PEMURNIAN DARAH
(Translator : Zerard)

Dengan decitan pelan, elevator semakin mendaki naik dan naik.
Tidak yakin apakah mereka bergerak perlahan atau cepat, party mereka mendapati dirinya terserang dengan perasaan akan tertekan ke lantai. Mereka berdesakan dalam kotak kecil ini, berdiri bersiap dengan perlengkapan dan terlihat gugup. Tidak ada jaminan bahwa para goblin tidak akan melakukan serangan sergapan di sini di dalam elevator inil
“Hr...?” High Elf Arvher tiba-tiba membuat suara khawatir kecil, “Hmm?” dan “Hmm?”, dan memegang telinga dengan tangannya. Telinga itu berayun gelisah, dan sebuah ekspresi cemas tersirat di wajahnya.
“...Kenapa? Ada dengar langkah kaki goblin?” Dwarf Shaman bertanya.
“Hrn, nggak... Ahh, arrgh...!” Dia enggan untuk meneruskan balasannya, daan terus mengayunkan telinganya kesal.
“Telan,” Goblin Slayer berkata, tidak menoleh kepadanya seraya dia mencari sesuatu dari kantung peralatan di ujung elevator.
High Elf Archer memberikannya tatapan tanda tanya. “Apa?”
“Itu akan meringankan telingamu.”
Apa iya? High Elf Archer merasa ragu, namun dia mengangguk dan mencobanya.
“...Huh, iya benar.” Dia tersenyum dan menjentikkan telinganya yang sekarang telah merasa lebih baik, naik dan turun.
Priestess, memperhatikan, dan menelan juga, akhirnya berkedip terkejut. “Wow. Itu benar-benar manjur.”
“Menara ini tampak cukup tinggi.” Lizard Priest berkata, memegang dinding elevator dengan tangan seolah ingin memeriksa posisi mereka.
“Ini adalah bukti bahwa kita sedang menanjak dengan aman,” dia berkata, “dan itu adalah hal yang baik.”
“Tapi—“ Priestess memegang bibirnya dengan satu jari. “Bagaimana kalau ini terhenti...?”
“Kalau begitu kita buka pintu dan memanjat salah satu tangga yang ada,” Goblin Slayer berkata tegas. Mereka berada di tempat yang jauh lebih tinggi dari sebelumnya; seharusnya sudah tidak begitu sulit sekarang.
Priestess dan High Elf Archer bertukar pandang mendengar jawaban tegas tanpa ragu ini dan tersenyum.
“Aku perlu memakai talimu.”
“Oh, ini,” Priestess berkata, mengangguk dan menyerahkan tali kepadanya. “Kurasa Perlengakapn Petualang sudah menjadi MVP bagi kita saat ini.”
“Mereka nggak bercanda ketika mereka bilang jangan tinggalkan rumah tanpa ini,” Dwarf Shaman tertawa; Priestess tersenyum dan mengangguk. “Uh-huh!”
Dan dengan itu, percakapan mereka terhenti. Putaran elevatir bergema, bercampur dengan arus air yang berada jauh di bawah kaki mereka. Dalam jangka waktu cukup panjang, tidak ada yang berbicara, namun masing-masing dari mereka membayangkan apa yang akan segera mereka hadapi.
“...Maaf.” ucapan pendek nan pelan tampak keluar dari High Elf Archer. Badanya bergerak seraya dia meradakan tatapan ringan party memgarah kepadanya. “Dan terima kasih. Untuk...kalian semua.”
Dia sedikit tersipu, tersenyum malu. Mungkin dia merasa malu untuk berterima kasih tepat di hadapan mereka seperti ini.
“Aku mengundang kalian kesini untuk pernikahan kakakku, dan...sekarang, jadi begini.”
“Terus, memangnya kenapa?” Dwarf Shaman membalas tanpa jeda. Dia merogoh tas katalis miliknya, tidak melihat High Elf Archer seraya dia berbicara. “Kurasa aku suka kalau ada elf yang berhutang padaku. Lagipula, kita... Kamu tahulah.” Dia menarik jenggot dan kemudian akhirnya berhasil mengucapkan sepatah kata. “Teman.”
“Oh...”
Lizard Priest tertawa pelan ketika dia melihat mata High Elf Archer melebar; Lizard Priest mengangguk serius. “Kami telah begitu banyak bergantung kepada anda, nona ranger.” Dia memutar mata dengan gerakan penuh humoris. “Tentunya, sudaah sepatutnya kami melakukan ini.”
“Dan, uh,” Priestess menepuk tangan pelan, dan sebuah senyum tipis tersirat di parasnya. “Lagipula Goblin Slayer akan langsung mengambil quest ini tanpa pikir panjang ketika dia mendengar kata goblin.
“Hrm?” sang petualang berarmor mendengus, namun Priestess memutarkan senyum kepadanya dan bertanya, “Apa aku salah?”
“...Nggak.” dia berkata, dengan pelan menggelengkan helm yang terlihat murahannya. “Kita harus membunuh semua goblin.”
“...Tuhan,” High Elf Archer berkata, pundaknya melemas seraya dia menghela napas. Sebuah senyum merayap di wajahnya. “Baru setahun lebih. Siapa yang sangka kita bisa sedekat ini begitu cepat?”
“Yah, kita lihat saja apa kamu masih memikitkan tentang kami dalm seratus tahun.”
“Dwarf bodoh,” High Elf Archer tertawa. Dia menjulurkan satu jaru telunjuknya, menggambar lingkaran di udara. “Pastinya aku nggak akan melupakan kalian.”
Baiklah. Dia memberikan dirinya sendiri tepukan di kedua pipi. Kemudiam dia mengambil busurnya, memeriksa tali; dia menarik sebuah panah bermata kuncup dari dari tempatnya dan menyiapkannya. Dia menatap langit-langit, dan dengan je tikam telinganya, wajahnha menjadi serius. “Aku dengar angin. Langkah kaki. Percakapan. Kemungkinan antara atap atau lorong. Mereka ada banyak.”
“Aku akan membantai mereka.” Goblin Slayer manrik pedangnya, memutar pergelangan tangan sebelum mengambil postur bertarung. “Bagaimana menurutmu?”
“Saya rasa ini adalah waktu yang tepat untuk apa yang anda sebut manuver klasik,” Lizard Priest berkata dengan kedipan. Kemudian dia mengangguk dan menawarkan sebuah strategi” Saya punya saran. Tuanku Goblin Slayer, anda akan berada di depan dengan master pembaca mantra, sedangkan saya sendiri berada di belakang. Nona Priestess akan berdiri di belakang nona ranger.”
“Ba-baik!”
Ekor dari formasi.
Goblin dari belakang. Merobek dan mengoyak. Mengoceh, menusuk. Sebuah belati tertanam di perut gadis itu.
“...!” Priestess menggeleng kepala cepat untuk menghapus gambaran yang terlintas di pikirannya.
“Posisi itu adalah yang paling aman dari serangan musuh, oleh karena itu anda tidak usah risau.” Lizard Priest mengangguk kepada Priestess, yang sedang menggigit bibirnya gugup.
“Jadi yang perlu aku lakukan cuma mengawasi dan memberikan dukungan kan?” High Elf Archer berkata.
“’Cuma’? Itu adalah hal yang terpenting.”
“Yeah, aku paham,” dia menjawab, membusungkan dadanya.
“Aduuuh. Kamu ingat kan aku ini pengguna sihir?” Dwarf Shaman menggerutu seraya dia mengangkat tas katalisnya ke pundak dan menarik kapak tangannya. Sebagai pembaca mantra, dia tidak begitu menggunakan armor, akan tetapi dia masih memiliki aura seorang warrior yang siap bertempur.
Helm Goblin Slayer berputar singkat mengarahnya, dan dia bergumam, “Tapi kami berharap padamu.”
“Sudah seharusnya. Aku akan tunjukan kehebatan seorang dwarf yang sesungguhnya.”
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha! Kami dari suku lizard semua adalah warrior.”
Seraya mereka bersenda gurau, para wanita memutar mata mereka.
Akhirnya, elevator terhenti dengan benturan.
“Kamu siap?” Dari balik pelindung metal itu, Priestess dapat merasakan sepasang mata menatap dirinya.
Bersikap siaga dan bersikap gugup adalah hal yang berbeda. Seperti pemanasan dan darah yang mengalir ke kepalamu.
Dia menarik napas panjang dan menghela perlahan. Dia meletakkan satu tangan di dada. Satu tarikan napas panjang lagi.
“...Aku siap. Aku bisa lakukan ini.”
“Ketika pintunya terbuka, kita lari. Bersiaplah.” Goblin Slayer berkata acun. Dia menghadap ke depan. Dia tidak perlu melihat rekannya untuk mengetahui bahwa mereka semua mengangguk.
“Bagaimana dengan pembaca mantra?” High Elf Archer berbisik, memeriksa keadaan tali busurnya. “Pastinya ada beberapa di antara mereka.”
“Kalau kita bertemu, kita akan mengutamakan mereka,” Goblin Slayer berkata. “Cuma itu yang bisa kita lakukan.
“Aku benci bertarung dengan pembaca mantra,” Dwarf Shaman menambahkan “Walaupun terdengar ironis.”
“Mereka mungkin akan menggunakan mantra yang dapat menyebabkan kelainan status, tapi selama salah satu dari kita masih aman, orang itu dapat menyelamatkan party.” Goblin Slayer berkata tenang. “Selama kita belum musnah semua, kita mempunyai banyak pilihan.”
“Dan kalau kita semua musnah...” Suara Priestess bergetar, dan helm metal itu berputar kepadanya.
“Jangan.”
Sebagai sebuah perintah, itu adalah hal mustahil, dan Priestess melihat pria itu dengan terkejut. Namun dia-pun memberikan senyum kecil, bahkan tertawa. Walaupun dia harus sedikit memaksanya.
“...Yah, kalau memang kamu bilang begitu. Aku akan mencoba sebisaku untuk menjaga agar kita nggak mati semua.”
“Bagus.” Goblin Slayer mengangguk. “Jangan gunakan mantra. Gunakan keajaiban saja.”
“Mm.”
“Baik pak!”
Kedua cleric mengangguk menyetujui, dan mading-masing dari mereka berdoa kepada dewa dengan cara mereka sendiri, memohon keajaiban.
O, sayap maha tajam velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu.”
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah.”
Akhirnya, pintu terbuka...
“Maju!”
Mereka mulai berlari.
*****
Sang goblin shaman memperhatikan bawahannya yang terkantuk dan mengangguk puas.
Masing-masing dari mereka menggunakan pelapis dada berkilau atau memegang tombak atau pedang.
Shaman ini adalah penerima akan keberuntungan besar. Hanya berdasarkan kebetulan, dia telah di anugrahi sihir, kemudian meraih kontrol sebuah gerombolan, dan bahkan hingga memiliki sebuah benteng. Melalui sihir,menghipnotis pikiran naga (kenyataan bahwa naga itu tidak tertidur sungguh di luar dugaan) dan melepaskannya untuk menyerang para elf.
Dia begitu yakin bahwa semua ini adalah hasil dari kemampuannya yang sungguh brilian, namun pada kenyataannya ini hanyalah di karenakan keberuntungan.
“GORBB! GOBROBBRBOGB!!”
Dia begitu menyukai melihat kaumnya yang bodoh menunduk dan bersujud di hadapannya. Superioritasnya terlahir akan khotbah terus menerusnya yang mengatakan bahwa dia akan memimpin mereka semua menuju surga baru dan bumi baru. Pada saat itu, seolah dia dapat merasakan sungai yang mengamuk di bawahnya.
“GORROB! GOROOROOB!”
Dalam remangnya kegelapan fajar, cakrawala yang jauh berubah menjadi ungu muda. Angin hangat dan lembab dari pepohonan terasa begitu nikmat bagi para goblin.
“GBBORB!!”
Semua telah siap, sang goblin shaman melolong. Mereka akan membuktikan kepada pemakan serangga yang sok, tinggi hati itu. Tidak tersadarkan akan betapa serangganya ucapannya sendiri.
“GORB!”
“GBBRO!!”
Ya, Ya! Massa berteriak. Sang goblin shaman memperhatikan mereka dan mengusung tongkat yang di genggamnya. Adalah tongkat kegemarannya, terhias dengan tengkorak petualang yang dia bunuh. Gadis itu benar-benar memiliki tengkorak yang bagus.
“GOOBRGGOG!”
Kutukan yang telah dia pelajari (dia sangat yakin bahwa dia mempelajarinya; dia tidak pernah mempertanyakan inspirasinya) telah selesai. Membiarkan para elf dan manusia di hilir, meminum darah dan tai akan kaumnya sendiri. Membiarkan para goblin memakan para pedagang dan pemburu dan petualang. Itu akan membuktikan kepada mereka.
Sang goblin shaman sangatlah percaya diri bahwa kutukannya akan bekerja. Itulah mengapa dia memerintahkan bawahannya untuk menghabisi para elf, memperkosa, membunuh dan menghancurkan.
Jika tidak berhasil, jika tidak berhasil—maka itu merupakan kesalahan pengikutnya yang tolol, yang terlalu bodoh untuk menjalankan rencananya. Jika dia tidak mempunyai bantuan yang tidak kompeten, maka semua akan berjalan dengan lancar.
Seekor goblin tidak akan pernah melupakan luka yang telah di deritanya.
Khususnya dari para elf, yang dari generasi ke generasi telah mencemooh goblin. Ataupun Sword Maiden, yang satu dekade lalu telah berhassil menumpas Dark God.
Para goblin melupakan segala yang mereka lakukan yang telah membuat mereka di benci; para goblin hanya membenci.
Tidak hanya sekedar hal yang telah di lakukan kepada mereka, tetapi bahkan hal yang hanya mereka dengar.
Itulah kenapa sang shaman membulatkan tekadnya. Dia akan menginjak para elf, menyiksa mereka, menculik permaisuri cantik mereka dengan anaknya di depan kepala suaminya yang terpenggal.
Kemudian mereka akan menjarah kota air, membakar hingga rata dengan tanah, dan dirinya akan memperkosa Sword Maiden hingga wanita itu tidak sanggup lagi berdiri.
Seperti itulah angannya, fantasinya, akan tetapi itu tidaklah lebih dari sekedar gambaran dari keserakahannya.
Namun apa yang para goblin miliki selain niat busuknya? Kebencian, keegoisan, dan apa lagi?
Seekor goblin shaman tetaplah seekor goblin.
“GOROBOOGOBOR!!”
Dia mengangkat tongkatnya dan berteriak. Sekarang! Tumpahkan!
Seruan perangnya tersela dengan suara bong pelan yang terdengar begitu janggal.
Apa itu?
Sedetik kemudian, pintu terbuka masuk ke dalam dinding, salah satu dari pintu yang tidak pernah terbuka sebelumnya...
“Mulai dengan...satu!”
*****
Hal pertama yang Goblin Slayer lakukan seraya dia menerjang adalah menyerang seekor goblin dengan perisai.
Tampaknya terdapat setidaknga seratus goblin dalam atap bundar ini. Mungkin itu hanyalah sebuah ilusi. Namun paling tidak, terdapat beberapa lusin. Dan para petualang melesat bagaikan panah di antara para goblin.
“GOROB?!”
Goblin Slayer menyerang salah satu goblin yang terbengong, kemudian dia bergerak ke kiri, menghantamkan pedangnya masuk ke dalam tenggorokan monster yang mendekat.
“GOROBOOBGR?!” Makhluk itu menggeliat dan tersedak akan darahnya sendiri.
Goblin Slayer menarik pedangnya kembali dan memberikan tendangan pada mayat segar itu. Kemudian dia mengayun pedang dan melemparkan pedangnya pada seekor goblin yang mencoba untuk melontarkan ketapel mengarah dirinya.
“GROOB?!”
“Dua.”
Dia sama sekali tidak memberikan lirikan kedua pada goblin yang terjatuh, dia mendekati mayat itu dan menendangnya menjauh. Dia mengambil golok, memberikannya ayunan. Tidak jelek.
“O kambing agung yang membimbing Cretaceous, anugrahilah kami sejentik kejayaan pertarunganmu yang tiada tara!”
Di kiri Goblin Slayer, Lizard Priest meraung layaknya seekor burung yang mengincar mangsa dan mengayunkan Swordclaw yang di genggam dengan kedua tangan. Cakar, cakar, taring, ekor. Dia meraih seekor goblin yang terhantam oleh perisai Goblin Slayer. Dengan begitu banyaknya musuh, tidak ada waktu untuk berpikir, dan Lizard Priest mempercayakan insting warriornya  yaang meraung seperti binatang.
“Eeeaaaaahhhhh!!”
“Nggak sangka kita bisa bertemu goblin secepat ini,” Dwarf Shaman bergumam dari bagian kanan, “dan sepertinya Scaly benar-benar menikmati semua ini.”
Walaupun begitu, Dwarf Shaman mampu menggunakan kapaknya dengan efektif, dan melancarkan serangan yang tepat.
Walaupun peran utamanya bukanlah seorang warrior, dia masih mampu untuk melakukan ini. Goblin Slayer dan pedangnya telah menghabisi beberapa dari lawan. Terlebih lagi, perlindungan ilahi yang berasal dari doa Priestess menjaga mereka semua dari serangan goblin. Dwarf Shaman yang bukanlah seorang spesialis barisan depan, sangat merasa bersyukur dengan ini.
“Di sana!” seru High Elf Archer dari samping dwarf berdiri dengan kaki yang berpijak kokoh untuk mengayunkan kapaknya. High Elf Archer melepaskan tiga tembakan, menusuk tiga musuh, tekinga bergerak mencari keberadaan musuh lainnya.
Untuk apa yang High Elf Archer telah lihat sebelumnya: salah satu goblin bersembunyi di tengah-tengah gerombolan.
“Dia punya tongkat! Dan sepertinya bakal gawat!”
“Shaman?” Goblin Slayer membenamkan goloknya pada otak goblin ke enam. Dia melepaskan senjatanya, yang terjatuh ke lantai bersama dengan mayat, dan menarik pedang dari sabuk musuh yang terbunuh. Dia mmenggunakan momentum itu untuk memenggal kepala goblin terdekat lainnya.
“Tujuh. Kamu bisa tembak dia?”
“Nggak bakal mudah!” High Elf Archer berkata, namun dia tetap memuat panah pada busurnya. “Tapi aku coba!”
Priestess, berlari kencang di belakang, sulit mempercayai keseluruhan adegan yang terjadi.
Musuh berjumlah begitu banyak, dan mereka, para petualang, begitu sedikit. Terakhir kali dia berhadapan dengan gerombolan sebanyak ini adalah—
Tidak pernah.
Priestess, berdiri di belakang party dan bernapas sedalam yang dia bisa, tercengang setelah menyadari ini.
Para goblin mendekatinya. Ingatan menyambar dirinya bagaikan petir.
Pertarungan dengan goblin lord. Kala itu, dia bekerja sama dengan Goblin Slayer untuk mengalahkan pemimpin musuh.
Dalam festival panen, para goblin berpencar, oleh karena itu jumlah pertarungan mereka tidak begitu besar.
Benteng beku merupakan pertarungan lari. Mereka tidak mencoba untuk menerobos masuk ke dalam gerombolan musuh.
Sekarang mereka berlari tepat menuju jantung gerombolan. Suara senjata berdenging di sekitarnya. Teriakan. Jeritan kematian. Aroma darah dan jeroan.
Kita akan menghabisi para goblin!
Lari! Cepat!
...nuh...ku...
Teriakan yang tampak terngiang di ingatannya hingga memenuhi pikirannya secara utuh. Priestess dapat mendengar giginya sendiri bergetar. Dia telah begitu sering melakukan ini, jadi mengapa kakinya berhenti bergerak sekarang? Mengapa napasnya tertahan?
“Ergh... Ah...!”
Sebuah kerikil terbang melewati, menggores pipinya. Dia merasakan panas dan sakit di sisi wajahnya. Terdapat perasaan lengket akan darah yang menggumpal.
Dia berhenti berdoa, dan efek Protection mulai memudar.
“...!”
Tiba-tiba dia menyadari sebuah perasaan hangat, lembab di antara kaki, dan dia menggigit bibirnya. (TL Note : Aku bener2 g suka banget sama Priestess ini 😑)
Mengapa dia harus berada di garis belakang?
Apa yang mereka inginkan darinya?
Dia mengetahuinya sekarang. Pengalaman telah memberikannya jawaban.
Dia meremas tongkat dengan jarinya yang hampir putus asa, mengusungkannya, dan meneriakkan persembahannya kepada dewa yang bersemayam di surga.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!!”
Terdengar ledakan lantang akan cahaya matahari.
“GOBOGBO?!”
“GOOBR?! GOBOGR?!”
Para goblin menjerit dan menggeliat seraya cahaya agung Ibunda Bumi menyinari wajah hina mereka. Beberapa terjatuh dari atap seraya mereka menutupi wajahnya dan mencoba berlari, sedangkan yang lain, mati di karenakan terinjak kaki rekan mereka.
Priestess menahan napasnya melihat pemandangan menyedihkan inu namun terus mempertahankan Holy Light dengan segenap tenaganya. Cahaya itu menerangi para petualang dari belakang, oleh karena itu mereka tidak terpengaruh oleh cahaya ini.
“Yes—Dapat kamu...!”
“GOBBRG?!”
Sebuah panah terbang,  terbimbing oleh kemampuan piawai memanah High Elf Archer. Panah itu terbang melintasi gerombolan layaknya sebuah makhluk hidup, terbenam di dalam pundak goblin shaman.
“GORBBBR...!!”
Pada saat hampir bersamaan, sebuah mantra terkuak dari tongkat sang shaman yang bersembunyi di balik pasukannya.
“ODUUUAAARUKKKUPIRUUUSS!!”
Sebuah awan beraroma manis, asap ungu muda mengepul berputar di atas atap.
“Hrk... Sial...!” High Elf Archer terhuyung dan berlutut sebelah kaki, sementara goblin lainnya-pun turut tersungkur di sekitarnya.
“Itu pasti Sleep Cloud...!” Dwarf Shaman berteriak, menutup mulut dengan tangannya.
“Grr... kita harus...fokus!” Lizard Priest berusaha untuk membangunkan High Elf Archer, namun pergerakannya sendiri terlihat begitu menjadi lamban.
Rasanya seperti di bawah air, Priestess berpikir lemas. Kelopak matanya menjadi terasa berat, dan tongkatnya adalah yang menjadi tumpuannya untuk berdiri.
Begitu menyenangkannya, mereka semua bermain bersama di air pada hari liburan mereka.
Dunia berayun ke depan dan kebelakang, kiri dan kanan; segalanya berputar seraya dia mendapati dirinya tidak sanggup berdiri lagi.
Mungkin sudah...nggak apa-apa sekarang.
Kesadarannya memudar hanya dalam sesaat.  Namun cukup untuk membuat Protectionya menghilang secara keseluruhan.
Dengan pandangannya yang semakin menggelap, dia melihat High Elf Archer yang berlutut, dan di balik gadis itu, terlihat punggung seseorang. Para goblin yang selama ini terhalangi oleh mantra, sekarang membanjiri masuk, berusaha untuk menumbangkan pria itu.
High elf archer tertarik di lantai. Bajunya robek. Dia melambaikan tangannya lesu.
Sebuah pentungan menghujam pundak Dwarf Shaman. Genggamannya melemas dan dia menjatuhkan kapaknya.
Sebuah goblin lompat menaiki leher Lizard Priest. Belati di tangannya berusaha menembus sisik dirinya.
“...Urg...”
Pundak Goblin Slayer—sebuah pedang—
Darah.
“Pak Goblin Slayer...”
Suaranya begitu pelan. Namun itu sudah cukup.
“...! Guh...”
Priestess menarik napas. Itu adalah hal pertama. Mengisi dada kecilnya dengan udara kemudian menghembuskannya.
“HHHHRAAAAAAAHHHHHHHH....!!”
Dia sama sekali tidak menyangka bahwa dia sanggup melakukan teriakan monumental seperti itu.
“Semuanya...! Pak...Goblin....Slayer....!”
Tidak ada jawaban.
Dia menggoyangkan tongkatnya.
“Pak Goblin slayer!!”
Tidak ada jawaban.
“...!!”
Priestess menekan giginya dan berusaha tetap terjaga; dia dapat meljhat para goblin yang bergerak dan menyelinap di kejauhan pandangannya. Dia dapat melihat goblin itu memegang tongkatnya, tertawa maniak walaupun dengan darah yang mengalir di pundaknya.
Darah mengalir turun ke lengannya, menciprat di langai bersamaan dengan langkah kaki sang shaman.
Najis.
Tidaklah lebih dari sekedar intuisi. Tidak ada bisikan dari Ibunda Bumi yang bersemayam di surga. Tidak, hanyalah sebuah jawaban yang dia dapatkan berdasarkan dari penbalamannya sendiri, pengalamannya sebagai gadis enam belas tahun yang berpetualang bersama Goblin Slayer.
Jawabannya pada apa yang dapat dia lakukan. Apa yang harus dia lakukan.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan belai kasih tanganmu, murnikanlah kami dari segala korupsi!!”
Dan kemudian keajaibanpun terjadi.
“GORB?!”
Di saat sang shaman menyadari perubahan yang terjadi, semua sudah terlambat. Darah goblin shaman telah berubah menjadi air murni.
“GOBOGGBOGOBOOGOGOBOGOOG?!?!”
Goblin shaman menjerit seolah organ tubuhnya terkoyak. Priestess merasa jiwanya sendiri seperti terombang-ambing oleh jeritan mengerikan itu, namun itu telah menyadarkannya kembali.
“Er—ah—ahh...?!”
Koneksinya kepada dunia di atas telah menghilang bagaikan benang putus, dan dunia suara telah kembali membanjiri telinganya.
Keajaiban agung ini, Purify, nggak boleh di gunakan seperti ini lagi.

“Ah, ahh...?!”
Sesuatu tampaknya menghantam jiwanya, menggetarkan seluruh raganya.
Dia telah melakukan sesuatu yang mengerikan.
Ibunda Bumi yang agung, pusat dari segala kasih sayang dan ampunan, telah menerima koneksi ini dengan jiwanya, dan dia—
“Aaaaarrrrghhh...!”
Priestess meneriakkan jeritan tersiksa tentang apa yang sudah di lakukannya. (TL Note : fix saya g suka sama Priestess ini. Selama kalian bisa selamat dari kematian, why not?)
Tongkatnya berdenting seraya berguling di lantai di tempat dia menjatuhkannya.
Hawa membunuh telah xirna seolah tertelan kegelapan. Priestess menekan dada dengan tangan, terbengong. Hanya sekarang menyadari bahwa matanya berlinang dengan air mata.
“Agh—ahhhhhh....!”
Namun dua kata mencapai telinganya seraya dia berdiri bagaikan anak kecil yang menangis.
“Kerja bagus.”
Dua kata.
“Ah...”
Hanya dua.
Hanya itu yang di butuhkan untuk membuat tenaganya kembali ke kakinya, yang Priestess sangka akan segera ambruk.
“...I-iya, pak...!”
“Baiklah.”
Goblin Slayer sungguh berantakan. Sebuah bellati tersangkut di sela armornya, mengoyak baju besi yang berada di dalamnya.
Dia menarik belati dari pundaknya; ketika dia melihat cairan lengket yang menetes pada mata belati itu, dia menjentikkan lidahnya. Mengeliarkan sebuah botol yang terikat sebuah benang di sekitarnya dari dalam kantung peralatan, dia meminum isinya. Kemudiaan botol kedua.
Sebuah elixir. Sebuah penawar.
Setelah dia selesai, dia melempar botol kosong itu kepada goblin terdekat.
“GOOBOG?!”
Kemudian dia  erputar, menggunakan perisai di lengan kiri untuk menghabisi goblin yang berjongkok di samping High Elf Archer.
“GROBO?!”
“Dua puluh satu. Bangun!”
“Hrgh, ah... Or... Orcbolg...?”
Dengan terhuyung dia berdiri. Dia dalam keadaan hang mengenaskan. Berlumur darah, terluka, penuh dengan otak goblin, dan pakaiannya yang robek.
Namun dia hidup.
Itu sudah cukup.
“Minum.” Goblin Slayer memerintah, memberikannya sebuah potion dengan tangan kiri. “Dan gunakan ini!” dia berteriak kepada Dwarf Shaman, melemparkan sebuah pedang dengan tangan kanan.
“Ba-baik!” Dwarf shaman menangkap gagangnya secara terbalik, mengangkatnya, dan kemudian menghujamkan turun, membelah perut goblin.
“GOBOGOOBOG?!”
“Sekarang aku mengerti kenapa kamu suka senjata seperti ini, Beardcutter!”
Dia menendanb makhluk yang tersayat itu menjauh dan mengayunkan senjata ke musuh berikutnya. Tangan kanannya menggantung lemas di sisinya, namun dia masih cukup mampu untuk bertarung. Pedang di tangan kirinya menebas goblin lainnya.
Ketika Lizard Priest mendapatkan kesadarannya kembali, tenaganya sungguh tak terkira. “Hrraghh...!”
Dia memegang seekor goblin yang mencoba membenamkan belati masuk ke dalam lehernya dan melempar makhluk itu ke lantai.
“GOBORO?!”
Tulang rusuk makhluk itu bengkok ke arah yang tidak semestinya; goblin itu kejang-kejang sekali dan kemudian terbaring tak bergerak.
Sebelum goblin itu kehilangan nyawanya, Lizard Priest sudah mengamuk dengan cakar, cakar, taring, dan ekor. Dia meraung dan menebas goblin, secara harfiah melontarkan para goblin.
“Mereka hampir saja menghabisi kita...!” Dia mengelap darahngoblin dari dagu dengan lengan bajunya dan mendesis panjang. “Tuanku Goblin Slayer, saya akan melanjutkan serangan!”
“Tolong,” Goblin Slayer berkata seraya dia meraih lengan Priestess di tempat dia terkulai.
“Oh...Pak...Goblin Slayer...”
Priestess menerimanya dengan lemas. Sebuah retakan terlihat di helm pria itu, terdapat sebuah cuatan di dalam armor kulitnya, dan aroma darah yang lebih kaut dari biasanya. Namun mata merah berkilau itu tampak menatapnya dari balik celah helm itu.
“Kerja bagus.”
“...Oh, i-iya, pak...!” Dia mengelap air mata dari umung matanya dan mengambil topi dan tongkat yanh terjatuh.
Ini masih belum berakhir. Masih terdapat begitu banyak goblin. Pertarungan harus terus berlanjut.
“Gorgosaurus, indah namun terluka, ijinkan hamba bergabung dalam penyembuhan tubuh anda!”
Doa Lizard Priest mengelilingi party mereka dengan cahaya hangat, mengembalikan energi mereka. Adalah keajaiban Refresh. Ah, betapa hebatnya berkah para naga!
Seraya dia memeriksa keadaan lukanya, Goblin Slager menusukkan pedangnya masuk ke dalam tenggorokan goblin terdekat.
“GOROBORO?!”
“Dua puluh dua. Terus tekan, lari... Kamu bisa lari?”
“Yeah, aku bisa... Ihh, benda ini pahit banget,” High Elf Archer mengeluh seraya Goblin Slayer menendang korban barunya.
Sang archer menjentikkan lidahnya seraya mencoba menarik sisa dari baju yang menutupi dadanya, kemudian dia melemparkan botol kosong itu menjauh dan memberikan Priestess sebuah kedipan. “Ayo!”
“Baik! Aku bisa... Aku bisa bergerak juga... aku akan bergerak!” dia memaksa dirinya untuk berbicara. Dia terus mengayunkan tongkatnya untuk menjauhkan goblin yang mendekat.
“Master pembaca mantea, apa anda sudah siap?”
“Siap dong. Aku sudah bekerja keras untuk menyimpan semua mantra khusus untuk ini!”
Dan dengan teriakan ini dari Lizard Priest dan Dwarf Shaman, party mereka bergerak maju... Tidak.
“GOROB!!”
“GRO! GRB!”
Lebih tepatnya, mereka mendapati diri mereka terdesak di sebuah sudut ujung menara. Hanya beberapa langkah saja, mereka dapat melihat terjalnya jurang yang penuh dengan bermacam lautan pohon. Para goblin telah tersadarkan kembali dari efek Purify dan sekarang terkekeh-kekeh seraya mereka mendekat.
Mereka akan membuat elf itu berlutut kembali dan membuat gadis itu menjadi milik mereka. Mereka akan mencabik gadis kecil itu hingga berkeping-keping.
Bunuh para pria. Perkosa dan bunuh para wanita. Sangatlah bodoh semua rekan mereka yaang terbunuh, namun tetap saja, para goblin menginginkan balas dendam. Bagi para goblin, kematian rekan mereka tidaklah lebih dari sekedar pembenaran akan keserakahan mereka sendiri.
Para monster maju, senjata di remas di tangan, selakangan membengkak, nafsu terpancar di mata mereka.
Goblin Slayer sangat tenang di hadapan gerombolan yang mendekat.
“Lompat!!”
Satu persatu, para petualanh melontarkan diri mereka ke udara. Udara yang menderu ke atas, menjernihkan semua kelembabpan, mendinginkan tubuh mereka yang panas di karenakan pertarungan.
Tanda akan awal fajar bersinar di kejauhan cakrawala, menyinari langit dam pepohonan.
Pada akhirnya, gravitasi akan mempengaruhi mereka, menghancurkan tubuh mereka ke tanah.
“GBBRB!”
“GROGGB! GORRBGROB!!”
Seraya para goblin meracau dan mengejek, Dwarf Shaman menyeringai lebar. Jari tebal dan gemuknya bersinar di udara, menggambarkan sebuah sigil, dan kemudian dia berteriak:
“Keliarlah kalian gnome, dan lepaskan! Ini dia, lihatlah ke bawah! Balikkan semua ember itu—tumkosongkan semua yang ada di tanah!”
Kecepatan turun mereka dengan segera menjadi lambat. Sangatlah sepadan untuk menyimpan mantra Falling Control hingga saat ini.
Party mereka mengambang dengan lembut di langit seolah sedang berdiri di atas sebuah tangan raksasa tak kasat mata. Sekarang tak ada yang perlu mereka takuti dari tanah.
“Eep, eep, eep...!” Priestess menekan kain pakaiannya dengan tangan seraya angin mengancam untuk menghembusnya. High Elf Archer tersenyum singkat. Ekspresi suram dan muram Priestess sebelumnya sama sekali tidak cocok untuk gadis ini. High Elf Archer tidak menginginkan itu untuk dia.
Aku tahu pembasmian goblin itu mengerikan.
High Elf Archer menjulurkan tangan, dan Priestess menyambutnya.
“Oh...”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Ma-maafkan aku...!”
“Ahh, nggak usah di pikirin. Hei, dwarf, kamu berhasil!”
“Emangnya perlu di ragukan?” Dwarf Shakan tertawa. Dia tersenyum dengan matanya, merasa senang melihat High Elf Archer senang dengan pekerjaannya, kemudian menarik sebuah kendi dari sabuknya dan meneguk.
Matahari terbit, sinar pertama akan fajar, arunika, angin, hutan, keseluruhan dunia. Apakah ada hal lainnya yang dapat membuat anggur jadi lebih nikmat dari ini?
“Saya rasa semua ini berjalan cukup lancar,” Lizard Priest berkata, menyantaikan tubuhnya hingga terbentang. Dia terlihat begitu santai—namun matanya masih terfokus kepada para goblin. Dia dapat melihat mereka dengan jelas, menunjuk dan meracau satu sama lain. “Walaupun saya akui, saya sempat bimbang untuk beberapa saat.”
“Ya,” Goblin Slayer berkata, juga mendengak ke atas. “Ini cara terbaik untuk menyingkirkan psra goblin.”
*****
“G... B...”
Kesadaran goblin shaman telah kembali.
Suara air sungai tampak begitu nyaring. Kepala pusing; seperti terdapat sebuah dengingan di telinganya. Dia merasa sulit bernapas dan pandangannya terbatas. Terengah-engah, dia berhasil menggunakan tongkatnya agar dia dapat berdiri.
Dia tidak mengerti mengapa beberapa dari darahnyz berubah menjadi air, mengapa napasnya tidak dapat masuk ke dalam tubunya dengan benar. Dia memperhatikan sekitar dan melihat goblin lainnya berkumpul di ujung atap, bercakap-cakap riang.
“GOBOOGB...!”
Dasar kumpulan makhluk bodoh. Tidak mempunyai inisiatif untuk menolong dia yang telah membimbing mereka, atau paling tidak menunjukkan rasa hormat? Goblin shaman merasa marah, melupakan fakta bahwa sebekumnya dia menggunakan mereka sebagai perisai.
“GORB! GROBOOGOBOGR!!” Sang shaman berteriak, mengayunkan tongkatnya.
Beberapa goblin menoleh. “GBBGROB?!”
Sang shaman merasa tidak senang bahwa beberapa dari mereka membalas dengan marah dan beberapa tidak.
Bantuan yang bagus sangatlah mustahil untuk di temukan.
Jika dia bisa mendapatkan elf itu, atau gadis manusia itu, atau mungkin permaisuri dari hutan itu, dia dapat menggunakan wanita-wanita itu untuk membangun kembali gerombolannya. Sebagai makhluk terpenting di sekitar sini, dia akan memilih wanita terbaik dan membuat mereka mengandung anaknya. Bukankah itu sudah menjadi haknya?
“GROROB...?”
Namun, apa, apakah suara air yang dia dengar?
“GROROROBOROGBORO?!?!?!”
Beberapa detik kemudian, tubuh goblin shaman terhempas ke udara oleh arus deras air yang mengalir dari gerbang elevator yang terbuka. Terlontar ke udara oleh banjir bandang, dia menghabiskan detik terakhir dari nyawanya dalam kebingungan. Dia-pun mencapai ajalnya tanpa mengetahui bahwa Tunnel sudah di gunakan untuk menbuat lubang di dalam pemecah gelombang. Ataupun bahwa tekanan air telah membuat air naik dari tingkat paling bawah hingga tingkat tertinggi menara.
Goblin, tentunya berasumdi, bahwa air mustahil untuk bisa naik ataupun turun.
Jika pendiri dari benteng ini dapat menyaksikan pemandaangan ini, mereka tentu akan bergembira melihat kematian para Makhluk-tak-berdoa ini.
Adalah sungguh cara para goblin untuk membendung air hingga menyebabkan air sampai terkumpul hingga meledak.
Sang shaman terbang naik dan naik dengan air dan kemudia  turun dan turun dan mencipratkan otaknya di tanah.  Dan bahkan bekas itu, bukti terakgir dari keberadaannya, dengan sekejap tersapu oleh air.
Akhir yang pantas.
*****
Tetes air menghujani dari air pancur bagaikan gerimis yang tiba-tiba datang, air berkelip dalam cahaya mentari. Beberapa goblin juga turut jatuh, terdorong dari ujung menara, namun ketinggian itu sudahlah cukup untuk membunuh mereka.
“Ka-kamu yakin soal ini?” High Elf Archer bertanya ragu, menggelengkan keoalanya yang membuat air di rambutnya yang basah terbang.
Goblin Slayer menghela panjang. “Terowongan itu akan segera mengecil dan kemudian tertutup. Aku yakin bangunan ini nggak akan roboh.”
“Bukan itu yang aku tanya,” High Elf Archer berkata, telinganya mengepak kesal. “Maksudku semua air yang tersisa di dalam.”
“Untuk itu,” Goblin Slayer berkata tenang, “Yang bisa kita lakukan adalah meminta para elf untuk mengurusnya nanti.”
High Elf Archer mendengus dan kemudian terdiam, mengundang sebuah tawa dari Dwarf Shaman. “Jadi pernikahannya tetap lanjut saat kita kembali?” Dia mengambang dengan lembut di udara, meneguk anggur dan menikmati mentari terbit. Benar, adalah dia hang menahan mereka di tempat ini. Jika dia membiarkan konsentrasinya lepas untuk satu detik saja, maka mereka akan jatuh ke dalam kematian mereka.
High Elf Archer menatap Dwarf Shaman dengan tajam, namun Dwarf Shaman menghiraukannya. “Kamu sendiri berencana buat nikah nggak?” Dwarf Shaman bertanya.
“Nggak, paling nggak sampai millenia berikutnya.”
“Kamu pikir bakal ada yang mau dengan pengantin berumur tiga ribu tahun?”
“Apa kamu bilang?!” High Elf Archer menggerutu.
Mereka mungkin sedang melayang di udara namun nada dari perdebatan mereka sangatlah tidak asing, dan Lizard Priest memutar matanya terhibur. “Suatu fajar yang akan datang ketika saya menjadi naga, dapatkah saya menyambut anda sebagai pengantin naga?”
“Aku yakin aku ngga tahu apa yang kamu maksud.” Telinga panjang High Elf Archer menangkap candaan Lizard Priest. Dia tersenyum bagaikam kucing yang menemukan mainan baru. “Apa ini—pernyataan cinta? Yang benar?”
“Mmm. Saya rasa kita tidak dapat mengetahuinya secara pasti hingga setidaknya seribu tahun mendatang.”
Priestess memperhatikam ketiga temannya berdebat, tidak begitu memperhatikan sekitarnya. High Elf Archer melepaskan tangannya, dan tidak seorangpun yang memegang tangan dirinya lagi. Hanyalah dia, melayang di udara, memegang topinya dengan satu tangan dan rok dengan tangan lainnya.
Hela napasnya terdengar pelan, dan helm Goblin Slayer berputar mengarahnya. “Kamu lelah?”
“Oh, uh, nggak!” dia berkata cepat, melambaikan tangannya. “Nggak sama sekali...”
Tetapi— Tetapi tetap saja—
Tangan yang di ayunkannya terkulai lemas. Tidak yakin harus mengatakan apa, dia berkata dengan pelan hal pertama yang muncul di pikirannya. “...Yah, mungkin sedikit.”
“Begitu.”
Pada akhirnya, apakah dia sanggup menjalani beban dengan...dengan cara dia menggunakan Purify?
Itu salah. Nggak di ragukan lagi...
Purify di tujukan untuk membuat air menjadi bersih. Adalah salah mmenggunakannya untuk mencabut nyawa makhluk hidup lain, bahkan seekor goblin.
Akan tetapi, Ibunda Bumi tetap menjawab doanya karena itu adalah permohonan untuk menyelamatkan makhluk hidup.
Itulah mengapa, sang dewi, dengan segala belas kasihnya, telah memberikan ijin dengan apa yang telah Priestess lakukan.
Hanya untuk kali ini saja.
Merupakan hal yang sulit percaya dia lakukan.
Tetapi...
Walaupun begitu, aku berdoa, dan beliau membuat keajaiban untukku.
Bagaimana Priestess menjabarkan itu, bagaimana cara untuk memahaminya?
Setahun sebelumnya, ketika dia mencoba petualangan pertamanya, dia tidak mengetahui segala hal.
Dan sekarang?dia masih baru mengerti dua hal.
Adalah bahwa dia masih dan akan menjadi seorang petualang.
Dan Goblin Slayer selalu dan selalu akan membunuh semua goblin.
Dan aku...
Dapatkah dia terus mempercayai Ibunda Bumi?
Apakah dia pantas untuk menerima keajaiban yang di anugrahkan kepadanya dari sang dewi?
Dia tidak mengetahuinya. Tidak mungkin untuk mengetahuinya.
Apakah dia telah tumbuh dan dewasa selama satu tahun terakhir? Mungkin hanya sedikit...?
“Lihat,” datang sebuah gumaman.
“Huh...?” Priestess dengan cepat mendengak, dan terkejut.
Matahari begitu terang benderang; dia mendapati dirinya mengedikan air mata.
Langit berkilau yang terbentang di atas gumparan hijau tak terbatas. Dan bergantung di sana, seolah ingin mengikat mereka berdua bersama...
“Pelangi.”