HUTAN MILIK RAJA ELF
(Translator : Zerard)

Tempat ini begitu janggal dan menyeramkan.
Matahari barulah terbit, arunika pagi dapat terlihat di balik cakrawala. Langit, yang dapat terlihat dari balik celah ranting-ranting, terlihat begitu biru.
Goblin Slayer merogoh isi tasnya dengan bantuan surya awal mentari. Dari tempat tidur sederhana yang ada di belakangnya, terdengar suara dengkuran halus.
Adalah Lizard Priest dan Dwarf Shaman, mereka berdua masih tertidur. Sang dwarf mungkin tidak akan bangun hingga waktu sarapan pagi telah tiba, namun sang lizardman tidak lama lagi akan terbangun menyambut pagi hari.
Sedangkan para wanita, Priestess telah terbangun dan berdoa di samping tempat tidurnya. Gadis Guild bangun pada waktu yang sama setiap harinya, tepat sebelum sarapan pagi; Gadis Guild mengatakan bahwa itu adalah waktu yang tepat untuk pekerjaannya. Gadis Sapi tidak lama lagi juga akan terbangun.
High Elf Archer telah melakukan penjagaan di awal malam karena itu dia akan tidur hingga seseorang membangunkannya.
Sebuah party yang tidak membiarkan pembaca mantranya memiliki istirahat yang cukup, akan membuat party mereka hancur dalam waktu dekat. Oleh karena itu, High Elf Archer dan Goblin Slayer bergantian melakukan penjagaan, Goblin Slayer cukup senang mengambil giliran jaga terakhir.
Dari tengah malam hingga subuh, dia tidak mempunyai niatan untuk tidur. Sebuah kemungkinan akan seseorang yang melakukan penjagaan dari sore hingga malam, sementara dirinya berjaga adalah sesuatu yang baru baginya di tahun ini, sebuah bagian kecil dari—
“Kemudahan, mungkin.” Dia memasukkan herba wangi ke dalam celah helmnya dan mengunyah. Sebuah rasa pahit menyebar di dalam tenggorokan hingga otak, menstimulasi konsentrasinya. Dia mengunyah dedaunan keras itu untuk kedua kalinya.
Benar, tempat ini begitu menyeramkan.
Goblin Slayer mengatur ulang genggaman pada pedang agar dia dapat menariknya kapanpun juga.
Apa para goblin akan bergerombol dan menyerang kami di siang hari?
Menyerang satu grup petualang, mungkin dengan asumsi elemen kejutan akan meniadakan perbedaan persenjataan.
Apakah mungkin?
Terlebih lagi, terdapat segerombolan serigala yang harus di pikirkan. Goblin cukuplah merepotkan, namun mereka mempunyai begitu banyak rider. Bayangkan seberapa banyak persediaan pangan yang mereka butuhkan untuk dapat menyokong semua kebutuhkan mereka.
Dan mereka masih bisa melakukannya,
Makanan. Kandang. Perlengkapan. Dan hiburan—benar, hiburan.
Apakah karena itu mereka menyerang banyak perahu?
Mereka berada tepat di samping desa para elf. Mengapa mereka berani membangun markas operasi seperti itu?
Untuk apa? Apa yang mereka rencanakan?
Goblin Slayer kembali mengunyah dedaunan, sekali, dua kali, tiga kali.
Pikirannya mengalun memikirkan bermacam ide yang tidak pasti, muncul daan kemudian menghilang.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggil.
“Berdiri! Kalian kira kalian sedang berada di mana?”
Hembusan angin melintasi pepohonan membawa sebuah pertanyaan mengintrogasi mereka.
Goblin Slayer menarik pedang dan berdiri dengan cepat. Namun, dia mendapati lehernya bertemu dengan pedang obsidian.
Dengan kesal, dia mendengak untuk melihat pemilik senjata itu.
Seseorang berdiri di sana, berdiri di atas tempat tidur mereka, merusak kelambu serangga yang mereka dirikan. Matahari berada di belakang orang itu, namun tampak jelas bahwa pria itu adalah—
“Elf?”
“Benar. Dan ini adalah wilayah kami.”
Seseorang yang berbicara dengan begitu percaya diri adalah seorang elf warrior, muda dan tampan—sebagaimana semua elf seharusnya. Pria itu menggunakan armor kulit, membawa busur dan memiliki panah bermata kuncup yang menggantung di pinggulnya.
Namun yang paling mencolok adalah, armor yang melindungi kepalanya. Adalah pelindung kepala berkilau yang terbuat dari mithril.
Sang elf dengan pelindung kepala yang berkilau bertanya kepada Goblin Slayer dengan angkuh, ekspresi curiga tersirat di wajahnya.
“...Apa kamu benar-benar bertarung dengan pedang itu?” tanya sang elf.
“Iya, melawan goblin.” Goblin Slayer menjawab.
Tatapan tajam sang elf bergerak dari pedang dengan panjang yang tidak biasa itu menuju perisai bundarnya, kemudian mengarah armor kulit, kemudian helm baja yang terlihat murahan.
“Kamu ini warrior liar? Dan seorang dwarf...”
“...Dan seorang lizardman siap melayani anda.” Lizard Priest, yang sedang duduk saat ini, menggabungkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh. Dwarf Shaman yang baru saja terbangun, terduduk di sana tanpa berusaha menyembunyikan ekspresi tidak senangnya. Di serang oleh para elf di saat tertidur adalah penghinaan tertinggi bagi para dwarf.
Sang elf memperhatikan mereka bertiga secara bergantian, kurang lebih memahami siapa mereka.
“Jadi. Petualang...”
“Kurang lebih.”
“...Begitu. Apa benar kalian yang bertarung melawan goblin kemarin?”
Goblin Slayer mengangguk.
“Begitu,” sang elf berkata, matanya menyipit dan tangannya menarik turun pedangnya. “Kami menghabisi mereka yang kalian sisakan.”
Mendengar itu, Goblin Slayer mendengus. Itu artinya, rencana dia untuk menyebarkan penyakit di keseluruhan sarang telah di gagalkan. Di sisi lain, goblin yang melarikan diri telah terbunuh. Mungkin ini memang sudah jalan yang terbaik.
Sang elf merasa tidak yakin untuk mengatakan sesuatu di depan sikap pria ini yang acuh.
“...Aku punya satu pertanyaan untukmu,” dia berkata.
“Apa?”
“Panah yang menembus salah satu goblin tampaknya milik kaum kami,”
Sang elf dengan helm yang berkilau mengeluarkan panah yang sedang di bahas. Panah itu mempunyai mata berbentuk kuncup. Panah itu berlumuran dengan darah hitam kental para goblin, namun mata panah itu patah, dan menggantung.
“Tetapi, kami mengetahui, bahwa gadis itu tidak akan pernah menggunakan panah seperti ini.”
“.....”
“Katakan pada apa yang sudah kamu lakukan terhadap gadis itu. Jawabanmu akan menentukan nasibmu—“
Goblin Slayer diam, namun Lizard Priest dan Dwarf Shaman saling bertukar pandang.
“Kamu pasti yang alih-alih menyanyikan lagu cinta, malah menyairkan puisi epik kan.”
“Tampaknya benar, sepertinya cinta tersebutlah yang membuat anda bertanya.”
“...Ap?!” Sang elf dengan helm berkilau tercengang. Dia menggenggam pedangnya dengan lebih erat, seolah siap untuk menganyunkannya kapanpun juga. Kulit pucatnya, kebanggaan bangsanya, berubah menjadi merah padam, dan bergetar begitunhebatnya.
“Da-dasar cecunguk...! Dari mana kalian menge—?!”
“Gadis yang kalian cari,” Goblin Slayer berkata dengan helaan. “Dia yang ada di sana kan?”
“Hrk...!”
Dalam sekejap mata, sang elf bergegas meluncur layaknya tembakan.
“Putri mata angin, apa kamu di sana?!”
Dia melompat beberapa meter dalam satu lompatan indah; ketika dia menemukan tempat peristirahatan, dia merobek kelambu serangga tanpa bimbang.
“Ya?”
“Huh?”
“...Ah.”
Dia mengernyit. Di deoannya terdapa tiga wanita muda—wanita muda yang terbangun karena kegaduhan yang terdengar di luar, dan dengan cepat bergegas bangun untuk melihat apa yang terjadi.
Tiga orang, enam mata, terbuka lebar memandang elf yang menerobos itu.
Mereka tengah berada di dalam petualangan, dan tak seorangpun yang berada dalam posisi ini untuk dengan sengaja berganti pakaian piyama untuk tidur. Namun itu bukan berarti mereka senang jika ada seseorang yang tidak di kenal masuk ke dalam temoat istirahat mereka.
Dan terdapat satu hal lainnya lagi.
Di sudut area tidur, sebuah gumpalan selimut bergoyang dan menggeliat.
“...Ada apa? Matahari masih baru aja terbit...”
High Elf Archer menguap, meregangkan tubuhnya layaknya kucing, dan merayap kelaur dari selimutnya. Dia menggosok mata, menggaruk kepala, dan memperhatikam sekelilingnya dengan bengong.
“Buh? Kakak? Kenapa, apa kamu datang menjemputku?”
“...”
Priestess terlihat seperti akan menangis, Gadis Sapi mengernyit, dan Gadis Guild tampak tersenyum lembut di wajahnya
Sang elf dengan helm berkilau menelan liurnya.
Kemudian dia melompat mundur, seolah seperti di tarik oleh sebuah benang, seraya para gadis mulai berteriak nyaring.
“...Pengawalan kalian bagus,” dia berkata, ketika dia mendarat, terbatuk sekali. “Saya menghargai jerih payah kamu karena telah membawa adik menantu-ku ke sini. Kami akan menyiapkan kompensasi untukmu. Semoga kalian dapat kembali pulang dengan selamat.”
“Mereka ini temanku, kak.” High Elf Archer memunculkan kepalanya dari tenda tidur dan melotot kepada pria itu, namun elf itu hanya mengangkat bahunya dengan elegan.
“...Dasar elf, kalian ini memang...”
Namun apapun akhir dari ucapan kasar yang ingin Dwarf Shaman katakan, bahkan Dwarf Shaman-pun sadar untuk tidak mengatakannya.
*****
“Aku minta maaf, memanggilmu kembali saat kamu baru saja pergi untuk berkelana.”
“Baru saja? Itu sudah bertahun-tahun yang lalu tahu, sudah lama sekali kak.”
“...Kamu bau manusia.” Sang elf dengan helm berkilau mengernyit seraya dia berjalan berdampingan dengan High Elf Archer, yang melintasi hutan dengan penuh percaya diri.
Tindakannya itu mungkin sebagian terinspirasi  dari sikap sembrono adik menantunya, namun kemungkinan besar itu berasal dari tatapan tajam yang di rasakan pria itu di belakangnya seraya dia membimbing party mereka. Terutama, dari tiga wanita.
“Saya mengerti apa yang berada di dalam hati anda,” Lizard Priest berkata kepada sang elf, menjulurkan lidahnya. “Kaum saya sendiri bertempat tinggal di dalam hutan besar mereka, namun alam para elf memang sungguh mengagumkan.”
“Hutan ini sudah tumbuh sejak Jaman para Dewa. Seorang makhluk fana yang memasuki tempat ini tidak akan mempunyai harapan untuk dapat keluar kembali seumur hidupnya.”
Tidak ada yang bisa menyalahkan nada bangga yang terdengar dari ucapan elf itu. Hutan ini memang tampak seperti labirin hijau besar. Terdapat begitu banyak akar yang menjalar, pohon besar yang memblokir jalan, dan lintasan yang begitu sempit bahkan binatang liar-pun tidak dapat melewatinya. Semak-semak begitu tebal dan besar seolah ingin menjerat kaki seseorang. Para petualang pastinya merasa kesulitan; terlebih lagi tentunya bagi Gadis Guild dan Gadis Sapi.
Fakta bahwa mereka masih dapat berjalan tanpa terhalangi oleh semua ini adalah bukti dari keramah-tamahan sang elf. Hal ini menjelaskan sebagian alasan mengapa para wanita hanya mempelototi sang elf dan tidak mengeluh.
“Tetapi,” kata sang elf dengan lirikan mencurigakan ke belakangnya, “aku tidak menyangka kalau Orcbolg, nama yang pernah ku dengar, ternyata seseorang yang...seperti ini.”
“Aku nggak tahu apa yang masyarakat kalian bicarakan tentang aku,” Goblin Slayer berkata acuh, mengundang dengusan dari sang elf.
“Gaya bicaramu,” dia berkata, “tidak sopan sekali.”
“Yang jauh lebih penting, ceritakan padaku tentang goblin-goblin itu.”
“Mereka bukanlah goblin istimewa,” Mereka tidaklah penting. Terkadang mereka berjumlah banyak, terkadang sedikit. “Akhir-akhir ini panas. Bukankah makhluk seperti itu berkembang biak di saat panas seperti ini?”
“Akhi-akhir ini?”
“Kurang lebih sepuluh tahun atau lebih. Semua sudah seperti ini semenjak keributan dengan Dark God di mulai.”
“Begitu?” Goblin Slayer berkata pelan. “Baru-baru saja...”
“Jika para goblin tidak dapat mendesak kami untuk membuat benteng, maka mereka tidak perlu di risaukan.”
“Kamu nggak usah sok gitu,” High Elf Archer menyela. “Bilang aja kalau pernikahan itu bukan waktu yang tepat untuk membicarakan goblin.”
“Anak kecil jangan menyela.” Sang elf dengan pelindung kepala berkilau merasa kesal dengan adik sepupunya.
“Aku bukan anak kecil,” High Elf Archer berkata. Bibirnya manyun, namun dari kepakkan telinganya yang naik turun, terlihat jelas bahwa dia masih merasa senang.
Priestess, berdiri di belakang party, berbisik pelan kepada Gadis Guild, “...Jadi kurasa para elf sama sekali mengacuhkan para goblin?”
“Apa, kamu juga?” Gadis Guild membalas dengan kedipan. “Kalau itu hal pertama yang kamu pikirkan dengan situasi seperti ini, mungkin kamu harus berhati-hati kalau saja dia melempar goblin ke arahmu.”
“Err, heh-heh...”
Priestess menggaruk pipinya dan tertawa seolah mengesampingkan topik itu, membuat Gadis Guild bergumam, “Ya ampun.”
Kemudian dia melanjutkan, “Sebenarnya, banyak petualang elf yang bertingkah seperti itu, terutama ketika mereka baru saja keluar dari hutan.” Bukannya mereka tidak mengerti bahaya, hanya saja mereka kurang paham dengan situasi yang ada.
Fakta dasar mengenai goblin adalah mereka memiliki kecerdasan dan tenaga fisik seperti anak manusia, bahwa mereka adalah monster terlemah. Para elf tentunya lebih merasa takut pada sesuatu yang lebih besar dan lebih kuat.
“Itu karena, mereka pernah mengalami dan menyaksikannya sendiri.”
“...? Mengalami apa?”
“Pertarungan para dewa.”
Oh. Priestess dengan cepat menutup mulutnya. Bukanlah mustahil jika beberapa tetua elf masih hidup dari jaman itu.
Ini merupakan jaman di mana semua hal di tentukan dengan lemparan dadu. Sebuah jamam yang hampir tidak di ketahui bahkan dalam mitos dan legenda.
“Roh jahat, naga, dark god, demon lord, dan semua makhluk mengerikan yang datang dari alam lain.”
Sangatlah masuk akal jika para elf akan menganggap bahwa goblin hanyalah masalah kecil di antara semua itu.
Benar, terkadang beberapa jiwa kurang beruntung akan mati di tangan goblin. Namun bagi mereka yang memang di takdirkan untuk berumur pendek, apalah arti dari beberapa tahun seterusnya? Di bandingkan dengan suatu musibah yang datang sekali dalam beberapa dekade, atau abad, atau millenia...
“Tidak peduli apapun yang goblin lakukan, mereka tidak akan dapat menyebabkan musibah seperti itu,” Gadis Guild menjelaskan.
“...Huh,” Gadis Sapi berkata pelan. “Mengerti?” Gadis Guild menjawab.
Akan tetapi, Priestess, memalingkan oandangannya ke tanah dengan ekspresi sedih yang tidak dapat di jabarkan.
Goblin tidaklah penting. Mereka tidak perlu untuk di risaukan. “Yeah, kamu benar,” dia berkata seacuh yang dia bisa, namun dengan melirik mengarah pria itu.
Pria itu berada dekat dengan barisan depan, berdiri depan barisan partynya. Priestess ingin mengatakan sesuatu kepadanya, namun dia bimbang.
Kemudian kesempatan untuk berbicaranya telah di curi oleh sang elf dengan pelindung kepala berkilau.
“Tapi memang ada, sesuatu yang lebih ku pikirkan daripada pernikahan nanti,” dia berkata.
“Oh! Ku kasih tau kakakku kamu bilang begitu!” High Elf Archer berteriak. Dwarf Shaman menegurnya untuk tidak berteriak, namun sang ranger hanya menggubrisnya.
“Tampaknya Dia-Yang-Menghentikan-Air sudah semakin mendekati desa akhir-akhir ini.”
“Apa maksudmua?”
“Makhluk purba yang tinggal di dalam hutan ini. Kamu selalu di beritahu untuk tidak mengusiknya,” sang elf berkata kepada Goblin Slayer.
“Oh-ho,” Lizard Priest berucap pelan. “Dan jika saya di perkenankan bertanya, sudah berapa lama makhluk purba ini telah hidup?”
“Aku tidak tahu,” dia menjawab, “Namun makhluk ini sudah di sebut purba semenjak aku masih kecil.”
“Apakah Triassic? Atau Carboniferous, atau Cretaceous...” Lizard Priest mulai bergumam nama-nama yang terdengar penting pada dirinya sendiri, sebelum pada akhirnya dia mengangguk. “Mmm, sungguh menarik.”
“Apapun itu, wilayah makhluk itu terpisah dengan kami. Makhluk itu hanya muncul sesekali, tapi...”
“Sejujurnya aku belum pernah melihatnya, walaupun irang-orang bilang kalau makhluk itu ada,” High Elf Archer berkata, telinganya berayun berpikir, dia berputar mengarah sepuounya. “Apa makhluk itu benar-benar ada?”
“Saya pernah melihat jejaknya beberapa kali. Kakek saya mengatakan bahwa beliau pernah melihat makhluk tersebut secara langsung.”
“Berapa abad yang lalu itu?” High Elf Archer tertawa.
Pada saat itu, angin berhembus. Adalah angin yang begitu segar, sepoi-sepoi, dan hangat, penuh akan aroma dedaunan dan rerumputan.
Angin bertiup melewati pepohonan seolah akan terus berhembus selamanya. Dan dari manakah angin itu berasal?
Sumber tersebut berasal dari tengah hutan, sebuah ruang lingkup besar yang membentang dari surga ke bumi.
Apakah sebuah desa yang berbentuk seperti hutan? Ataukah hutan yang berbentuk seperti desa?
Kanopi-kanopi berdiri begitu tingginya hingga sulit di jabarkan, rumah-rumah terbuat dari rongga-rongga pepohonan. Jalan setapak terajut dari akar dan dedaunan yang memanjang.
Dan para elf, para elf yang anggun dengan pakaian yang mengesankan, berjalan di atas jalan setapak itu seolah mereka berdansa di atas udara.
Pola yang terukir pada kulit pepohonan sangatlah banyak dan beragam, dan dedaunan yang bergemirisik mengisi udara dengan musiknya.
Lapis demi lapis memanjang ke atas dan ke atas, desa ini menjulang begitu tingginya hingga mencakar langit.
“W-wow...” Gadis Sapi berkedip, matanya berkilau, seraya suara kagum terlepas dari bibirnya. Dia tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya selama dia hidup, dan tentunya tak pernah membayangkan akan mengalami semua ini seumur hidupnya.
Ini adalah semacam tempat yang pernah dia bayangkan ketika teman lamanya berbicara tentang keinginannya menjadi petualang. Dia mengambil satu langkah ke depan, kemudian langkah kedua. Dia berdiri di samping pria itu, dan di depan mereka adalah sebuah lingkaran galeri yang mengelilingi bagian luar desa.  Gadis Sapi merasa ingin mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat, namun pria itu memperingatinya, “Itu berbahaya. Kamu bisa jatuh.”
“Oh yeah. Tapi lihat.. Ini luar biasa sekali...!”
Masih memegang lengan Gadis Sapi, Goblin Slayer hanya berkata, “Ya.”
Gadis Sapi menggembungkan pipinya kesal,  namun itu hanyalah masalah kecil yang tidak perlu di risaukan. Gadis Sapi bersandar pada pria itu, dia melihat sekitaran desa elf seolah ingin memakunya di dalam ingatan.
“Buset. Kalian para elf memang mengetahui cara untuk membangun,” Dwarf Shaman berkata dengan sedikit kekecewaan—benar, merasa kalah—di dalam suaranya.
“Benar sekali,” Lizard Priest berkata, “Desa saya sendiri juga terletak di dalam hutan, namun sama sekali tidak tampak seperti ini.”
Dwarf Shaman mendengak melihat sang elf dengan pelindung kepala berkilau. “...Kurasa kalian nggak di bantu siapapun?”
“Para fae membantu kami, dwarf,” sang elf menjawab. “Sudah sewajarnya.” ( TL Note : fae = semacam peri.)
“Heh! Sesuatu sekali. Jadi kalian nggak membuat ini semua dengan tangan kalian sendiri?”
Kumpulan tatapan tercengang party mereka merupakan hal yang sudah semestinya. High Elf Archer tertawa kecil, membusungkan dada kecilnya, dan menyikut pelan Priestess, yang sedang memeluk tongkatnya. “Keren kan?”
“Iya, bagus sekali!” Priestess mengangguk menjawab sang archer, yang sedang berkedip jahil. “Aku sama sekali nggak tahu ada tempat seindah ini di dunia.”
“Heh-heh-heh-heh! Bennarkah? Aw, hehehe...!”
High Elf Archer membusungkan dadanya dengan rasa bangga yang semakin memuncak lagi dan lagi. Gadis Guild mulai tertawa kecil. “Ibukota itu tempat yang cukup mengagumkan, tapi ini...”
Ibukota manusia adalah tempat yang bagus, namun tentunya masa kota itu di bangun berbeda dengan tempat ini. Tempat ini tidak di buat dengan tangan orang mana-pun, melainkan di bangun oleh alam itu sendiri, benar-benar hasil pekerjaan para dewa.
High Elf archer melangkah ke depan bsrisan dengan loncatan riang layaknya seekor burung. Ketika dia membuka bibirnya, ucapan yang di ujarkannya merupakan bahasa melodi para elf.
“Selamat pagi dan selamat malam, dengan pancaran surya matahari dan dua bulan, dari putri mata angin kepada temannya—“
Dia berputar mengarah mereka dan membentangkan tangannya lebar. Rambutnya berayun.
“Selamat datang di rumahku!”
Dia tersenyum lebar layaknya bunga yang mekar
Merrka melewati sebuah koridor yang terajut dengan  akar-akar dan menyadari bahwa ruangan mereka adalah rongga besar dari sebuah pohon zelkova agung. Gorden dari tumbuhan yang menjalar menggantung di atas pintu masuk menuju ruangan besar.
Sebuah karpet lumut panjang di sebar di atas lantai, dan terdapat sebuah meja dan kursi yang tampaknya merupakan perpanjangan rajutan dari pohon itu sendiri. Dedaunan yang hampir transparan berterbaran di depan jendelan, memancarkan cahaya siang dengan kehangatan yang lembut. Begitu banyak jalar tumbuhan di sini dan di sana yang pastinya merupakan jalan masuk menuju ruang tidur.

Satu-satunya benda di ruangan ini yang tampaknya bukan hasil pekerjaan alam adalah permadani para elf yang tampaknya di jahit dengan menggunakan helaian embun. Ilustrasi indah nan menawan menggambarkan kisah yang berasal dari Jaman para Dewa. Tidak seperti mitos dan legenda yang di ceritakan manusia, kemungkinan besar bahwa para elf telah menyaksikan semua sejarah itu dengan mata kepala mereka sendiri.
Tidak ada perapian, namun kehangatan pohon itu sendiri, bercampur dengan hembusan angin, terasa begitu nyaman.
Yang lebih baik lagi, keseluruhan ruangan ini penuh dengan aroma kayu.
Gadis Sapi menarik napas dalam, menikmati aroma ini, kemudian menghela perlahan.
“Keren banget! Aku cuma pernah mendengar sesuatu seperti ini dari cerita-cerita.”
Entah mengapa, Gadis Sapi merasa salah, telah memasuki ruangan ini dengan sepatu bot kotornya. Dia melangkah dengan sepelan mungkin, satu langkah, kemudian dua.
Seraya dia semakin mendekati kursi, dia menemukan sebuah jamur yang tumbuh dari kursi itu seperti sebuah bantal.
Dia tersenyum: ini benar-benar seperti kisah dongeng kuno. Dia mencoba duduk dengan perlahan. Bantal itu terasa begitu lembut dan empuk di bokongnya seraya dia duduk. Dia menghela kagum.
“Wow... Ini empuk banget.”
“Um, oke... Biar aku coba...!”
Meremas tongkatnya gugup, Priestess duduk di salah satu kursi. Jamur itu menopang tubuh mungilnya.
“Eek! Ack!” dia berteriak seperti gadis kecil, mengundang tawa dari Gadis Guild.
Cleric itu seperti anak kecil yang mencoba bertingkah dewasa. Dia selalu mengambil kesempatan untuk bersenang-senang di kala kesempatan itu ada.
“Saya kenal beberapa elf petualang, tetapi saya tidak pernah di undang ke rumah mereka,” Gadis Guild  berkata, melihat sekeliling ruangan. Dia menelusuri permadani di dinding dengan jarinya. Permadani itu menggambarkan seorang pahlawan half elf dan rekan mereka bertarung dengan Dragon Lance. Ini pasti merupakan adegan dari dongeng militer.
“Bagaimana cara membuat ini?” Tanya Gadis Guild. “Apakah ini sesuatu yang di buat oleh fae juga?”
“Ini tidak di buat, tapi kamu tidak sepenuhnya salah,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau menjawab, dengan sedikit nada sopan kepada wanita manusia berpengetahuan ini. “Hutan menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada kami dan menciptakan ini sebagai bukti kekuatannya.”
“Mereka bilang seseorang pergi ke bangsa dwarf untuk struktur kokoh, ke rhea untuk kesenangan, dan ke lizardman untuk perbentengan,” Lizard Priest berkata, mengayunkan ekornya dengan rasa penasaran di atas karpet lumut. Dia menghela napas, tampak lega mengetahui bahwa bebannya yang berat tidak meninggalkan bekas pada lapisan lantai itu. “Namun sungguh, rumah para elf benar-benar memiliki daya tarik tersendiri.”
“Mendengar itu dari seorang anak para naga adalah sebuah pujian tersendiri.” Sang elf laki-laki berkata dengan gerakan elegan. Menunjukkan rasa hormat kepada lizardmen pemberani dan purba yang mengetahui banyak tentang perputaran kehidupan. Dia menambahkan dengan renungan, “Maafkan saya, karena kesibukkan saya dengan persiapan untuk acara penuh suka cita ini, saya tidak mempunyai waktu untuk mempersiapkan tempat huni yang layak untuk kalian...”
Akan tetapi, High Elf Archer menyikut dia dengan keras dan berkata dengan mata menyipit, “Sudahlah kak, nggak usah mancing-mancing untuk di puji.”
“Erk...”
“Aku nggak peduli seberapa sibuknya kamu, aku yakin ini cuma makan waktu sebulan.”
High Elf Archer mengendus dan kemudian dia melompati karpet lumut dan duduk di salah satu kursi.
“Aku tewa kursi ini!” dia berteriak, mendarat pada bantalan jamur pada kursi dengan pemandangan terbaik dari jendela.
High Elf Archer terlihat seperti akan mengayunkan kakinya di saat itu juga. “Tidak sopan sekali,” sepupunya mengernyit. “Kalau saja dia melihat ini, saya rasa kamu akan mendapatkan omelan darinya.”
“Tuh lihat kan? Masih belum nikah aja, dan dia sudah bilang ‘dia beginilah’ dan ‘dia begitulah’ kayak kakakku sudah jadi istrinya saja!” High Elf Archer mendengus, benar-benar menghiraukan teguran sepupunya. “Jadi. Apa berikutnya?”
“Hrm. Tentunya kalian merasa lelah setelah perjalanan panjang kalian, oleh karena itu kami telah mempersiapkan pemandian dan makan siang untuk kalian.”
Sang elf dengan pelindung kepala berkilau menggosok alisnya seolah ingin mengusir sakit kepalanya untuk mengembalikan harga diri alami yang di miliki kaumnya. Mungkin dia sudah terbiasa di kerjai oleh adik menantunya seperti ini. Karena mereka, sudah menghabiskan dua ribu tahun bersama sebelum High Elf Archer pergi.
“Apa yang akam kalian lakukan?” dia bertanya.
“Aku akan menurunkan barang,” Goblin Slayer menjawab segera. “Goblin mungkin akan segera muncul.”
Kali ini, kita tidak perlu lagi menggambarkan reaksi para rekannya setelah mendengar ucapan pria itu.
Sang elf dengan pelindung kepala berkilau melongo heran. High Elf Archer menopang pipi dengan sebelah tangan dan melambaindengan tangan satunya. “Aku juga tinggal di sini kalau begitu. Siapa tahu kakak perempuanku datang.” Dia tertawa kecut, yang kemudian semua rekannya mengangguk.
“Kalau begitu aku akan cari makanan selagi para wanita selesai urusan toilet mereka.”
“Saya sangat setuju dengan rencana tersebut.”
“Apa—apa kalian yakin?” Gadis Guild bertanya, matanya berkedip. Karena tidak peduli seberapa seringnya dia memperhatikan para petualang, dirinya sendiri jarang sekali menerima perhatian dari para petualang.sebuah eksoresi ambigu tampak di wajahnya pada situasi yang tidak pernah di alaminya ini, dan dia mengangguk ragu. “Kalau kalian yakin tidak masalah untuk kami duluan...”
“Kami akan pergi sendiri dulu. Bukannya para wanita harus di berikan prioritas untuk merawat penampilan mereka?”
“Kalau begitu, terima kasih banyak. Saya akan dengan senang hati membersihkan debu dan keringat.” Gadis Guild kembali mengangguk tanpa keberatan.
Priestess berdiri dari kursi jamjrnya dan sekarang berlari kecil mengarah Goblin Slayer.
“Ada apa?” helm itu bertanya, berputar mengarah gadis itu. Priestess menunjuk dengan telunjuknya.
“Pak Goblin Slayer, pastikan kamu makan dan mandi ya?”
“Ya.”
Goblin Slayer terdengar tidak begitu senang, namun Priestess merasa puas. Dia membusungkam dada kecilnya bangga..gadis Sapi tersenyum pasrah. “Hey jangan obrak-abrik barang-barang kami ya, terutama baju ganti.” Gadis Sapi secara paksa menegaskannya. Selama dia memperingatkan pria itu, dia mengetahui bahwa pria itu akan berhati-hati, namun jika dia tidak mengingatkannya, yah, pria itu bisa saja menjadi sama sekali tidak peka.
“...Yang mana barang kalian?” Goblin Slayer terlihat sedikit berhati-hati sekarang.
Gadis sapi menagngguk. “Kamj akan mengambil beberapa baju untuk setelah kami mandi, jadi ingat tas mana yang kami keluarkan bajunya.”
“Baik.”
“Tapi jangan lihat isi dalamnya!”
“...Mungkin seseorang selain aku harus menangani tas-tas itu.”
“Apa?” terdengar suara High Elf Archer, telinganya mengepak dan sebuah senyum tersirat di wajahnya. Dia merasa sangat yakin bahwa membiarkan Orcbolg menangani semua barang bawaan mereka akan jauh lebih menarik di banding orang lain yang melakukannya.
“Kurasa kalau dua ribu tahun sama sekali tidak merubahmu, beberapa ribu tahun berikutnya-pun juga tidak akan bisa.” Sang elf dengan pelindung kepala berkilau menghela. Dia merasa seseorang menepuk punggungnya, walaupun tepukannya terasa rendah.
Dia berputar dan melihat wajah Dwarf Shaman yang berjenggot, dengan tatapan yang sangat memahami.
“Kalau begitu tunjukkan jalannya bapak pengantin,” Dwarf Shaman berkata. “Akunyakin para wanita sudah nggak sabar untuk mandi.” Dia memberikan tepukan lagi dan tertawa terbahak-bahak. “Nggak seperti para elf, kami para makhluk fana nggak bisa memperi utkan semua hal kecil.”
*****
“Kamu mau tahu mengapa kami para elf tidak memakan dagung?”
“Iya. Aku cuma mau memahami kenapa aku cuma di beri makan dedaunan dan buah-buahan.”
“Semua itu mengacu pada keseimbangan, Wahai sahabat yang hidup di dalam bumi.”
“Maksudmu masalah pada jumlah dari makhluk hidup yang tinggal di hutan? ...Oh-ho, pisang ini enak banget.”
“Cicipilah minuman ini juga, Priest bersisik terhormat. Minuman ini menggunakan tapioka.”
“Ah, akar singkong. Kaum kami sering merebusnya dan memakannya. Mungkin i ilah asal muasal permen bakar itu.”
“Seekor hewan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menjadi dewasa, namun untuk buah hingga masak hanya membutuhkan sekitar satu tahun, dan persediaannya-pun melimpah.”
“Hmm... yah kurasa pastilah menyenangkan untuk tidak mengkhawatirkan persediaan pangan kalian.”
“Terlebih lagi, kami tidak perlu merasa resah akan ancaman para hewan, ataupun kami perlu pergi meninggalkan hutan.”
“Apakah anda bermaksud ekosistem akan terancam jika kalian melakukan perburuan untuk menjaga kelangsungan hidup. Aha! Begitu, begitu.”
“Benar, karena itu kami hanya memakan rerumputan, buah, dan beri. Apa kamu sekarang mengerti, dwarf?”
“Aku ngerti, tapi bukan berarti aku harus menyukainya.”
Dwarf Shaman melihat piring dengan jamur di depannya, menggembungkan pipinya dengan sedikit merasa kecewa.
Ruangan besar ini di bangun di bawah akar yang menjalar dari pohon tinggi yang berfungsi ganda sebagai ruang makan para elf. Sebagai pengganti lampu, beberapa kelopak bunga tertutup berisi noctiluca scintillans menggantung di sekitar ruangan, dan meja penuh penuh dengan begitu banyak makanan. (TL Note : Noctiluca scintillan / sea sparkle = sejenis makhluk laut yang bercahaya jika terusik. Cek wiki.)
Terdapat anggur dan pisang, tapioka dan salad yang terdiri dari campuran herba dan sayuran, bersama dengan khamar dan minuman yang terbuat dari tapioka. Jika menyangkut ke-elegan-nan dan atmosfir dalam kualitas dan kuantitas makanan, membuat sang dwarf-pun tidak mendapatkan sesuatu untuk di keluhkan. (TL Note : Khamar = sari anggur.)
Akan tetapi...
“Aku sama sekali nggak bisa membayangkan diriku sendiri memakan serangga...”
“Serangga sangat cepat berkembang biak, dan terdapat begitu banyak macam variasi dari serangga. Dan terlebih lagi, mereka sangatlah lezat.”
Adalah sebuah piring besar beisikan kumbang besar di depan dwarf, di lucuti dari cangkangnya dan di rebus; ketika sang dwarf menggigitnya, terasa sangat renyah dan responsif di mulutnya.
Dia harus mengakuinya, serangga ini enak..bagi para dwarf, makanan sama pentingnya dengan permata dan berlian mulia. Dan bagi seorang dwarf, Dwarf Shaman tidak akan berbohong jika sesuatu yang di makannya terasa lezat.
Tapi—tapi tetap saja.
“Ini tetap saja serangga kan?”
“Saya sendiri merasa ini sangatlah lezat.”
“Hrmph! Sama-sama saudara hutan, kamu ini...!” Dwarf Shaman melotot kepada Lizard apriest, yang sedang mengunyah serangga beserta cangkang dan lain-lainnya.
Mungkin para elf bisa saja membuat makanan ini tidak terlihat seperti serangga. Atau paling tidak menambahkan sedikit garam.
Sajian ini memiliki rasa yang ringan dari berbagai macam bahan berkualitas tinggi, namun tampak begitu jelas kalau mereka sedang memakan serangga. Hal ini sudah cukup untuk menghilangkan selera makan Dwarf Shaman.
“Oh, sudahlah! Kurasa pilihanku satu-satunya cuma manisan panggang ini.”
“Oh, anda tidak memakan bagian anda? Jika begitu, ahem, saya tidak akan sungkan memakan salah satu kaki ini...”
“Dasar bodoh,” dia berkata, menepuk tangan sang lizard yang menjulur. “Seorang dwarf nggak akan pernah membagi makanannya dengan yang lain!” Dia mulai mencekoki mulutnya dengan manisan panggang.
Bagian tengahnya yang basah memiliki rasa manis yang unik; konon katanya itu adalah resep rahasi para elf. Mungkin ada campuran madu di dalamnya, rasanya begitu segar, tidak peduli seberapa banyak yang telah di makannya, dia tidak merasa bosan.
Dwarf Shaman tengah memasukkan makanan ke dalam mulutnya, remah-remah bercecer di jenggot, dan tiba-tiba dia terdiam, seolah baru terpikir sesuatu.
“Jangan bilang kalau manisan ini mengandung serangga juga...?”
“Kami akan membiarkan anda berimajinasi sendiri,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau berkata, yang di mana dia mempunyai ekspresi yang sulit di baca Dwarf Shaman. Dwarf Shaman melihat setengah manisan yang telah di makannya dan kemudian melemparkannya masuk ke dalam mulutnya seolah ingin mengatakan ah, sudahlah. Dan mengunyah dengan berisik.
Seraya Lizard Priest memperhatikam sang dwarf, dia menyentuh ujung hidung dengan lidah dan membuka rahangnya lebar.
“Selama kami menghuni benteng anda—er, apakah kata itu pantas bagi kalian para elf?”
“Ini bukanlah tempat yang di persiapkan untuk bertarung, namun selama kepala suku tinggal di sini, kamu tidaklah salah.”
“Jika begitu saya ingin sekali menyapa kepala suku anda.”
Hal ini membuat sang elf dengan pelindung kepala berkilau untuk tersenyum samar. “Audiensi telah di rencanakan untuk kalian. Benar, semua yang mengunjungi hutan ini wajib menghadap kepala suku.”
“............Ah.”
Lizard Priest memejamkan mata dan medengakkan kepala. Langit-langit, yang merupakan dasar dari pohon raksasa di atas mereka, terlihat begitu tinggi, di terangi dengan Noctiluca scintilans
Terdengar gemerisik pelan dedaunan dalam deruan angin, dia iringi suara air mengalir melintasi akar-akar.
Selama para elf tidak terbunuh dan tidak mengharapkan kematian, mereka akan terus hidup selamanya.
Kalau begitu, apa yang akan terjadi jika seorang elf mengharapkan kematian...?
“Saya mengerti.”
Semua adalah bagiam dari hutan. Bagian dari alam. Bagian dari perputaran. Setiap makhluk akan memudar dan bergabung dengan semua yang sudah berada di sjni.
Kepala suku tinggal di sini. Tempat ini secara keseluruhan adalah kepala suku itu sendiri.
Mendengak takjub, Lizard Priest menggabungkan kedua tangan dengan gerakan yang aneh. Walaupun sudut pandang mereka berbeda, para lizardmen juga memandang bahwa kembali ke dalam putaran kehidupan merupakan kematian yang ideal.
“Saya mengungkapkan rasa terima kasih sayang yang terdalam bahwa kami telah di berikan kesempatan untuk menyentuh bagian dari dia yang mengawasi hutan ini.”
“Saya menerima terima kasihmu,” sang elf menjawab, melirik kepada Dwarf Shaman, yang menggembungkan pipinya seolah ingin menanyakan apa yang sedang di bicarakan. “Mengetahui bahwa terdapat seseorang yang berasal dari luar hutan kami yang memahami ini semua, adalah kebahagiaan yang tak terduga. Bolehkan saya bertanya—bagaimana menurut pendapatmu tentang tempat ini?”
“Oh, kalau di lihat sekilas, sepertinya semua orang sibuk sekali.”
Dan itu memang benar.
Aula besar ini di hiasi dengan berbagai macam rajutan untuk menyambut pernikkahan, bersama dengan harpa yang di gantung dengan benang laba-laba. Namun hampir tidak ada seorangpun terkecuali beberapa pelayan gadis yang berada di sana.
“Apa ini ada sangkut pautnya dengan pernikahannya?”
“Tidak sepenuhnya benar,” sang elf membalas, menyeruput minuman tapiokanya seolah ingin merangkum kalimatnya. Cangkir tempat minumnya adalah sebuah tanduk rusa yang telah di poles, tidak lebih dan tidak kurang, akan tetapi cangkir itu merupakan benda berseni. “Akhir-akhir ini banyak bisikan di dalam hutan. Banyak yang sedang pergi untuk melihatnya.”
“Maksudmu untuk melihat Dia-Yang-Menghentikan-Air?”
“Jadi ada sesuatu di hutan ini yang bahkan nggak di ketahui para elf,” Dwarf Shaman berkata dengan seringainya.
Tidak membiarkan senyum elegannya pudar, sang elf membalas, “Jika begitu ijinkan saya bertanya kepadamu, Wahai dwarf: apa kamu mengetahui segala makhluk yang tidur di kedalaman bumi?”
“...Aku mengerti maksudmu,” Dwarf Shaman menggerutu. “Kamu benar.”
“Heh-heh-heh! Tuanku Goblin Slayer tentunya akan bertanya apakah itu pperbuatan dari para goblin,” Lizard Priest berkata, tertawa dengan riangnya dan mengambil kembali kaki serangga. Dia mecurahkan pikirannya yang mmenginginkan sebuah keju.
“”Soal itu,” sang elf berkata.
Lizard Priest mengangguk serius. “Mm. Keju adalah susu dari sapi atau domba atau semacamnya, kata mereka di fermentasi—“
“Bukan itu maksud saya... Apakah pria itu benar-benar Orcbolg yang terkenal, sang Goblin Slayer? Pria paling baik hati di perbatasan?”
“Benar.”
“Dia sama sekali tidak seperti yang di gambarkan.”
Lizard Priest memutar mata di kepalanya. “Saya mengerti bahwa beliau tampak tidak terlalu mengagumkan dalam pandangan pertama. Namun apa yang membaut anda berkata demikian?”
“Sepupuku sepertinya menyukai dia,” Sang elf berkata cemas, terdengar seperti seorang kakak yang mengkhawatirkan adik kecilnya. “Gadis itu memiliki sifat yang...unik, persis seperti seseorang yang ku kenal... Erm, kurasa saya tidak perle menyembunyikannya darimu. Gadis itu mirip sekali denganku.”
“Ho! Jadi begitu, er, eh, bapak Pengantin,” Dwarf Shaman berkata, terdengar bersemangat kembali seraya dia mengangkat gelas tanduknya. Anggurnya terasa lemah, namun alkohol tetaplah alkohol. Alkohol ini masih cukup bagus untuk menyemangati seorang dwarf. “Apa nggak ada sesuatu yang bisa kamu lakukan untuk sedikit mengekangnya?”
“Kami pernah mencoba untuk mengajarinya agar dapat bersikap lebih kewanitaan. Menjahit, musik, lagu, dan lainnya.”
“Apa berhasil?”
“............Kami menghabiskam dua ribu tahun menjalani rencana itu.”
“Begitu...” Dan ini adalah hasil yang mereka dapatkan. Mereka bertiga saling bertukar pandang dan menghela bersamaan.
“Tapi menurut saya, dia bukanlah wanita muda yang buruk.”
“Ya, aku tahunitu.” Jawab singkat Dwarf Shaman, dan kemudian dia menjulurkan lengannya dan mengambil salah satu kaki kumbangnya.  Dia meminta garam bahkan seraya dia mengunyahnya, saus berterbangan ke segala arah seraya dia menikmati makanan itu.
Dia bersendawa keras dan kemudian meneguk kembali anggur, dan kemudian bersendawa lagi.
“Saya akui ketidakmampuan dirinya untuk bisa lebih besikap kewanitaan membuat saya resah, dan terkadang saya berharap dia dapat tenang dan bertingkah sesuai umurnya,” sang elf berkata.
Lizard Priest menyipit. “Hmph,” Dwarf Shaman mendengus, seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak sepenuhnya senang dengan ucapan itu. “Selama gadis itu nggak memperlambat kami bapak Pengantin. Kami akan senang mempunyai gadis itu dalam party kami.
*****
Sebuah dentuman dapat terdengar, seperti suara air yang terjatuh, dan sebuah cipratan putih dapat terlihat.
Air terjun? Benar.
Namun bukan semacam air terjun yang menjatuhi permukaan bumi. Bukan semacam air terjun yang berkilau dalam pancaran matahari.
Ini adalah sungai yang mengalir di antara rongga-rongga bumi.
Melewati aula besar dan menuruni banyak tangga, terdapat ruangan besar lainnya.
Adalah sebuah gua batu yang terkikis oleh air selama ribuan tahun, terbentuk hingga seperti ini. Batu-batu telah terpoles oleh aliran air tiada henti hingga menjadi gua kapur. Sungguh mengagumkan untuk melihat stalamit yang menjulang dari bawah dan stalaktit yang menggantung seperti daun dari atas di dalam hutan hujan ini.
Adalah sebuahnhutan batu. Sebuah sungai mengalir melewatinya, lengkap dengan air terjun dan sebuah danau hitam yang dalam.
Danau itu memberikan kelip berwarna zamrud yang samar.
Namun sumber kelip itu sendiri tidaklah berasal dari air, melainkan berasal dari lumut.
Lumut, yang memenuhi hamparan danau, berkelip dengan indahnya.
“Oh... Wow...”
Jadi ini apa yang di maksud terpana.
Gadis Sapi merinding melihat pemandangan dunia lain ini, tidak dapat berkata apa-apa. Udara lembab namun sejuk bawah tanah menghembus tubuh telanjang terbakar matahari yang terbalut dengan handuk.
Dia melirik ke belakang untuk melihat seorang elf yang melayani para gadis pergi keluar dengan membawa pakaian mereka yang telah di lepas.
Gados Sapi menegok ragu kepada Gadis Guild, yang berdiri di sampingnya.
“A-apa menurutmu nggak apa-apa bagi kita untuk masuk ke dalam sini?”
“Mereka bilang ini adalah tempat untuk mandi, jadi saya rasa tidak masalah.”
Mungkin Gadis Guild sudah terbiasa dengan semua ini, karena tampaknya dia sama sekali tidak memiliki keraguan tentang memamerkan tubuhnya yang indah.
Gadis Sapi melirik cepat sekitarannya dan kemudian mencelupkan jempol kaki masuk ke dalam air. Dingin khusus yang di miliki air bawah tanah mengejutkan tubuhnya. Dia menjerit tanpa sadar, menyebabkan Priestess tertawa kecil.
“Ini lebih hangat di banding dengan air yang kami gunakan untuk mandi di Kuil,” Priestess berkata. Dia memasukkan kakinya yang kurus masuk ke dalam kolam, memejamkan matanya seolah ingin menyerap semua sensasi yang di rasakannya.
“Kalian para cleric sepertinya selalu ahli dalam hal-hal seperti ini.” Gadis Guild bergumam dengan sedikit ketus, yang setelahnya dia juga ikut masuk perlahan ke dalam danau.
Gadis Sapi benci menjadi satu-satunya yang masih berada di permukaan, membulatkan keberaniannya dan kemudian masuk dengan cepat ke dalam air.
“Eee... Yi-yikes...!”
Dia merasakan lumut di bawah kakinya. Dia mengira akan terpeleset karena itu namun dengan cepat dia menyadari bahwa lumut itu menopang tubuhnya dengan kuat. Airnya terasa dingin pada awalnya, namun tidak lama baginya untuk mulai terbiasa dan bahkan merasa sangat nyaman.
Dia berpikir bahwa dirinya akan baik-baik saja di sjni.
Ini membuatnya berani untuk merendamkan tubuhnya hingga mencapai pundak; air menopang tubuhnya dan dia mengambang dengan lembut ke sana dan ke sini dalam pelukan air.
“Ahh...” Gadis Sapi menghela menikmati dan terdengar begitu santai, wajahnya mulai menjadi merah. Dia melirik kepada dua gadis, yang memiliki ekspresi sama dengan dirinya. Hal itu membuatnya tenang.
“Kamu benar, lebih hangat dari air sumur,” dia berkata. “Kenapa ya?”
“Aku pernah dengar sebuah cerita kalau ada sungai api yang mengalir di bawah bumi,” Priestess berkata. Dia memiringkan kepalanya. Mungkin karena itu. Mungkin High Elf Archer atau Dwarf Shaman dapat menceritakannya.
“Kalian para petualang memang sesuatu sekali,” Gadis Sapi berkata. “Selalu berpergian ke tempat seperti ini.”
“Nggak selalu,” Priestess menjawab dengan senyum ambigu.
Gua, reruntuhan, reruntuhan, reruntuhan, gua, gua, reruntuhan, gua...
Ketika Priestess mengingat kembali semua petualangannya, dia menyadari bahwa kebanyakan dari petualangnya bertempatkan di dalam gua atau reruntuhan. Dan kebanyakan dari reruntuhan yang dia kunjungi berakhir terbakar hingga rata dengan tanaah, atau di ledakan, atau di isi dengan gas beracun...

“...Yah, nggak selalu.”
Priestess harus berbicara kepada Goblin Slayer untuk mengevaluasi tindakannya agar lebih berhati-hati.
“Banyak orang yang menjadi petualang yang berharap untuk menemukan harta karun tersembunyi,” Gadis Guild berkata. Dia memegang rambut dengan sebelah tangan untuk menjaganya agar tidak terkena air seraya dia mendengarkan pembicaraan gadis lain. “Kepercayaan di berikan kepada penjarah reruntuhan tidak bertuan saangatlah berbeda dengan para petualang mapan.”
“Oh yeah, masuk akal.” Gadis Sapi mengangguk, air menetes dari ujung rambut pendeknya. “Terkadang orang-orang berhenti mampir di kebun untuk meminta sesuatu untuk di makan, tapi aku selalu sedikit takut dengan para pengelana.”
Dan mau menginap? Jangan harap. Dia melambaikan tangannya.
“Porcelain juga bisa sedikit menakutkan. Er, tapi nggak terlalu untuk petualang priestess muda.”
“Aku sudah Steel kok,” Priestess menjawab. Sedikit nada bangga di dalam suaranya membuat Gadis Guild semakin tersenyum.
Gadis belia (walaupun masih berumur enam belas tahun) meletakkan tangan di dadanya yang kecil, seolah kalung peringkat Steel itu berada di sana.
Belumlah lama semenjak dia lulus wawancara promosi dan naik tingkatan delapan.
“Petualang... yah, petualang ya,” Gadis Sapi berkata, melihat mengarah Priestess. “Aku jadi ingat seberapa seringnya aku berpikir untuk menjadi petualang saat aku masih kecil.”
“Kamu kagum pada mereka ya?” Gadis Guild bertanya, memiringkan kepalanya. Setetes air jatuh dari stalaktit, menyebabkan riak air kecil di sekitar permukaan danau.
“Er, siapa? Aku? Bu-bukan petualang semacam itu kok,” Gadis Sapi berkata, mengayunkan taangan dan menyebabkan riak air semakin bertambah.
“Ahh,” Gadis Guild berkata dengan anggukkan. “Jadi, permaisuri?”
“Sudah ah.”
“Atau mungkin pengantin pahlawan?”
“Sudah nah!”
Gadis Sapi menenggalamkan dirinya hingga mencapai pipi seolah ingin menyembunyikan wajahnya yang tersipu. Dia duduk di sana tanpa kata, meniup gelembung ke permukaan, seperti gadis kecil.
Untuk sesaat, satu-satunya suara di dalammgua ini adalah aliran air sungai bawah tanah.
Coba di pikirkan—apakah benar-benar tidak biasa?
Bocah-bocah selalu ingin menjadi pahlawan, atau ksatria, atau pembasmi naga, atau petualang. Para gadis, tentunya memiliki mimpi tersendiri.
Permaisuri atau perawan kuil, pengantin cantik. Mungkin, mereka berharap, beberapa peri suatu hari akan datang untuk membawa mereka ke rumahnya.
Walaupun pada akhirnya, khayalan hanyalah khayalan, mimpi tetaplah mimpi...
“Tapi...” Satu kata dari Priestess layaknya setetes air yang menjatuhi danau, bergema di sekitaran danau. “Kurasa menjadi pengantin bukan hal yang buruk.”
*****
“Aku akan pergi melakukan persiapan,” Goblin Slayer berkata. Barang bawaan telah di masukkan ke dalam masing-masing ruangan.
“Huh?” High Elf Archer berkata. Dia sedang terlentang di antara tumpukan pakaian, terlihat begitu santai. Beberapa pakian itu berbentuk segitiga terbalik, yang lainnya tampak seperti mangkuk besar; High Elf Archer memperhatikannya dengan ooh dan ahh.
“Maaf, aku belum merapikannya,” sang archer berkata.
“Aku di beritahu untuk tidak menyentuhnya.”
Ucapan High Elf Archer sama sekali tidak mengandung niat mengejek, namun ucapan goblin Slayer terdengar dingin.
Goblin Slayer menuruti permintaan para gadis untuk tidak menyentuh ataupun mengintip bbaju dan pakaian dalam mereka. Karena itu, dia membawa semua barang bawaan dengan diam khas dirinya.
Pada mulanya, High Elf Archer, yang duduk di kursi, mengatakan bahwa dia akan membantu—dan inilah hasilnya sekarang.
“Rapikan sebelum mereka kembali.”
“...Iya, iya. Aku tahu.”
Goblin Slayer tidak menoleh mengarah sang archer seraya dia berbicara, menyebabkan High Elf Archer sedikit mengambek. Adalah dirinya sendiri yang menyebabkan semua menjadi berantakan, dan dia mengetahui itu, karena itu secara perlahan dia mulai mengumpulkan semua pakaian dalam.
“Buset, coba lihat yang inu. Gede banget. Kepalaku bisa muat semua di dalamnya.”
“Janga  perlihatkan itu padaku. Dan jangan di tarik-tarik.”
“Nggak usah khawatir!” High Elf Archer berkata, namun kemudian dia berdiri.
“Kenapa?”
“Bekerja bikin aku haus. Aku pikir mungkin kita berdua perlu minum.”
“Begitu.”
Goblin Slayer hanya menjawab singkat, namun sang archer mengangap itu sebagai persetujuan dari pria itu dan pergi mengarah ke dapur.
High Elf Archer bergumam hmm dan memperhatikan konten dari rak (yang merupakan bagianrongga kosong dari pohon).
“Hei, Orcbolg,” dia berkata, telinganya mengepak, “Apa menurutmu aku perlu buat teh untukmu juga? Sekedar untuk coba-coba.”
“Kalau kamu memberikannya padaku, aku akan meminumnya.” Tampaknya dia tidak mencoba untuk menyelediki tawaran itu.
Hmm, High Elf Archer bergumam kembali, terdengar kecewa. Tidak lama kemudian dia bersiap untuk membuat teh.
Pertama, dia mengambil beberapa herba dan rempah, yang di ambilnya secara acak, dan mulai mengirisnya dengan pisau obsidian besar. Memperhatikan besar ukurannya, dia memasukkan semua ke dalam cangkir yang terbuat dari buah pohon ek yang telah di bersihkan. Dan kemudian dia mmenuangkan air ke dalamnya.
Botolnya terbuat dari mithril, sebuah benda unik yang dapat menjaga air tetap dingin dalam jangka waktu yang lama.
Para dwarf menganggap baja adalah pelayan mereka dan mithril adalah teman mereka, namun akan salah jika berpikir bahwa para elf tidak memahami metalurgi itu sendiri. Itu karena, apa yang berasal dari dalam lipatan bumi adalah bagian dari alam juga. Sang elf dengan helm berkilau mungkin akan berkata, “Mereka telah mengubah bentuk mereka sendiri demi kami.” (TL Note : “mereka” di sini maksudnya adalah mithril dan semua metal yang berasal dari bumi.)
Biasanya, akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membuat teh dingin, namun di lahan ini, waktu yang di butuhkan sangatlah singkat. Elf manapun, jika mereka bukan seorang pembaca mantra, dapat membuat permohonan, dan alam-pun akan menuruti kemauan mereka.
High Elf Archer telah membuat beberapa gerakan melingkar di udara dengan jari telunjuknya, air di dalam cangkir sudah mulai berubah warna.
Dia menawarkan salah satu cangkir kepada Goblin Slayer, yang sedang duduk di lantai dan membongkar barang bawaannya.
“Aku nggak bisa janji soal rasanya loh.”
“Oke.” Goblin Slayer berkata, mengambil cangkir. Dengan gerakan yang sama, dia meneguknya habis melewati celah pada helmnya. “Selama ini bukan racun, aku nggak keberatan.”
“Ihh, Aku jadi malu.”
“Aku tidak punya maksud lebih dari apa yang aku ucapkan,” Goblin Slayer berkata acuh. “Aku nggak bermaksud memujimu.”
Dengan dengusan, High Elf Archer duduk di kursi, membiarkan kakinya menggantung. Dia menyeruput tehnya, menghiraukan jamur yang bergoyang menopang tubuhnya.
“Hei, ini enak juga,” dia berkata, seraya berkedip. Kemudian dia menyeringai layaknya seekor kucing. “Jadi, kamu lagi ngapain Orcbolg?”
Goblin Slayer tengah duduk di lantai, melakukan suatu pekerjaan.
Dia mengeluarkan tiga lembar kulit sapi dan menumpuknya seolah seperti dia akan membuat tali. High elf Archer turun dari kursinya dan memperhatikan dari balik pundak Goblin Slayer, memperhatikan gerakan rumit dari jari pria itu. Gerakannya yang gelisah merupakan karakteristik tersendiri dari sang archer.
“Kamu ingat goblin champion itu?”
“...Ya.”
Bagi Goblin Slayer, pertanyaan itu hanyalah pertanyaan biasa, namun pertanyaan itu membuat High Elf Archer mengernyit pahit.
Itu bukanlah pertarungan yang ingin dia ingat. Kekalahan pahit di dalam labirin di bawah kota air telah menjadi ingatan buruk baginya.
“Itu baru setahun yang lalu. Bagaimana bisa aku melupakannya? Membuang ingatan itu dari kepalaku akan membutuhkan paling nggak beberapa abad.”
“Ini sesuatu benda kecil yang aku siapkan untuk melawan sesuatu seperti itu, atau goblin paladin yang kita hadapi.”
“Hmmm...”
Goblin Slayer bekerja secara mekanikal, menjahit lembaran itu bersama. Tiga lembar itu terlihat sulit untuk di hancurkan.
“Aku mungkin bilang ini sesuatu yang sangat kecil. Itu kan cuma tali.”
“Aku akan mengikatnya pada ujung sebuah batu besar.”
Tali itu cukup panjang. Panjangnya mungkin sekitar tiga meter ketika telah selesai.
Tetapi, bagi High Elf Archer, duduk dan dengan tenang menjahit lembaran kulit menjadi satu tidak terlihat seperti petualangan sama sekali.
“...Aku kagum melihatmu membuat sesuatu yang besar gitu.”
“Mereka nggak menjualnya di toko mana-pun.”
“Bukan itu juga yang ku maksud.” High Elf Archer menghela, ucapannya setengah serius dan setengah sarkasme. Kemudian helaan kedua. “Kalau aku yang membuatnya—“ Dia mengambil salah satu ikatan yang berada di tangan Goblin Slayer, bersama dengan beberapa permata ketapel dari barang bawaan Dwarf Shaman. “Kurasa aku akan melakukannya seperti ini!”
“...Apa itu?”
Alih-alih menjawab, High Elf Archer meletakkan jarinya di tengah-tengah ikatan dan mulai memutarnya. Batu yang berada di ujung, berayun melebar, bersiul di udara.
“Dengar suaranya?”
“Ya. Memangnya kenapa?”
“Ini menyenangkan!”
“...Hrm.”
Goblin Slayer memutar helm baja, mencoba mengikat sebuah batu berat pada ujung rajutan lembaran kulitnya.
Dia menyusuri jarinya hingga mencapai ujung ikatan, menggenggam talinya; dan memberikan ayunan untuk memeriksa beratnya.
Dia pasti menyukai rasa yang di dapatnya dari ayunan itu, karena dia membungkus batu itu dengan talinya, dan meletakkan hasil akhirnya.
“Aku berencana utnuk membuat beberapa dari ini. Aku pernah melihat benda semacam ini sebelumnya.”
Baguslah. Kalau gitu, aku minta satu!”
“Mau ambil yang baru saja ku buat?”
“Nggak! Aku mau yang lain!”
“Baiklah.”
Mungkin ini di karenakan High Elf Archer benar-benar terhanyut dalam kegembiraan yang di rasakannya pada saat itu. Atau mungkin, dapat kembali pulang ke rumahnya setelah sekian lamanya, membuat dirinya sedikit tidak waspada.
Apapun alasannya, sesuatu yang biasanya tak akan pernah terpikirkan oleh dirinya, telah terjadi.
Ahem.
High Elf Archer benar-benar tidak menyadari seseorang yang berdiri di pintu sampai dia dapat mendengar batuknya.
“Bolehkah saya bertanya apa yang sedang terjadi di sini...?”
Suara itu terdengar merdu bahkan di saat dia terlihat kesal. Tidak di ragukan lagi, pemilik suara itu memiliki telinga berbentuk daun.
Adalah seorang wanita bermata emas dan rambut terurai bagaikan bintang yang tersebar. Tampak jelas  Kebangsawanan yang di embannya dalam sekali tatap. Tubuh pucatnya, terbalut dengan gaun dengan helaian benang silver, begitu anggun dan tinggi.
Buah dada yang menonjol dari balik pakaiannya, memberikan kesan makmur.
Terkadang seseorang jauh melampaui deskripsi bukanlah di karenakan perangkaian kata yang salah, melainkan di karenakan dia jauh melebihi imajinasi.
Permaisuri hutan, kepalanya memakai mahkota bunga,  dengan ekspresi yang begitu kalem.
High Elf Archer melonjak berdiri.
“Ap-ap-ap-ap-apaaaaa?! M-mbak?! Kenapa kamu ada di sini?!”
“Apa salahnya saya berada di sini? Saya dengar kamu telah datang untuk merayakan ini bersamaku, jadi saya pikir untuk menyambutmu...”
“Err, ha-ha... In-ini, maksudku, ini nggak seperti apa yang terlihat...”
“Banyak sekali persediaan pakaian dalam tidak senonoh yang kamu bawa.”
“Oh, mbak, kamu tahu tentang pakaian dalam?” High Elf Archer bergumam, ucapannya tak akan meleset dari telinga panjang kakaknya.
“Memangnya kenapa?” Sang kakak bertanya, membuat High Elf Archer terbata-bata.
“Er, uh, ini bukan punyaku—ini punya temanku kok.”
“Kalau begitu, tingkahmu justru lebih memalukan. Mengobrak-abrik barang orang lain.”
“Awww...”
“Karena itu, kamu—“ Dan sekali ucapan itu di mulai, ucapan itu mengalir layaknya arus, layaknya sebuah puisi apik.
“Kulitmu kusam. Rambutmu berantakan. Apa kamu sudah lupa dengan tata krama? Apa kamu benar-benar sudah merawat diri dengan baik?”

“Saya tahu betapa berbahayanya berpetualang itu, dan saya tahu akan betapa cerobohnya kamu, apa kamu benar baik-baik saja?”
“Saya bertanya apa kamu menghindari quest-quest aneh, dan mengeluh ketika kamu mengambil sebuah quest?”
“Karena, konon katanya di segala macam dunia, bahkan demon-pun merupakan peringkat kedua setelah manusia dalam merencanakan rencana jahat.”
“Berapa kali saya harus memberi tahumu untuk mendengarkan ucapan orang lain dengan baik dan kemudian berpikir sebelum bertindak?”
Pada akhirnya, sang elf dengan mahkota bunga, yang memberikan teguran kepada adik kecilnya dengan begitu elegan dan kalem, telah  tersadarkan.
“Sungguh tidak sopan sekali tindakan saya.”
Goblin Slayer tidak segera berbicara. Dia memutar helm bajanya mengarah sang elf, terdiam beberapa saat lagi, dan akhirnya menggeleng kepala dan berkata, “Nggak masalah.”
Sang elf dengan mahkota bunga, menyadari bahwa adiknya telah sekali lagi merapikan pakaian kumpulan pakaian dalam, dan menghela kecil.
“Dan...anda,” dia berkata, matanya menyipit dan debuah denyum tersirat pada bibirnya, “tentunya adalah Orcbolg.”
“Gadis itu menyebutku seperti itu.”
Ah, jadk memang anda.sang elf menepuk tangan.
“Saya sadar bahwa tentunya anda tidak seperti yang di umbarkan dalam lagu mana-pun.”
“Lagu adalah lagu,” Goblin Slayer berkata, menggeleng kepalanya. “Dan aku adalah aku.”
“Hmm...” pfft. Tawanya terdengar seperti dentingan lonceng. Persis seperti High Elf Archer. “Terima kasih karena selalu menjaga adik saya. Saya harap adik saya tidak banyak merepotkan anda?”
“Hmm,” Goblin Slayer bergumam, tatapannya mengarah kepada High Elf Archer.
Telinga High Elf Archer melemas.
“Nggak,” akhirnya dia berkata, dengan gelengan kepala perlahan. “Dia sudah banyak membantu.”
Hal ini membuat telinga sang ranger kembali berdiri,
“Jika anda bertemu dengan ranger, tracker, atau scout dan semacamnya yang lebih pantas, jangan ragu untuk menyingkirkan adik saya.”
“Kapabilitas bukanlah satu-satunya—“
Namun Goblin Slayer terhenti di tengah kalimatnya.
“Hmm?” High Elf Archer memiringkan kepala. Perilaku yang seperti itu merupakan sesuatu yang janggal bagi pria itu. “Kenapa Orcbolg?”
“Hmm. Nggak apa-apa.”
Hmmm? High Elf Archer heran,  mengikuti arah pandang pria itu.
High Elf Archer melihat seorang gadis pelayan—tidak perlu di katakan lagi, seorang elf juga—yang berlutut dan menunggu.
Dia tertutupi oleh bayangan, dan rambutnya panjang sebelah di satu sisi kepalanya.
“Ah, dia...” elf bermahkota bunga tampak tidak dapat berbicara.
“Aku tahu.”
Jawaban singkat itu membuat pundak sang gadis pelayan bergetar kaget. Goblin Slayer berdiri dan berjalan sigap mengarah gadis itu.
“Hey, uh, Orcbolg?”
Dia menghiraukan upaya High Elf Archer untuk menghentikannya, dan dia-pun berhenti di depan sang pelayan.  Dan kemudian tanpa ragu, Goblin Slayer berlutut hingga mereka dapat saling bertatap muka.
“Aku membunuh mereka.”
Sang pelayan menatap kepadanya, tatapannya berkaca-kaca. Goblin Slayer mengangguk dan kemudian melanjutkan:
“Aku membunuh mereka semua.”
Mendengar itu, setetes air mata berlinang dari mata kiri wanita itu dan mengaliri pipinya.
Rambutnya yang bergeser menunjukkan bagian kanan wajahnya. Bengkak yang dulu di deritanya sekarang telah hilang.
Wanita itu dulunya juga merupakan seorang petualang.
(TL NOTE : Bagi yang bingung siapa wanita ini, dia adalah elf yang tertangkap di menara ogre pada vol 1 ch 7.)
*****
“Seperti dugaan saya. Dia yang sudah menolong dirinya.”
Hembusan angin lembut bertiuo berlalu, mengibaskan rambut High Elf Archer. Udara dari hutan ini. Udara dari rumahnya.
Dia menghirup dalam, mengisi keseluruhan dada kecilnya dengan udara sebanyak yang dia mampu, kemudian dia menjawab, “Orcbolg nggak sendirian tahu.”
“Ya, saya mengerti itu.”
Salah satu pintu di ruang tamu mengarah pada sebuah balkoni. Balkoni ini terbentuk dengan ranting besar yang terhubung dengan akar yang terajut bersama hingga menjadi tempat mereka berdiri saat ini.
Arsitektur seperti ini hanya bisa di temukan di dalam bangsa elf, namun apa yang benar-benar perlu di perhatikan adalah pemandangan di depannya.
Desa elf ini terletak di lahan terbuka di tengah lautan pepohonan, seperti atrium raksasa.
Dari sini, segalanya dapat terlihat secara sekaligus—di sini, seseorang dapat merasakan deru angin yang bertiup dari segala penjuru.
Status kakaknya sebagai permaisuri elf telah membuat High Elf Archer tidak menyadari bahwa selama ini mereka mempunyai ruang tamu seperti ini.
Mereka telah meninggalkan gadis pelayan bersama Goblin Slayer; ini tampaknya merupakan tempat terbaik untuk menghabisi waktu seraya menunggu gadisnitu berhenti menangis.
Sang elf dengan mahkota bunga menahan rambutnya yang tertiup angin dan berputar perlahan mengarah High Elf Archer.
“Kamu menyelamatkan gadis itu. Kamu dan temanmu.”
“Aku harus melakukan sesuatu agar ada yang bisa aku banggakan.”
Itu karena, dia telah meninggalkan hutan ini atas kemauannya sendiri. Dia menghela bangga.
Menjawab itu, sang elf dengan mahkota bunga menyipitkan matanya mendengar ucapan sang adik. Dia bertopang siku pada akar yang menjadi pagar, bertumpu pada itu.
“Dan sekarang kamu mempunyainya,” dia berkata. “Apa sudah cukup?”
“Cukup apa?”
Kuchukahatari. Berpetualang.”
Telinga High Elf Archer sedikit berkedut.
“Kamu melalui begitu banyak mara bahaya hanya untuk hadiah yang tidak seberapa, benar kan?”
“Er, iya...”
Tidak ada lagi yang perlu di katakan. Status para petualang mungkin memang di jamin oleh raja manusia, namun tetap saja mereka adalah perusahaan tentara bayaran. Yang berkelana ke dalam kegelapan dengan senjata di tangan, menebas dan melibas, berlumur lumpur dan darah.
Kehidupan dan kematian berjalan berdampingan dalam profesi ini.
Semenjak dia meninggalkan rumahnya, High Elf Archer telah terjun mengalami semua ini.
“Dan lagi permasalahan tentang rekanmu. Lizardman tidak terlalu masalah, tetapi aku tidak bisa menyetujui kamu berada di dekat seorang dwarf siang sampai malam.”
“Bukankah kamu anak perempuan dari kepala suku elf, biarpun kamu nggak selalu bertingkah seperti itu?”
High Elf Archer mengernyit mendengar ceramah ini.
Wanita itu memang benar adalah permaisuri elf, namun di sini dia melakukan pekerjaan kotor para manusia. Dan juga bersama dengan seorang dwarf.
High Elf Archer mengetahui bagaimana cara bertingkah seorang adik perempuan dalam situasi seperti ini. Dia seharusnya memiliki keteguhan hati selama dua ribu tahun ini untuk tidak serta-merta merengek dan mengeluh.
“Tentunya, tidak ada—“
“Nggak! Nggak ada sama sekali.”
Walaupun upayanya yntuk tetap bersikap tenang, dia tidak dapat menahan tawanya mendengar ini.
Benar, beberapa lagu cinta jaman kuno mengandung kisah percintaan antara elf dan dwarf, namun tidaklah salah jika berkata bahwa lirik seperti itu sama sekali tidak menggambarkan adiknya.
Seraya adiknya tertawa dan melambaikan tangannya menepis hal itu, sang elf dengan mahkota bunga menghela sedih.
“...Dan juga ada dia.”
“Orcbolg?”
“Ya.”
Dia mengangguk, tatapannya mengarah pada cakrawala. Hutan tampak membentang sejauh mata memandang di balik desa ini. Pepohonan ini telah tumbuh semenjak Jaman para Dewa.
Dedaudan bergemirisik lembut dengan setiap hembusan angin, dan kepakan sayap burung dapat terdengar.
Terdapat kumpulam flaminggo jingga. Kelam malam mulai menyelimuti hutan.
“Aku kira dia akan seperti pahlawan yang ada di dalam lagu.” High Elf Archer berkata, angin membelai bibirnya seraya dia tersenyum lembut.

Raja goblin telah kehilangan kepalanya dengan serangan kritikal di momen genting!
Api membara, baju besi Goblin Slayer berkilau dalam kobaran api
Dengan demikian, rencana jahat raja goblin telah sirna, dan permaisuri cantik telah terselamatkan oleh temannya.
Tapi dialah Goblin Slayer! Tidak memiliki tempat, bersumpah untuk berkelana tanpa seseoorang di sisinya.
Ini hanyalah harapan kosong yang di temui oleh permaisuri yang berterima kasih—kala dia menyadari bahwa goblin slayer telah pergi, tanpa berpaling.

High Elf Archer melantunkan lirik dengan angin sebagai pendamping. Adalah sebuah lagu keperkasaan. Kisah akan seorang pahlawan perbatasan yang bertarung dengan goblin seorang diri.
Pembunuh iblis kecil: Goblin Slayer.
Walaupun dengan nadanya datar, seraya angin menggiring lagu, entah mengapa lagu tersebut terdengar begitu memilukan.
Sang elf dengan mahkota bunga mengepak telinganya seolah ingin mengenyahkan bunyi itu dari udara.
“...Dia sama sekali tidak seperti yang di nyanyikan.”
“Yah, itu kan cuma lagu.” High Elf Archer mengangkat jari telunjuk dan menggambar lingkaran di udara.
Lagu ya lagu, dan dia adalah dia.
“Tapi,” dia berkata, “Aku akui kalau pedang mithril itu sedikit berlebihan.”
Elf bermahkota memejamkan matanya seraya adiknya tertawa kecil. Jika ada seorang pria yang berada di sini, tentunya dia akan bersujud agar dapat mengenyahkan segala kesedihannya.
Seorang permaisuri dari high elf harus menjadi panutan dari keindahan di segala waktu dan tempat.
“Kenapa kamu bersama dengan pria seperti itu?”
“Kenapa? Mbak, itu—“
Kenapa aku bersama dengannya?
Hmm. Pertanyaan itu membuatnya berpikir, High Elf Archer duduk di atas pagar.
Dia menendang kakinya ke depan dan mencondongkan tubuhnya ke belakang, membuat kakaknya membuka lebar matanya kembali.
Akan tetapi, High Elf Archer menghiraukannya. Mereka sudah seperti ini selama dua millenia. Untuk apa di khawatirkan lagi sekarang?
Kira-kira kenapa ya.
Pada awalnya, adalah karena dia membutuhkan seseorang untuk membasmi goblin. Dia menjadi semakin tertarik karena pria itu merupakan manusia berbeda yang belum pernah di lihatnya, dan kemudian...
“Karena yang di lakukan itu cuma bertarung melawan goblin, makanya sudah jadi urusanku untuk menunjukkan petualangan yang sesungguhnya, sekali saja dalam kehidupannya.”
Benar, tampaknya itu adalah alasannya. Dan dengan itu dia menjadi semakin terjerumus dalam pembasmian goblin dan berpetualang. Dia menghitung dengan jarinya dan menyadari bahwa dia telah berpetualang bersama pria itu selama lebih dari satu tahun.
“Semakin aku mengenalnya, semakin nggak ingin aku membiarkannya sendiri. Aku itu...semacam nggak pernah bosan dengannya? Mungkin karena itu. Itu saja.”
“...Dan karena itu kamu terus melanjutkan untuk pergi membasmi goblin?”
“Sesekali saja.”
Tiba-tiba High Elf Archer menganggkat kakinya ke atas, berjungkir ke belakang hingga dia menggantung terbalik di pagar seperti kelelawar, yang di mana sang kakak menatap adiknya. High Elf Archer menyeringai layaknya kucing.
“Dan aku akan pastikan dia untuk berdiri di garis depan pada petualangan sesungguhnya.”
“Kamu tahu...” sang elf dengan mahkota bunga berkata, suaranya bergetar seraya dia melirik cepat menuju ruang tamu, ”...akan jadi seperti apa semua ini, bukan?”
High Elf Archer tidak membiarkan senyum ambigunnya sirna dari parasnya. Ataupun menjawab.
Dia tidak hharus menjawab: kesengsaraan bagi seorang elf yang merasa kehidupan adalah beban tidak perlu di jelaskan.
“Kalau begitu kenapa...?”
“Masing-masing dari kita Cuma punya satu nyawa, mbak.” High Elf Archer berkata, kembali naik dan duduk tegak. Dia menepuk tangan untuk membersihkam debu, membiarkan angin meniup rambutnya seraya dia mengangguk. “Manusia, elf, dwarf, dan lizardman nggak ada beda. Dalam hal itu kita semua sama kan?”
“Apa mungkin kamu...?”
Namun sebelum elf dengan mahkota dapat menyelesaikan ucapannya, sebuah ledakan besar seolah berasal dari kedalaman bumi.
Suara itu, tidak seperti halilintar, menyebabkan kerumunan flaminggo terbang ke udara dengan panik.
Pecahan pohon terus terdengar, bersama dengan kabut debu.
“Tiarap mbak!”
“Hwha?!”
High Elf Archer dengan sekejap bergerak untuk melindungi kakaknya. Secara insting dia berusaha menggapai punggungnya, namun busur besarnya berada di dalam ruang tamu.
Dia menjentikan lidah, namun kemudian telinganya berkedut, dan sebuah senyum dapat tampak di ujung bibirnya.
Dia mengangkat tangan, dan dalam sekejap, sebuah busur jatuh di atas tangannya.
“Apa yzng terjadi?”
“Kalau bisa jangan lempar senjata orang dong.”
Dia bahkan tidak perlu berputar.
Akan ada seorang pria di sana, dengan helm baja yang terlihat murahan dan armor kulit kotor, pedang dengan kepanjangan aneh pada pinggul dan sebuah perisai bundar kecil yang terikat di lengannya.
Goblin Slayer, dengan armor lengkap, keluar dari ruangan dengan tenang seperti biasanya.
“Apa goblin?”
“Aku nggak tahu.”
Goblin Slayer melempar tempat panah kepadanya, dan High Elf Archer dengan cepat mengikatnya pada pinggul, telinganya berkedut.
“Tolong... Jaga kakakku.”
“Baik.”
Goblin Slayer mengeluarkan sebuah ketapel dari tasnya dan memuat batu ke dalamnya. Dia berlutut sebelah kaki, melindungi kepala elf bermahkota dengan perisainya.
“Tetap tiarap. Merayaplah kembali ke dalam ruangan.”
“La-lancang sekali kamu menyuruhku tiarap...?!”
“Kalau ada goblin di sini, mungkin ada pemanah di antara mereka.”
High Elf Archer mencuri lirik mengarah kakaknya yang tak bisa berkata apa-apa, menyeringai begitu lebarnya, kemudian dia melompat dan berdiri di atas pagar balkoni.
Dia dapat menjaga keseimbangannya dengan begitu mudah, dan kemudian dia melompat kembali. Dia memanjat batang pohon besar dan kemudian pergi menuju ujung salah satu cabang raksasa itu. Tubuhnya sangatlah ringan sebagaimana mestinya kaum elf, tidak sedikitpun mematahkan ranting ataupun mengusik dedaunan.
“...Mm... Hmmm?!”
Kemudian matanya terbelalak. Dia melihat sesuatu yang tidak seharusnya.
Adalah hewan liar rakdasa. Berpijak di bumi dengan kaki sebesar pillar, dan gerakan ekornya menimbulkan suara seperti udara yang tercabik.
Sesuatu seperti sebuah kipas mencuat dari punggungnya, dan tubuhnya, yang lebih tebal dari dinding, di lapisi dengan kulit yang keras.
Makhluk itu menumbangkan pepohonan dengan tanduk yang seperti tombak, dan punggungnya, yang terlihat seperti sebuah singgasana, pasti setidaknya setinggi 15 meter.
Makhkuk itu memutar lehernya yang seperti tali panjang, membuka mulut besar bertaringnya.
“MOOOKKEEEEEEELLLLL!!”
“Hmm,” Goblin Slayer berkata, melihat makhluk itu dari bagian ujung dalam balkoni seraya udara bergetar. “Jadi itu yang namanya gajah.”
“Bukan!” High Elf Archer berteriak menjawab.
Ini adalah kali pertamanya melihat makhluk seperti ini. Namun setiap elf yang di besarkan di dalam hutan hujan pasti mengetahuinya.
“Emera ntuka, mubiel mubiel, nguma monene!” pembunuh makhluk air, makhluk dengan kipas pada punggungnya, Sultan dari para naga.
Dengan kkata lain...
“Mokele Mubenbe...!!” Dia Yang Menghentikan Air.