TERPENUHI, KEMUDIAN TERLEWATKAN
(Part 5)
(Translater : Hikari)

Bahkan setelah ujian terakhir dilakukan dalam 3 pekan terakhir di bulan Desember, ketegangan yang aneh akibat ujian tidak hilang dari ruang kelas tiga. Malahan, kapan pun jumlah hari dalam tahun ini berkurang, kesadaran yang kuat memenuhi kelas.
Segera setelah tahun ini berakhir… Ujian masuk menunggu di pertengahan bulan Januari. Itu mendekati waktu ujian bagi para murid yang mengambil ujian di universitas lain.
Sorata, yang memutuskan untuk masuk ke Universitas Seni Suimei, tidak merasa santai dengan rasa tegang ujian ini. Dia sangat berkonsentrasi. Mungkin dia lebih berkonsentrasi dibanding teman-teman sekelasnya.
Mereka melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan "Rhymth Battlers" versi beta yang akan diserahkan pada tanggal 26.
Ada banyak sekali pekerjaan yang tidak bisa dikurangi. Itu semua memerlukan banyak waktu.
Meskipun ada juga rasa tidak sabaran dan kelelahan, semangat Mashiro untuk memberikan yang terbaik pada penulisan manganya menyemangati Sorata.
Demi satu sama lain, mereka bekerja keras untuk Kencan Hari Natal. Berkat hal itu, dia dapat menghilangkan cukup rasa letih karena kurang tidur.
Akan tetapi, meskipun dia termotivasi, pekerjaan tidak berjalan dengan lancar. Terkadang memerlukan ide. Mengenai komposisi stagenya, ada banyak situasi di mana ide bagus tidak muncul dalam pikiran dan tidak berlangsung sesuai rencana.
Dan sekarang tanggal 24… Meskipun sekarang Malam Natal, ini terus berlanjut.
Di pagi hari dia pergi mengikuti upacara, dan setelah dia kembali, dia tidak makan siang dan Sorata terpaku di depan komputernya.
Sekarang pukul 3.50 sore.
"Oh ya, sudah selesai, 'kan?"
Ini selesai sampai waktu yang ditentukan. Sekarang adalah tanggal untuk kencan pada pukul 4 tepat dan melihat acara penerangan pohon Natal yang dipasang di taman.
"Sorata, kau ada di situ?"
Rita masuk ke kamar.
"Sedikit lagi!"
"Mashiro sudah menungu di pintu depan?"
Mengeklik kursor dan papan keyboard. Itu semua memasukkan parameter monster. Terus tegak, kesalahan berlanjut. Ini membutuhkan waktu tambahan.
"Kanda, akan kutangani sisa pekerjaan ini."
"Tidak, itu tidak bagus."
Syukurlah, ini adalah pekerjaan Sorata.
"Jangan salah paham, aku khawatir dengan janjimu, dan kubilang Kanda tidak bisa dipercaya karena pekerjaannya payah saat ini.
"Wow."
"Apa yang akan kau lakukan kalau banyak bug yang muncul?"
Tinggal besok yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan debugging. Seperti yang Ryuukosuke katakan, ini bukan tentang masalah apakah dia membuat bugs.
"Juga, kalau kau terlambat untuk waktu janjiannya, bukankah kau akan jadi luar biasa tertekan?"
"…"
Hanya kencan Natal ini saja yang mereka nantikan berdua, kalau dia terlambat, sepertinya akan sulit.
"Jadi tolong cepatlah pergi."
"Akasaka, kau…kau orang yang baik."
"Aku hanya memikirkan hal-hal yang dapat dipahami dan melakukan pilihan yang terbaik. Jadwalnya tidak boleh terganggu oleh cinta."
"Aku mengerti…"
"Jadi jangan bertengkar sebelum kau pergi."
"Aku tahu, aku akan pergi."
Sorata meninggalkan kamar sambil memakai mantel.
Seperti yang Rita katakan, Mashiro sedang menunggu di pintu masuk. Dia juga memakai sepatu bot pendek semata kaki, persiapannya selesai.
"Sorata, kau telat."
Saat dia memandang wajahnya, pipi Mashiro bersemu merah. Saat ini tiga menit sebelum waktu yang dijanjikan. Seharusnya tidak ada alasan untuk menyalahkan dirinya terlambat.
"O, oh."
Tetap saja, Sorata merasa takut karena mungkin ada alasan bagi Mashiro.
Dandanan ringan, kulit yang lebih putih seperti biasannya. Apa karena pipinya yang sedikit kemerahan seperti warna sakura sehingga terasa kehangatan dalam ekspresinya?
Mantel putih dengan bulu-bulu dipasang di bagian leher dan lengan baju sangat cocok untuk Mashiro. Dia benar-benar mirip seorang peri.
Berkat hal itu, suasananya berganti ke mode kencan.
"Itu bagus. Kau manis sekali."
"Yup…"
Mashiro sedang menungu di pintu masuk, terlihat tidak yakin.
Sorata juga cepat-cepat memakai sepatu. Dia dipenuhi dengan perasaan ingin pergi berkencan secepatnya. Karena dia bekerja keras untuk hari ini. Pada akhirnya, Ryuukosuke membantunya, tapi Sorata merasa ini bukanlah hal yang buruk saat dia berpikir adalah hal yang bagus untuk membangun sebuah hubungan yang membuat satu sama lain mengikuti satu sama lain.
"Nah, ayo kita pergi?"
Mengangkat wajah setelah sepatunya terpasang.
"Ayo."
Mashiro mengangguk kuat-kuat.
Tapi segera setelah Sorata menyentuh pintu, dering handphone pun terdengar. Itu bukan punya Sorata. Itu handphone Mashiro. Mashiro mengeluarkan handphonenya dari dompet yang sedang dia pegang.
"Ini Ayano."
Saat dia berkata begitu, Mashiro menjawab telepon itu.
"Ayano?"
"Oh, Shiina-san! Syukurlah, tolong keluar!"
Suara Ayano terdengar keras bagaikan bom dan Sorata bisa mendengarnya.
Ada urusan apa di saat seperti ini? Dia tidak punya firasat bagus.
"Ayano, ada apa?"
"… …."
Dia tidak dapat mendengar suara Ayano lagi karena wanita itu dengan cepat menjadi tenang.
Pertanyaan muncul dalam  pikirannya, tapi dia harus menunggu sampai pembicaraan itu selesai.
Mashiro membalas "ya". Enam kali, setelah itu percakapan berlanjut,
"Aku mengerti."
Dia mengakhiri pembicaraan itu dan memutuskannya.
"Ayano-san, apa yang dia katakan?"
"Sepertinya dua volume bukuku telah diterbitkan."
Buku itu akan diterbitkan pada tanggal 20. Baru empat hari berlalu.
"Oh, itu hebat!"
Kebalikan dengan Sorata, yang menunjukkan keterkejutan apa adanya, Mashiro merasa tertekan seakan tenggelam.
"Mashiro?"
"Aku harus menggambar satu lembar lagi."
"Huh?"
"Ayano bilang begitu."
"Kenapa?"
"Berkaitan dengan banyaknya permintaan, dia ingin membuat sebuah hiasan di toko-toko buku."
"Apakah hari ini batas waktunya?"
Bahkan tanpa bertanya, ekspresi raut wajah Mashiro benar-benar berkabut….
"Aku ingin mengirimkannya sebelum libur Tahun Baru… Aku menginginkanmu hari ini."
Sorata merasa hawa hangat menjadi dingin utuk sesaat. Dia tidak bisa menemukannya sekalipun dia mencari ke mana-mana dalam suasana yang menggantung saat ini.
"… …."
"… …."
Suasana yang hening. Udara yang tidak nyaman bahwa mereka harus mengatakan kata-kata yang tidak ingin mereka ucapkan menyelimuti Sorata dan Mashiro.
"…Aku mengerti. Jadi kau tidak punya pilihan lain."
Mempersiapkan diri, Sorata menyela.
Bahu Mashiro bergerak tersentak.
"Kau sebaiknya kembali ke kamarmu dan bekerja lebih awal."
Sorata meninggalkan pintu dan melepaskan sepatunya. Naik ke atas keset pintu masuk.
"…Tidak."
Mashiro mengatakan sesuatu, tapi suaranya terlalu pelan untuk didengar.
"Maaf, apa?"
Saat Sorata bertanya dengan santainya, Mashiro mengangkat wajah.
"Aku tidak bisa."
Dia terlihat marah, matanya terlihat sedih.
"!"
Itu begitu kuat, sampai-sampai Sorata terkejut.
"Aku sudah menantikan ini…"
Tangan yang memegangi dompet terlihat gemetar.
"Aku juga. Tapi…"
Untuk menenangkan, Sorata berbicara dengan lembut.
"Juga sudah menyelesaikan manuskripnya dengan baik…"
"Ah…"
Dia telah memikirkan pakaian apa yang dikenakan, dari hari mereka berjanji.
"Yah…"
"Walau begitu, mau bagaimana lagi. Sorata aneh!"
"!"
Iti benar-benar sebuah serangan dadakan. Dia tidak bisa mengerti kenapa Mashiro menuduhnya. Mashiro-lah yang bisa melakukan hal-hal yang mendesak….
Rita dan Ryuunosuke menunjukkan wajah mereka dari kamar No. 101 karena di luar sepertinya berisik.  Dua sosok yang mengalihkan perhatian mereka ke Sorata dan Mashiro itu terlihat kebingungan.  Namun yang paling terkejut adalah Sorata.  
"Sorata, aku tidak tahu" 
"Aku tahu" jawabnya refleks.  
"Aku tahu" 
Lagi, sekali lagi.  
Pada hari mereka berjanji, dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa dia akan menghabiskan Natal bersama. Karena percuma terus berpikir, perlu terus menceritakan perasaannya.  Itulah tujuan hari ini.
"Aku mengerti bahwa hari ini juga penting."  
Tapi tetap saja, Mashiro kembali membalas, "Aku tidak mengerti Sorata" 
Itu adalah suara yang terdengar sedih.  
"Meski begitu, kau hanya harus mengerjakan manga itu sekarang, 'kan?"  
"...benar." 
"Jadi, kau akan menggambar. Apakah kau ingin menggambar?"  
Dia adalah Mashiro, jadi aku berpikir begitu. 
"Ya aku ingin menggambarnya" 
"Kencan tidak hanya di hari Natal, kita bisa melakukannya kapan saja" 
Di suatu tempat di pikirannya, ketika mengatakan ini, Sorata yakin bahwa Mashiro akan menerimanya.
"Tapi kencan hari ini hanya bisa dilakukan hari ini."  
"Mashiro .." 
Bukan itu yang diharapkan Sorata.  
"Besok?"  
"...Hah?"  
"Bisakah kau berkencan besok?"  
Pekerjaan pengiriman versi beta tetap.  
"Minggu depan?"  
"Bisakah kamu berkencan minggu depan?"  
Suara Mashiro perlahan menembus dada Sorata.
Minggu depan, Sorata harus selesai mengirimkan versi beta.  Kali ini, seharusnya ada dalam produksi game yang bertujuan untuk master-up yang ditargetkan akhir Februari.  
"Bulan depan" 
Menurutnya, dengan tenggat waktu dari "Rhythm Battlers" yang semakin dekat, membuatnya semakin sibuk daripada sekarang.  Dia berpikir bahwa dia tidak bisa menghabiskan waktu untuk hal lain selain produksi game.  
Dan itu sama halnya untuk Mashiro.  Selalu ada tenggat waktu bulanan untuk naskah.  Sejak dirinya menarik perhatian, jumlah buku cetak juga bertambah, sehingga sampul majalah, warna majalah, gambar materi iklan seperti ini dapat dimasukkan secara teratur.  
"Kau berjanji padaku sejak awal."
Mashiro memegangi kedua lengannya.
"Aku sudah bekerja keras untuk hari ini!"
Suaranya terdengar begitu emosional.
"Kalau kau tidak berkencan di Malam Natal, kau pasti tidak akan berkencan lagi."
Pikiran Mashiro menjadi sebuah guncangan hebat, dan otak Sorata perlahan menggali lebih dalam.
Dia melihat di depan matanya.
Dia baru memikirkannya samar-samar sekarang. Dia yakin bahwa hanya saat ini saja dia sibuk. Akan tetapi, ini akan terus berlanjut di masa yang akan datang… Semakin mereka cenderung berapi-api dengan tujuan mereka, semakin dekat mereka dengan impian mereka, maka mereka akan semakin sibuk. Seperti sekarang, ada sebuah kenyataan bahwa waktu mereka akan dirampas supaya keinginan mereka terwujud.
Kata-kata itu bisa dipahami. Saat dia menempatkan dirinya sendiri dalam situasi tersebut, dia tidak tahu di manakah dia berdiri.
Meski demikian, hari semacam itu mungkin datang. Dia sudah tahu tentang kisah itu dari Ryuunosuke, tapi tadinya dia berpikir itu masihlah jauh. Tapi pada saat ini, hal itu tinggal selangkah lagi saja.
Rita dan Ryuunosuke tidak dapat menemukan ruang untuk membuka mulut, dan dalam diam menyaksikan percakapan antara Sorata dan Mashiro. Di tengah-tengah tangga, Kanna, yang mencoba turun dari lantai dua, menghentikan langkahnya di tengah suasana tersebut.
Apa yang Mashiro katakan itu benar. Itu tepat tapi tidak beralasan. Kalau mereka pergi sekarang, itu akan menjauhkan Mashiro dari tujuan masa depannya. Kalau dia melewatkan kesempatan ini, dia tidak akan berhasil. Dia harus terus memperjuangkannya sampai akhir. Demi alasan itulah Mashiro telah melakukan begitu banyak hal lebih daripada siapapun. Selain Mashiro, Sorata pasti tahu yang terbaik.
"Tapi tetap saja, apa tidak ada cara lain?"
Pertanyaan Mashiro yang menyerah.
"...Itu benar."
Dalam suasana yang berat, Sorata membuka mulutnya. Dia memaksa suaranya keluar.
"Tetap saja, sekarang manga lebih penting."
Karena ada sesuatu yang harus dia katakan…
"..."
"Aku terkejut, tapi kurasa, mewujudkan impian adalah sesuatu yang harus kita lakukan saat ini."
Tetap saja, Mashiro menatapi Sorata.
"Karena aku pun memiliki tujuan, aku merasa aku tidak bisa mengorbankannya."
"..."
"Aku benar-benar mendukung impian Mashiro, kurasa ada banyak orang yang ingin membaca manga-mu. Kurasa kau bisa melakukannya. Aku tidak ingin mengganggumu. Aku jelas tidak menginginkan itu."
"..."
"...Jadi mau tidak mau harus melakukannya."
Mengatakan semuanya dengan jelas, Sorata menatap balik Mashiro.
"Apa ada aku dalam rencana masa depan Sorata?"
Itulah yang Mashiro ucapkan.
Pertanyaan itu menghujam tajam ke dalam hati. Seperti yang Mashiro selalu lakukan.
"..."
Mungkin dia seharusnya dengan cepat mengiyakannya. Tapi, dia berpikir adalah hal yang sia-sia mengatakan itu pada Mashiro saat ini.
"Aku tidak tahu."
Sorata mengelak. Dia tidak yakin.
"Bagaimana dengan Mashiro?"
"..."
Mashiro tidak menjawab. Dia hanya memandangi Sorata. Sampai-sampai itu terasa memuakkan. Niat sebenarnya Mashiro dibicarakan.
"Oke…"
Karena dia begitu manis, Sorata mau tidak mau berdeham dengan suara kering.
"Sorata lebih penting bagiku daripada mimpiku."
"..."
Membiarkan Sorata tetap berdiri dalam kesunyian, Mashiro menaiki tangga.
"Tunggu, Mashiro!"
Suara Rita tidak mencapainya.
Tidak lama kemudian, suara pintu yang ditutup bergema dari lantai dua. Terdengar sangat kencang. Mungkin iti adalah suara pintu dari perpisahab hati Sorata dan Mashiro yang tertutup.
 ---0---
TL Note: Hola, gomen bagi yg dah kebiasa sma terjemahannya Blade. Berhubung Blade-sama fokus mengejar mimpinya kyk Sorata pdhal bnyak request buat lnjut ni series, aq nyoba sebisanya nerjemahin sisanya. Moga2 bisa smpai ujung yg paling ujung (amin). Anyway, kalau ada typo atau smacamnya, tolong kasih tahu, ya. Maklum, aq ngerjainnya lewat hape krena laptop rusak… 😓