LAPANGAN LATIHAN DI PINGGIR KOTA
(Translater: Hikari)

“...Apa tadi?”
Dwarf Shaman sedang berada di rumah makan Guild, memasukkan kentang yang telah di haluskan ke dalam mulutnya. Sedikit terlalu cepat untuk makan siang—makanan yang ada di depannya bisa di anggap sebagai sarapan pagi yang telat. “Kamu mau aku?”
“Ya.”
Di seberangnya adalah seorang pria dengan armor kulit kotor dan helm yang terlihat murahan : Goblin Slayer. Tidak ada tanda bahwa dia sudah makan atau sedang memakan apapun.
Goblin Slayer memegang helmnya seolah dia sedang mempunyai sakit kepala dan meminum beberapa air dari balik celah helmnya.
“Apa kamu mau melakukannya?”
“Nggak masalah, aku nggak keberatan, tapi...”
Dwarf Shaman kembali memakan sesendok penuh kentang lumat. Bangsa dwarf terkenal akan kerakusannya, yang di mana mereka akan mencoba apapun dan sangat di sambut pada rumah makan manapun. Makanannya harus terasa cukup enak dan berjumlah banyak. Jika rasa makanan itu sangatlah lezat, maka itu adalah sebuah bonus.
High Elf Archer, jika di tanya pendapatnya, mungkin akan menganggap sikap ini sebagai tidak punya kontrol diri, namun Dwarf Shaman mungkin akan menjawab bahwa kaum elf tidak mempunyai imajinasi.
Apapun itu, pembaca mantra ini cukup senang untuk memakan segunung kentang lumat dengan hanya sedikit garam sebagai perisa.
“Kentang?”
“Mmf, mmf... Ya! Aku lagi ngidam kentang hari ini.” Dia menjawab, terbatuk-batuk seraya menelan sesendok penuh lagi. “Nggak mau?”
“Ada pembasmian goblin yang harus di lakukan.”
“Begitu?” Dwarf Shaman mengambil gelas Goblin Slayer, mengisinya hingga penuh dengan anggur, dan mendorongkannya kembali mengarah pria itu. “Yah, minumlah. Kamu bisa habiskan sedikit waktu bersamaku kan?”
“Mm.” Goblin Slayer meneguk isi gelas itu. Dwarf Shaman memperhatikannya dengan senyuman.
“Aku punya firasat kalau aku dan teman csroboh kita itu mempunyai latihan sihir yang sedikit berbeda.” Dwarf Shaman berkata.
“Aku nggak tahu secara spesifiknya, tapi aku rasa kurang lebih begitu.” Goblin Slayer menjawab.
“Dan aku pikir lebih baik kamu meminta ini kepada orang lain selain aku.”
“Nggak bisa.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya perlahan. “Kamu pembaca mantra paling jago yang aku kenal.”
“...”
Tangan Dwarf Shaman terhenti ketika dia berusaha mengambil kentang lainnya. Dia memutar sendoknya (yang sebelumnya telah keluar masuk mulutnya) ke dalam tumpukan makanan, dengan sedikit tidak sopan.
Setelah beberapa saat, dia menghela.
“Yah, sepertinya nggak bisa berkata tidak soal itu ya?” dia berkata. Dia melirik Goblin slayer dengan tatapan tajam. “Aku yakin kamu akan mengatakan hal yang sama pada wanita witch itu.”
“Tentu saja tidak.” Goblin Slayer berkata pelan. Bahkan Dwarf Shaman dapat menebak apa yang dia maksud dengan itu.
“Maaf. Walaupun bercanda tapi tadi agak kelewatan ngomongnya.”
“Kalau seandainya terlalu merepotkan, silahkan menolak.”
“Jangan bodoh. Satu-satunya pekerjaan yang aku tolak itu berasal dari orang yzng nggak suka dengan dwarf.”
Kemudian Dwarf Shaman kembali makan dengan rakus. Dia bahkan tidak ingin repot-repot membersihkan jenggotnya dan terus memasukkan kentang lumat kedalam mulutnya, layaknya anggur ke dalam gentung.
Ketika pada akhirnya dia telah membuat makanannya habis, dia melempar sendoknya ke samping.
“Tapi, Beardcutter, aku mau tahu satu hal.”
“Apa?”
“Kamu dapat ide ini darimana?”
Goblin Slayer terdiam.
Bukanlah cerita yang tidak biasa. Dia adalah seorang warrior; kemampuan sihirnya dangatlah kecil. Ketika dia membutuhkan seseorang yang bertalenta dalam sihir, mengapa tidak meminta bantuan seorang shaman?
Namun bukanlah itu yang di tanyakan oleh sang dwarf. Bahkan Goblin Slayerpun memahami itu, seraya mereka saling bertukar pandang.
“Aku Goblin Slayer.” Dia meneguk anggur untuk membasahi bibirnya, “Dan dia adalah petualang.”
“Okelah.” Dwarf Shaman mendengus dan menyandarkan punggung pada kursinya. Kursinya berdecit karena perubahan beban. “Kalau teman telinga panjang kita dengar soal ini, aku rasa dia akan membahas ini secara terus menerus.”
“Benarkah?”
“Harusnya sih.”
“Begitu.”
Dwarf Shaman mendorong piring kosongnya mengarah Goblin Slayer dan melambaikan tangannya.
Sekarang terdapat lima atau enam tumpuk piring kosong, dan sang pelayan—kali ini seorang padfoot—datang dan membawa piring itu untuk di cuci.
“Baiklah. Aku terima. Tapi mungkin...aku perlu kamu untuk menunggu sebentar.”
“Aku nggak keberatan. Aku memberi tahunya untuk datang siang ini.”
Goblin Slayer menuangkan beberapa air seraya dia berbicara. Dia memutar air yam memperhatikan gelombang kecil yang bergejolak dalam gelasnya.
“...Apa menurutmu dia akan datang?”
“Heh! Kita bisa bertaruh kalau kamu mau.” Dwarf Shaman menyeringai dan menggosok tangannya. Adalah sebuah gerakan yang dramatis, seperti seorang pesulap yang bersiap menunjukkantrik berikutnya. “Kalau begitu, Aku rasa aku perlu minum lagi sebelum pergi. Dan jalan santai sedikit.” Dia menepuk perutnya senang. “Makanannya sudah cukup. Nggak terlalu lapar, nggak terlalu kenyang!”
Goblin Slayer tidak mengatakan dan meletakkan gelas kosongnya di atas meja.
*****
“......”
Sang bocah berdiri di lapangan latihan; tempat ini masih dalam tahap pembangunan, oleh karena itu masih banyak bagian daerah ini yang terlihat seperti lahan berumput.
Dirinya adalah gambaran akan seseorang yang di paksa melakukan sesuatu yang tidak di kehendakinya. Pipinya menggembung, dia terlihat cemberut, dan tangannya menopang dagu seraya dia melihat seorang pria yang memanggilnya.
“...Apa, nggak pergi membunuh goblin?”
“Nggak.” Pria dengan armor kulit kotor dan helm baja menggeleng kepalanya. “Aku berniat pergi setelah menemuimu.”
“Aku nggak pernah minta kamu buat jagain aku.”
“Benarkah?”
“Yeah!”
“Maaf.”
Sikap acuhnya membuat sang bocah marah.
Orang yang aneh banget!
Jika saja dirinya yang meminta mssuk ke dalam grup ini—yah dia tidak akan bisa menolaknya, ealaupun dengan rasa enggan. Bagaimana priestess itu melakukannya? Atau elf itu, atau lizardman itu? Atau—
“Ah, di sana kau rupanya. Mantap, itu tanda kalau kamu menjanjikan.”
Atau sang dwarf, yang sekarang sedang melangkah melintasi rerumputan.
Dia sedang menyeringai, walaupun sang bocah tidak bisa membayangkan apa yang begitu lucu, dan meneguk botol anggur yang berada di pinggulnya.
Ya, dia adalah tingkat Silver. Tidak di ragukan bahwa dia adalah pembaca mantra yang handal.
Namun tetap saja, itu bukan berarti sang bocah ingin belajar di bawah asuhannya.
Dia tidak ingin, akan tetapi...
“...”
Sang bocah tersadarkan ketika mendengar suara gesekan giginya sendiri.
“Bagus. Kalau bisa aku bisa serahkan ini padamu?” Goblin Slayer tertanya kepada Dwarf Shaman.
“Bisa dong. Dan jangan sampai kamu terlibat bahaya karena kamu nggak punya pembaca mantra bersamamu.”
“Tentu saja.”
“Dan traktir aku anggur kapan-kapan.”
“Baiklah.”
Seraya sang bocah memperhatikan, kedua pria itu melakukan percakapannya dengan cepat, seolah mereka saling membaca pikiran masing-masing. Dia menatap mereka dengan melotot, tidak dapat ikut bergabung dalam percakapan.
Goblin Slayer berputat mengarah sang bocah. “Turuti apa yang dia perintahkan, jangan buat masalah, dan jangan main-main.”
Goblin Slayer terdengar seperti seorang kakak yang memberikan instruksi kepada adiknya. Sang bocah hanya mendengus. Goblin Slayer tampaknya menganggap ini sebagai tanda bahwa bocah itu mengerti, karena dia berpaling. Kemudian mulai melangkah dengan langkah sigap biasanya.
“Hei, tunggu—!”
“Lihat aku bocah, aku yang seharusnya kamu khawatirkan.”
Sang bpcah tidak dapat menepis perasaan bahwa dia sedang di tinggalkan, namun Dwarf Shaman menggenggam pundak bocah itu. Tangan kecil dan kasarnya cukup kuat hingga genggamannya terada sakit.
“Duduklah bocah. Ada perbedaan antara belajar dengan duduk atau berdiri. Kamu nggak akan menggunakan kepalamu dengan cara yang dama.”
“...Baik.” dia merespon, menambahkan pada dirinya sendiri, Aku cuma perlu duduk huh? Dan mulai duduk di atas rumput.
Dari kejauhan terdengar suara bersemangat dan dentingan benturan senjata. Di tambah dengan para pekerja yang membawa alat dan bekerja.
Langit begitu biru, matahari cukup terasa hangat hingga dapat membuat seseorang berkeringat. Sang bocah menghela kecil.
Dwarf Shaman menyadarinya: dia mulai duduk bersila dan menyeringai.
“Baiklah. Aku bukan pakarnya, tapi... Berapa banyak mantra yang bisa kamu gunakan dan berapa kali sehari?”
Itu adalah pertanyaan yang sang bocah paling tidak ingin jawab.
“Fireball. Dan...cuma sekali.” Dia berbicara pelan, menjulurkan lidahnya. “...Tapi kamu sudah tahu itu kan?”
“Dasar bego.” Sebuah kepal tinju menghajar sang bocah.
“Gah?!”
“Kamu itu benar-benar salah.”
Sang bocah menggerutu, memegang kepala berdenyutnya di  tempat di mana dia menerima pukulan. Bukankah pembaca mantra seharusnya lemah fisik?
Tidak, tunggu dulu, orang ini adalah seorang dwarf. Sialan. Gerutu sang bocag. Perbedaan antara ras tidak dapat di remehkan.
“Er,,, Errgghh. Sakit banget... kamu bisa-bisa pecah kepalaku jadi dua!”
“Kepalanya pembaca mantra memang seharusnya nggak keras! Mungkin lebih baik kalau kepalanya terpelah dua.”
“...Aku kira dwarf biasanya selalu warrior.”
“Kalau kamu nggak tahu, kami juga seorang monk. Dan apa salahnya? Kami punya semangat dan roh yang membantu.”
“A-aku rasa aku pernah dengan tentang Dwarf Sage...”
“Itu Cuma dongengm” Dwarf Shaman berkata, menghela dalam. “Dengar,” dia berkata, berbisik seolah sedang memberitahu sebuah rahasia. “Fireball bukan satu-satunya mantra yang kamu punya.”
“Huh?”
Sang bocah secara tiba-tiba melupakan rasa nyeri di kepalanya, wajahnya terkejut. Tiga jari muncul di depan matanya.
Carbunculus—batu api. Crescunt—bangkit atau menjadi. Iacta—tembak atau lepaskan. Itu kan?”
“Uh.”
“Kamu mengucapkan tiga kata kekuatan sejati itu bersama dan mereka menjadi Fireball. Paham maksudku?”
“Yeah, aku tahu itu, tapi...”
Dia menelan sisa kalimat yang ingin di katakannya.
Sangatlah begitu jelas.
Mantra yang telah dia pelajari terdiri dari tiga kata akan kekuatan sejati, di rajut bersama untuk menciptakan satu mantra.
Itu artinya setiap kata mengandung kekuatan. Apakah bisa lebih sederhana lagi dari ini?
Setiap kata mungkin mengandung kekuatan yang lebih kecil dari pengucapan yang lengkap. Namin tetap saja, siapapun yang bereaksi pada ajaran baru namun jelas ini dengan mengatakan  “Yeah, terserahlah...”
...hanyalah seorang yang tolol.
Dwarf Shaman memperhatikan wajah sang bocah yang menegang, di mana dirinya sendiri tersenyum lebar. “Mantap! Sepertinya retakan pertama muncul di tengkorak kepalamu itu. Sekarang apa implikasinya? Katakan apa yang kamu pikirkan.”
“...Ciptakan api. Kembangkan. Lempar.”
“Kan! Sekarang kamu punya empat pilihan.”
“Empat?”
“Kamu bisa gunakan Fireball-mu, atau kamu bisa membakar sesuatu, atau kamu bisa membesarkan sesuatu, atau menembak sesuatu.”
Walaupun aku rasa menembak bola api besar masih bagian utamanya.
Sang bocah menatap telapak tangannya. Dia menghitung dengan jarinya.
Empat...
Dia selalu percaya bahwa Fireball adalah satu-satunya yang dapat dia lakukan—akan tetapi selama ini dia punya empat mantra?
“Hey...”
“Hrm?”
“Apa memang sesederhana ini?”
“Nggak mudah kalau untuk mengganti cara pandangmu pada dunia— Yah, aku rasa bukan itu yang kita lakukan. Kita cuma memastikan seberapa banyak kartu yang bisa kita mainkan.”
Dengan itu, Dwarf Shaman mengeluarkan satu tumpuk kartu bermaim yang tampaknya muncul dari udara.
Apakah ini—tipuan tangan? Jari tebal itu bergerak begitu cepat hingga hampir tidak terlihat seraya dia membagi kartu dan menebarkannya.
“Kartu kecil tetaplah sebuah kartu kan?”
“Ku rasa...”
“Nggak usah mengira-ngira! Mereka tetap kartu!”
Dia menyusun tumpukannya kembali dan kemudian, layaknya sihir, kartu itu menghilang.
Dia tidak berhenti sedetik dalam aksi sulapnya, dan kemudian dia berbisik, “Hei bocah, apa kamu tahu pengguna sihir yang cantik itu? Si witch?”
“....Yeah,” sang bocah berkata, tersipu seraya dia membayangkan pembaca mantra yang seksi itu. “Aku tahu dia.”
“Dia menggunakan inflammarae untuk menyalakan pipa rokoknya.”
“...Yang benar?”
Adalah benar-benar reaksi jujur yang di perlihhatkan sang bocah sepanjang hari ini, dan tidak mengherankan. Jika seseorang melakukan itu di akademi, sang professor akan memarahi mereka.
Mantra sihir terdiri dari kata-kata berkekuatan sejati, yang dapat megubah logika dunia dan memanipulasi segala yang ada. Sihir bukanlah untuk di gunakan secara sembarangan—bukankah petualang berpengalaman selalu berkata demikian?
Jangan lengah. Jangan ragu untuk membunuh. Jangan habiskan mantramu. Dan menjauhlah dari naga...
“Pokoknya, Aku rasa kamu mengerti kalau menggunakan mantra sesuka hati itu nggak bijaksana, tapi coba kamu pikir.” Dwarf Shaman melipat tangannya dan membuat suara berpikir; sang bocah masih tidak dapat memahaminya. “Anggap saja kamu kehujanan di luar, dan kamu nggak punya batu api, dan semua bahan bakarmu kebasahan, tapi kamu harus membuat api unggun. Di situlah saat kamu harus menggunakannya.”
“...Yeah, pastinya.”
“Tapi kalau kamu benar-benar pintar, kamu dapat membuat api dengan cara lain dalam situasi seperti itu dan menghemat mantramu.”
Jika kamu memngkombinasikan ranting dan aÄ·ar pohon kamu dapat membuat sebuah api, dan ranting yang kamu gali dari tanah sering  sekali dalam keadaan kering. Dan tergantung dari seberapa hati-hatinya kamu menumpuk kayu bakarmu, terkadang ranting basah dapat mengering seiring api membara, menjadikannya bahan bakar yang berguna.
Berpikir dengan otakmu adalah cara terbaik untuk menghemat mantra. Kemampuan yang tinggi sulit di bedakan dengan sihir.
“Satu-satunya perbedaan cuma metode.”Kata Dwarf Shaman.
Setiap metode adalah alternatif, dan alternatif berarti—
“Lebih banyak kartu yang bisa di mainkan.”
“...”
“Dan satu hal lagi...” Dwarf Shaman menghiraukan Wizard Boy, yang melipat tangannya dan bergumam. Dwarf Shaman menarik tutup botol yang ada di pinggulnya. Sebuah bau alkohol mahal, aroma unik dari firewine kaum dwarf tersebar. “Pekerjaan pembaca mantra bukan untuk melantunkan mantra.”
Ucapan ini membuat sang bocah berkedip kebingungan.
“Tapi untuk menggunakannya.
“....? Apa bedanya?”
“Kalau kamu nggak bisa memahaminya, kamu nggak akan bisa maju.”
Teka-teki seperti ini adalah ujian sesungguhnya untuk menjadi seorang wizard.
Seberapa berat beban bobot ucapan mereka yang selalu berkata bahwa mereka memiliki kebenaran?
Dan apakah terdapat nilai di setiap kebenaran yang di miliki seseorang itu?
Oleh karena itu, seorang wizard akan tertawa. Tertawa dan berkata, mungkin, mungkin tidak.
“Cuma amatiran yang hanya akan berpikir kalau wizrd itu nggak lebih dari sekedar seseorang yang melmparkan bola api atau kilat pada musuhnya.”
Dan kemudian Dwarf Shaman menyeringai layaknya seekor hiu.
*****
Goblin Slayer memukul sebuah batu api, menyalan obor dengan percikannya. Aroma getah pinus bercampur dengan kelembaban dan lumut, begitu juga dengan aroma yang mengambang di keseluruhan gua.
Hal ini tampaknya akan membuat para goblin tersadar bahwa seorang petualang telah tiba, namun anehnya para goblin gagal menyadari aroma dari obor ini. Aroma akan wanita atau anak-anak akan jauh lebih memikat perhatian mereka dan memprovokasi penyerangan.
Hipotesa Goblin slayer adalah bahwa goblin tidak dapat membedakan aroma obor dengan keseluruhan aroma busuk pada rumah mereka. Pada saat yang sama, dia percaya tidak ada yang hal yang lebih baik lagi untuk menyamarkan bau metal dari armornya.
“Ugh... ini nggak adil bangeeeeeet...”
Dan seseorang tidak boleh lupa untuk menyamarkan aroma dari seorang elf.
Wajah High Elf Archer belepotan dengan lumpur, dan dia mengeluh penuh pilu. Dia terlihat begitu tidaak menyukai seraya dia menggosok lumpur di keseluruhan pakaian rangernya. Telinga panjangnya melemas turun dengan begitu menyedihkan.
“Kenapa cuma aku satu-satunya yang harus belepotan dengan semua ini?”
“Karena kamu akan mengundang para goblin itu.”
Jawabannya pendek. High Elf Archer memeluk dirinya sendiri dan merinding. Semenjak dia bergabung dengan petualang terobsesi ini, dia telah melihat banyak korban dari “goblin yang terundang ini.” Dia bahkan mengingat bahwa dirinya sendiri pernah hampir terbunuh oleh mereka, sebuah posisi di mana dia tidak ingin terulang kembali.
Jika dia ingin menghindari takdir itu, dia harus mengambil tindakan yang tepat.
Oleh karena itu, walau terlihat menyedihkan, dia terus menggosokkan lumpur pada tubuhnya sendiri di depan pintu masuk gua.
“Bagaimana dengan sekantung herba yang kamu pakai waktu itu?”
“...Aku kehabisan.” Ekspreai High Elf Archer terlihat tidak jelas, dan dia mengalihkan pandangannya menghindari. “...duit.”
Tampaknya bahkan kaum High Elf, yang memiliki garis darah dari Jaman para Dewa, menjadi korban akan permasalahan sehari-hari ini. Mungkin itu adalah sebagian alasanya untuk bergabung sebuah party yang di mana dia membasmi goblin, sebuah pekerjaan yang dia benci.
Tidak sekalipun terlintas di pikirannya untuk berterima kasih pada Goblin Slayer.
“Seperti panahmu,” Goblin Slayer berkata pelan. “Sangat penting untuk mengatur semua persediaanmu.”
“Aku sudah bilang, aku benci uang!”
“Benarkah?”
“Sekali kamu pakai, uangmu langsung melayang!”
“Iya, benar.”
“Terus uangmu nggak akan bisa tumbuh lagi!”
“Benar.”
“Aku nggak pernah paham sama sekali...!”
“Begitu.”
Telinga naik dan turun marah, Goblin Slayer mendengarkan dengan tanpa ekspresi.
Apa yang terpenting baginya adalah gambar di dinding gua yang di tinggalkan oleh para goblin. Gambar seadanya, kartunis membentuk sebuah binatang yang tidak di ketahui dengan warna merah kehitaman.
Dia melihat gambar itu, memastikan bahwa apa yang di lihatnya tidak ada sangkut pautnya antara gambar ini dengan lambangnyang sebelumnya pernah di gunakan oleh goblin paladin.
“Totem biasa.” Goblin Slayer menggosok salah satu simbol, yang di mana di lukis dengan darah makhluk hidup. Darah kering yang menempel di dinding, meninggalkan goresan merah pada telapak tangannya. “Ada shaman di sini.”
“Hmm.” High Elf Archer tidak terdengar tertarik. Dia mengambil busur yang ada di punggungnya dan menyiapkan sebuah panah. “Berapa banyak?”
“Ku rasa kurang dari dua puluh.” Goblin Slayer berkata, menebak jumlah polusi di dalam gua. “Kamu siap?”
“Ayo lakukan,” High Elf Archer menjawab, membusungkan dada datarnya. “Kalau mereka berpikir bisa menganggap remeh kita cuma karena kita berdua, mereka salah besar.”
Hanya berdua.
Ya, kali ini hanyalah sepasang petualang yang menantang sarang goblin: Goblin Slayer dan High Elf Archer.
Dwarf Shaman sedang menolong sang bocah, sementara Lizard Priest dan Priestess tampaknya memiliki urusan yang harus di jalani bersama.
Jika berhadapan dengan dua puluh goblin, seorang warrior dan seorang ranger bukanlah pasangan yang baik.
Namun walaupun begitu, goblin telah muncul.
Dan dia adalah Goblin Slayer.
Wuest kali ini sangatlah sederhana—beberapa goblin telah muncul di tepi sebuah desa. Para penduduk desa berpikir untuk membiarkan mereka begitu saja, namun hal ini telah membuat para goblin berkembang biak.
Panen telah di curi. Ternak telah di ambil. Seorang gadis yang sedang memetik herba di serang dan di culik.
Tolong, tolong gadis itu. Hadiahnya adalah sekantung koin berkarat, yang setidaknya berasal dari dua generasi yang lalu.
Namun tidak ada alasan untuk menghiraukan mereka.
Kasus stereotip. Hadiah yang meyedihkan. Namun memangnya kenapa?
Musuh adalah goblin. Alasan apa lagi yang dia perlukan?
Goblin Slayer tentunya tidak dapat menjawab pertanyaan itu.
“Kamu ini perhatian juga ya Orcbolg.” High Elf Archer berkata, melirik ke belakang dengan senyuman. “Aku sadar kalau setiap ada kemungkinan kita bisa menyelamatkan seseorang, kamu nggak pernah menggunakan gas beracun, air, atau api.”
Tetapi, jika keadaan sudah terlalu terlambat, atau setelah mereka sudah menolong korban itu, dia menjadi tidak kenal ampun. High Elf Archer tertawa kecil.
“Ini, ambil ini. Sesuatu buat isi perutmu.”
Sang archer melempar sesuatu : beberapa dari makanan rahasia para elf, camilan gorengan kecil.
High Elf Archer sendiri sedang mengunyah beberapa camilan layaknya seekor tupai atau binatang kecil lainnya. Helm Goblin Slayer berputar mengarahnya.
“Setiap bersamamu...”
“Apa?”
“Setiap bersamamu, keadaan selalu ramai.”
“...Apa itu pujian?” Dia melotot kepada Goblin Slayer penuh curiga, mengintainya layaknya seekor burung kecil. Dia menatap penutup helm itu, telinganya melemas seiring dengan alisnya dalam sesaat. “Itu bukan caramu untuk mengatakan kalau aku perlu tutup mulut kan?”
“Ucapanku nggak mempunyai arti lain.”
“...Yah.” Berputar dengan tumit sebagai tumpuan, rambutnya berayun di belakang kepalanya layaknya sebuah ekor.
Dia melangkah masuk ke dalam gua, bebas bagaikan angin, namun tetap saja...
“Heh-heh!”
Telinganya mengepak bahagia, sesuatu yang dapat terlihat dengan begitu jelas bahkan dari belakangnya.
Tentu saja, mereka berdua tidak sesantai seperti yang terlihat. Seseorang yang bukan pemula akan mengetahui bahwa mereka berada di dalam wilayah musuh.
Goblin Slayer memasukkan camilan goreng ke dalam helmnya, menarik pedangnya seraya dia mengunyah.
Indra tajam High Elf Archer menyebabkan telinganya menyentil setiap kali dia mendengar suara.
Percakapan ringan itu—sekalipun High Elf Archer yang selalu mengoceh—adalah cara mereka menjaga kewarasan mereka.
Sebuah bukti datang dalam beberapa saat, ketika High Elf Archer tiba-tiba berhenti.
“Mereka cepat.”
“Yeah, tapi aku nggak merasa kalau mereka memperhatikan kita.”
Mereka tidak perlu berkata apapun. Goblin Slayer sudah menyiapkan senjatanya, dan High Elf Archer menarik busurnya.
“Kalau kamu menculik gadis muda, sudah sewajarnya kalau petualang akan datang.”
Pertarungan antara goblin dan petualang sudah berlansung sejak dahulu kala. Melewati beberapa jaman, bahkan para goblin-pun dapat mempelajari sesuatu: petualang akan datang.
Mereka selalu datang dan membunuh apa yang menjadi hak milik para goblin. Oleh karena itu, para goblin akan membunuh mereka.
Merenungkan perbuatan mereka sendiri adalah sesuatu kegagalan yang membuat goblin, goblin.
“Arah mana?”
“Kanan.” High Elf Archer menutup matanya, telinganya mengepak. “Lima atau enam, mungkin. Aku juga mendengar beberapa senjata.”
“Di depan bagaimana?”
“Nggak ada untuk saat ini.”
Dengan kata lain, tidak ada usaha untuk mendesak mereka dalam serangan dua arah. Goblin Slayer mendengus, kemudian memegang pedangnya secara terbalik, mengangkat pedangnya dan mengambil kuda-kuda.
“Mereka selalu berpikir kalau sergapan itu adalah kemampuan yang hanya mereka miliki.”
Dalam detik berikutnya, Goblin Slayer menghajar pedangnya pada dinding gua seolah sedang memotong kayu bakar.
“GROOOORB?!”
Tanah, yang telah tercungkil, longsor dan menghujani terowongan samping. Para goblin penggali membuka matanya lebar, benar-benar terheran.
Mereka seharusnya mengepung petualang bodoh ini, menghajar mereka, mempermalukan sang wanita, membuat sang wanita mengandung anak—
Goblin Slayer mendaratkan hantaman lain pada kepala sang makhluk, mengakhiri rencananya—dan nyawanya.
“Satu. Kita serang mereka dari arah ini. Ayo.”
“Tempatnya sempit banget. Sulit buat menembak.” Tentu saja, walaupun dia mengeluh, High Elf Archer menembakkan tiga panah secara bersamaan melewati pundak Goblin Slayer, menembus tiga goblin.
“GROR?!”
“GOOBBR?!”
Satu terkena panah pada tenggorokannya; monster yang berada di kedua sisinya terkena di matanya, satu di kiri, satu di kanan. Mereka tumbang, dan Goblin slayer menghajar mayat mereka.
“Empat...”
Sebuah pedang berlumur otak hingga ke hulunya tidak akan banyak berguna. Dia menendang seekor goblin yang sekarang mempunyai pedang yang mencuat dari tenggorokannya, mengambil sekop yang di gunakan monster itu sebagai senjata.
“...Lima.”
Goblin kelima menyerangnya, dia menghalau serangan dari beliung monster itu, dan dalam gerakan yang sama, menghajar wajah goblin dengan obor yang dia pegang pada tangan perisainya.
“GROORRORBRO?!”
Terdengar suara desisan akan daging busuk terbakat. Goblin Slayer memperhatikan monster yang menjerit itu dengan wajahnya yang terbakar. Sergapan yang gagal secara cepat atau lambat akan di sadari goblin lainnya. Namun jeritan itu mempercepat prosesnya.
Goblin slayer tidak kenal ampun: dia membenamkan sekop pada leher goblin itu.
“GROORB!!”
Goblin terakhir meraung walaupun masih belum terjadi apa-apa pada dirinya. Dia melempar golok yang selama ini di pegangnya dan mengangkat tangannya ke atas kepala. Meringis dan tersedu, dia bersujud di hadapan para petualang.
Makhluk yang kita lewatkan di mausoleum?
Goblin Slayer melepaskan obor yang patah dan mengambil golok bernoda hitam kemerahan. Dia memasukkannya ke dalam ikat pinggangnya, mengeluarkan obor baru, dan menyalakannya dengan api obor lama.
“Kalau begitu, sekarang.”
“GOR?!”
Goblin Slayer memberikan sebuah tendangan pada sang makhluk; makhluk itu menjerit dan terguling. Namun dengan cepat kembali mengambil posisi bersujud menyedihkannya, mengesekkan kepalanya pada tanah.
Dia sedang memohon untuk di ampuni. Apakah dia memiliki kecerdasan yang cukup? Apakah fia sedang mengkalkulasi keputusan terbaiknya? Apakah dia memiliki niatan untuk menyerah?
Jika di lihat pada posisi makhluk itu yang berada di belakang grup, mungkin makhluk ini mempunyai status tertentu di antara para goblin.
Namun juga, makhluk itu adalah yang paling kecil. Anak kecil, mungkin...?
“Orcbolg...”
“Ya.”
Suara High Elf Archer bergetar. Goblin Slayer mengangguk tak bersuara.
Sang goblin muda sedang mencoba menarik sebuah belati beracun dari ikat pinggangnya.
Di sekitar lehernya terdapat sebuah kalung.
Sebuah kalung yang dia dapatkan dengan mencuri.
Benda yang ada di kalung tersebut telah di tusuk dengan sebuah jarum dan di jahit menjadi satu. Benda itu telah di potong dengan sebuah golok. Sepuluh jari segar dari seorang wanita muda.
Bagi goblin ini yang meringis dan memohon, seraya menyembunyiksn sebuah belati dinpunggungnya, Goblin Slayer hanya mempunyai satu hal untuk di ucapkan.
“Kita bunuh mereka semua.”
*****
“Kalau di pikir-pikir...”
“Hmm?”
“Ini mungkin pertama kalinya kita berdua saja.”
“Ah, benar, Saya rasa anda benar tentang itu.” Lizard Priest berkata, ekornya berayun pelan.
Adalah siang hari di tempat latihan. Walaupun fasilitas ini baru setengah selesai, tempat ini masih terpapar dengan alam.
Petualang pemula, begitu juga dengan para pekerja, berkumpul di sini dan di sana pada rerumputan, memakan makan siang mereka.
Tidak ada jaminan bahwa makanan akan di siapkan untuk mereka, dan walaupun di siapkan, aktifitas fisik membuat tubuh menjadi lapar.
“Bahkan dewa dan roh sekalipun tidak dapat menyembuhkan perut yang kosong,” Lizard Priest berkata.
“Sepertinya kamu lupa tentang keajaiban Create Water dan Create Food.” Priestess berkata.
Walaupun aku sendiri belum punya keajaiban itu.
“Ho-ho,” Lizard Priest tertawa menghargai. “Jika saya berpindah agama, maka mukjizat yang saya terima juga akan berubah.”
“Itu benar. Walaupun aku rasa aku nggak bisa melakukan doa lagi hari ini...”
Mengapa mereka berdua datang ke tempat berlatih ini? Jawabannya adalah berlatih, di tambah dengan melaakukan beberapa penyembuhan.
Bukan hanya petualang yang kurang berpengalaman yang rentan akan resiko dalam latihannya. Orang-orang yang bekerja pada bagian konstruksi fasilitas ini juga mempunyai resiko yang lebih berbahaya.
Memear dan luka gores, tentu saja dapat di rawat dengan P3K sederhana, namun tulang patah dapat memberikan pengaruh besar dalam proses konstruksi. Memanggil dewa untuk mendapatkan Minor Healing dapat membuat keadaan menjadi berbeda.
Dengan itu, kedua cleric duduk di pinggiran lapangan untuk menyantap makanan mereka.
Priestess duduk dengan lutut yang tertutup rapat dan membuka bungkusan makan siangnya. Adalah roti dan keju, bersama dengan anggur yang telah di campur air dan beberapa buah kering.
“Wah,” kata Lizard Priest, mengintip pada bekal gadis iti dari tempat dia duduk bersila. “Apakah itu akan cukup untuk anda?”
“Ya,” Priestess menjawab. Ini bukanlah diet; dia hanya memilih untuk tidak terlalu banyak makan. “Aku, ahem—“ Dia memalingkan wajahnya dari sang lizard, pipinya menjadi sedikit merah. “Sepertinya berat badanku sedikit naik semenjak jadi petualang.”
Lizard Priest membuka rahang besarnya dan tertawa. “Ha-ha-Ha-ha-ha-ha-ha! Jangan takut! Tentunya itu berasal dari otot yang terbentuk.”
“Aku rasa mungkin itu karena banyak banget makanan enak yang bisa di makan di kota ini...”
“Gadis kecil, saya rasa sedikit tambahan daging pada tulang anda akan sangat baik sekali. Anda terlalu kurus.”
“Kepala Priestess juga berkata hal yang sama...”
Pada umur tertentu, bahkan gadis cleric-pun resah akan hal seperti ini. Dan banyaknya wanita menarik di sekelilingnya seperti Gadis Sapi, Gadis Guild, dan Witch, semakin memperburuk perasaannya.
Priestess menghela kecil dan kemudian menawarkan sebuah doa ucapan terima kasih atas makanannya kepada Ibunda Bumi.
Sedangkan Lizard Priest, membuat sebuah gerakan aneh pada telapak tangannya dan membuka sebuah kantung yang terbuat dari kulit binatang.
“Oh,” Priestess berkata. Matanya sedikit melebar, dan kemudian dia tersenyum lembut. “Roti lapis ya?”
“Heh-heh-heh-heh-heh.”
Lizard Priest menyeringai lebar dan kemudian memutar matanya dan mengangkat roti lapisnya dengan bangga. Roti itu terdiri dari potongan roti tebal yang di oles mentega, dan beberapa potong daging tipis.
Akan tetapi, apa yang terlihat begitu menonjol adalah, keju yang begitu banyak, begitu melimpah hingga roti itu hampir tidak sanggup menampungnya. Keju itu benar-benar mengubur daging yang ada; tampak jelas bahwa kejunitu merupakan bintangnya di sini. Merupakan roti lapis yang benar-benar berbeda dari yang biasanya, yang di mana daging merupakan komponen utama dan keju sebagai tambahan.
“Bahan favorit saya, di susun sesuka hati saya. Inilah kebebasan yang sesungguhnya.” Dia terdengar begitu bahagia, dan Priestess tidak dapat menahan senyumnya.
“Aku rasa aku dapat memahaminya...”
“Mm. Makanan adalah budaya, seseorang akan benar-benar membutuhkan peradaban muhtakhir untuk dapat menghasilkan ini.” Seraya dia berbicara, Lizard Priest menggigit roti lapis itu. Setengah telah menghilang dalam satu gigitan; gigitan keduanya, roti itu menghilang.
“Ahh madu! Sungguh lezat!”
“Heh-heh. Kamu benar-benar suka keju ya?”
“Benar. Ini membuat saya sungguh bersyukur karena telah berpergian ke dunia manusia.”
Smack, smack. Ekornya memukul tanah sebagai tanda kegembiraannya. Priestess mengamati pergerakannya.
Dia membuka mulutnya sendiri, tidak lebih lebar di banding Lizard Priest, dan mulai menggigit rotinya. Seraya dia mengunyah, sensasi kacang mengisi keseluruhan mulutnya. Di iringi dengan anggur yang di minumnya.
“Makanan seperti apa yang kamu makan di kampungmu?” Priestess bertanya.
“Kami adalah warrior dan hunter. Kami memakan burung atau binatang yang kami tangkap.” Setelah menghabiskam roti lapis pertamanya, Lizard Priest menggapai roti keduanya. “Warrior muda makan bersama dengan warrior muda, sedangkan mereka yang lebih berpengalaman makan dengan sederajat dengan mereka. Dan para petinggi bersama dengan petinggi lainnya.” Menggenggam roti dengan satu tangan, dia menepuk rumput dengan tangan sebelahnya. “Kami makan di tanah atau lantai seperti ini.”
“Kalian nggak makan bersama?”
“Jika seorang raja atau jendral mendatangi para prajurit biasa, bagaimana mereka bisa bersantai?”
“Begitu.”
“Namun berbeea halnya dengan pesta. Jika kami meraih kemenangan dalam pertarungan, api akan di nyalakan di pusat desa kami, dan semua orang akan duduk bersama.”
Dalam pikirannya, Priestees dapat membayangkan sebuah pemandangan dari lahan yang belum pernah di kunjunginya. Para lizardmen yang berkumpul pada kaki pohon besar di dalam hutan hujan, mengangkat gelas dan meminum anggur mereka, merayakan bersama.
Di tengah-tengah semua itu,  binatang liar besar meraung, warrior pemberani memotong bongkahan daging dan berteriak. Entah mengapa, salahn satu dari lizardman itu kini sedang begitu menikmati keju... namun kemungkinan itu hanyalah imajinasi detil dari Priestess.
Walaupun seperti itu...
“Sepertinya ramai banget.”
“Benar sekali,” Lizard Priest berkata penuh percqya diri. “Terkadang kami juga mencari jagung atau kentang...”
“Ooh. Kentang cocok di padukan dengan keju loh.”
“Oh-ho!” Lizard Priest tiba-tiba condong ke depan, matanya berbinar dan rahangnya terbuka. Tidak heran mengapa Priestess sedikit menarik tubuhnya mundur dengan jeritan ketakutan.
“Saya ingin mendengar lebih banyak tentang hal itu!”
“Er, yah, Aku—dulu waktu di Kuil, aku sering memasak keduanya bersama...”
Potong kentang, campur dengan susu, tepung, dan mentega, kemudian taburi dengan keju di atasnya dan panggang di dalam oven. Hasilnya adalah makanan lezat untuk festival di musim dingin atau perayaan apapun.
“Semua orang berkumpul di aula utama, berdoa dan makan bersama.”
“Sungguh sempurna...!”
Resep dan makanannya, yang di maksud lizard itu.
“Berbagi santapan dengan sesamanya,” Lizard Priest berteriak, “adalah untuk memperkuat hubungan satu sama lain.”
“Ya,” Priestess mengangguk, tersenyum. Kemudian dia teringat sesuatu dan memiringkan kepalanya menggarah sang lizard. “Oh, kalau kamu mau, kita bisa masak bersama kalau ada kesempatan.”
“Mm, saya tentu saja.” Lizard Priest membalas.
Itulah di mana ketika sebuah suara riang terdengar di telinga mereka: “Hei, kayaknya kalian punya sesuatu yang enak untuk di makan di sana!”
Priestess melihat pada arah suara itu. Hal pertama yang di lihatnya adalah sepasang telapak kaki telanjang. Kecil namun berotot, telapak itu berujung pada sebuah kaki yang tertutup dengan celana pendek, dan kemudian baju tipis. Gadis itu sedang kepanasan dan berkeringat, menarik-narik kerahnya untuk membiarkan angin masuk. Adalah Rhea Fighter.
“Roti lapis? Enaknya! Aku boleh coba?”
Dengan dengusan, Lizard Priest melempar sisa makanannya ke dalam mulutnya, mengayunkan ekornya dengan mengintimidasi seraya mengunyah.
“Di antara ajaran yang telah saya pelajari, tidak ada yang mengajarkan untuk membagi santapanmu.”
“Aww...”
Sang rhea tidak terlihat kecewa, dan kemudian Lizard Priest memutar mata di kepalanya.
“Yah, bukan berartinaku nggak membawa makan siangku sendiri sih!” gadis itu berkata. “Aku boleh gabung?” Dia tertawa dan mengangkat sebuah bungkusan di tangannya. Bungkusan itu terbungkus dengan rapi menggunakan kain merah dan terlihat begitu besar.
Priestess yang sedang mengunyah beberapa kacang kering manis, menelannya dan mengangguk. “Oh, iya. Aku nggak keberatan.”
“Saya juga demikian.”
“Kalau begitu aku nggak sungkan-sungkan!” Sang rhea gadis duduk pada rumput di samping mereka, sibuk membuka bungkusan makan siangnya. Adalah tumpukan serabi yang lembut, di masak hingga berwarna coklat keemasan. Masing-masing dari serabi itu sebesar wajah seseorang, dan terdapat satu, dua, tiga, empat—lima!—serabi.
Jika mengingat ukuran tubuh seorang rhea, makanan ini sangatlah cukup untuk mengisi penuh perut seorang dwarf.
Dia mengeluarkan sebuah botol dan membukanya, menuangkan madu tebal dan kental di atas serabinya, kemudian dia mulai memakannya.
Priestess mendapati dirinya berkedip. “Kamu lahap juga ya?”
“Kami makan lima atau enam kali sehari!” tapi nggak bisa makkan sebanyak itu selama berpetualang sih... gadis itu menjilat jarinya yang lengket dengan madu. “Jadi aku harus makan yang banyak supaya aku nggak kelaparan sampai makan selanjutnya!”
“Ha-ha#ha...” Priestess tertawa kering. Priestess merasa bahwa rhea itu makan sama banyaknya di setiap jadwal makannya.
“Ngomong-ngomong,” Priestess berkata, “Kamu sendiri saat ini kan?”
“Iya. Makanya aku berencana untuk mungkin berburu tikus atau semacamnya.”
Membersihkan tikus raksasa dari saluran air adalah tugas dasar dari petualang pemula. Bukan berarti itu adalah pekerjaan yang terkenal—orang-orang merasa bahwa itu tidak memiliki rasa petualangan yang cukup. Tidak seorangpun yang menjadi petualang hanya untuk bertarung dengan tikus yang berukuran besar. Mereka ingin bertarung dengan monster mengerikan, mengarungi dungeon, dan mendapatkan jarahan harta karun. Itulah arti dari petualangan.
Namun itu bukanlah sesuatu yang dapat di lakukan dengan mudah seorang diri.
“Di tambah lagi, tempat ini penuh dengan warrior pemula.” Bukan party untukku. Dia tertawa.
Tidak peduli seberapapun baiknya untuk bergabung dengan beberapa orang yang akrab denganmu dan pergi berpetualang bersama, sangatlah pedih ketika kamu di tinggalkan seorang diri.
Kalau bukan karena Goblin Slayer...
Apa yang akan terjadi kepada Priestess?
Itulah apa yang di benak Priestess.
Adalah sebuah hal yang aneh. Jika ketiga orang itu tidak memanggilnya pada hari itu, di manakah Priestess saat ini akan berada?
Jika dia tidak pergi berpetualang bersama mereka, dia tidak akan berada di sini sekarang.
Adalah karena petualangan itu, dan semua pertarungan sesudahnya, yang semakin bertambah dari hari ke hari. Keputusan kecil yang dia buat, satu persatu, telah membimbingnya hingga sampai di tempat ini.
“Um...” Pikiran itu telah membuat sebuah ucapan terlepas dari bibir denggan sendirinya. “Kalau kamu mau, bagaimana kalau kamu...coba berpetualang bersama kami?”
“Berpetualang?” Sang rhea melihat mereka, sedikit terkejut. “Bagaimana dengan teman berarmormu itu, Goblin Slayer atau apalah? Rasanya aku nggak ada lihat dia di sekitar sini hari ini...”
“Oh, umm...”
“Saat ini,” Lizard Priest berkata, condong ke depan dan membantu Priestess yang lidahnya terbelit, “Untuk dapat meningkatkan tingkatannya, gadis ini harus mendemonstrasikan kemampuannya, oleh karena itu saat ini beliau sedang mencari rekan berpetualang.” Seraya sang lizard berbicara, dia mengunyah dan menelan roti laoisnya.
“Kemungkinan besar, kita cuma akan bersama untuk satu quest...” Priestess berkata memohon maaf.
“Hmm.” Rhea Fighter melipat tangannya dan melihat di kejauhan.
Pemula pemula terkadang di sebut dengan “massa,” dan dalam grup itu, manusia dan dwarf warrior sangatlah banyak. Banyak dari mereka yang kuat dan tangguh, karena mereka berlatih keras ataupun karena terlahir kuat.
“Aku peringatkan kamu, aku ini bukan sesuatu yang spesial,” Rhea Fighter berkata dengan senyuman tipis. Benar, dia berlatih, namun dia mengangkat salah satu lengannya untuk membuktikan bahwa lengannya masih lebih kecil di banding seorang dwarf atau manusia. “Aku ini Cuma seorang rhea. Aku nggak perlengkapan yang bagus. Dan aku cuma seorang warrior.”
Armor kulit. Pedang dan perisai. Perlengkapan yang cukup bagus, namun tetap saja berukuran kecil.
Jika di nilai dari kemampuan dan kekuatan dan perlengkapan, kemungkinan terdapat banyak warrior yang lebih baik dari dirinya.
“Kamu yakin sama aku?”
“Ah, tetapi,” Lizard Priest berkata, mengangguk serius, “Anda mempunyai keberuntungan.”
“Keberuntungan...?”
“Anggap saja hubungan saling menguntungkan dengan takdir, benar?”
“Benar banget!” Priestess menyetujui Lizard Priest dengan cepat. Priestess membusungkan dada kecilnya sebaik yang dia bisa. “Seperti saat kamu bertanya kepada kami tentang potion kami? Karena itu...!”
Karena itu aku bertanya padamu.
“Huh, jadi kamu ingat itu?” Rhea Fighter berkata dan memgangguk. “...Yah, baiklah kalau begitu. Tapi ku kasih tahu ya, aku rasa ini akan sedikiiiiiiit sulit kalau cuma kami dan aku.” Jadi—dia mengepal kedua tangannya dan mengangkatnya tinggi. “Ayo undang yang lainnya juga! Serahkan saja padaku—aku punya ide bagus!”
“Oh, aku ikut juga!”
Di kala ide itu muncul di kepalanya, Rhea Fighter bergerak dengan cepat. Dia berlari layaknya seekor kuda; Priestess dengan terburu-buru mengikutinya.
Seraya sang rhea berlari, Priestess berputar dan menundukkan kepala kepada Lizard Priest.
Priestess sangat menyadari bahwa cleric naga tersebut sudah merencanakan semua ini demi dirinya.
Satu tahun telah berlalu semenjak mereka berempat menjadi party.
Lizard Priest memberikan lambaian menyemangati seolah mengatakan, Tidak perlu di pikirkan, dan Priestess mengangguk kepadanya kembali.
“Heiii, ayo! Semuanya akan mulai latihan lagi kalau mereka selesai makan!”
“Baik! Oke! Maaf, dan terima kasih...!”
“Yaaah!” jauh di depan Priestess, Rhea Fighter memberikan bocah berambut merah sebuah tendangan.
Ketika Priestess berhasil menyusul, dia menundukkan kepala berkali-kali dan menjelaskan apa yang terjadi. Dwarf Shaman tertawa terbahak-bahak. Dalam jeda itu, Rhea Fighter menemukan sasaran berikutnya, dan berlari mengarah Rookie Warrior dan Apprentice Cleric.
Apprentice Cleric memprotes karena mereka sedang di tengah-tengah makan siangnya, ketika Priestess dan Wizard Boy datang, sekaali lagi menundukkan kepala dan meminta maaf.
“Ahh, keberuntungan adalah berkah, dan berkah adalah keberuntungan.” Lizard Priest berkata dengan riang seraya dia makan dan memperhatikan apa yang terjadi.
Mereka telah bersama selama satu tahun penuh. Dia sudah sangat memahami sikap gadis itu dengan kebaikan hatinya.
Baiklah.
Kepalanya berpikir seraya dia menyelesaikan roti lapis terakhirnya.
Bagaimana dengan berkah tuanku Goblin Slayer, fanatik aneh pemimpin party kami?
*****
Cuit, cuit, cuit, cuit, cuit, cuit.
Gadis Sapi terbangun dari tidurnya karena cuitan kenari.
“Hrn... Hmm? Hmm?”
Dia menggosok kedua matanya dan berkedip beberapa kali. Dia meregangkan tubuhnya dan menyadari bahwa dia sedang duduk di kursi pada meja makan. Dia pasti sedang merebahkan tubuhnya di atas meja dan kemudian ketiduran.
Matahari sudah terbenam, membuat ruangan ini redup; satu-satunya cahaya adalah cahaya samar dari bulan kembar.
Di atas meja adalah segelas teh hitam, yang sudah menjadi dingin.
Dia pasti ketiduran menunggu prianitu.
“Hmm... paling nggak, nggak ada bekas bantal,” dia berkata, memijat pipinya yang kaki. Seraya dia melakukannya, sebuah selimut terjatuh dari pundaknya.
Pamannya pasti meletakkannya di pundak Gadis Sapil walaupun sekarang awal musim semi, malam masihlah terasa dingin. Gadis Sapi mengambil selimutnya dan melipatnya.
“Aku harus berterima kasih pada paman.”
Seraya dia melakukan ini, sang kenari masih terus bercuit dengan berisik, mengepakkan sayapnya di dalam sangkar. Gadis Sapi dengan cepat menyalakan lilin, memasangnya di tempat lilin dan berjalam mendekati sangkar.
“Kenapa? Kamu kedinginan? Atau lapar?”
Nada yang dia ucapkan, seolah seperti sedang berbicara dengan anak kecil, kemungkinan adalah hal yang sewajarnya. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat ke dalam sangkar; sang kenari memiringkan kepalanya dan menatap balik.
Gadis Sapi dapat melihat bayangannya sendiri dengan pakaian malamnya dalam pantulan kaca jendela.
Mungkin aku harus tidur di kamar.
Pikiran itu sangatlah masuk akal, namun dia merasa tidak ingin melakukannya.
Mungkin aku harus mulai pergi bersama dia...
Dia melangkah menuju jendela, menopang dagu dengan tangannya dan menghela.
Tidak, mustahil. Adalah sebuah fantasi yang akan hancur di setiap detiknya.
Benar, Gadis Sapi cukup berotot—walaupun dia tidak ingin mengakuinya, tubuhnya mempunyai bentuk yang lebih baik di banding gadis seumuran dengannya. Namun walaupun begitu, itu bukan berarti dia dapat menggunakan senjata atau mengjadapi para monster.
Dan kemungkinan besar, jika dia mulai berpergian ke berbagai tempat juga, mungkin pria itu tidak akan kembali pulang lagi...
“...Whoa, jangan besar kepala dulu.” Gadis Sapi tidak dapat menahan tawa kecilnya.
Kemudian terjadilah: dengan suara decitan dan gesekan, pintu terbuka. Udara malam masuk menghembus ke dapam, bersama dengan sroma aneh. Sebuah aroma akan besi. Lumpur dan keringat dan debu, bersama dengan darah.
Bahkan tanpa melihat sekalipun, Gadis Sapi mengetahui dengan segera: itu adalah bau pria itu.
“Selamat pulang!”
“...Aku pulang.”
Balasan dari suara lemah lembut sang gadis, adalah datar dan mekanikal.
Pria itu menutup pintu di belakangnya seraya dia masuk, mencoba untuk tidak membuat suara. Namun suara itu masih terdengar cukup nyaring. Gadis Sapi berputar, tersenyum lembut, dan helm pria itu menggeleng penuh ragu.
“Kamu masih bangun selama ini?”
“Nggak. Aku baru bangun.”
“Apa aku membangunkanmu?”
“Nggak, nggak. Nggak usah di pikirkan. Sesuatu membangunkanku di saat yang tepat.” Dia menunjuk pada sangkar burung dan menambahkan, “Ya kan, burung kecil?” yang di mana sang kenari membalas, cuit!
“Burung ini sesuatu banget. Dia tahu kamu pulang bahkan sebelum kamu masuk.”
“Hmm.” Dia mendengus, menarik sebuah kursi dan duduk dengan kasar. Gadis Sapi berpikir bahwa setidaknya dia dapat melepaskan senjata dan armornya, namun Gadis Sapi tidak mengatakan apapun. Gadis Sapi menjauh dari jendela, mengambil sebuah celemek yang menggantung di dapur dan memakainya.
“Makan malam?” dia bertanya, melirik dari balik pundaknya kepada pria itu seraya dia mengikat ikatan celemek di punggungnya.
“Hmm,” pria itu membalas, dan kemudian, “Ya, tolong.” Akhirnya, dia menambahkan pelan, “Apa saja nggak masalah.”
“Aku punya rebusan yang sudah siap.”
Setelah beberapa saat, “...Benarkah?” dia menjawab dengan anggukan.
Butuh waktu untuk menyalakan api oven dan menghangatkan rebusan.
“Oh, coba kamu bersihkan armormu sedikit.”
“Begitu?”
“Yeah. Ada handuk di sebelah sana yang bisa kamu pakai.”
“Ah.”
Dia menuruti dan mulai membersihkan noda-noda dari helm dan armornya, walaupun pergerakannya cukup sembrono. Tentu saja, noda itu tidak akan hilang hanya dengan sedikit gosokan, namun itu cukup untuk membuat Gadis Sapi puas.
Ketika Gadis Sapi meletakkan rebusan di depannya, pria itu mulai memasukkan isi rebusan itu ke dalam helmnya seperti orang kelaparan.
Adalah musim semi, dan tidak perlu lagi untuk membuat makanan panas, akan tetapi Gadis Sapi masih tetap membuat rebusan. Benar, sangat sederhana.
“Akhir-akhir ini sering banget ya?”
Gadis Sapi duduk di seberangnya, menopang kepalanya dengan kedua tangan di pipi.
“Apanya?”
“Kamu pergi keluar.” Gadis Sapi mengambil sebuah kain lap dan mencondongkan tubuhnya di atas meja, mengelap sedikit rebusan yang mengotori helm pria itu. “Semuanya melawan goblin—atu, yah, kurasa kamu punya tempat latihan itu juga sekarang.”
“Ya.”
“Apa kamu sibuk?”
“...Nggak.” Goblin Slayer menjawab setelah beberapa saat. Helmnya miring seolah dia tidak begitu yakin. “...Entahlah.”
Hmmm. Gadis Sapi, tertawa kecil. “Kamu nggak mau mereka membangun sesuatu di sana kan?”
Tepat sasaran. Sendok pria itu berhenti di tengah jalan dari mulutnya. “Itu bukan...berarti juga aku nggak mau mereka melakukannya.”
Hrrrm. Pria itu mencoba bertingkah seperti sedang berpikir.
Bahasa tubuhnya tidak berubah sedikitpun dari ketika mereka masih muda. Dia selalu kesulitan untuk menyembunyikan kenyataan jika dia sedang kesal.
“Rasanya sepi, kan?”
“...”
“Dan kamu khawatir tentang gadis itu, kan?”
“....”
“Kamu khawatir, tapi kamu nggakntahu cara yang bagus untuk menolongnya.”
“.....”
“Dan di saat seperti ini, para goblin akan siap dengan rencana mereka...”
“.......”
“Kamu selalu cemas ketika kqmu nggak melakukan apapun.”
Dia meletakkan sendok di tangannya, masih terdiam. Kemudian dia menghela dalam dan berbicara. “...Kamu paham aku sekali.”
“Sudah seharusnya. Kita sudah bersama selama bertahun-tahun.” Akhirnya, Gadis Sapi tidak dapat menahan tawanya, dan dia berkedip pada pria itu.”
Dari dalam helmnya, tatapannya terpaku pada Gadis Sapi. Hal itu membuat Gadis Sapi duduk lurus di kursinya.
“Apa kamu nggak kepikiran dengan semua itu?”
Pertanyaannya singkat, namun kemungkinan hanya Gadis Sapi satu-satunya yang dapat memahami apa yang di pikirkan pria itu ketika dia bertanya. Bahkan, Gadis Sapi sendiri tidak yakin apakah dia benar-benar memahami pria itu.
Akan tetapi, pamannya, bukanlah penduduk desa kecil itu. Yang tersisa dari desa itu hanyalah mereka berdua.
“Aku nggak...bilang kalau aku nggak kepikiran.”
“...”
“Aku ingat...bermain di danau dan hal lainnya.”
Gadis Sapi mmengingatnya.
Suara akan orang tuanya, di dalam rumah bata kecil mereka.
Kehangatan bersahabat dinding batu yang memanas setelah seharian di sinari matahari.
Hembusan angin pada wajahnya di kala dia berlari di jalan kecil melewati desa, suara cangkul orang dewasa seraya mereka bekerja di sawah.
Decitan ember usang di kala ember itu di tarik naik, penuh dengan air dingin.
Pohon kecil yang berdiri dinatas bukit, dan akan bagaimana jantungnya berdebar di kala dia menyembunyikan harta karun di dalam rongga pohon itu.
Perasaan yang dia rasakan ketika mereka berdua menyaksikan merah matahari terbenam yang terbentang di kejauhan horison.
Akan bagaimana rumput menggelitik punggungnya di kala dia berbaring di tanah, menatap dua bulan hingga tengah malam.
Rasa sakit dari tamparan amarah ayahnya ketika Gadis Sapi pulang telat. Kesepian di atas loteng di mana dia mengurung diri karena merasa marah.
Akan bagaimana aroma sarapan pagi buatan ibunya, aroma yang mengambang sampai ke hidungnya bahkan ketika dia tertidur di loteng.
Gadis Sapi mengingat semuanya.
Adalah sebuah dunia yang sudah tidak ada lagi di manapun, terkecuali di dalam hatinya dan pria itu.
“Tapi aku mulai kepikiran, mungkin semua memang harus terjadi.” Gadis Sapi tersenyum lemah. “Jalannya kehidupan memang seperti itu kan? Dunia terus berputar, kita terus melanjutkan kehidupan. Angin terus berhembus dan matahari terus terbit dan terbenam.”
Fwip, fwip. Gadis Sapi membuat lingkaran di udara dengan jari telunjuknya.
Masa itu telah begitu lama berlalu, akan tetapi semua itu masih terasa tidak begitu lama.
Sepuluh tahun, sebelas. Waktu yang cukup untuk anak kecil tumbuh. Mencari tempat untuk perubahan. Begitu pula dengan kota, orang-orang, dan segalanya.
Segala yang ada di dunia terus berlanjut, berubah, tidak pernah berhenti. Begitu pula pikiran dan ingatan.
Apakah ada sesuatu yang tidak berubah? Mungkin perubahan itu sendiri yang tidak berubah sama sekali.
Aku nggak yakin kalau perubahan itu bagus atau nggak.
“Itu artinya yang kita perlu lakukan adalah menerimanya.”
“...Benarkah?”
“Ya benar.” Gadis Sapi mengangguk seolah ingin menekan maksud ucapannya. “Aku yakin.”
“Begitu.”
Hanya itulah yang di ucapkannya; kemudian dia terdiam.
Banyak hal besar yang telah terjadi, dia berpikir.
Satuntahun—satu tahun telah berlalu semenjak dia pergi dalam petualangan itu untuk menyelamatkan gadis priestess itu, atau lebih tepatnya, membunuh goblin.
Dia telah bertemu dengan High Elf Archer, Dwarf Shaman dan Lizard Priest. Dia telah bertarung melawan monster yang namanya tidak dapat dia ingat.
Dia telah melakukan pertarungan melawan pasukan goblin yang menyerang kebun. Spearman, Heavy Warrior, dan banyak orang lainnya telah membantunya meraih kemenangan.
Kemudian terdapat goblin yang muncul di saluran air di bawah kota air. Pertarungan dengan champion. Sword Maiden.
Festival musim gugur adalah pemandangan lainnya yang menunjukkan berapa banyak teman yang telah di buatnya.
Dan di musim dingin, mereka telah pergi ke gunung bersalju dan melawan goblin paladin.
Terdapat perbedaan yang begitu jelas antara dirinya yang sebelumnya dengan saat ini. Jika tidak begitu, apakah dia akan berpikir untuk repot-repot membantu bocah itu?
Jalan kehidupan penuh dengan percabangan dan lika-liku. Dia dapat memilih arah mana yang ingin dia tempuh sekarang.
“...”
Namun.
Namun tetap saja...
Dan aku nggak akannkehilangan gadis itu, andai saja dia nggak mati setelah goblin menusuknya dengan pisau beracun!!
“...Masih belum mungkin,” dia—Goblin Slayer—bergumam pelan.
“...Mm,” Gadis Sapi berkata. Dia memgangguk, entah mengapa terlihat sedih. “...Begitu.”
“Aku nggak punya bukti, tapi aku rasa para goblin mulai bergerak lagi.”
Goblin Slayer memilih kata-katanya dengan hati-hati, berpikir keras sebelum berbicara.
Oara goblin telah mencuri peralatan konstruksi. Mereka muncul tanpa rasa takut di dekat lapangan latihan.
Apakah mereka hanya penasaran dengan pemandangan area latihan yang sedang di bangun?
Mustahil.
Adalah sebuah tanda, peringatan.
Pikiran seperti itu mungkin akan terlihat paranoid, namun di kepalanya, hal seperti ini memiliki kaitan.
Tidaklah jelas apakah ini adalah hasil dari takdir atau kemungkinan.
Satu hal yang dia yakini adalah bahwa dia harus bertarung melawan goblin.
“Itulah kenapa aku harus melakukan ini.”
“Yeah. Yeah... Aku tahu.”
Mata mereka bertemu. Tatapan Gadis Sapi bergetar dengan kecemasan. Pria itu, dari kedalaman helmnya, tidak bergeming.
Tenggorokan Gadis Sapi mengencang. Apa yang harus dia katakan, dan bagaimana cara dia mengatakannya? Beberapa kali, dia membuka mulutnya dan kemudian menutupnya kembali.
“Aku...akan menunggumu, oke?”
“Ya.”
Kemudian Goblin Slayer berdiri dari kursinya. Dia meninggalkan mangkuk kosong di meja.
Gadis Sapi mendengar pintu tertutup, dan dia-pun kembali sendiri di dapur.
Gadis Sapi memutar wajahnya menjauh dari cahaya lilin yang berdansa, memegang wajahnya sendiri seolah dia ingin meringkuk, namun, dia kembali merebahkan tubuhnya di atas meja.
Cuitan lembut dari kenari tidak menenangkan dirinya.
*****
Daalam tiga hari berikutnya, tidak ada yang terjadi.
Petualang menghabiskan waktu mereka berpetualang, atau berlatih, atau mempererat persahabatan mer3ka.
Tidaak di ragukan, adalah waktu yang sangat penuh arti.
Aliran waktu layaknya aliran sungai, tidak dapat di putar kembali. Bahkan para dewa-pun tidak dapat menarik kembali lemparan dadu mereka.
Itulah mengapa sangat memungkinan bahwa para goblin akan muncul. Takdir? Atau kemungkinan?
Semua terjadi tiga hari kemudian—di saat senja.