MASTER ADEGAN 
AKTOR DI BALIK LAYAR 
(Translator : Zerard)

“Jadi, apa kamu mempunyai apapun untuk di laporkan tentang batu api yang jatuh dari surga di gunung suci?”
Tahta adalah tempat yang melelahkan. Tetapi juga, murapakan srbuah simbol akan kekuatan raja, bukanlah tempat untuk bersantai.
Tapi, kursi berikutnya yang akan ku dapatkan harus lebih empuk.
Penguasa muda itu, tidak membiarkan pikiran ini muncul pada ekpsresinya; tampilan megahnya tidak terusik.
Hakim yang berpergian baru saja kembali di malam sebelumnya, dan sekarang dia telah mengadakan rapat di awal pagi ini.
Dinding batu besar terdekorasi dengan permadani, masing-masing permadani itu penuh akan sejarah, dan pilar cahaya musim gugur melintasi jendela. Cahaya itu membawa warna akan kaca hias pada meja bundar indah di mana para penasehat berkumpul.
Menteri tua, kardinal berambut merah, hakim mage berkulit coklat, dan petualang tingkat Gold.
Dan selain ini, terdapat juga bangsawan, wizard, sarjana, ahli agama, dan pedagang—orang-orang yang berasa dari berbagai macam katagori.
Jika seseorang hendak menjadi raja di negara ini, seseorang tersebut harus maha mengetahui dari awal momen dia menjadi raja.
Dari pembentukkan negara—dari pembentukkan sejarah—bencana dan kekacuan yang terus datang lagi dan lagi: sang Demon Lord.
Dan setiap kali itu juga, raja para dwarf dan elf dan kepala suku akan rhea dan orang buas berkumpul untuk rapat perang di sekitar meja bundar ini.
Meja ini telah di ukir beberapa abad lalu oleh raja para dwarf, yang merasa cukup lucu bahwa tidak adanya perbedaan status bagi siapapun yang duduk di sekitar meja ini.
Dan siapapun yang pernah berpetualang dengan segera memahami bahwa tidak seorangpun yang dapat mendikte apa yang di lakukan oleh grup orang itu.
Yah, beberapa tidak ada. Tapi mereka akan cepat mati.
Dia melihat penjaga kerajaannya sedikit menyeringai—mungkin teman lamanya telah menangkap petunjuk seringai di wajah sang raja.
“Baiklah, masing-masing dari kalian, tolong berbicara secara bergantian,” sang raja berkata tegas, menekan senyumnya. Pertama, royal mage tinggi berdiri.
“Para pengamat bintang trlah melihat bintang jahat jatuh secara tidak terduga di atas papan.”
“Hmm—tidak terduga?”
“Benar, tuan. Sekolah sedang meneliti teks kuno, namun mereka masih belum menemukan ramalan yang mirip dengan apa yang terjadi.”
Sang raja mengangguk pada ucapan pria berkulit coklat dan kemudian memberikan gerakan besar yang menandakan bahwa pria itu harus duduk. “Kalau begitu, apa menurutmu ini  adalah pekerjaan Kemungkinan dan bukan Takdir...?” dia menyandarkan sikunya pada lengan tahta dan menopang dagu dengan tangannya, berpikir dengan seksama. Akan sangat baik untuk menangani sesuatu satu persatu. “Dan bagaimana dengan gunung suci! Aku ingin tahu apa dampak dari batu api dari surga ini.”
Seperti biasa, tidak seorangpun yang memanjat gunung suci, Yang Mulia.”
Jawaban ini datang dari seorang pria yang terlihat begitu mencolok bahkan di antsra anggota rapat ini. Dia tidak membawa senjata, namun sebuah helm bertanduk tampak di atas meja tepat di depannya, dan dia menggunakan sepasang baju besi yang sering di gunakannya. Dia memiliki rambut hitam gimbal, dan dari lehernya menggantung sebuah kalung pperingkat Gold; dia adalah satu-satunya padfoot yang ada di sini.
Wajahnya yang seperti anjing mengernyit tidak menyukai, dan dia memakan jajan yang berada di atas meja bundar ini.
“Gua atau semacamnya, mungkin. Tapi memanjat dinding luar? Sedikit sulit.”
Pria penjaga kerajaan mengangkat tangannya dengan satu gerakan mulus. Tubuh berototnya terlindungi oleh sepasang armor platinum. Ketika sang raja mengangguk, pria itu—seorang kapten yang bertanggung jawab untuk perlindungan anggota kerajaan—menyisir rambut dengan tangannya dan berkata, “Yang Mulia, akan sangat sulit bagi pasukan untuk pergi ke gunung.”
“Sudah ku duga.”
“Benar, tuan. Tempat itu tidak mempunyai banyak ruang untuk keramaian. Saya bahkan tidak yakin berapa banyak dari kalian darah biru yang dapat mencapainya.”
Sang kapten berbicara seolah ini adalah hal paling sewajarnya di dunia. Dia menganggap remeh akan tenaga keluarga kerajaan dan para bangsawan.
Dan dia tidak salah.
Gunung suci adalah gunung tertinggi dan paling berbahaya yang berada di dekat kerajaannya. Tidak satu gunungpun yang benar-benar milik mereka yang dapat berbahasa, terlebih lagi untuk gunung suci ini. Jika dia mengirim pasukan, tidak akan ada yang mengetahui seberapa banyak korban yang akan jatuh.
“Akan tetapi, tuan. Tidaklah mustahil untuk mengepung gunung itu untuk berjaga-jaga bila apapun turun dari gunung itu.” Sang kapten melanjutkan. Ucapannya terdengar begitu bangga, dengan pengalaman militer teruji di baliknya. “Tidak satupun orang aneh atau musuh yang dapat melewati kami.”
Itu, dia mengatakan, adalah kewajiban pasukan.
Jika para petualang adalah panah yang dapat di tembakkan secara langsung kepada sasaran, maka pasukan adalah perisai yang melindungi alam. Pasukan tidak akan membawanya menuju pertahanan Demon Lord, ataupun dengan beradanya di sana akan membawa kemenangan melawan musuh. Prajurit hanya menggunakan senjata dan armor yang di produksi secara massal oleh para penempa dengan secepat mungkin. Satu-satunya pengalaman mereka adalah disiplin tiada akhir, hari demi hari. Hal ini tidaklah memberikan mereka harapan kemenangan.
Namun untuk berhadapan dengan pasukan akan Demon Lord? Mereka dapat melakukan itu. Merrka dapat berdiri menghalangngi musuh yang datang, membentuk barisan dinding tombak untuk menghentikkan pergerakan mereka. Dan itu—itu adalah sesuatu yang para petualang tentunya tidak dapat lakukan.
“Grup berjumlah kecil mungkin akan memiliki peluang yang lebih baik.” Sang petualang betingkat Gold, sangat menyadari semua ini, melipat lengannya dan menyandarkan sosok kecilnya pada punggung kursi. “Tapi nggak ada salahnya berhati-hati.” Aku sudah pergi ke kaki gunung untuk memeriksa keadaan, dan aku merasakan sesuatu di sana. Sesuatu yang nggak aku kenali.”
“Apa yang kamu maksud dengan itu?” kardinal berambut merah bertanya penasaran.
Sang petualang tingkat Gold mengeluarkan ekspresi yang begituntidak nyaman. “Akunrasa itu sesuatu yang bahkan nggak termasuk dalam buku monster manual.”
“Begitu...” Sang raja menghela. Masalah selalu bermunculan semenjak pertarungan dengan greater demon satu tahun sebelumnya.
Greater demon, kultus sesat, raksasa, dan lain-lain. Sang raja tidak dapat mempercayai seberapa jauhnya kedamaian dari dunianya.
“Artinya, tampaknya ini akan menjadi giliran wanita itu sekarang.”
Tidak ada yang memprotes bisikan itu. Mereka semua saling bertukar pandang dan mengangguk. Mereka harus mempermainkan kartu liar selagi permainan mssih bsgus. Setidaknya, jika wanita itu menerima.
Aku senang gadis itu terlahir dengan hati yang bagus, sang raja berpikir mensyukuri.
Dia tidak ingin lebih membebani gadis itu, yang tidaklah berbeda umur dengan adik perempuannya sendiri. Namun setiap benda dan setiapmorang telah di berikan perannya masing-masing untuk di jalankan. Yang hanya dapat seseorang itu lakukan adalah mengikutinya. Persis seperti dia yang menerima jabatannya sebagai raja. Satu-satunya hal yang dia inginkan adalah untuk tidak menjadi salah satu orang lemah yang meluapkan amarah dan menolak tempat tinggal yang telahndi berikan.
“Baiklah,” dia berkata. “Buat persiapan agar kamu bisa menyediakan bantuan terbaik jika di butuhkan.”
“Baik, Yang Mulia, sesuai kehendak anda.” Ucap sang menteri, seorang pria tua, bersusah payah untuk menunduk hormat.
Sang raja dapat menyerahkan rinciannya kepada pria itu. Ya, itu akan bekerja dengan baik. Apa yang di butuhkan dari seorang raja adalah kesigapan dan arahan; pemahaman presisi dan pertimbangan matang dapat di lakukan oleh menterinya.
Tapi kurasa terlalu banyak berpikir seperti itu akan membuatmu menjadi penguasa boneka.
“Bagaimana keadaan kota selama absenku?”
“Para kultus terus  merajalela, wTaapi itu bukan hal baru...” Jawaban datang dari kardinal berambut merah.  Dia adalah orang kedua di kota ini sebagai seorang penasehat, dan pelafalan ucapannya sungguh begitu fasih. “Sementara anda dalam perjalanan, Yang Mulia, sebuah sekte aneh yang menyembah Dewa Kebijaksanaan mulai mengambil alih bagian selatan ibukota.”
“Dan kurasa bagi siapapun yang tidak mempercayai mereka akan di kunjungi dengan kutukan mengerikan?”
“Kami tidak mengetahui kebenaran dari hal ini.”
“Kita harus menyerang mereka.” Mata sang raja muda berbinar, dan mulutnya menyeringai menjadi senyuman.
Sang kardinal dapat memahami apa yang sedang terjadi. “Yang Mulia...,” dia berkata lelah.
Sang raja hanya menjawab, “Ya, Akuntahu.” Dan melihat kertas yang berada dintangannya.
“Apa Dewa Kebijaksanaan ini berbeda dengan dewa yang memberikan pengetahuan?” tanya sang mage hakim.
Sang kardinal mengangguk. “Dewa Pengetahuan jalan memasuki ke dalam kegelapan, menawarkan cahaya pembelajaran.”
“Tapi Dewa Kebijaksanaan tidak?”
“Dia tidak mengarahkan dan tidak menunjukkan jalan. Dia hanya, dengan tiba-tiba, mempercikkan api wawasan ke dalam kegelapan.”
“...Sepertinya perbedaan yang samar sekali.” Sang mage menghela. Deskripsi itu tidaklah begitu berbeda dengan sesuatu yang di sebut Dark God.
Sang raja mempertimbangkan percakapan ini dengan seksama dan kemudian melontarkan pertanyaan.
“Kalau begitu, apa yang berada di luar jangkauan pengawasan kita...?”
“Pada saat ini, Ketertiban dunia tidak menunjukkan adanya ketidakseimbangan.”
Respon pada pertanyaan itu datang dari seorang wanita yang tampak begitu cantik mencolok hingga membuatnya tampakmtidak pantas berada di sana. Tubuhnya yang aduhai dan dada lembut terbalut oleh pakaian putih; di tangannya, dia menggenggam pedang dan timbangan, dan matanya tertutup oleh kain.
“Pertarungan telah menghasilkan banyak pengungsi, yatim piatu, dan warga yang tidak mempunyai rumah, namun mereka tidak ingin di pekerjakan akhir-akhir ini.” Wanita otu adalah archbishop yang melayani Supreme God, Sword Maiden. Ucapannya terdengar seperti musik, dan dia tersenyum. “Kita selalu kekurangan tenaga, tidak peduli seberapa banyaknya mereka.”
Dia tampak beda akhir-akhir ini.
Pikiran itu melintas di benak sang raja secara tiba-tiba, dia telah mengenal wanita itu selama hampir sepuluh tahun sekarang. Hari ini, seperti biasanya, wanita itu selalu di penuhi dengan lekukan indah yang akan membuat pria manapun terpesona. Namun sebelumnya, kecantikkannya bagaikan sebuah bunga yang akan sewaktu-waktu jatuh dari rantingnya. Sekarang—sekarang telah berbeda. Ekspresi dan sosoknya sekarang begitu menawan bagaikan bunga yang berdiri tegak yang bermekaran. Tentunya sang raja berpikir bahwa ini adalah hal yang baik.
“Oh, tetapi...” Ekspresi menawan itu sedikit muram. Alisnya melemas di akibatkan beban akan masalah, dan tubuhnya sedikit membungkuk.
“Ada apa? Katakan.”
Senyum Sword Maiden bagaikan sebuah rahasia.
“Teman saya yang berharga telah menjadi korban pencurian seragam priestess dan sepasang baju besi di rumah mandi, kemarin hari.”
“Apa...?”
“Sang pencuri tampaknya berpakaian sebagai prajurit...”
Sang raja menaikkan alisnya curiga. Tampaknya ini hanyalah masalah sepele, namun mungkin hal ini telah menarik perhatiannya. Seorang pencuri menyamar sebagai prajurit tidak dapat di biarkan begitu saja.
Akan tetapi, Sword Maiden, mengganti subyek sebelum sang raja dapat mengutarakan pertanyaan lain. “Terlebih lagi,” Sword Maiden melanjutkan, “Saya merasa bahwa psra goblin harus di hancurkan.”
Deklarasinya begitu berani, senyumnya begitu lembut, dan kedua hal tersebut tampaknya menunjukkan bahwa ini adalah akhir darinhhal ini.
“Lagi-lagi dengan goblin,” anggota rapat lainnya bergumam, saling bertukar pandang. Wanita ini selalu sepeti itu.
Sang raja memaksa wajahnya untuk tetap berekspresi netral dan terbatuk.
Sial, sepertinya aku tidak bisa membiarkannya.
“Baiklah, aku akan menyelidiki hal ini... Selanjutnya, bagaimana dengan status pusat pelatihan petualang?”
“......”
Seorang pedagang wanita, seseorang yzng bertanggung jawab atas pengawasan mengenai pusat pelatihan, berkedip. Dia adalah yang termuda dari mereka yang berkumpul di sini, dan sekarang dia mendapati setiap pasang mata di ruangan ini berfokus kepadanya. Dia melirik cepat mengarah Sword Maiden dan kemudian meemberikan salam hormat dan mulai berbicara. “...Sebuah laporan telah di persiapkan tuan. Mohon untuk anda melihatnya.”
Wanita ini masih muda, namun dia dapat menyesuaikan dirinya dengan ketenangan ysng tidak biasa dan sedikit idealisme yang sering beriringan dengan keremajaan. Namun dia juga bukanlah seseorang yang pesimis, dia selalu memandang hal secara realistis pragmatis.
Mungkin adalah kualitas suaranya yang datar, ekpresi wajahnha yang jarang berubah, yang membuat gadis itu tampak dewasa. Sikapnya yang cermat terpantul dalam karakter presisi terperinci yang berada di atas kertas di depannya.
Dia adalah anak perempuan dari seorang keluarga bangsawan; konon setelah masa pulih dari sebuah penyakit, dia telah ikut terjun ke dalam bisnis aset keluarganya... namun apa, sang raja berpikir, yang telah membuat gadis itu mengalami kehidupan yang menuntunnya menekuni panggung politik beberapa bulan ini?
Dari mana asal wanita berbakat ini?
Sang raja mengistirahatkan lengan pada tahta, sebuah senyum kecil tampak di mulutnya, tersembunyi oleh secarik kertas yang berada di depannya. Penguasa dan bangsawan tidak seharusnya menunjukkan ekspresi mereka kepada orang lain dengan begitu mudah. Sang raja hsrus lebih berusaha.
“...Fasilitas-fasilitas ini sudah mendekati masa rampung pada Guild di beberapa kota. Tetapi...” Sang wanita berkata, mencari udara tipis di depannya sepanjang kalimatnya. “...seperti yang telah kita duga, gagasan akan seseorang yang hendak menjadi petualang dan kemudian di wajibkan untuk belajar, sedikit sulit untuk dapat di terima oleh mereka.”
“Aku tidak heran,” sang raja berkata, mengangguk serius. “Saat aku masih seorang petualang, banyak dari kami yang menganggap hal itu sebagai hal yang merepotkan, bahkan untuk menulis nama kita saat mendaftar.”
Namun juga, kebanyakan dsri orang-orang itu, bergegas menuju rumah makan, mabuk, mengocehkan mulit mereka, dan tidak lama kemudian bukanlah seorang petualang lagi. Dan kemudian mereka akan mengeluh: jika saja mereka memiliki kemampuan; jika saja mereka memiliki keberuntungan untuk terlahir dalam kondisi yang lebih baik...dan seterusnya.
Hal yang ironis adalah bahwa petualang pemula lainnya berada di sekitar mereka, orang-orang yang mungkin tidak berpengalaman namun orang yang akan menjalani proses evaluasi, mendapatkan roti harian mereka dengan membawa tas, dan membanting tulang mereka untuk menemukan jalan agar menjadi lebih ahli. Para pemabuk (sang raja masih mengingatnya dengan jijik)  mencemooh mereka bahwa semua hal itu adalah sia-sia.
“Orang-orang tidak akan merubah pikiran mereka dalam semalam,” dia berkata. “Kita harus memandang jauh bila itu berkaitan dengan pendidikan.”
“...Ya, Yang Mulia. Karena itu, saya menyarankan agar kita menyediakan pangan dalam pelatihan itu, agar kita dapat menarik para petualang yang kelaparan.”
“Menyediakan makanan? Kamu menyarankan semacam katering?”
Para petualang biasanya terdiri oleh remaja, anak petani yang tidak memiliki tujuan, atau petani yang melarikan diri. Bahkan bagi mereka yang datang dengan hanya berbekal mimpi akan kejayaan tidak dapat lepas dari kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Jika memungkinkan untuk menyediakan dalah satu dari kebutuhan itu saja... Yah, hal ini dapat mempercepat penerimaan akan sistem edukasi mereka.
“Aku suka ide itu, tapi apa kita punya biaya untuk itu?”
Permasalahan utamanya bukanlah metodologi. Adalah uang untuk membuat gagasan itu berdiri.
Alis sang wanita melemas tidak senang pada pertanyaan sang raja “...Itulah, Yang Mulia, inti dari hal ini. “ dia menyimpulkan singkat. “...Bahkan, saya memprediksikan bahwa hal ini akan membuat kita dalam katagori merah. Itu karena, kita tidak bisa untuk menarik pembayaran untuk kelas pelatihan.”
“Kamu mengerti bukan bahwa harta kenegaraan tidaklah ada sekedar hanya untuk di habiskan seperti air demi menyuapi mulut preman tidak berguna?” Sang raja bertanya dan kemudian mengangkat bahunya. Mungkin mereka akan menemukan sebuah lahan di mana gandum dan emas tumbuh dari tanah—maka itu akan menjadi cerita yang berbeda.
Mungkin kalau aku pergi dan membasmi satu naga kecil.
“Yang Mulia,” sebuah suara tajam terdengar. Kardinal berambut merah tampak begitu suram. Bah.
Sang pedagang wanita terlihat begitu serius, tampak tidak sadar akan pembicaraan mereka. “...Saya mengerti, tuan. Saya hanya berpikir bahwa mungkin pusat pelatihan dapat di berikan kepercayaan dengan pembersihan tikus atau kecoa darinsaluran air.”
Quest seperti itu akan secara teknis di berikan kepada petualang oleh kota atau negara itu sendiri—dengan kata lain, mereka akan termasuk dalam aktivitas yang terbiayai oleh pajak. Uang secara nominal akan masuk ke dalam pusat pelatihan, namun pada akhirnya akan dingunakan untuk membayar para petualang.
“...Itu akan menjadi tahap pengenalan dengan pertarungan sesungguhnya, Yang Mulia. Atau apa yang mungkin andaa sebut dengan tutorial.”
Mata sang raja sedikit melebar: pada bibir sang pedagang terdapat sesuatu yang menyerupai sebuah senyum kemenangan. Seperti riak di atas kolam yang sebabkan oleh hembusan angin berlalu, akan sangat mudah untuk tidak menyadarinya jika seseorang tidak memperhatikan. Ekspresi tersebut membuat wanita itu terlihat lebih muda dari umurnya; sang raja merasa bahwa wanita itu cukup imut.
“Apa menurutmu kita harus membasmi goblin juga?” mendengar ucapan sang menteri, senyum sirna secara cepat seolah sebuah batu telah di lempar di atas kolam. Tentu saja pria itu tidak memiliki niat buruk. Menteri yang tersenyum mengangguk pada dirinya sendiri, seolah ingin merayakan atas betapa bagusnya ide ini. “Itu juga akan dapat menyelesaikan kecemasan archbishop juga—“
Dia menghentikan ucapannya setelah mendapatkan tatapan dari mata Sword Maiden yang tidak dapat melihat. Pria itu melirik kepada sang pedagang untuk meminta bantuan, namun pedagang wanita itu juga turut memberikan tatapan dingin kepadanya.
“...Er, yah, itu cuma....saran.” dia menyelesaikan kalimatnya dengan canggung.
Sang raja menahan senyumnya seraya dia berkata, “Baiklah,” dan melambaikan tangan. “Itu tidak buruk, tapi akan lebih baik jika kita dapat membatasi pekerjaan di saluran air. Lanjutkan rencanamu.”
“...Terima kasih, Yang Mulia,” sang wanita berkata, menunduk hormat.
Itulah di mana sebuah langkah kaki dapat terdengar dari luar ruang dewan, bersama dengan teriakan akan Berhenti! Pintu terbuka lebar.
“Apa maksudnya ini? Kami sedang rapat!”
“Be-berita buruk, Yang Mulia! Saya sungguh memohon ampun, saya benar-benar—!”
Sang raja mengenal orang yang saat ini sedang di sekap oleh penjaga. Seorang pelayan dari adik perempuannya, dia berpikir.
Sekarang, wajah sang pelayan terlihat benar-benar pucat—dengan pria yang menahannya.
“Yanh Mulia, adik—adik anda—!”
Berita akan permaisuri pertama telah di culik oleh goblin sangatlah cukup untuk membuat raja berdiri dari tahktanya.
(TL Note : ughhhhhhh..... bagian ini sulit sekali bagi saya untuk di terjemahin, mohon maaf kalau banyak yang bingung bacanya.)
*****
Adalah senja ketika gadis itu muncul di depannya; pria itu sedang memuat muatan ke dalam gerobaknya.
“Um, permisiiiiiii...,” sang gadis memanggil dengan nada manis.
Pria itu berputar untuk melihat apanyang gadis itu butuhkan, dan di sanalah dia: seorang priestess Ibunda Bumi dengan seragam ketat dan tongkat derik di tangan. Mata gadis itu melotot—apakah karena gadis itu baru bangun atau karena dia tidak tidur sama sekali, pria itu tidak dapat mengetahuinya—dan gadis itu berkedip kepadanya. seraya pria itu menatap balik. Pria itu dapat melihat beberapa helai jerami yang tersangkut di rambut gadis itu yang mencuat dari bawah topinya. Hal itu mengundang senyum pada wajah sang pedagang.
Petualang pemula mungkin?
“Ya? Ada yang bisa ku bantu petualang kecil?”
“Aku Cuma ingin keluar kota. Apa aku bisa menumpang?” Kemudian dia menyebutkan nama akan sepupu perempuan muda dari pedagang itu. Seorang wanita muda cantik yang bekerja di istana. Jika gadis ini adalah teman dari sepupu pria itu, maka baiklah. Sang pedagang mengangguk.
“Oke. Tapi akunakan pergi ke utara. Apa kamu nggak akan kedinginan?”
“Aku nggak apa-apa, terima kasih. Utara memang tempat yang aku tuju.”
Sang gadis tertawa terbahak-bahak dan menaiki salah satu kursi di antara kargo. Dia sangatlah penuh semangat, namun gerakannya tampak lemas, hal itu membuat sang pria khawatir.
Gadis itu menyempitkan dirinya di antara tas dan kemudian tampak seperti teringat oleh sesuatu. “Oh, ini sebagai ucapan terima kasih.”
Dia memberikan sang pedagang sebuah ruby kecil, mata sang pedagang hampir keluar dari kepalanya. Mata uang palsu sangatlah begitu merajalela akhir-akhir ini.  Begitu banyak orang yang mengikis ujung koin mereka untuk “meng-ekonomikan” Permata tentunya lebih terpercaya, tetapi...
Apa dia bensr-benar pemula?
Itulah momen di mana pria itu merasakan rasa ragu pertamanya.
Tentunya ini bukanlah sebuah bentuk pembayaran yang akan seseorang duga dari pengikut Ibunda Bumi, yang telah bersumpah untuk hidup sederhana.
Namun pria itu bisa saja memikirkan hal itu sepanjang hari, atau dia dapat berangkat pergi. Sang pedagang menyelesaikan memuat kargonya dan kemudian kereta kudanya bergemuruh seraya roda berputar.
Sinar senja menembus kabut susu akan dini hari, namun ibukota tidak pernah tidur.
Terdapat beberapa penghuni rumah makam yang terus minum hingga cahaya pertama bersinar, tersandung di jalan, dan seorang budak yang membawa ember air dengan langkah cepat.
Pelayan, bangun sebelum tuannya, sedang membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk.
Api dapur timbul seraya asap mengepul dari banyak rumah.
Mereka melewati sebuah toko yang hendak bersiap untuk membuka tokonya, dan tidak lama mereka telah tiba di gerbang utara.
Di luar kota terdapat beberapa lahan untuk kompetisi dan pertarungan, dan bendera yang di kibarkan telah menandakan acara yang akan berlangsung hari ini. Barisan orang berdiri melihat mereka, kemungkinan menunggu untuk di ijinkan melewati pos penjjaga. Terdapat cukup banyak keramaian; pastinya telah berkumpul semenjak gerbang akan di buka.
“Wah, wah, hari ini sibuk sekali,” sang pedagang berkata, mengangkat tangan di atas mata dan melihat barisan serayandia memperlambat kudanya. “Sepertinya kita akan menunggu lama di sini petualang kecil.”
“Yang benar?” sang gadis terlihat kecewa, dan ketika pedagang melihat kebelakang, dia melihat gadis itu menggembungkan pipinya. “ Hmmm... kurasa kita memang tidak punya pilihan, haaaa....”
Pedagang tersenyum ramah kepada sang gadis yang merajuk dan kemudian menunggu antrian mulai bergerak.
Area di sekitar gerbang penuh akan petualang dan pedagang, patrol, dan pengelana, datang dan pergi; merupakan pemandangan hiruk pikuk. Di belakang mereka adalah kaki langit dari ibukota dengan asap cerobong yang mengepul dan khayalak yang memulai harinya.
Kota telah terbangun. Pedagang memperhatikan ini sebuah dengan riang, dan kemudian gilirannyapun tiba dan dia menggerakkan keretanya menuju gerbang.
“Halo, pak prajurit. Selamat pagi!”
“Mmf. Kita dapat orang riang kali ini. Kargo dan tujuan?”
“Tekstil wol. Aku sedang menuju arah gunung suci.”
“Huh,” kata sang prajurit, yang tampaknya di kenal oleh sang pedagang; dia memberikan prajurit itu passport seraya dia berbicara.
Tampaknya sang pedagang melewati gerbang ini setiap hari. Mereka berdua sangag memahami akan prosedur ini.”
“Dengar,” prajurit berkata. “Rumor mengatakan ada batu api yang jatuh dari langit di daerah sana. Hati-hati.”
“Terima kasih, pastinya aku akn berhati-hati! Oh, benar juga,” pedagang berkata, menarik tali pelana sebelum dia pergi. “Hari ini aku ada penumpang.”
“Oh?” prajurit berkata dengan senyum mengerikan. “Kamu nggak terlibat bisnis budak kan?” ucapannya terdengar seperti sebuah gurauan.
Sang pedagang mengangkat bahunya, dan prajurit mengintip gadis itu yang berada di antara kargo.
“Coba aku lihat tanda pengenalmu.”
“Baik pak.” Gadis itu meraih kerah bajunya hingga dia mengeluarkan sebuah kalung peringkat yang bergantung di sekitar lehernya.
“Tingkat Steel, rambut emas, mata biru, lima belas... tidak, enam belas. Priestess Ibunda Bumi. Kamu petualang?”
“Benar,” gadis itu berkata,  membusungkan dadanya bangga. “Aku akan menyelidiki kegaduhan di gunung suci.”
Sang pedagang tidak dapat melihat ekspresi prajurit di balik helmnya. Pria itu hanya berkata, “Yeah? Semoga beruntung dengan itu” dengan suara lelah dan memberikan kuda tepukan pelan. “Baiklah, kamu boleh pergi.”
“Terima kasih banyak, pak.”
Sang pedagang menuntun kuda menuju jalan raya, mengikuti rambu yang mengarah pegunungan. Mungkin rumor tentang gunung suci itu adalah benar, karena beberapa pengelana tampak pergi mengarah ke sana. Satu-satunya yang menemani mereka ke sana adalah hembusan angin, suara tapak kuda, decit roda, dan kicauan burung.
Matahari bersinar di balik cakrawala di timur; udara musim gugur begitu sejuk dan menyegarkan.
Sang pedagang menarik napas dalam, mengisi paru-parunya dengan udara manis.
“Ahh, cuacanya cerah sekali!”
“Benar banget. Bisa berada di luar itu asik.” Sang gadis di belakang, meregangkan tubuhnya layaknya kucing dan menyipitkan matanya. Gadis itu tampak menikmati hembusan angin, dan pedagang-pun tersenyum senang.
“Kamu lebih terlihat seperti tahanan di banding petualang,” dia berkata.
“Banyak tempat di mana seseorang bisa menjadi tahanan,” dia berbisik. “Penjara, kuil...istana.”
Benar. Pedagang mengangguk. Sepupunya telah menyinggung hal itu kepadanya bahwa seorang permaisuri hidup dalam belenggu.
“Yah, nggak ada satupun tempat yang benar-benar bebas dari cobaan,” pedagang berkata.
“Menurutmu?” sang gadis menjawab. “Aku sendiri—“
Itulah ketika semua terjadi.
Pedagang mengira dirinya melihat sebuah gerakan di semak-semak di dekat mereka. “—tidak setuju,” gadis itu menyelesaikan.
Apa itu cuma imajinasiku saja.
Secara reflek dia meraih hulu pedang yang dia simpan di pinggulnya seraya dia memperhatikan sekitar dengan cepat. Tentunya dia tidak mempunyai niat untuk berhadapan dengan musuh. Namun bahkan untuk melarikan diri, seseorang akan membutuhkan senjata.
“...? Ada apa?”
“Aku rasa sesuatu—“
bergerak, di saat dia akan mengucapkannya, sebuah raungan serigala menyelanya. Pedagang mencabuk tali pelananya.
“GORRBG!!”
“GRROB! GRROOBOR!!”
“—?! Goblin?”
Anjing liar, atau segerombol serigala, akan jauh lebih baik. Namun ini lebih buruk. Goblin, menunggangi serigala dengan membawa tombak kasar.
Segerombolan goblin—sang pedagang terkagum melihat mereka. Bukankah mereka seharusnya berada di barat?!
“Hrk! Tiarap!”
“Ee-eek?!”
Menghiraukan jeritan sang gadis, sang pedagang mencambuk kuda.  Binatang yang setia itu melenguh sekali lagi dan kemudian berlari menuju ibukota. Mereka tidak mempunyai waktu.
Wajah para goblin berubah menjadi senyum jeji; mereka tentunya menyadari keberadaan wanita di atas kereta itu.
“GGBBGRBBG!!”
“GBOOR! GBBGROB!”
Mereka terkekeh, bergerak untuk mengepung pedagang dan memotong rute pelariannya, beberapa dari tombak di lemparkan secara sembrono, terbang melintasi kepala pedagang atau tertancap di jalanan.
Kalau sampai mereka mengenai kita, kita tamat...!
Sang pedagang menarik pedangnya. Mata pedang itu berkelip dalam cahaya pagi. Dia tidak pernah menggunakan pedangnitu seumur hidupnya; sekarang dia mengenggam erat pedangnitu.
“Ja-jadi kamu mau bertarung? Bagus, aku bantu!” sang gadis mengangkat tongkat deriknya dengan terhuyung.
Tentu saja tidak. “Bertarung?” sang pedagang berteriak. “Kita akan lari!”
Berpegangan erat pada tali pelana, dia memanjat dari bangku kusir naik ke punggung kuda. Kuda itu sama sekali tidak memperlambat lajunya, seekor binatang yang bagus.
“Aku akan memotong kargo kita! Ayo kesini!”
“Meninggalkan kargomu?! Kamu nggak bisa! Kita akan bertarung!!”
“Mereka Cuma goblin!” dia berteriak, namun sang pedaganh sama sekali tidak mendengarkan.
Sang gadis berdiri, mencoba untuk mencari pijakan pada kereta yang bergejolak. Salah satu goblin memanfaatkan kesempatan itu untuk melemparkan tombak mengarah sang gadis, yang di mana tongkat itu menancap di kargo. “Eep!” jeritan sang gadis.
“Kita harus merelakan keretanya! Kesini!”
“...! Baiklah... aku mengerti!”
Merupakan pemandangan menyedihkan: sang gadis berpaling dan merayap di atas kereta, berteriak dan terengah. Goblin di belakangnya, yang tertawa dan menyeringai, menambahkan hinaan pada luka.
Sang pedagang menoleh ke belakang dan melihat gadis itu dengan air mata di matanya, wajahnya memerah seraya dia menggigit bibirnya.
Tapi dia sudaah datang sejauh ini.
Dia menyelipkan pedang pada sabuk kuda, menggigit tali pelana di mulut, dan menjulurkan lengan kiri mengarah gadis itu.
“Cepatlah, gadis, kemari!”
“Ba-baik. Aku dat— Ahh?!”
Kemudian kereta mereka mengenai batu.
Kereta tidaklah berguncang hebat, hanya kesialan. Sangatlah sulit bagi seorang gadis yang tidak pernah berlatih fisik untuk bermanuver dalam keadaan seperti ini.
Sang gadis tidak dapat memahami dengan segera apa yang  telah terjadi; tangan sang gadis masih berusaha menjulur, mulutnya terbuka. Hampir terlihat luci akan bagaimana tubuh kecilnya dengan begitu mudah terlempar ke udara di atas kereta yang tidak stabil.
Aku jatuh.
Dia menghantam bumi dengan bokong dan bunyi gedebuk lantang dan kemudian berguling di atas tanah.
“Ahh, ugh, oww...!”
Sang pedagang, menoleh ke belakang, bimbang untuk beberapa saat, menggigit tali pelana pada mulutnya. Dia mengangkat pedang dan kemudian menghantamkannya pada sabuk kuda.
Satu serangan tidak cukup. Dua serangan, kemudian tiga akhirnya memotong pengencang kulit , membebaskan kuda.
“GOOBRR!!”
“GROBOG!”
“Hyaaaahhhh?!”
Sang pedagang dapat mendengar jeritan sang gadis.
Kenyataan bahwa sang pedagang menoleh ke belakanh seraya kuda berlari kencang ke depan adalah karena hatinya yang baik. Dia melihat gadis itu terjatuh di lumpur, terkepung oleh beberapa lusin goblin rider.
Di kejauhan, salah satu monster melompat, tombak di tangan, dan mengarah sang gadis. Sang gadis mengayunkan tongkatnya dengan gerakan melingkar, seperti anak kecil dengan sebuah batang kayu.
“Ap?! Henti— Ka— Kalian kira aku ini si— Hrgh?!”
Pedagang melihat sang gadis terkena sebuah pukulan di wajahnya. Dia mendengar suara tumpul, melihat sesuatu yang merah terbang. Pedagang mengetahui bahwa kecantikan paras gadis itu telah ternodai selamanya.
Sang goblin menjambak rambut gadis itu ketika rambut sang gadis terurai keluar dari topinya, dan sang goblin menekan sesuatu pada pipi gadis itu.
Tangan...?
“GOOBOBOB!”
“GROB! GGBORBG!”
Adalah semacam ranting kering yang tampak seperti tangan.
Sang gadis menggelengkan kepalanya lemah, tidak, tidak, namun mereka memaksa benda itu menghantam wajahnya.
Terdapat sesuatu yang seperti kilauan cahaya dari cakar tangannitu, tetapi sang pedagang tidak mempunyai waktu untuk memperhatikannya lagi. Dia melajukan kudanya menuju ibukota dengan kecepatan penuh.
Bagaimana lagi caranya agar dia dapat menolong gadis itu?
Apakah dia harus bertarung melawan para goblin seorang diri? Menyayat mereka dengan pedangnya? Dan jika dirinya sendiri mati, tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa gadis itu telah di culik.
Sang pedagang bukanlah pria pemberani, dan dia takut akan kematian. Namun bukanlah itu alasan mengapa dia melarikan diri. Tetap saja, ketika dia mencapai ibukota, dia merasakan sejentik penyesalan akan mengapa dia melarikan diri.
Bahkan, dia menyesali karena telah membiarkan gadis itu menumpang pada keretanya.
Karena yang menunggu pria itu di gerbang ketika dia telah sampai adalah sepupunya, wajah sepupu perempuannya benar-benar pucat pasi.
*****
Ketika dia mendengar semua ini, sang raja melemas di kursi takhta. Tampaknya dia telah menua beberapa tahun dalam sekejap.
Salah satu dari administratornya berbicara dengan tergesa. “Yang Mulia, bantuan pasti telah di berangkatkan dengan seg—“
“Adik perempuan sang raja telah melarikan diri dari kastil, melakukan tindakan pencurian kepada seorang priestess, dan tertangkap oleh goblin—dan kemudian prajurit baru di kirim?” Ucapan sang raja terdengar mengejek.
Sang administrator menelan kembali ucapannya, dia tersadarkan oleh keadaan yang telah terjadi ini.
Sang raja menekan keras dahi dengan tangannya, mencoba untuk menahan sakit kepala dan lelah. “Jangan bujuk aku menjadi orang bodoh untuk melibatkan militer untuk menghadapi goblin hanya karena keluarga yang di cintainya terlibat.”
Benar: mereka hanyalah goblin.
Hal ini tidak pernah berubah:  Pembasmian goblin akan dan selalu menjadi permasalahan sepele.
Di seberang perbatasan utara terdapat gerombolan makhluk buas dan babsrian, dan di selatan juga terdapat kekacauan. Setiap negara di sekitarnya telah memaksa sang raja untuk selalu siaga, menunggu kesempatan untuk menyusup, gelombang mata-mata datang dan pergi melewati perbatasan sang raja; dia tidak dapat melonggarkan penjagaannya untuk sesaat saja. Kultis jahat sedang berkembang, para pedagang terbesar selalu berusaha mengejar keuntungan, dan warga dari bbayang-bayang ibukota sangatlah banyak.
Dan di tengah semua ini, hanya goblin.
Mereka merupakan masalah sepele dan akan selalu seperti itu.
“...Tetapi, Yang Mulia,” sang kardinal berkata bimbang.
“Aku tahu,” sang raja berkata dengan lambaian tangan. “Jika permasalah buruknini terdengar oleh para prajurit saja, rumor akan langsung tersebar di tanah lain dalam sekejap. Ini adalah permasalah hidup dan mati untuk negara kita.”
Reputasi dan ketenaran lebih melindungi sebuah negara di bandingkan dengan dinding asal jadi. Semakin banyak orang yang berpikir kamu kuat, semakin kecil kemungkinan kamu akan di serang. Dan jika kamu tidak kuat, maka mengapa para penduduk akan repot-repot membayar pajak mereka?
“Terlebih lagi, nggak ada keluarga bangsawan yang akan meminang pemaisuri goblin untuk menjadi pengantin mereka, eh?” sang kapten dari penjaga kerajaan berkata dengan bisikan lantang. Archbishop—Sword Maiden—dan pedagang wanita saling memberikan tatapan tajam mengarah sang kapten. Tetapi tampaknya sang kapten tidak menyadari itu, sebuah seringai besar melebar di wajahnha. “Tapi aku, aku berbeda. Aku nggak akan keberatan.”
Sang raja menghela. “...Petualang yang dapat di percaya. Saat ini hanya itu harapan kita.”
“Setuju,” Ucap petualang tingkat gold berwajah anjing dengan anggukan.
Momen seperti inilah asalan mengapa dirinya berada di sini.
Setelah sang raja membalas mengangguk, petualang tingkat gold membuka sebuah peta di atas meja dengan tangan pendeknya. “Permasalahannya adalah lokasi musuh,” dia berkata, menunjuk peta dengan jari gemuknya. “Di mana kamu bilang kamu di serang?”
“Di utara. Dalam perjalanan menuju gunung suci...” sang pedagang menjulurkan lehernya untuk mengingat ingatan buramnya seraya dia menunjuk peta. “...Sepertinya di sekitar sini.”
Kardinal, mage hakim, dan peneliti yang berkumpul saling bertukar pandang.
“...Apa mungkin ini ada hubungannya dengan batu api dari surga?”
“Entahlah. Mungkin.., Yah, tapi...”
Bisikan-bisikan pecah dan tersebar di sekitar ruangan.
Adalah mustahil untuk mengetahui kapan dan dari mana bahaya di dunia akan muncul. Apakah dunia akan kembali di guncang oleh bencana di karenakan batu ini yang konon jatuh dari langit di atas gunung? Apakah tindakan permaisuri, dan takdirnya, merupakan benih dari Kekacauan...?
Akan tetapi, petualang tingkat gold, menghiraukan setiap bisikan dan berkata kepada sang kapten.
“Apa kamu ingat ada sesuatu di sekitar sana yang menyerupai sarang goblin?”
“Aku nggak begitu yakin... karena bajingan-bajingan itu bisa hidup di mana saja.”
Mereka berdua mempelajari peta dengan muram, berpikir secepat yang mereka bisa.
“Da-dan serigala! Mereka menunggangi serigala...”
“Ya, ya. Aku mendengarmu. Goblin rider bukanlah sesuatu yang istimewa. Permasalahan utamanya adalah sarang mereka. Kita harus—“
mencari sarang mereka, sang petualang hendak berkata kepada sang pedagang.
“Dungeon Kematian.”
Kalimat itu seperti batu yang di lempar di atas kolam; keheningan menyebar seperti riak melintasi ruangan. Orang-orang yang duduk di sekitar meja bundar saling bertukar pandang, dan kemudian mereka menoleh kepada seseorang.
Orang itu duduk pada kursinya, tersenyum, tidak sedikitpun terintimidasi. Dia memiliki hawa seorang wanita yang bersantai di atas ranjang seraya dia menunggu suaminya, dan tentunya lebih dari satu pria yang berpikir kagum pada wanita itu.
“...Apa kamu menerima wahyu?” sang raja bertanya.
“Anggap saja inspirasi,” Sword Maiden berkata pelan.
“Itu nama yang sudah lama tidak ku dengar.”
Sebuah dungeon yang berada di pelosok ujung Utara, di dekat gunung suci—dungeon terdalam di antara semuanya, Dungeon Kematian.
Sepuluh tahun sebelumnya, tempat itu juga merupakan tempat pertarungan antara kerumunan petualang dan demon tingkat tinggi.
Sebuah kota telah di bangun atasnya, dan penggalian telah di lakukan dalam jangka waktu yang lama. Banyak orang yang mengincar kepala demon tingkat tinggi itu yang menunggu di tingkat sepuluh ruangan paling bawah, namun tidak satupun dari mereka yang kembali.
Sang kardinal dan kapten mengernyit, dan petualang tingkat Gold menelan liurnya. Itu adalah lubang sihir di mana seseorang akan dapat dengan mudah kehilangan jiwanya, dan tidak satupun dari mereka yang ingin mengetes kemampuan diri mereka sendiri untuk masuk ke dalamnya. Awan-awan rasa takut mengambang di atad mereka, sebuah dungeon tak tertembus di mana tak seorangpun kembali.
“Labirin itu satu-satunya tempat di utara di mana para goblin akan tinggal...” Apa ada seseorang yang mendengar getaran dalam suara Sword Maiden seraya dia membisikan kalimat itu? Apa ada seseorang yang melihat getaran halus pada kain di matanya?
Sebuah dungeon, goblin, wanita yang di culik dan takdir yang menunggu wanita itu.
Apa ada seseorang yang menyadari bahwa Sword Maiden sedang menggigit bibirnya untuk mencegah giginya bergetar...?
“Petualang tersohor akan kebijaksanaan, kecermatan, dan kepercayaan, yang pantas untuk menelusuri dungeon terdalam itu.” Penasehat tua berkata. “Bukankah ini waktunya untuk memanggil jasa pahlawan besar itu, Sword Maiden yang terhormat?”
Sword Maiden meremas pedang dan timbangan dengan erat di tangannya.
Terdengar sebuah teriakan menyetujui dari seseorang di kerumunan. “Ide bagus,” seseorang lainnya menyetujui.
Bahkan di antara petualang tingkat Gold, Sword Maiden sangatlah spesial. Dia adalah salah satu penerima quest yang telah mencapai titik terdalam dari dungeon terdaalam, mengalahkan demon tingkat tinggi, dan kembali pulang untuk menceritakan kidahnya.
Dengan seseorang yang bertajuk “All-Stars” bertsrung bersama mereka, tidak ada yang perlu di khawatirkan.
Lagipula, mereka akan mengadu pahlawan besar ini dengan hanya para goblin!
“Oh...”
Sword Maiden membuka mulutnya hendak berucaap sesuatu, namun tidak ada kata yang keluar. Dia dapat menghirup udara masuk, namun dia tidak dapat mengeluarkannya.
Apa yang mungkin dia ingin coba katakan? Dia memeluk pundaknya sendiri yang gemetar, mendekap dada besarnya.
Saya tidak akan pergi. Saya takut. Maafkan saya. Hal seperti itu tentunya tidak dapat dia katakan.
Tolong aku, ku mohon. Kata yang mustahil untuk di ucapkannya.
Dia adalah priestess terkemuka di keseluruhan negara. Bagaimana mungkin dia takut akan goblin?
“Dan aku tidak bisa meminta dia untuk pergi...”
Sang raja tampak penuh pikiran. Sword Maiden mengetahui bahwa dia tidak mempunyai waktu. Kemudian mulut akan sang raja kembali terbuka.
Kalimat pertamanya adalah: “Bagaimana menurutmu, archbishop?” Sang raja sama sekali tidak memahami apapun.
Kemudian dia melanjutkan: “Apa kamu berkenan untuk melakukan ini demi aku? Ku mohon.” Akan menjadi hukuman mati bagi wanita itu.
Sword Maiden, ketakutan, tertegun seperti gadis kecil yang terkaget.
Namun dia menyandarkan punggung pada  kursi. Dia ingin berlari dari posisinya dan tatapan yang berada di sekitarnya, namun dia tidak dapat berlari kemanapun.
“Bagaimana, archbishop?”
Pedang eksekutor di angkat tinggi...
“....Ahem.”
Pedang itu di sambut oleh satu suara kecil.
“Ap...?”
Dia tidak dapat mempercayainya. Sword Maiden, keseluruhan tubuhnya tegang, memutar mata tersembunyinya menuju suara itu.
Seseorang wanita mengangkat tangannya tanpa takut: sang pedagang wanita, yang menghilang di tengah diskusi sekarang telah muncul kembali.
“Lancang!” penasehat tua berteriak, namun sang raja mendiamkannya dengan lambaian tangan dan berkata, “Tidak apa-apa.”
Sang raja sepertinya merasa tertarik dengan gadis ini—atau, paling tidak, dengan apa yang akan di ucapkannya. “Ada apa?” sang raja bertanya.
“...Pengawal archbishop yang terhormat, meminta untuk masuk ke ruangan.”
“Kami sedang rapat.”
“...Dia merupakan petualang tingkat Silver.”
Sang pedagang mengambil sebuah langkah sebelum penasehat tua dapat menolak lebih lanjut. Tanpa menunggu respon dari raja, wanita itu membuka pintu menuju ruangan berikutnya. Di samping pintu berdiri pelayan berambut silver yang menggelengkan kepalanya lelah.
“Aku sudah mendengar situasinya.
Suara itu datar, dingin, seperti angin yang berhembus di bawah tanah.
Dia mendekat tanpa ragu, dengan langkah sigapnya.
Di sampingnya terdapat seorang archer dari bangsa elf, telinganya mengepak bangga.
Di sisi lainnya adalah seorang gadis, masih muda dan tersenyum pasrah seolah dia menyerah untuk menahan pria ini.
Di belakangnya datang seorang shaman dari bangsa dwarf, terlihat lelah, dan seorang lizardman tinggi yang tampak terhibur dengan semua ini.
Mereka sebuah regu. Mereka menggunakan perlengkapan yang tidak serasi, seperti preman yang dapat kalian temukan di penjuru dunia.
Akan tetapi, semua orang di ruangan, memperhatikan dengan seksama petualang ini.
Dia menggunakan armor kulit kotor dan helm baja yang terlihat murahan. Pada pinggulnya adalah sebuah pedang dengan kepanjangan yang tidak biasa, dan sebuah perisai bundar terikat di lengannya.
Bahkan petualang pemula sekalipun memiliki perlengkapan yang lebih baik dari ini.
Namun kalung peringkat yang menggantung di lehernya sama sekali tidak dapat di pungkiri: dia adalah Silver, peringkat ketiga, tingkat tertinggi bagi mereka yang bekerja secara independen.
“Aku sudah tahu kalau itu goblin.”
Tanpa pikir panjang, Sword Maiden berdiri dari kursinya. Pedang dan timbangan terjatuh dari tangannya, namun dia tampak tidak menyadari itu.
“Benar,” datang jawaban lembut dari pedagang wanita—Noble Fencer, yang dulunya juga merupakan petualang. Rambut pendeknya mencapai pundak; dia mengibaskannya dan melihat kepada Sword Maiden.
“Aku akan pergi. Di mana mereka? Berapa banyak?”
Sword Maiden mengangguk, merasa dirinya akan terjatuh detik ini juga.
Lagi dan lagi dia mengangguk, lagi dan lagi.