TANGAN GOBLIN TANDA AKAN KEHANCURAN
(Translator : Zerard)

Kepercayaan tidak hanya sekedar doa tanpa pamrih.
Sebuah persembahan untuk menenangkan amukan dewa, teriakan permohonan ketika kamu membutuhkan—itu juga merupakan kepercayaan.
Jika begitu, apa yang terdapat di dalam hati goblin? Sekarang sudah terla,bat untuk mengetahuinya.
“Ngh...ahh...!”
Priestess merintih pedih, namun napasnya membekukan udara, menambah siksaannya.
Dunia redup akan dungeon ini sudah penuh akan warna putih, salju membeku akan badai begitu terasa tajam hingga tampak menyayat kulitnya.
Api Onibi menghilang dalam sekejap, bahkan percikan terakhir dari api itu lenyap tanpa jejak.
Akan tetapi, Priestess, menolak untuk bergerak dari tempat dia berdiri. Pada lengannya memiliki gadis kecil yang ketakutan, merinding, yang mmeringkuk seraya dia mencoba untuk melarikan diri dari terror. Priestess mendekap gadis itu erat dalam llengannya, melindungi dia dengan segenap tenaga pada tubuh kecilnya.
“Hrr—rrooahhhh...!”
Jika adanya suatu respon, maka itu berasal dari Lizard Priest, anggota party pertama yang menyadari dan bereaksi pada aberasi yang terjadi. Dengan napasnya yang menjadi uap, dia melompat ke depan, mengeluarkan raungan yang menggetarkan ruang makam.
“Ah, engkau yang telah selamat dari kehancuran putih! Maniraptora! Saksikanlah amal hamba dalam pertarungan!” Dia menempatkan tubuh besarnya untuk melindungi mereka dari dingin yang brutal yang menghembus  dari tangan greater demon. Kulitnya membeku. Salju terkumpul pada cakar dan taringnya, menyebabkan tubuhnya menegang.
“Kita...butuh...keajaiban...!”
“Sungguh...di...sayangkan!”Lizard Priest menoleh mengarah Priestess, nada mengajarnya yang seperti biasa tetap tak bergeming. “Saat, ini, saya, sudah tidak dapat, menggunakan, keajaiban, saya...!!”
Benar: apakah itu sihir atau keajaiban, hal itu membutuhkan segenap tenaga untuk memutar dunia di sekitarnya. Lizardmen tidak tercipta untuk melawan dingin. Sekarang mata Lizard Priest hampir tertutup, seolah mengantuk, menandakan betapa dekatnya batasan tubuhnya.
Dengan itu,  akan tidak tepat bagi Priestess untuk menggunakan keajaiban berharganya yang terakhir di sini dan sekarang. Wanita muda itu menggigit bibirnya dan menelan semua keberatan hatinya.
“Scaaaaaalyyyy!”
Akan tetapi, intervensi Lizard Priest, sedikit mengubah arus keadaan. Mereka masih berada dalam kebahayaan nyata akan kehancuran.
Dwarf Shaman berteriak, dan High Elf Archer memeluk dirinya sendiri, menyuarakan peringatan. “Ini...ini gawat...!”
Tidak ada waktu bahkan untuk mendengarkan gadis itu. Goblin Slayer bergerak.
Memblokir hujan salju dengan perisai bundar pada lengan atau membiarkannya terpantul dari helmnya, dia  bergerak maju.
“Kamu hidup?”
“...Setidaknya, saya, belum, wafat.”
Kemudian, dia menunjuk dengan ujung pedangnya mengarah tangan greater demon yang menyebabkan badao salju ini, Goblin Slayer membantu Lizard Priest seolah memapangnya pada punggung dirinya. Goblin Slayer bersusah payah menahan beban berat itu dan melangkah mundur.
Sudah terlambat sekarang untuk melarikan diri. Dia tidak memiliki peralatan yang di butuhkan untuk menghadapi pintu yang membeku.
“Terima kasih,” Lizard Priedt berkata, yang di mana jawaban satu-satunya adalah, “Nggak masalah.” Setelah itu, Goblin Slayer mempehatikan sekitarnya dari balik helmnya.
“Buat dinding...sekarang!”
“Dinding, kamu bilang...!” Dwarf Shaman menjawab, jenggotnya berderak seraya dia bergerak. “Maksudmu saljunya!”
Sang dwarf menghantamkan telapak tangannya ke salju di lantai. Dia hampir tidaak terlihat dari sudut pandang High Elf Archer seraya gadis itu mulai berlari. Bagi seorang elf, yang terhubung dengan alam, sedikit es sama sekali bukanlah halangan. “...Lewat sini, cepat!”
“Baik...!” 
Priestess merayap mengikuti, memapang dirinya dengan tongkatnya dan melindungi permaisuri dengan tubuhnya; cleric itu juga tampak jelas sudah berada di batas kemampuannya. Kulitnya pucat dan bibir manisnya berubah menjadi ungu. Giginya bergetar tak berhenti. 
High Elf Archer juga tidaak memiliki perlindungan terhadap dingin. Walaupun begitu dia mencoba sebisa mungkin melindungi kedua gadis itu dengan tubuh kecilnya seraya mereka mundur. Telinga panjangnya bergetar.
“Orcbolg, cepat...!”
“Y-ya...!”
Hanya berlangsung dua puluh atau tiga puluh detik. Namun bagi para petualang, semua ini terasa begitu lama untuk bisa berkumpul bersama. 
Pemandangan akan mereka yang berkumpul di balik dwarf yang pendek hampir terlihat begitu lucu.
“Permaisuri es, Atali, sekarang, aku memanggilmu, berikan pahlawan ini sebuaah tarian, seperti keping salju  menghembus udara yang berjingkrak!”
Pada momen krisi ini, walaupun bentuk kasar itu terlihat kokoh seperti tebing jurang. Roh salju yang dia arahkan dengan Spirit Wall menari di sekitar petualang. Tepat di depan mata party, salju yang bertiup dan menumpuk, menjadi sebuah dinding yang melindungi mereka.
Lawan salju dengan salju. Ini bahkan bisa menghalangi hawa dingin.
“Gua salju sederhana... Bagaimana?”
“...Akan...cukup...untuk...saat...ini...” Priestess menyentuh tubuh Lizard Priest yang dingin--napasnya begitu berat sekarang—dan membuat keputusan cepat. Priestess bukanlah seorang healer, namun sebagai cleric dari Ibunda Bumi, dia cukup mengetahui satu atau dua hal.
“Berikan aku healing—nggak, stamina potion!”
“Baiklah.” Goblin Slayer menarik dua botol dari tas dan melemparnya kepada Priestess. “Kamu dan gadis itu harus minum juga.”
“Baik!” Priestess membuka tutup botol dengan jemarinya yang kaku. Dia membasahi kain dari kantungnya dengan isi botol itu dan menekannya pada mulut Lizard Priest.
Kesadaran Lizard Priest memudar, dan mencoba untuk menuangkan potion itu ke dalam tenggorokannya akan dapat membuatnya tersedak. Priestess memperhatikam Lizard Priest mengisap kain ini, dan sementara itu, Priestess meminum setengah  dari botol potion itu untuk dirinya.
Minuman ini terasa membakar seraya turun ke dalam tenggorokannya, dan kemudian dia menghela napas lega seraya dia merasakan panas pada perutnya.
“Beardcutter, Telinga Panjang, kalian minum sesuatu juga.” Dwarf Shaman, yang sedang meneguk anggur seolah mengatakan bahwa tugasnya di sini telah selesai di karenakan mantranya telah aktif, melemparkan botol miliknya kepada mereka.
Goblin Slayer menangkapnya dan menuangkan beberapa anggur ke dalam helmnya. Kemudian dia memberikannya kepada High Elf Archer. “Minum. Ini akan menghangatkanmu. Kalau kamu nggak bergerak, kamu mati.”
“...Kamu tahu kalau aku nggak bisa dengan benda yang seperti ini. Tapi kurasa ini bukan waktunya untuk mengeluh.” Sang elf mengambil botol itu dengan kedua tangan dengan wajah jijik kemudian menjilat tipis botol itu. Lalu dia menjulurkan kepalanya ke atas dinding es untuk melihat apa yang sedang di lakukan tangan greater demon itu.
Tangan itu, yang muncul dari daging goblin seperti bunga yang menembus bumi, masih berada di atas altar. Setelah merapalkan badai salju, “akar”—belitan otot yang membengkak—berkedut dan merayap.
Merupakan pemandangan yang mengerikan, pemandangannyang tidak ingin di lihat High Elf Archer, namun dia adalah seorang scout. Ini adalah tugasnya.
“...Sepertinya itu nggak akan bisa mencapai kita di sini,” dia berkata.
“Kalau begitu kita berhasil.” Goblin Slayer menjawab. “Bagaimana gadis itu?”
“...Dia semakin lemah,” Priestess berkata, dengan lembut memberikan gadis itu sisa dari potion yang telah sebagian dia teguk. “Kurasa kita nggak bisa lama berada di sini.”
“Bagaimana menurutmu?” Goblin Slayer bertanya. Dia menjentikan lidahnya ketika dia melihat betapa beratnya napas Lizard Priest. “...Lupakan saja.” Dia mengoreksi dirinya. “Kita harus menyerang, atau kita harus mundur.” Kemudian dia menyarungkan pedangnya dan menghela.
Dia memperhatikan partynya. Dwarf Shaman mempunyai satu mantra lagi, Priestess satu keajaiban. Lizard Priest tentunya sudah mencapai batasannya.
Para goblin telah mati. Sang gadis telah terselamatkan. Masih terdapat goblin di atas mereka.
Badai salju semakin kuat. Itu tentu saja sebuah tangan Kekacauan, akan tetapi...
“Nggak ada alasan buat kita untuk menghancurkannya.”
Hanya terdapat satu kesimpulan.
“Benar juga.” High Elf Archer berkata dengan senyuman tipis. “Kamu benar. Kalau boleh aku pinjam kalimat, ini bukan pemburuan g—“
Namun hanya sampai di situ saja.
Dinding es hancur dengan sebuah raungan, dan tubuh High Elf Archer melambung ke udara.
“Hrgh... Agh?!”
Dia menghantam dinding ruangan dengan suara seperti ranting yang patah, dan darah mengalir dari mulutnya.
Apa yang terjadi? Jawabannya sangat sederhana.
 Tangan greater demon mengepal dan mengencangkan otot yang seperti tali itu dan melompat.
Sebuah hantaman dari tinju itu, sama besarnya dengan raksasa manapun, lebih dari cukup untuk menghancurkan dinding mereka.
Para petualang bermandikan pecahan es, terkubur, dan sungguh di sayangkan scout mereka terkena serangan telak.
Priestess berteriak, meneriakkan nama High Elf Archer, yanh meringkuk seperti daun kering. (TL Note: siapa namanya coba? -_- )
“Aku...ng..nggak apa-apa...” Suaranya pelan dan lemah. Ketika helm metal itu melihat mengarah Priestess, gadis itu mengangguk penuh air mata.
Goblin Slayer menghela napas. Semua baik-baik saja,--tidak kritikal. Jika memang kritikal, maka sang elf itu tidak akan dapat menyembunyikannya.
“Jadi si bajingan itu bisa bergerak...!” Seraya dia berdiri, membersihkan salju, Goblin Slayer tidak dapat segera bertindak.
Di depannya adalah tangan greater demon, seperti ular yang mengangkat kepalanya.
Apa dia bisa melihatku?
Goblin Slayer sangat meragukannya. Mungkin tangan ini memiliki semacam persepsi sensor ekstra atau sebagainya.
Sebuah teknik tua berburu rusa melintas di pikirannya: Masukan salju ke dalam mulutmu, menjadi bagian dari area sekitar. Kemudian bersiap membunuh.
“Apa rencananya, Beardcutter?!” Tubuh Lizard Priest yang besar beradaa di atas Dwarf Shaman seolah dia bersembunnyi di balik tubuh itu. Priestess merayap mengikuti, masih memegang sang permaisuri, dan memberikan High Elf Archer sebuah pundak untuk bersandar seraya dia berdiri dengan sempoyongan.
Goblin Slayer tidak segera mengetahui apa yang harus di katakan.
Makhluk itu bukanlah goblin. Jadi apa yang harus dia lakukan? Itu bukanlah goblin. 
Ini tidaklah seperti monster itu (apapun sebutannya) yang pernah mereka lawan. Ini berbeda dengan makhluk yang ada di saluran air, dark elf, dan bahkan ular laut.
Goblin Slayer menyadari betapa sedikitnya pengalaman yang dia miliki.
Goblin Slayer berpikir. Adalah sesuatu yang masternya pernah katakan kepadanya. Yang cuma bisa kamu lakukan adalah berpikir.
Kamu nggak mempunyai talenta. Nggak pintar. Nggak berkemampuan. Tapi kamunpunya keberanian. Karena itu berpikirlah!
Dia berpikir. Apakah pilar es datang menghujam dari atas atau sebuah bola salju yang terbang mengarahnya?
Apa yang dia miliki di dalam kantungnya? Di dalam kantungnya, dia memiliki...
“Tangan.” Dia akhirnya memeras kata itu keluar. “...Ayo lakukan.”
Bahkan dirinya sendiri sulit mempercayai suaranya sendiri.
“Baik, pak!” datanglah teriakan menjawab, tanpa sedikitpun keraguan.
Seorang gadis muda melihat kepadanya, meremas tongkat derik pada jarinya yang membeku dan mencoba menjaga tubuhnya agar tidak bergetar.
Adalah demonstrasi dari—ya—kepercayaan Priestess.
*****
Tangan greater demon menggeliat dan memutar.
Roh dan daging seekor goblin—seberapa banyak gizi yang terkandung di dalamnya?
Petualang.
Makhluk itu harus membunuh para petualang, Mereka Yang Berdoa.
Orang-orang bodoh ini harus menyiapkan diri mereka untuk mati. Nyawa mereka. Jiwa mereka. Keputus-asaan mereka.
Tangan itu membelai udara dengan perlahan, mencari petualang ini.
Di sana.
Indra dari tangan greater demon, pikiran monster itu begitu di luar nalar dari para petualang hingga membuat para petualang tidak mempunyai sedikitpun kemungkinan untuk dapat memahaminya. Pada akhirnya, adalah mustahil untuk dapat membayangkan apa yang makhluk itu pikirkan.
Namun di sana terdapat seorang dwarf, berusaha berdiri bersama dengan lizardman, gadis elf dan tumbal manusia. Dari cara otot itu menggeliat ketika monster ini melihat dwarf itu tentunya menggambarkan sesuatu yang kita sebut dengan kegembiraan, atau setidaknya keserakahan.
Kemudian makhluk itu melompat—tepat di saat sebuah batu terbang dari satu sisi.
Tangan itu berhenti, pergelangannya memutar ke sini dan ke sana.
“Sebelah...sini!”
Hanyalah sebuah batu. Ketapel atau bukan, bentuk tubuh mungil gadis itu tidak akan cukup untuk menghasilkan kerusakan.
Namun di sanalah dia, seorang gadis berdiri di sana, melawan rasa takut dan dingin.
Ketika makhluk itu meluhatnya, pergerakan dari tangan greater demon menjadi sangat cepat. Tangan itu bergerak mengarahnya, jemarinya yang menjijikkan merayap di lantai seperti laba-laba.
“...Eek?!” Priestess menjerit melihat ini. Tangan itu bergerak cepat, mungkin terlalu cepat bagi gadis itu. Tangan ini akan menangkapnya, meremasnya, melilitnya menghancurkannya, dan mencekiknya. Daging dan tulangnya akan menjadi remuk, isi tubuhnya akan menjadi sup darah, dia akan menjadi begitu hancur bahkan sebelum dia mati.
“Mana mungkin aku akan membiarkanmu...!”
“—?!”
Priestess tidak pernah menutup kedua matanya seraya tangan itu mendekat. Dan dalam sekejap sebelum tangan itu meraihnya, lengan itu terlempar ke samping.
Apakah karena lantai es? Tidak. Sihir, kalau begitu? Tidak.
“Beberapa orang menyebutnya Minya Medea. Yang lain, petrolum. Ini bensin.”
Adalah seorang petualang dengan helm metal yang terlihat murahan, armor kulit kotor, sebuah perisai bundar terikat pada lengan dan sebuah pedang dengan kepanjangan yang tidak biada pada pinggulnya. Bahkan seorang petualang pemula-pun memiliki perlengkapan yang lebih baik dari pria ini, yang sekarang melempar botol kecil ke lantai.
Sebuah cairan hitam mencurigakan mengalir di lantai.
“------!”
Monster itu tidak dapat berpijak (atau mungkin bertumpu?), terpeleset dan meronta.
“Pak, Goblin Slayer, api...!”
“Nggak bisa, terlalu dingin,” dia berkata tajam. “Mundur dan pergi!”
“Baik pak!”
Priestess berlari sekuat mungkin, berusaha untuk tidak terpeleset di atas es seraya dia menuju sebuah sudut ruangan ini. Goblin Slayer bergerak untuk melindunginya, menggapai tas peralatannya.
“’Jangan pernah tinggalkan rumah tanpanya,’ eh? dia membisikkam kalimat yanh begitu sering di ucapkan Priestess dan mengeluarkan sebuah kail pengait. 
Dia melemparnya mengarah tangan yang merayap di atas es dan minyak. Dia merasa pengaitnya tersangkut, namun tentunya tidaklah cukup untuk menciptakan rasa sakit, tetapi...
“Hrm...!”
Ketika dia menariknya, lengan raksasa menjadi terpeleset di atas bensin, dan menggeliat. Ini akan sedikit membantu menutupi perbedaan kekuatan dan beban. Ini tidaklah cukup untuk memutar keadaan pertarungan pada keuntungan Goblin Slayer tentunya, oleh karena itu dia harus berhati-hati terhadap apa yang dia lakukan.
“Ayo...!” Dia memberikam tali itu sebuah tarikan seolah sedang mengarahkan sapi yang tidak mau mendengarkannya. Dia membelitkan tali di sekitar tangannya beberapa kali seraya makhluk itu bersusah payah melawan bensin.
Membuat lantai menjadi licin sangatlah bagus-bagus saja, tetapi itu tidaak akan berguna jika dirinya sendiri ikut terjebak dalam perangkap itu. Dia melebarkan kakinya untuk menjaga keseimbangan. Dia merendahkan pinggul, mengerahkan tenaga pada kakinya. Jika dia berhasil selamat dari ini, maka dia harus memasang duri pada telapak sepatunya—atau mungkin melapisinya dengan bulu.
“—!” 
Akan tetapi, sang musuh, tidak hanya akan diam saja membiarkan Goblin Slayer sesukanya. Tangan greater demon memutar pergelengan tangan dengan kuat, seolah sedang menepuk sebuah lalat yang sangat mengganggu.
“Hrah...?!” Goblin Slayer melambung ke udara.
Tidak lama kemudian, dia menghantam dinding ruangan seperti mainan bertali yang di mainkan oleh anak kecil yang ceroboh.
“Hrgh?!”
Dia mendengar armornya retak, namun dia tidak melepaskan talinya.
Dia terjatuh ke lantai, memukul lantai tepat sebelum dia terbentur untuk melunakkan pendaratannya. Dia baik-baik saja. Tidak ada luka yang cukup parah.
“Pak Goblin Slayer! —Goblin Slayer!!”
Priestess, menuju bagian dalam ruangan, berputar dan mengeluarkan jeritan seolah dia akan menangis.
“Nggak...masalah...!”
Dengan jentikan lidahnya, Goblin Slayer berdiri.
Ya, aku masih bisa melakukannya. Berbahaya, tapi bisa saja.
Dia masih dalam kondisi yang lebih baik di banding dengan luka yang telah di berikan oleh apapun-yang-berada di bawah reruntuhan itu. Mungkin itu adalah monster berlevel lebih tinggi dari yang dia kira.
Tetapi juga, adalah sangat mungkim bahwa levelnya sendiri telah meningkat.
Apapun itu, intinya adalah, perbedaan kekuatan antara dia dan aku nggaklah mutlak.
Dia mendengus, merasa pemikirannya sendiri lucu, kemudian berdiri sempoyongan.
“Bagaimana keadaamu di sana?”
“Ba-baik!” Priestess berkata, dengan cepat berputar kembali menuju tujuannya. “Aku hampir...sampai!”
Ketika Priestess menggapai pintu ganda yang berdiri di bagian jauh dari ruang makam, dia mengeluarkan sebuah barang.
Pita biru. Benda yang telah di berikan Sword Maiden kepada pria itu, dan pria itu berikan kepadanya baru saja.
Priestess mengikat pita itu sekali di sekitar tangannya dan mendorong pintu.
Ketika dia melakukan itu, lihat dan saksikan, sebuah cahaya biru mulai bersinar di samping pintu, dan sebuah barisan akan simbol terukir dengan sendirinya di udara.
Adalah cahaya yang misterius, yang dulu telah punah. Priestess menggigit bibir seraya cahay itu menyinarinya.
Sudah ku duga, pikir Priestess, mengingat ucapan Sword Maiden. Dia memegang dadanya dengan satu tangan. Ini kunci tempat ini...!
Priestess dengan cepat menjulurkan jarinya di atas papan ketik. Tidak masalah. Dia dapat melakukan ini. “Siap!”
“Baiklah...!” Goblin Slayer menarik tali dengan segenap tenaga yang dia miliki.
Terdengar suara braak! Seraya tangan itu menggenggam lantai, berusaha untuk tidak bergerak.
Adalah menjadi tarik tambang dalam sekejap.
“Hrn...?!”
Tak di sangka, tangan itu menjadi lemas, dan Goblin Slayer menjadi liung. Tangan greater demon, yang berhenti melawan, menggerakkan jarinya mengarah pria itu.
“—Eek?!” Priestess mengeluarkan jeritan tak di sengaja. Dia merasa ruangan makam ini menjadi lebih dingin beberapa derajat.
Energi sihir berputar di sekitar telapak tangan demon itu, udara bergetar.
Badai salju lagi...?!
Pertarungan Priestess sebelumnya melintas di pikiran layaknya sebuah inspirasi.
Ogre raksasa.
Lengan yang menjulang.
Sihir yang berputar—lautan api.
Dan dia, berdiri tepat di depan gadis itu.
Sebelumnya, Priestess telah mengerahkan segalanya, dan tidak dapat bergerak.
Tetapi sekarang.
Sekarang...
“Pak Goblin slayer!”
“Orcbolg!!”
Kemampuan yang tinggi tidak bisa di bedakan dengan sihir.
Seperti kemampuan memanah High ElF Archer.
Sang elf mengangkat sebelah kaki untuk menopang busurnya, sedikit condong ke kiri, menarik benang dengan giginya. Sangatlah aneh, akan tetapi, indah. Dan untuk panah yang telah dia siapkan...
“O sayap maha tajap velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu!” Lizard Priest menggunakan tenaganya yang tersisa unntuk merapalkan Swordclaw. “Apalah arti kehancuran besar dirimu? Jika kamu hendak memusnahkan kami, bawakanlah batunapi yang terjatuh dari surga, dan lakukanlah seperti itu!”
Api dari jiwa kehidupannya, yang sebelumnya meredup, kini membara sedikit lebih terang. Yang membantu akan kesadaran terakhirnya ini, yang tidak mungkin bisa dia pertahankan jika bukan berasal dari leluhurnya.
Karena, tentu saja, dia tidaklah sendiri.
“Tarian api, salamander tersohor. Berikanlah kami sedikit bagian dari ketenaranmu!”
Adalah berkat Dwarf Shaman, yang menggunakan beberapa arang sebagainkatalis untuk menggunakan Kindle.
Dengan ketangguhan akan kaumnya, Dwarf Shaman telah membawa mereka tepat ke depan elevator. Sekarang dia menyeringai mengetahui dan meneguk fire wine.
“Lakukan, Telinga Panjang!”
“Hhhh—rahhh!!”
Teriakan yang tidak semestinya bagi seorang elf mengisi ruangan, dan terdapat kilauan cahaya.
Taring naga, taring rekannya, menghantam tangan greater demon.
“—?!”
Tentu saja, ini tidaklah cukup untuk menimbulkan rasa sakit yang serius. Itj hanyalah tembakan dari elf yang sekarat (tidak peduli seberapa hebatnya dia sebagai seorang pemanah) melawan greater demon berlevel tinggi (walau hanya lengannya). Akan sangat cukup jika panah itu menembus kulitnya. Dan benar, itu sudah cukup.
Taring dari para naga menakutkan sangatlah cukup kuat untuk menghentikan sihir yang hendaak dingunakan tangan itu. Tangan itu terlontar di karenakan benturan, pusaran energi sihir menghilang seperti air yang bergejolak di ujung sebuah cangkir. Memutar udara kembali kepada tempatnya dan, pada saat itu:
“Yaah....!”
Goblin Slayer tidak akan melewatkan kesempatan ini. Kail oengait, yang di mana dia tarik dengan sekuat tenaga, bersama dengan minyak di lantai, membuat tangan greater demon terseret.
“—!”
Sekarang.
Dengan ancaman yang terseret mengarah gadis itu, Priestess sama sekali tidak bimbang: dia mulai mengetuk papan ketik elevator.
Pintu itu terbuka tanpa suara. Tangan greater demon itu terpeleset masuk ke dalam, secara harfiah.
“—!”
Di balik pintu itu hanyalah terdapat lubang yang sangat panjang. Tidak ada makhluk hidup yang dapat bertahan hidup setelah terjatuh—namun tangan greater demon tidak akan terjatuh semudah itu.
Bahkan seraya makhluk itu terpeleset dan terseret di atas bensin, tangan itu melebarkan jarinya, berusaha untuk mencari semacam dinding atau celah untuk di pegang. Tangan itu terlihat seperti semacam laba-laba aneh, seekor makhluk dari dunia lain yang mengerikan. Makhluk ini mungkin tidak dapat menghindari jatuhnya, namun setidaknya dia ingin menyeret gadis itu bersamanya.
Jika greater demon ini masih memiliki kesadaran pribadi, tentunya pemikirannya akan seperti itu.
Karena itu...
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!!”
Yang semakin menguatkan alasannya untuk memainkan perannya, di sini dan sekarang.
Doanya, sebuah doa yang mengikis bagian dari jiwanya, mencapai surga dan menganugrahinya dengan sebuah keajaiban dari Ibunda Bumi yang maha pengasih.
Pelindung tak kasat mata dari Protection menyebar di kedua sisi, seperti sebuah tutup, unthk melindungi pengikutnya yang taat.
“Hrgh...!”
Tangan greater demon, menggedor murka pada pelindung itu, menyebabkan Priestess tersentak setiap kali seolah dirinya sendirilah yang menerima hantaman itu.
Namun hanya itu saja.
Tidak lama kemudian, tangan itu mulai menjauh, dan walaupun tangan itu membenamkan jarinya ke dalam dinding, tidak ingin menyerah begitu saja, tangan itu tetap terjatuh ke dalam lubang, hingga menghilang ke dalam kegelapan.
Terdapat keheningan panjang dan sunyi. Akhirnya telinga High Elf Archer berkedut, dan dia menghela napasnya. “Apa kita...berhasil?”
Dia tidak terdengar begitu yakin.
Akan tetapi, Priestess, tidak menjawab. Benar, dia tidak dapat menjawab. Perasaan menggelitik pada lehernya masih belum hilang.
ini belum berakhir...!
“—!”
Terdengar gededuk, keras, dan sebuah garis tipis retak menjalar pada dinding Protection seperti kaca yang akan hancur.
“Ah, ahhh...?!”
Tangan greater demon mengeraskan setiap otot yang di milikinya untuk melompat ke atas dan melancarkan tinjunya menghantam pelindung. Priestess menjerit sakit seolah dirinya yang terhantam  hingga dia jatuh berlutut.
Gedebuk! Serangan kedua.
“Ugh... Hrgh...?!”
Pandangan Priestess buram seraya gelombang kejut menembus solar plexusnya. Dia tidak dapat bernapas. Dia terbaring dan mengerang.
“Hrrr... Ahhh...”
Serangan ketiga. Terasa seperti mengoyak isi tubuhnya; dia memaksa dirinya untuk tegak berlutu.
Tapi...Aku nggak bisa...!
Dia memaksa cairan pahit yang mengancam untuk keluar, kembali turun. Memfokuskan pandangannya ke depan.
Aku nggak boleh menyerah... ini belum berakhir... belum berakhir!
Bukanlah karena dia punya semacam jaminan spesial. Dia hanya sekedar percaya.
Percaya bahwa dirinya tidak boleh di kalahkan di sini.
Para goblin. Baju besi yang tercuri. Gadis yang di selamatkan. Dirinya sendiri yang terselamatkan. Sword Maiden. Temannya.
Pikiran-pikiran ini berputar di kepalanya. Apakah ini yang di maksud ketika sejarah kehidupan seseorang mengiang tepat di depan mata? Tidak, tidak. Ini bukanlah waktu untuk tenggelam dalam ingatan.
Pak...Goblin...Slayer...!
“Dia datang!”
Suara pria itu terdengar bagaikan pencerahan baginya. Dia mendekap mereka, mendukung dirinya bersama mereka, berdiri bersama mereka.
Tangan greater demon menegang. Tangan itu terdorong ke atas dari bawah, terhimpit dengan dinding suci. (TL Note :saya agak sulit membayangkan adegan ini, jadi saya terjemahin apa adanya sesuai sumber inggrisnya.)
Kenapa—kok bisa?
Entah bagaimana, Priestess merasa dia dapat mengerti rasa bingung tangan itu. Hal ini membuat senyum pada wajahnya yang kesakitan.
“Ini...adalah elevator,” dia berkata. “Dan kamu akan naik ke atas...!”
Adalah “kotak,” yang naik dari bawah, yang mempunyai efek kritikal. Tangan greater demon terjepit di antara struktur metal yang naik dengan cepat menuju permukaan dan dinding Protection...
“—! —...! ! !! !!!! !”
Makhluk itu sempat bertahan selama beberapa detik, sebelum suara lenyek menjijikkan, yang mengubahnya menjadi gumpalan daging.
Dengan koneksi terkutuk telah menghilang, tubuh dari goblin yang di gunakan tangan greater demon secara virtual telah meleleh. Tubuh itu menetes turun melewati elevator, di iringi aroma yang menjijikkan.
Tidak lama kemudian, Protection menghilang, keajaiban itu telah melaksanakan tugasnya, dan elevator terbuka dengan suara ding! Ceria yang terdengar di dalam ruang makam. Pintu terbuka tanpa suara. Pintu itu adalah jalan masuk menuju lubang tak terbatas, menuju kedalaman neraka.
Napas semua orang terlihat begitu berat, terengah, dan untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara.
“...Sebuah palu dan...paron...” Priestess pada akhirnya dapat berbicara. Dia hampir tersandung, menggunakan tongkatnya untuk menopang dirinya. Dia memegang perutnya yang berdenyut dengan satu tangannya yang bebas. (TL Note: lagi, saya tidak paham apa yang di maksud priestess di sini. Jadi saya artikan apa adanya sesuai sumber.)
Ini adalah batasan mutlak. Mereka telah kehabisan doa setelah bertarung hingga mencapai tempat ini dari saat mereka memasuki kota ini.
Seraya tubuh ramping, nan elegan Priestess condong ke depan, dia merasakan sebuah tangan yang menahannya dan menariknya lebih dekat.
“Benar,” Goblin Slayer berkata. “Bagus sekali kamu mengingatnya.”
“Karena kamu...” Priestess tersenyum, wajahnya berkeringat. “Karena kamu...mengajarinya kepadaku.”
“....Begitu?”
“Ya.”
Kemudian Goblin Slayer terdiam, memapang pundak Priestess seraya mereka berjalan. Satu langkah, kemudian dua langkah. Mereka merajut langkah mereka di atas lantai berlapis minyak dan es dan darah dan daging, langkah demi langkah, maju ke depan.
Di depan elevator—terlihat dekat, namun begitu jauh—dia melihat rekannya saling membantu satu sama lain seraya mereka menunggu dirinya.
Persis seperti kebalikan saat waktu itu yang aku ingat. Pikir Priestess secara tiba-tiba dan tersenyum.
Tidak seorangpun dari mereka yang berprilaku mengasihani dirrinya, akan tetapi dia menghargai langkah perlahan yang mereka lakukan. Dan kemudian tiba-tiba, dia menyadarinsesuatu. Sesuatu yang sangat kecil, tidak penting.
Dia nggak pernah...memapangku sambil berjalan sebelumnya.
Priestess merasakan rasa panas di pipinya yang semakin memuncak dan menoleh ke bawah. Dia melihat sepatunya dan kakinya  sendiri berdampingan.
Jadi tidak semua pengalaman pertama itu buruk.
Itulah pendapat kecilnya, di sini di jantung dungeon ini.
*****
Tentu saaja, itu semua tidak mengartikam ini tepah beralhir.
“Dia...pergi ke sana!”
“Oh, yang—!!”
Semakin banyak goblin yang menunggu mereka ketika elevator tiba pada lantai pertama.
“GROORB! GBOOROGB!!”
“GBBOROOROB!!”
Tentunya, ada lebih sedikit goblin dari sebelumnya. Mereka pastilah yang tersisa dari apa yang party mereka hancurkan sebelumnya, atau monster yang datang dari lantai bawah.
“GOOBOGB!!”
“Kamu...ini...!” Priestess mengayunkan tongkat sekeras yang dia mampu, menghalau goblin menjauh.
High Elf Arvher melepaskan panah tanpa henti—namun jika di bandingkan dengan tembakan biasanya, pergerakan dia tampak kaku dan lamban seperti tingkat Porcelain. Dia telah kehabisan panah bermata kuncup juga, sekarang dia harus memakai metal berkarat yang dia curi dari goblin.
“...Sakit...banget...!”
“GOOBOG?!”
Akan tetapi, itu sudah cukup. Sang goblin terjatuh ke belakang dengan panah yang menembus matanya dan tumbang.
“Lima!”
Hampir dalam sekejap, Goblin Slayer menerjang musuh lain.
“GBBOOGB?!”
Dia menggunskan perisainya untuk menahan pentungan yang di angkat, menangkis benturan dan mendorong musuh sebelum dia semakin mendekat. Menahan pemberontaakan sia-soa makhluk kecil ini dengan perisainya, Goblin Slayer menusukkan pedangnya pada tenggorokan monster itu, yzng membuat monster kecil itu kejang-kejang kasar.
“GOO?! GROGB...?!” Sang goblin akhirnya mati tersedak oleh darahnya sendiri.
“Enam,” Goblin Slayer bergumam. Priestess dan High Elf Archer sama-sama terengah-engah dan saling bertukar pandang.
Ruangan ini penuh dengan mayat goblin, termasuk dengan pertarungan sebelumnya. Goblin Slayer menginjak mayat tak bernyawa itu seraya helm metalnya berputar. “Bagaimana dengan area ini?”
“Semua bagus.” High Elf Archer berkata dengan kepakan lemah telinganya. “Kayaknya. Aku nggak seyakin seperti biasanya.”
Suaranya penuh akan rasa lelah. Dia menyandarkan pundaknya pada dinding sebagai pengganti lengan kanannya yang menggantung lemas di sisinya.
“...Aku akan panggil yang lain kalau begitu.” Priestess berucap berani, namun walaupun dia tidak terluka, dia terlihat seperti High Elf Archer. Gadis kecil itu begitu lelah hingga dia menyeret kakinya, terseok seraya dia mendatangi pintu; dia memberikan teriakan kecil seraya dia mengerahkan tenaga untuk membuka pintu. “Sudah aman sekarang,” dia berkata.
“Ah, maaf soal ini...”
Dari balik pintu yang di pegang Priestess munculah Dwarf Shaman, wajahnya begitu lelah. Dia memiliki Lizard Priest yang terpapang di keseluruhan pundaknya, bersama dengan sosok yang lebih kecil akan seorang permaisuri.
“Sungguh...maaf... Jika saja saya dapat membuat tubuh saya...bergerak sedikit lebih...” Suara Lizard Priest terdengar sengau seraya dia memohon maaf. Dia telah memulihkan sedikit dari tenaganya—namun hanya sedikit. Pergerakannya telah di lumpuhkam setelah berhasil selamat dari hembusan sihir es. Yang bukan berarti seseorang selain kaum lizardman dapat melakukannya dengan lebih baik...
“Nggak... Maaf aku nggak punya tenaga lebih.” Priestess berkata, menggelengkan kepalanya.  Yang di maksud oleh dirinya adalah tenaga fisik dan kekuatan dari kepercayaannya. Jika saja sang dewi memberikannya keajaiban penyembuhan yang lebih efektif...
Jika saja dia masih mempunyai fokus dan ketangguhan yang tersisa untuk menjalin doa tulus yang menghubungkan jiwanya ke surga.
Mungkin Dwarf Shaman memahami apa yang gadis itu pikirkan, karena sebuah senyum lelah muncul pada wajah berjenggotnya. “Aku nggak yakin kamu bisa membawa mereka berdua seberapapun kuatnya tenaga yang kamu miliki.”
“Tapi...”
“Otot manusia dan otot dwarf itu tidak sama, gadis kecil. Tidak peduli seberapa banyak otot yang kamu miliki.”
Dengan kata lain, ini adalah momennya untuk bersinar.
Bahkan setelah mendengar nasehatnya, Priestess masih tidak dapat memungkiri kelemahannya sendiri. Masih menggigit bibirnya, dia memeriksa Lizard Priest dan permaisuri. Adalah apa yang hanya dia dapat lakukan saat ini.
Lizard Priest selalu memiliki sumber kehidupan yang begitu melimpah, sedangkan untuk permaisuri yang jauh lebih lemah dan letih, sedang terancam nyawanya. Priestess menyentuh pipi gadis itu dengan lembut, dan sang permaisuri tampak membisikan sesuatu sebagai balasan.
“Terima kasih” dan “Maafkan aku.”
Dia bergumam kalimst itu berulang-ulang, seolah sedang berbicara kepada dirinya sendiri, dan terkadang Priestess dapat mendengar kakak, Ayah, dan Ibu juga.
Priestess meluhat permaisuri. Mereka hampir seumuran, atau mungkin sang permaisuri sedikit lebih muda darinya. Priestess, hampir beranjak enam belas tahun, memejamkan kedua matanya seolah ingin menahan sesuatu.
Satu setengah tahun yang lalu, dia pernah seperti ini. Ceroboh, polos, tak berdaya, dan yang terparah, bodoh.
Dia itu...aku...!
Priestess memeluk tubuh babak belur permaisuri dengan erat.
Apa yang bisa dia lakukan semenjak saat itu?
Apakah ada sesuatu yang bisa dia lakukan pada gadis itu sekarang?
Apakah dia dapat berguna untuk pria itu...?
“Nggak ada yang sia-sia.” Suara pelan itu membuatnya terkejut, dan dia mendengak. Goblin Slayer sedang memperhatikan sekelilingnya dengannsiaga, namun dia berdiri di dekat sebuah dinding. Sangatlah tidak biasa bagi pria itu. “Kamu harus berusaha dengan apa yang kamu miliki.”
“....Kurasa apa yang dia maksud itu, nggak usah terlalu khawatir. Walaupun setidaknya dia harus bisa belajar untuk bisa lebih mengekspresikan dirinya sendiri dengan lebih jelas.” High Elf Archer, walaupun dengan wajahnya yang pucat dan berkeringat, mempunyai celetukan biasanya untuk Goblin Slayer. Dia sering menengang dari waktu ke waktu, menekan tangan pada pinggulnya. Semoga saja hanya bengkak. Karena jika patah...
“Kalian berdua,” Priestess berkata, mencoba untuk menenangkan suaranya yang gemetar. “Kalian berdua nggak apa-apa?”
“Ya,” Goblin Slayer menjawab dengan anggukan. “Aku bisa lanjut.”
“Oh, aku nggak apa-apa,” High Elf Archer menambahkan, namun kemudian dia memejamkan kedua mata dan melihat ke bawah.
Baik-baik saja bukanlah kata yang menggambarkan mereka berdua.
Oleh karena itu, Priestess hanya menjawab, “Oke,” dan diam.
Setelah beberapa menit beristirahat, tanpa sinyal dari siapapun, para petualang mulai belerja sekali lagi. Mereka tidak dapat secara lama tinggal di sini.
Tak seorangpun bersuara. Namun mereka semua mengetahui apa yang menunggu mereka berikutnya.
Mereka berputar pada sebuah sudut koridor, menaiki sebuah tangga langkah demi langkah, seolah mengisi ruang kosong pada setiap kisi yang ada, menuju permukaan. Mereka bertarung seraya mereka berjalan; penyerangan itu hanya berlangsung dua puluh atau tiga puluh detik. Walaupun dengan istirahat mereka, ini terasa bagaikan satu atau dua jam.
Dan pada akhirnya,mereka mencapai puncak dari tangga panjang, di mana....
“GOOROGB...!”
“GOOBOGR! GBOG!”
“GRROOR!”
“GBBG! GROORGB!!”
Goblin. Priestess mengangkat bahunya, wajahnya bercampur rasa takut, lelah, dan bersiap.
Lapangan di depan dungeon di penuhi oleh kulit hijau. Mereka menyeringai pada Priestess dan High Elf Archer, tentu saja membayangkan bagaimana mereka menundukkan para wanita dan petualang lainnya. Mereka memegang berbagai macam jenis senjata—seberapa banyak mereka? Dua puluh, tiga puluh? Empat puluh, lima puluh?
“...Aduh, sudah sewajarnya sih,” Dwarf Shaman berkata tanpa banyak antusiasme. “Cara kita menghadapi tangan greater demon itu ribut sekali. Kalau nggak, kita mungkin bisa saja keluar dari sini tanpa di kketahui.”
“...Ini kebalikannya dari yang biasa,” High Elf Archer berkata dengan tawa kering. Dia memiliki ekspresi yang sama ketika saat dia di kerubungi oleh goblin di saluran air. “Kelihatanya kitalah yang akan terbantai...”
“Dungeon untuk naga, terowongan untuk troll, dan neraka untuk petualang! Heh-heh-heh!”
“Itu sangat masuk akal,” Lizard Priest berkata dan berdiri dari pundak Dwarf Shaman dengan sempoyongan.
“Kamu nggak apa-apa, Scaly?”
“Ketika kematian menjemput saya, maka dia harus membawa saya saat saya berdiri.” Lizard Priest menjawab. Dia membuat gerakan liar dengan rahangnya, memamerkan taringnya. Itu tentu mengartikan bahwa dia telah siap untuk segalanya—benar, lizardmen selalu siap untuk apapun. “Jadi, apakah kita mempunyai rencana, tuanku Goblin Slayer?” dia terdengar begitu terhibur; mata berputar di kepalanya.
Selama momen ini, para goblin bergerak maju langkah demi langkah. Adalah jelas bahwa mereka tidak mempunyai niatan untuk melancarkan serangan tiba-tiba. Mereka sedang menikmati pemandangan para petualang yang termundur kembali ke pintu masuk dungeon. Adalah kebahagian mutlak untuk melihat mereka berada di dalam tempat yang sangat akrab bagi para goblin. Sangatlah menyejukkan hati, melihat para petualang yang biasanya memburu mereka telah terpojok seperti ini.
Yang menjadikan ini alasan sempurna untuk memberikan mereka sebuah pelajaran, untuk melukai mereka, menghamili mereka, memakan mereka.
Para wanita itu terlihat kurus. Mereka akan mati dengan cepat. Itu atau menikmati mereka selama mereka masih hidup.
Tidak, mereka juga dapat di nikmati dengan sama enaknya setelah mati, seperti saat masih hidup. Cukup putar leher mereka dan bersenang-senang dengan mereka setelah itu.
Tunggu, kubur mereka hingga seleher dan lihat siapa yang dapat melontarkan kepala itu terbang paling jauh dengan ayunan sebuah kapak—itu akan menyenangkan.
“GOOBGBOG!”
“GRROOR! GRBB!”
“GGGROORGB!!”
Para goblin semakin mendekat, senyum hina masih berada di wajah mereka.
Goblin Slayer tidak berkata apapun.
“Pak, Goblin Slayer...?” Priestess melangkah mendekatinya, melihat pada helm pria itu.
Priestess merasa dia harus mengatakan sesuatu pada momen ini. Namun diz tidak mengetahui apa yang ingin di ucapkan. Terlalu banyak pikiran, terlalu banyak hal yang ingin dia ucapkan; butuh segenap jiwa raganya untuk dapat menekan kembali perasaan yang hendak meluap keluar.
Jadi akhirnya, dia melihat helm itu dengan mata berkaca.
Adalah sebuah metal yang terlihat murahan.
Adalah mustahil untuk dapat melihat ekspresi yang tersembunyi di balik pelapis itu, tetapi...
“Negara nggak akan mengambil tindakan tentang masalah ini, begitu juga dengan tentara.”
“...Benar.”
Goblin Slayer melebarkan kakinya, perhatiannya tidak pernah teralihkan. Dia memeriksa lebar dari pintu masuk dungeon, mengambil kuda-kuda, dan menyiapkan senjata.
Dia telah menemukan sebuah tempat di mana goblin tidak akan dapat menggunakan jumlah mereka sebagai keuntungan.
Dia berniat untuk menghadapi mereka secara langsung.
Dia belum menyerah.
“Kemungkinan, mereka nggak akan berharap untuk mengetahui bahwa salah satu keluarga mereka telah di culik oleh goblin,” dia berkata, dan helmnya sedikit bergerak. Tatapannya tertuju kepada sang permaisuri..
Benar. Priestess memberikan anggukan kecil.
Terdengar sebuah suara berdrik. Suara itu berasal dari tongkat deriknya: tangannya bergetar. Dia meremasnya lebih erat, namun suara itu tidak kunjung berhenti. Giginya juga sama bergetar.
“...Pak...Goblin Slayer...!”
Seberapapun bodohnya ini terlihat, dia merasa bahwa dia harus melakukannya.
Priestess menjukurkan tangan kecilnya menuju tangan bersarung pria itu, hampir seperti menggandengnya.
Pria itu tidak mendorong tangan sang gadis.
Alih-alih, masih melihat mengarah goblin, dia berkata, “Ini pembasmian goblin.”
Para goblin mendekat.
High Elf Archer menyiapkan panah terakhirnya.
Para goblin mendekat.
Dwarf Shaman dengan perlahan menurunkan permaisuri dan menarik kapaknya.
Para goblin mendekat.
Lizard Priest membentangkan tangan dan ekor, memamerkan kuda-kudanya.
Para goblin mendekat.
Priestess menggigit bibirnya dan berdiri tegak, tongkat derik di genggam dengan satu tangannya yang gemetar.
Para goblin mendekat.
Sang petualang—yang mempunyai helm metal yang terlihat murahan dan armor kulit kotor, dengan perisai bundar terikat pada lengan dan sebuah pedang dengan panjang yang aneh pada pinggul—berkata, “Tapi kalau nggak....”
Para goblin—
*****
“Dewa hukum, Pangeran pedang, Pengemban timbangan, tunjukkanlah kekuatanmu di sini!”
*****
—terlempar ke segara penjuru.
“GOOROGB?!”
“GBB?! OROG?!”
Kilau listrik keunguan.
Udara mendidih seraya pedang hukum menghujam dari atas kepada para goblin, menghambur mereka. Langit, yang kini telah terlapisi dengan awan gelap, tiba-tiba bersinar layaknya tengah hari, sebuah Thunder Drake menggeram di atas kepala. Geram itu hampir tidak bersuara, hanya cukup untuk menggelitik telinga mereka—keagungan surgawi sesungguhnya.
“Ap...?”
“Sekarang...”
High Elf Archer hanya dapat menganga, sementara Dwarf Shaman melepaskan helaan lelah.
“Begitu—palu dan paron,” Lizard Priest berkata dengan gelengan kepalanya. “Jadi ini apa yang anda maksud.”
“GOOROGB?!”
“GBBOOG?!”
Para goblin, berusaha untuk melarikan diri, telah tersambar oleh kilatan petir satu persatu yang jatuh layaknya sebuah hujan.
Di tengah semua itu, Priestess melihat secara langsung kepada wanita itu.
“Semuanya, para goblin bukanlah musuh kita.” Wanita itu, berdiri di atas dinding kota, terbayangi oleh biru pucat akan langit subuh.
“Bukan mereka, tetapi pengikut jahat, dari para Mereka -Yang-Tidak-Berdoa yang berniat untuk memanggil Demon Kekacauan ke dalam dunia ini.”
Kulit dari tubuhnya yang indah hanya terlapisi dengan sebuah kain putih tipis. Rambut emasnya berkilau dalam cahay matahari. Tongkat akan pedang dan timbangan, yang sekarang dia pegang secara terbalik dengan bilah yang menghadap ke atas, adalah tanda akan kebenaran dan keadilan hukum.
Jika seseorang membayangkan Supreme God sebagai seorang dewi, maka tentunya dia akan terlihat seperti wanita ini.
Satu-satunya kekurangannya adalah kain hitam yang terlilit di sekitar matanya. Akan tetapi, itu sama sekali tidak mencoreng kecantikannya. Bahkan, mungkin kain itu hanya menambah pesonanya.
“Seorang petualang pernah mengatakan itu kepada saya.” Pada dadanya yang besar dia menggenggam secarik kertas yang berisikan tulisan cakar ayam layaknya sebuah mantra suci. “Hakimi masing-masing dari mereka selama mereka masih hidup.”
Sorak sorai terdengar dari gerbang kota. Kemudian sang warrior priest datang bagaikan angin, secara harfiah menginjak-injak para goblin. Pedang dan timbangan mendesah, dan para monster di paksa bertobat—ketika tengkorak mereka hancur berkeping-keping.
“O dewi perang! Berikanlah kami kemenangan!”
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
“Dewa hukum, Daulat timbangan, Pangeran pedang, jadilah terang...!”
“Tuhanku yang mengembara angin, jadikanlah setiap jalan penuh akan keberuntungan!”
“Pengawas akan Lilin, sinarilahi api sederhana kepada bayang-bayang keacuhan kami! Semoga kegelapan tidak akan sirna!”
Sosok yang berlari, memanggil nama akan dewa yang mereka puja, tentunya bukanlah tentara, ataupun ppetualang.
Mereka hanyalah sekedar kekuatan tempur dari kuil, yang menuruti sepatah kata dari seorang cleric besar.
Hasil dari pertarungan ini sudah tidak perlu di ragukan. Salah satu pahlawan yang bertarung dengan Demon Lord, kini telah hadir. Dungeon terdalam  dan terkeji di seluruh duniapun akan merasa takut. Terlebih bagi segerombol goblin. Adalah mustahil para petualang dapat kalah.
Para goblin, yang mengira bahwa mereka telah memojokkan musuh mereka, sekarang mendapati diri mereka terkepung, dan mulai berteriak dan lari. Mungkin mereka berpikir untuk lari ke dalam dungeon. Namun pria itu menunggu mereka dengan senjata di tangan, seperti biasa.
“Ya, aku memberitahu dia,” Goblin Slayer berkata. Entah mengapa dia terdengar seperti dia sedang melihat sesuatu yang sangat terang. “Tapi sisanya, tergantung dia.”
Oh...
Priestess berkedip.
Dia merasa yakin bahwa dia dapat melihatnya sekarang. Seharusnya dia belum dapat melihatnya, akan tetapi dia dapat melihatnya.
Pedang dan timbangan yang di usung Sword Maiden bergetar.
Bibirnya bergerak sedikit, giginya saling bergesek dari waktu ke waktu.
Alasan mengapa dia bergantung pada alligator itu adalah karena dia tidak mempunyai kekuatan untuk berani.
Tapi...
Tapi di sanalah wanita itu.
Dengan mentari pagi pada punggungnya, warna matahari bercampur dengan emas pada rambutnya, dia benar-benar seperti dewi. Lemah dengan rasa takut, hampir tidak bisa berdiri, terror mewarnai ekspresinya—akan tetapi, dia tetap menghadapi goblin.
Priestess menyadari bahwa mata buta Sword Maiden sedang terpaku kepada pria itu.
Itulah jawabannya, itulah alasannya.
Priestess menyadari bahwa tangan dia masih bergandeng dengan Goblin Slayer, dan dia pun tersipu. Dia berusah untuk melepaskan lilitan jemarinya—bimbang—mendorong tangan pria itu dengan pelan, dan akhirnya menarik tangannya.
Dia merasa malu, menyedihkan, memilukan...akan tetapi.
Aku ingjn menjadi...
...sumber kekuatannya.
Hari itu, dia menyimpan doa terkecil di dalam hatinya.
Suatu hari, Priestess bersumpah, dia akan mewujudkan itu.