” Lizard Priest berbicara dengan nada berwibawa biasanya bahkan seraya dia dekat dengan perapian, mencoba untuk menyerap kehangatan. “Saya pribadi tidak keberatan. Itu karena, sedikit dingin tidak akan merusak makanan. Ah, budaya adalah sesuatu yang indah!”

Lizard Priest tampak bermaksud jika selama dia mempunyai keju, semua akan baik-baik saja, High Elf Archer mengangkat bahu. “Jadi? Gimana denganmu dwarf? Sedikit dingin seharusnya nggak bakal menembus perut tebalmu.”

“Tabokan keras bakal bagus buat nyembuhin prasangka burukmu itu.” Dwarf Shaman mengelap remah-remah roti di jenggotnya, dan berdiri dari kursinya. “Aku nggak berniat buat menghentikanmu, tapi…”

“Tapia pa?” Telinga High Elf Archer mengepak curiga.

“Bagaimana soal hadiahnya?”

“Oh!” Teriakan terkejut itu datang tidak bukan dari Priestess.

Aku nggak kepikiran soal itu…!

Apa yang harus di lakukan…? Apa yang harus di lakukan?

Priestess berpikir, namun tidak dapat menemukan jawaban. Keberanian yang dia rasakan sebelumnya telah melayu. Sang bocah dan gadis juga tampak seperti mereka akan menangus. Mereka tidak memiliki uang.

Kemudian…

Bagi, dua…” Penyelamatan datang dalam bentuk suara di samping mereka. Priestess menoleh untuk melihat Witch yang berkedip mengarah mereka seperti anak kecil nakal. “Seperti, teman…Baik.”

“…Dia benar.” Spearman yang tengah memperhatikan dengan tenang, menambahkan. “Yang terbaik untuk di lakukan dalam pencarian seperti ini adalah membagi dua apapun yang kalian dapatkan.”

“Oh, Ya-yah, kalau begitu, ayo seperti itu saja!” Wajah Rookie Warrior dengan cepat menjadi riang.

Apprentice Cleric menyikutnya dari samping. “Tapi—apa yang dewa suruh kita untuk ambil, kita nggak bisa membagi dua itu!” Rookie Warrior terlihat muram, namun sang gadis menghiraukannya.

“Mmm,” Dwarf Shaman berkata, mengangguk puas. “Kedengarannya bagus menurutku.”

“----“ Priestess tidak dapat mengatakan apapun. dia duduk di kursi, menatap gelasnya. Kosong. Tidak terdapat apapun di dalamnya.

High Elf Archer telah membuat bola itu berguling, semua temannya tengah bercakap riang tentang apa yang akan mereka lakukan. Dia merasa senang akan hal itu. Senang karena mereka telah menerima sarannya. Namun…

“…Ayo pergi besok, saat saljunya sedikit menipis.”

Malam masihlah panjang, salju masih turun dengan deras.