PERMASALAHAN PERMAISURI 
(Translator : Zerard)

“...Lama tidak bertemu.” Noble Fencer memberikan senyum tulus seraya mereka bergegas keluar menuju lorong.
Telah menerima quest dari raja, party mereka bergegas untuk melaksanakannya, bahkan tidak mempedulikan waktu untuk berdiskusi. Langkah Goblin Slayer tetap sigap seperti biasa seraya dia bergerak cepat, sementara Lizard Priest mengambil banyak langkah panjanh. High Elf Archer mungkin dapat mengikuti, namun Priestess  dan Dwarf Shaman harus memaksa kaki mereka agar tidak tertinggal.
“Aku senang...,” Priestess berkata, tersenyum seraya mereka berjalan. Dia merasa tegang semenjak kejadian di malam sebelumnya, namun sekarang dia berpikir bahwa dia telah merasa dirinya menjadi sedikit lebih santai. “Aku senang kamu kelihatan baik-baik saja. Apa yang terjadi setelah waktu itu...?”
“...Aku selalu seperti ini semenjak saat itu,” Noble Fencer menjawab, tanpa sedikitpun kebimbangan dalam ucapannya.
Dia tidak berpakaian ala petualang seperti duli namun sekarang, berpakaian rapi dan pantas. Rambutnya, yang dulu dia telah potong, kini menjadi sedikit panjang, matanya memiliki binar yang terang, dengan sedikit rona merah pada pipinya.
Dia keliahatan sehat.
Pikiran itu membuat mata Priestess terasa penuh, dan dia berkedip dengan cepat. “Bagaimana kamuntahu kami ada di sini...?” dia bertanya.
“...Menurutmu siapa yang pertama kali memasang quest untuk menyelamatkanku?” ekspresi nakal samar dapat tampak di wajah datar Noble Fencer.
“Oh,” Priestess berkata; tampaknya dia menyadarinya.
Sword Maiden, beberapa petualang yang dia kenal, seorang priestess yang pernah menggunakan baju rantai—semua masuk akal. Noble Fencer yang terlibat oleh permasalahan ini, dan harus segera menjemput mereka.
“...Kamu tidak apa-apa?”
Priestess harus berpikir sejenak sebelum bertanya lebih lanjut. Apa yang Nible Fencer bicarakan? Apakah dia khawatir karena telah hampir setahun perburuan goblin yang Priestess lakukan semenjakmterakhir kali dia bertemu dengannya? Bertanya tentang waktu yang dia habiskan bekerja—berpetualang—bersama pria itu? Ataukah ini tentang baju besi tersayang dirrinya yang telah tercuri?
Priestess telah dapat meminjam sebuah seragam baru, namun kehampaan sebuah perasaan tidak asing akan sebuah beban telah membuatnya tidak nyaman.
Akhirnya dia menjawab, “Aku rasa...” Sebuah senyum ambigu. “...Aku baik-baik saja.”
“Tapi, bagaimana kamu akan menangani ini?” High Elf Archer bertanya, berputar untuk berbicara bahkan seraya dia berlari bersama dengan begitu anggun. “Kalau musuh terus sudah bergerak sejak pagi hari, akan terlambat untuk mengejar mereka sekarang.”
“....Aku sudah menyiapkan beberapa kuda yang cepat.”
“Kurasa itu nggak akan cukup.”
Sang elf menggambsr lingkaran di udara dengan jari telunjuk. “Kita berhadapan dengan goblin—apa namanya? Rider. Anjing itu bisa bergerak lebih cepat dari yang kamu kira.”
“Aku bisa menutupi itu dengan mantra,”  Dwarf Shaman berkata seraya dia terengah-engah, seraya merogoh isi tas katalisnya. “Selalu gunakan sihir di saat kamu bisa, tapi di saat kamu butuhkan, kamu akan membutuhkannya.”
“Tangani itu.” Ucapan Goblin Slayer sangat singkat dan langsung, mengindang anggukam dan sebuah “Mm-hmm” dari Dwarf Shaman.
Mantra sihir adalah aset strategi tak ternilai dalam pertarungan, namun jika kamu tidak dapat menangkap musuh, maka tidak akan ada pertarungan. Dan jika mereka akan menantang dungeoj terdalam, mereka tentunya akan beristirahat setidaknya satu malam. Jika mereka terburu-buru masuk ke dalam labirin dengan persiapan setengah-setengah, yang menunggu mereka adalah sebuah takdir yang jauh lebih buruk darinkematian.
“Ahh, betapa beruntungnya saya memiliki garis darah para naga!” Lizard Priest, dengan semangat tinggi, memutar mata di kepalanya. “Bahwa saya akan membasmingoblin dengan tuanku Goblin Slayer dan bahkan mencoba untuk mengarungi dungeon terdalam itu.” Ekornha menepuk lantai seraya mereka berlalu, seolah untuk berkomunikasi akan betapa bahagianya dia. “Dan ngomong-ngomong tuanku Goblin Slayer, anda tampak begitu berenegi sekali.”
“Benarkah?”
Dia sedang berlari sigap lurus ke deoan, tidak ada keraguan dalam setiap langkahnya. Dari belakang, Priestess bertukar pandang dengan High Elf Archer dan Noble Fencer dan kemudian menyeringai.
Aku rasa tidaklah benar kalau aku mengatakan kalau aku tidaklah takut.
Dungeon terdalam. Tempat yang berfungsi sebagai benteng dari Lord dari para Demon sepupuh tahun sebelumnya. Tempat itu pernah di gunakan sebagai sarana latihan dari beberapa jenis deskripsi, karena itulah mengapa terdapat sepuluh lantai. Akan tetapi, susunan tempat ini telah di rubah secara drastis, dan monster yang tampak tidak ada habisnya muncul dari dalam.
Para monster, entah dengan alasan apa, tidaak memiliki apapun; mereka mengincar para petualang agar mereka dapat meraih sesuatu...
Aku yakin dunia sedang berada di ujung kehancuran.
Adalah ironis, pikir Priestess: tidak ada apapun yang salah secara inheren tentang ini. Itu adalah sesuatu yang Mother Superior telah ajarkan kepadanya ketika dirinya pergi meninggalkan kuil untuk menjadi petualang lebih dari satu tahun lalu. Untuk dapat merasakan hasrat adalah sebuah bentuk dari keinginan dan harapan. Hal ini mengindikasikan keinginan untuk hidup. Karena itu, ini adalah hal yang baik.
Tetapi. Pada saat yang sama, Mother Superior telah mengajari dirinya sesuatu yang lain.
Terdapat para petualang yang mempersenjatai dirinya dengan cara merampok petualang lain, seperti preman jalanan.
Terdapat petualang yang mencari armor suci dan pedang sihir, tidak dengan cara mengalahkan roh jahat melainkan dengan menjelajahi kedalaman bumi.
Dari sekian orang tersebut, dia harus berhati-hati. Dia tidak boleh menjadi orang seperti itu.
Sekarang sesuatu yang berharga untuk dirinya telah di curi, tergantikan dengan beberapa permata yang di lempar cepat, Priestess menyetujui.
Sang gadis yang menyamar sebagai prajurit, sang permaisuri—gadis itu sama sekali tidak memikirkan Priestess. Hanya dirinya sendiri.
Pikiran ini membuat gadis itu mirip dengan seekor goblin—yah, mungkin ini membuktikan bahwa sifat pria itu sedikit menular kepada Priestess.
“...Aku benci buat nanya, tapi apa kamu nggak masalah dengan ini?” High Elf Archer berbisik kepadanya.
Adalah hal yang masuk akal untuk di tanya. Sesuatu yang mengerikan telah menimpa dirinya. Mengapa dia harus peduli terhadap pencuri itu?
Apakah pikiran brutal tersebut pernah terbesit di kepalanya? Priestess tidak dapat menyangkal hal itu.
Tapi...
Priestess menepuk kedua tangannya bersama dengan erat, menyebut nama Ibunda Bumi untuk mengenyahkan pikiran ini.
“Aku tahu apa yang dia lakukan, tapinitu bukan berarti dia pantas menerima apapun yang mungkin akan terjadi kepadanya.”
Itu yang aku rasa. Mengharapkan sesuatu yang mengenaskan menimpa seseorang—untuk mendambakannya, bersuka-cita? Itu nggak benar.
Itu, dia pikir, sangatlah mirip dengan goblin. Dan itu adalah hal terakhir yang dia inginkan.
Karena itu dia akan menolong gadis itu.
Ambil kembali apa yang menjadi miliknya.
Teriakan dan teguran dan membuat permaisuri itu memikirkan apa yang telah dia lakukan.
Betapa indahnya jika semua dapat berakhir dengan sederhana.
“...Mm.” High Elf Archer menjentikkan telinga dan mengangguk. “Itu bagus, kalau begitu ayo!”
“Baik!”
Seraya dia mempercepat langkahnya untuk mengejar Goblin Slayer, Priestess memejamkan kedua mata dan menawarkan sebuah doa kepada Ibunda Bumi.
Lancarkanlah kami.
*****
“Mohon, tunggu sebentar.”
Suara itu terdengar seraya party mereka sedang mempersiapkan kuda mereka di kandang.
Female Merchant telah berkata bahwa kuda ini akan sangat cepat—namun mereka adalah hewan perang, oleh karena itu hewan ini tidak mempunyai kaki kurus seekor kuda balap yang seakan akan patah kapapun juga.
Terdapat tiga kuda kekar secara keseluruhan. Lizard Priest memilih kuda terbesar untuk dirinya sendiri; High Elf Archer mengambil tali pelana kuda lainnya, sementara Dwarf Shaman memanjat di belakang elf itu.
Goblin Slayer baru saja akan menunggangi kuda terakhir, namun sekarang dia berputar dengan tangan masih berada di pelana.
“Ada apa?”
“Saya kira kamu sudah pergi...” Sebuah tangan terpetak di atas dada yang rabum untuk menjaganya dari engah kembang -kempis: Sword Maiden berdiri di sana dengan napas yang berat, telah berlari mengejar mereka. Dia berdiri di jalur pintu untuk beberapa detik hingga napasnya kembali normal.
Dia menghela, pipinya tersipu, kemudian dia menundukkan kepalanya dengan anggun. “Pertama, saya ingin...mengucapkan terima kasih kepadamu atas ini.”
“Kamu nggak perlu berterima kasih padaku,” Goblin Slayer berkata acuh, menggelengkan helm dari samping ke samping. “Ini sudah pekerjaanku.”
“...Saya tahu.” Sword Maiden mengangguk, sebuah gerakan yang hampir membuat dirinya tamoak meleleh.
“Aku sudah menyimpulkan apa yang aku teliti. Banyak hal yang aku nggak ketahui.” Goblin Slayer memberikan wanita itu sebuah coretan teks dengan kasar, yang di mana Sword Maiden menggenggam benda itu seolah itu sangat berharga bagi dirinya. Kemudian Sword Maiden menjulurkan tangannya di bawah gaunnya, yang ddi mana gaun itu menempel di kulitnya dan sedikit transparan dinkarenakan keringat.
Sword Maiden mengeluarkan beberapa lembar kertas kulit domba, yang terikat menjadi satu.
“Ini semua yang saya ingat... Dungeon, hingga lantai empat ke bawah.”
“Lantai empat?” Goblin Slayer mengambil peta dan menyerahkannya kepada Lizard Priest tanpa sedikitpun membukanya.
Dari kudanya, cleric itu mengambil benda itu dengan jari bercakar yang lincah dan membukanya, kemudian memperhatikannya. Kertas itu memiliki garis yang tercoret di atasnya, coretan cepat namun terkendali.
“Ho,” LizardmPriest menghela terkesan. “Ini sangat tergambar dengan baik.”
“Dulunya saya seorang kartografer party saya...”
“Tapi peta ini nggak sampai tingkat paling bawah?”
“Pada tingkat empat adalah pusaran energi sihir dan miasma, jantung dari dungeon.” Sword Maiden setengah tersenyum, hampir terlihat malu, namun ekspresi itu dengan cepat sirna. “Dan jika kamu berniat untuk turun menuju tingkat itu...” Matanya yang tidak dapat melihat memperhatikan party mereka. “...tidak satupun dari kalian yang akan dapat kembali.”
Priestess secara tidak sadar melirik pada High Elf Archer. Pundak elf itu melemas dan wajahnhz menengang—persis seperti Priestess—dan telinganya lunglai.
“Mantap banget.” High Elf Archer berkata.
“...Yah, kurasa itu sudah sewajarnya ketika ratusan hingga ribuan orang mencoba tapi hanya beberapa orang yang bisa kembali.” Dwarf Shaman berkata. Dia berdiri di depan High Elf Archer, lengan terlipat, membelai jenggotnya. “Aku dengar beberapa cerita mengenaskan tentang itu dari pamanku dulu.”
“Bagaimanapun juga, kalian tidak dapat turun melebih lantai empat,” Sword Maiden berkata, mengelus garis leher dengan tangan yang menekan lehernya. “Jika kalian tidak mempunyai ini...”
Dalam satu gerakan mulus, dia mengeluarkan sebuah dekorasi tali warna-warni.
Mata Priestess terbelalak di hadapan kilauan singkat kekuatan sihir dari ornamen itu. Kemudian, tercampur menjadi satu dengan rasa kagum.
Apakah ini adalah Wellspring of Power, yang konon pernah di rasukin Demon Lord?
“...Apa itu jimat?!”
“Bukan sesuatu yang istimewa,” Sword Maiden berkata, menjawab semangat gadis tidak berdosa seraya dia memegang tali biru itu dengan kedua tangannya. “Hanya sebuah pita biru. Sebuah kunci yang akan mengijinkan kalian untuk masuk ke bagian lebih dalam dari dungeon.” Dia menyerahkan pita itu ke dalam tangan Goblin Slayer. “Kembalilah dengan selamat.”
Goblin Slayer tidak menjawab dengan segera. Tangan yang bertumpu di atas sarung tangan pria itu bergetar.
“Baik.” Dia berkata beberapa detik setelahnya, kemudian mengepal tangannya yang memegang pita. “Itu memang tujuanku.”
Dia memasukkan pita itu ke dalam kantung peralatannya dan kemudian meraih pelana kembali dan mengangkat dirinya sendiri ke atas kuda. Kemudian dia menjulurkan tangannya menuju Priestess. “Naik.”
“Ba-baik!” Dia meraih tangan pria itu, dan pria itu menariknya ke atas dengan sangat kuat. Priestess merasa seperti melayang dalam sesaat, dan kemudian dia terduduk di depan pria itu. “Yikes, oh...”
Dengan tidak adanya cara lain untuk mengatur posisinya, tidak adanya sanggurdi, dia memegang rambut kuda dengan satu tangan. Kemudian dia merasakan sesuatu menyokongnya dari belakang.
Sarung tangan kasar terasa begitu kekar, mungkin di karenakan dia tidak mempunyai baju besinya.
“Hati-hati jangan sampai jatuh.”
“Ba-baik. Aku akan hati-hati...!”
Dia menggerakkan tubuhnya sedikit ke belakang untuk mencari posisi yang lebih nyaman, merasa malu mendengar suaranya sendiri yang serak. Dia melirik ke bawah, namun Goblin Slayer tidak mempedulikannya, helm pria itu berputar ke satu arah dan kemudian ke arah lainnya.
“Ayo.”
Lizard Priest meneriakkan persetujuannya dan kemudian membenamkan cakarnya pada bokong kuda. Binatang perang meringih kencang dan mulai berlari di iringi suara tapak kuda di atas batu ubin.
“Baiklaaaah!” High Elf Archer berkata beberapa saat kemudian dan memberikan tunggangannya tendangan, menyebabkan binatang itu bergerak liar.
“Ha-hati-hati, dasar papan! Kamu ini ngapain...?!”
“Y-yikes?! Whoa, tenang... Sekarang, ayo!”
Sementara Dwarf Shaman panik setelah hampir terjatuh dari kuda, High Elf Archer menepuk leher kuda.
Elf memiliki koneksi unik dengan kehidupan binatang. Kuda tersebut dengan segera menjadi tenang dan, dengan cambukan tali pelana, kuda melaju kencang.
Terakhir adalah Goblin Slayer, yang helmnya berputar mengarah Sword Maiden dan Noble Fencer yang berdiri di dekatnya. Dia mengangguk sekali, dan kemudian mencambuk tali pelannya sendiri.
“Eep!” Priestess menjerit, menahan topinya agar tidak terbang seraya kuda berlari.
Suara itu hanya terdengar sesaat sebelum tertutupi oleh tapak kuda yang bergetar, dan kemudian, para petualang memulai perjalanan mereka. Sang raja tentu telah memberikan kabar berita terlebih dahulu di gerbang, karena party mereka dama sekali tidak di hentikam seraya mereka melaju.
“...Apa kamu pernah berharap...?” Noble Fencer bergumam lembut seraya memperhatikan debu yang mengambang dari kuda yang pergi. “...Apa kamu pernah berharap untuk bisa berpetualang lagi?”
“Pertanyaan bagus,” Sword Maiden berkata menghindar. Bersandar pada pedang dan timbangan, dia menghela seolah itu adalah hal yang rumit. “Alasan mengapa daya dapat bangkit adalah karena saya terus mencoba untuk berpetualang dengan teman saya. Akan tetapi...”
Matanya yang tertutup menatap di kejauhan. Ke utara. Ke tempat di mana dulu dia berpetualang. Ke dungeon. Ke tempat pria itu pergi.
Namun apa yang dia lihat adalah, tidak di ragukan, kepingan ingatan dari masa lalu.
Akan di serang oleh gobkin pada petualang pertamanya.
Dia telah bertemu dengan partynya setelah kejadian itu. Oleh karena itu, pengalaman mengenaskan itu tentunya telah terbakar di matanya, tidak akan pernah pudar.
Terbakar, walaupun itu terjadi seraya dia berjalan melintasi dungeon gelap, bersusah payah untuk tetap berdiri.
“...Saya rasa saya sudah tidak memiliki keberanian untuk menghadapi hal yang mengerikan.”
Tiba-tiba tangannya bergetar. Tidak, mereka terus bergetar sejak awal. Dari semenjak goblin telah di singgung dalam rapat.
Tidak, bahkan jauh sebelum itu.
Tangannya terus bergetar semenjak dia datang di ibukota, melintasi jalan di mana dia akan di serang goblin. Dia yakin getaran ini telah berhenti hanya ketika pria itu melindunginya.
“Saya wanita yang lemah.”
Noble Fencer menerima ucapan pelan itu sebagai jawaban dari pertanyaannya. Dia mendengak ke langit. Biru, dengan awan putih yang mengambang, matahari menyinari segalanya.
Akan tetapi, di bawah langit ini terdapat goblin. Selalu—dan di segala penjuru.
“...Apa yang menakutkan, memang menakutkan.”
Itulah mengapa dia berkata blak-blakan.
Sword Maiden memiringkan kepala seperti anak kecil. “Kamu tidak pernah merasa bahwa kita harus manaklukkan rasa takut kita?”
“Terkadang, aku akui.” Senyum enggan tersirat di wajah Noble Fencer. “...Tapi terkadang juga, yang hanya bisa ku lakukan hanyalah menghadapinya.”
“Sekarang, ayo.” Noble Fencer melontarkan ucapan itu kepada Sword Maiden dan kemudian memutar tumitnya.
Kembali ke kastil, mereka tentunya sedang berdiskusi mengenai batu yang terjatuh di gunung dan merencanakan apa yang harus di lakukan terhadap sekte jahat. Terdapat banyak hal yang harus di lakukan, banyak hal yang wajib di lakukan, dan mereka tidak mempunyai waktu untuk berdiri terdiam.
Sword Maiden mengetahui ini, begitu pula Noble Fencer dan dia berjalzn mengikuti. Tepat sebelum mereka akan melewati pintu masuk ke dalam kastil, mereka berhenti dan berputar.
Mata wanita itu yang tertutup—terlindungi—tidak dapat melihat dunia.
Bayangan buram akan kehadiran pria itu telah menghilang di suata tempat di dalam hangatnya mentari.
Sword maiden melihat ke bawah dan menyentuh kertas coretan yang pria itu tinggalkan kepadanya, layaknya sebuah jejak peninggalan sosok itu. Jika dia menyentuhnya dengan pelan, ujung jarinya dapat merasakan tinta yang pria itu telah tinggalkan pada kertas itu. Dia dapat membawa kalimatnya.
Dia mendekap sensasi itu, dan menghela napas.
“Saya berharap semua goblin dapat menghilang.”
*****
Dari semua makhluk di muka bumi, makhluk yang terus berjalan paling lama adalah manusia. Namun ketika menyinggung soal kecepatan dan (harfiah) daya kuda, tidak ada yang dapat mengalahkan kuda.
Tiga kuda membawa lima petualang melintasi gerbang, berlari di atas jalan raya, dan mengarah utara, secepat angin.
Benar, angin. Dan lebih dari sekedar angin. Karena walaupun mereka kuda, tidak ada binatang yang dapat berlari secepat itu secara alami.
“Sylph, angin perawan, berikanlah pipiku ciumanmu yang menawan. Dan berkahilah laju kuda kami dengan angin berkawan!”
Alasan untuk ini adalah mantra dari Dwarf Shaman, Tail Wind. Sang sylph memeluk kuda, mendorong mereka lebih cepat dan lebih cepat lagi.
“Sekarang aku paham apa maksudmu. Kita akan dapat mengejar para goblin dengan cepat.” Ekspresi High Elf Archer serius. Telinganya berkedut kesana dan kemari, menangkap semuansuara yang berada di sekotarnya, namun akhirnya, dia tersenyum. “Aku sama sekali nggak memikirkannya waktu di kapal, tapi lumayan kaget untuk mengetahui bahwa para dwarf mempunyai sihir angin.”
“Eh, nggak bisa di bilang spesialis juga sih.”
Apakah dia harus senang mengetahui seorang elf memujinya, ataukah sedih dia harus berboncengan dengan elf?
Dwarf Shaman mempertimbangkan pertanyaan itu dengan singkat dan kemudian terdiam.Akan tetapi, setelah jeda, dia berkata, “Tapi, kami memggunakan api, air, dan angin untuk mengubah benda bumi menjadi besi. Kami perlu untuk berhubungan dengan semua empat roh besar.”
“Apapun itu, kita tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih baik dari ini, untuk dapat menangkap makhluk biadab itu sebelum mereka memasuki dungeon.” Lizard Priest, memegang tali pelana kudanya, tampak tak terusik dengan tunggangannya seraya dia menatap di kejauhan.  Ekor besarnya menjulang tinggi di belakang untuk menjaga keseimbangannya; dia tampak begitu mengesankan. “Tetapi tentu saja, seseorang pasti mendambakan sebuah kesempatan untuk menantang labirin. Ahh, kita harus memilih antara dua hal ini.”
Priestess, melirik kepada pria itu dari ujung matanya, dan merasa cukup terkejut. Apakah menunggangi kuda di anggap sebagai sebuah pencapaian perang di antara mereka?
“Hrm,..” sebuah suara pelan terdengar dari belakang gadis itu—atau lebih tepatnya, dari atas kepala gadis itu. Goblin Slayer tampak telah menyadari sesuatu.
Priestess dengan cepat melihat ke depan, dan menemukan puing-puing kereta kuda yang telah hancur, tergeletak di jalan. Mengikuti arahan Goblin Slayer, party mereka memberhentikan kuda mereka.
Dari atas punggung kuda, paling tidak, ini terlihat seperti kasus biasa akan pencurian goblin. Kargi telah di jarah, di hancurkan, dengan robekan kain di mana-mana. Priestess merasa dirinya menjadi tegang seraya dia menyadari bahwa itu adalah pakaian dirinya.
Erg...
Sesuatu seperti vertigo menyerangnya.
Bagaimana jika, kalau waktu itu...
Bagaimana jika, di gua pertama itu, dia tidak datang...?
“Tampaknya mereka memilih untuk tidak sekedar menodai gadis itu di tempat terbuka ini. “Namun hanya itu yang dapat kita ketahui. Seraya Lizard Priest berkata, terdapat sesuatu yang tampak seperti sisa akhir dari sebuah pertarungan tipikal.
Priestess—merasa terganggu bahwa dirinya sendiri dapat mengetahui perbedaannya—memperhatikan sekitarnya.
Aku nggak lihat baju besinya, pikir gadis itu. Dan walaupun dia sedikit kecewa, dia juga menyadari sesuatu dan berkedip.
“Oh!”
Dia tidak bermaksud untuk berteriak, namun tidak ada yang dapat menyalahkannya. Dia mendesak keluar dari depan Goblin Slayer dan menuruni kuda, berlari.
“Ada apa?” pria itu bertanya, dan sebagai jawaban, Priestess mengangkat, sebuah tongkat derik yang telah tergeletak di tanah.
Tongkat itu adalah milik seseorang yang menyembah Ibunda Bumi—tongkat miliknya.
“Jadi memang benar,” High Elf Archer berkata, terdengar cukup gembira.
“Ya,” Priestess menjawab seraya mengangguk. “Tapi...aku nggak melihat banyak darah.” Hmmm. Priestess mengetuk bibir dengan jari telunjuk dan berpikir. Tidak ada mayat juga. Dengan ini maka hanya terdapat satu kesimpulan. “Aku rasa mereka membawa gadis itu dengan segera…”
“…Yeah, Aku rasa dia berkata sesuatu dengan benda terkutuk atau sesuatu kan?” Telinga High Elf Archer melemas. Kemungkinan dia berpikir tentang tangan kering yang pernah di pegang elh seorang dark elf dengan riang. “Jadi mereka menginginkan gadis itu sebagai tumbal?”
“Kedengarannya nggak salah.” Dwarf Shaman berucap, membelai jenggotnya. “Cuma ada beberapa alasan untuk kamu menculik permaisuri : Untuk menikahinya, meminta tebusan, atau menjadikannya tumbal.”
“Pertanyaannya adalah apakah mereka tahu kalau gadis itu seorang permaisuri, atau ini hanya sekedar kebetulan belaka.” Goblin Slayer berkata, memperhatikan pemandangan. Kemudian dia berputar mengarah Lizard Priest. “Bagaimana menurutmu?”
“Sebuah kebetulan, seorang permaisuri melarikan diri dari rumah, sebuah kebetulan, dia berkelana ke arah utara melewati jalan raya, dan sebuah kebetulan berjalan masuk ke dalam penangkapnya.” Lizard Priest menghitung kemungkinan itu dengan jarinya, kepalanya bergerak maju dan mundur di atas leher panjangnya. “Ini semua membutuhkan banyak kemungkinan.”
“Sudah ku duga,” Goblin Slayer berkata. “Kalau mereka memang mengincar permaisuri, mereka telah melakukan pekerjaan yang cukup ceroboh.”
“Kalau begitu, nggak perlu menghabiskan waktu lebih banyak di sini kan?” High Elf Archer berkata. Dia sudah memulai menarik tali pelana kuda dan memaksa kudanya untuk mulai berjalan. “Ayo! Kalau kita nggak buru-buru, kita akan kehilangan mereka!”
Priestess dengan tergesa naik kembali ke atas kuda Goblin Slayer; pria itu menariknya ke atas.
Dengan itu, pengejaranpun di mulai kembali.
Akan tetapi Tail Wind, walaupun sihir ini mungkin melindungi kuda dari rasa lelah, sihir ini sama sekali tidak memberikan perlindungan tersebut kepada penunggangnya. Mereka telah berada di atas pelana semenjak pagi, dan rasa lelah ini menyiksa mereka.
Dwarf Shaman dan Lizard Priest, mereka berdua memiliki stamina yang luar biasa, oleh karena itu mereka baik-baik saja. Dan sang warrior Goblin Slayer juga tidak memiliki permasalahan itu juga. Namun wajah dari High Elf Archer dan Priestess, mulai semakin lelah.
Matahari—bukankah baru saja terbit?—sudah berada tinggi di langit, dan panas yang menyengat akan awal musim gugur  menerpa mereka. Priestess menghela, menopang dirinya sendiri di atas pelana, bergoyang dari samping ke samping seraya dia meminum air.
Seraya dia meneguk, dia menyadari pria itu dari ujung matanya. “Kamu mau minum…?”
“Nggak.” Helm it uterus terpaku menatap ke depan. “Aku nggak butuh.”
“Um, oke.” Priestess berkata dengan suara yang kecil. Dia membasahi bibirnya dengan beberaoa tegukan dan kemudian menutup botol itu kembali.
“Tuanku Goblin Slayer,” Lizard Priest berkata, memperhatikan situasi dari ujung matanya. “Saya percaya bahwa kita tidak akan dapat mempertahankan kondisi saat ini untuk lebih lama lagi.”
“Kalau begitu, istirahat sebentar?”
“Jika anda berkenan.”
Goblin Slayer tidak menjawab, namun dia juga menghiraukan Priestess yang bergumam, “Aku nggak apa-apa saat ini.”
Dia menatap ke depan dan berputar mengarah High Elf Archer. “Bagaimana? Kamu masih nggak bisa mendengar apapun?”
“Belum…” Dia mengernyit dan menegakkan telinganya. “,,,Tunggu sebentar.” Dia mendengak, menyipitkan matanya. Telinga panjang gadis itu bergerak cepat. “Angin… Geraman serigala….”
“Goblin?”
Hidung High Elf Archer berkedut seraya dia mengendus. “Baunya kayak daging busuk!”
“Goblin.” Goblin Slayer berkata penuh percaya diri, dan seraya dia berbicara, dia memberikan tepukan pada perut kuda dengan kakinya. Tunggangannya melenguh lantang dan berlari kecang, memprovokasi jeritan kecil dari Priestess.
Dwarf Shaman, memperhatikan mereka pergi, menepuk dahinya dan menatap ke langit. “Tuhan, nggak apapun yang membuatnya begitu menggebu selain goblin! Kasih aku tali kudanya, Telinga Panjang!”
“Ambil!” High Elf Archer berteriak, menyerahkannya kepada Dwarf tanpa bimbang dan menarik busur besar dari punggungnya.
Senjata itu tampak sedikit besar untuk di atas punggung kuda—terlebih berboncengan—namun dia berdiri tegak seolah dia sedang berada di atas tanah datar dan menarik beberapa panah dari tempatnya.
Dalam sekejap mata, tiga dari panah terpasang di busurnya, dan dia menarik benangnya; dia tampak mirip dengan sebuah patung. Mengepakkan telinganya ke sini dank e sana, membidik dengan perasaan, dia melepaskan ketiga panah secara bersamaan dengan sekejap mata.
Panah itu bersiul seraya melengkung melintasi udara.
“GOROBGR?!”
“GBB?!”
Jeritan serigala, di ikuti dengan teriakan teredam akan dua goblin.
Musuh baru saja mulai tampak dalam pandangan untuk Goblin Slayer yang berada di depan.
Bagi goblin, tengah hari adalah sama saja dengan tengah malam. Mereka sedang berada di bawah tempat teduh sebuah pohon di mana mereka kemungkinan sedang tidur, terlindungi dari terik panas matahari.
Sekarang pria itu menghitung adanya kurang lebih lima dari rider yang tersisa melompat terkejut pada tembakan tiba-tiba yang mengenai rekannya. Mereka memiliki berbagai macam armor dan senjata yang seperti biasa, namun mereka juga memiliki beberapa tato aneh di sekuju tubuh mereka.
“GOROBG! GOORO!!!”
“GROBOGORO!!”
Mereka menendang teman mereka yang tertidur, bergegas berdiri untuk menjadi yang pertama menunggangi serigala mereka. mereka meninggalkan setengah anggur dan makanan mereka dengan tergesa-gesa.
“Mustahil itu pasukan utama mereka,” Dwarf Shaman berkeata kesal dengan satu tatapan melihat mengarah goblin yang tersebar.
“Aku rasa mereka terlalu terbawa suasana ketika menjarah dan mereka terpisah dari rekan mereka yang berada di depan.”
“Aw, ayolah,” High Elf Archer menggerutu. “Mereka itu bego kah?”
“Hasil akhirnya adalah ini telah memberikan para goblin waktu.” Aku nggak menyukainya. Goblin Slayer menggerutu pelan.
Tidak ada goblin yang akan mengorbankan dirinya sendiri untuk menolong temannya. Namun goblin yang berada di depan mungkin berharap bahwa para goblin tolol yang mereka tinggalkan ini akan dapat memberikan mereka waktu. Lagipula, masing-masing dari mereka merasa begitu yakin bahwa diri mereka sendiri tidak akan pernah melakukan sesuatu yang begitu bodoh. Bahkan jika ada seekor goblin yang bersimpati dengan rekannya, dia tentu masih akan mengganggap dirinya sendiri yang paling hebat.
Seperti itulah para goblin.
“Bagaimanapun juga, kita akan membunuh mereka semua.” Goblin Slayer mengumumkan dengan acuh. Hal ini sama sekali tidak mengubah apa yang harus mereka lakukan. “Ini akan menjadi pertarungan mengejar. Musuh kita melarikan diri. Jumlah lima. Nggak ada tanda adanya jebakan. Ayo”
“Dengan senang hati!” Lizard Priest memberikan seringai pada mulutnya yang merupakan turunan dari leluhurnya. “Kepala dari musuh kita akan menjadi bukti akan gemerlap pertarungan kita!” Dia mengikat tali kuda di sekitar lengan dan menepuk tangannya bersama. “O sayap maha tajam velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu!” Taring yanf dia genggam di tangannya mengembang dan membesar menjadi sebuah Swordclaw. “Tuanku Goblin Slayer, nona archer, tolong bantuan anda!”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk, kemudian dengan santai dia melepaskan tali kudanya juga. “Ambil ini.”
“Yipes!” Priestess menjerit, menggenggam tali kuda, namun ketika dia telah menggenggamnya, dia tidak mengetahui apa yang harus di lakukan. Aku belum pernah menunggangi kuda sebelumnya!
Ini adalah kali pertamanya gadis ini menunganggi kuda. Mengapa dia hal pertama yang dia lakukan selalu saja sulit?
“Pa-pak Goblin Slayer! Er, um, ap-apa yang aku harus--?!”
Jawabannya datang dengan sangat sederhana: “Genggam erat talinya dan tatap terus ke depan.” Goblin Slayer mengambil sebuah ketapel dan batu dari kantung peralatannya. “Ini nggak akan makan waktu lama.”
Dia benar.
Sementara High Elf Archer melepaskan panah berikutnya, Goblin Slayer mulai memutar ketapelnya. Ketapel itu berputar horizontal di sampingnya dan kemudian mengirimkan batu terbang bersiul di udara. Priestess, memegang erat tali, terbelalak melihat teknik melempar pria itu.
Dia bahkan nggak mengenai leher kuda.
Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mencoba belajar teknik baru, namun dia akan menanyakannya pada pria ini nanti. Dia menyimpan pikiran ini untuk dirinya sendiri.
“GBBOROGB?!” Satu goblin menerima batu itu tepat di tengkoraknya dan terjatuh, lehernya terputar pada arah yang tidak semestinya.
Tersisa empat. Tidak…
“Hi—yah…!” High Elf Archer membidik dan melepaskan.
Tembakkan itu tampak meleset, namun kemudian panahnya memantul mengenai kaki serigala, hingga menembus tenggorokan.
“GOORBGBGOB?!”
Serigala menjerit dan melontarkan goblin dari punggungnya. Kuda Goblin Slayer melaju menginjak tengkorak makhluk itu, memburaikan otak ke segala arah. Tiga lagi.
“Heh-heh!” High Elf Archer membusungkan dada kecilnya, kemungkinan bermaksud untuk pamer kepada Goblin Slayer.
“Apa sih yang kamu banggain?” Dwarf Shaman menggerutu, namun telinga panjang sang elf berpura-pura tidak mendengarnya.
Dengan jumlah goblin yang kini berkurang, sisa permasalahan akan terselesaikan dengan sendirinya.
“Eeeeeyyaaaaaahhhh!” Lizard Priest meraung dan terjun menuju medan. Tali kuda pada rahang, sepasang Swordclaw di kedua tangan.
Di bawah kekuatan akan warga warrior lizardman—secara harfiah di bawah, karena mereka berlari dengan kocar-kacir—jumlah para goblin sama sekali tidak mempunyai arti. Lizard Priest menyerang kanan dan kiri, memotong dan menyayat, dan dalam sekejap, dua kepala dan kemudian tiga berguling. Cipratan akan darah bersiul dari leher tak berkepala, dan Lizard Priest menghela.
Ketika tatapan akan turunan dari naga yang mengerikan jatuh kepadamu, maka kamu telah tamat.
Serigala yang selamat mengaing dan berlari seperti kelinci ke dalam hutan.
“Apakah anda menginginkan kami untuk mengejar para binatang?” Pertanyaan itu di penuhi darah akan pertarungan.
“Mereka bukan goblin,” Goblin Slayer berkata pendek. “Apa kamu melihat tatonya?”
“Tentu,” Lizard Priest berkata dengan anggukan. “Pola yang sama dengan iblis kecil sebelumnya.”
“Mm.” Goblin Slayer menajawab dengan anggukan. Kemudian berkata pelan kepada Priestess. “Sudah cukup.”
“Oh, baik…”
Dia menggapai mengarah gadis itu dan mengambil tali kuda dari genggaman erat Priestess.
Tail Wind ataupun tidak, mereka telah memaksa kuda mereka lebih keras di saat pertarungan berlangsung. Gelembung buih-buih mulai tampak pada ujung mulut para binatang, dan Priestess menepuk leher kudanya dengan cemas. “Pak Goblin Slayer, aku rasa…”
“…Aku mengerti.” Goblin Slayer berkata muram seraya dia memperlambat laju.
Priestess mengetahui bahwa dia tidak melakukan salah, akan tetapi tetap saja, dia menegang. Dengan tidak adanya prospect akan kesempatan untuk mengganti kuda di jalan, mereka tidak mempunyai pilihan lain selain melanjukan pengejaran dengan lebih lambat.
Jika Priestess melihat ke utara, dia dapat melihat gunung suci di kejauhan, di selimuti kegelapan walaupun dengan adanya cahaya matahari. Puncak gunung itu tertutupi dengan salju; menurut Priestess, itu bukanlah tempat yang seharusnya di kunjungi seseorang.
Kegelapan seolah tampak menganga di depan mereka, menunggu para petualang.
Menunggu, seperti permaisuri yang di culik. Seperti para goblin.
“…Aku rasa semua itu untuk hari besok.”
Dungeon terdalam masih tampak begitu jauh.