AKAN SEORANG GADIS NAKAL YANG INGIN PERGI BERPETUALANG
(Translator : Zerard)

“Argh, kakakku ini jahat banget!” gadis itu meronta di atas ranjang, tangannya memukul selimut. “Dia pergi ke sini, ke sana, dan ke semua tempat, sementara aku nggak boleh pergi keluar sama sekali!”
“Apa boleh buat kan? Itu memang pekerjaannya.”
“Tapi mereka bilang ada batu api dari surga yang jatuh di gunung...”
“Bukannya kamu sudah di kasih tahu untuk tidak membicarakan itu secara sembarangan?” teman dan pelayannya, seseorang yang mengurus kebutuhan gadis itu, memberikan tatapan tegang. Adalah ekspresi yang sama dengan gadis itu setiap kali dia mengeluhkan tentang kakak laki-lakinya yang bergegas dari satu tempat ke tempat lain.
Sangatlah wajar bagi wanita itu untuk merasa omelan dari gadis itu sangatlah tidak tidak elok, di karenakan kakak gadis itu adalah majikan dirinya. Gadis ini sangat memahami itu, namun sifat manusia menghalanginya untuk menerima fakta itu.
“Kakakku, dulunha pernah menjadi petualang, tapi saat aku bilang aku mau jadi petualang, dia malah marah.”
“Itu karena dia tahu suka duka menjadi petualang.”
Bah. Dia bahkan belum pernah tertembak panah di lututnya. Gadis itu memgembungkan pipi dan menatap ke jendela. (TL Note : idiom “taken an arrow to the knee.” Saya artikan secara harfiahnya saja.)
Bahkan pada dini hari, sangat banyaknorang yang berlalu-lalang di ibukota. Setiap macam orang yang datang dari segala penjuru dunia, dengan setiap alasannya masing-masing. Dia tidak akan pernah merasakannya, terkurung di ruangan ini seumur hidupnya.
“Mereka beruntung sekali...”
“Apakah kamu benar-benar ingin pergi keluar?”
“Yah, iya dong.” Gadis itu menjawab dengan segera, berguling di atas kasurnya.
“Tidak semua yang ada di sana itu baik,” temannya menjawab menasehati.
Satu persatu rencana gila melintasi benak gadis itu seraya dia menatap langit-langit. Dia pernah mendengar cerita akan sebuah kota di mana seorang gadis harus meninggalkan rumahnya pada umur tertentu, seperti sebuah upacara kedewasaan. Oleh karena itu mengapa dia tidak boleh—dan mengapa dia tidak boleh menjadi petualang?
Mungkin suatu hari aku akan tendang dinding itu sampai roboh kalau aku bisa.
Setiap orang memiliki khayalan yang semacam itu. Tentunya, kebanyakan dari mereka tidak akan pernah melakukannya. Mereka mengetahui bahwa banyak masalah yang akan terjadi di tengah semua itu.
Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang akan menjadi sukses jika tidak melakukan khayalan itu. Bahkan Takdir atau Kemungkinan tidak dapat memberi tahu dirimu bagaimana dadu akan mendarat; satu-satunya yang dapat kamu lakukan hanyalah melemparnya.
Cuma mereka yang nggak pernah melempar dadu, pikir gadis itu, yang akan Cuma duduk dan membual. Namun pada saat ini, dia bahkan tidak di perbolehkan untuk melempar dadu. Hal ini sangat membuatnya kesal.
Aku benci ketika seseorang membuat keputusan untukku secara semena-mena.
Keputusan tentang masa depan, tentang apa yang dia dapat lakukan, tentang dunua—tentang segalanya.
Suatu hari, dia akan di tunangkan dan kemudian menikah. Hal itu kurang lebih tidak dapat di hindari, dan dia mengetahui itu.
Tapi aku belum ada melihat apapun.
Dia mendengar bahwa dunia di porak-porandakan oleh goblin. Dia mendengar lagu akan seorang pahlawan yang menyerang benteng di puncak gunung es untuk menyelamatkan seorang gadis. Raja dan menteri dan penyihir dewan dan tentara, mereka semua mengetahui tentang goblin, akan tetapi tidak satupun dari mereka melakukan sesuatu.
Karena mereka belum pernah melihatnya, aku yakin.
Bahkan kakaknya—pria itu bilang bahwa dia dulu adalah seorang petualang, menolak untuk menceritakan kisah petualangan dia kepada gadis itu. Kemungkinan dia hanya membiarkan anggota partynya melindungi dirinya.
Kemungkinan pria itu bahkan tidak mengetahui apapun tentang goblin.
“Hmmm... Masuk akal.”
Sang gadis tidak dapat memutuskannya karena dia juga belum pernah melihatnya.
Dia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri dan kemudian membuat pilihan.
Dewa memanglah yang melempar dadu, namun dirinya sendirilah yang akan memutuskan apa yang harus di lakukan.
“...Hei, kamu bilang kakak laki kamu itu pedagang kan?”
“Iya. Walaupun dia sepupuku. Dia selalu pergi ketika mereka membuka gerbang setiap pagi, berjualan, dan kemudian pulang.” Temannya menjelaskan, tampaknya dalam asumsi bahwa gadis lincah ini sudah memikirkan hal lain.
“Huh,” gadis itu berkata, melipat kedua tangan di tempat dia duduk di ranjang. Pikirannya melompat dari satu hal ke hal lainnya.
Kemudian tiba-tiba, temannya menengok ke luar jendela dan berkata, “Oh, wah.”
“Ada apa?”
“Sepertinya kakakmu sudah pulang.”
“Yang benar?!”
“Iya, aku melihat keretanya di sana.” Hampir sebelum temannya dapat selesai berbicara, gadis itu melompat dari ranjang. Dia menghiraukan upaya teman wanitanya untuk mengganti pakaian gadis itu, daan bergegas keluar ruangan.
Melewati beberapa pelayan yang melihat gadis itu terkejut; dan kemudian mereka menyadari siapa gadis itu dan hanya menghela lelah.
“Selamat datang kembali, kakak!”
Dia menyambut pria itu sehangat mungkin, berpikir:
Sekarang dia nggak akan mencurigai kalau aku akan menyelinap keluar malam ini.