DENYUT AKAN KELAHIRAN IBLIS 
(Translator : Zerard)

Kelihatan seperti kolam darah.
Adalah kesan pertama Priestess.
Puncak dari gunung menusuk langit, cahaya fajar menyinari layaknya darah di atas sungai.
Dan di sana, di bawah, segelap seperti gumpalan daging kering, berdiri sebuah benteng, melebar melintasi bayang-bayang.
Adalah kota benteng di mana para petualang berkumpul,di bangun oleh beberapa mantan raja sebagai tempat berlatih untuk garda kerajaan.
Namun itu hanyalah sejarah masa lalu.
Dengan Lord Demon telah tertumpas, para petualang telah meninggalkan dungeon itu.
Terdekap dengan arunika, kota itu tampak tidak lebih dari sebuah kota hantu, sebuah tengkorak, terbengkalai dan tandus.
Itu…yang seharusnya sih.
Priestess merinding pada aroma sama akan kengerian yang memancar dari tempat itu. Dia melirik kepada High Elf Archer, biasanya untuk mencari dukungan dan ketenangan, namun bahkan wajah gadis itu tampak tegang, telinga panjangnya melemas.
Dungeon terdalam, neraka tanpa akhir, Dungeon Kematian.
Dulu merupakan rumah bagi Lord Demon, sebuah lubang besar yang memuntahkan kematian dan wabah.
Sisa dari tempat ini bahkan hingga sekarang terlihat begitu mengancam, tidak sabar untuk menelan para petualang.
Tidak ada benteng, betapapun kuatnya, dapat bertahan melawan mereka.
“Aku lihat jejak kaki,” Goblin Slayer berkata tenang, menyadarkan Priestess kembali. Dia sedang berjongkok, terlihat seperti biasanya seraya dia memperhatikan tanah. “Serigala dan goblin. Nggak salah lagi.”
“Tapi nggak bakal mudah untuk di lacak,” Dwarf Shaman berkata, menyipit di balik alis dan melindungi mata dengan tangan seraya dia menatap benteng. Tiba-tiba, merasa sebuah sendawa akan datang, dia mengambil kendi anggur dari pinggul dan meneguknya.
Untuk mempersingkat cerita, para petualang telah memilih untuk bergegas. Mereka telah berlari melewati malam, bahkan tanpa istirahat. Tunggangan dan penunggang semua merasa lelah.
Sekarang mereka telah turun dari kuda mereka untuk pertama kalinya dalam banyak jam, para binatang di ikat pada sebuah pohon di dekat. Priestess memperhatikan kuda mereka, ekspresi pada wajah mereka memancarkan kekesalan yang sama dengan master mereka.
Aku mulai mengerti kenapa kebanyakan petualang nggak punya kuda.
Mereka membutuhkan makanan dan air, dan sebuah tempat untuk tinggal sementara petualang mereka menjelajah dungeon. Namun dia mengetahui bahwa kebanyakan dari mereka yang menyebut diri mereka sebagai knight-errant juga berjalan kaki.
Kira-kira gimana dengan paladin ya?
Pikiran itu melintas di kepalanya yang lelah.
Ini tidak boleh. Priestess menepuk pipinya dengan lembut dan berkata, “Benar. Bahkan kalau kita hanya mencapai tingkat empat dari dungeon, kita harus berhadapan dengan benteng itu juga…
”Itu nggak akan terlalu buruk,” Goblin Slayer berkata, membersihkan tanah dari tangan seraya dia berdiri. “Mereka goblin. Mereka sangat percaya bahwa mereka adalah makhluk terpintar yang ada.”
“Lalu?” Lizard Priest bertanya. Dia bermandikan kilauan cahaya, menghangati keseluruhan tubuhnya. Tanda pertama akan musim dingin datang pada malam itu sangatlah cukup untuk membuat para lizardman kaku.
“Dia yang berada di tempat tertinggi, atau terdalam, akan menganggap dirinya yang paling penting.” Goblin Slayer menggapai tas dan mengeluarkan secari kulit, bersama dengan dua Kristal berbentuk cakram.
Dia menggulung kulit untuk hingga berbentuk silinder, memasukkan Kristal ke dalamnya, dan mengingat mereka dengan tali.
“Apaaan tuh?” High Elf Archer, tentu saja merasa sangat penasaran.
“Ini teleskop.”
Dia memasukkan alat itu ke dalam helm dan melihat kota dengan itu; sebuah tangan menjulur kepadanya seolah ingin mengatakan, Pinjam, pinjam.
Goblin Slayer memberikannya tanpa berkata, dan High Elf Archer memasang alat itu pada matanya.
“…Begitu,” Gadis itu menghela. Tidak heran mengapa telinganya melemas.
Owr Tomn (TL Note : aku sedikit cari tahu, ternyata “Owr” itu di ambil dari bahasa welsh, sedangkan “Tomn” di ambil dari bahasa swedia.)
Rambu yang terpasang pada pintu masuk kota yang di tulis dengan darah. Seorang anak kecil mungkil dapat menulis lebih baik dari itu.
Seseorang dapat berasumsi bahwa satu atau dia kepala dari prajurit; mantan garda akan kota ini, telah membantu menghasilkan deklarasi itu.
Goblin tidaklah kuat. Namun jika seseorang di serang dengan beberapa lusin dari mereka di dalam benteng sempit, maka itu tidak akan berbeda dengan di sergap di dalam sebuah gua.
“Itu mungkin artinya kota kami,” High Elf Archer mengamati. “Jadi apa yang akan kamu lakukan?”
Gadis itu membuat sebuah wajah dan melempar teleskop itu kembali pada Goblin Slayer, yang mendengus. Dia melepaskan ikatan tali dan membuka kulit itu, memasukkan mereka dan Kristal kembali ke dalam tas. “Aku sedang memikirkannya.”
“Api? Air, mungkin? Asap? Atau bom lagi?”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata, menggelengkan kepala. “Aku nggak memikirkan tentang itu.”
Terserahlah. High Elf Archer berkacak pinggul dan mendengus sementara Dwarf Shaman terlihat kecewa.
“Saran?”
“Pertanyaan bagus…” Walaupun dia barus saja menyelesaikan mandi matahari, Lizard Priest menggigil. Dia menjulurkan leher panjangnya untuk dapat melihat jelas benteng dan kemudian menggelengkan kepala perlahan dari samping ke samping. “Secara pribadi, saya akan melakukan pengepungan hanya jika saya mempunyai bala bantuan, atau tidak.”
“Er, ummm…” Priestess berkata, menyipitkan alis dalam kebingungan.
“Bukannya itu sudah…sewajarnya…?”
Lizard Priest memutar kedua mata di kepalanya. “Satu adalah ketika anda mengetahui bahwa bala bantuan akan datang dan hanya perlu menunggu. Sedangkan yang lain adalah ketika anda tidak mempunyai pilihan lain.” Ekornya menggeliat di tanah. Lizard Priest bergumam pada dirinya sendiri, “Namun juga, mungkin juga pantas untuk mencoba memutus garis suplai musuh dengan serangan kejutan.” Dia menyimpulkan dengan, “Apapun itu, saya tidak akan berpikir bahwa para goblin akan memahaminya…”
“Setuju.” High Elf Archer mengangguk. Bukan berarti musuh dapat di remehkan, tetapi tetap saja. “Mereka kan memang goblin.”
“…Tetapi,” Lizard Priest menambahkan.
Priestess menatapnya. Ekspresi lizardman raksasa ini tampak sulit di pahami, walaupun tidak sesulit Goblin Slayer. “Ada apa?”
“Menyinggung tentang bala bantuan, kita tidak dapat berasumsi bahwa beberapa dari mereka tidak akan timbul dari kedalaman dungeon.”
Perasaan merinding yang sama dengan sebelumnya kembali menyerang Priestess. Dia menggenggam tongkat deriknya dengan erat.
Apakah ini adalah sebuah kesalahan? Pikiran itu melintas di kepalanya, walaupun dia adalah tingkat Steel.
“…Kurasa kali ini memang benar-benar harus pakai api ya?” High Elf Archer berkata, menganggap tidak ada pilihan lain.
Akan tetapi, Goblin Slayer, menjawab, “Nggak.” Tempat di depan mereka telah terbengkalai, tidak ada penduduk yang tersisa, dan membusuk. Namun tetap saja… “Itu kota.”
Adalah berbeda dengan reruntuhan atau dungeon, atau sebuah gua.
Ekspresi High Elf Archer ketika Goblin Slayer mempersempahkan kesimpulannya, sangatlah sulit di jabarkan.
“Coba lihat—mungkin memang itu pekerjaan buru-buru, tapi itu tetap saja batu.” Dengan sedikit tanda lelah, Dwarf Shaman berkata, “Bangsa kalian nggak tahu banyak tentang pekerjaan batu, Telinga Panjang.” Dia membuat jendela kecil dengan jempol dan jari telunjuknya dan memperhatikan benteng di kejauhan dengan seksama. “benar, idealnya kita mau menghabisi goblin yang ada di sana, tapi nggak dengan beberapa tetes minyak yang kita bawa ini.”
“Gimana dengan sihir?” High Elf Archer bertanya. “Tapi jangan salah paham loh,” dia menambahkan dengan kepakan telinganya. “Aku tahu kalian para dwarf biasanya nggak mempelajari mantra penyerangan.”
“Walaupun aku tahu beberapa, aku nggak akan foya-foya memakai sihirnya ketika kita di dalam dungeon.”
“Kalau begitu, kita menyelinap.”
Tidak ada pilihan lain selain penyerangan secara langsung. Pada ucapan Goblin Slayer, mereka semua mengangguk.
“Jadi kita menyelinap ke dalam dungeon, menyelamatkan permaisuri, dan menghabisi goblin,” High Elf Archer berkata, menggambar lingkaran di udara dengan jari telunjuk. “Gampang di pahami, aku setuju.”
Lizard Priest membuat gerakan aneh dengan kedua telapak tangan dan kemudian mendesis. “Layaknya membeli sebuah lentera pada toko dan pergi untuk membunuh Great Serpent.”
“Apa sih maksudmu?” High Elf Archer berkata.
“Adalah sebuah pepatah. Yang artinya…kurang lebih, petualangan apapun sangatlah sederhana jika di selesaikan dengan cepat.”
Huh. Tidaklah jelas apakah High Elf Archer mengerti atau tidak. Dia telah memulai mengikat kembali busurnya dengan benang laba-laba beberapa kali untuk memeriksanya. Para elf lebih memilih untuk menghindari melepaskan benangnya tanpa panah, yang di mana itu akan berakibat buruk pada busurnya.
Dwarf Shaman memeriksa katalis—senjatanya, dengan caranya sendiri—dan berkata, “Ini kedengarannya seperti akan menjadi masalah yang merepotkan. Tapi memangnya apa lagi yang baru?”
“Aku nggak setuju,” Goblin Slayer berkata seraya dia memperhatikan sarung tangan, armor, dan pedang. “Kita tahu apa yang harus kita lakukan. Sederhana saja.”
“…Kurasa kamu bukanlah kamu kalau kamu nggak berpikir seperti itu, Beardcutter.” Dwarf Shaman memberikan Goblin Slayer sebuah tepukan pada punggungnya; Goblin Slayer memiringkan kepalanya bingung.
“…Heh-heh.” Priestess tersenyum tipis di depan pandangannya. Gadis itu tidak mempunyai banyak perlengkapan untuk di periksa; dia hanya mendekap tongkat deriknya dan berdoa kepada Ibunda Bumi.
Semoga petualangan mereka berakhir dengan selamat. Semoga permaisuri yang di culik tidak terluka. Semoga mereka semua dapat kembali tanpa cedera, dan selamat.
Kalau saja aku punya salah satu keajaiban dari Dewa Perdagangan dan Dewa Keberuntungan…
Maka mungkin dia akan mendapatkan sebuah berkah yang akan mengubah kesialan menjadi keberuntungan, hanya sekali—namun dia tidak berharap untuk mengharapkan apa yang tidak dapat dia raih. Lebih dari apapun, itu akan menjadi tidak patuh kepada Ibunda Bumi, dewinya. Priestess menggelengkan kepala.
Dia tampak tidak dapat fokus pada doanya. Pastinya dari berjalan di malam tanpa istirahat.
“Kemudian ada pertanyaan apakan ada para goblin yang melarikan diri…” Priestess mengetuk bibir dengan jarinya dan membuat suara berpikir Mm. dia berpikir bahwa dia dapat merasakan otaknya yang lelah telah kembali hidup di dalam arunika.
Dia tengah berpikir akan kemungkinan bahwa beberapa goblin akan mendeteksi adanya petualang yang menyelinap masuk ke dalam dungeon. Atau jika para goblin memiliki rutinitas komunikasi dengan permukaan, mereka mungkin akan mengirimkan beberapa pesan tentang apa yang akan terjadi di bawah tanah…
“…Aku nggak pernah kenal ada goblin yang serajin itu,” High Elf Archer berkata.
“Dia benar.”
Ketika Priestess melihat Goblin Slayer melalui tas pria itu, gadis itu bergerak lebih cepat dari pria itu. Dia menarik sesuatu yang dia letakkan di atas tasnya hanya untuk momen ini. “Ini! Kail penggenggam!”
Perlengkapan Petualang lagi—jangan pernah meninggalkan rumah tanpa ini.
*****
Lizard Priests mengibas jubahnya beberapa kali, menyangkutkannya ke atas dindin benteng, kemudian menggenggam tali yang menjuntai dan meulai memanjat.
Seraya dia memanjat tanpa hampir ada suara, Dwarf Shaman menghela dari punggungnya. “Aduh. Scaly. Ini sama saja kamu mau aku memanfaatkanmu nih.”
“Akan sangat tidak baik untuk anda bersikap seperti leluhur anda, para monyet.”
Ketiak mereka mencapai puncak dinding, mereka tengkurap, memperhatikan kiri dan kanan. Semua aman. Lizard Priest mengayunkan ekornya, yang di mana menggantung di bagian sisi luar dinding, sebagai sebuah sinyal, dan Goblin Slayer mengangguk.
“Kita panjat.”
“Mantap, aku duluan!” dengan sgera High Elf Archer melompat pada tali. Dia mulai memanjat, tanpa suara seperti Lizard Priest namun tanpa menginjakkan kakinya pada dinding. Dia menggeliat ke kiri dan kanan, bokong kecilnya bergoyang, dan tidak lama dia mencapai puncak. Seperti itulah para elf, mereka banyak belajar, menghabiskan waktu mereka hidup di atas pohon…
“Scaly mungkin memang benar.”
“Aku punya perasaan kalau kamu mengejekku.” High Elf Archer berkata, memanyunkan bibirnya, dan kemudian menarik busur besar dari punggungnya. Dia memegangnya dengan longgar seraya dia mengintip turun dari dundung—ke bawah menuju Goblin Slayer dan Priestess—dan melambai.
Goblin Slayer menarik pedang, mengangkat perisai dan merendahkan pinggul, kemudian berpaling dari dinding.
“Ayo.”
“Oke…!”
Priestess tampak gugup, menggenggam tali. Adalah mustahil untuk membiarkan gadis itu memanjat terakhir, sebagai penjaga belakang mereka.
Alih-alih, dengan High Elf Archer memperhatikan gadis itu dari atas dan Goblin Slayer dari bawah, Priestess memanjat.
Sangatlah masuk akal bagi Goblin Slayer, yang begitu sering melakukan pertarungan jarak dekat, untuk menjaganya dari bawah. Namun bahkan jika Priestess mengetahui bahwa pria itu bukanlah orang yang seperti itu, yah…dia tetap tidak bisa mengenyahkan pikiran ini dari kepalanya.
“…Kamu nggak akan mengintip kan?”
“Aku nggak bisa terlalu memperhatikan kamu sampai kamu sampai ke atas,” datanglah jawaban acuh.
“Iya sih,” Priestess berkata ambigu dan memegang erat tali. Kemudian dia berteriak, “Hup!” dan, dengan tongkat pada punggungnya, menumpukan kakinya pada dinding dan mulai memanjat sebaik mungkin. Di saat dia memulai, dia mendapati bahwa dia tidak mempunyai waktu untuk memikirkan apa yang terjadi di bawah.
Matahari menyinarinya, membuat dia berkeringat, dan tangannya bergetar. Wajahnya merah padam dan napasnya keras.
“Ayo, hampir sampai!”
“Ba…ik…!”
Memaksa badannya yang bergetar agar tidak jatuh, entah bagaimana dia berhasil mencapai puncak dan meraih tangan High Elf Archer yang menjulur. Tangan lentik sang elf tidak mempunyai banyak tenaga, namun rasanya melegakan untuk mempunyai seseorang yang memegang dirinya.
Priestess menarik dirinya ke atas dan kemudian terbaring di atas dinding.
“Gitu dong. Gadis hebat. Mau minum?”
“Oh, te-terima kasih…” Dia mengambil minuman yang di tawarkan untuk kembali mengendalikan pernapasannya. Satu tegukan, kemudian dua. Priestess menghela panjang dan memberikan air itu kembali.
“Dan di mana Goblin Slayer…?”
“Ahh, Goblin Slayer terhormat kita? Saya rasa anda tidak perlu risau.” Lizard Priest berjaga dengan pengelihatan reptile khasnya; lidahnya menjulur keluar dan menyentuh hidung.
Priestess melihat ke bawah dari atas dinding benteng, dan benar, di sanalah dia; sesosok  pria memanjat dengan tenang menuju mereka. dia tidak bergerak dengan anggun seperti High Elf Archer, menepakkan kakinya dengan kokoh pada dinding. Apapun itu, tidak lama baginya untuk bergabung dengan mereka, dia melepaskan kail penggenggam, melipatnya dan memberikannya kembali kepada Priestess.
“Te-terima kasih.” Seraya dia memasukkan kail penggenggam itu, dia mengingat pertanyaan yang ingin dia tanyakan. “Pak, Goblin Slayer. Di mana kamu belajar memanjat?”
Kemampuan ini tampak tidak begitu berguna dalam perburuan goblin.
“Masterku melatihku di pegunungan bersalju,” dia membalas. “Aku terkadang harus memanjat tanpa tali juga.” Nadanya datar. “Maksudku menara.”
“Biar nggak lebih jelas,” High Elf Archer berkata, menatap kepadanya, “Maksudmu bagian dalamnya kan?”
“Luar.”
High Elf Archer mendengak ke langit pasrah. Matahari tidak memberikannya jawaban.
“…Seberapa besarnya sih otot otakmu untuk bisa melakukan itu?”
“Paling nggak aku dan yang lainnya berbeda.” Walaupun aku nggak tahu soal pria itu. Dia melakukan pemeriksaan cepat pada perlengkapannya. “Bagaimana menurutmu?”
“Tergantung apakah kita akan pergi ke bawah di sisi lain atau tidak.” Lizard Priest berkata.
“Mm.” Goblin Slayer mendengus. “Aku rasa nggak perlu untuk turun sampai paling bawah.”
“Apa pengintai goblin cenderung rajin dengan pekerjaan mereka?”
“Gimana menurutmu?”
“Maka, bilamana kita tidak bertemu dengan mereka di atas dinding…”
Lizard Priest mengangguk, mengeluarkan peta—yang mereka terima dari Sword Maiden. Dia menyisir goresan kuas dengan satu cakar tajamnya.
“Saya menyarankan kita memutari kota dari atas dinding, turun dari bagian luar kota, dan memasuki dungeon dari sana.”
“Eh, kurasa kita nggak punya waktu untuk menerobos musuk melewati kota.” Dwarf Shaman meneguk anggur, mungkin untuk memaksa dirinya agar tetap fokus atau menlenyapkan rasa lelah, dan mengelap tetesan dari jenggotnya. “…Kita sudah sampai ke sini hanya dengan Tail Wind. Aku rasa itu sudah sangat ekonomis sekali.”
“Kali ini, kita nggak akan bisa kembali sampai pekerjaannya selesai. Bahkan jika kita harus berisitirahat di dalam labirin…”
…tentunya tidak aka nada jaminan mereka dapat mengembalikan energy mental mereka untuk memulihkan keajaiban dan mantra mereka.
“Benar-benar terbatas dengan apa yang kita miliki. Masuk akal,” High Elf Archer berkata.
“Tetap saja, usahakan untuk nggak menggunakan sihir. Sebisa mungkin,” Goblin Slayer menambahkan.
“Aku akan simpan keajaibanku,” Priestess membalas, meremas tongkat deriknya dan mengangguk serius.
Goblin Slayer berkata bahwa dia mempercayakan Priestess untuk mengetahui kapan harus menggunakan keajaibannya. Pikiran akan dirinya yang di berikan kepercayaan atas pilihan itu membuat hatinya berdebar.
Lagipula, aku rasa nggak perlu untuk menggunakan keajaiban sampai kita mencapai dungeon.
****
“GOROBG?!”
Para goblin, mengantuk di tengah “malam” tidak mengetahui apa yang terjadi. Dia merasakan sesuatu yang dingin menyayat lehernya; kemudian dalam sekejap, terasa seperti terbakar, dan akhirnya, dia terkesiap mencari napas seolah dia sedang tenggelam.
Sang goblin, mengi dan tersedak, mati sebelum dia menyadari bahwa lehernya telah tertusuk.
Goblin Slayer mendekati mayat goblin, yang secara harfiah napas kehidupannya telah terenggut, menendangnya ke sisi samping dinding yang jauh.
“Dengan ini lima.”
“Sejujurnya, nggak sebanyak yang aku kira.”ucap High Elf Archer, yang telah menghabisi tiga pengintai terjaga yang mereka temukan.
Mereka harus menghemat panah dan begitu juga mantra mereka. dia mulai melepaskan panah dari daging para goblin. Kemudian, belajar dari ahlinya, High Elf Archer menendang mayat itu ke bagian luar dinding.
“…Kurasa aku sudah terbiasa dengan ini.”
Atau mungkin aku sudah terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Orcbolg?
Di kala dulu mereka pertama kali bertemu, dia akan selalu memberikan dengusan jijik pada prilaku seperti ini. Yah, dengusan penolakan dan keluhan adalah salah satu kebajikan para elf, atau itu yang klaim oleh dia.
High Elf Archer menggosok kedua tangannya, membersihkan sisa darah dari kepala panah, dan mengembalikannya ke dalam tempat panahnya.
“Jadi mereka memang pasti ada di dalam,” dia berkata.
“Sepertinya begitu…” Priestess menyetujui.
Gerombolan goblin di bawah sana. Bukankah seharusnya para naga yang menemukan dungeon ini?
Priestess, merasa emosinya terancam dapat tidak terkendali, menggelengkan kepalanya. “Sudah waktunya kan?”
“Mm,” Lizard Priest mengangguk, melihat peta. “Mungkin kita harus turun.” Tangannya bersih; dia belum ambil bagian dalam pertempuran kecil tadi. Tetapi—
“Aku nggak pernah tahu dwarf bisa lari begitu cepat! Kurasa mereka hanya perlu motivasi yang tepat!”
“Jaga mulutmu. Kalau musuh bisa menghabisi pembaca mantramu, apa yang akan kamu lakukan eh?”
Lizard Priest berkata, “Saya sendiri mungkin tidak akan terlalu merisaukannya.”
Priestess, merasa takut jangan sampai sang shaman mencari dirinya untuk meminta persetujuannya, berkata menghindari, “Ingat, utamakan keselamatan!”
Dia telah bertarung jarak dekat dengan goblin lebih dari satu kali sekarang, namun itu adalah sesuatu yang ingin dia hindari jika memungkinkan.
Sekarang lebih dari apapun.
Dia tidak pernah menggunakan baju besi sebelum menjadi petualang, tetapi tiba-tiba, dia merasa begitu hampa tanpanya.
Hampa?
Bukan gugup? Priestess berkedip ketika menyadarinya.
Dia telah di puji karena itu, terselamatkan olehnya, benda itu selalu bersamanya. Dia begitu sering memperbaikinya, akan lebih murah untuk membeli sepasang baju besi baru di banding memperbaikinya.
“…Begitu.” Entah bagaimana, semua itu mulai masuk akal bagi Priestess akan mengapa pria itu selalu memakai helmnya dalam jangka waktu lama.
“Ada apa?”
“Nggak. Nggak apa-apa.” Dia berkata kepada Goblin Slayer, dan kemudian menarik napas panjang.
Kemudian Priestess menuntup kedua mata, menggenggam tongkat derik, dan mengucapkan doa pendek kepada Ibunda Bumi untuk kedamaian jiwa yang telah mati. Dia tidak memiliki waktu untuk melakukannya di jalan, karena itu sekarang mengikutkan para penunggang serigala itu ke dalam doa tulus akan harapan kehidupan berikutnya yang penuh berkah.
Pertanyaan akan kehidupan di dalam dunia ini sangatlah rancu, namun kematian adalah setara.
Dia juga berdoa untuk keselamatan permaisuri yang telah mencuri baju besinya. Dia percaya—atau ingin mempercayai—bahwa baju besi itu akan membuat sang permaisuri aman.
“Kamu selesai?”
“Ya… Aku siap kapanpun juga.”
“Baiklah.”
Priestess mengeluarkan kail penggenggam kembali dan Goblin Slayer mengaitkannya pada dinding, membiarkan tali menjuntai ke bawah.
Seolah telah di beri aba-aba, Lizard Priest mengangkat Dwarf Shaman di punggungnya, dan High Elf Archer memuat panah baru pada busurnya.
Semua yang tersisa, dengan sedikit perbedaan urutan, adalah pengulangan dari yang sebelumnya.
Di saat dia yakin mereka berdua yang pertama telah tiba di bawah dengan aman, Goblin Slayer adalah yang berikutnya. Dia turun, mengatur kecepatannya dengan menginjakkan kakinya pada dinding. Di saat tiba di tanah, dia mendengak ke atas dan memberi isyarat.
“Kamu nggak apa-apa? Kamu bisa?”
“…Aku coba semampuku,” Priestess berkata, mencoba untuk menerima penyemangat High Elf Archer di dalam hatinya. Dia menggenggam tali dengan bimbang. Jika dia terjatuh, Dwarf Shaman akan menangkapnya dengan sebuah sihir, jadi tidak ada bahaya sama sekali—tetapi tetap saja…
“Errrgh…”
Perjalanan menuruni tali Priestess sangatlah penuh kebimbangan yang menyedihkan hingga membuatnya merasa jijik ketika memikirkannya.
Bimbang atau tidak, dia mencapai tanah, dan kemudian High Elf Archer menuruni tali dengan mudah hingga mencapai dasar.
“…Seperti yang kamu bilang, Scaly.”
“Apa yang kalian bicarakan?”
Andai saja…
Priestess begitu tertegun oleh banyak hal. Sikap halus Gadis Guild. Kewanitaan Wicth. Kedewasaan Sword Maiden.
Andai saja aku seperti mereka.
Seberapapun banyaknya pengalaman yang dia dapatkan, dia masihlah hijau, masih muda, masih lemah. Beberapa hari terakhir ini telah benar-benar membuka matanya pada fakta ini.
Jika dia lebih bersikap tegas—ya, ya. Jika saja dia tidak membiarkan baju besinya tercuri, tidak satupun dari hal ini akan terjadi, kan…?
Mungkin aku terlalu berlebihan berpikir.
Tidak satupun dari para dewa ataupun manusia yang dapat mempengaruhi hasil lemparan dadu, terlebih lagi memutar waktu dan mengganti lemparan yang telah di buat. Pikiran itu sangatlah mustahil.
“…”
Tetapi, mungkin adalah ketiadaan baju besinya yang membuatnya terasa begitu telanjang.
Dan perasaan telanjang itu, terror itu seolah segalanya terlucuti, adalah mirip dengan gua pertama itu.
Priestess menarik napas dalam dan menghelakannya.
Satu-satunya respon akan pikiran seperti itu adalah tindakan.
“Aku siap.”
“Begitu.”
Ya.
Goblin Slayer mengangguk, dan Priestess di hadapi dengan lubang menganga tepat di depannya.
Adalah sebuah pintu besi raksasa—dulunya.
Para prajurit tentunya menjaga ini secara beragantian. Mereka sudah tidak ada lagi di manapun. Pintu itu telah ternodai dengan darah dan kotoran, pintu gerbang tak tertembus itu sekarang berdiri sedikit miring.
Udara yang datang dari dalam terasa begitu dingin, menggiring aroma busuk yang menusuk hidung.
“Jika begitu, mari kita gunakan formasi biasa.” Lizard Prieste berkata, memberikan lambaian taring, cakar, dan ekor.
“Sepertinya ini waktunya untuk sang dwarf menggunakan kapaknya.” Dwarf Shaman berkata, menarik senjatanya sendiri dan menyimpannya di sabuk.
High Elf Archer menarik panahnya sedikit lebih kencang, dan Priestess seperti biasa memperkuat genggamannya pada tongkat.
Dan pada baris depan mereka adalah Goblin Slayer.
Helm yang terlihat murahan; armor kulit yang kotor, perisai bundar kecil terikat pada salah satu lengan, dan di tangan kanan memegang pedang dengan panjang yang tidak biasa.
“Ayo.”
Pada perintahnya, sang petualang maju.
*****
“Kalau di pikir lagi, bukannya ini penjelajahan dungeon buatmu?”
“Ya, dan Dungeon of the Dead lagi…”
Aku benar-benar punya keberuntungan terburuk dengan pengalaman pertama kali.
Priestess meratapi.
Goblin Slayer memegang obor dengan tangan kiri untuk melenyapkan kegelapan, bergerak maju ke dalam ruang hampa penuh ketidakpastian.
Mereka berada di lorong batu. Arsitekturnya sangatlah presisi dan terukur, seolah  tempat ini memang di buat dengan niat jahat.
Priestess telah memasuki beberapa jumlah gua, beberapa reruntuhan, saluran air, dan benteng, namun dungeon sangatlah berbeda dengan semua itu. Pencahayaan redup dari obor hanya dapat menerangi jarak pendek di depan, setelah di mana berikutnya adalah kegelapan gulita.
Ini bukanlah tempat untuk hidup, atau bahkan melakukan pertarungan. tempat ini ada untuk memperangkap dan membunuh mereka yang masuk.
“Yah, kurasa kalau kamu berhasil keluar dari sini hidup-hidup, kamu nggak akan mendapatkan dungeon lainnya yang akan membuatmu…kesulitan”
“Ini adalah pengalaman pertama kami juga. Dapat di bilang kita berada di dalam ahem perahu yang sama…”

Bersenda gurau namun tidak pernah lengah, party mereka terus melanjutkan tanpa suara melewati lorong.
Benar. Tanpa suara.
Walaupun para goblin tentunya bersembunyi di sana di suatu tempat,  namun tidak ada suara parau seperti gua yang di penuhi oleh para monster itu. Akan tetapi, tidak di ragukan lagi jika para petualang mengalihkan perhatiannya hanya untuk sebentar saja, seekor goblin mungkin akan tiba-tiba muncul di depan mereka. mereka benar-benar tidak dapat bersantai, dan itu membuatnya menjadi jelas mengapa istirahat di dalam dungeon tidak akan banyak mengembalikan energi mereka kembali.
Tidak heran kompetisi penjelajahan dungeon telah sirna di antara para petualang yang ingin beradu dengan satu sama lain. Bahkan dengan Lord of the Demon telah tiada dari tempat ini, bukan berarti ini menjadi tempat yang akan di kunjungi seseorang, terlebih lagi menghabiskan waktu di sini.
“Bagaimana cara kita akan melanjutkan?” Goblin Slayer bertanya, yang di mana Lizard Priestr membalas dengan mengeluarkan peta.
“Opini pribadi saya adalah untuk menyelidiki dan mengamankan setiap lantai sati persatu, tetapi…”
Nggak mungkin. High Elf Archer memberikan Lizard Priest tatapan tajam; sang kadal menghiraukannya.
“…Terdapat sebuah elevator di sini yang akan mengantarkan kita tepat ke lantai empat, dan saya rasa itu mungkin adalah pilihan yang lebih bijak.”
“Kalau begitu aku akan membiarkan kamu menunjukkan kemana arah perginya.”
“Baiklah. Pertama, ke utara.”
Party mereka mulai “menerobos” maju ke depan dengan hati-hati namun kepastian. Ini adalah dungeon—sebuah dungeon di mana para monster telah di singkirkan. Walaupun dengan aroma busuk akan kematian yang mengambang dari para petualang itu dan demon yang dulunya pernah ada di sini, tidak ada satupun dari mereka yang tersisa di lantai dasar ini.
Atau paling nggak…seharusnya nggak ada.
“…Hmm.”
“…”
Dengan pergerakan telinga High Elf Archer, Goblin Slayer berhenti.
Hanya itu yang di perlukan. Ketegangan menjalar di antara para petualang; mereka semua saling bertukar pandang dan mengangguk.
Dinding dungeon adalah batu kokoh. Dengan keadaan yang gelap seperti ini, kemungkinan tempat bersembunyi terbatas pada ruangan rahasia, atau sudut dari labirin.
Adalah masalah sederhana, untuk memprediksi apa yang di pikirkan para goblin.
“GROBGB!!”
“GBB! GBBOROGGBGR!!”
Serangan dari depan.
Adalah cara terbaik bagi goblin untuk menggunakan kekuatan terbesar mereka, yaitu jumlah mereka. sekarang mereka membanjiri dari sekitar sudut pojok di depan mereka.
Para goblin memiliki banyak variasi senjata di tangan mereka, dan kulit mereka tercetak sebuah lambang aneh.
Mereka datang secara bergelombang dengan tidak ada tanda akan formasi, hanya bergantung pada keyakinan egois bahwa rekan mereka lah yang akan di serang dan bukan diri mereka sendiri.
“Ha-ha-ha, Kemarilah, datanglah! Saya akan memberikan masing-masing dari kalian hadiah abadi.”
“Eh, kurasa kita pas akan kehabisan mantra sebelum semua ini berakhir.”
“….Hmpmh. aku rasa belati akan lebih berguna dari pada panah sekarang.”
Tiga orang, tiga pendapat. Sang pemberani, sang analisis, dan sang yang sedikit lelah.
Lizard Priest dan Dwarf Shaman berdiri di depan, melindungi High Elf Archer dan Priestess di belakang mereka. dungeon ini cukup lebar untuk tiga petualang bergerak bersama berdampingan. Tiga di depan,dan dua di belakang.
Goblin Slayer memperhatikan temannya—hanya membutuhkannya sekejap untuk memikirkan mereka—dan berkata, “Ayo.”
“Baik!” Priestess, memperhatikan dengan seksama langkah kaki yang mendekati mereka, mengernyit namun mengangguk tegas. Para petualang menjadi seperti kapal yang menembus lautan akan kulit hijau yang menyerang mereka.
“GBBRB?!”
“GOORBGB!!”
“Datang!”
“Siap!”
Batu dan panah, amunisi improvisasi dari segala macam, datang menghujani, namun Goblin Slayer memblokir semua dengan perisainya.
Lizard Priest terlindungi dengan sisiknya, meraung dan menangkis semua yang melewati Goblin Slayer.
  “Ergh! Sudah ku duga seharusnya aku menerima tawaran helm dari pamanku…!” Dwarf Shaman berteriak, bergerak ke sini dank e sana. “Jarak lima petak—empat—tiga—Scaly!”
“Hrah, Saksikanlah pedang para lizardmen!” Lizard Priest meraung dan melompat mengarah musuh. Cakar, cakar, taring dan ekor, senjata tradisional akan kaumnya, menyerang para goblin.
“GOBORG?!”
“GOORB?!”
Cipratan darah, gumplanan daging, dan jeritan kematian dapat terdengar di segala arah. Dua goblin tercabik layaknya kain usang. Kekuatan Lizard Priest tampak melebihi dari apa yang seharusnya dapat di lakukan dalam pertarungan tangan kosong, namun walaupun begitu, ini bukanlah sebuah akhirnya.
“GOROBG?!”
“Tiga—empat!” Goblin Slayer mengayun senjata dengan presisi, menangkis serangan dari kanan dan kiri. Dia menangkap hantaman dengan perisainya, menusuk dengan pedangnya. Dia menebas sebuah tenggorokan kemudian menendang mayat menuju barisa belakang musuh untuk menghalangi pergerakan mereka.
Dia membiarkan momentum itu untuk menggiringnya pada sebuah tenggorokan dengan pedangnya dan kemudian menghancurkan tengkorak, dan dengan itu dua goblin lagi telah mati.
Goblin Slyer bergerak ke depan, mengambil pentungan yang di jatuhkan oleh salah satu monster yang mati.
“Aku benci! Untuk menembak! Di jarak! Sedekat! Ini…!”
Seekor monster telah melewati Goblin Slayer dan mendekati High ELF Archer, yang di mana dia di sambut oleh hujan panah. Sang elf dan gadis manusia di belakang tampak seperti mangsa yang mudah bagi goblin itu, dan monster itu menyerang maju dengan seringai pada wajahnya. Sekarang seringai itu telah tertembus dengan sebuah panah; sang goblin terjatuh ke belakang dengan batang panah yang menancap pada otaknya.
High Elf Archer menendang tubuh itu menjauh dengan kaki kurus nan panjang; menarik panah lain dan menembaknya pada musuh selanjutnya.
Dia menembakkan tembakan ala elf pada jarak dekat. Benturan dari tembakannya sangatlah cukup untuk melontarkan goblin ke belakang.
“Panahku nggak akan cuku…! Kita mau kemana?!”
“Kita akan terobos pojokan ini, kemudian melewati pintu. Jalan lainnya mengarah ke ruang makam, yang mana kita bisa hiraukan. Saat kita melewati pintu, belok kiri!” Tidak lama setelah dia meneriakkan instruksi, Lizard Priest membenamkan taringnya masuk ke dalam pundak goblin dan mengoyak monster itu. “Eeeeeeyaaaaaaahhhhhh!!”
“GOOROGBG?!”
Sang monster mendapati dirinya menghantam dinding, di gunakan untuk mendesak rekannya, dan akhirnya di lempar dengan keras ke lantai. Darah menciprat dari tubuh goblin yang hancur. Priestess secara reflek memalingkan pandangannya.
Akan tetapi, ini adalah kali pertamanya gadis itu mengalami sadisnya pertarungan. dia meremas tongkat derik dengan kedua tangan, menatap seksama pada lorong seraya dia berkata, “Kami akan mengawasi bagian belakang! Goblin mungkin akan muncul dari ruang makam…!”
“Bagus! Tapi jangan terlalu di paksa di belakang sana!” Dwarf Shaman memanggil, mengatur genggaman pada senjatanya.
Persis seperti yang kita duga.
Penjaga ruangan dungeon ini tidak pernah keluar sebelumnya. Di dalam pasukan Demon Lord, mereka yang menjaga tempat penting, terpisah dengan mereka yang berpatroli. akan tetapi sekarang, satu-satunya yang tersisa di sini adalah goblin yang bodoh.
“GGOROOGOB!”
“GOB! GOBOGORROBG!!”
Mereka datang membanjiri dari ruangan samping, mendobrak pintu dengan teriakan mengerikan.
Ini adalah sesuatu yang gadis itu telah ketahui semenjak petualang perdananya.
“Ehh—yah!”
Priestess mengayun tongkat sekeras yang dia mampu, menghentikan musuh yang mendekat. Priestess tidaklah cukup kuat untuk menahan mereka dengan lama, sesuatu yang sangat dia pahami. Mengalahkan goblin bukanlah perannya. Dia hanya harus melakukan apa yang dapat dia lakukan untuk membantu strategi.
“Terima ini!!”
“GORRO?!”
Satu goblin terhenyak ketika dia menerima pukulan pada hidungnya dengan tongkat Priestess—kemudian mati ketika dia menerima hantaman pada tengkoraknya dari kapak Dwarf Shaman. Otaknya terhambur ke lantai, kepalanya terbelah terbuka layaknya buah yang masak.
“Jangan ambil resiko yang berlebihan!”
“Baik! Terima kasih…!” Priestess mencoba sebaik yang dia mampu, keringat mengucur dari wajahnya.
Goblin Slayer akan menggiring goblin pada satu arah, dan Lizard Priest akan menghancurkan mereka, atau High Elf Archer akan menembaki mereka. mereka yang datang dari samping atau belakang akan mendapati diri mereka tertahan oleh Priestess dan kemudian di habisi oleh Dwarf Shaman.
Party mereka melaju melewati pintu dan mendapati diri mereka pada percabangan jalan. Mereka membentuk lingkaran dan menerobos maju.
Sekarang telah membentuk formasi tetapi enggan menggunakan mantra, serangan para petualang semakin menjadi-jadi. Namun apakah para goblin merasa terancam? Puji Tuhan tidak sama sekali.
Mereka adalah makhluk sederhana. Mereka menang hanya berdasarkan jumlah. Mereka (masing-masing pikiran goblin) tidak akan mati. Dan karena itu mereka akan menang. Mereka mungkin tampak bimbang pada kematian dari rekan mereka, namun tetap mereka melangkahi mayat rekan mereka untuk terus melancarkan serangan.
Mereka menyerang dengan segenap kekuatan akan nafsu mereka, hasrat untuk mencabik para petualang dan bersenang-senang dengan para gadis.
“GOBOG!!”
Perhatian goblin teralihkan dari barisan depan ke belakang, mungkin melihat baagian belakang mereka jauh lebih rentan. Pedang, tombak, dan belati, berkilau di dalam pendar dungeon, menunjukkan setiap celah. Ujung senajata itu telah terlumasi dengan cairan hitam. Priestess menengang setiap kali dia melihatnya.
“Eek?!”
“Awas!”
Dwarf Shaman meraih pundak gadis itu dan menyeretnya ke belakang, tepat waktu untuk menangkis serangan itu.
Dia melancarkan hantaman tubuh pada goblin dengan sekuat tenaga, walaupun dengan tubuhnya yang kecil. Monster itu menjerit dan terhuyung ke belakang, dan kemudian datanglah sebuah kapak.
Dwarf Shaman bertarung seperti dia sedang memotong pohon; dia tidak memiliki kepiawaian spesialisasi warrior namun dia memiliki semua tenaga yang yang di miliki oleh kaum dwarf.
“Ma-maafkan aku…!” Priestess menggeleng kepala dan berteriak. “Mereka menggunakan racun!”
“Nggak ada gunanya kalau itu nggak mengenaiku!” Dwarf Shaman menjawab. “Tapi ya Tuhan, Beardcutter! Mereka nggak ada habisnya!”
“Ya.” Goblin Slayer menghancurkan kepala goblin dengan pentungan dan kemudian melompati monster yang telah mati dan membenamkan obor masuk ke dalam wajah goblin lainnya.
“GGOROGB?!”
Teriakan teredam dan geliatan. Namun makhluk itu belumlah mati. Goblin Slayer menghujamkan pentungannya turun.
Goblin Slayer menerobos gerombolan ini dengan pentungan dan obornya, secara berirama, seolah sedang memukul sebuah drum. Ktika pentungan itu akhirnya patah setelah menghancurkan entah berapa banyak tengkorak, dia melempatnya dan berkata pendek, “Kamu bilang sisa sebelas, kan?”
“Benar sekali!” Lizard Priest meraung. “Pergilah menuju pintu dalam!”
“…Ambil barisan depannya.”
“Apa yang kamu mau lakukan sekarang?!”
 High Elf Archer memanggil, menjentikkan lidah ketika dia melihat sisa dari panah yang dia miliki. Goblin Slayer menarik sebuah botol kecil dari kantung peralatannya.
“Ini bukan air, racun, atau ledakan.”
Tepat seusai dia berkata, dia melempar obor dan botol pada goblin yang ada di depan mereka.
“GGBOROOGOBOG?!?!?!”
Terciprat dengan bensin, dengan segera di ikuti dengan sumber api, para makhluk terbakar membara; Goblin Slayer tanpa ampun menendang mereka. “Dua belas… Sekarang maju!”
“Laksanakan!”
Para petualang bergerak cepat. Lizard Priest melompati api, melewati celah yang telah di buat Goblin Slayer, dan menyerbu maju.
Dengan goblin di belakang mereka dalam jarak yang aman, Dwarf Shaman menceletuk. “Api?! Kita harus pergi kea rah sana!” Dia berputar mengarah Priestess. “Kamu bisa melompatinya?!”
“Aku akan melakukannya…sekarang!”
Priestess memeluk tongkatnya dan menutup kedua mata dan kemudian melontarkan dirinya di atas api.
High Elf Archer mengamankan busur pada punggungnya dan meloncati api dengan lincah, menendang dinding dan menadarat dengan anggun.
Pintunya ada tepat di depan kita.
“Kita semua ada di sini, Orcbolg!!”
“Oke.”
High Elf Archer memberikan tembakan perlindungan seraya Goblin Slayer merogoh isi tasnya kembali. Kali ini dia mengeluarkan sebuah scroll.
“GBOR!!”
“GOBOGGOBOG!!”
“Pak Goblin Slayer! Cepatlah…!” Di belakang Goblin Slayer, yang berhadapan dengan gelombang goblin yang mendekat, Priestess merasa sulit untuk berbicara.
Goblin Slayer mengangguk memahami, menghusung scroll tepat di depan para monster yang mendekat seraya dia mengambil langkah mundur. “Terobos pintunya!”
“Siap!” Dwarf Shaman menjawab, di ikuti dengan benturan seraya dia mendobrak pintu dengan pundaknya.
Goblin Slayer melompat ke belakang melewati mayat goblin yang terbakar api, seraya dia melakukannya, dia menyadari sebuah lambang tua yang bergantung di satu sisi. Tampaknya terdapat sesuatu yang tertulis pada lambang itu. Sekarang tulisan itu sangatlah sukar untuk di baca, tetapi…
Menghiraukan “Oh!” dari High Elf Archer di belakang, Goblin Slayer membuka scrollnya.
“GGBGROB?”
“GOR! GOOOGB!!”
Hal ini sama sekali tidak masuk akal bagi para goblin pada awalnya.
Sebuah angina mulai berhembus melewati dungeon.
Cuma angin? Apa maksud pria itu, mencoba menakuti kita?
Para goblin cukup terhibur dengan ini—hingga akhirnya mereka mendapati diri mereka mengambang di udara.
“Eek…?!”
Lewati pintu cepat, atau kalian akan terhisap!” Goblin Slayer berkata tajam kepada Priesstess, yang mencoba menahan topi di kepalanya.
Dalam sekejap, sebuah angina besar berderu.
Scroll yang dia telah lemparkan kepada mereka telah menghasilkan kehangusan hampa oleh api supranatural.
“GOOROGGB?!”
“GOBG!! GOOROGOBG?!”
Angin puyuh, menghembus udara busuk, melolong layaknya binatang buas.
Satu goblin, dua. Mereka mencoba untuk tetap berada di lantai, mencengkramkan kaki dan jari mereka pada dinding dan lantai, namun itu tidaklah ada gunanya. Para goblin yang di depan berusaha untuk mundur, namun mereka terhalang oleh rekan mereka yang mendorong dari belakang.
“GOBG?!”
“GBBOOTOGOBG?!”
Pada akhirnya, para goblin terselimuti oleh peri angin yang berdansa liar dan menyeret mereka ke dalam kehampaan.
Para petualang terus maju di iringi dengan jeritan para goblin, hingga Goblin Slayer menutup pintunya.
Hanya suara pintu tertutup yang tampaknya lebih lantang di banding raungan angin.
*****
“Ap-apa-apaan itu…?!” High Elf Archer berteriak, terengah-engah seraya mereka bergegas melewati kegelapan.
“itu Gate,” Goblin Slayer menjawab, dari kegelapan juga. “Terhubung ke tempat yang tinggi.”
“Tempat tinggi?” High Elf Archer bertanya muram. Tapi dia menggunakan scroll secara sembarangan sudah bukan hal baru sih.
“Langit,” dia berkata. “Aku pernah dengar peri angin terbang menuju tempat di mana terdapat lebih sedikit partner dansa.” Dia tidak ingin menggunakan benda ini seperti itu pada momen tadi, namun tidak ada pilihan lain. “Aku ingin mencobanya pada goblin suatu saat. Dan tadi itu kesempatan yang sempurna.”
“…Jadi maksudmu, di suatu tempat di dunia, pada saat ini, di sana hujan goblin.” High Elf Archer menghela. Jika ada langit di sini, mungkin dia akan mendengak untuk melihatnya. “Oh, yang…Sudahlah kurasa itu lebih baik dari banjir air.”
“Begitu.”
“Dan aku juga nggak bisa terlalu mengeluh sekarang.” High Elf Archer tampak terlihat lebih lelah dengan pria ini di bandingkan menyerah. Kepakan kecil pada telingnya tentu di karenakan hembusan terakhir dari angin yang berlalu. “Aduh, tapi gelap banget di sini. Bahkan aku nggak bisa melihat, dan aku ini seorang elf.”
Para petualang telah melarikan diri dari angin puyuh melewati pintu, dan sekarang mereka berada di dalam kegelapan gulita. Mereka dapat menerka lebar dari koridor dan tinggi dari langit-langit tidak terlalu banyak berubah, namun tetap saja, tidak ada sedikitpun sepercik cahaya. Priestess mengosok batu api, mencoba untuk menyalakan obor atau lentera, namun yang dapat dia lakukan hanyalah mendapatkan beberapa percikan api. Ketika akhirnya dia menyerah, hela yang dia keluarkan tampak begitu lantang. “…Sepertinya kita nggak bisa pakai api.”
“Tampaknya tempat ini konon di sebut sebagai wilayah kegelapan atau pengekangan,” Lizard Priest berkata pelan. Dengan pengelihatan panasnya, dia membimbing mereka. selama mereka dapat mendengar suara gesekan di belakang mereka, mereka mengetahui tangan bersisiknya sedang menyisir dinding seraya berjalan. “Dari apa yang saya lihat di peta sebelum semua kesenangan ini di mulai, saya cukup merasa yakin bahwa terdapat sebuah elevator di depan.”
“Yah, aku harap kamu lebih yakin di banding merasa,” Dwarf Shaman berkata. “Kurasa bahkan goblinpun nggak akan mengikuti kita sampai ke sini.” Dia mengucapkan sebuah ekspresi kekesalan seraya duduk dengan kasar. Kemudian datanglah suara akan tutup botol yang di bika dan kemudian gluk, gluk.
Ya, terdapat banyak goblin persis di balik pintu di depan mereka, namun keseluruhan party setuju imtuk beristirahat sejenak.
“…Maaf, sepertinya aku nggak banyak membantu.” Priestess terdengar muram seraya dia duduk (bumpf) dengan bokongnya. Dia telah menerjunkan dirinya dalam medan pertempuran, namun yang hanya dapat dia lakukan hanyalah mengayunkan tongkatnya kesana-kemari. Dia tidak dapat menggunakan keajaiban di karenakan dia menyimpannya. Dwarf Shaman telah harus menyelamatkan dirinya dari tertusuk oleh pisau beracun, dan sekarang Priestess bahkan tidak dapat menyalakan sebuah api. Hal tersebut bukanlah salahnya—namun itu bukan berarti tidak membuatnya depresi ketika memikirkan hal itu.
Priestess merasakan tangan kasar menepuk pundaknya. “Ah, nggak usah di pikirkan, gadis kecil. Ketika barisan belakang di paksa untuk menggunakan senjata, itu pertanda jelas bahwa kita dalam keadaan genting.” Sang dwarf tertawa. “Harusnya Beardcutter yang merasa nggak enak soal itu!”
“Tepat sekali. Sama sekali bukanlah peran dari seorang monk untuk mengusung senjata demi menghancurkan para musuh.” Lizard Priest menyambung, terdengar begitu serius hingga membuat Priestess tertawa kecil.
Hal ini tampak lebih dari cukup untuk meringankan ketegangan. “Benar,” Pristess berkata, terdengar sedikit lebih ceria. “Tapi apa kamu bisa diam saja di karenakan mempunyai peran lain?”
“Ya.” Goblin Slayer menjawab. “Akan selalu ada sesuatu yang bisa kamu lakukan.”
Mereka semua merasa yakin bahwa Goblin Slayer sedang memberikan anggukan biasanya, walaupun tidak terlihat sama sekali di karenakan kegelapan.
Dan kurasa ini membuatku semakin nggak bisa melihat ekspresinya.
Dengan itu Priestess membalas mengangguk, merasa sedikit tenang. “…Oke. Ketika waktunya tiba. Aku akan melakukan bagianku.”
Dan kemudian dia tersenyum dari telinga ke telinga, walaupun tidak seorangpun dapat melihatnya.
Goblin Slayer menunggu beberapa saat, membiarkan mereka semua dapat bernapas kembali, dan kemudian dia menilai bahwa mereka telah siap, dia berkata. “Ayo.”
Para petualang saling bertukar pandang di dalam kegelapan, mengangguk, dan kemudian berbaris dan bergerak.
Mereka berjalan dengan menggunakan perasaan, menghiraukan pintu lain yang mereka temukan, semakin dalam masuk ke dungeon. Pada akhirnya, pada sisi terjauh dari semua kegelapan, mereka melihat cahaya samar. Cahaya itu menerangi barisan huruf, hingga D, tampak melalui dua pintu yang terbuka.
Adalah sebuah elevator.