BEARDCUTTER PERGI KE LAUT SELATAN
(Translator : Zerard)

“Hrkpf...?!”
Cipratan air menyembur dan membasahi Priestess di tempat sia berdiri di atas kapal. Cipratan itu mengenai matanya, dan yang hanya dapat dia lakukan hanyalah berpegangan pagar, berusaha untuk tidak terhanyut. Air itu bahkan membuat pagar menjadi licin, dan ketika dia menyadari ini, tangannya sudah terpeleset.
Kakinya tergelincir, dan dia melayang di udara dalam sekejap. Dan kemudian, dia terjatuh.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Oh iya...!”
Sebuah tangan menjulur kepadanya dengan santai dan meremas lengan kecil Priestess dengan cukup keras hingga terasa sakit.
“Kamu memakai baju besimu?”
Pria itu mmenggunakan helm baja murahan; armor kulit yang kotor; sebuah perisai bundar kecil terikat di lengan dan sebuah pedang dengan panjang yang aneh di pinggulnya. Dia berdiri dengan tegap di atas kapal dengan sepatu boot miliknya yang secara khusus dia pilih untuk keadaan ini.
“Kamu bisa tenggelam kalau sampai terjatuh keluar. Hati-hati dalam berjalan.”
“...Baik.” Priestess mengangguk beberapa kali memahami ucapan Goblin Slayer. Priestess membiarkan pria itu menarik dirinya hingga berdiri, dan kemudian, sekali lagi dia menggenggam tali yang terikat di pinggir kapal.
Mereka sedang berada di tengah badai.
Halilintar menyambar; hujan menghampsr wajah mereka layaknya badai batu; anggin berderu, lautan mengamuk, dan ombak yang menggelombang mematikan.
Di tengah badai ini, sebuah bayangan yang menggeliat mengarahkan tatapannya kepada Priestess.
“MMUUUUUANNDAAAA!!”
Makhluk  dengan tubuhnya yang melilit, memamerkan taringnya dengan sisik hitam keemasan yang melapisi tubuhnya, adalah seekor Sea Serpent. Seekor pengikut Kekacauan, bersumpah akan memporak-porandakan ketertiban samudra. Seekor Makhluk-Tak-Berdoa!
“Tunggu dulu, Orcbolg! “Kamu mau ngapain?!”
Bagi High Elf Archer, geladak kapal yang terombang-ambing ini layaknya sebuah pohon yang berayun dalam hembusan angin. Dengan kelincahan dan keringanan yang jauh melampaui manusia, High Elf Archer melompat dari satu tempat ke tempat lain seraya menembakkan panah. Panah bermata kuncup terbang mengarah ular laut secepat sihir.
Masing-masing dari panah, menyelip masuk di antara lendir yang menyelimuti sisik makhluk itu, dan terpantul. High Elf Archer mengeratkan giginya, menyadari bahwa dia sama sekali tidak melukai makhluk itu.
“Tembakan tadi jelek banget...! Apa menurutmu kalian aku harus menyiapkan panah bermata besi?”
“Bagaimana dengan harga dirimu sebagai elf?! Tembak saja terus dan alihkan perhatiannya!”
“Kamu nggak perlu suruh aku! Kamu juga cepatan lakukan sesuatu buat ngebantu!”
“Bacot! Aku lagi berusaha memikirkan sesuatu!”
Tidak jauh dari sang elf, yang berteriak dan mengayunkan telinganya, Dwarf Shaman menggenggam erat bagian pinggir kapal. Dia adalah seorang pembaca mantra dan seorang dwarfk oleh karena itu dia cukup keras kepala, dan bahkan dia-pun sangat merasa cukup bingung dalam situasi seperti ini. Dia meragukan efek akan Stone Blast atau Fear pada ular raksasa ini...
Semua itu tidak ada gunanya, ksrena yang hanya dia dapat lakukan hanyalah memegang tas berisikan katalisnya.
“Hrm.” Goblin Slayer menendang sebuah seruit di dekat kakinya mengarah kepada Lizard Priest dan kemudian dia mengambil satu untuk dirinya sendiri.
Proyektil itu terbang melintasi udara, sebuah lemparan kuat, dan menancap di kulit makhluk itu. Lendir yang melapisi monster itu cukuplah kuat untuk menghalau panah, namun itu bukanlah pertahanan yang kuat.
Sebuah cairan kuning menjijikkan tertumpah masuk ke laut; Goblin Slayer memperhatikannya dari dalam helmnya.
Seekor sea serpent tetaplah sea serpent. Luka itu sama sekali tidak fatal.
“MUUUUUUUNND!!”
Makhluk itu meraung lantang dan membenamkan taringnya pada haluan kapal para petualang. Kayu terhambur dengan suara patah yang keras seraya kapal mereka mulai terseret masuk ke dalam laut tepat di depan mata mereka.
Jika mereka tertarik ke dalam air yang di amuk badai, maka mereka tidak akan pernah sampai ke daratan lagi.  Mereka hanya akan menambahkan jumlah kematian.
“Oh, e-eek...!” Priestess hilang keseimbangan di karenakan hantaman ombak dan berusaha berpikir keras tentang apa yang dapat dia lakukan.
Setidaknya selalu ada satu hal yang dapat dia lakukan. Dia dapat berdoa.
Oleh karena itu, Priestess menggigit bibirnya, berdiri setegak mungkim di atas kapal yang terombang-ambing. Namun dia mengheningkan hatinya dan meremas tongkatnya memohon.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Adalah sebuah keajaiban.
Sebuah medan kekuatan suci muncul tanpa suara, memisahkan ular laut dari kapal. Tangan suci Ibunda Bumi yang maha pengasih telah menjangkau mereka bahkan di tengan lautan luas ini.
“Se-sekarang!”
“Benar sekali! Penghuni-Sungai, Mosasaurus, saksikanlah aksi hamba!” Lizard Priest dengan cepat menunjukkan kekuatannya. Menahan tubuhnya sendiri dengan ekornya, dia melesat ke depan dengan cakar dari kakinya yang menjukur kedepan, otot pundaknya dapat terlihat jelas ketika dia melempar seruit yang di genggamnya.
Tekniknya tidak sepiawai Goblin slayer, namun dia melemparnya dengan kekuatan yang dashyat—dengan segenap kekuatan seorang lizardman, keturunan para naga yang menyeramkan.
Seruit itu mengenai sasaran, terbenam lebih dalam dari sebelumnya.
“MUANNDDAAADA?!?!” sang ular laut meraung, menggeliat tidak karuan. Tepat sebelum gelombang pertama mereda, monster itu menghantamkan ekornya ke dalam laut, melontarkan satunombak besar lagi mengarah para petualang.
“Aww!” High Elf Archer menggerutu, menggelengkan kepalanya seperti seekor anjing. Kemudian, walaupun ini tidak memberikam mereka ruang tambahan untuk bernapas, mereka mendapati diri mereka sebuah momen istirahat sejenak. Mereka tidak dapat membiarkan ini begitu saja.
Air laut mengombang-ambing tanpa ampun masuk ke dalam haluan kapal. Kapal mereka semakin miring; jika mereka tidak dapat menangani makhluk ini, maka tidak akan lama lagi harapan mereka akan sirna.
“Kamu nggak apa-apa?” Goblin Slayer bertanya kepada Priestess dan Dwarf Shaman, yang masih menggenggam erat pinggir kapal.
“Aku masih... bisa bertahan...!”
“Nggak akan lama lagi bagi kita untuk tenggelam ke dasar laut!”
Goblin slayer mendengus, menghiraukan “Kalau aku bagaimana?!” dari High Elf Archer, yang tidak di tanya tentang keselamatannya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Ha-ha-ha, kita memang tidak mempunyai banyak waktu,” Lizard Priest menjawab dengan tenang. Bahkan, dia memutar matanya seolah menikmati keadaan ini. “Mereka mengatakan bahwa semut sekalipun dapat membunuh jika menggigit berulang-ulang kali. Saya rasa serangan terakhir tadi cukup parah.”
“Itu—apa sebutannya...?”
“Saya percaya bahwa makhluk itu adalah Sea Serpent.”
“Ya,” Goblin Slayer berkata, mengangguk. “Apa itu ikan? Ular?”
“Sekarang, saya akan sangat tidak menyukai jika ada yang berpikit bahwa saudara saya menimbulkan masalah seperti ini, tetapi...” Lizard Priest membelitkan ekornya di sebuah tiang kapal sebagai tumpuan kemudian menjulurkan lehernya keluar haluan untuk mengintip. Taring makhluk itu begitu beringas dan air membanjiri masuk dengan derasnya.
“...Tetapi gigitan itu sama sekali tidak meninggalkan bekas racun yang dapat saya lihat. Sayanrasa kemiripan ini hanyalah sebuah kebetulan. Makhluknitu pastilah ikan.”
“Apa yang nggak bisa kita tangani dengan senjata, maka tangani dengan mantra.” Goblin Slayer melakukan perhitungan mental cepat dan kemudian dengan segera melangkah maju menuju haluan yang miring itu. Dia menggunakan satu tangannya untuk menggenggam pagar agar tidak terpeleset padaa lantai yang licin dan mendekati Priestess dan Dwarf Shaman.
Goblin Slayer menggenggam tali dengan bantuan dari Dwarf Shaman, dan Priestess dengan cepat menutupi bagian roknya agar tidak ada yang dapat terlihat.
“Apa saya mantra dan keajaiban kalian yang tersisa.”
“Aku masih belum beraksi sama sekali. Mantraku masih penuh.”
“Aku... Satu atau dua lagi, mungkin.”
“Baiklah,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Ketika makhluk itu muncul lagi, kita akan menghajarnya.”
Kemudian dengan cepat dia menjelaskan sebuah strategi; Priestess tidak keberatan. “Serahkan padaku!”
Dwarf Shaman menyeringai melihat gadis itu menunjukkan keberaniannya walaupun dengan tubuh yang basah kuyup.
“Kamu dengar gadis itu. Aku bakal keliatan jelek sekali kalau aku nggak bisa menyeimbangi gadis itu.”
“Kami berharap pada kalian.” Goblin Slayer berkata.
Itulah ketika High Elf Archer, merasa terasingkan, dan berteriak, “Kalau aku bagaimana—?!”
“Tembak beberapa panah siulan. Pancing dia keluar.”
Instruksi acuh itu membuat High Elf Archer bergumam, “Ihhh,” namun dia menuruti. Sang elf berlari bersama Lizard Priest, dengan mudah melewati tiang kapal, memegang tali untuk menjaga keseimbangannya. Dia menarik panah dari tempatnya, memasukkannya ke dalam mulut dan menggigit ujung kuncup itu. Panahnitu terbang dari busur bersutra laba-laba, dan suara melengking dapat terdengar bahkan di tengah badai.
“Ketika dia muncul lagi, gunakan seruit.”
Lizard Priest yang mendengarkan siulan panah itu, mengangguk dengan girang pada perintah Goblin Slayer. “Baiklah, baiklah. Saya rasa belum pernah ada seseorang yang mencoba hal seperti itu dalam pertarungan.”
Sea serpent itu terumpan. Makhluk itu berenang ke atas sebagai sebuah bayangan gelap tepat di bawah kapal mereka, mungkin berharap untuk menghancurkan bagian bawah kapal itu, seraya muncul ke permukaan.
“Hrr, Kamu...ini...!” Priestess menahan topinya dan berjalan perlahan di atas haluan di saat dia hampir terlontar dari kapal. Satu tangan, selalu menggenggam tongkatnya. Dia melotot kepada ular emas dan berteriak, “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Keajaiban keduanya.
Dari tongkat Priestess yang di junjung tinggi di tengah badai ini, munculah raungan sinar ini, sesuatu yang tidak pernah di lihat sebelumnya di kedalaman laut.
“Eeeeyah! Ternyata tidak lebih dari sekedar sepupu belut...!” Lizard Priest tertawa.
Terdengar desisan keras dan darah yang menciprat dari samping sea serpent setelah terkena serangan Lizard Priest.
“Sekarang!”
“Siap!”
Suara Goblin Slayer menembus udara, dan di sambut jawaban oleh Dwarf Shaman.
Dwarf Shaman mengeluarkan sebuah bubuk putih dari katalisnya dan menaburkannya mengarah sang monster. Di saat bubuk itu menyentuh air, air mulai menggelembung—bubuk itu adalah sabun.
“Nymph and sylph, berputar bersama, bumi dan lautan merupakan saudara, karena itu berdansalah—dan jangan sampai terjatuh!”
Dalam sekejap, sesuatu berubah. Sea serpent itu berusah untuk menyelam kembali masuk ke dalam air, namun kepalanya terpantul di permukaan, seolah permukaan itu adalah tanah yang keras.
Terlebih lagi, keseluruhan tubuhnya, yang begitu panjang tersembunyi di balik ombak, terangkat dan terpapar.
“MUAAANNADA?!” Monster itu berulang kali membuka mulutnya seolah berusaha untuk bernapas dan menghantamkan dirinya ke air lagi dan lagi.
Ketika mantra Water Walk di rapalkan pada makhluk dengan insang itu, yang hanya makhluk itu dapat lakukan hanyalah sesak napas.
“Yikes...” High Elf Archer mendapati dirinya mendengak ke atas, namun Goblin Slayer terus memberikan perintahnya.
“Nggak lama lagi makhluk itu akan kehabisan napas. Kalau dia terlihat akan menuju kemari. Tembak. Tepat di matanya.”
“Iya baiklah.” High Elf Archer menghela melihat makhluk itu, yang terus menggeliat di atas air dan menyiapkan busurnya.
Terasa begitu kejam untuk membiarkan ular itu hidup lebih lama lagi dari ini. Bahkan para elf sekalipun tidak berkenan mentertawakan penderitaan seekor makhluk.
Busur itu berdecit, dan panah terbang menuju sasaran, menembus mata dan terus berlanjut menuju otak.
Itulah akhirnya. Makhluk laut ini tumbang masuk ke air, efek dari mantra ini memudar seraya makhluk itu tenggelam dengan cipratan gelembung putih besar.
Tidak ada seorangpun yang dapat menghentikan tubuh ular itu tenggelam, dan tidak lama lagi gelombang akan menyapu buih air terakhir yang tersisa.
“Bagaimana?” Goblin Slayer bertanya setelah jeda cukup panjang—kemungkinan untuk memastikan makhluknitu benar-benar mati. “Nggak ada api, atau air, atau ledakan.” (TL Note : LOL 😂)
“Ahh.. Hrm...” High Elf Archer merenggut dan menggerutu.
Apakah ini petualangan yang sepantasnya? Yah, memang tidak terdapat ledakan apapun, atau banjir, atau menjelajah gua. Itu benar. Tetapi...
Telinga High Elf Archer berkedut seraya dia mengeringkan rambutnya yang basah.
“E—“ dia berkata dengan suara yang tertahan. “Enam dari sepuluh.”
“Begitu,” dia berkata, mengangguk. “...Begitu.”
“...Apa, kamu nggak senang?”
“Bukan.” Goblin Slayer menggeleng kepala perlahan dari samping ke samping. “Aku cuma berpikir, akan bagus sekali kalau memburu goblin itu semudah ini.”
Priestess tertawa kecil mendengar jawaban yang sangat khas sekali dari pria itu. Priestess sempat khawatir beberapa saat waktu itu, namun tampaknya kemungkinan terburuk telah berakhir. Dia menarik roknya ke atas, menunjukkan kakinya, dan memeras air.
Dia ada benarnya... aku juga berpikir kalau ini lebih mudah dari goblin.
Apapun itu, merupakan hal yang bagus jika petualangan berjalan dengan lancar. Ketika mereka semua selamat. Terutama ketika mereka berhasil menyelesaikan questnya juga.
Priestess mengesampingkan kebimbangan yang dia rasakan dan memberikan anggukkan menyetujui.
“Kita harus bergegas dan memperbaiki kapal ini,” dia berkata. “Daratan sudah nggak jauh, tapi kita nggak mau berenang sampai kesana kan?”
“Itulah kenapa kita membawa seorang dwarf bersama kita.”
“kamu bisa bantu-bantu sedikitlah. Papan itu nggak ngambang tahu...”
Telinga High Elf Archer menegang ke belakang dan dia mengutarakan suara marah, yang di mana Dwarf Shaman menghiraukannya seraya dia membuka layar. Dia menjilat jarinuntuk memeriksa arah angin dan kemudian memegang salah satu sudut layar.
“Sylph, angin perawan, berikanlah ciuman menawanmu pada pipiku, dan berikanlah kapal layar sederhanaku, deru angin yang di cari!”
Mantra Tail Wind mengisi layar, dan Priestess menahan rambutnya di hadapan angin.
Sebelum dia menyadarinya, badai telah telewati; langit menjadi biru dan lautan menjadi tenang.
Musim baru saja berganti musim gugur.
Priestess menghela lega. Ya, beberapa jam sebelumnya, adalah dia yang menyarankan mereka untuk bertarung, namun untuk beberapa menit, tampaknya itu hampir saja menjadi akhir dari mereka...
*****
“Apa kamu goblin?”
Bukan! Itu diskriminasi!” Seorang Innsmouth wanita, dengan ras yang mirip dengan ikan, mengepakkan sirripnya dengan kesal. Ucapannya—yang bercampur dengan napasnya, terdengar seperti arus gelembung—bergema di dinding gua berair ini. “Dan aku benci kalian manusia yang selalu menyebut kami ‘orang ikan’! Kayak kalian bingung : apa mereka ikan, atau mereka orang?
“Penampilan kami sudah sempurna seperti ini!” salah satu dari wanita itu berteriak, dan pria yang berhadapan dengan mereka mengangguk.
Pria itu menggunakan helm baja murahan, armor kjlit yang kotor, dan sebuah pedang dengan kepanjangan yang tidak biasa, bersama dengan sebuah perisai bundar kecil di lengan.
Goblin Slayer tidak mengetahui mengapa para gillmen terkadang di sebut Innsmouth. Beberapa mengatakan bahwa itu berhubungan dengan Deep Ones, namun tidak ada yang mengetahuinya secara pasti.
Akqn tetapi, Goblin Slayer sama sekali tidak tertarik mengenai hal ini. Orang-orang ini bukanlah goblin; dan itu sudah cukup.
“...Aku datang karena aku kendengar adanya wilayah perikanan yang di serang oleh goblin laut.”
“Itu diskriminasi!”
“Begitu.”
Sang Innsmouth celingak-celinguk di sekitar kolam ombak yang berada di dalam gua. Mata mereka yang besar tidak menunjukkan emosi sama sekali; rahang mereka terbuka dan tertutup; mereka cukup mengerikan. Goblin Slayer tidak mengetahui apa yang mereka pikirkan, namun sebuah ujung trisula tampak mengintip dari dalam air...
Apa...apa kita dalam bahaya...? Priestess bertanya pada dirinya sendiri di tempat dia berdiri mendengarkan negosiasi di kejauhan. Dia memegang erat tongkat dengan kedua tangannya.
Dan itu dapat di pahami. Ketika mereka berpergian masuk ke dalam gua dengan pikiran bahwa ini adalah quest membasmi goblin, mereka malah mendapati diri mereka di kelilingi oleh para gillmen. Kemudian pada saat mereka mupai berbicara, party mereka telah di tuduh melakukan diskriminasi dan lebih buruk lagi—Priestess merasa semua kejadian ini sedikit sulit untuk di pahami.
Benar, dia telah mendengar beberapa penguasa manusia yang begitu membenci ppara dwarf dan elf hingga mereka membuat sebuah “pajak telinga runcing.” Apapun itu, ini tentunya merupakan sesuatu di luar bidang pengalaman cleric biasa.
Tapi kalau di pikir lagi, kurasa kebanyakan cleric juga nggak pernah membasmi goblin...
Jadi apa cara terbaik bagi mereka untuk menghadapi ini? Ketiga anggota party mereka mengelilingi Priestess untuk melindunginya.
“Tu-tunggu dulu, Orcbolg. Coba untuk nggak memicu kemarahan mereka...!”
“Wahm lihat siapa yang jadi penakut. Kurasa elf memang kurang dalam hal keberanian...persis seperti kekurangan mereka pada bagian tertentu!”
“...! ....!!”
High Elf Archer marah dengan begitu lucu seraya Dwarf Shaman menyikut dia dengan sikunya. Sang elf terlihat seperti akan membalasnya, namun dengan keadaan yang seperti ini, dia tetap menutup mulutnya. Tetapi, dengan telinganya yang berkedut, menunjukkan dengan jelas perasaannya.
Apapun bentuk kemarahan sekarang dapat menjadi akhir dari mereka. Lizard Priest menghela serius.
“Goblin laut? Nggak sopan sekali! Paling nggak kamu bisa menyebut kami Homo piscine!”
“Ah, itu artinya ‘orang ikan,’” Lizard Priest menggerakkan rahangnya tertarik pada psra gillmen. “Jika begitu, maka anda dulunya adalah ikan, yang mendapatkan paru-paru dan tangan dan kski untuk keluar dari air...?”
“Ugh, dasar preman.”
“Leluhur kami adalah Tuan Gurita agung yang turun dari lautan bintang!”
“Gurita.”
“Yah, mungkin cumi-cumi.”
“Mungkin... mereka yang di hadapan kita tentunya cukup pintar untuk tidak salah membedakan mayat cumi-cumi kering sebagai kaum mereka...” Setelah bergumam pada dirinya sendiri, Lizard Priest tampak sampai pada sebuah kesimpulan. “ Kita, kami datang kemari berpikir bahwa suplai ikan menurun di karenakan kalian semua yang berada di sini, jika anda dapat berkenan memaafkan saya berkata demikian. Apakah anda mempunyai pendapat mengenai ini?”
“Oh, yang—! Bukan salah kami kalau ikan di sini jadi lebih sedikit dari sebelumnya, arrrgh!”
Apa juga yang kami inginkan dari wilayah perikanan bodoh kalian? Sirip iti menghantam beberapa air kepada mereka.
Mengernyit terkena cipratan, Priestess memiringkan kepalanya penuh tanya. “Kalau begitu, apa kalian tahu apa yang menyebabkan jumlah ikan berkurang?”
“Iya, ya kami tahu. Astaga, inilah kenapa nggak ada yang suka nelayan payah!”
Hmm. Priestess menyentuh bibir dengan satu jari kurusnya berpikir.
Mereka tidak dapat menghiraukan ini. Terkecuali seseorang melakukan sesuatu, cepat atau lambat ini akan memicu perang antra penduduk desa dan para gillmen. Bahkan, keadaan sekarang sudah menjadincukup buruk. Kehadiran party mereka adalah bukti.
Itu berarti...
“Selama kami mampu, aku rasa kami akan mencoba membantu membersihkan nama kalian.”
“Hrmph... Akhirnya. Seseorang yang sopan.” Salah satu gillmen wanita berkedip. “Aku bisa kasih tahu kamu apa yang menyebabkan ini : sea serpent.”
“Sea serpent?” Dwarf Shaman berkata. “Nggak nyangka ada yang begitu di sekitar sini.
“Yang benar?” High Elf Archer bertanya, terkejut.
“Mm-hmm,” Dwarf Shaman menjawab. “Aku rasa mereka seharusnya sedikit lebih jauh dari pesisir. Terkadang kapal yang berlayar di samudra akan di serang oleh makhluk itu, tenggelam, dan krunya di makan.”
Itu, dia menjelaskan, adalah alasan mengapa hanya terdapat sedikit informasi mengenai monsternya. Sangat jelas, bahwa mereka adalah musuhnyang tangguh, dan sang gillman bersandar cemas pada sebuah batu. “Yeah, dia seperti di kirim ke sini dari suatu tempat. Gah, sudah nggak ada lagi yang normal di planet ini.”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata, mengangguk. “Intinya adalah, itu bukan goblin.”
Baginya, itu mengartikan satu hal.
“...Ini bukan quest membasmi goblin...mau pulang?”
Keseluruhan partynya menghela bersama. Priestess dan High Elf Archer masing-masing mengangkat alis mereka dan bertukar pandang.
Argh, ini orang.
“Kita nggak bisa membiarkan mereka ketika mereka dengan jelas lagi dalam masalah,” Priestess berkata. “Dengar, kami semua akan menangani ini, oke?”
“Yeah,” High Elf Archer berkata. “Maksudku, biarpun ini akan sangat berbahaya tanpa adanya seseorang di garis depan.”
“Hrk...” Goblin Slayer melipat lengannya dan mendengus.
Para gadis saling bertukar pandang dan berkata bersama, “Benarkan?” tampak jelas mereka menikmati momen ini.
“Biarkan saja mereka, Beardcutter. Elf itu mungkin memang punya telinga besar, tapi dia nggak akan mendengarkan ucapannyang kamu bilang.”
“Ha-ha, mereka memang sudah sangat mengenal watak tuanku Goblin Slayer.”
Kedua pria lain dalam partynya menambahkan, sama terlihat riangnya.
Sedangkan untuk hasil keputusannya—yah, tentunya tidak perlu lagi di utarakan.
“Ahem, quest goblin laut, bagaimana—?”
“Mereka bukan goblin.”
“Menurutku akan lebih mudah untuk menyebut mereka seperti itu...”
“Mereka bukan goblin.”
“Jadi, questnya...”
“Mereka bukan goblin.”
“...Di batalkan. Saya mengerti.”
“Karena mereka bukan goblin.”
Guild petualang selalu ramai dan riuh, seperti biasanya.
Gadis Guild mendapati senyumannya selalu sedikit tertahan di hadapan helm baja kotor Goblin Slayer. Tentunya dia tidak bermaksud untuk mendustainya, atau membohonginya, namun hal seperti ini terkadang memang terjadi. Daerah atau ras yang berbeda mempunyai caranya tersendiri dalam menamai sesuatu yang sulit di jabarkan. Ini bukanlah salah siapapun.
Gadis Guild menoleh kepada kolega di samping kursinya untuk bantuan, namun tidak ada tanda bantuan yang akan datang. Sendiri dan tanpa bantuan, Gadis Guild kembali pada sesi standar tanya dan jawab.

“Jadi isu mengenai goblin laut—maaf, maksud saya para gillmen—terselesaikan?”
Di banding duduk di sana dan mencari alasan, dia akan melakukan pekerjaannya. Dia akan melakukan yang terbaik untuk mempertahankan nama baik dan mengembalikan kehormmatannya, seolah harga dirinya sebagai calon pengantin sedang di pertaruhkan.
“Ya,” Goblin Slayer berkata dengan anggukan, tetapi kemudian hampir dalam sekejap menggelengkan kepalanya. “....Sebenarnya, kami pada akhirnga berburu seekor monster yang bernama sesuatu.”
“Jika begitu, bisakah anda menjabarkan monster itu kepada saya dengan lebih terperinci?”
“Dia panjang,” Goblin Slayer berkata. Kemudiam setelah berpikir sejenak, dia menambahkan, “Dia ikan.”
Gadis Guild membuka salinan buku manual monster dan membalikan halaman demi halaman, selalu seperti ini; mencoba untuk mengikuti penjelasannya akan seekor monster adalah mustahil dan sebagian menyenangkan.
Aku rasa itu yang pernah dia bilang ke aku dulu, pikir Priestess, duduk dan mengamati dari kejauhan di dalam ruangan ini. Dia mengangkat lengan baju hingga ke hidungnya dan mengendusnya. “Sepertinya masih bau air laut...”
“Itu bukan khayalanmu saja—ini memang bau,” High Elf Archer mengeluh, telinganya melemas. Hal seperti terasa lebih derita bagi sang elf dengan indranya yang extra tajam.
“Kamu baik-baik saja?” Priestess bertanya, seraya dia mengalihkan dirinya untuk mengendus rambutnya sendiri. “Aku sudah mandi dan mengganti bajuku..”
“Kurasa baunya nggak akan hilang untuk beberapa waktu.” High Elf Archer berkata. “Dan ini sama sekali nggak ada gunanya.”
Dia melihat pada sebuah tas besar yang duduk di tengah meja. Aroma laut yang di hasilkan tas itu terasa begitu jelas. Dwarf Shaman, duduk di depannya, menyeringai lebar. “Para gillmen itu baik sekali ya!”
Di dalam tas terdapat mutiara hitam dan putih, koral merah api, cangkang kura-kura transparan, cangkang spiral berwarna pelangi.
Bensr, itu bukanlah uang, namun itu adalah hadiah rasa syukur dari para orang-ikan. Bahkan setelah mereka memperbaiki kapal para petualang yang rusak, yang aslinya merupakan kapal pinjaman dari desa pelaut. Bukanlah harta yang cukup berharga, namun ini cukup banyak jika mereka ingin sedikit bersenang-senang sementara.
“Ugh, dan kamu penasaran kenapa orang-orang bilang kalau para dwarf itu maruk...”
“Bah, ribut. Kamu nggak akan tahu keindahan akan ini, Telinga Panjang! Kamu setuju kan, Scaly?”
“Ha-ha-ha-ha-ha. Yah, jika mengumpulkan harta benda sudah cukup untuk para naga, Maka saya tidak akan perlu repot-repot.”  Lizard Priest mengangkat ekornya untuk memanggil pelayan dan memesan keju dan anggur. Dia tampak begitu riang, matanya berputar di dalam kepalanya, seraya dia mengeluarkan sesuatu yang besar dari dalam tasnya. “Saya pribadi menganggap ini sebagai hadiah terbesar kita.”
“Wow...” Mata Priestess berkilau terpukau, dan siapa yang dapat menyalahkannya? Sebuah permata bergaris terukir berbentuk sebuah tengkorak binatang menangkap perhatiannya. Dia menyentuhnya dengan jari yang gemetar, namun itu adalah batu dan bukanlah tulang.
“In batu permata...kan?”
“Benar sekali. Itu adalah rahang dari naga mengerikan, yang menjadi batu akik dengan berjalannya waktu dari tahun yang tak terkira.” Lizard Priest mengangkat tengkorak itu dengan bangga seperti seorang bocah kecil yang menunjukkan hsrta karun; adalah sisi lain dari Lizard Priest yang tak pernah di lihat Priestess sebelumnya.
“Hmph, kamu kayak anak kecil saja...” High Elf Archer menggembungkan pipinya dan melepaskan sebuah helaan kesal yang tampak jelas. Tetapi ini sama sekali tidak merusak atmosfir bersahabat ini.
“Heh, heh-heh... Cowok, memang, suka, dengan, hal, semacam, ini, ya?”
“Eh, mereka cukup beruntung bisa menghasilkan uang. Aku nggak akan mengeluh.”
Di meja muncullah Witch dan Spearman—atau lebih tepatnya, Heavy Warrior.
“Wah, tumben nih,” High Elf Archer berkomentar.
“Apa kalian berdua membentuk party sementara?” Priestess bertanya.
Heavy Warrior mengangkat bahunya. “Nggak. Kamu Cuma sedang menunggu.”
Setelah dia mengatakannya, Priestess melihat seorang Knight Wanita berada di papan, bergumam pada dirinya sendiri seraya dia membandingkan quest: “Kita bisa mengambil minotaur, tapi hydra ini bagus juga... Tunggu, ini ada manticore...”
Bocah Scout dan yang lain bersama Knight Wanita; Priestess dapat mendengar bocah itu menggerutu, “Cepatan buat keputusan.”
“Dan, dia, ada, di sana,” kata Witch, menunjuk pada meja resepsionis dengan pipana.
Spearman, benar-benar menghiraukan kesempatan bagus tidak adanya antrian petualang, dan berbaris di depan meja Gadis Guild. Raut yang tidak senang tampak di wajahnya, mungkin di sebabkan karena percakapan yang dia dengar sebelumnya, mengenai Goblin Slayer. Tetap saja, ketika pegawai wanita lain atau petualang wanita lain memanggilnya, Spearman akan menjawab mereka dengan senyuman.
“Dia kelihatan populer,” Priestess berkata.
“Mengenai, itu...” Witch yang mengeluarkan pipa yang entah dari mana, memberikan Priestess tatapan mempesona.
Erk...
Priestess merasakan jantungnya berdegup; dia memegang dada dengan satu tangan.
Apakah dirinya akan mempunyai efek seperti ini kepada orang lain suatu hari? Tentunya masa itu akan masih sangat jauh di depan...
“Beardcutter bisa belajar satu atau dua hal dari pria itu. Supaya dirinya bisa sedikit di sukai.”
“Apa? Mustahil. Aku malah nggak bisa membayangkan Orcbolg yang ceria dan tersenyum.” High Elf Archer menggerutu. Dwarf Shaman, tampak puas dengan perhitungan harta karunnya, mengembalikan semua masuk ke dalam tasnya.
Priestess mencoba membayangkan Goblin Slayer dengan senyum riang di wajahnya dan mendapati dirinya sendiri tertawa. “Memang agak sulit di bayangkan.”
“Yeah, Orcbolg itu—“
“Kenapa denganku?”
“—Seharusnya terus menjadi dirinya yang apa adanya.” High Elf Archer berkata, memberikan ayunan tangan nggak usah di pikirkan mengarah kepada Goblin Slayer, yang muncul tiba-tiba. Tampaknya dia telah selesai berbicara dengan Gadis Guild.
“Begitu,” dia berkata dengan anggukam tanpa sedikitpun curiga. Kemudian helm baja itu berputar mengarah Heavy Warrior dan Witch. Adalah mustahil untuk mengetahui ekspresi di balik helm itu. “Apa keperluan kalian?”
Dan seperti itulah Goblin Slayer.
Heavy Warrior tersenyum lelah, sementara Witch menghembuskan asap beraroma manis dari bibirnya, tampak tidak tertegun dengan ucapan pria itu. Seseorang tidak perlu mencoba membaca maksud apapun dari suara mekanikal dan pelan yang di ucapkan pria itu. Tidak ada kemampuan yang dapat membantu hal ini.
“Cuma habisin waktu dan mengucapkan salam,” Heavy Warrior berkata.
“Saya, punya, kenca, setelah, ini.”
“Begitu,” Goblin Slayer mengangguk dan kemudian menambahkan dengan pelan. “Hati-hati.”
Heavy Warrior sedikit tersenyum dan kemudian menepuk pundak Goblin Slayer dengan tangannya yang besar sebelum berjalan menjauh. “Kalau cuma itu yang bisa kamu ucapkan, aku terima.”
“Sampai, jumpa...” Witch mengangkat tubuhnya yang sensual dari kurai. Asap wangi mengikuti dirinya, menarik perhatian Priestess mengarah wanita itu. Gadis itu menyimpan harapan rahasia bahwa semoga dirinya dapat menjadi seperti Witch suatu hari nanti—sebagai petualang dan sebagai wanita.
Goblin Slayer sedikit memiringkan helmnya, menimang maksud sesungguhnya dari ucapan yang di utarakan kepadanya. Dia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun, dan mengacuhkan hal ini dengan “Lupakan saja.” Dia memiliki banyak hal yang harus di lakukan.
“Ayo kita bagi hadiahnya,” dia berkata, membawa tubuhnya duduk di kursi dan melihat partynya. “Masing-masing dari kita akan mengambil apa yang kita inginkan, dan sisanya akan kita tukar menjadi uang dan bagikan secara merata. Keberatan?”
“Saya merasa itu cukup adil.” Lizard Priest berkata, mengangguk serius dan membuat gerakan dengan telapak tangannya. “Konon mereka berkata bahwa bajak laut sekalipun tidak bertengkar perihal apa yang di ambil. Jika begitu maka sudah seharusnya para petualang bersikap seperti itu juga, bukan?”
“Aku yakin kamu pasti mau benda tulang itu, kan?”  High Elf Archer berkata. “Kalau aku, aku ambil ini.” Dia menjulurkan tangan kurusnya dan mengambil sebuah kristal emas transparan—cangkang kura-kura.
“Awas kamu elf—tangan kalian itu sama cepatnya dengan panjang telinga kalian,” Dwarf Shaman mendapati jari gemuknya terlalu lambat unthk menghentikan High Elf Archer, yang tertawa bangga dan membusungkan dada kecilnya.
“Mengeluh, mengeluh terus. Aku nggak bilang siapa cepat dia dapat, tapi memangnya yang lain ada yang mau ini?”
“Yah...” tatapan Dwarf Shaman mengarah partynya, “...Okelah. Tapi kamu mau apain benda itu!”
“Hmm? Mungkin aku akan mengirimnya ke kakakku.  Benda dari laut itu benar-benar langka di tempatku.”
“Aku yakin dia pasti suka.” Priestess berkata, mengundang sebuah “Terima kasih!”  dan kepakkan telinga dari High Elf Archer.
Upacara pernikahan yang mewah di dalam hutan hujan masih segar di dalam ingatan Priestess. Pada waktu yang sama, dia merasakan gelombang rasa sesal. Dia menatap lantai untuk beberapa saat kemudian menjulurkan tangannya.
“...Aku ambil mutiara ini kalau begitu. Aku ingin mempersembahkannya kepada Ibunda Bumi.”
Priestess tidak mengetahui cara menebus perbuatannya—dan walaupun dia telah di maafkan, dia masih harus tetap melakukan sesuatu.
Dwarf Shaman menyadari ekspresi Priestess, memberikan dengusan untuk menunjukkan rasa tidak senangnya. “Aku rasa kamu seharusnya bisa sedikit egois... Yah, bukan urusanku sih.” Kemudian dia mengambil sebuah spiral dengan tangan berlulangnya, mengangkatnya dengan hati-hati. “Ini bakal bagus untuk menjadi katalis. Spiral itu punyaku. Beardcutter, kamu bagaimana?”
“...Aku?”
Dia tampak begitu terkejut. Helm itu tidak bergerak namun tetap terpaku mengarah kantung harta itu. Priestess memperhatikannya dengan senyuman.
Untuk pergi berpetualang, mengalahkan monster, menerima hadiah, dan membaginya. Semua orang memiliki cara berbeda untuk membagikan hasil jarahan mereka, dan Priestess mendengar bahwa beberapa orang mengubah semua harta yang di dapat itu menjadi uang  dan membagikan apapun yang mereka terima, tetapi...
Hanya ada satu alasan mengapa hatinya berdansa seperti sebelumnya.
Ini pasti petualangan normal yang dia inginkan.
*****
Adalah siang di kebun, dan para babi mengorok kesal seraya mereka dengan rakus memakan biji pohon ek. Mungkin mereka tidak senang di karenakan mereka mengetahui bahwa mereka akan berubah menjadi daging ketika mereka cukup besar—atau mungkin mereka ingin lebih banyak makan.
“Iya, iya, ayo makan.”
Pemilik kebun yakin bahwa itu adalah yang kedua, karena pria itu memberikan mereka makan lebih banyak lagi. Lagipula, tidak lama lagi festival panen akan tiba lagi, dan kemudian musim dingin akan menyambut mereka. Untukngnya, mereka mempunyai babi dan ayam, susu sapi sangatlah bagus, dan tidak adalah permasalahan mengenai tanaman mereka juga. Tampaknya mereka akan melalui tahun ini dengan aman.
“...Ya Tuhan.” Dia mengelap wajah dengan handuk yang menggantung di pundaknya dan menghela. Sekuju tubuhnya terasa nyeri.
Entah bagaimana dia dan keponakannya telah berhasil merawat kebun ini bersama selama sepuluh tahun, namun dia mulai merasakan efek dari usianya yang mulai menua. Dan jika benar-benar sesulit  ini untuk mereka berdua, bagaimana sulitnya jika ketika hanya keponakannya sendiri?
Mungkin ini sudah saatnya untuk mencari bala bantuan untuk kebunnya...
“Ah, tapi...”
Semua calon bantuan yang ada di perbatasan ini hanyalah preman tak bernama, dan tidak mungkin dia akan membiarkan mereka mendekati keponakannya. Dia harus secepatnya menyewa petualang ti gkat tinggi dari Guild; paling tidak mereka akan mempunyai bukti bahwa seseorang mempercayai petualang itu...
Haaa...” Sang pemilik menghela panjang kembali. Yang paling membuat kepalanya pusing baru saja tiba. “...Kamu kembali.”
“Ya pak. Aku baru saja kembali.”
Pria itu, dengan helm baja yang terlihat murahan dan armor kulit yang kotor, berhenti tepat di dekat jalan dan menundukkan kepalanya memberi salam.
Goblin Slayer. Adalah sebutan orang-orang kepadanya—namun sang pemilik kebun masih belum mengetahui pasti wajah pria itu.
“Goblin lagi?”
“Ya pak... Yah, nggak juga. Walaupun seharusnya quest itu melibatkan pembasmian goblin.”
Jadi monster lain.
Sang pemilik dengan cepat mencoba untuk mendapatkan informasi lebih dari pria muda itu.
Keponakannya mungkin adalah satu-satunya orang yang melihat wajah di balik helm itu.
“Um, apa dia—?”
“Ada di dalam rumah sepertinya.” Sang pemilik menekan emosi di dalam hatinya. “...Jangan buat dia menunggu lama.”
“Baik pak... Sepertinya aku bisa membantumu di sini besok.”
“...Benarkah?”  sang pemilik menoleh kembali mengarah para babi dan mengangguk.
Seraya dia mendengar langkah kaki yang menjauh di belakangnya, dia menghela napas ketiga.
Nggak ada pengaruhnya bagiku kalaupun aku melihat wajahnya, dia sama sekali nggak masuk akal bagiku.
*****
“Oh, selamat pulaaaang!”
Sebuah suara riang menyambut Goblin Slayer seraya dia membuka pintu rumah. Sesaat kemudian, dia mendeteksi aroma manis susu mendidih yang tersebar.
Goblin Slayer memasuki dapur dengan langkah kaki cepat. Dia melihat meja sudah tertata, tinggal menunggu makanan siap. Dan di sana terdapat teman lamanya, berdiri dengan apron, menyambutnya pulang.
“Aku dengar kamu pergi ke selatan, tapi kali ini kamu pulang lebih cepat. Kamu sudah makan siang?”
“Belum.” Goblin Slayer memberikan satu gelengan kepala menjawab pertanyaan Gadis Sapi. Dia menarik kursi dan duduk; kursi itu berdecit—apakah karena berat beban armornya?
“Oke, aku sudah selesai memasak ini. Sekarang yang kita perlu roti dan...mungkin keju?”
“Ya.”
Keju cukup laris akhir-akhir ini, Gadis Sapi memberitahunya dengan gembira kemudian berputar mengarah panci rebus.
Goblin Slayer memutar helmnya untuk melihat gadis itu, berdiri membelakangi Goblin Slayer. Penjualan yang laris sebagian besar di karenakan kenalan lizardman pria itu yang telah membeli begitu banyak hasil produksi mereka.
Panci rebus bergelembung seraya isinya mendidih. Dia memperhatikan gadis itu mengaduknya. Tiba-tiba, gadis itu melirik mengarah pria itu dari balik pundaknya.
“Kamu tahu.., aku nggak keberatan kalau kamu sekali-sekali makan dengan temanmu loh?”
“...” Goblin Slayer terdiam beberapa saat dan kemudian mendengus pelan.
“Terlalu merepotkan?”
“Hmm...”
Gadis Sapi kembali memutar kepalanya mengarah masakannya, oleh karena itu Goblin Slayer tidak dapat melihat wajah gadis itu lagi.
Gadis Sapi mulai mengerjakan panci itu dengan lihai, seolah untuk mengalihkan perhatiannya dari sesuatu.
Setelah jeda panjang, Gadis Sapi berbisik, “...Aku benar-benar...nggak keberatan kok?”
“...Begitu.” Goblin Slayer menghela.
Beberapa menit kemudian, Gadis Sapi mengumumkan, “Selesai,” dan menyajikan pria itu santapan rebusan.
“Aku bantu,” pria itu berkata, mulai untuk berdiri, tetapi Gadis Sapi menahan pria itu dengan “Oh, nggak usah repot-repot.” Tampaknya Gadis Sapi sedang bersemangat tinggi.
Dia dan sang gadis duduk bersebrangan dan mulai berdoa kepada dewa dan berkata, “Selamat makan!”
Gadis Sapi tersenyum seraya dia memperhatikan pria itu menyendok rebusan dengan sendok dan memakannya. Seperti inilah yang selalu terjadi setiap kapanpun pria itu pulang untuk makan. Pemandangan tidak asing ini membawa senyum di wajah sang gadis; terkadang dia membuat makanan hanya untuk momen seperti ini.
“Aku membawakanmu kado.”
Tetapi itu...
...itu bukanlah bagaimana ini semua seharusnya berjalan, dan Gadis Sapi mendapati dirinya sendiri terbengong.
“Kado? Serius? Bercanda ah!”
“Aku serius.” Goblin Slayer berkata dan kemudian dengan santai menggapai tas barangnya. Cara dia merogoh isi dalam tas itu terlihat kasar; bukan cara biasa seseorang untuk memberikan sebuah kado. Bahkan keseluruhan niat memasukkan sebuah kado di dalam tas penuh akan berbagai macam barang tampak mencurigakan bagi sang gadis.
Tapi dia memang seperti itu sih.
Sang gadis tertawa kecil, berusaha agar pria itu tidak menyadarinya.
“Ini dia.”
Pria itu tampak begitu lelah hingga Gadis Sapi merasa lebih sulit menahan tawanya.
“Apa itu?”
“Cangkang.”
Dia menarik tangan keluar dari tasnya, dan di atas telapak tangan, terdapat sebuah cangkanh dengan lingkaran warna-warni di atasnya. Cangkang itu berkelip dalam cahaya matahari yang menyinari ruangan seperti sebuah permata.
“Oh...!” Gadis Sapi berteriak, dan sudah sewajarnya. “Tunggu, benar nggak apa-apa aku menerima ini? Apa kamu pergi ke laut dalam pekerjaan kemarin?”
“Ya.” Jawaban pendeknya menimbulkan pertanyaan baru.
Gadis Sapi mengambil cangkang itu dari dia dengan hati-hati, seolah menangani sesuatu yang sangat rapuh, dan menaruhnya di atas telapak tangannya. Gadis Sapi menyipitkan mata di karenakan kilauan sinar yang memantul dari cangkang itu, dan dari setengah matanya yang tertutup, dia dapat melihat pria itu duduk dengan diam.
“Di sana ada ikan,” pria itu akhirnya berkata, dan setelah berpikir sejenak, dia menambahkan, “Yang sangat panjang.”
Apakah Gadis Sapi harus bertanya lebih spesifik, atau bagaimana? Argh, nggak—dia ingin bertanya, tetapi ini harus di dahulukan.
“Terima kasih banyak! Aku akan menjaganya!” Gadis Sapi berkata mendekap cangkang itu di dadanya yang ranum dan tersenyum. Goblin Slayer mengangguk tanpa kata, dan sang gadis berdiri, pergi menuju dapur.
Dia mengambil sebuah kotak tua yang duduk pada rak teratas dan membukanya untuk menunjukkan sebuah koleksi dari apa yang mungkin tidak lebih dari sekedar sampah. Namun dia meletakkan cangkang itu di dalamnya seolah itu adalah harta ksrun berharga dan menutup tutupnya kembali.
“Nah, aman sudah... Yeah, kalau seperti ini aku nggak bakal kehilangan benda ini.”
“Begitu.”
Gadis Sapi berjinjit untuk meletakkan kotak itu kembali dan kemudian mengelap keringat dari dahinya seolah dia baru saja menyelesaikan pekerjaan yang sulit. Ketika dia bergegas kembali ke ruang makan, dia membawa segelas anggur untuk pria itu. Biasanya, dia tidak begitu suka untuk minum di siang hari, namun dia merasa bahwa hari itu tidak apa-apa.
“Bagaimana besok?”
“Aku nggak ada pekerjaan.”
Gadis Sapi meletakkan gelas di atas meja; pria itu mengambilnya dengan gerakan sangai dan meneguk habis isi gelas itu.
Tidak lama kemudian santapan rebus telah kosong juga; ketika Gadis Sapi bertanya, “Tambah?” pria itu hanya menjawab, “Ya, tolong.”
Goblin Slayer mengikuti gadis itu dengan matanya seraya gadis itu bergerak untuk mengambilkan makanan lagi, dan kemudian Goblin Slayer berkata pelan, “Aku akan membantu pekerjaan kebun.”
Seperti itulah niat Goblin Slayer. Kemungkinan besar Gadis Sapi telah menduganya. Jika begitu, apa yang akan pria itu lakukan? Apa yang harus di lakukan? Dia mengingat apa yzng di katakan paman Gadis Sapi. Ini adalah jawabannya.
Percakapan mereka terus berlanjut dengan santai, dan kemudian mataharipun terbenam, dan paman sang gadis kembali, dan mereka makan malam, menghabiskan waktu bersama, dan kemudian tidur.
Sebuah malam yang benar-benar biasa. Malam yang selalu terjadi di saat dia pulang. Mereka-pun menduga hari esok yang biasa mengikuti.
Namun bukanlah hal seperti itu yang terjadi.