PEMBASMI AKAN GOBLIN DATANG KE IBUKOTA
(Translator : Zerard)

“Kamu datang,” wanita itu berkata.
Suaranya begitu bergairah, hingga tampak akan meleleh kapapun juga. Matahari menyinari dari jendela di belakang wanita itu, dan bibirnya yang terlihat dari balik tudungnya, tersenyum dengan begitu lembut.
Wanita itu mengibaskan jubahnya dan gelombang rambut emas muncul layaknya lautan. Lapisan, kain putih dirinya memamerkan garis tubuhnya yang begitu aduhai—mungkin Ibunda Bumi sendiri terlihat seperti ini.
Kulit yang tampak dari seragamnya sangatlah putih, hampir transparan, seolah tak tersentuh sama sekali oleh matahari. Warna merah muda pada pipinya kemungkinan tidak berasal dari cahaya saja. Dia hampir tampak seperti pelacur—dan terdapat beberapa kuil yang menyimpan pelacur suci.
Dia dapat mendekap pria manapun yang menatap jari-jari kecionya, akan tetapi, matanya tertutupi oleh sebuah kain hitam. Di tangannya, dia memegang terbalik sebuah pedang dan timbangan lambang akan kebenaran dan keadilan. Dari cara dia bertumpu pada pedang itu, dari cara dia berbisik, menunjukkan sebuah kegelisahan intens.
“Apakah saya...mengganggumu?”
“Nggak.”
Sword Maiden. Adalah nama cleric perbatasan yang di jawab oleh Goblin Slayer dengan nada pelan dan datarnya.
“Apa goblin?”
*****
Adalah pagi.
Goblin Slayer berdiri dari ranjangnya sebelum subuh dan memeriksa perlengkapannya.
Helm, armor, lapisan yang di gunakan di bawah armornya, perisai, pedang. Semua dalam kondisi baik. Semuanya berfungsi seperti seharusnya. Kemudian dia mengeluarkan tas peralatannya untuk memeriksa isinya.
Terdapat potion, terlilit dengan tali dengan ikatan khusus untuk membedakan masing-masing potion, bersama dengan cangkang telur penuh akan bubuk, sebuah scroll, dan berbagai macam benda lainnya.
Ketika dia memastikan bahwa semua sudah seperti seharusnya, dia memulai menggunakan perlengkapannya. Kemudian dia pergi meninggalkan ruangan, menuju lorong sepelan mungkin agar tidak msmbangunkan dua penghuni lain yang berada di rumah, yang dia berasumsi bahwa mereka masih tidur.
Dia telah tiba di luar dengan langkah kaki yang nyaris tidak terdengar, dan ketika dia di luar, dengan segera dia di sambut oleh hawa dingin musim gugur. Terdapat kabut tipis putih di sekeliling kebun, mungkin hasil dari embun pagi. Goblin Slayer merasa seperti di dalam awan. Dia berhenti dan melihat sekitarannya.
“...Hmph.”
Jarang pandang sangat buruk. Dia mendengus, tidak suka akan ini, namun kemudian dia mulai melangkah masuk ke dalam kabut.
Dia memulai hari dengan berpatroli mengikuti arah pagar di sekeliling kebun. Dia sedang memeriksa apakah terdapat kerusakan atau tidak, tentu saja, ini juga untuk melihat apakah terdapat jejak kaki di dekatnya, dan jika ada, ada seberapa banyak.sangatlah mudah untuk meninggalkan jejak kaki dalam kondisi licin seperti ini, namun kabut tebal ini membuat pekerjaannya menjadi sulit, walaupun begitu, Goblin Slayer terus melakukan pekerjaannya, tanpa bersuara apapun.
Lagipula, Dalam gua jauh lebih gelap dari ini. Dia perlu berusaha untuk melihat apa yang tidak dapat terlihat, untuk melatih pengelihatan malamnya.
Di saat dia telah menyelesaikan patroli kebunnya, dia mengambil beberapa pisau dan sasaran dari gudang. Dia membariskan beberapa botol dan benda kecil lainnya di atas pagar dan kemudian berlatih berputar, membidik dalam sekejap, dan melempar.
Satu persatu, pisau itu bersiul di udara pagi, mengirimkan botol itu terbang, atau tertancap di pagar.
“Hrm.”
Hanya itu yang di katakan Goblin Slayer mengenai ini semua seraya dia bergerak untuk membereskan senjata dan sasaran. Sinar awal fajar menyingsing di cakrawala.
Dia telah menarih kembali peralatan latihannya di dalam gudang, ketika tiba-tiba, dia menyadari sebuah sosok di dekat pintu masuk kebun.
Goblin?
Tangannya meremas pedang yang berada di pinggul. Sosok itu terlalu samar untuk di ketahui, namun sosok itu mengambil satu atau dua langlah. Ketika dia menyadari bahwa sosok itu terlalu besar untuk seekor goblin, dia melonggarkan remasan pada pedangnya..
“Siapa di sana?” dia bertanya.
“Eeyikes!” terdengarlah jawaban terkejut. Pria muda asing yang panik, seseorang yang tampak begitu akrab.
Goblin Slayer memperpendek jarak di antara mereka dengan langkah sigapnya, dan wajah bocahnitu menengang. Kemudian pada akhirnya, Goblin Slayer menyadari pengunjung itu menggunakan seragam Guild. Seorang pegawai.
“Jadi kamu dari Guild. Ada apa?”
“Er, aku—aku dengar ceritaya, tapi...” Pria muda itu batuk dengan di sengaja. “Kamu mempunyai pengunjung di Guild. Kehadiranmu di butuhkan dengan segera.”
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk. Kemudian helmnya sedikit miring. “Apa goblin?”
“A—aku nggak...yakin...?”
“Tunggu sebentar.” Dia berputsr dan pergi kembali ke dalam rumah.
Di belakangnya, pria muda itu menyentuh dada dengan tangannya, tidak dapat berkata apa-apa, namun Goblin Slayer tidak mempedulikannya.
Dia berjalan melewati lorong, yakin akan kemana arah dia melangkah, hingga akhirnya dia menemukan pintu yang dia cari.
“Aku masuk.”
“Huh?— Wah?!”
Dengan teriakan yanh sama sekali tidak mencerminkan kewanitaan, Gadis Sapi berusaha menugupi tubuhnya dengan sebuah kain—dia sedang tertangkap di tengah-tengah memakai baju dan berdiri di sana telanjang bulat.

Goblin Slayer terdiam melihat pemandangan yang menyambutnya ketika dia membuka pintu; kemudian dia memutar helmnya ke samping dan berbicara dengan tenang.
“........Aku nggak perlu sarapan. Aku akan pergi keluar.”
Gadis Sapi mengayunkan tangan mengarah pria itu tidak berdaya. Mungkin dia tidak akan keberatan menunjukkan dirinya sendiri kepada pria itu, namun dia tidak ingin pria itu mempergoknya seperti ini.
“Ke-ketuk! Kamu tu harus ketuk pintu!”
“...Aku mengerti,” Goblin Slayer berkata pelan. “Aku minta maaf.”
“Ng-nggak apa... Maksudku nggak masalah, tapi...” Gadis Sapi menekan dada besarnya dengan tangan dan bernapas dalam. Wajahnya merah—dari terkejut, atau malu? Bahkan dia sendiri merasa tidak yakin. Dia sudah minta maaf secara langsung, dan Gadis Sapi berniat untuk membiarkannya saja...
“Jadi,” Gadis sapi berkata, suaranya satu oktaf lebih tinggi dari biasanya. “...Ada apa?”
Jawaban Goblin Slayer sangat datar. “Aku nggak tahu, tapi aku sudah di panggil ke Guild.”
“Oke,” Gadis Sapi berkata pelan.
Kurasa ini artinya dia nggak akan perlu makan malam juga nanti. Gadis Sapi merasakan rasa nyeri di dadanya.
Seolah ingin memastikan, pria itu berkata, dingin dan pelan. “Kalau ini melibatkan goblin, aku nggak akan bisa membantu pekerjaan kebun hari ini.”
Sampai jumpa.
Gadis Sapi melihat pria itu pergi dan tersenyum, namun setelah itu, Gadis Sapi harus duduk pada ranjangnya untuk beberapa saat.
*****
“Oh! Pak Goblin Slayer!” Dia melihat wajah Gadis Guild menjadi ceria seketika dia memasuki Guild.
Ada awal pagi.
Para petualang yang menyewa kamar di Guild baru saja turun menuju rumah makam dari lantai dua, dengan sibuk memuat sarapan ke dalam mulut mereka. Tetapi tidak terlalu banyak dari mereka, karena kertas quest masih belum di pajang; atmosfir keseluruhan tempat ini sangat santai dan pelan.
Satu pengecualian adalah anggota pegawai di ruangan belakang yang berlarian kesana kemari menangani pekerjaan administratif. Mereka mempersiapkan dokumen, meempersiapkan quest, memeriksa brangkas, memastikan informasi, dan lain-lain.
Di tengah semua ini, Gadis Guild menyempatkan dirinya untuk memberikan lambaian kecil seraya pria itu masuk.
“Tamu-mu sudah menunggu!”
“Begitu. Di lantai dua?”
“Benar! Er, Aku...” Wajah ceria Gadis Guild sebelumnya menjadi muram. Atau mungkin akan lebih tepat untuk di katakan bahwa senyumnya menjadi pudar dalam sesaat.
Dia meracau seolah dia tidak dapat mengungkapkan apa yang dia ingin katakan berikutnya. Goblin Slayer sedikit  memiringkan kepalanya. “Kenapa?”
Kepang gadis itu berayun layaknya ekor anak anjing: boing! Gadis Guild menundukkan kepala memohon maaf.
“Saya benar-benar minta maaf atas quest sebelumnya.”
“Sebelumnya...”
“Yang—itu, yang goblin laut.” Gadis Guild merasa sukar untuk mengucapkannya. Dia barus saja menerima laporan pria itu kemarin.
Goblin Slayer berpikir sejenak, namun pada akhirnya, dia tampak memahami apa yang di ucapkan gadis itu. “Ah,” dia berkata seraya mengangguk. Kemudian dia melanjutkan dengan gelengan kepala. “Nggak masalah sama sekali.”
Dengan ucapan pendeknya, Goblin Slayer menuju tangga. Dia sama sekali tidak menyadari Gadis Guild yang meletakkan tangan pada dada seraya pria itu mulai menaiki tangga.
Pria itu berpikir untuk pergi ke ruang rapat yang dulunya mempertemukan orang-orang yang sekarang menjadi anggota partynya. Sudah berapa lama itu? Dengan perasaan bahwa itu sudah lebih dari satu tahun yang lalu, dia membuka pintunya.
Seraya dia melakukannya, seorang wanita berdiri di jendela di bagian ujung ruangan, mendengakkan kepalanya dan menatap Goblin Slayer.
“Kamu datang,” wanita itu berkata.
Suaranya begitu bergairah, hingga tampak akan meleleh kapapun juga. Matahari menyinari dari jendela di belakang wanita itu, dan bibirnya yang terlihat dari balik tudungnya, tersenyum dengan begitu lembut.
Wanita itu mengibaskan jubahnya dan gelombang rambut emas muncul layaknya lautan. Lapisan, kain putih dirinya memamerkan garis tubuhnya yang begitu aduhai—mungkin Ibunda Bumi sendiri terlihat seperti ini.
Kulit yang tampak dari seragamnya sangatlah putih, hampir transparan, seolah tak tersentuh sama sekali oleh matahari. Warna merah muda pada pipinya kemungkinan tidak berasal dari cahaya saja. Dia hampir tampak seperti pelacur—dan terdapat beberapa kuil yang menyimpan pelacur suci.
Dia dapat mendekap pria manapun yang menatap jari-jari kecionya, akan tetapi, matanya tertutupi oleh sebuah kain hitam. Di tangannya, dia memegang terbalik sebuah pedang dan timbangan lambang akan kebenaran dan keadilan. Dari cara dia bertumpu pada pedang itu, dari cara dia berbisik, menunjukkan sebuah kegelisahan intens.
“Apakah saya...mengganggumu?”
“Nggak.”
Sword Maiden. Adalah nama cleric perbatasan yang di jawab oleh Goblin Slayer dengan nada pelan dan datarnya.
“Apa goblin?”
“Benar. Saya memohon padamu, tolong saya... Atau mungkin lebih tepatnya...” Suara mempesona nan bergairahnya terdengar begitu samar seraya wanita itu menggelengkan kepala.”...bunuh mereka?”
“Tentu saja,” pria itu berkata dengan begitu cepat seperti sebuah pedang yang mengayun.
Bibir wanita itu melembut hingga menjadi senyuman tipis, hembusan nafasnya hangat. Rambut membanjiri dadanya yang mengembang dengan sedikit geraian dari rambutnya.
“Di mana mereka? Seberapa besar sarangnya?”
“Ada beberapa...rincian spesial yang harus kamu ketahui.”
“Katakan.”
Sword Maiden memberi tahu Goblin Slayer untuk duduk, walaupun mereka berdua bukanlah tamu. Cara pria itu duduk sangatlah kasar; berbanding terbalik ketika Sword Maiden duduk, sungguh gemulai. Sword Maiden sedikit bergerak, untuk mencari tempat yang tepat untuk bokongnyaa yang bulat, dan kemudiam dia menarik pedang dan timbangan mendekat.
“Lokasinya adalah... Maaf, bisakah kamu membawakan saya peta?”
“Baik, baik, aku sudah menyiapkannya.” Jawab seorang cleric wanita tua. Sudah berapa lama wanita itu ada di sana? Wanita ini hampir tampak menyatu dengan bayangan di ujung ruangan rapat.
Cleric itu membentang peta di atas meja tanpa suara meskipun dengan seragamnya yang besar.
Pasti dia semacam monk, pikir Goblin Slayer daan kemudian dengan segera dia mengalihkan perhatiannya. Wanita itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya terhadap goblin.
Sword Maiden pasti sudah menebak apa yang pria itu pikirkan, karena dia melepaskan sebuah tawa kecil. “Dia adalah pembantu saya. Pengawal juga... Walaupun saya sudah berkata saya tidak membutuhkannya.”
“Seahli-ahlinya anda, nona archbishop, bahkan anda akan berada dalam bahaya jika berkelana sendiri. Apa lagi yang harus kami lakukan?”
Fuh. Sword Maiden tampak seperti merajuk—namun kemudian dia batuk lembut, sedikit merasa malu. “Bagaimanapun juga, goblin telah muncul...”
Dia menjalarkan jarinya di atas peta dengan lembut, hampir seperti belaian. Dia tampak seperti mengikuti sebuah jalan dengan ahli, walaupun secara harfiah matanya tertutup oleh kain.
“...di sini, di jalan raya dari kota air menuju sini dan ke ibukota.
“Jalan raya...”
“Mengerikan sekali. Jalannya masih dapat di lewati, tetapi...”
...Seolah seperti. Apa yang orang biasa pikirkan jika mereka mendengar penilaian Sword Maiden?
“Hrm,” Goblin Slayer mendengus seraya dia melirik Sword Maiden, yang pundaknya bergetar. “Apa kita mengetahui bentuk, ukuran sarang, atau rincian llainnya?”
“Saksi mata berkata bahwa terdapat kurang lebih dua puluh goblin, semua memiliki tato yang sama. Kami tidak mengetahui di mana sarangnya, tapi...”  Suara Sword Maiden melemah, seperti seorang anak kecil yang mengingat mimpi buruk. “...Laporan mengatakan bahwa mereka menunggangi serigala.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata pelan dan kemudian mendengus kembali seolah sedang berpikir.
Mereka pernah berhadapan dengan rider sebelumnya di hutan hujan, sebuah pertarungan yang melibatkan dua grup saling bertukar tembak di pinggir tebing.
Sangatlah cukup merepotkan untuk menyelesaikan mereka pada saat itu....
“Nona archbishop di tuntut untuk berpartisipasi dalam rapat dewan yang akan di adakan di ibukota dalam waktu dekat ini.” Ucapan pengikutnya tampak seperti sebuah tambahan pada penjelasan Sword Maiden dan mungkin untuk mengklarifikasi juga. Mungkin wanita itu tidak sanggup menerima kenyataan bahwa salah satu pelindung hebat yang telah membawa kedamaian pada perbatasan dapat merasa takut oleh seekor goblin. “Quest ini, secara teknis bukanlah pembasmian goblin tetapi pekerjaan pengawalan pribadi.”
“Apa akan ada penjaga yang lain?”
“Tidak. Tidak ada satupun di karenakan konfrensi darurat ini sama sekali tidak menyisihkan waktu untuk mengatur permintaan penjaga seperti itu.”
Mengapa tidak menggunakan prajurit, atau membiarkan militer mengatasi ini? Pertanyaan seperti itu dari seorang petualang tentunya akan memberi luka pada hati Sword Maiden. Acolyte Sword Maiden, tampaknya tidak hanya melindungi kondisi fisik nonanya...tetapi juga keadaan emosionalnya.
Apapun itu, jawaban Goblin Slayer selalu cepat dalam sekejap: “Aku nggak peduli. Aku curiga mereka adalah pengelana tanpa sarang. Suku pengelana.” Dia menatap pada peta, menghitung jarak dan arah ke ibukota di kepalanya.
Dia tidak pernah ke ibukota sebelumnya. Tetapi dulu, ada waktu dalam kehidupannya di mana dia tidak pernah pergi ke kota juga.
Peta sangatlah berkemungkinan berbeda dengan realita yang ada. Dia harus memastikan bahwa rencananya dapat membuatnya bereaksi pada situasi yang ada di sana.
“Jika kita bertemu dengan mereka. Kita akan bunuh semua, dan selesai.”
“Saya tidak mengetahui bahwa ada goblin seperti itu.”
“Mereka ada. Mereka terkadang di sebut goblin-lapangan” Goblin Slayer mengangguk tegas, kemudian berpikir sejenak dan menambahkan sebuah klarifikasi penting. “Tapi goblin laut mirip seperti ikan.”
“Yah.” Sangatlah sulit di percaya. Atau paling tidak, mulut Sword Maiden terbuka menandakan sebuah ketidakpercayaan—dengan cepat dia menutupnya dengan tangan. Jika matanya dapat terlihat, maka matanya mungkin akan terbelalak dan berkedip.
“Saya berpikir bahwa hampir semua petualang dapat membantu kita menangani beberapa goblin.” Tampaknya sang acolyte-pun merasa curiga, walaupun untuk alasan yang berbeda. Sang acolyte melirik mengarah Goblin Slayer—atau tepatnya, pada kalung peringkat silver yang bergantung di leher pria itu.
Petualang ini dengan armor kulit kotor adalah seseorang yang telah mengubur makhluk buruk rupa yang berada di saluran air pada kota air. Dia tidak dapat meragukan kemampuan pria itu. Dia hanya berpikir bahwa mungkin menyewa seseorang dengan peringkatnya sedikit terlalu berlebihan.
“Akan tetapi, nona archbishop, tidak pernah mempertimbangkan untuk menyewa orang lain selain anda,” dia berkata.
“Dia adalah seseorang yang paling saya percaya.” Sword Maiden berkata, memanyunkan bibirnya merajuk.
“Sudahlah.” Ucapan sang acolyte dapat terdengar. Dia terdengar seperti seorang kakak perempuan yang mengikuti kemauan adiknya.
Goblin Slayer memperhatikan mereka berdua dengan seksama dan kemudian berbicara dengan nada pelan. “Aku akan memanggil temanku,” dia berkata, menggunakan sebuah kata yang mungkin sukar dia percaya telah ucapkan. “Nggak akan lama.”
*****
“Dan kamu menerima questnya tanpa sedikitpun mempertanyakan hadiahnya?!”
“...Hadiah?”
“Jangan bilang kamu lupa, Orcbolg!”
Sebuah pohon bakal lupa sama akarnya kalau pohon itu sebego kamu.
Dari tempatnya di samping Lizard  Priest pada sebuah bangku kusir, High Elf Archer mengepakkan telinganya jengkel.
Di temani dengan partynya, sebuah kereta di tarik oleh sepasang kuda, berjalan melewati gerbang kota. Hembusan angin sejuk menandai awal musim gugur mengirim awan tersebar di langit; cuaca sangat cerah, dan masih terasa cukup hangat.
Namun ini juga adalah hari libur High Elf Archer. Ini seharusnya hari di mana dia bersantai. Hari di mana dia dapat tidur hingga siang jika dia ingin.
Tetapi, dia telah di bangunkan dari tidurnya dengan “Kita punya pekerjaan” dan “Goblin.” Bahkan seorang elf akan merasa kesal, dan High Elf Archer mendemonstrasikannya dengan sempurna melalui kepakan telinganya.
“Yah, er, ayolah, sudah...” Priesterss, wajahnya menengang, berusaha untung menangkan sang archer, namun itu bukan berarti dia tidak memahami apa yang di rasakan High Elf Archer. Itu karena, kemarin adalah perburuan goblin dan hari ini adalah perburuan goblin. Priestess mendambakan petualangan yang seharusnya, jadi tidaak mungkin dia merasa senang akan hal ini.
Tapi bukan berarti itu akan membuatku tidak akan ikutnya dengannya...
Pria itu mendatangi mmereka dengan diskusinya-yang-merupakan-bukan-sebuah-diskusi; dia benar-benar terlalu.
“Pak, Goblin Slayer, kamu harus memastikan untuk mendapatkan rinciannya oke?” Priestess mengacungkan jari telunjuk seolah sedang memarahi cleric junior di kuilnya.
“Begitu,” Dia berkata dan memberikan anggukan memahami—hal itu membuat pria ini lebih mudah di tangani di banding kebanyakan murid kuil muda.
“Kurasa kita bisa membicarakan soal hadiahnya nanti... Kan?”
“Tentu saja. Saya sudah mempersiapkan kompensasi untuk kalian.” Di dalam kereta kuda para petualang, duduklah seorang wanita menggunakan tudung dan senyuman tipis. Pengikut yang duduk bersebrangan dengan wanita itu cukuplah cantik, namun keagungan murni dari sosoknya, dan kemisteriusan nan memggoda akan bentuk bibirnya, sangatlah tidak dapat di bandingkan dengan pengikutnya
Para petualang yang pergi ke sini dan ke sana mengikuti jalan, terpana ketika melihat kecantikkan itu yang tampak dari jendela kereta kuda.
Pemandangan sekitar, yah, tidak istimewa. Bukanlah pertama kalinya pria ini yang selalu mengambil quest goblin telah melakukan sesuatu yang aneh. Dia adalah pria aneh, dan sekarang dia telang mengambil quest yang berhubungan dengan goblin dan mengawal wanita ini.
Tetapi Atmosfir yang cukup canggung ini, mungkin sama sekali tidak di rasakan oleh pria itu...
“Sebagai mulanya, saya menawarkan kalian semua sebuah sekantung koin emas di muka. Kemudian satu kantung lagi ketika kita sampai.”
Masing-masing satu kantung?” Dwarf Shaman berkata.
“Benar.”
Hal itu memprovokasi sebuah “Hmm” dan belaian jenggot puas dari sang dwarf. Untuk pembasmian goblin, bahkan untuk pembasmian goblin di tambah pekerjaan mengawal, itu adalah harga yang bagus. “Nggak jelek, nggak jelek. Sekalian kesempatan yang bagus untuk lihat-lihat sekitaran ibukota...”
“Uh-huh... Ibukota. Aku selalu ingin melihatnya...” High Elf Archer masih merasa kesal, namun tampaknya dia menyadari bahwa marah di sini sangatlah tidak pantas dan sekarang yang dapat dia lakukan hanyalah menggerutu sedikit.
Benar sekali, ha-ha. Lizard Priest tertawa dari tempat dia duduk pada bangku kusir, memegang pelana.
Di sana terdapat Goblin Slayer yang tampak seperti membimbing kereta kuda. Lizard Priest dan High Elf Archer duduk di bangku. Dwarf Shaman dan Priestess berada di kedua sisi samping untuk bantuan. Tidak ada seorangpun yang perlu mengatakan apapun; mereka dengan sendirinya membentuj formasi seperti ini.
Pada akhirnya, mereka mengikuti “tuanku Goblin slayer” tanpa satupun dari mereka yang mempertanyakan tentang hadiah, begitu saja.
Walaupun bukan berarti mereka tidak mempersiapkan perjalanan mereka. Mereka telah mempersiapkan semuanya dengan segala pertimbangan.
Ya, benar sekali. Lizard Priest merasa senang untuk mengetahui bahwa kebanyakan orang tidak akan dapat membaca ekspresinya seraya senyumnya semakin dalam.
Tiba-tiba, tidak begitu jauh dari bagian luar kota, Goblin Slayer berkata. “...Hentikan keretanya.”
“Baiklah.” Lizard Priest menarik pelana dengan tangannya yang bersisik untuk memberhentikan kuda.
“Tunggu sebentar,” Goblin Slayer berkata dan mulai berjalan. Mereka tidak perlu bertanya mengapa. Hanya jarak oendek dari jalanan, menuju sisi lain dari sebuah pagar, mereka dapat melihat seorang gadis muda berambut merah.
“Beardcutter ini mesra juga ya Scaly?”
“Konon mereka berkata bahwa untuk membentuk sebuah jalinan adalah dengan bertemu muka. Namun sebuah jalinan akan menjadi longgar apabila tidak berikan perhatian yang layak.”
Dwarf Shaman mendatangi tumpukan bagasi di kereta kuda, membuka sebuah tutup dari kendi anggur dan meneguknya.
“Minum sebelum siang?” High Elf Archer berkata dengan terkejut, namun seorang dwarf yang tidak minum bukanlah dwarf sama sekali.
“Jangan bego. Ini bahan bakar; ini bisa membuatku terus berjalan. Bagaimana aku bisa merapalkan mantraku kalau lidahku kaku?”
Prkestess mendapati dirinya sendiri tersenyum mendengar keseriusan Dwarf Shaman. “Gampang sekali jadi haus ya? Ini mungkin memang musim gugur, tapi jalan kaki cukup lama akan tetap membuatmu berkeringat.” Priestess membuka kerahnya sedikit (walaupun dia mengetahui bahwa itu sama sekali tidak mencerminkan kewanitaan) dan mengipaskan dirinya.
Cuaca tidaklah begitu panas hingga dapat di kualifikasikan sebagai musim panas india, namun sida-sisa terakhir akan musim panas masih dapat terasa. Para petualang terbiasa untuk berjalan ke segala tempat, namun tetap saja, berkeringat dapat menguras tenaga.
Ini membuat gadis itu semakin mengagumkan, Priestess berpikir seraya dia memperhatikan Gadis Sapi berbicara dengan Goblin Slayer. Gadis kebun itu selalu ceria dan tersenyum, walaupun di tengah pekerjaan kebun yang sangat memeras tenaga.
Pada saat itu, gadis itu memberikan gerakan akan nggak di pikirkan kepada Goblin Slayer. Pria itu pasti mengatakan bahwa dia harus segera pergi.
Bagaimana kalau aku ada di posisinya...?
“Andai...”
Kata itu, terucap pelan dan lemas, terdengar dari dalam kereta kuda.
Priestess mengintip ke dalam jendela untuk melihat Sword Maiden bergerak dengan gundah. Buah dadanya, yang dapat di bandingkan dengan buah yang saangat besar, berayun kecil seketika dia mendempetkan dirinya pada rangka jendela. Priestess merasa sedikit tercengang.
“...Ahem, bolehkah sayang mengetahui siapa yang berada di sana?”
Hmm? Pikir Priestess, namun dengan cepat dia dapat memahaminya.
Wanita itu sedang membicarakan tentang Goblin Slayer.
“Er, itu wanita muda yang berasal dari kebun tempat Goblin Slayer ti ggal.”
“Begitu...” Helaan napas, membawa sedikit kesedihan, terlepas dari bibir merah lembut Sword Maiden.
”Bu, apa ada...?”
“Tidak...” Sword Maiden berkata, menggelengkan kepala dan sedikit menundukkannya. “....Tidak apa-apa.”
“Be...Begitu.” Priestess memaksa dirinya untuk memalingkan pandangannya dari Sword Maidenm walaupun keinginannya untuk mencuri lirik kembali kepada wanita itu.
Priestess sangat memahami akan perasaan kasmaran. Adalah sama dengan apa yang dia rasakan dengan witch cantik itu. (TL Note : kata yang di gunakan di sini itu “Infatuation” bukan “love” infatuation itu sendiri sebuah perasaan seperti menyukai/mengagumi/terpukau seseorang (yang biasanya berujung jatuh cinta) sebagai contoh ketika kamu melihat seseorang, dan kamu berpikir “Wow cantik/cakep sekali orang itu” atau semacamnya. Karena itu di sini saya memakai kata “kasmaran”. Karena saya g tahu kata apa yang tepat untuk menggantikan infatuation.)
Jika begitu, perasaan apakah yang sedang dia rasakan kepada Sword Maiden, sang archbishop terhormat?
Aku rasa ini nggak sopan.
Ketika dia memikirkan masa di mana dia berada di kota air, mengingat kembali momen mandi dan ritual keajaiban Resurrection, dia masih dapat merasakan sesuatu di lubuk hatinya menjadi panas.
Erk!
Dia menggelengkan kepalanya untuj mencegah pipinya tersipu akibat memikirkan momen di ranjang itu.
“Aku sudah selesai.”
“Oh, baik!” Priestess mendengak dengan cepat seraya mendengar langkah kaki yang mendekat.
Dia memastikan genggaman pada tongkatnya tetap erat, memeriksa semua bagasi masih pada tempatnya, dan mengelap keringat dari dahi dengan sapu tangan, dan kemudian dia siap pergi.
“Mm, jika begitu, mari kita pergi.” Lizard Priest memberikan cambukkan pada pelana dan kereta kuda mulai berjalan kembali.
Dwarf Shaman merogoh isi tasnya, mengeluarkan sebuah apel dan kemudian dia gigit seraya berjalan.
Priestess tertawa kecil dan bergumam, “Ayolah,” di tengah dentingan cincin tongkatnya. “Kamu nanti terlalu kenyang sebelum makan siang.”
“Apa, maksudmu ini? Ini bahkan sama sekali nggak bakal masuk perut seorang dwarf.”
“Oh, aku minta juga!” High Elf Archer berkata, menggapaikan tangannya turun dari bangku kusir; Dwarf Shaman melemparkan apel mengarahnya dengan “Nih.”
Sang archer menangkapnya dengan kedua tangan dan menyeringai, mengelap apel itu dengan lengan bajunya...
“Ahhh...” Tanpa peringatan, sang elf menguap puas, menggosok mata seraya dia melakukannya. “Aduh, senang banget rasanya aku kalau kita nggak bertemu goblin dalam perjalanan ini.”
Namun itu sepertinya sangatlah tidak mungkin.
*****
Sword Maiden terbangun oleh ritme percikan api yang berdansa. Dia bangun dari kursi di dalam kereta kuda yang redup. Dia mencari pedang dan timbangan, berhati-hati untukntidak membangunkan pengikutnya, yang masih tertidur di seberang dirinya, seraya dia membuka selimut.
Kemudian dia menarik seragamnya dan menyelinap keluar kereta.
Mereka sedang berkemah untuk malam ini. Matahari telah terbenam, bulan telah muncul, dan bintang-bintang berkelip.
Mereka berada di tempat di samping jalan di mana rumput telah di bersihkan agar pengembara dapat beristirahat. Pertanyaannya adalah, apakah para petualang yang sudah lelah ini tiba duluan, atau tempat untuk berkemah ini?
Biasanya, seseorang akan menemukan sebuah penginapan di tempat seperti ini, namun dengan semua monster yang ada akhir-akhir ini, itu hanyalah menjadi harapan yang terlalu berlebihan.
Sword Maiden menuju pertengahan kemah. Dia mendenggar bahwa tidak ada kereta kuda lainnya. Itu artinya, siapapun yang menjaga api adalah salah satu anggota partynya.
Sebuah sosok tampak redup di hadapan api, seorang pria yang dia kenal dari dalam mimpinya.
“...Selamat malam?” dia berkata seraya mendekat, duduk di samping pria itu. Dia memberikan sedikit jarak antara mereka—karena dia tidak berani untuk duduk lebih dekat lagi dengan pria itu.
Bayangan Goblin Slayer bergerak, kepalanya yang berhelm berputar mengarah Sword Maiden. Pengikut wanita itu mengeluh bahwa helm itu terlihat kotor dan murahan. Dan Sword Maiden memahaminya, ketika dulu Sword Maiden melepaskan helm itu.
“Kamu tidak tidur?”
“Er...”
Suara pria itu begitu pelan dan dingin, acuh, hampir mekanikal. Sword Maiden menutup mulut dengan tangannya untuk mencegah jantungnya melompat keluar dari dadanya yang besar.
Apa yang harus di katakan kepadanya? Kalimat yang dia bayangkan untuk di ucapkan telah menghilang dalam sekejap. Adalah seperti, dia pikir, ketika seseorang sedang menulis sebuah surat namun telah salah menulis, meremas keseluruhan kertas dan membuangnya.
“...Setelah semua yang telah kamu lakukan, saya akhirnya dapat tidur dengan pulas kembali. Saya ingin mengucapkan terima kasih kembali...”
“Tapi kamu terbangun sekarang.”
Sword Maiden akhirnya dapat mengutarakan isi hatinya, namun Goblin Slayer kembali menekannya dengan jawabannya.
“Itu...” Sword Maiden membusungkan pipi, memanyunkan bibir merahnya. “...Kamu ini, pak, adalah yang terburuk.”
“Begitu?”
“Saya pikir begitu.”
Pria itu sama sekali tidak menyadari apa yang di rasakan wanita itu.
Sword Maiden berpaling dari Goblin Slayer, namun di balik penutup matanya, dia melirik mengarah pria itu. Dia adalah sesosok bayangan hitam yang menatap mengarah api, tidak pernah bergeming. Bagi Sword Maiden pria itu tampak seperti sebuah pedang yang menunggu untuk di tarik.
Saya rasa dia sama sekali tidak tertarik dengan rapat dewan apa yang akan mereka adakan di ibukota.
Mereka di kelilingi oleh para petualang yang tertidur di dalam kantung tidur mereka dan selimut.
Sword Maiden menghela napas lembut. Pada akhirnya, hanya ada satu pilihan topik pembicaraan.
“Jadi kita tidak melihat satupun goblin hari ini...”
“Mereka akan datang,” Goblin Slayer berkata, mengaduk api dengan ranting panjang. Sekeping kayu bakar berdecak, mengirimkan percikan bara api.
“Kita mempunyai kereta kuda yang di kelilingi penjaga bersenjata. Akan sangatlah sulit untuk menyerangnya secara langsung.”
“...”
“Malam ini, atau besok.”
Swprd Maiden tidak dapat berkata apapun lagi. Rahimnya serasa bagaikan di tusuk dengan jarum es, rasa dingin yang menyebar membuatnya bergetar merinding.
Dia mendekap pedang dan timbangan ke dadanya. Kegelapan menyelimuti dari segala penjuru.
Angin berdansa melintasi dedaunan dengan deruan yang membisik. Sword Maiden merasakan tubuhnya menjadi kaku.
Dia menoleh ke kanan. Suara akan ranting yang bergemerisik. Dia menoleh ke kiri. Angin bertiup di atas dataran. Hush, hush. Jeritan para burung. Jeritan para hewan liar.
Aroma masam akan bumi mengambang. Kretek, kretek. Api melompat. Aroma akan kayu yang terbakar.
Tawaan hina bergema di pikirannya. Menunjuk dan terkekeh-kekeh. Api menghampiri mendekat ke arah matanya.
Sword Maiden menggelengkan kepala dan menggelengkannya kembali, tidak, tidak. Dia merasa hendak memohon kepada sesuatu yang dia tidak ketahui apa.
Lidah merah kehitaman menjilati pengelihatannya yang padam. Raungan yang terdengar sama. Batang yang terasa panas di antara kakinya. Menangis tersedu-sedu.
Teriakan yang seperti jeritan kematian, tidak pernah berakhir, menghantam secara terus menerus di gendang telinganya. Suara itu adalah suaranya sendiri. Jiwanya telah mencapai puncah ekstrim akan martabatnya yang telah hancur—
“Tidur.”
Suara pelam itu memberikan kesan akan sebuah baja. Suara itu berasal dari bayangan hitam yang berada di depannya.
“Tutup matamu, dan ketika kamu membukanya, pagi akan datang.”
“Kamu membuatnya terdengar...” Sword Maiden berbicara dengan suara yang tertahan, mencoba untuk mengendalikan napasnya yang menjadi kacau tanpa fi sadarinya. “...begitu mudah.”
“Aku tahu itu sulit,” Goblin Slayer berkata dengan keseriusan penuh. “Saat aku kecil, aku berbaring di ranjangku mencoba mencari tahu seberapa lama aku bisa menutup mataku sebelum pagi datang.”
Ucapan yang paling sederhana. Dan itu mengundang sebuah senyum tipis dari Sword Maiden. Persis seperti kala di mana dia adalah seorang gadis yang murni, tidak ternodai, pria yang ada di depannya dulu juga merupakan bocah yang tidak berdosa.
Sword Maiden tidak mengatakan apaoun. Dia ragu bahwa dia bisa mengucapkan sesuatu yang ingin dia katakan.
Tentang dirinya sendiri, tentang pria itu, tentang gadis di kebun, dan tentang priestess pemberani itu.
Berbagai macam pikiran berputar di kepalanya, dan setiap kali dia mencoba untuk mengatakan sesuatu, lidahnya akan bergetar dan tidak ada sepatah katapun yang dapat terucap.
Namun terdapat seorang pria yang seperti bayangan di depannya, dan demi dirinya, pria itu tanpa suara  menjaga api.
Saya harap pagi akan segera datang.
Saya haram malam ini akan terus berlanjut selamanya.
Sword Maiden merasa seolah apa yang telah dia lupakan selama sepuluh tahun terakhir akan meluap keluar... Ya, dia merasakannya.
Sword Maiden menarik lututnya mendekat meletakkan kedua siku di atasnya, menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia mengeluarkah helaan pelan yang bercampur dengan kemanisan dan kepahitan.
“...Mrn, ugh... Ooh.”
Sword Maiden baru akan berbicara ketika salah satu gumpalan selimut bergerak dan berputar, dan Priestess duduk. Dia menggosokkan kedua mata, menguap, dan bergumam sesuatu yang tidak dapat di mengerti.
Ahh. Sword Maiden menghela kecewa. Tidak sempat berbicara. Dan fajar masih begitu lama menjemput.
Priestess berdiri terhuyung; dia telah melepaskan baju besi dan hanya menggunakan seragamnya. Seperti seorang acolyte yang berjalan melintasi lorong kuil di tengah malam, Priestess mengarah ke bagasi. Dia membuka tasnya sebelum dia bergumam “Apa?” seolah baru tersadar. “Nona archbishop...? Dan...Goblin Slayer?”
Dia berkedip, memiringkan kepalanya tidak memahami. Dia celingak-celinguk di antara mereka berdua di tempat mereka duduk bersampingan.
Goblin Slayer, seperti yang Priestess duga ; sedang berjaga. Namun Sword Maiden di samping pria itu—apa yang dia lakukan di sana?
“...Um, ada apa?”
“...”Goblin Slayer mendengus pelan dan memutar helm bajanya mengarah Sword Maiden. “Dia terbangun.”
“Aduh,” Sword Maiden berkata. “Kamu membuatku seperti anak kecil yang tidak bisa diam saja.”
Sudah cukup untuk malam ini, Sword Maiden memutuskan. Dia menggembungkan pipinya, benar persis seperti anak kecil.
Kemudian, sebelum Priestess yang panik dapat membuat ekspresi kaget, sang archbishop telah menjadi tenang kembali.
Dia sudah bukan anak kecil lagi. Dia bahkan sudah bukan seorang wanita muda yang sering di kelilingi laki-laki. Dia tidak berkewajiban untuk mengagumi siapapun tanpa kondisi.
Satu-satunya orang yang dapat memahami semua fakta itu adalah gadis kebingungan yang berada tepat di depannya. Fakta itu menyebabkan rasa nyeri di hati Swprd Maiden, namun dia tetaplah tersenyum.
“Saya merasa cukup sulit untuk tidur,” dia berkata. “...Dan kamu? Apa ada sesuatu yang salah?”
“Erm uh, nggak, bu.” Priestess berkata dengan gelengan kepala. “Aku Cuma sedikit haus. Aku kira airku...”
“Begitu.” Goblin Slayer mengambil botol minum dari tas dan melemparkannya mengarah Priestess dengan santai.
“Eep!” Priestess berteriak, namun dia tetap menangkapnya, menundukkan kepala dengan sopan dan mengucapkan “Terima kasih.”
Dia membuka tutup botol dan meminumnya, menelan setiap isi botol dengan setiap tegukkan. Sword Maiden memperhatikan dengan seksama—dan kemudian tatapannya yang tersembunyi tiba-tiba mengarah pada lahan kosong.
“...” Goblin Slayer tidak bertanya apa yang salah. Dengan cepat dia memeriksa bahwa pedangnya masih ada, memastikan armornya terikat dengan kencang.
Ketika Priestess melihat itu, wajahnya menjadi tegang. “Aku akan bangunkan yang lain...!”
“Jangan sampai mereka menyadari kalau kamu mengetahui keberadaan mereka.”
“Baik!”
Priestess mengambil tongkat di tangan dan mulai mengitari kemah sepelan mungkin. Cincin pada tongkatnya bergetar dengan setiap langkah, berdenting suara layaknya sebuah lonceng. Mendengar itu, ketiga selimut lainnya mulai bergerak.
Lizard Priest adalah pertama yang terbangun, berdiri tanpa suara. Dia merayap dari balik tumpukkan selimutnya, meregangkan tubuhnya yang kaku, dan dengan cepat mengambil taring naganya.
“Mereka datang?”
“...Bisa saja. Ayo, bangun.”
Respon itu datang dari Dwarf Shaman. Dia memberikan High Elf Archer sebuah tendangan untuk membangunkannya. Dengan banyak “ooh” dan “aah,” dia bangun, menggosok kedua matanya.
“...Ini bahkan belum pagi,” sang archer berkata.
“Cepat,” Priestess berkata. “Aku harus memakai baju besiku...”
“Wah sekarang kamu sudah dewasa ya,” High Elf Archer berkata, mengambil busurnya. Kemudian dia mengambil seekor laba-laba yang merayap di dekatnya dan menarik beberapa helai sutra untuk busurnya.
Ketika Goblin Slayer melihat masing-masing rekannya bersiapnuntuk pertarungan, dia berdiri. “Masuk kembali ke dalam ksreta.”
“Tapi...” Sword Maiden mendengak; tangan kasar pria itu sudah menggenggam lengan Sword Maiden.
“Ini berbahaya.”
Dia menarik wanita itu berdiri tanpa memberikan wanita itu kesempatan untuk mendebat. Kemudian dia berjalan mengarah kereta, dan Sword Maiden tidak mempunyai pilihan lain selain mengikuti.
Dengan kemampuan Sword Maiden, sangatlah mudah baginya untuk berpartisipasi dalam pertarungan dengan tingkat bahaya yang rendah, tetapi....
—!
Tetapi jari-jari yang meremas kulitnya yang lembut tidak akan mengijinkannya.
Sword Maiden sangat mengerti bahwa ini bukanlah pertarungannya. Akan tetapi, sebagian dari dirinya masih ingin mendebat.
Sword Maiden merasa senang seraya dia membiarkan dirinya di tarik, namun ketika dia di dorong masuk ke dalam kereta, dia mengeluarkan “oh” pelan akan kekecewaan.
“Ganjal pintunya dan tunggu kami.”
Pintu tertutup dengan decitan. Sword Maiden menghela  bersedih, ketika lengannya yang di sentuh, di mana masih tersisa bekas merah dari jari pria itu.
“...Baik. kami akan menunggu kamu.”
Suaranya begitu pelan, tidaklah mungkin dapat terdengar hingga keluar kereta. Mungkin lebih tepat di sebut sebagai sebuah doa. Apakah pria itu mendengarnya atau tidak sangatlah sulit di ketahui.
“Mrf... Apa yang terjadi?” Mata pengikutnya yang terkantuk sayu, berdiri, masih terlapisi dengan selimut.
Sword Maiden tidak menjawab namun menggigit bibirnya dan mendekap pedang dan timbangan lebih dekat.
“...” Indranya yang tajam sudah dapat mendeteksi adanya kehadiran di luar. Seraya dia menarik simbol akan dewa di dadanya yang besar, tubuhnya mulai merinding, bibirnya mulai bergetar.
“...Goblin. mereka datang.”
Kumohon, kumohon jangan biarkan satupun dari mereka melarikan diri hidup-hidup.
Suaranya yang tertahan mengutarakan sebuah uraian kalimat, dan kalimat lain pada hatinya.
Jika ada cara lain untuknya agar dapat bertarung melawan goblin, dia tidak mengetahuinya.
*****
“GOOROBOROGB!!”
Sergapan itu di mulai dengan sebuah perintah dari goblin rider.
Serigala melompat keluar dari semak-semak dan mendekat dengan cepat, melampaui jarak yang jauh dengan satu lompatan besar. Rahangnya berlumir dengan liur yang begitu menjijikkan, dan Goblin Slayer menghadapi mereka dengan hantaman perisainya.
“GYAN?!” Serigala menjerit dan berguling menuju api; Goblin Slayer menghancurkan tenggorokan mahluknitu dengan sepatunya dan kemudian menusuk leher rider itu, yang telah terlontar dari serigala.
Sang serigala, rusuknya patah, kejang satu kali, sementara goblin itu tenggelam tersedaak oleh darahnya sendiri. Goblin Slayer memastikan ini semua dan kemudian berlanjut bergerak ke musuh berikutnya.
Serigala kedua—mungkin terdapat empat atau lima dari mereka secara keseluruhan—telah melompat keluar dari semak-semak.
“...Hrm.” Goblin Slayer menjentikkan lidah seraya dia mencoba menarik keluar pedangnya dan mendapati pedangnya tersangkut di dalam daging goblin. Tanpa kehilangan temponya, dia melepaskan pedang itu, dan mengambil pentungan mayat itu sebagai pengganti, dan mengayunkannya.
“GGBORORB?!”
Terdengar sebuah suara akan tulang punggung yang hancur, seperti suara ranting pohon yang retak, dan sang serigala terguling ke samping. Goblin Slayer menyerang penunggang serigala itu seraya monster itu berusaha untuk berdiri.
“GORB?!”
“Dengan ini dua.”
Sang goblin terkena serangan keras di kepalanya; satu mata dan semua dari otaknya terburai keluar, dan dia pun mati. Goblin Slayer melempar pentungan pada goblin rider berikutnya dan kemudian merengut pedang yang menancap pada mayat goblin lainnya.
“Jangan biarkan mereka melarikan diri. Bunuh mereka semua.”
“...Mau gimanapun cara kamu mengucapkannya, itu sama sekali bukan kalimat yang seorang pahlawan seharusnya ucapkan.” High Elf Archer menggerutu dari posisinya di samping kereta.
Kemah, bermandikan cahaya api, telah di kelilingi oleh para goblin. Di depan High Elf Archer terdapat serigala dan penunggangnya yang telah di jatuhkan oleh Goblin Slayer.
“Heh-heh.” High Elf Archer menarik dua panah dari tempatnya; panah itu meninggalkan busurnya hampir dalam sekejap ketika dia membidik sasarannya. Panah pertama mengenai serigala tepat di matanya; dan panah berikutnya di lancarkan dengan secepat kilat, menembus tenggorokan gobkin yang maju.
“GOROR?!”
“Satu untuk perjalanan kita!” Dia menendang goblin yang menggeliat dengan kaki panjangnya dan kemudian menarik panah pada busur dan melepaskannya, (TL Note : “One for the road!” idiom inggris yang artinya satu minuman terakhir sebelum pergi.)
Panah itu melengkung dengan sudut yang aneh di kegelapan malam , terjatuh di suatu tempat di belakang kereta.
“GROBORB?!”
Sebuah jeritan. Seekor goblin terhuyung dan terjatuh, meremas dadanya, di mana sebuah panah bersemi. Dengan ini menjadi dua untuk sang archer.
High Elf Archer mengepakkan telinganya. Goblin itu memiliki sebuah tombak, namun dia tidak menunggangi apapun. “Seharusnya aku menyadari kalau kita berlima nggak akan bisa menangani keseluruhan area ini dengan banyaknya jumlah mereka... Dwarf, bantu aku!”
“Oh?”
Dwarf Shaman berdiri di samping kuda, kapak di tangan. Hampir sebelum sang dwarf menjawab, High Elf Archer sudah bergerak dengan kelincahan seekor burung kecil yang berdansa di atas ranting; pertama satu kaki sang archer mendarat pada telapak tangan sang dwarf yang bebas, kemudian High Elf Archer menginjak pundak sang dwarf, dan akhidnya melompat.
“Aku ambil posisi di atas kereta. Kami tangani yang di bawah!”
“Kampret kamu Telinga Panjang! Aku ini bukan pijakan!”
Bahkan seraya dia menggerutu, sang dwarf mengayunkan kapaknya dengan lengan kuat kaum dwarf.
“GBORROB?!”
Goblin ini mendapati dirinya terbelah bagaikan kayu bakar dari dada ke bawah, isi tubuhnya terburai keluar.
Sekarang para goblin yang berjalan kaki mulai bergerak maju berdamoingan dengan para rider. Sepuluh dari mereka, atau mungkin dua puluh.
Begitu—cukup untuk membanjiri kereta kuda manapun, pikir Dwarf Hsman.
Para goblin yang tertawa telah mendesak masuk ke kemah. Dia tidak mempunyai waktu untuk memfokuskan dirinya menyiapkan mantra.
Dwarf Shaman mengernyit dan mengayunkan darah dari kapaknya dan kemudian melontarkan teriakan. “Nggak ada pilihan... ayo gadis, ke sini, sini! Aku dalam masalah!”
“Oh baik, maaf...!” Priestess menjawab. Dia kesulitan mencari tempat yang bagus, secara terus menerus memperhatikan punggungnya seraya dia mengayunkan tongkatnya. Jika di pikir lagi, tidak banyak kesempatan di mana gadis itu harus bertarung seraya melindungi sasarab.
Priestess bergerak berlari kecil seraya para goblin mendekati, melirik pada dirinya.
“Eeep?!”
Sekarang, apakah takdir atau kemungkinan yang telah membuatnya berjongkok tepat saat ini?
Seekor serigala, hendak mengoyak leher lembut gadis itu, melintasi kepala Priestess dan di sambut oleh kapak Dwarf Shaman.
“GYAN?!”
“ Mati kamu. Kamu nggak apa-apa?”
“Iy-iya! Aku...baik-baik saja! Maaf soal tadi ya.”
“Ah, suruh si serigala yang minta maaf!”
Sang rider terguling—ketika dia terlontar dari tunggangannya, lehernya patah di karenakan benturan jatuh—dan Dwarf Shaman menendang mayat itu ke samping kemudian menenangkan pernapasannya.
Priestess datang mendekat, merapatkan dirinya dengan Dwarf Shaman. Matanya memperhatikan kegelapan malam untuk sesaat, mencari pria itu.
Semua baik-baik saja, dia ada di sana.
Sesosok pria dengan armor yang tampak menyedihkan mengusung pedang dalam cahaya api. Priestess menarik napas dan menghela.
“...Sepertinya ketapel akan jauh lebih berguna di banding keajaiban sekarang,” dia berkata.
“Benar sekali. Holy Light kemungkinan Cuma akan membuat mereka lari...”
Priestess mengangguk kepada Dwarf Shaman dan kemudian menyandarkan tongkatnya di kereta kuda dan mulai mengambil ketapel yang dia simpan pada pinggulnya. Dia mengambil sebuah batu di tanah dan mulai memutarnya, dan dengan teriakan imut akan “Yah!” dia menerbangkan batu itu.
Kegelapan malam sama sekali tidak membantu bisikannya, dan dia hanya berhasil mengenai goblin tepat di kakinya, tetapi—
“GROB?!”
“Terima kasih bantuannya!” High Elf Archer mengirimkan panah ke makhluk itu tepat ketika makhluk itu berhenti bergerak sesaat. Sang goblin tersedak akan sesuatu dan kemudian tersungkur ke belakang, dengan panah yang berada di dadanya.
Lizard Priest, tidak di ragukan lagi, sedang menikmati ini.
“Ha-ha-ha, satu tembakan bantuan kecil akan memguat semuanya menjadi lebih mudah. Namun—“
Dia mengayunkan cakar, cakar, taring, dan ekor untuk membuat dirinya tetap hangat di dalam dinginnya malam. Dua goblin dia cabik, goblin lain di cengkram di antara rahang besar dan di lemparkannya ke udara. Di saat mayat itu mendarat di tanah, ekornya yang bagaikan batang pohon sudah menyapu monster yang berada di belakangnya.
Dengan itu empat gobkin telah mati, dan bahkan dia sama sekali tidak tampak kelelahan. “Saya menyayangkan bahwa pertahanan sederhana sangatlah tidak mencerminkan diri saya.”
“Sebelas... Aku setuju.”
Tampaknya para petualang telah mengubur setidaknya setengah dari jumlah para goblin, namun mereka tetap tidak boleh lengah. Goblin Slayer menarik tombak dari tenggorokan seekor goblin dan melemparkannya mengarah seekor roder yang berusaha melompati api kemah.
“GBORRO?!”
“Artinya...?”
Sang goblin, terlempar bersamaan dengan tunggangannya, terjatuh tepat di tengah api. Terdapat sebuah gumpalan asap dan abu, dan makhluk itupun terdengar menjerit seraya terbakar hidup-hidup. Goblin itu berguling di tanah, berusaha untuk memadamkan api, namun goblin lain yang berada di sekitarnya hanya tertawa melihat itu.
Goblin Slayer menendang mayat monster yang telah dia bunuh dengan tombak ke samping, mengambil belati makhluk itu untuk dirinya.
“Dengan ini dua belas,” dia melanjutkan, “Apa kamu bisa pergi ke bagian luar kemah?”
“Kosa kata akan kaum saya sama sekali tidak memiliki kata tidak bisa.” Lizard Priest tertawa riang, menyentuh hidung dengan lidahnya. Mulut menyeringai mengerikan, dan kedua tangan dingosoknya bersama. “Mohon berikan saya sedikit waktu.”
Kemudian dia berlari melintasi asap tanpa suara.
Saat dia telah melihat raksasa bersisik itu pergi dengan aman, Goblin Slayer mengambil obor baru dari kantung peralatannya. Dia menyalakannya dengan api kecil yang berada di sekitaran. Api sama sekali tidak boleh di biarkan padam.
“GRRO?!”
Selanjutnya, dia menangani goblin terdekat dengan hantaman perisainya dan kemudian membenamkan belati di leher monster itu. Dia mulai berlari, lurus menuju mayat baru. Tujuannya? Temannya (masih sebuah pemikiran yang aneh bagi pria itu) dan kereta kuda yang mereka lindungi.
“Tiga belas... Empat belas!”
Dia meluncurkan tendangan tepat di wajah goblin yang berusaha mengahalangi jalannya, menghancurkan mulut makhluk itu ke dalam. Satu langkah lagi.
Dia melirik kepada anggota partynya dengan cepat; tampaknya tidak satupun dari mereka terluka. Dia menghela napas.
“Pak, Goblin slayer!”
Dia mengangguk kepada Priestess, yang menyambut dia dengan wajah berseri dan kemudian dia berkata acuh, “Kita akan buat papan kayu.”
“Apa?” Priestess bertanya, wajahnya mengernyit dan merah.
High Elf Archer berteriak “Apa?!” dari atas kereta. “Dengar aku, Orcbolg—!” (TL Note : buat yang bingung kenapa si elf marah di sini, sebenarnya apa yang di ucapkan Goblin Slayer itu “We’re making an anvil.” Anvil itu adalah ejekan Dwarf Shaman tentang dadanya si elf yang rata. Cuma karena dari dulu saya selalu menggunakan “Papan kayu” sebagai pengganti anvil, makanya saya tetap pakai di sini walaupun sedikit kurang nyambung sama konteksnya.)
“Kita harus perkuat pertahanan kita,” dia berkata, menghiraukan sang archer. “Rapalkan Protection, cepat.”
“Oh, ba-baik!” Priestess bertumpu pada tongkatnya; Goblin slayer menjaga Priestess yang berada di belakangnya. Dia menyambut hantaman dari goblin yang mendekat dengan perisai dan kemudian melakukan balasan dengan belatinya, mengarah pada solar plexus makhluk itu.
“GOROB?!”
“Dengan ini lima belas. Delapan lagi, tiga dari mereka rider,” dia menarik belati seraya dia menendang goblin itu menjauh, yang terksiap napas terakhirnya dari paru-paru yang tidak dapat lagi menyimpan udara di dalamnya.
Goblin Slayer mengayunkan darah hitam dari belatinya dan melanjutkan postur bertarung seraya dia berkata. “Jaga yang di bagian belakang. Aku akan tangani di sini.”
“Siap! Walaupun aku bukan pemain baris depan yang handal...” Jawaban segera Dwarf Shaman dengan sedikit kemuraman pada nadanya, namun dengan segera dia bergegas pergi.
Dia menggunakan armor ringan, namun dia masih tetaplah seorang dwarf. Serangan tenaga penuh dari kapaknya akan berdampak mematikan bagi para goblin.
“...Grr. Oke, tapi aku nggak suka ini!” High Elf Archer menggerutu, busurnya masih bersiul seraya telinganya mengepak kesal. “Kamu harus minta maaf nanti!”
“Aku nggak mengerti maksudmu,” Goblin Slayer berkata datar. Tidaklah jelas apakah pria mengerti seberapa datar dia terdengar.
Walaupun aku meragukannya, pikir Priestess, sedikit tersenyum. Dia membelai tongkatnya, mengusungnya tinggi. Kenyataan bahwa dia di lindungi oleh seseorang—tidak, oleh pria itu—sangat membantu untuk menenangkan pikirannya.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Sebagai hasilnya, doa gadis itu telah mencapai surga, dan sebuah perlindungan suci terwujud sebagai dinding tak kasat mata di sekitar kereta dan party.
“GOROROB!”
“GROBG! GROORBBGRB!!”
Jika begitu, seperti apakah para petualang ini terlihat bagi para goblin?
Jawabannya adalah, mereka terlihat begitu rentan.
Para goblin tertawa bahwa para petualang berkurang satu di hadapan mereka, namun mereka tidak menyadari hal lain apapun. Musuh telah melemah; itulah yang terpenting bagi mereka. Bagi mereka para orang-orang bodoh ini telah melakukan sesuatu yang tolol.
Sekarang mereka hanya berfokus pada satu pertanyaan: apa yang akan mereka lakukan kepada para petualang ini?
Bagaimana cara mereka membunuh para pria? Di depan para wanita mungkin? Dan terdapat seorang wanita juga di dalam kereta! Dengan kata lain, mereka akan dapat bersenang-senang, dan jika ada wanita yang mati di tengah kesenangan mereka, yah, akan masih ada wanita cadangan lainnya. Luar biasa.
Salah satu goblin yang menyeringai menjilat bibirnya, mengundang tatapan jijik dari gadis kecil dengan tongkat di tangan. Kemudian terdapat elf berharga diri tinggi itu di atas kereta—akan bagaimana elf itu menjerit ketika mereka menyeret dia turun dari sana.
Para goblin bermandikan dengan harapan dan nafsu. Seperti itulah watak para goblin.
Oleh karena itu mereka tidak menyadari apa yang telah terjadi, bahkan ketika semua telah terlambat.
“GOBRRR...?”
Yang pertama menyadari adalah goblin rider yang berada dekat di garis belakang yang sedang mencari kesempatannya untuk terjun ke dalam aksi. Dia mendengar gemerisik langkah kaki yang berasal dari semak-semak. Beberapa dari rekannya, terlambat untuk bersenang-senang, dia pikir.
Sang ridee menarik tali kulit yang berfungsi sebagai tali pelana, memutar-mutarkannya untuk memberikan mereka apa yang dia pikirkan.
“GOROBBGB?!”
Dia tidak pernah bisa mengutarakannya; dia mati mencipratkan darah pada punggung serigalanya.
“GYAN?!”
“GOOR! GOBG!”
Kaingan serigala adalah tanda pertama akan adanyz sesuatu yang tidak benar.
Satu, dua, tiga bayangan putih mendatangi mereka melintasi kegelapan—tunggu, apakah itu tulang?
“O tanduk dan cakar leluhur kami, iguanodon, jadikanlah empat anggota tubuh menjadi dua kaki untuk berjalan di muka bumi ini!”
Dragontooth Warrior di bawah naungan perintah Lizard Priest melolong dan berderik seraya mereka menyerang goblin.
Para monster tidak pernah berpikir bahwa salah satu dari petualang berhasil melepaskan diri dari garis depan menggunakan kabut asap dari api kemah sebagai perlindungan, apalagi petualang itu mengumbar doa kepada leluhurnya untuk menciptakan pasukan untuk dirinya sendiri...!
“Ahh—saya percaya bahwa ini akan dapat merampungkan permasalahan kita hingga kita mencapai ibukota, tuanku Goblin Slayer.”
Di tekan oleh Dragontooth Warrior, para goblin tidak mempunyai pilihan selain bergerak maju. Akan tetapi, di sana, mereka mendapati pelindung suci akan Protection menunggu mereka. Dan di tambah lagi empat petualang bersenjata.
“Apa kamu...akan membiarkan mereka hancur sendiri?” Priestess berkata, mendekap tongkatnya dan memfokuskan keajaibannya.
“Ya.” Goblin Slayer berkata dengan ketenangan total, seraya dia memutar belati dengan gerakan pergelanagan tangannya. “Kita akan membunuh semua goblin.”
Sebelum fajar menyingsing, ucapannya telah terbukti.
*****
Adalah pemandangan pembantaian.
Arunika pagi menyinari terang dan merah di atas tanah  ertabur tulang dan daging dan mayat para goblin dan serigala.
Priestess bersujud, membentuk tanda suci, meremas tongkatnya erat seraya dia berdoa kepada Ibunda Bumi. Bukanlah soal permohonan untuk memaafkan para goblin: dia berdoa untuk kedamaian mereka yang tepah mati tanpa pandang bulu.
“Kamu sudah selesai?”
“Oh iya...!” Priestess, terkejut oleh suara itu, mengangguk cepat dan berdiri. Dia melihat di sekitar dan menyadari bahwa Goblin slayer telah menumpuk mayat-mayat itu.
Aroma busuk menusuk hidungnya. Adalah bau yang dia kenal dadi petualangan pertamanya, dan hingga saat ini dia masih tidak dapat terbiasa dengan bau ini: jeroan dan keringat para goblin.
“Apa...yang akan kamu lakukan?”
“Ada berapa?” Goblin Slayer bertanya, menghiraukan pertanyaan Priestess. “Berapa banyak yang mereka bunuh?”
“Umm...” Priestess tidak dapat memastikan kemana dia harus memandang.
Memperhatikan dari sisi lain jendela, di dalam kereta, Sword Maiden menawarkan sebuah jawaban dengan suara tegang. “...Lima atau enam gerombolan jika tidak salah...”
“Begitu.” Goblin Slayer menarik belati dengan genggaman terbalik. “...”
“A-ada apa?” Priestess bertanya.
“Tutup jendela kereta.” Instruksi itu begitu singkat namun tidak dapat di abaikan.
“Permisi,” Priestess berkata seraya dia me utup jendela kereta kuda. Di saat dia melakukannya, dia melihat  betapa pucat dan murung ekspresi Sword Maiden.
Ah...
Dia telah mengerti. Namun itu bukan berarti dia dapat menghentikan pria itu.
Goblin Slayer mengangkat belati dan kemudian menghujamkannya tanpa ragu ke dalam perut salah satu goblin.
“Ugh...” darah menciprat, dan High Elf Archer, masih berdiri berjaga di atas kereta, membuat suara jijik.
Bahkan bagi seorang ranger atau pemburu berpengalaman, pemandangan ini akan sangat tidak nyaman. Ini bukanlah seperti sedang membersihkan atau menguliti atau menguras darah binatang.
“...Tunggu dulu, Orcbolg. Kamu mau ngapain?”
“Memastikan.”
Jawabannya, di ucapkan seraya dia terus menusuk satu persatu tubuh goblin, sangatlah jelas.
High Elf Archer melambaikan tangannya lelah dan memalingkan pandangan. Telinganya melemas. “Ergh, se...sesukamu sajalah...”
“Gimana aku bisa makan daging besok kalau kamu terus melakukan itu?” Dwarf Shaman bergurau, menggosok perutnya, namun dia terus memantau area sekitar dengan siaga. Dengan petarung garis depan mereka sedang bekerja, sangatlah penting untuk tetap terus siaga.
Akan tetapi...
“...” Priestess menggigit bibir dan menatap pada mayat para goblin.
“Ijinkan saya membantu anda, tuanku Goblin Slayer.”
“Terima kasih.”
Lizard Priest berjalan santai, mengeluarkan pedang taring pendek dan mulai bekerja. Sayatannya terlihat kasar namun berpengalamam dan sangat membantu pekerjaan ini.
“Hmmm,” Goblin Slayer mendengus, menarik perut goblin seraya dia menyelesaikan pembedahannya.
Dia kemudian melanjutkan membedah para serigala juga, mengosongkan isi setengah dari makanan yang tercerna ke tanah.
“Oh... Ergh...” Akhirnya Priestess tidak sanggup lagi menahannya; ia berjongkok, wajahnya pucat.
Potongan-potongan kecil akan tangan, kaki, dada, helai rambut, semua meleleh, dan tumpah ke tanah.
“Ada yang nggak beres.”
Dia memberi tahu Priestess untuk meminum botol minum seraya dia memberikan botol itu kepada Priestess. Gadis itu menerima botol dengan kedua tangan. Dia meminum air itu dengan berisik, air mengalir di bibirnya, menguras isi dari botol itu.
Goblin Slayer memperhatikan Priestess dari ujung matanya seraya dia memikirkan jumlah akan bagian tubuh itu. Bagian tubuh itu tidaklah sepasang.
“...Menurutmu bagaimana?”
“Hmm...” Lizard Priest bergabung dengan pria itu, berjongkok di dekat tumpukan daging, semua terlumasi oleh cairan perut, menusuk salah satu daging itu dengan ujung pedangnya. “Mungkin beberapa dari ini di berikan untuk makanan serigala, dan yang lain di simpan secara terpisah... Atau mungkin tidak sama sekali.”
“Aku setuju. Ini suku pengelana, mereka harus berkelana dengan persediaan mereka.
“...Mereka sama sekali tidak membawa barang apapun bersama mereka.”
“Astaga. Yang benar saja.”
Persepektif ini datang dari High Elf Archer, yang secara hati-hati berusaha untuk tidak melihat ke bawah. Dari tempat dia bertengger di atas kereta.
Keseluruhan pembedahan ini selalu menjadi bagian yang dia benci sejak pertama kali mereka bertemu, tetapi... sang elf menghela dan mengepakkan telinga kemudian melambaikan tangannya.
“Aku nggak melihat adanya tanda barang bawaan mereka di kejauhan juga.”
“Itu artinya Cuma satu hal,” Dwarf Shaman berkata, merasa terganggu seraya dia mengamati mayat yang terbedah.
Party berenam. Banyak goblin dan serigala untuk memakan mereka semua.
“...Itu artinya...masih ada seseorang di sana?” Priestess  ertanya dengan suara kecil, namun tidak seorangpun menjawab.
*****
“Oh wow...” Reaksi Priestess terlepas seraya dia mengjela, matanya berbinar.
Beberapa hari berjalan di jalan raya dari kota perbatasan telah berlalu, dan akhirnya, mereka telah tiba.
Seraya mereka mendekati ibukota, kebun mulai mengisi tepi jalan, dan angin menghembus di atas sungai. Di kejauhan, mereka dapat melihat sebuah atap merah lumpur akan seseorang yang mengawasi pemandangan ini.
Dinding kastil, yang sebelumnya dapat terlihat di kejauhan, tampak begitu besar di depan mata Priestess. Terbuat dari balok marmer besar yang di tumpuk satu-persatu, sehingga membentuk sebuah gerbang monumental. Memandangi gerbang itu membuat lehernya sakit. Apakah bayangan yang di hasilkan dinding itu menutupi keseluruhan jalan saat senja?
Seraya pikiran itu terngiang pada sang gadis, dia mendapati bahwa dinding itu jauh lebih mengagumkan dari sekedar ukurannya saja. Ukiran batu elok yang tidak di buat dengan sihir. Kemampuan manusia, kepiawaian manusia, dan kekuatan manusia telah membuat ini menjadi mungkin, dan itu sangatlah luar biasa.
Arsitektur ini telah berdiri hingga ribuan tahun, melawan elemen, cuaca yang mengamuk, dan banyak generasi penguasa.
Dia telah mendengar tempat ini sebelumnya, namun dia tidak pernah melihatnya. Keseluruhan dunia Priestess hanyalah terdiri dari Kuil, kota perbatasan, kebun, dan baru-baru saja, kota air. Tidak lebih dari itu.
Akan tetapi, ini, sangatlah jauh lebih besar, dan jauh lebih tua, di banding pagar kota perbatasan ataupun kota air. Gerbang besar akan ibukota ini telah berdiri selama banyak jaman; gerbang ini sendiri merupakan sejarah bagi mereka yang dapat berbahasa.
“Luar biasa banget...!” Priestess berkata, tersenyum, menghilangkan kemuraman dari malam sebelumnya.
“Gerbang ini mungkin lebih tua dari aku,” High Elf Archer berkata dari tempatnya di atas kereta kuda, mengepakkan telinga seraya mereka melewati bayangan di bawah gerbang. Binar dari mata hijau rumputnya pasti berasal dari rasa penasaran sang archer. Mengapa dia begitu bersemangat untuk melihat sesuatu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya?
“Hey,” dia memanggil, “orang-orang yang berkumpul di sekitar gerbang itu lagi ngapain?”
“Biarkan aku kasih tahu kamu apa itu dinding,” Dwarf Shaman menjawab pelan. “Dinding itu pertahanan utama dari sebuah kota; banyak tempat yang membanggakan dinding mereka.” Oleh karena itu, memberi tugas kepada seseorang untuk menjaga dinding tetap rapi dan bersih sangatlah penting. Sang dwarf mendengak ke atas kereta dengan ekspresi lelah. “Telinga Panjang. Kayaknya kamu doyan sekali di atas sana ya?”
“Yah, nggak ada salahnya seseorang mengawasi setiap sudut arah kan, Orcbolg?” dia menoleh ke bawah dari atas kereta, tampak senang bisa berada di atas keramaian.
“Ya,” kata pria itu dengan helm kotornya.
Goblin Slayer sedang melihat kesini dan kesana, memegang selembar kulit. Dia telah memotong kulit itu dari salah satu goblin di malam sebelumnya—dan diniringi dengan tatapan jijik dari High Elf Archer dan Priestess tentunya.
“...Bleh. coba kamu katakan lagi kenapa kamu harus merasa membawa itu?”
“Ada kemungkinan terdapat mereka yang selamat, atau mereka kemungkinan mempunyai pemimpin.”
“Kamu kan bisa aja menyalin simbol itu ke sesuatu.”
“Aku mau memastikan bahwa ini seakurat mu gkin.” Dengan satu jari berlapis sarung tangan, dengan santai dia menyisir pola garis geometris pada kulit itu. Pada akhirnya, dia memberikan anggukan kecil dan kemudian menggulung kulit dan memasukkannya kembali ke dalam kantungnya. “Sepertinya ini hampir berbentuk seperti tangan, tapi aku masih nggak yakin.” Dia berkata, dan kemudian helemnya bergerak. “Apa menurutmu ada yang aneh di tempat ini?”
“Iya,” Priestess berkata dengan anggukan. “Banyak banget otangnya...!” Dia sedang celingak-celinguk, tampak melangkah dengan riang.
“Hati-hati jangan sampai terpisah.”
“A—aku tahu itu... aku tahu kok, oke?” Merasa malu telah di perlakukan seperti anak kecil, Priestess mengetuk lantai dengan tongkat untuk menekankan maksudnya. Dari bawah kakinya terdengar suara keras. Dia telah begitu terfokus pada kereta sehingga membuat dia tidak sadar bahwa jalan raya bertanah telah berubah menjadi batu ubin.
Khalayak semakin ramai seraya mereka semakin dekat denggan ibukota, dan sekarang mereka berada di  setiap penjuru para petualang. Bahkan gerbang raksasa itu tampak sempit di bandingkan dengan banyaknya kumpulan tubuh ini.
Kerumunan ini  terdiri dari tua dan muda, pria dan wanita, kaya dan miskin dari setiap ras dan suku, beberapa dari mereka ingin berdagang, mereka semua bercampur  ersama, berteriak bersama.
Beberapa dari kereta kuda lain juga dapat terlihat, sementara pedagang membawa keranjang melintasi keramaian, menjual air atau buah. Beragam warna-warni akan pakaian seraya khayalak berjalan atau berdiri sungguh membuatnya terpana. Campuran akan bahasa yang mencapai telinganya terdengar begitu nyaman, hampir seperti sebuah lagu.
“Apa...ada festival atau sesuatu lainnya?” dia bertanya.
Luar biasanya, adalah Sword Maiden yang membuka jendela dan tertawa kecil, memberitahukan Priestess yang terpukau, “Seperti inilah yang selalu terjadi.”
“Tentu saja, semakin banyak warga maka itu artinya semakin banyak masalah, namun itu juga berarti semakin banyaknya peluang untuk petualang seperti kita.” Lizard priest berkata, menyambung percakapan dari tempat dia duduk memegang tali pelana. Dia memutar matanya riang.
Kereta kuda berjalan menuju gerbang dengan kecepatan tetap, tampak begitu elegan.
“Sangat di sayangkan, tampaknya saya tidak cocok untuk berada di sini.” (TL Note : sebeneranya lizard “unsuited for shadow-running though” tapi saya sama sekali tidak paham apa yang di maksud shadow running ini, jadi saya terjemahkan sebisanya saja.)
“Kurasa bakal banyak orang yang akan suka menyewamu untuk pekerjaan mengawal,” Dwarf Shaman berkata, tertawa dari tempatnya di samping kereta. Dia tampak rentan akan terseret oleh keramaian, namun langkahnya tidak pernah berhenti. Sang dwarf menoleh mengarah Goblin Slayer, menatap pria itu tepat di helmnya. “Seharusnya kamu bakal punya banyak waktu, Beardcutter. Kemungkinan besar nggak terlalu banyak perburuan goblin di ibukota.”
“Kita nggak bisa memastikan bahwa mereka benar-benar nggak ada di sini.”
“Lupakan sajalah.” Datang balasan kecut.
Jawaban kesal Dwarf Shaman menjadi akhir perbincangan mereka; Goblin Slayer dan yang lain memfokuskan perhatian mereka ke depan.
Tidak seperti perbatasan atau bahkan kota air, gerbang ibukota tidak mempunyai penjaga yang berjaga, alih-alih terdapat sebuah pos jaga. Apakah datang atau pergi, sangatlah wajib untuk menyisihkan sedikit waktu mengurus pita merah, dan kemungkinan itu adalah penyebab kemacetan ini.
Dwarf Shaman mengintip ke depan di bawah matahari awal musim gugur. “Sepertinya kita nggak akan bisa masuk ke sana dalam waktu dekat ini.” Dia berkata acuh. Kemudian dia mengambil beberapa koin dari tas dan menghilang di dalam lautan orang.
Beberapa menit kemudian, dia datang kembali dengan beberapa botol kecil, yang salah satunya di lempar mengarah High Elf Archer di atas atap kereta. “Lebih baik daripada menunggu tanpa ngapa-ngapain di sini.”
“Hup. Terima kasih... Hei, apa ini?” dia memeriksa botol kaca, yang menyimpan sebuah cairan violet di dalamnya. Dia memebrikan sedikit guncangan dan mendengar cipratan air di dalamnya dan kemudian membuka penutup untuk mendapati aroma manis yang mengambang keluar.
“Ini di sebut sapa. Mereka mengambil anggur atau semacamnya dan di campur dengan timah di dalam tong perak untuk memaniskannya.”
“Hmm,” sang elf berkata, mengendus dan kemudian menggelengkan kepala. “....Baunya terlalu mirip metal. Aku nggak deh.”
“Pilah-pilih seperti ini sudah yang bikin kamu datar.”
High Elf Archer menggerutu dan memanyunkan bibir namun tidak mengatakan apapun seraya dia melempar botol itu kembali kepada Dwarf Shaman. Botol itu telah terbuka, karena itu sang dwarf bergegas menangkapnya di karenakan cairan itu hampir tumpah keluar. Dia menatap tajam mengarah sang elf dan menguras isi botol itu dengan dua kali teguk.
“Hrmph, Mantap.”
“Er, uh, um, tapi bukannya timah itu racun...?” Priestess berkata, memprovokasi sebuah tawa dari High Elf Archer, yang membalas, “Bada dwarf itu terlalu gembul untuk mempedulikan macam-macam racun.”
“Kekar Telinga Panjang, kekar!” Dwarf Shaman berkata, bersendawa dan mengelap tetesan yang ada di jenggotnya.
Lizard Priest menoleh ke bawah dari tempat dia mengendalikan kuda yang berlari kecil, dan memutar matanya. “Kalau begitu, apa anda mempunyai sesuatu yang lain?”
“Ahh...” Dwarf Shaman merogoh koleksi botolnya. “Mau posca?”
“Posca, anda bilang?”
“Ah iya.” Sword Maiden tersenyum dari jendela kereta. “itu terbuat dari cuka bukan?”
“Puji Tuhan, anda mengetahuinya?”
“Memang sering terlupakan, namun saya dulunya juga seoraang petualang.”
Posca terbuat dengan campuran air ke dalam anggur yang telah menjadi terlalu asam—atau, lebih sederhananya, telah menjadi cuka. Madu di tambahkan untuk menciptakan rasa pahit manis, dan membuatnya menjadi awet, menjadikan minuman ini sebagai favorit para petualang yang berkunjung ke ibu kota.
“Jika begitu, apa kamu mau mencicipinya sekarang?”
“Bolehkah?”
“Jangan sungkan!”
Sword Maiden tersenyum gembira. Dia menerima botol yang di tawarkan melewati jendela dengan kedua tangan, membuka tutupnya dengan gerakan yang seperti sebuah belaian. Dia meminum isi botol itu dan menghela mempesona tanda kepuasaan.
“Astaga... Nggak sopan sekali!”
“Seharusnya tidak akan terlalu menjadi masalah bukan...” Mm. Sword Maiden menjilat tetesan terakhir dari bibirnya seraya dia menjawab pengikutnya yang cemberut. Kemudian dia menjulurkan kepalanya keluar jendela, memberikan Dwarf Shaman sebuah anggukan dan senyum menawan. “Terima kasih banyak... sungguh nikmat sekali.”
“Aku senang kamu menyukainya,” dia berksta dengan seringai dan kemudian melempar botol mengarah rekannya dengan wajah pamer “Ini.”
Priestess dan High Elf Archer membalas dengan “Yikes, pahit” dan “Ini kan Cuma jus anggur tua doang,” walaupun begitu, mereka tetap tersenyum.
Goblin Slayer menangkap botol berikutnga, membukanya dengan tenang dan menenguknya. Seperti itu lah yang selalu dia lakukan terhadap apapun yang masuk ke dalam mulutnya, entah itu makanan atau minuman, oleh karena itu tidak seorangpun yang terlalu mempermasalahkannya. Hanya Priestess yang tersenyum seolah ingin mengatakan, Terlalu!
Lizard Priest berikutnya, namun dia mengayunkan tangan besarnya dan berkata, “Tidak, terima kasih. Saya sudah cukup puas dengan minuman saya. Saya lebih mengutamakan kepuasan perut di banding tenggorokan.”
“Makanan, eh...?” Dwarf Shaman bergumam, membelai jenggot berpikir dan kemudian melihat pada banyak penjual yang berada di gerbang.
Adalah lewat siang, matahari telah mulai tenggelam di langit.  Mungkin masih terdapat orang yang menjual makan siang, namun kemungkinan mereka telah kehabisan persediaan mereka sekarang. Kemungkinan besar mereka akan mendapatkan sesuatu untuk di makan ketika mereka telah masuk ke dalam ibu kota.
“Kamu tahu ga, aku dengar mereka banyak menjual keju di ibu kota,” Dwarf Shaman berkata.
“Oh-ho,” datang respon...Goblin Slayer, yang telah mendengarkan dengan diam percakapan partynya. Dia telah menghabiskan posca melalui celah helmnyz dengan satu atau dua teguk. “Menarik juga.”
Keseriusan mutlaknya telah mengundang tawa dari keseluruhan party. Bahkan pengikut yang berada di dalam kereta menutup mulut dengan tangan untuk menahan senyuman.
Satu-satunya yang tidak tertawa adalah Sword Maiden. Dia meremas pedang dan timbangan yang berada di pangkuannya.
“Apa ada masalah, nyonya?”
“Tidak...,” Sword Maiden berkata, menggelengkan kepala seolah terkejut akan ucapannya. “...Tidak ada apa-apa.”
“Baiklah, nyonya.”
Sword Maiden memalaingkan pandangannya dari jendela, menatap langit-langit kereta dan menghela cemas.
Aku kira emosi kegadisanku sudah hilang dari dulu.
“...Cukup sulit juga ya?”
Dan saat itulah terjadi.
Di dalam kereta, tatapan Sword Maiden bergerak kembali, sementara di atas kendaraan, telinga High Elf Archer berkedut.
Roda-roda dapat terdengar di kejauhan. Suara prajurit. Kerumunan bergerak perlahan, membukan jalan menujungerbang.
Melintasi lautan khayalak, datanglah sebuah kereta yang di tarik dua kuda. Emas yang terukir pada kendaraan itu dan simbol singa yang terpajang menunjukkan bahwa mereka berasal dari keluarga bangsawan.
Kuda-kuda mereka-pun tentu saja merupakan pilihan yang terbaik. Kuda yang begitu tangguh, kekar akan otot. Dan kemudian terdapat para prajurit yang mendampingi kereta—ksatria, dengan armor mereka yang berkilau! Pelindung dada dan helm yang elok, tombak dan pedang, membuat mereka terlihat seperti pahlawan dari dongeng, dan kamu tidak perlu menjadi anak kecil untuk merasa terpukau melihat mereka. Prajurit tidaklah jauh berbeda dengan para petualang yang berjalan kaki ratusan kilometer melintasi negara.
“Wow...” Priestess menghela, rahangnya menganga, dan siapa yang dapat menyalahkannya?
“Itu pasti bakal jadi pemandangan yang nggak asing buatmu nanti.” High Elf Archer tertawa kecil. “Tapi karena ini kita harus menunggu lama!” Ekspresi sang elf tibatiba menjadi gelap seraya terhibur.
“Satu atau dua panah bisa memberikan mereka pelajaran,” Dia bergumam di bawah napasnya, dan Priestess dengan cepat mengayunkan tongkat kepada sang elf. “Ja-jangan, kamu nggak boleh melakukan itu...!”
“Ayolah, aku tahu itu,” High Elf Archer mendengus. “Lagian mereka membawa perlindungan sihir yang nggak main-main.”
Apa itu artinya dia akan tetap menembak kalau perlindungan itu nggak ada...? Pikir Priestess muram.
Elf yang menggila itu menghiraukan cleric yang mengernyit. “Pokoknya,” High Elf Archer melanjutkan, “Sepertinya sang raja sedang keluar. Kira-kira ada apa ya?”
“Pajak.” Jawaban itu acuh dan jelas. Goblin Slayer menjawabnya dengan suara yang pelan, hampir seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. “Ini waktunya musim panen. Sang raja berkunjung ke tempat di mana dia tidak mempunyai perwakilan lokal, atau tempat di mana pembrontakan akan terjadi.”
“Huh. Kamu tahu banyak juga soal itu.”
“Aku berasal dari desa petani.”
Apa? Apakah Priestess atau Sword Maiden yang mengeluarkan suara terkejut itu?
Mereka pasti telah membayangkan pria ini dengan helm kotor dan armor kulit murahan sedang membajak sebuah sawah di suatu tempat.
Oh, tapi kurasa dia memang sering membantu pekerjaan di kebun yang dia tinggali... Priestess mengangguk pada dirinya sendiri, jari berpikir pada bibirnya. “Nggak masalah,” dia berkata, “Kurasa itu cocok denganmu!”
“Begitu.”
Di saat kereta kuda raja telah melewati gerbang, para prajurit tampak menjadi sedikit lebih santai. Mereka tidak perlu setegap dan sesiaga seperti sebelumnya. Antrian orang-orang yang hendak memasuki kota mulai bergerak lebih lancar.
“Tapi,” High Elf Archer berkata, menyipitkan mata di hembusan angin seraya kendaraan mereka pada akhirnya mulai bergerak. “Kereta kencana tadi mewah banget. Dan sepertinya dia membawa setengah dari pasukan bersamanya.”
“Bangsawan itu jarang sekali berpergian sendiri dan sederhana kan?” Dwarf aehaman membalas, menggerakkan lengan dan kaki pendeknya seraya dia berlari kecil di samping kereta. Sebagai seorang dwarf, dia mengetahui satu atau dua hal tentang hiasan ornamen, membelai jenggot panjang putihnya, dia tersenyum mengetahui. “Tapi bagi mereka, itu bukan soal kemewahaan—tapi pengeluaran yang wajib.”
“Apa, semua itu?”
“Perasaanmu gimana kalau kepala sukumu atau semacamnya tinggal di sebuah pohon mati, berpakaian dengan karung?”
“...” Telinga High Elf Archer melemas seolah membayangkan gambaran itu. “...Kurasa aku nggak akan terlalu menyukainya.”
“Dan lagi kalau dia berkeliling sendirian, meminta orang untuk membayar pajak?”
“Mereka bakal gebukin dia.”
“Sekarang kamu paham kan. Itu pekerjaan mereka untuk tampil besar.”
Berlari kecil di dekatnya, Priestess menghela napas kecil. “Kurasa nggak mudah jadinorang penting.”
Dalam kehidupannya, dia telah melihat Bunda kuil bekerja dengan sangat keras di kuil, dan dirinya sendiripun pernah mengemban tanggung jawab untuk melakukan tarian persembahan pada sebuah festival. Dia hampir tidak dapat membayangkan yang lebih sulit lagi.
Tapi ada orang yang melakukannya.
Dia melirik ke jendela kereta yang berada di samping tempat dia berjalan. Sword Maiden duduk di sana, senyum tipisnya sama sekali tidak menodai tubuhnya yang aduhai, Priestess merasa sulit untuk membaca emosi Sword Maiden dari wajahnya.
Beliau bahkan tidak mempunyai helm seperti Goblin Slayer.
“Aduh, pasti nggak enak banget jadi raja.”
“Heh, ucapan yang datang dari permaisuri!”
High Elf Archer melambaikam tangan menepis dari atas kereta, komentarnya mengundang gerutu dari Dwarf Shaman.
Semua seperti biasa. Priestess merasa ini semua telah membuatnya dapat menjadi santai, mengetahui bahwa tidak ada satupun hal yang berubah, walaupun mereka berada dalam jarak pandang dinding ibukota.
Dia tertawa, dan Lizard Priest-pun memutar mata di kepalanya. “Petualangan kota sendiri di biayai dengan pajak.” Nadanya santai, namun dia terdengar seperti sedang berkhotbah. “Dan tanpa organisasi Guild, kita para petualang akan menjadi tidak lebih dari sekedar preman pengangguran.”
Kita seharusnya bersyukur, sepertinya artyi dari apa yang dia maksud.
Masuk akal bagi Priestess: Lizard Priest adalah sosok yang cukup mengintimidasi, dan terdapat beberapa dari para lizardmen yang bersekutu dengan Kekacauan. Keseluruhan ras mereka hampir terdiri dari Makhluk -Tidak-Berdoa, sebuah status yang mempunyai beban tersendiri.
“Untungnya mereka nggak ounga pajak untuk ukuran panjang telinga,” Dwarf Shaman menambahkan.
High Elf Archer mendengus membalas dan kemudian bergumam bercanda bahwa pajak adalah sesuatu yang bagus. Dia menjentikkan telinganya, menyeringai dan berkata, “Atau...untuk ukuran gentung, mungkin?”
“Ha! Mereka ngajak kelahi kalau begitu!”
“Kalian berdua, diam.” Goblin Slayer berkata, menyela mereka. “Kita mendekati gerbang.”
Hmm? Priestess memiringkan kepala terkejut. Sangatlah aneh baginya untuk siaga kepada apapun selain goblin.
Seraya mereka mendekati dinding, dia dapat melihat mereka mengelilingi parit besar dan dalam. Jika pasukan Kekacauan menyerang, mereka akan berada di bawah serangan pemanah kastil ketika mereka mencoba memanjat keluar dari parit ini. Sebuah jembatan besar, tersambung pada gerbang kastil dengan sebuah rantau, yang saat ini membuat membuat mereka dapat menyebrangi parit.
Tentu saja, sebuah suara mengintrogasi menghentikan mereka. “Berhenti! Tolong tunjukkan tanda identifikasi anda.”
Lizard Priest menarik tali pelana, memberhentikan mereka secara perlahan, dan membiarkan tubuh besarnya turun dari kursi kusir.
Seorang prajurit, berdiri di sana dengan armor yang bersih hingga berkilau, menggenggam tombak dengan satu tangan. Hanya butuh satu pandangan untuk dapat mengetahui bahwa prajurit ini memiliki perlengkapan yang lebih baik dari para petualang.
Aku rasa memang sudah seharusnya—dia berpakaian untuk perang, pikir Priestess.
Tidak seperti petualang, yang hanya dapat bertarung ketika suasana hati atau kebutuhan membutuhkan mereka, prajurit harus selalu bersiap kapanpun juga, bahkan di saat keadaan damai.
Priestess menarik kalung peringkat yang ada di sekitar lehernya. “Apakah ini cukup, pak?”
Pengelana umum membutuhkan kartu ijin pengelana resmi, namun bukti tanda keanggotaan guild juga akan cukup.
“Apa kamu bisa menulis?” sang prajurit bertanya, melirik cepat mengarah kalung Priestess, yang di mana kemudian Priestess mengangguk. Ini adalah pertama kalinya dia mengalami introgasi seperti ini, dan walaupun dia merasa gugup, dia juga merasa penasaran.
Prajurit itu mengeluarkan sebuah buku tebal yang berisikan garis demi garis nama-nama orang dan tempat di mana mereka tinggal.
“Kalau begitu, tulis nama dan tujuanmu di sini.”
“Baik pak. Er...apa boleh aku tulis kalau aku di sini dalam pekerjaan mengawal?”
“Kalau kamu seorang petualang.”
Priestess, masih tampak ambivalen, mengambil pena bulu dan tinta dan menuliskan beberapa huruf secara hati-hati.
Semakin banyak orang yang datang dan pergi di ibukota melampaui apa yang dia dapat bayangkan. Jika mereka membutuhkan tenaga kerja untuk mengawasi semua ini... yah, maka tidak heran jika sebuah pasukan membutuhkan pajak untuk dapat membantu.
“Sepertinya kamu juga bersama dwarf, elf, dan...lizardman?”
“Benar sekali, tuan.” Lizard Priest berkata, menyatukan kedua telapak tangannya. “Saya yakin anda akan merasa kesulitan untuk menyebut nama saya, apakah anda tidak keberatan?”
“Yeah, tidak masalah... bukan hal yang baru bagi suku atau ras lain.”
“Jika begitu, saya mohon permisi.” Sebuah tangan besar bersisik muncul, dan Priestess dengan sopan menawarkan dia pena dan buku dengan senyuman.
High Elf Archer, memperhatikan Lizard Priest menulis, menjentikkan telinganya. “Oke aku berikutnya! Aku bahkan mau berbaik hati untuk menuliskan si dwarf!”
“Bocah banget,” Dwarf Shaman berkata kesal, namun walaupun begitu, dia berdiri diam dan memperhatikan High Elf Archer menuliskan namanya dengan huruf unik ala para elf.
Dengan itu mereka menyerahkannya satu persatu untum investigasi ini. Sang prajurit tampak tidak begitu bersiaga; mungkin di karenakan mereka telah terbiasa dengan demi-human hingga saat ini. Atau mungkin hal yang tidak terduga adalah hal yang paling normal ketika berhadapan dengan psra petualang?
“........Dan kamu ini apa?”
“Aku petualang,” Goblin Slayer menjawab pendek, melempar kalung peringkatnya. Mungkin dia merasa bahwa akan jauh lebih cepat menunjukkan peringkatnya di banding harus menjelaskan dirinya sendiri... Atau mungkin dia merasa bahwa cara ini adalah cara yang paling tidak membingungkan.
Sang prajurit menangkapnya seraya peringkat itu melayang di udara dan mengamatinya secara skeptis. Priestess mengenali tatapan seorang manusia yang berusaha untuk mengendus mata uang palsu dan berpikir, kalau itu koin, dia pasti akan menggigitnya.
“....Kamu tidak berusaha untuk menipuku kan?”
“Guild sudah mengakuiku,” Goblin Slayer berkata acuh, tidak tertegun oleh kecurigaan prajurit.
Kedua prajurit saling bertukar pandang dan kemudian saling berbisik.
“Kamu bukan dark elf atau semacamnya kan?”
“Bukan.” Goblin Slayer berkata, mengangkat penutup helmnya. Dan aku mempunyai seorang elf dalam partyku.”
“Gadis ’elf’ itu bisa saja memakai riasan dan telinga tempelan.”
Aduh, Priestess berpikir dengan helaan. High Elf Archer mengangkat bahunya, merasa sama lelahnya. Apakah terlalu berlebihan jika dia bersikap sedikit lebih ramah?
Dengan pikiran itu, Priestess melangkah ke depan dan membuka mukutnya, namun—
“Dengan nama akan Supreme God,”datanglah suara yang begitu bergairah. Suara itu muncul dari jendela kereta, dan tidak hanya Priestess, namun semua prajurit, terbelalak mendengar suara itu. “Saya menjamin bahwa dia adalah petualang tingkat silver.”
“Ny-nyona archbishop...!”
Wanita itu bersandar pada rangka jendela, menunjukkan lekukan lembut akan tubuhnya; para prajurit menelan liur dan berdiri semakin tegap.
Apakah ada pria manapun yang tidak merasa gugup jika dia berhadapan dengan senyuman itu dan mata—yang tidak dapat melihat—itu?
“Ma-maafkan ketidaksopanan kami. Anda di persilahkan masuk dengan segera!”
Sword Maiden tersenyum lembut dan mengangguk, namun tampaknya dia menghela dalam dadanya yang besar. Priestess, merasa dapat memahaminya.
Mereka bilang hak istimewa itu sebuah kekuatan, tapi sangat mudahbuntuk di salah gunakan...
Akan tetapi, Sword Maieen, tidak membiarkan hal ini muncul di wajahnya. Dia menjulurkan lengan indah kurus keluar kereta, mengarah kepada salah satu prajurit.
“Prosedur tetaplah prosedur bukan?” dia berkata. “Berkenankah kamu untuk meemberikanku bukunya?”
“Ba-baik bu! Segera! Ka-kamu di sana, tulis lebih cepat...!”
“Baiklah,” Goblin Slayer berkata, menggerakkan pena di atas kertas.
Priestess cemberut, namun ketika dia melirik kepadanya, dia melihat tulisan cakar ayam pria itu di atas kertas, hanya terdapat satu atau dua huruf yang dapat terbacal tiba-tiba Priestess merasa perasaan aneh akan keakraban dengan pria itu.
“Apa ini cukup?”
“Hrmph, sudah...!” Sang prajurit mengambil buku dan dengan tergesa menyerahkannya melalui jendela kereta. Sword Maiden mengambil buku itu dan memutar halamannya, entah mengapa terlihat tidak yakin; pengikutnya pun membantu wanita itu.
Priestess memperhatikan semua ini dan kemudian menoleh ke samping di tempat Goblin Slayer berdiri. Pria itu menatap gerbang besar seperti sedang melamun.
“...Ada apa?” Priestess bertanya, menatap kepadanya.
“Nggak,” Goblin Slayer berkata dengan gelengan pelan kepalanya. “Aku cuma berpikir jadi ini yang di sebut ibukota.”
“Ah...” Priestess mengikuti pandangan pria itu ke atas. Gerbang itu begitu tinggi hingga membuat lehernya sakit untuk di dengakkan. “...Aku, aku belum pernah ke sini sebelumnya. Kalau kamu gimana pak Goblin Slayer?”
“Ini juga pertama kalinya bagiku.” Dia berkata pelan. “Aku selalu ingin mengajak kakakku ke sini suatu hari.”
Priestexs merasakan dadanya menjadi hangat. Kehangatan itu menyebar ke pipinya.
“Aku yakin suatu hari kesempatan itu akan datang.” Dia berkata.
Goblin Slayer terdiam beberapa saat. Kemudian helmnya bergerak kembali. “Alangkah bagusnya jika mendapatkan kesempatan itu.”
Tidak lama kemudian, berkas kertas telah selesai. Goblin Slayer dan yang lain berjalan melewati gerbang dan memasuki ibukota.