KOTA PETUALANG
(Translator : Zerard)

Setelah mereka melewati tiga gerbang besar, party mereka telah masuk ke dalam keramaiann padat.
Hal pertama yang mereka lihat adalah lahan cocok tanam, kemungkinan berusia lebih tua di banding dinding kastil. Sebuah terowongan air panjang terhubung ke sebuah bangunan yang mengepulkan asap.
Pemandangan idilis ini, sangat begitu menonjol bersamaan dengan keramaian orang-orang.
Tidak lama kemudian jalanan berubah menjadi batu ubin dan kota kuno. Khalayak berjalan di jalanan begitu cepat bagaikan banjir. Suara bisikan dan sendal di jalan bercampur hingga hampir terdengar musikal.
“Ap-apa kamu yakin nggak ada festival...?” Priestess bertanya, matanya berputar-putar.
High Elf Archer tertawa kecil dan menjentikkan telinga. “Memang seperti ini biasanya,” dia berkata. “Kota manusia itu selalu sibuk, aku sudah terbiasa sekarang.” Kemudian dia tersentak gundah. “Tapi aku akui... Tempat ini lebih padat dari kebanyakan kota lainnya.”
Dia benar akan hal itu. Terdapat sama banyaknya orang yang berada di luar gerbang dan di dalam. Orang-orang berjalan di atas jalan; menggunakan pakaian terkini, mereka membuat jalanan terlihat seperti sungai kaya akan warna.
Berdiri di kedua sisi jalanan batu ubin adalah sebuah bangunan, bangunan yang telah berada di sana sejak dahulu kala dan baru-baru ini, atau terkadang bangunan yang di perbaharui ulang. Ibukota tidak memiliki langit-langit, namun kekacauan di jalanan hingga mencapai kastil membuatnya sedikit terasa seperti sebuah dungeon. Mungkin kota yang berumur seribu tahun tidaklah begitu berbeda dengan reruntuhan-reruntuhan kuno itu.
“Hei, tuan dan nona. Bagaimana jika saya membantu kalian menunjukkan jalan di sini?” seorang pria, membungkuk di makan usia, mendatangi mereka dengan lentera di tangan.
Banyak kota besar yang mempunyai pemandu seperti dia. Murid-murid yang mempelajari sihir membantu menerangi lampu jalanan kota, namun banyak jalan-jalan kecil yang masih gelap gulita.
“Kami ngggak mempunyai masalah untuk melihat di dalam kegelapan,” Goblin Slayer menjawab sebelum Priestess dapat berkata apapun.
Pria itu berkedip dan kemudian melihay sang elf, dwarf dan lizardman. “Kurasa kamu benar,” dia berkata dengan tawaan. “Maafkan aku. Kalau kamu membutuhkanku, panggil aku kapan saja...”
Kemudian, masih tersenyum ramah, pria tua itu masuk ke dalam kegelapan.
“Sangat merepotkan jadi manusia ya? Kalian bahkan nggak bisa melihat di tempat gelap.” Opini High Elf Archer seraya dia memperhatikan pria itu pergi. “Aku penasaran apa yang terjadi kalau pak tua itu nggak dapat pelanggan.”
“Pastinya bangkrut, aku jamin.” Dwarf Shaman berkata memahami, terlihat sangat tertarik. “Nggak ada gunanya kamu bisa melihat di kegelapan kalau kamu nggak tahu kemana harus pergi.”
Lizard Priest melihat sekitar, memperhatikan kota tua berumur seribu tahun seraya dia menjalankan kereta di iringi dengan decitan roda. Jika begitu, nyonya archbishop. Apa yang hendak anda lakukan sekarang?”
“Pertanyaan bagus,” Sword Maiden berkata penasaran dari dalam kereta. “Saya ingin kalian membawa saya menuju kuil, tetapi apa kalian pernah ke ibukota sebelumnya?”
“Sungguh memilukan di hati saya, tetapi saya harus mengakui bahwa ini adalah kali pertamanya bagi saya.” Lizard Priest memutar mata di kepala dan membuka rahangnya girang. “Dan saya rasa, begitu juga untuk semuanya di dalam party kami.”
“Jika begitu apakah kamu berkenan mengarahkan kereta di tempat saya arahkan?” Sword Maiden terdengar senang.
Dari samping, acolyte Sword Maiden berkata menegur, “Nyonya archbishop, kamu tidak perlu merendahkan dirimu sendiri untuk memberikan—“
Bibir mempesona Sword Maiden berubah menjadi senyuman. “Banyak jalanan di sekitar sini yang mempunyai nama, namun begitu sedikit tanda yang menunjukkan nama-nama itu.” Tempat ini bukan di bangun untuk pengelana. Dia tertawa kecil. Suara itu berasa dari suatu tempat di tenggorokannya. “Setidaknya saya bisa menjadi pemandu mereka—setidaknya itu sesuatu.”
Para petualanh berjalan santai beriringan dengan kereta di atas decak roda jalanan. Tampaknya mereka tidak akan tersesat jika mengikuti arahan dari Sword Maiden yang buta.
Adalah senja, langit mukai menjadi ungu, dan keramaian ibukota semakin padat. Dengan adanya kereta bersama mereka telah membuat mereka dapat berjalan di tengah jalan, jika tidak, maka mereka akan terseret di dalam keramaian. Penduduk ibukota berjalan seolah seperti mereka memiliki tempat ini—masuk akal—namun para pengembara juga tidak mempedulikan orang-orang itu.
Melimpahnya bangunan dan dinding yang mengelilingi membuat hawa terasa bombastis, dan matahari bahkan hampir tidak dapat menyinari jalanan. Rasanya seperti, jika kamu tersesat di kegelapan, maka kamu tidak akan dapat menemukan jalanmu kembali. 
Tetapi...
Seraya mereka memperhatikan sekitar mereka melihat asap dari tungku pembakaran yang mengepul dari dalam rumah di sini dan di sana; aromanya seperti makan malam yang sedang di siapkan. Mereka melihat pria-pria pulang dari pekerjaan dan menuju tempat untuk minum dan bersenang-senang. Para wanita mencoba untuk menarik perhatian pria ke dalam hunian mereka.
Beberapa pria tua, yang minum lebih awal, sedang duduk di atas bangku di dekat sebuah bangunan, sedang melakukan semacam kompetisi. Sosok metal akan seorang pendekar di letakkan di atas papan kotak, dan mereka menggerakkan mereka dengan permainan kartu.
Beberapa anak kecil melihat mereka bermain, dan melakukan permainan mereka sendiri di pinggir jalan denggan teriakan dan sorak-sorai. Mereka menggambar sebuah lingkaran kecil di atas tanah sebagai pengganti papan, menggunakan batu sebagai tank. Mereka menggerakkan batu-batu itu berdasarkan nomer kartu mereka; terdengar beberapa teriakan akan “Hidup sang Raja!” yang tampaknya membuat semua orang harus meneriakkannya.
Namun waktu adalah waktu. Ibu-ibu memanggil anak mereka dan para anak kecil menjawab dengan “Aww!” dan pergi pulang.
Para pria tua memperhatikan anak-anak kecil itu pulang, menyeringai sendiri, dan memulai permainan lain.
Dengan mengambil lima bidak,  mereka dapat membuat seseorang mentraktir mereka untuk minum—oleh karena itu, masing-masing dari mereka bersikukuh ingin menang.
Sementara itu, seorang hawker, memegang kristal bulat mengkilap, mengatakan bshwa mereka berasal dari negara lain.
Indahnya suryanika yang berlangsung membuat para pria berpergian untuk minum, dan helm metal pria mengamati mereka dengan seksama.
“...”
Priestess menyipitkan mata, entah mengapa merasa senang. Dia menyukai aroma akan khalayak yang sibuk akan pekkerjaan mereka. Aroma yang mengambang di udara di antara ketika matahari mulai terbenam dan ketika matahari telah menghilang seutuhnya. Entah itu desa mmaupun kota, atau bahkan ibukota itu sendiri, semua selalu seperti ini.
Dia dalam hati Priestess, dia menawarkan sebuah skriptur doa kepada Ibunda Bumi; langkahnya begitu ringan seraya mereka pergi menuju kuil.
Adalah kali pertama dia pergi ke ibukota. Dia tidak serta-merta terpikat, namun bukan berarti dia tidak menyukainya juga.
Dan kemudian, seraya dia melihat di sekitar sini dan sana, dia mendapati perhatiannya tertuju pada satu hal khusus: murid-murid, memegang tongkat panjang dan berpakaian jubah hitam seraya mereka berkeliling kota menyalakan lentera.
Priestess berkedip dan menggigit bibir dan kemudian bergegas mengejar partynya.
*****
Kuil—aula sembah akan Supreme God, yang menguasai Ketertiban dan Kekacauan—berdiri tepat di bagian kota yang sama dengan rumah sembah lainnya. Tentunya kuil ini lebih megah di banding kul Ibunda Bumi di kota perbatasan, namun tidak dapat di bandingkan dengan kuil Supreme God di kota air.
Kuil ini sudah pasti besar, dan terdapat banyak pengunjung, keramaian orang yang datang untuk mencari keadilan. Akan tetapi bangunan ini hampir tidak memiliki dekorasi. Hanya dinding putih, atap lancip, dan lambang akan pedang dan timbangan...hanya itu saja. Kesederhanaan dalam sebuah arsitektur terdengar cukup bagus, namun kenyataannya semua itu terlihat begitu hambar.
“Dalam ibukota, ini hanyalah satu dari sekian kuil yang ada,” Sword Maiden memberitahu mereka.
“Begitukah?” High Elf Archer bergumam. “Aku yakin Pahlawan besar dewa akan dapat kuil khusus yang bagus.”
“Yah, bahkan kediaman saya sendiri di kota air.”
Kereta berhenti, dan pengikut Sword Maiden membantu nyonyanya turun ke jalanan batu ubin. Walaupun dia menggunakan pedang dan timbangan layaknya sebuah tongkat, masihlah sangat mengagumkan melihat wanita itu turun tanpa sedikitpun hilang keseimbangan.
“Nyonya archbishop!”
“Terima kasih telah datang kemari nyonya—selamat datang di kuil kami!”
Beberapa acolyte, kemungkinan terpanggil di karenakan suara kereta, muncul dari dalam kuil. Satu seorang laki-laki dan satu seorang gadis, namun kedua mata mereka berkilau seolah mereka bertemu dengan pahlawan mereka.
“Terima kasih,” Sword Maiden berkata, tersenyum kepada mereka.
Lizard Priest menyerahkan tali pelana kepada acolyte seraya dia memanjat turun dari kursi kusir. “Sekarang, saatnya mengambil bagasi kita... Kira-kira apa yang akan kita lakukan tentang penginapan.”
“Jika kalian tidak mempunyai tempat untuk tinggal, maka jangan sungkan, tinggalah di kuil.”
Pengikut Sword Maiden tengah menarik turun bagasi miliknya, terengah-engah di karenakan beban. Lizard Priest mengambil kargo itu dari dia dan dengan perlahan meletakkannya di lantai.
“Wah!” dia berteriak, matanya melebar, namun dia menyipitkannya kembali dan berkata, “Terima kasih banyak.”
“Kami mempunyai beberapa ruangan. Saya mohon, Jangan sungkan.”
“Hmm. Sungguh tidak sopan bagi saya untuk menolak keramah-tamahan anda.”
Priestess sedang bertukar salam dengan para acolyte. High Elf Archer melompat turun dari atas kereta dengan anggun. “Aku setuju. Kalau kita nggak dapat royal suite di manapun, maka nggak akan ada bedanya di manapun kita tinggal.”
“Anggap saja sejenis hadiah. Aku setuju saja—tapi, bagaimana menurutmu Beardcutter?” Dwarf Shaman membelai jenggot putih dan melirik pada matahari yang terbenam. “Kamu bisa lihat ini sudah mulai larut. Perkiraanku kebanyakan penginapan di sekitar sini sudah penuh.”
“Aku nggak keberatan.” Goblin Slayer berkata pendek. Kemudian dia menambahkan, “Aku nggak punya alasan untuk menolaknya.”
Sword Maiden meremas pedang dan timbangan lebih erat ke dadanya. Hanya pengikutnya yang menyadari, dan gadis itu menghela dengan campuran lelah dan terhibur.
“Tapi, ada sesuatu yang mau aku selidik. Apa kamj punya perpustakaan atau semacamnya?”
“Kami punya,” Sword Maiden berkata, hampir seperti terkesiap. Sword Maiden berkata dengan begitu cepat ketika pria itu mengatakan perpustakaan atau semacamnya. “Saya akan menunjukkannya kepadamu dengan segera. Otoritas saya seharusnya sudah cukup untuk memberikanmu akses—“
“Apa kamu nggak pernah mendengar ucapan ‘senang-senang sebelum kerja’? Ayo taruh tas kita dulu dan cari sesuatu untuk di makan!” Dwarf Shaman melambaikam tangan gemuknya.
“Tapi kamu baru saja makan!” High Elf Archer menyela.
“Yah, para rhea memang membuatku kelihatan ugahari,” Dwarf Shaman berkata. “Gimana denganmu Scaly?”  (TL Note : saya g paham maksud si dwarf di sini.) 
“Saya percaya bahwa ini adalah waktu yang tepat bagi saya untuk mencari sebongkah daging lezat,” Lizard Priest menjawab, menggerakkan rahang dan mengelus perut dengan satu tangan bersisiknya. “Jika terkandung keju di atasnya, maka akan menjadi jauh lebih nikmat.”
“...Kalau begitu, setelah kamu kembali saja…”
“Ya seperti itu saja. Ya, begitu saja.” Sword Maiden bergumam di bawah bapasnya, seolah ingin memastikan untuk dirinya sendiri
Goblin Slayer hanya berkata, “Ya, tolong,” Dan kemudian helm metalnya berputar mengarah Priestess. “Apa kamu nggak masalah?”
“Oh iya, uh…” Telah selesai berbicara dengan para acolytes, yang berumur sama dengannya, Priestess memegang tongkat dengan kedua tangan dan terlihat tidak pasti. “Ad-ada tempat yang ingin aku kunjungi…”
“Wah, tumben.” Dwarf Shaman berkata, matanya melebar di balik alisnya. Adalah sesuatu yang janggal bagi gadis ini, yang sering terlihat begitu muda, namun begitu serius, untuk mengatakan hal semacam itu. “Kamu tahu jalannya?”
“Aku tahu. Alamatnya… Yah, jalan ke sana…mereka baru saja kasih tahu aku.” Suaranya terdengar ragu seraya dia menoleh mengarah para acolyte, yang sekarang telah menghilang. “…Kalau kamu nggak mengijinkanku, aku mengerti kok.”
Helm kotor Goblin Slayer tidak bergerak di hadapan tatapan memohon Priestess. Terdengar sebuah dengusan di balik pelindung kepala tak berekspresinya. “Berjalan sendirian itu berbahaya.”
High Elf Archer memberikan helaan lelah; pria itu membuat ini semua terdengar seperti Priestess akan berjalan masuk ke dalam dungeon.
“Aku ikut dengannya kalau begitu,” High Elf Archer berkata. “Seharusnya nggak apa-apa kalau kita bersama kan?”
Lizard Priest mengangguk kepada elf seraya gadis itu mengangkat tangannya. “Jika begitu kita akan membagi regu kita menjadi dua atau tiga.”
“Okelah. Kedengarannya bagus Beardcutter?”
Goblin Slayer memperhatikan Priestess, yang masih menatap kepada dirinya, dan High Elf Archer, dengan dada kecil yang di busungkan. “Aku nggak keberatan,” dia berkata pendek. Kemudian dia menambahkan. “Aku nggak punya alasan untuk menolaknya.”
“Aku dah capek dengar itu dari tadi,” Dwarf Shaman menggerutu, namun kemudian dia menggosok kedua tangan dan tersenyum. “Jadi, nyonya archbishop. Ada restoran lezat tertentu yang bisa kamu rekomendasikan?”
Sword Maiden mendekat pedang dan timbangan lebih erat ke dadanya.
*****
Pada akhirnya mereka berujung di Golden Knight, sebuah rumah makan yang telah ada semenjak berdirinya Guild Petualang.
Akan tetapi, di ibukota, kata rumah makan mencakup beberapa tipe tempat yang berbeda. Terdapat bar the dan rumah makan yang sebenarnya, kios makanan dan kantin.
Tetapi Golden Knight adalah yang paling ramai di antara semuanya.
Di saat pintu terbuka, para pengujung akan di sambut dengan gelombang suara. Seorang gadis ranger dan seorang warrior dengan armor berat sedang berdebat akan sesuatu; seorang fighter ala timur dan seorang adis thief sedang memperhatikan mereka.
Di sudut lainnya, seorang bocah pembaca mantra—dia tampak seperti pemula-meneguk anggur seraya anggota partynya mengelilingi dan menggodanya.
Satu party yang terdiri dari beberapa warrior manusia namun juga terdapat seorang warrior padfoot, rhea pembaca mantra, dan ranger cantik di antaranya.
Seorang wizard wanita sedang menikmati makanan dengan beberapa petualang yang tampaknya adalah murid wanita itu, mereka membanjiri wanita itu dengan seruan mengahumi akan “Guru, guru!”
Terdapat sebuah meja dengan seorang mage gemuk dan seorang wanita obat. Mereka menyambut seorang knight dengan armor dan helm serta seorang fighter wanita yang baru saja datang; keduan orang yang terlambat tersebut mengangkat gelas mereka di saat mereka tiba…
Tidak di ragukan lagi bahwa pemandangan seperti ini selalu terulang-ulang tanpa akhir di segala penjuru dunia, semenjak orang-orang yang bertajuk petualang telah mulai muncul. Seseorang tentu dapat menduganya dari tempat ini yang sudah memiliki sejarah dengan para petualang tepat di saat Guild pertama terbentuk.
Jumlah orang yang mencari petualang telah meningkat secara drastic, namun sejauh ini, tempat ini masihlah menjadi tempat pertemuan dan perpisahan.
Dinding-dinding di penuh dengan berbagai macam poster dari orang-orang yang mencari party, dan juga party yang mencari anggota yang mereka butuhkan.
Di sebuah meja di sudut terdapat seorang pria muda, tampaknya seorang pemula, terdapat campuran harapan dan kegembiraan dan ketakutan pada wajahnya. Dia pasti sedang mendambakan pertemuan takdir atau petualang yang melegendaris.
Akan tetapi, impiannya, tidak akan terwujud.
Armor dan pedang baru, keduanya mengkilap; kepalanya yang tidak berhelm, semua menandakan bahwa dirinya adalah seoranng novice warrior. Jika dia mengetahui beberapa sihir, maka itu akan menjadi hal yang berbeda, namun jika tidak, maka kemungkinan dia hanya akan duduk berpangku tangan sepanjang hari.
Dia harus menyerah dan mendatangi seseorang secara langsung, atau memutuskan untuk pergi sendiri…
Apapun yang dia pilih, adalah dia yang harus membuat gerakan pertama. Dan jika dia tidak memiliki keberanian untuk itu, yah, dia tidak akan dapat bertahan lama bertahan hidup sebagai petualang.
Di sudut lainnya, beberapa meja tengah di susun dan beberapa pengujung rumah makan sedang berseru dan menggerutu pada sebuah permainan dadu. Ini bukanlah permainan yang di mainkan oleh tetua dan anak-anak di pinggir jalan; ini adalah serius; dengan uang sebagai taruhannya.
Pada dinding di dekatnya, sekeping dadu rusak telah di tusuk layaknya tubuh seorang criminal; tampaknya terdapat sebuah pemberat di dalamnya, dan di pamerkan agar semua orang dapat melihatnya.
“Ahh, itu kecurangan anak-anak sekolah,” Dwarf Shaman berkata seraya dia duduk pada salah satu kursi nyaman dekat perapian. “Profesional itu memakai air raksa. Membuat mereka bisa memilih ke arah mana dadunya berguling.” Dia menggosok kedua jarinya bersama, menikmati aroma yang mengambang dari makanan di depannya.
Mungkin bukanlah mengada-ngada jika presentasi adalah segalanya. Atau mungkin dia hanya bermaksud untuk menggunakan seluruh indranya dengan maksimal.
Terdapat telur rebus yang telah di masak dengan di kubur di dalam abu api, dan sebuah saus akan kuning telur, minyak dan lemon. Terdapat sebuah sate yang di masak dalam yang di masak di dalam tungku besar, di sirami dengan banyak kubis dan sepek. Sedangkan untuk hidangan utama, terdapat sebuah bubur saus ikan kakap merah di cambur dengan jeroan ayam itik. Dan akhirnya, bebek di goreng dengan saus kuning telur, minyak, dan lemon yang sama.
Untuk menu penutup, terdapat anggur madu, prem dan apel…
Mata Dwarf Shaman menatap bahagia akan hidangan ini. Dia bahkan hampir tidak mengetahui kemana harus melihat.
“Maksudku, itu sudah di setel. Bah, biarkan saja para rhea repot-repot seperti itu Cuma demi dadu.”
“Dan kemudian terdapat para pengikut akan dewa perdagangan, yang menggunakan mantra Luck untuk mengubah hasil,” Lizard Priest berkata, menjilat ujung hidungnya. “Namun lemparan tetaplah lemparan. Tidak satupun dari Takdir maupun Kemungkinan yang dapat mengubah apapun ketika dadu telah berhenti.” Tatapannya terpaku pada sebongkah kambing keju.
Dwarf Shaman memperhatikan teman bersisiknya dan tertawa. “Mereka bilang bahkan dewa sekalipun nggak akan bisa merubah hasil yang di tentukan dadu.”
Empat orang bersorak; seorang healer dan pembaca mantra, seorang paladin dan thief. Tampaknya merayakan kekalahan akan demon dan keberhasilan sebuah petualangan. Dwarf Shaman mengangkat gelas mengarah mereka dan kemudian menghabiskannya untuk mengakui pencapaian mereka.
“Aku akui, aku terkesan dengan archbishop cantik kita karena mengetahui tempat seperti ini.”
“Beliau sendiri adalah seorang petualang dahulu kala, atau seperti itulah yang saya dengar.” Lizard Priest berkata serius, memeriksa keju dengan begitu seksama seolah dia sedang memeriksa kondisi perlengakapannya. “Pada kala itu, tampaknya sang pemilik telah berpindah dari ibukota menuju bagian utara.”
“Huh,” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggot putihnya. “Kalau begitu, seharusnya itu kurang lebih sepuluh tahun lalu.”
“Walaupun begitu,” Lizard Priest menjawab dengan anggukkan pelan. Leher panjang miliknya membuat dia tampak lebih seperti menatap pada masa lalu.
Hmm… Sudah seberapa lama Scaly?
Sangatlah sulit untuk menerka umur Dwarf Shaman jika di lihat dari penampilannya, begitu pula untuk Lizard Priest. Namun jika dia mengetahui apa yang terjadi pada pertarungan satu decade lalu…
Akan tetapi, pada saat itu, pikiran Dwarf Shaman telah terusik oleh satu suara.
“Selamat sore bapak-bapak. Kalian berasal dari mana?”
Mereka mendengak untuk melihat sesorang pria dengan instrumen petik di tangan—seorang bard atau semacam penghibur.—berdiri dan tersenyum ramah kepada mereka. Lizard Priest membuat sebuah gerakan kedua tangannya mengarah pria itu, yang di mana pria itu sama sekali tidak menunjukkan rasa khawatirnya setelah melihat seorang lizardman.
“Kami berasal dari perbatasan barat,” Lizard Priest berkata.
“Begitu—barat, bagus, bagus sekali.”
Kemudian sang penghibur, yang tampaknya mempunyai sebuah ide di pikirannya, menghilang ke dalam keramaian rumah makan…

Selamanya namanya akan di kenang:

Sword Maiden, kesayangan Dewa

Engkau, Enam emas, satu perawan suci:

Dengan timbangan, pedang tajam di tangan, menjadi

Semua mengutarakan betapa besar cinta mereka kepadanya

Doa engkau menurunkan keajaiban

Di antara enam dewa, dia menjauhkan dirinya sendiri

Untuk bertarung dengan Demon Lord itu sendiri

Dan sekarang para monster telah berada di atas bara

Engkau menjaga hukum dengan api membara

Selamanya namanya akan di kenang:

Sword Maiden, kesayangan dewa

Alunan kuat menembus percakapan di rumah makan. Senandung itu menceritakan kisah akan banyak petualang yang telah mengalahkan badai akan Kematian yang menerpa dari utara sepuluh tahun yang lalu. Begitu banyak veteran yang telah berkumpul di benteng utara untuk menantang dungeon yang berada di sana, namun dungeon tersebut telah menelan mereka; mereka menghilang selamanya.
Hanya enam orang yang berhasil mencapai tujuan yang telah lama di dambakan. Beberapa orang bahkan menganggap mereka sebagai Enam Pahlawan, atau sederhananya All Stars…
Apapun sebutannya, mereka bukanlah legenda, namun pahlawan sesungguhnya yang muncul dalam sejarah.
“Aku mengerti. Dia berharap para pengelana akan membayar dia atas lagu dari kampong kita yang di a nyanyikan.”
Cerdas,” Lizard Priest bergumam dan meletakkan beberapa koin di atas meja untuk sang penyair ambil saat dia datang kembali.
“…Jadi maksudmu setelah pertarungan sudah mereda, Golden Knight kembali ke ibukota juga/”
Artinya pemilik tempat ini pasti mengenal archbishop sebaik kami, atau mungkin lebih.
Dwarf Shaman melirik tertarik mengarah penjaga bar dan bersendawa, napasnya berbau alkohol
“Dan kamu Beardcutter—kamu kelihatan khawatir atau gimana gitu.”
“…” Goblin Slayer tidak segera menjawab. Dia mengambil sebuah sater, mencampurnya di dalam sendoknya sebelum memasukkannya ke dalam celah helm.
Kubis dan sepek terlumuri dengan krim. Goblin Slayer memiringkan kepalanya penasaran.
Rasanya persis seperti rebusan yang dia makan di rumah.
“Kamu bisa tahu?” dia bertanya.
“Kurang lebih,” Dwarf Shaman mendengus, menuangkan banyak anggur untuk dirinya sendiri. “Sudah satu tahun semenjak party ini terbentuk. Kalau rata-rata manusia hidup lima puluh tahun, kita sudah bekerja bersama selama satu per limapuluh dari kehidupanmu.”
“Itu bukan sesuatu yang bisa di remehkan.” Dwarf Shaman mengutarakan maksudnya dengan meneguk anggur. Dia mengelap beberapa tetes dari kumisnya dan kemudian mengambil daging paha angsa, menggigit besar daging itu.
Goblin Slayer memperhatikan dwarf dengan seksama seraya dirinya sendiri minum dan makan.
“…Kita nggak ada fokus untuk membasmi goblin akhir-akhir ini.”
“Petualangan laut, kemudian pekerjaan mengawal—walaupun kita memang di sergap kala itu. Anda benar,” Lizard Priest berkata, mengangguk seraya dengan riang dia mengambil sebuah keju.
Dwarf Shaman tertawa dan melambaikan tangan; alih-alih memotong sekeping keju, Lizard Priest dengan santai mengambil keseluruhan bongkah keju untuk dirinya sendiri. “Madu manis!” dia berteriak, menepuk ekor pada lantai.
Dwarf Shaman menghisap tulang hingga bersih, menjilat jarinya, mengelap mulutnya, dan kemudian mengambil daging berikutnya.
“Tapi itu menyenangkan.”
Mereka berdua berhenti.
Dwarf Shaman dan Lizard Priest meletakkan masing-masing makanan mereka, dan saling bertukar pandang.
Mereka saling bertatap muka, mengangguk, dan kemudian menggelengkan kepala mereka berdia seleum menoleh kembali mengarah helm metal murahan yang berkelip di bawah cahaya api.
“Tapi dua hal itu, membuktikan baying-bayang goblin semakin mendekat.” Goblin Slayer berkata pelan, meneguk gelas anggur di tangan. Dia menguras isi konten dengan satu tegukan dan kemudian berkata dengan sedikit gerutu, “Dan kalau itu memang benar, makan kemungkinan itu bukanlah kewajibanku.”

“Kewajiban?”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk kepada Dwarf Shaman. “Aku Goblin Slayer.”
Terdapat dercak berisik dari api, terdengar bahkan di dalam keramaian ini. Keheningan aneh mengelilingi mereka, seolah mereka sendiri telah terpisah dari gambaran tempat ini. Di latar belakang, sang penyair telah berganti lagu tentang pahlawan perbatasAN Goblin Slayer yang menyerang sebuah benteng beku.
“Hmm.” Dwarf Shaman membelai jenggot dan mendengak ke langit-langit. Dia memikirkan seberapa lama, seberapa abad, langit-langit itu telah berada di sana, hingga menjadi hitam di karenakan anggur dan darah dan asap. Apakah laut yang dia lihat di sana, atau bintang? Apapun itu, itu adalah sesuatu yang jauh lebih tua dari kehidupan manusia manapun.
Setelah jeda panjang, Dwarf Shaman tersenyum seolah dia baru saja mengungkap rahasia akan trick sulap. “Kamu tahu nggak cara penempa menempa pedang?”
“…Nggak,” Goblin Slayer berkata setelah berpikir sejenak. “Aku nggak tahu.”
“Baiklah, yah, biar aku kasih tahu.” Dwarf Shaman mulai menghitung dengan jari kecil gemuknya. “Mereka memanaskan pedangnya. Mereka memukul pedangnya. Mereka mendinginkannya. Dan kemudian mereka memanaskannya lagi.”
“…Pnas, pukul, dingin, panas,” Goblin Slayer mengikuti dengan pelan.
“Betul.” Dwarf Shaman melipat lengannya. “Proses itu membutuhkan masing-masing dari setiap langkah itu. Apapun yang kamu lakukan pada pedang itu, kamu harus melakukan empat hal itu.”
“Tampaknya sangat sungguh menguras tenaga,” Lizard Priest menambahkan.
“Iya kan?” Dwarf Shaman menyeringa, seperti puas seolah dia telah melakukan pekerjaan itu sendiri. “Pedang yang lembek itu memang luwes tapi nggak cukup bagus untuk bertarung.  Yang keras bisa memotong tapi akan patah dengan cepat. Jadi pedang yang mana yang bagus?” Dwarf Shaman bergumam seolah seperti sedang merapalkan mantra, namun suaranya sedikit melantur seraya dia meneguk anggur untuk membasahi bibirnya. “Menyayat dengan pedang dan pedang itu akan mulai terkikis. Tapi kalau kamu poles, pedangmu akan semakin tipis. Dan semua baja itu hanyalah sebagian kecil dari sisa sejarah. Jadi pedang yang bagaimana yang bagus?”
“…” Goblin Slayer mendengarkan dengan diam. Dia terlihat seperti anak kecil, duduk di samping api dan mendengarkan kakeknya menceritakan sebuah dongeng. Jadi ketika dia mulai berbicara, keterus-terangannya akan apa yang dia ucapkan cukuplah mengejutkan. “Aku nggak tahu.”
“Sudah pasti kamu nggak tahu. Dan itu bukanlah masalah kalau kamu nggak mengetahuinya.” Dwarf Shaman menyipitkan mata, menggosok perut dengan tangannya. “Rahasia tentang baja itu banyak dan ribet.”
Api berdecak kembali. Sebuah batang kayu dapat terdengar terbelah, dan penjaga bar yang melihatnya segera mendekatinya. Dia mengaduk api dengan sebuah stik; Lizard Priest memperhatikan penjaga bar hingga pria itu pergi. Kemudian dia membuka rahang dan mengeluarkan tawa dari dalam tenggorokannya. “Heh-heh, master pembaca mantra, anda terdengar begitu mirip dengan seorang monk.”
“Kalau begitu, gimana kalau sedikit bimbingan dari seorang professional? Untuk si Beardcutter yang tersesat ini.”
“Hmm, ya, benar, itu akan sangat sulit sekali.” Mata Lizard Priest berputar di kepalanya, dan dia mengangkat sebuah sate. Dia mengambil beberapa keju yang dia potong dengan cakarnya, dan menusukkannya ke sate, dan memasukkannya ke dalam api. “Ada beberapa hal yang memang wajib di lakukan oleh orang tertentu.”
Putar, putar. Dia memutar batang sate. Keju itu masihlah cukup keras dan belum meleleh.
“Untuk hidup, dan untuk mati hanya dengan satu tujuan, itulah yang seseorang harus lakukan. Dan itu cukuplah sulit.”
Bongkahan keju mulai meleleh, namun masih cukup keras. Masih belum siap.
“Bahkan para hewan buas di luar saja tidak dapat hidup sebagaimana mereka inginkan. Terlebih lagi bagi mereka yang dapat berbahasa.”
Pada akhirnya keju telah mencapai batasnya. Keju itu hampir menetes dari batang sate. Sudah waktunya.
“Untuk merisaukan dan untuk merasa tersesat adalah hal yang baik. Saya percaya bahwa itu adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.”
Lizard Priest menarik sate dari api dan memasukkan makanan itu, yang masih panas, ke dalam mulutnya.
“Ahh, madu manis!” adalah nada yang sama seperti ketika dia memberikan puji-pujian kepada leluhurnya. Sebuah teriakan penuh kegembiraan.
“Hmph.” Dwarf Shaman mendengus, dan kemudian meraih angsa itu kembali. “Kedengaran seperti apa yang akan ku ucapkan.”
“Itu artinya, itu tidaklah jauh dari kebenaran.”
Goblin Slayer tiba-tiba mengingat telah mendengar sesuatu dahulu kala sekali. Adalah ketika dia di tending masuk ke dalam aliran sungai, dengan tangan terikat di belakangnya.
“Tenggelam yang dalam! Kemudian tending!” sang rhea meneriakkan, menunjuk marah dengan belatinya. “Lakukan itu, dan kamu akan bisa mengambang! Kemudian lakukan lagi dan lagi! Kalau tidak, hanya kematian yang akan menunggumu!”
Rhea itu benar.
Jika Goblin Slayer tidak menendang, maka dia tidak akan berada di sini sekarang.
“…Begitu.”
Maka mungkin hal ini memang benar tidak jauh dari kebenaran.
“Saya sangat setuju,” Lizard Priest berkata dengan anggukan.
“Memang seperti itu,” Dwarf Shaman menambahkan.
“Kamu…benar.”
Goblin Slayer mengambil beberapa kubis dan sepek ke dalam mulutnya.
Rasanya tidak buruk sama sekali. 
Bebatuan berdiri diam berbaris di sana, seperti sebuah pulau yang mengambang di lautan daun berguguran yang begitu banyak tidak peduli seberapa sering mereka membersihkannya. Rasanya seperti tidak ada sesuatu yang dapat di lakukan di tempat itu selain memaksa melangkah melewati gelombang merah dan emas, menggunakan nomer yang terukir di rambu yang berada di sana untuk membimbing mereka.
Adalah makam.
Penanda itu berdiri, tersusun dengan nomer yang tertata rapi dari para cleric Dewa Pengetahuan.
Jauh di dalam makam, Priestess berdiri di depan sebuah batu nisa baru—yah, tidak begitu baru; batu nisan tersebut sudah berada di sana selama kurang lebih satu tahun.
Nama yang terukir pada batu itu adalah nama yang sangat dia kasihi, walaupun dia hanya mendengarnya sebanyak satu kali selama seumur hidupnya.
Walaupun masih-masing dari batu itu terukir dengan begitu spesifik dan ukuran yang identical, batu nisan ini tampak begitu…seperti gadis itu. Walaupun Priestess mendapati gambaran gadis itu begitu buram ketika dia membuka kedua mata dan mencoba untuk mengingatnya.
“…Maafkan aku karena terlalu lama.” Dia berbisik dengan suara bergetar. Dia berlutut, tidak mempedulikan kotoran, dan kemudian membelai batu nisan itu dengan telapak tangannya. “…Maafkan aku.”
Dengan semua itu, gadis wizard muda itu adalah salah satu anggota party Priestess.

Adalah kisah akan jika.
Jika mereka memutuskan untuk berburu tikus dan bukan goblin untuk quest pertama mereka, maka apa yang akan terjadi?
Apakah mereka semua akan selamat? Apakah dia dan pria muda dan para wanita masih berpetualang bersama?
Apakah mereka akan tumbuh saling mempedulikan satu sama lain? Mengenal apa yang masing-masing sukai, tidak sukai, dan ketertarikan?
Mungkin. Namun semua itu telah sirna.
Semua itu telah di renggut dari dirinya.
Semua hari-hari dan bulan-bulan yang seharusnya telah tersapu bersih, dan sekarang, di sinilah Priestess.
Priestess, yang berpetualang dengan High Elf Archer, Dwarf Shaman, Lizard Priest, dan pria itu.
Dia tidak merasa bahwa ini adalah beruntungan. Akan tetapi, pada waktu yang sama, dia juga tidak merasa bahwa ini adalah berkah.
Keberuntungan dan kesialan, dia menyadari, bahwa itu adalah hal yang tak terpisahkan, seperti susu yang di campur ke dalam teh.
“Aku akan terus berburu goblin.” Bibir Priestess berucap. “Aku akan terus melakukannya walaupun aku selalu gemetaran, seperti saat kamu memarahiku.”
Adalah benar. Priestess pastilah terlihat konyol bagi gadis ini, yang begitu siap menghadapi para goblin. Tiba-tiba Priestess mendapati dirinya sendiri mengingat mata dan bibir gadis itu seraya gadis itu berteriak.
Tidak di ragukan lagi bahwa gadis itu mempunyai ekspresi lainnya, namun Priestess tidak sempat untuk melihatnya.
“Kamu tahu, Aku bertemu dengan adik laki-lakimu… Percaya atau nggak, aku benar-benar menjadi guru.”
“Jangan marah, oke?” Priestess berbisik. Aku mungkin nggak tahu banyak, tapi aku akan mengajari dia apa yang aku bisa.
Pada akhirnya, Priestess tidak membawa bunga atau buah atau apapun sebagai persembahan. Dia menyadari bahwa dia tidak mengetahui apa yang gadis muda ini sukai atau tidak sukai. Tetapi dia mengetahui bahwa gadis ini tampak seperti tipe yang akan marah jika seseorang mengambil benda secara acak dan meninggalkannya di atas makamnya.
Oleh karena itu, Priestess hanya berbisik, “Aku akan berkunjung lagi,” dan berdiri.
“…Siapa di sana?” High Elf Archer bertanya, telinganya berkedut. Dia berdiri tidak jauh dari bayang-bayang pepohonan, lengannya terlipat.
“Anggota—“ Priestess memulai, namun dia menutup mulutnya sekali dan membukanya kembali sebelum dia dapat mengucapkan “—party lamaku.”
“Huh,” High Elf Archer berkata pelan. Dia mendekati, langkahnya begitu ringan, dan bertanya. “Seperti apa orangnya?”
“…Aku sendiri juga nggak tahu,” Priestess berkata, terdengar sedikit muram, sebuah ekspresi ambigu tersirat pada parasnya.
Terdapat hembusan sejuk angina malam yang membuat dedaunan berdansa di pepohonan, dan Priestess memegang topi dan rambutnya agar tidak tetiup ke segala arah.
“Aku nggak sempat untuk mengenalnya.”
“Yah itu kadang-kadang memang terjadi,” High Elf Archer berkata, meyipitkan mata seolah merasakan sejuk angina di pipinya. Dia mendengakkan kepala, menunjukkan lehernya yang kurus dan pucat. “Ikatan yang mengekang kita terkadang bisa sangat aneh. Dalam jangka waktu yang lama terkadang nggak masalah, sedangkan yang lain, hanya dapat merasakannya dalam waktu singkat.”
“…Kamu benar.”
“Jadi mereka semua sudah nggak ada?”
Untuk sesaat Priestess tidak dapat memahami; dia memiringkan kepalanya bingung. Kemudian, dia memahami apa maksud pertanyaan dari High Elf Archer. “ Nggak,” dia menjawa dengan senyum pahit yang entah mengapa membuat dia merasa tidak nyaman. “Satu dari mereka masih ada. Tapi…”
“Tapi kenapa?”
“…Aku nggak berani untuk bertemu dengannya.”
Suara Priestess semakin kecil dan kecil, hingga hilang tertelan gemerisik dedaunan pohon.
Tetapi, tidak ada satupun hal yang tidak dapat di dengar oleh telinga para elf, dan sekarang High Elf Archer berkata. “Aku yakin kalau kamu nggak perlu terlalu banyak memikirkan hal itu.” Sang elf berbisik, “Aku yakin, kalau itu bukan salahmu semua.”
“…Aku nggak mau menyalahkan orang lain.”
“Kamu ini selalu polos banget.” High Elf Archer menghela melihat senyum canggung Priestess. Sang elf mulai meengerti mengapa gadis ini begitu dekat dengan “Pak Goblin Slayer.”
Sang elf tidak mengetahui apakah alasan itu baik atau buruk dan High Elf Archer tidak memiliki niatan untuk memikirkannya lebih jauh.
“…Oke, yah, sudah ah jangan serius terus!” Dia menarik Priestess menjauh, tertawa lantang pada ekpresi tertegun Priestess.
*****
“W-wow…”
Priestess telah menghabiskan kebanyakan waktunya terkejut semenjak dia telah tiba di ibukota, tetapi, yah, begitu banyak hal mengagumkan lainnya yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Sekarang mereka berada di sebuah lobi yang luas dan sejuk, dengan langit-langit yang begitu tinggi di atas mereka. langit-langit kaca membiarkan cahaya bulan dan bintang masuk menerangi, tercampur dengan lilin yang ada di bawah, sangatlah mudah untuk melihat ruangan ini.
Berbagai macam orang dengan pakaian santai datang dan pergi, bersanti dan menikmati diri mereka sendiri. Beberapa duduk pada sebuah bangku, membaca buku; sedangkan yang lain sedang berlatih, memegang batu berat di tangan mereka; sedangkan yang lainnya lagi minum hingga mereka puas…
Beberapa orang menyebarkan kartu di atas meja di sudut ruangan dan sedang bertarung melawan Black Death seraya makhluk itu tersebar di keseluruhan papan permainan.
Seseorang lainnya sedang memperhatikan lukisan dinding akan seorang warrior berarmor yang tidak pernah Priestess lihat sebelumnya, di iringi dengan tulisan SPELLJAMMER. Di ujung lukisan adalah nama akan sebuah teater dan tanggal. Priestess menyadari bahwa itu pastinya sedang mempromosikan sebuah pertunjukan.
Priestess tidak melihat adanya sebuah perapian, akan tetapi tempat ini terasa begitu hangat.
“Terdapat banyak pipa di dinding yang menhantarkan udara hangat,” seorang pegawai memberitahukan Priestess yang terpana. Priestess dengan cepat menundukkan kepala memberi hormat kepada sang pegawai, yang berseragam putih bersih.
“Ma-maaf, semua ini terasa aneh untukku…”
“Aku sudah dengar tentang pemandiannya, tapi aku nggak menyangka ada begitu banyak hal lainnya di sini,” High Elf Archer berkata dengan kepakan telinga penasaran. Adalah dirinya yang menarik Priestess ke tempat ini.
Sepertinya dia sudah suka sam tempat ini, Priestess berpikir, tertawa sendiri.
Para elf selalu mandi dengan air dingin; mereka mempunyai sedikit sekali pengalaman untuk menggunakan uap atau air panas sebagai proses untuk mandi. Teman Priestess ini, walaupun jauh lebih tua dari dirinya, selalu mengikuti adat yang sama, dengan pengecualian sumber air panas waktu itu.
Sebuah terowongan air terpasang pada bangunan ini, yang telah menarik perhatian Priestess semenjak mereka tiba di ibukota, yang ternyata tersambung pada fasilitas pemandian besar. Dan dia pun berpikir, bahwa jauh lebih baik untuk menikmati dirinya sendiri dalam sebuah pemandian di bandingkan untuk duduk dan berkabung di kuburan.
“Benar sekali. Tempat berlatihnya terbuka, dan kami juga menawarkan pijatan, begitu juga dengan beberapa minuman ringan.”
“Maaf, tapi berapa harganya--?” Priestess merasa khawatir: dia tidak boleh menghabiskan uangnya. Namun sang pegawai hanya tersenyum.
“Semua sudah termasuk dengan biaya masuk anda. Silahkan, bersantai dan bersenang-senang.”
Priestess mengangguk semangat, tersadarkan sekali lagi bahwa ibukota adalah tempat yang luar biasa.  Dia menyerahkan beberapa koin perunggu dan kemudian memperhatikan sekelilingnya dan menyadari bahwa benar, hampir tidak ada orang lain yang menggunakan uang.
Yah, dengan satu pengecualian.
Tampak sebuah botol air raksasa, terpasang seolah untuk persembahan untuk dewa dengan dua wajah pria dan wanita. Terukir pada patung itu adalah sebuah prasasti Sumbangan untuk Dewa Baskom, dan di sana terdapat sebuah kotak kayu untuk persembahannya. (TL Note; Deity of the basin = Dewa baskom. Yeah aku tahu aneh dan lucu kalau di terjemahin.)
Anak kecil berteriakan dan melemparkan koin ke dalam kotak; ketika mereka melakukannya, air mengalir dari dalam botol dengan sendirinya.
“Keren banget!”
Tentu saja, salah satu dari para gadis terkesan melihat itu—tentunya, High Elf Archer. Telinganya berdiri tegak ke atas, dan matanya berbinar, dan dia mendekati patung dengan begitu cepat seolah dia berlari melintasi hutan.
“Hei, kayak mana caranya?”
“Apa, kamu nggak tahu?” seorang bocah hampir belum genap sepuluh tahun menyindir seorang elf yang berumur lebih dari dua ribu tahun. “Kamu masukan uangmu, kemudian ada sesuatu yang terjadi di dalamnya, dan ketika tutupnya terbuka, airnya keluar!”
“Keren…!”
Sang bocah girang, dan penjelasannya sama sekali tidak menjelaskan apapun, tetapi High Elf Archer sudah mulai melonggarkan tali dompetnya.
Priestess membiarkan pundaknya selemas mungkin seraya dia mendengarkan koin itu berdenting masuk ke dalam kotak. Beban yang dia rasakan pada dada kecilnya sebelum ini tampaknya sudah setengah menghilang.
Aku tahu orang nggak akan pernah merasakan hal yang sama selama sejam penuh…
Sekarang dia merasa seperti bukti hidup. Hal ini membuat dia merasa setengah sepi dan setengah lega.
Dan semua itu di karenakan dia memiliki teman yang menyeretnya seperti ini.
“…Hee-hee.”
Hal itu lah yang membuat ruang di hatinya untuk tertawa.
Priestess memperhatikan sekeliling, berencana untuk mempersiapkan dirinya hingga High Elf Archer merasa bosan.
Terdapat sebuah jalan yang menuju ruang ganti, kamar kecil, dan area berlatih—Priestess berasumsi bahwa pemandian berada setelah ruang ganti. Mereka tidak dapat membiarkan yang lain menunggu selagi mereka bermain, tetapi mungkin mereka dapat mencari sedikit makanan. Dan setelah berendam di pemandian, paling tidak dia ingin sedikit mendapatkan minuman dingin yang enak…
Hmm. Dia mengetuk dagunya dengan jari kurus dan pucat dan berpikir, tetapi tiba-tiba dia berkedip.
Apa aku sedang di awasi?
Seorang prajurit, mungkin?
Sang pemilik tatap itu sedang duduk pada sebuah bangku, orang itu terlihat seperti berasal dari militer. Sedikit kotoran yang menempel pada mereka—mungkin mereka baru di bebas tugaskan—menandakan bahwa mereka kemari untuk mandi.
Tapi apa ada sesuatu yang salah aku lakukan…?
Dia tidak berpikir bahwa dia telah melakukan sesuatu yang mengharuskan dia menerima sebuah perhatian dari seorang prajurit, tidak semenjak datang ke ibukota ini dan tentunya tidak semenjak masuk ke dalam rumah pemandian. Semakin merasa tidak nyaman, Priestess mendekati High Elf Archer dan menarik lengannya.
“Um…”
“Hmm? Tunggu sebentar. Sekali lagi nah….!”
“Bukan, kayaknya kita harus pergi deh?” sebuah pikiran melintas di benak Priestess: Dia ini terlalu. Sedikit mirip dengan pikiran yang sering Priestess pikirkan tentang pria itu, walaupun tidak begitu sama, dan itu membuatnya tersenyum. “Kita butuh waktu untuk mandi, dan…kamu bakal habisin semua uangmu.”
Mereka berdua pergi menuju ruang ganti, tetapi setelah High Elf Archer memberikan tiga donasi lagi.
Mereka mengikuti jalan yang terdapat sebuah patung wajah dewa wanita kembar berkelamin ganda dan tidak lama kemudian menemukan ruang ganti wanita. Mereka menemukan sebuah pemandian dingin kecil, dinding kedua sisi memiliki bangku kecil dan beberapa baris ruang bersekat kecil.
Adalah sore hari, dan mereka bukanlah pelanggan pertama; Priestess dan High Elf Archer dengan segera melepaskan baju mereka. terdapat banyak manusia dia ibukota, tentu saja, tetapi terdapat juga dwarf dan rhea yang berkeliaran, oleh karena itu mereka tidak perlu merasa minder.  Dan di sini ternyata juga begitu hangat (tentunya, berasal dari pipa-pipa, yang sudah di jelaskan kepada mereka), karena itu mereka tidak perlu takut untuk jatuh demam.
“Oke, di sini…” Priestess, mencari sekat lain untuk dirinya, melipat seragamnya dan memasukannya ke dalam keranjang. Figure kurusnya tampak menjadi lebih berotot selama satu tahun berpetualang, namun dia masih terlihat langsing. Di sampingnya, High Elf Archer, dapat terlihat melepas bajunya begitu saja dan melemparnya ke dalam keranjang.
“Nanti bajumu bisa berkerut kalau nggak kamu lipat dengan benar,” Priestess menegur sang archer.
“Aw, aku nggak peduli,” High Elf Archer berkata, tampak benar-benar tidak mempedulikannya seraya dia mengayunkan lengan dan telingnya secara bersamaan. “Hei, kalau di pikir lagi, apa kamu bawa minya parfum?”
“Uh-huh. Aku pernah Tanya sekali ke resepsionis kita tentang itu, dan, uh, yah, yang aku dapat sedikit mahal, tapi…”
Nada ketidakpastiannya tampak ingin mencari persetujuan untuk barang mewah kecil ini, dan High Elf Archer tertawa. “Nggak masalah kok. Kamu kan pake itu bukan untuk pamer. Kurasa para dewa nggak akan keberatan.”
“…Kurasa kamu harus sedikit lebih memperhatikan apa yang para dewa sukai dan tidak sukai.”
“Ooh, teguran! Kamu harus lebih mempelajari cara untuk menghormati yang lebih tua.”
“Huh?! Hei, hentikan—Ooh…!”
High Elf Archer menjulurkan jarinya untuk menyodok Priestess, dan para gadis berteriak dan tertawa.
Kemudian mata tajam sang elf menatap keranjang pakaian Priestess.
“Kamu masih pake itu?”
“Huh?”
 Priestess mengikuti tatapan High Elf Archer menuju sebuah baju besi. Priestess selalu memperbaikinya ketika baju besi itu telah tersayat atau robek atau tertusuk, meninggalkan sedikit jahitan di antara sambungan rantai yang lama dan baru. Dia selalu meminyakinya dengan teratur, dan setiap orang dapat melihatnya secara sekilas akan betapa dia merawat benda itu dengan baik.
“Oh ya. Itu…sangat penting bagiku.”
“Kamu kayak bilang itu semacam armor legendaris atau semacamnya saja.” High Elf Archer melihat Priestess dengan mata tertutup, dan gadis muda itu menggaruk pipinya malu.
Dia ini benar-benar sudah menghabiskan terlalu banyak waktu bersama Orcbolg.
Itu merupakan hal yang sangat buruk untuk pendidikan gadis muda ini (tentunya muda dari sudut pandang seorang elf) bukan?
Tetapi, hampir ketika pikiran itu terlintas di benak sang elf, dia membuyarkannya dengan sebuah senyuman dan jentikkan telinganya.
Kurasa sudah sedikit terlambat untuk itu.
Perburuan goblin tentunya akan berdampak buruk untuk seseorang.
“Kenapa?”
“Oh, nggak. Nggak apa-apa.” High Elf Archer melambaikan tangan kepada Priestess dan kemudian tiba-tiba tersenyum seolah pikiran baru melintas. “Mmumpung kita ada di sini, gimana kalau kita gosok punggung masing-masing?”
“Oke!”
*****
Dengan itu mereka berdua berbincang dengan berisik seraya mereka mandi, memakai parfum, membilas diri, dan pergi masuk ke pemandian.
Area pemandian juga sama hangatnya, tentunya berkat sistem pipa; terdapat satu pemandian panas besar, di seberangnya terdapat sebuah bak mandi dingin. Di bagian yang lebih dalam lagi, terdapat sebuah sauna yang jauh lebih panas.
“Aku akan kembali!” High Elf Archer berkata dan berlari menjauh, meninggalkan Priestess sendiri.
Priestess masuk ke dalam air dengan sedikit cipratan, meluruskan lengan dan kaki, dan menghela lega. Semua itu bercampur dengan udara hangat dan uap yang mengambang ke langit-langit.
Aduh, aku bisa ketiduran di sini…
Dia dapat merasakan air panas itu dapat membilas keseluruhan tubuhnya, dan dia merasa dirinya akan meleleh. Dia menjulurkan lengan kurusnya, tidak terlalu banyak memikirkannya, dan menyadari bahwa terdapat beberapa otot pada lengannya, walaupun tidak terlalu menonjol. Dan dia dapat melihat bekas luka, yang lebih putih dari kulitnya, tampak di beberapa bagian tempat.
Pengalaman tidak serta-merta tampak pada mata telanjang, namun bekas luka ini tentunya merupakan bagian dari pengalaman sang gadis.
Ketika dia meikirkannya, 2 tahun telah berlalu dia berpetualang, dengan beberapa hari libur.
Petualang pertama dirinya, party pertama dirinya, sarang goblin, rekan partynya mati, dan kemudian pria itu.
Sekali lagi, dia merasakan luapan emosi yang masih tidak dapat dia mengerti sepenuhnya menggumpal di dadanya.
Tapi…
Priestess melirik mengarah sauna di mana High Elf Archer berada.
Aku seharusnya bersyukur.
“…Hei.”
“Huh?!”
Suara tidak terduga mengganggu senandika Priestess dan hampir membuat dirinya melompat keluar dari air. Priestess bergegas menutupi dadanya dan berputar, dan mendapati seorang gadis menatapnya dengan mata yang terbuka lebar.
Gadis itu memiliki rambut emas yang terurai hingga pundaknya, mata biru, dan dia berumur lima belas—tidak, mungkin enam belas—tahun.
“Oh,” Priestess berkata, melihat gadis itu dengan terkejut.
Adalah wajah yang sangat jarang dia lihat terkecuali mungkin pada kolam cerminan kuil, namun di sanalah dia. Gadis itu tampak memilik rambut yang lebih berkilau. Kulitnya lebih cantik, walaupun gadis itu lebih gemuk. Tinggi juga. Tetapi…
Kita kelihatan mirip.
Benar, gadis lain itu tentunya lebih superior. Namun terdapat persamaan.
Priestess, merasa malu, menenggalkamkan dirinya kembali ke dalam pemandian. Gadis lain itu terlihat seperti versi lebih baik dari dirinya sendiri.
“Ada…yang bisa ku bantu?”
“Kamu petualang, kan?” kalimat itu datang seperti sebuah wahyu dari atas—yang mungkin memang masuk akan, di karenakan gadis itu masih berdiri.
Ketika Priestess mengangguk, gadis itu kemudian berkata, “Sudah ku duga,” dan mengangguk sendiri, dan kemudian duduk. Dadanya membuat air menciprat ke sampit seraya dia memanjat turun; Priestess melirik ke samping. Para dewa begitu tidak adil.
“Hei, kelasmu apa?”
“Aku pelayan Ibunda Bumi.”
“Priest ya?” Nggak jelek.
Priestess melihat penasaran kepada gadis yang bergumam ini. “Kalau kamu berharap untuk mencari seseorang untuk bergabung dengan grupmu, sayangnya aku sudah mempunyai party…”
“Huh?” gadis lain berkata, terkejut, namun kemudian dia berkata, “Oh, bukan, bukan. Bukan itu yang ku pikirkan.”
Kalau begitu apa?
Tidak dapat menebak apa yang di inginkan orang lain itu membuat Priestess curiga dan khawatir. Dia meragukan kalau dirinya sedang lama bahaya di sini, namun dia juga tidak memiliki sehelai baju untuk melindungi dirinya. Priestess sedikit menegang, masih berusaha menutupi dadanya. Dia masih belum merasakan adanya niatan buruk dari gadis ini…
“Aku mau tanya, untuk jadi refrensiku—perlengkapan macam apa yang kamu pakai? Apa tingkatanmu?”
“Um, aku tingkat Steel. Dan…perlengkapanku?”
Priestess memperhatikan gadis itu dengan lebih seksama, yang di mana gadis itu semakin duduk mendekati dirinya. Priestess merupakan gambaran jauh dari seorang warrior, namun dia berpikir bahwa gadis lainnya ini juga sama tidak terlihat memiliki tubuh kekar warrior. Seorang wizard—atau cleric, mungkin? Seseorang yang ingin menjadi petualang? Kemungkinan itu merupakan yang paling mungkin terjadi seraya pikiran itu melintas.
…Apa aku harus menghentikannya.
Adalah hanya sebuah kemungkinan. Namun semua pengalaman dirinya melintas di benaknya.
Tetapi juga, semua yang telah terjadi kepada dirinya semenjak saat itu, apa yang telah dia dapatkan dari berpetualang. Dia tidak dapat menyangkal semua itu.
“Aku memakai seragam cleric dan membawa tongkat, dan aku memakai baju besi.”
“Hmm,” gadis lain berkata. “Apa mereka punya, kamu tahulah, kekuatan suci atau semacam berkah untuk mereka atau semacamnya?”
“Nggak, mereka Cuma…tongkat dan baju besi biasa, beneran.”
Tetap saja, awal mula dia membeli armor adalah karena nasehat yang telah di berikan pria itu. Jika di pikir kembali, dia menyadari bahwa dalam pertarungan di saluran air, baju besi ini telah menyelamatkan nyawanya.
Gadis lain itu memperhatikan Priestess menggosok pundaknya sendiri dengan telapak tangan dan menggerutu, “Eh, kurasa itu memang sudah yang terbaik untuk tingkat delapan.”
Priestess memanyukan bibirnya mendengar nada sang gadis itu. “Kamu nggak suka?”
“Huh? Nggak suka apa?”
Gadis itu terlihat bingung dengan ucapan balas Priestess. Tidak lama kemudian, gadis itu berdiri keluar dari pemandian. “Pokoknya, terima kasih. Aku akan mengingatnya.”
“Uh, oke…”
Apa aku harus mengucapkan sesuatu untuk dia…?
Apakah motivasi ini hanya kehendak dirinya yang ingin ikut campur—ataukah ini merupakan wahyu dari dewa? Kegelisahan dan ketidakpastian telah menyalakan alarm di dalam hatinya: Jangan biarkan dia pergi begitu saja. Kamu harus memberikannya sesuatu. Tapi apa?
Bahkan para dewa tidak dapat berkata apapun ketika dadu telah terguling.
Priestess menelan liur; ketika dia berbicara, dia dapat merasakan suaranya bergetar tak terkendali.
“…Um, kalau kamu berencana untuk menjadi petualang, kamu harus bersiap… Maksudku, pastikan kalau kamu memilih barang yang kamu beli dan semacamnya, oke?”
“Apa?” Sekali lagi, dengan ekspresi terkejutnya. Sang gadis berpikir sejenak dan kemudian mengangguk. “Kamu beanr, berbelanja—memang penting.”
Kemudian sang gadis pergi dengan cepat, mencipratkan air ke segala arah. Tatapan Priestess mengikuti sosok gadis itu dan kemudian dia kembali menenggelamkan dirinya hingga mencapai hidung. Dia meniup gelembung-gelembung di air.
“Phew! Ooh, kepalaku jadi kerasa pusing. Benar-benar gila di sana.”
Pada saat itu, High Elf Archer datang kembali, menepuk pipinya yang menjadi merah ceri dengan kedua tangannya. Menggerakkan telinga panjang yang merupakan ciri khas bangsanya, dia melihat gadis yang baru saja pergi setelah berbicara dengan Priestess.
“Siapa tadi?”
“Er… Nggak tahu.” Hanya itu yang dapat di katakan Priestess. Hanya itu yang dapat di ucapkan.
High Elf Archer terlihat sedikit curiga dan kemudian berkata, “Ah, sudahlah,” dan mencelupkan dirinya ke air. “Jadi, apa yang mau kamu lakukan? Mau periksa di bagian belakang sana? Aku mau di sini dulu beberapa menit.”
“Nggak…” Priestess berpikir sejenak dan kemudian menggelengkan kepala. “…Ayo keluar.”
*****
Ketika mereka kembali ke ruang ganti, mereka terkejut setelah menyadari betapa segarnya mereka rasakan walaupun dengan udara hangat yang menyelimuti mereka.  Mereka melepas handuk, menggunakan parfum kembali, dan mengelap air sebelum memakai baju.
“Andai aku membawa baju bersih untuk di pakai,” Priestess berkata.
“Ya memang sudah seperti itu,” High Elf Archer berkata. “Kita nggak merencanakan ini. Kamu bisa ganti saat kita kembali, kan?”
Mereka berjalan bersama, kaki telanjang mereka berpijak di atas batu, ketika…
“Huh?” Priestess tiba-tiba berkata, menggosok kedua matanya. Keranjangnya telah hilang. Dia mengetahui letak seharusnya keranjang itu; seharusnya berada tepat di sampit keranjang milik High Elf Archer.
“Aneh,” High Elf Archer berkata. “Apa ada yang pindahin?”
“Tapi aku yakin ada di sini…”
Alih-alih seragamnya, yang dia temukan tampaknya adalah semacam seragam prajurit, kotor, dan berkeringat, di masukkan ke dalam keranjang. Priestess memperhatikan sekitar untuk memastikan bahwa barangnya tidak letakkan di suatu tempat. “Apa…? Apa?”
Dia tidak melihatnya di manapun.
Suaranya semakin panic, dan air mata mulai meluap di ujung matanya. Priestess merasa seperti berada di tepi jurang.
“Jangan panic. Kamu yakin kamu letakkan di sini?”
“Iya…”
“itu bukan pakaian yang akan salah di ambil orang…”
Seragam priestess, sebuah tongkat, topi, dan baju besi. Tidak mudah untuk salah mengiranya dengan sesuatu yang lain.
Apa yang akan dia lakukan, apa yang akan dia lakukan? Priestess, merasa dirinya akan menangis, terus melakukan pencarian namun gagal menemukannya.
“Apa ada masalah?” seorang pegawai berpakaian putih bertanya mendekati. Kepanikkan Priestess tentunya tampak terlihat jelas. Priestess membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu, namun entah mengapa dia tidak dapat mengucapkannya dengan jelas.
“Ah, um, ba-bajuku…!”
“Ya?” sang pegawai merespon curiga.
“Kami nggak menemukan pakaiannya,” High Elf Archer berkata. “Dia seorang priestess dari Ibunda Bumi loh? Aku rasa nggak mungkin ada seseorang yang salah mengambil barangnya…”
“…Mohon tunggu sebentar. Saya akan periksa dengan penjaga,” sang pegawai berkata singkat dan kemudian pergi lebih cepat di banding saat dia datang.
High Elf Archer memegang tangan Priestess seraya mereka menunggu; gadis itu begitu pucat dan gelisah.
“Nggak apa-apa. Aku yakin mereka akan menemukan barangmu.”
“Aku tahu. Erm, tapi… Bagaimana kalau…?”
Tidak lama kemudian sang pegawai kembali. “Saya mohon maaf,” dia berkata, wajahnya memiliki sebuah keseriusan. “…Saya telah di beritahu bahwa seseorang yang menggunakan seragam akan Ibunda Bumi memang benar telah pergi sebelumnya. Ada kemungkinan jika—“
“Dicuri?!” High Elf Archer berteriak. Priestess merasa pikirannya menjadi kosong.
“Per-permisi…!” dia mendorong tangan High Elf Archer, bergegas menuju pakaian prajurit dan memeriksanya.
Prajurit di ruang ganti. Wanita muda yang berbicara dengan dia sebelumnya. Dan “Berbelanja.”
Tidak lama kemudian dia melihat kurang lebih apa yang sudah di duganya.
Terdapat sebuah kantung kulit yang selalu dia gunakan sebagai dompet. Berkelip di atasnya adalah beberapa permata mengkilap. Batu-batu merupakan batu yang bagus, dan maknanya sangatlah begitu jelas.
Permata itu adalah bayaran untuk pakaiannya.
“Oh—urk—b-ba—ba…!”
Topi dan seragamnya hilang namun dia dapat merelakannya. Kalung peringkatnya masih dapat di buat kembali. Tongkatnya, yang begitu dia rawat dengan baik juga dapat di ganti. Dan benda penting miliknya berada di ruangan kamarnya, dan begitu pula baju ganti. Semua itu masih dapat terkendali.
Namun—baju besinya telah hilang.
Benda yang telah dia beli dengan tabungannya, menggunakan hadiah dari petualangan pertama, armor pertama yang dia beli untuk dirinya sendiri, sekarang sudah tidak dapat di temukan.
Dia telah menggunakannya dalam pertarungan melawan ogre. Di saluran air, di pegunungan bersalju, dan pada tes promosinya, dan di dalam hutan hujan, armor itu terus menemaninya.
Armor itu telah menyelamatkan nyawanya. Dia telah memperbaikinya, menjaganya, dan merawatnya dengan baik.
Dan semua itu hanya demi satu alasan.
“Itu per-pertama kalinya….dia memujiku…!”
Kehilangan ini benar-benar telah menghancurkan Priestess. Dia tidak sanggup berdiri, dan yang hanya dapat dia lakukan hanyalah bersedih di atas lantai batu.
“B—Ba—Bajj…! Dia mengambilnya…!”
“…Aduh, Aku… minta maaf. Seharusnya kita nggak ke sini,” High Elf Archer bergumam pelan dari samping temannya, yang menangis dan tersedu seperti gadis kecil.
“Oooh,” Priestess tersedu dan menggelengkan kepalanya dengan cepat dari samping ke samping.
High Elf Archer berlutut dan dengan perlahan, sangat perlahan, menggosok punggung akan teman pertamanya selama dua ribu tahun.
“…Kita akan dapatkan kembali. Aku janji.”
*****
Lilin merupakan pencahayaan satu-satunya pada ruangan remang ini, yang berdansa pada suara getara metal yang bergesek.
Terdapat sebuah ranjang di samping jendela. Duduk pada ranjang adalah seorang pria dengan perlengkapan yang menyedihkan; dia adalah sumber dari suara itu.
Goblin Slayer sedang mengerjakan batu asah bersama dengan pedang dengan cara yang tidak seperti sedang mengasah melainkan lebih kepada mengikis metal itu. Mungkin itulah mengapa senjatanya merupakan benda biasa—tetapi tidak, pria ini akan memperlakukan pedang legendaris dengan cara yang sama.
Pengikisan itu berhenti sejenak, dan pedang, dengan panjang yang tidak biasa, di angkat mengarah cahaya.
Mereka yang baru belajar sedikit mengenai petualangan dari dongeng dan lagu mungkin akan menyengir dan berkata sok mengetahui bahwa pedang tidaklah lebih dari sekedar pentungan mahal, tetapi tentunya mereka salah.
Sebuah pedang adalah untuk mengoyak kulit, memotong daging, dan menghancurkan tulang. Karena jika tidak begitu, mengapa repot-repot membuat pedang?
Hanya pedang bertangan dua besar dari para knight yang dapat memotong, menusuk, menghancurkan, dan mematahkan sekaligus. Senjata itu adalah seperti pedang, tombak, palu, dan beliung menjadi satu.
Senjata Goblin Slayer yang sedang di genggamnya sekarang, bukanlah senjata seperti itu. Senjata ini adalah untuk menusuk tenggorokan goblin, menyayat jantung mereka, memenggal kepala mereka. tidak lebih dan tidak kurang.
“……..”
Kurang lebih sudah satu jam semenjak Priestess pulang dengan tersedu. High Elf Archer, telinganya melemas tidak senang, telah berusaha untuk menghibur gadis itu namun seperti tidak berhasil.
Terlebih lagi, Priestess tidak menggunakan seragamnya, melaikan pakaian prajurit yang cukup kebesaran. Ketika Goblin Slayer bertanya apa yang terjadi, High Elf Archer menjawab lemas, “Di curi.”
Tempat ini bukanlah kota perbatasan ataupun kota air. Ini adlaah kota terbesar di Negara ini. Tempat ini penuh akan orang-orang, dan tidak semuanya berbaik hati.
Lizard Priest tampak sangat murka, seolah dia akan mengembuskan sulfur dan api detik ini juga. Dwarf Shaman-pun terlihat muram.
“Mungkin kita dapat membawa kehilangan kita ke kastil besok,” Dwarf Shaman menyarankan, namun Priestess tidak menjawab dan hanya menggelengkan kepalanya.
Goblin Slayer berdiri dari kursi, pergi ke dalam ruangannya, dan dia telah menghabiskan waktunya seperti ini dari tadi.
Dia tidak mengatakan apapun.
“………”
Tangan Goblin Slayer berhenti kembali, dan dia mengangkat pedangnya menuju cahaya. Dia mengelus ujung pedang dengan jarinya dan mengangguk.
Dia memasukkan pedang itu ke sarungnya, dan kemudian mengambil pisau lempar ala selatan.
“Kamu tidak akan bersama gadis itu dalam masa sulitnya?”Suara tiba-tiba itu terdengar begitu bergairah akan tetapi juga tajam, dengan terdengar seperti anak kecil yang mengambek.
“Nggak.” Goblin Slayer bahkan tidak memutar helmnya mengarah wanita itu yang masuk tanpa sedikitpun suara pintu terbuka.
“Begitu,” Sword Maiden berkata, bibirnya sedikit manyun. Dia melangkah menuju ranjang.
Kemudian duduk, tubuhnya yang lembut meliuk bagaikan dia berlutut di depan pria di atas ranjang.
“Seorang gadis yang menangis tentunya ingin di hibur, kamu mengerti?”
“Benarkah?”
“Percayalah, saya sangat memahaminya,” Sword Maiden berkata. Dia mengalihkan tatapan pada kedua tangan dirinya, yang kemudian menggosok kedua kakinya. “………..Karena saya juga demikian.”
“Begitu.”
Terdengar suara berisik gesekan metal seraya Goblin Slayer mulai mengasah pisau bengkok itu. Mata yang tidak bisa melihat Sword Maiden tenggelam menatapi Goblin Slayer seraya pria itu mengerjakan pisau yang telihat jahat itu. Pipinya secara perlahan berubah dari gembung kesal menjadi lembut, dan melengkung.
Bayangan helm pria itu pada wajahnya, bergoyang dan berdansa dengan setiap lekukan dansa api.
“Kamu tidak boleh membuat seorang gadis menangis.”
“Aku tahu.”
Kalimat Goblin Slayer sangat keras, dan kasar dalam singkat ucapannya; hal itu membuat Sword Maiden terkejut. Jika saja dia tidak menutup matanya, maka mungkin saja mata Sword Maiden akan terbelalak—namun Goblin Slayer menghiraukan wanita itu dan terus mengasah.
“Aku sudah mengetahuinya dulu sekali.”
“Be… Begitu.” Sword Maiden tampak tidak mengetahui harus berkata apa. “Saya membawakanmu buku.” Dengan itu dia kembali pada alasan utama mengapa dia berada di sini.
Dia meletakkan buku yang di pegangnya ke meja, sebuah jilid akan kepercayaan Dark Gods dan simbol yang berkaitan dengan itu.
“Sayangnya kita tidak mempunyai waktu untuk saya menunjukkan perpustakaan kepadamu secara langsung…”
“Begitu.”
Jawaban itu sangatlah singkat—dan tidak berlebihan.
Sword Maiden berdiri di sana untuk cukup lama, hingga akhirnya, Sword Maiden sedikit mendengus. Dia berputar dan akan segera meninggalkan ruangan, ketika—
“Semua hal pasti akan hilang,” Goblin Slayer berkata dengan sedikit kelembutan. Perlu di ingat bahwa pria ini sangatlah jarang berbicara.
“Kamu benar,” Sword Maiden berkata sama lembutnya.
“Saat aku masih bocah, ayahku berjanji akan memberikan belatinya untukku saat aku besar.” Kedua tangannya berhenti bekerja, dan Goblin Slayer mengangkat pedang menuju cahaya, memeriksanya, sebelum mengelus mata pedang itu dengan jarinya. “Belatinya sangat bagus, dengan kepala elang yang terukir di gagangnya.”
Dia melempar batu asah itu menjauh. Batu itu mendarat di lantai dengan gedebuk lantang.
“Aku nggak tahu di mana belati itu sekarang.”
Kemudian dia memasukkan pisau lempar itu ke dalam tas peralatannya dan terdiam kembali.
Sword Maiden menggunakan bayangan hel pria itu untuk menyembunyikan perubahan ekspresi sama dirinya sendiri, dan hanya berbisik. “Saya tidak mengetahuinya.” Dia mengelus lutut Goblin Slayer dengan jari lentik dan pucatnya. Dia melanjutkannya hingga pada akhirnya dia membelai kaki pria itu, seolah sedang menyentuh sesuatu yang sangat berharga bagi dirinya. “Besok, Saya akan pergi ke kastil. Saya mempunyai rapat dengan Yang Mulia raja.”
Seperti yang saya katakan padamu di awal. Sword Maiden tertawa seperti anak kecil.
“Yang Mulia dan saya mempunyai sejarah panjang bersama… Ketika saya bertemu dengan beliau, saya akan coba mengangkat masalah ini kepadanya.”
Kepala Goblin Slayer berputar perlahan menuju wanita itu. Adalah pertama kalinya helm itu bertatapan dengan wajahnya.
“…” Tampaknya pria itu kesulitan untuk mencari kata, hingga pada akhirnya dia berkata. “Begitu.” Dia terdiam kembali beberapa saat sebelum menambahkan, “Tolong.”
Pada wajah Sword Maiden, sebuah bunga mekar. “Baik—serahkan pada saya.” Sebuah senyum lebar tampak pada bibirnya, dan dia berdiri dengan semangat. Dia mengetuk lantai satu kali dengan pedang dan timbangan yang dia gunakan sebagai pengganti tongkat, menyebabkan timbangan yang bergantung pada hulu pedang bergoyang. “Saya akan berusaha semampu saya… Apa itu akan cukup bagimu?”
Bisikan samar nan manis. Goblin Slayer berkata, “Ya,” dan mengangguk. “Maaf merepotkan—tapi tolong.”
“----!” Sword Maiden tidak menjawab namun berpaling seolah seperti dirinya melayang. Dia membuka pintu, sekali lagi tanpa suara, dan keluar—namun kemudian menoleh ke belakang singkat.  “Er, ahem…”
“….”
“Selamat malam, dan…mimpi indah.”
“Ya,” Goblin Slayer berkata dengan anggukkan. “Kamu juga.”
Wajahnya tersipu layaknya gadis remaja, dan wanita itu menutup pintu.
Dengan pintu yang tertutup di belakangnya, Sword Maiden menyentuh wajah dengan tangan dan terduduk—walaupun Goblin Slayer tidak menyadari akan hal ini. Pria itu mengambil batu asah yang dia lempar ke lantai sebelumnya, memutar batu itu di tangan.
Tanpa bersuara dia melanjutkan mengasah sisa dari belati yang dia miliki, memeriksa keadaan perlengkapannya, dan memastikan kantung peralatannya tersusun.
Kemudian dia membuka buku yang telah di bawakan oleh Sword Maiden kepadanya, membandingkannya dengan selembar kulit goblin yang dia keluarkan dari tasnya.
Adalah simbol yang sangat aneh. Simbol itu terlihat seperti di gambar dengan tangan menggunakan pigmen merah, namun tidak ada satupun petunjuk mengenai itu.
Pencuri itu, dia berpikir, seperti goblin. Mungkin dia memanglah goblin.
Seseorang harus selalu siap setiap saat.
Adalah kesimpulan yang dia dapatkan, dan dia menghabiskan sisa malam mempersiapkan perlengkapannya, hingga, pada surya pertama subuh tiba melintasi jendela, dia tidur sebentar.
Ini bukanlah kebunnya. Tidak perlu berpatroli. namun jika goblin muncul, dia berniat akan membunuh mereka.
Tidak ada tempat di dunia ini yang tidak memiliki goblin, sejauh dia mengetahui.
Sesederhana itulah jalannya dunia.