SUMBER SIHIR
(Translater : Zerard)

Pertama, kita harus menjelaskan kesalahan yang mereka buat.
Party mereka memiliki peralatan yang lengkap. Party mereka sangat seimbang.
Mereka siaga dan penuh persiapan dan mereka tidak membiarkan apapun mengacaukan formasi mereka.
Akan tetapi, mereka semua telah di binasakan? Mengapa?
Dewa Kejujuran, bersemayam di surga, tidak di ragukan akan tersenyum dan berkata:
“Karena aku memang lagi ingin mengancurkan sebuah party hari ini.”
*****
Quest yang mereka ambil adalah untuk membersihkan monster yang ada di sekitar wilayah di mana fasilitas latihan akan di bangun.
Pertarungan dengan mereka yang tidak berdoa tidak ada habisnya sejak jaman para Dewa dahulu kala. Kebanyakan dari benteng dan kastil di bangun dalam masa itu sekarang menjadi tidak lebih dari sekedar reruntuhan.
Mereka berlima menantang tempat kuno persis seperti itu.
Mereka merupakan campuran dari tingkat Sembilan Obsidian dan tingkat sepuluh Porcelain, mereka semua adalah petualang pemula. Mereka berhasil menjalani beberapa petualangan, dan mereka mendekati reruntuhan ini seolah ini adalah quest mereka berikutnya.
Mereka menyerang goblin yang sedang beristirahat di sana.
Membentuk barisan tempur, mereka mempersiapkan mantra mereka, dan masuk melewati pintu. Pedang mereka berkilau, petir menyambar, bola api membara terbang, mayat terinjak dan peti harta karun di buka. Sebuah tebas dan libas yang standar.
“Heh! Sudah ku bilang kan, goblin itu nggak memuaskan.” Seorang lizardman berkata, menyarungkan pedang gergaji gigi hiunya dan menghela napas. Ototnya yang kekar di balik sisiknya, merupakan sebuah tanda jelas akan sebuah tubuh seorang warrior. “Selama kamu menjaga mereka tetap di depanmu, nggak mungkin kamu akan kalah.”
“Oh?” terdengar tawaan dari seorang gadis manusia muda. “Menyenangkan sekali.” Dia terlihat sehat dan rapi, namun cukup feminim: dia berpakaian dengan armor yang bisa di anggap sebagai pakaian dalam. Kapak raksasa yang ada di kakinya mengindikasikan bahwa gadis ini memiliki sesuatu yang lebih dari yang kelihatannya. Seorang warrior priest dan pelayan dari Valkrie, tampaknya dia sengaja memamerkan tubuhnya dengan bangga.
Anggota party lainnya melirik kepada sang gadis dan menghela. Dia adalah pria paruh baya manusia wizard. Dia menggosok kepalanya yang mulai rontok dan memfokuskan matanya mengarah kepada wanita muda itu.
“Aku senang kalau kamu senang, tapi tolong jangan menerjang masuk ke dalam barisan musuh seperti itu. Aku jadi sulit untuk membidik mantraku.”
“Aw, apa jendral kita lagi marah?” Warrior Priest tampak tidak terusik dengan tatapan menegus sang wizard; senyumnya tidak layu sedikitpun. “Memangnya apa salahnya? Kamu bisa menyimpan mantramu dan aku bisa melakukan keahlianku.”
“Itu bukan—yah, sudahlah. Aku simpan ceramahnya buat nanti. Yang lebih penting, bagaimana dengan status kita?”
“Tunggu.”
Jawaban itu datang tidak dari Warrior Priest melainkan dari seorang pria berpakaian hitam, yang berjongkok di depan sebuah peti harta karun yang di tinggalkan para goblin dan pria itu berbicara dengan nada pelan dan suram.
“Makhluk licik kecil itu sudah meninggalkan kita sebuah perangkap.” Dia berkata. Keseluruhan tubuhnya tertutup dari kepala hingga kaki, dan jika di lihat dari kemampuannya dalam membuka kunci dari peti, sangatlah mudah untuk mengetahui bahwa dia adalah seorang thief.
Kemampuannya di luar jangkauan manusia—benar, dia bukanlah seorang manusia. Telinga hitam terlihat dari balik ikat kepalanya. Dia adalah seorang dark elf yang menjadi makhluk yang berdoa.
“Apa kamu bisa buka?” sang pemimpin bertanya.
“Jangan meremehkan aku,” sang dark elf mendengus. “Di bandingkan dengan pekerjaan kaumku yang lain, ini mudah sekali seperti permainan anak kecil.”
“Yah, aku harap isinya lebih dari sekedar mainan anak-anak.”
Terdengar suara klik lembut dan petipun terbuka. Seorang cleric  yang taat mencondongkan tubuhnya mencoba melihat.
Bergantung di lehernya adalah sebuah lingkaran emas yang terikat rantai, symbol dari Dewa perdagangan, yang melindungi para pengelana dan pedagang.
Sang cleric tersebut mengernyit tidak menyukai dan menempelkan tangan pada pipinya, ekspresinya tampak tidak bersemangat.
Keseluruhan isi dari peti itu hanya terdiri dari koin kuno. Akan sangatlah merepotkan untuk mengeluarkannya dari sana.
“Kalau saja kamu nggak membawa banyak senjata, barang, dan persediaan pangan, uang ini nggak akan menjadi masalah.” Cleric berkata.
“Hei, cuma orang bodoh aja yang mengejek makanan.” Sebuah tangan besar bersisi menepuk pundaknya. “Bagaimana mungkin kita bisa bertarung dengan perut yang kosong?”
“Ya, aku mengerti itu.” Cleric berkata, menyentuh tangan lizardman itu dan tersenyum intim. “Itulah kenapa kita harus mendapatkan uang lebih dari pengeluaran kita.”
“Ahh, dasar yang lagi di mabuk cinta…” Warrior Priest mempunyai ekspresi jijik dan berkata. “Ayo, lanjut yang berikutnya. Masih ada tiga pintu lagi di makam ini.”
“Iya.” Sang mage berkata. “Ayo cek pintunya. Mulai dari yang paling utara.”
“Nggak ada jebakan,” sang dark elf menjawab, dengan cepat menempelkan telingannya pada pintu dan merabanya dengan jari. Dia tidak perlu mendengarkan dengan seksama untuk mengetahu napas kasar yang ada di balik pintu itu. “Sasaran kita yang berikutnya ada di balik pintu ini.”
Mata dari setiap party berkilau mendengarnya.
Bertarung dengan monster, harta karun, kemenangan. Segalanya yang mereka inginkan dari petualangan. Tidak ada pekerjaan yang lebih baik dari ini di dunia.
Mereka membentuk posisi tempur mereka. Lizardman dan Warrior Priest berada di barisan depan, Jendral dan Acolyte berada di tengah, sedangkan Thief berdiri pada barisan belakang, bersiap dengan belatinya, menjaga adanya serangan dari belakang.
“Ini dia!” dengan teriakan lantang, Lizardman mendobrak masuk ke dalam pintu busuk kuno. Pintu itu terlempar ke depan dan party mereka membanjiri ruangan.
Sebuah bayangan besar berdiri di tengah ruangan makam yang redup. Beberapa monster yang tidak di kenal.
Seraya monster itu berdiri perlahan, pentungan di tangan, Jendral menyadari makhluk apa  yang ada di depannya. Matanya terbelalak lebar, dan pria yang biasanya selalu tenang itu, kini berteriak sekuat tenaganya:
“Trolllllll!”
Troll. Monster tersebut adalahg troll. Bodoh namun kuat. Pelan namun perkasa. Monster itu tidak memiliki sisik, tidak memiliki kulit berbatu. Namun setiap luka yang di deritanya akan dengan cepat sembuh, terkecuali dengan api.
Bagaimana mungkin ada troll di sini…?!
Dalam sekejap, Jendral tidak dapat berpikir dengan jernih. Memang benar terkadang goblin menyewa seorang pengawal. Apakah ini hal seperti itu?
Apa kita bisa mengalahkannya?
Seekor troll tidak bisa di samakan dengan seekor ogre yang dapat menggunakan sihir, namun itu bukan berarti mereka dapat meremehkannya juga.
Tidak—kita bisa menang. Kita akan menang!
Jendral menyingkirkan rasa takut dan heran yang menyerangnya dengan paksa dan mulai memberikan perintah seperti pertarungan lainnya.
“Barisan depan, halau dia. Acolyte, perkuat barisan depan kita. Thief, siapkan penyergapan. Aku akan mempersiapkan api.”
“Kalau begitu kamu nggak mau aku menjaga bagian belakang kita?”
“Kalau kita tidak mengerahkan segala yang kita miliki, kita akan menerima ganjarannya!”
“Aku mengerti.” Thief menyelam ke dalam bayangan ruang makam ini, sementara Warrior Priest berteriak. “Aku akan menyeranggg!” dan pertarunganpun di mulai.
“Bawakan kita kemenganan!”
“OLRLLLLLRT?!”
Serangan dari kapak perang, di perkuat dengan Holy Smite, mengenaik batang kaki sang monster, dan troll tersebut terhuyung seperti pohon di dalam badai.
“Heh! Kamu nggak suka itu kan?”
“Yaaaaaaah!” Lizardman tidak memanfaatkan kesempata itu untuk membawa pedangnya bergabung dalam pertarungan. terbuat dari taring monster laut, pedang itu mengigit masuk ke dalam kulit abu-abu troll. Namun kemudian—
“H-huh?! Kulitnya keras!” Lengan Lizardman mati rasa, sensasi sama seperti ketika dia menghantam batu dengan pedang kayu.
“Kenapa kamu nggak pernah menunggu aku?” Acolyte mengeluh.
“Itu salahmu sendiri karena lambat.” Lizardman berteriak seraya dia mengambil langkah mundur, pentungan troll menghantam lantai tempat dia berdiri beberapa detik yang lalu.
“Tooooooorllll!”
Ruangan makam, yang telah berdiri selama ribuan tahun, kini terancam; ruangan bergetar dan kerikil batu menghujani dari langit-langit.
“Hrh… Makhluk ini cuma menang otot!” Acolyte berkata. Dengan campuran kecewa dan kebencian, dia menggabungkan kedua tangannya dan menutup matanya. Doa ini akan mengikis sebagian dari jiwanya, namun hal ini akan dapat membuatnya memohon sebuah keajaiban secara langsung kepada dewa yang ada di surga.
“O dewa angin yang datang dan pergi, berkahilah jalan kami dengan senyummu!”
Terdengar suara whuuush seraya angin suci keajaiban menghembus mengisi ruangan. Pedang lizardman menjadi lebih tajam dengan angin suci dan kekuatan para dewa.
“Ini baru mantap! O Leluhurku Yinlong, saksikanlah aksiku dalam pertarungan!”
“Kalau kamu mau berteriak kepada seseorang, seharusnya itu untuk Dewa Perdagangan!”
Sebuah serangan dari Lizardman dengan ototnya yang di perkuat, berbenturan seimbang dengan pentungan troll.
“OLLLLT?!”
“Aw yeah!”
Kedua senjata itu beradu dengan suara krak, momentum itu membuat mereka saling terlontar menjauh. Pada saat troll tersebut terhuyung, sebuah serangan kecil beruntun menyerang lututnya, sebuah serangan kejutan dari dark elf.
Terdengar suara yang tidak mengenakkan di saat serangan itu menyayat lututnya. Apapun itu, serangan itu akan menyelesaikan pertarungan ini.
“TOOORRROOOO!!”
“Yikes! Awas, awas, awas! Aku rasa kita semakin membuatnya marah!”
Akan tetapi, mereka, sedang berhadapan dengan seekor troll.
Warrior Priest terjatuh dan berguling dengan teriakan, berusaha menghindari pentungan yang menyerang.
Kulit monster itu bergelembung, luka yang di deritanya mulai tertutup kembali. Adalah sebuah pemandangan yang paling di takuti bagi para warrior. Sebenarnya seberapa banyak kerusakan yang mereka hasilkan? Dan ini ketika mereka masih memiliki keajaiban di sisi mereka—sebuah keajaiban yang tidak akan bertahan selamanya.
“Mana sihirnya?!” Acolyte meminta, keringat bercucuran pada dahinya.
“Sedang aku usahakan!” Jendral berteriak kemudian kembali berkonsentrasi.
Dia mengucapkan kata dari kekuatan sejati yang tercetak di ingatannya, menggunakan kata itu untuk mengubah tatanan dunia itu sendiri.
“Carbunculus… Crescunt… Iacta!!”
Oleh karena itu dia adalah yang pertama mati di antara mereka.
Fireball  yang di gunakannya terbang ke arah yang acak, membakar batu dan menghilang dengan siraman percikan api. Apa menurut kalian sang Jendral menyadari momen kematiannya, di saat sebuah suara tumpul yang di iringi dengan sebuah pukulan di belakang kepalanya?
Kapak batu para goblin membuat otak cerdas Jendral terburai di keseluruhan lantai ruangan makam.
“GROORB!!”
“GORR!”
“Sergapan?!”
Siapakah yang berteriak itu?
Sekarang mereka melihat para goblin yang membanjiri masuk melewati pintu di belakang mereka. Sangatlah terlambat untuk mengutuk para dewa. Menutup pintu hanyalah akan memutus satu-satunya jalan keluar mereka. Adakah hasil lainnya yang akan terjadi selain ini?
“GORBBO!!”
“OOOTLTLTL!!”
Lizardman, melihat betapa cepatnya medan tempur ini berubah, menghantam mundur pentungan troll dan berteriak. “Kami berdua akan menghadapi ini, Mundur!”
Alih-alih jawaban, dia melihat sesosok bayangan gelap yang menyelinap di sekitar ruangan makam. Sang dark elf telah berhasil berada di belakang troll dan melompat maju, tampaknya berusaha untuk melindungi Acolyte.
“Kamu juga mundur! Kamu bakal mati kalau cuma bermodal armor yang kamu pakai!”
“Nggak mungkin! Aku nggak bisa, aku nggak bisa, aku nggak bisa!” Warrior Priest berteriak. Wanita itu mengayunkan senjatanya sekuat yang dia bisa, namun situasi mereka tetap tidak terlihat bagus.
Grup yang beranggotakan tiga orang yang sebelumnya bertarung dengan sang monster kini harus puas bertarung dengan hanya dua anggota dan harus memperhatikan punggung mereka. (TL Note : saya agak kurang paham di sini, bukannya mereka berempat? Apa dark elf tidak di hitung karena dia bersembunyi di dalam bayangan untuk bersiap menyerang?)
Para goblin telah membiarkan sang troll untuk mengalihkan perhatian para petualang kemudian menyergap mereka dari ruangan makam lainnya. Betapa cerdas dan keji.
“…Hrg…”
Acolyte berusaha memalingkan pandangannya dari Jendral, yang di mana otaknya masih menetes di lantai; dia menggigit bibirnya keras hingga berdarah, tragedy sesungguhnya adalah mereka telah kehilangan sumber sihir. Dia harus memikirkan medan tempur yang sedang dia jalani. Jika dia ingin selamat, jika dia ingin meraih kemenangan, maka dia harus mengesampingkan kematian rekannya saat ini.
Acolyte mengulangi hal ini berkali-kali di kepalanya seraya dia menggabungkan kedua tangannya dan mulai berusaha berdoa kembali.
“GRORORORB…!”
Itu karena, dia sendiri belum keluar dari bahaya. Terdapat beberapa goblin yang datang mendekatinya dari belakang—benar, hampir selusin. Dan para goblin sangatlah terkenal akan kekejian mereka yang tidak kenal ampun kepada tahanannya.
Goblin membagi dunia menjadi tiga katagori: mainan untuk mereka, barang untuk di curi, dan musuh. Persis seperti petualang yang akan membantai setiap goblin yang mereka temukan, para goblin tentunya tidak akan membiarkan seorang petulangpun hidup.
“Ah— Ahh!” Acolyte tersandung ke depan seraya dia berusaha menghindari sebuah belati berkarat.
“Terus berikan bantuan!” sang dark elf berkata seraya dia datang untuk melindungi gadis itu. Dia menangkis sebuah senjata goblin kemudian mendaratkan serangan keduannya untuk menyayat tenggorokan monster itu. Terdengar suara cipratan darah yang terlontar; sang dark elf memberikan sebuah tendangan kasar pada makhluk itu.
“Kita nggak akan bertahan lama di sini!”
“Baik! Keajaiban, segera datang—!”
Acolyte menggenggam lambang suci yang telah menggantung di antara dadanya yang bergoyang, keringat mengaliri pipinya yang tidak berdarah seraya dia mengumbar kalimat keajaibannya sekali lagi. “O dewa angin yang datang dan pergi, berkahilah jalan kami dengan senyummu!”
Uang membuat dunia berputar, begitu pula para pengelana. Dewa Perdagangan mengawasi kedua hal itu. Beliau mengirimkan angin baru yang menghembus masuk ruang makam, mengusir aroma barjamur yang mengisi ruangan.
“H-hraaaahhh! Graaahhh!” Lizardman berteriak.
“TOOTLOR!!”
Sang troll mengangkat pentungannya. Senjata mereka berdua saling berbenturan.
Warrior Priest, rambutnya telah menjadi berantakan, menyiapkan senjatanya untuk menyerang kaki sang troll.
“Te-terima ini! Ayo sama-sama sekarang!”
“Ayo!”
Kapak suci dan pedang bergerigi yang menyayat daging dan otot tanpa ampun.
“TOORL?!”
Terdapat cipratan darah dan jeritan yang memekikkan telinga dari sang troll, dan teriakan dari kedua warrior yang terdengar di keseluruhan ruangan.
Tidak satupun dari ini yang dapat mengubah fakta yang sangat menyuramkan dari situasi mereka.
Semua luka yang mereka hasilkan pada sang troll merupakan luka yang sangat kecil. Dan tiga melawan dua telah berkurang menjadi dua melawan satu—atau mungkin lebih tepatnya, lima melawn satu telah menjadi empat melawan sebelas.
Tanpa seorang mage, party mereka tidak memiliki kesempatan untuk melakukan serangan mematikan. Akan tetapi, pada saat yang sama, jalan keluar mereka telah terpotong dan mereka tidak dapat melarikan diri. Dapatkah mereka melakukan sesuatu untuk merubah keadaan saat ini?
“Sial… Sial! Sialan!”
Air mata mulai membasahi mata Warrior Priest dan mengaliri wajahnya. Dia dan Lizardman bertarung layaknya seekor singa, namun pada akhirnya mereka akan mencapai batasan mereka.
Tidak ada rasa takut. Hanya penyesalan.
Jika mereka memiliki dark elf itu untuk menjaga belakang mereka, mungkin mereka tidak akan di sergap. Akan tetapi, jika mereka melakukan itu, maka mereka tidak akan mempunyai cara yang bagus untuk menyerang sang troll. Pada akhirnya, warrior wanita itu berpikir, hasilnya akan sama saja.
Warrior Priest sangat mengerti bahwa tidak ada jika di dalam pertarungan. namun entah mengapa rasa penyesalan itu semakin terasa pedih. Di manakah mereka telah salah? Mengapa semua menjadi seperti ini? Dia membenci semua pertanyaan yang tidak dapat dia jawab.
“Grr…!”
Korban kedua yang gugur dalam pertarungan adalah sang dark elf thief. Dia menghentikan goblin yang pertama, membunuh goblin yang kedua, mengubur yang ketiga—namun kemudian sebuah belati goblin menggesek pipinya. Kenyataan bahwa dia menyadari sebuah cairan yang tidak di kenal yang melapisi belati itu adalah racun, mungkin adalah sebuah bukti bahwa dia adalah seorang dark elf.
Dengan tangan yang bebas, dia meraih ke belakang untuk mengambil sebuah botol dari ikat pinggangnya. Sebuah antiracun.
“GRORB!”
“GROB! GRRRORB!!”
Para goblin, tentunya, tidak akan memberikannya kesempatan untuk meminumnya. Mengandalkan jumlah mereka, mereka menerjang tanpa kepadanya tanpa gentar. Gerakan sang dark elf mulai melambat, dan kemudian…
“Grgh—hagh!”
Dia di kerumuni, di seret di lantai, dan di sana para goblin membedahnya nyawanya melayang.
“Ahhh!” Lizardman tentunya mendengarkan jeritan sang Acolyte.
“Hei, kamu tidak apa-apa?!”
Adalah sebuah tindakan yang ceroboh. Akan tetapi, siapa yang dapat menyalahkannya? Kecantikan sang acolyte itu menjadi bahan bakar untuk menyemangati kegemaran bertarung para lizardman.
Dalam sekejap, dia melihat sebuah pentungan di angkat, dan turun mengarahnya, dan tidak mungkin dapat di hindari.
Seekor troll terlahir dengan kekuatan yang dapat merobohkan sebuah pohon; kemampuan penyembuhan mereka juga begitu kuat. Sedangkan untuk senjata, pentungan cukup kuno—namun sangatlah kuat.
Makhluk ini sangatlah kuat, seekor musuh yang patut di takuti. Apakah hal itu tidak cukup? Mereka memiliki rekan yang bagus, dan ini adalah musuh yang bagus. Sungguh indahnya kehidupan.
Apakah troll ini akan memakan jantungnya?
Hanya itulah penyesalannya. Namun walaupun juga troll tersebut tidak memakannya, mayatnya akan membusuk dan kembali dalam putaran besar.
Jika begitu, apa lagi yang dapat dia katakan pada penghujung kehidupannya?
“—Luar biasa!”
Tengkorak warrior lizardman itu terbenam di dalam armor dadanya, dan dia telah mati. Kematiannya seolah tampak seperti kepalanya telah di penggal, namun mayatnya terjatuh tanpa banyak cipratan darah. Senjatanya terlepas dari tangannya dan berdenting di lantai.
“Ti—“
Acolyte melihat semuanya. Dia berdiri terbengong dengan matanya yang melongo, dan dengan segenap jiwanya, sebuah jeritan memekikkan keluar. “Tidaaaaaaaak! Ini mustahil! Nggak mungkin…!” Dia berniat berlari menuju rekannya yang telah gugur.
“Jangan bodoh! Sudah terlambat sekarang!”
Itu hampir membuatnya berlari mengarah troll tersebut.
Jeritan itu sangatlah cukup untuk mendapatkan perhatian dari sang monster dan para goblin juga. Senyum hina pada wajah mereka sangat jelas menggambarkan imajinasi mereka dalam pikiran dangkalnya.
“Ba-bajingan—!”
Warrior Priest memberikan teriakan terbata-bata sebelum dia menerjang musuh.
Jika dia memiliki niatan untuk melarikan diri, dia mungkin bisa saja melakukannya. Jika dia berniat meninggalkan Acolyte, dia dapat kembali pulang dengan selamat.
Namun, semuanya menjadi sia-sia: segalanya, dari saat dia terlahir hingga saat ini. Semua latihan itu. Semua temannya. Mimpinya. Masa depannya.
Dia sangat memahami itu semua. Akan tetapi, di dalam pikirannya, pilihan untuk tidak melakukan apapun itu tidak pernah ada.
“Minggir!”
“Ah!”
Dia mendorong Acolyte ke samping. Ekspresi terakhir yang di lihat wanita muda itu pada wajah Warrior Priest adalah ekspresi seorang gadis yang telah kehabisan tenaga.
Kemudian dengan suara remuk, Warrior Priest menghilang, satu-satunya yang di tinggalkan Warrior Priest adalah cipratan darahnya yang menempel pada pipi Acolyte. Pada bagian bawah pentungan yang sekarang tergeletak di lantai, hanya terlihat beberapa helai rambut dan sesosok tubuh yang menggeliat.
Pada bagian atas pentungan, beberapa cipratan darah, dan beberapa cuil daging yang menempel.
“Ah—ahh—ah—ah—“
Kaki Acolyte bergetar, dan tenaganya menghilang. Dia bahkan hampir tidak sanggup berdiri kembali. Dia merasakan sesuatu yang hangat dan lembab mengalir di antara kakinya.
“GRRROR…!”
“GROB! GROB!”
Satu persatu, langkah demi langkah, para goblin mendekati secara perlahan. Mata kuning hina mereka membara dengan niat-niat jahat; Tatapan menjijikkan mereka menatap tubuh Acolyte secara keseluruhan, yang sekarang terduduk, dan hanya bisa mengayunkan tangannya mengarah para monster yang mendekat.
“Ja-jangan! Hentikan—tolong hentikan…!”
Dia melawan dan melawan.
Salah satu goblin memberikan lambaian tangan jengkel kepada penjaga mereka, troll.
“GROB!”
“TOOOORLL!”
Whuuush. Satu ayunan pentungan. Semudah mematahkan sebuah ranting.
Terdengar suara retak pada kaki Acolyte yang patah, bengkok pada arah yang tidak sewajarnya.
“Eeeyyaaaaarrrrrgggghhhh!!?!?!?”
Jeritan menyedihkannya bergema di keseluruhan ruang makam.
Hanya butuh waktu sekejap bagi para goblin untuk menyeret Acolyte.
Betapa menyedihkan bagi dia dan temannya, petualangan mereka berakhir di sini.
*****
Mari kita ulangi kembali. Kita harus menjelaskan kesalahan yang telah mereka buat.
Mereka memiliki peralatan yang lengkap. Party mereka sangat seimbang.
Mereka selalu waspada dan siaga, dan mereka tidak membiarkan apapun merusak formasi.
Akan tetapi, mereka telah dihancurkan. Mengapa?
Sang dewa Kebenaran, bersemayam di surga, tersenyum dan berkata:
“Karena aku sedang ingin menghancurkan sebuah party hari ini.”
*****
O petualang, O kisah perjalananku
Apakah naga atau seekor golem yang menungguku
Ataukah mungkin hantu dari seorang knight?
Dan tentunya terdapat benda legendaris di suatu tempat
Dengan hanya bermodalkan obor dan sebuah tombak
Dan sebuah tongkat, kehidupan sangatlah mudah.

Timur maupun barat,  daku menyebrangi jembatan
Mungkin untuk dapat mati di sisi yang lain
Namun daku hanya mencari cinta
Seorang permaisuri akan daku syukuri, namun daku tidak berharap lebih
Hanya satu malam yang penuh kenyamanan
O petualang, O kisah perjalananku!

Sebuah party beranggotakan enam orang, pergi menuju sebuah tempat yang berfungsi sebagai fasilitas latihan, di temani oleh Priestess yang bersenandung sebuah lagu. Dulu, terdapat sebuah desa kecil di sini, namun tempat ini sekarang telah di penuhi dengan tenda dan orang-orang yang sedang menyibukkan diri.
Beberapa dari mereka yang ada di sini memiliki sebuah tanda akan luka lama dalam tubuh mereka; mereka pastinya adalah seorang petualang yang telah pension. Apakah mereka bahagia bahwa masih terdapat pekerjaan untuk mereka bahkan setelah mereka berhenti berpetualang? Ataukah mereka merasa frustrasi karena harus bekerja walaupun telah pension?
Priestess tidak dapat mengetahuinya, dia menoleh dari satu orang menuju orang berikutnya. Kemudian dia melihat seorang wanita yang datang mengarah padanya, dan Priestess berkedip.
Adalah seorang elf. Seorang elf yang sungguh cantik, tubuhnya yang sensual di lapisi dengan pakaian yang menonjolkan bentuk tubuhnya. Sebuah aroma samar akan parfum yang mengambang seraya wanita itu lewat, menandakan bahwa wanita itu adalah seorang pelacur.
“Whoa…” Seorang bocah menghela. Tampaknya, Priestess bukanlah satu-satunya yang terpukau pada elf itu.
Satu lirikan kecil mengarah High Elf Archer memperlihatkan wajah sang elf yang memerah; High Elf Archer mengalihkan pandangannya dan berusaha untuk berpura-pura tidak mengetahui.
Priestess merasa lega mengetahui bahwa Goblin Slayer tampaknya tidak memiliki reaksi yang khusus; Priestess berusaha menekan pipinya yang tersipu.
“Ka-kamu tahu. Aku mendengar rumor, tapi…”
“Ha-ha-ha-ha. Pria itu sungguh makhluk sederhana, bukankah begitu?” Lizard Priest berkata dengan tawaan lebar, menepuk ekornya pada tanah. “Ketika ada suatu cara untuk menghabiskan uang, maka mereka akan menghabiskannya layaknya meminum air. Dan mereka akan bekerja untuk dapat menghasilkan uang yang lebih banyak, dan menghabiskannya kembali.”
“Yeah,” High Elf Archer berkata, melirik pada sang Dwarf Shaman yang berada di sampingnya. Hampir tampak seperti sebuah sihir, Dwarf Shaman mengeluarkan sebuah sate daging dari suatu tempat dan mengunyah dengan lahap. “Aku paham apa maksudmu…”
“Sikap sok bangsawanmu itu yang membuatmu sulit untuk menikmati makanan pinggir jalan.” Dwarf Shaman berkata seraya mengunyah. Dia menghabiskan keseluruhan sate dengan begitu lahap dan kemudian mematahkan tusuk sate itu menjadi dua. Dia menjilat minyat yang menempel di jarinya kemudian menghela dan menatap tubuh High Elf Archer yang kurus. “Aku tahu elf tidak suka gemuk, tapi apa kamu nggak bisa tambah sedikit daging di tulangmu, kalau kamu tahu maksudku…”
“…Hmph!” Aku benci itu! Asal tahu saja ya, para elf itu—“
Dan merekapun kembali berdebat seperti biasanya. Anggota party yang lain menganggap ini adalah hal yang sudah lumrah, namun Wizard Boy belum terbiasa dengan semua ini. Dia menarik lengan baju Priestess, terlihat sedikit panic. “Er, uh, h-hei. Apa nggak sebaiknya kita melerai mereka?”
“Oh, mereka teman baik kok.” Priestess berkata dengan senyuman.
Wizard Boy melihat kepada perkelahian mereka, dan tidak mempercayainya. Orang yang berlalu lalang melihat mereka namun tampaknya mereka tidak begitu mempedulikannya; adalah hari yang biasa bagi kebanyakan petualang.
Wizard Boy melihat kepada Goblin Slayer, namun Goblin Slayer tampak tidak terpengaruh sama sekali, dan Lizard Priest pun juga sama.
“Benar sekali. Ah tolong berikan saya ini.” Lizard Priest berkata. Tampaknya dia sedang membeli sesuatu dengan keju di atasnya. Dia memakannya dengan satu teguk dan berkoar, “Madu! Mm, madu manis. Jika seseorang bertanya kepada saya tentang apa yang saya nikmati di hidup ini, saya tidak akan ragu menjawab : Ini dia.”
Benar-benar berkilau (ya, kaum lizardmen dapat berkilau), dia mengangguk dengan riang. “Saya rasa, seperti lagu yang sering terdengar, sebuah malam yang mencintai seorang petualang, bukanlah sekedar malam biasa.”
“Yah, uh, aku mengerti itu, tapi…”
Ibunda Bumi adalah dewi panen dan berhubungan dekat dengan pernikahan dan persalinan. Priestess menghela dan menggeleng kepalanya, mencoba untuk menjernihkan pikirannya untuk sesaat.
Itu karena, terdapat pekerjaan serius yang harus di lakukannya. Dia harus fokus.
Dia menggenggam tongkat dengan kedua tangannya dan menghela napas dalam. Dia mengulangi kembali prosedur yang harus di lakukan di kepalanya. Baiklah.
“Er, kalau begitu, pak Goblin Slayer, ayo pergi?”
“Ya.” Dia mengangguk singkat, mengundang sebuah senyum kecil dari Priestess. Tampaknya Priestess telah benar: tidak ada masalah dalam langkah pertamanya.
“Mantap! Jadi kita akan pergi langsung mencincang pantat goblin ya?” Priestess tidak mengetahui secara pasti apa yang di pikirkan Wizard Boy, bocah itu mengetuk lantai bersemangat dengan tongkatnya.
“Erm, sayangnya masih belum…” Priestess berkata.
“Jangan bodoh.” Goblin Slayer berkata, lebih blak-blakan di banding Priestess. “Kita harus mengumpulkan informasi. Kita akan pergi menemui pemohon quest.”
*****
Pertama, kita harus memperhatikan kemampuan mereka.
Kekuatan Wizard Boy dan kemampuan Priestess untuk memberi perintah. Adalah kesempatan sempurna untuk mengetahui kedua hal tersebut.
Tidak ada yang keberatan dengan proposal Goblin Slayer, dan tidak lama kemudian party mereka berangkat dengan bocah berambut merah yang mengikuti.
Quest kali ini datang dari seorang mandor yang mengetuai pembangunan fasilitas latihan, seorang sosok penting di dalam Guild Tukang kayu. Dia duduk di sebuah tenda di ujung area pembangunan, seorang dwarf dengan jenggot hitam yang tampak sangar seraya dia memahat sebuah batu.
Dia menuangkan sesuatu dari sebuah gelas cantik ke dalam suatu mangkuk dan menawarkannya kepada mereka sang petualang. Adalah sebuah anggur dingin, dan terasa begitu nikmat di tenggorokan mereka yang kering setelah banyak berbincang-bincang.
“Mane fire winenye, kawan?” Dwarf Shaman berkata.
“Bloon. Cume pare dwarf nyang bise minum di tengah hari dan tetap bekerje. Temanmu itu manusie kan ye, kawan?”
Setelah pertukaran ini, Dwarf Shaman dan mandor bertukar salam dengan bahasa dwarf. Semua terjadi dengan tiga sulang gelas. (TL Note : Di dalam translate inggrisnya, percakapan dwarf shaman dan mandor menggunakan logat Australia atau british, jadi saya di sini coba pake logat betawi. Walaupun saya sendiri bukan betawi hehehe…)
“Untuk jenggot panjang para dwarf,
untuk dadu para dewa,
untuk petualang dan monster!”
Mandor mengelap beberapa tetesan dari jenggot hitamnya dan berkata, “Baiklah kalau begitu. Beberapa hari yang lalu, sebuah party yang cukup terkenal mengambil quest ini.”
Goblin Slayer meneguk anggur dan menyela, “Dan mereka nggak pernah kembali.”
“Benar.” Sang mandor menjawab datar.
Dia sedang berhadapan dengan petualang tingkat Silver, dan lagi dirinya sendiri adalah seorang dwarf, kaum yang di cintai oleh besi dan api. Sangatlah tidak mungkin untuk tidak mengenal pria yang ada di depannya, dengan semua perlengkapan unik petualang itu.
“Kamu yang mereka panggil Beardcutter,” dia berkata.
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk pelan. “Beberapa orang menyebutku seperti itu.”
“Goblin Slayer…” sang mandor berkata pelan, kemudian dia tersenyum dan menghabiskan gelas yang di genggamnya dengan satu tegukan seolah sedang meminum air. “Apa yang mau kamu ketahui?”
“Goblin.”
“Yeah, mungkin nggak Cuma goblin aja, walaupun mereka berjumlah banyak sekali.” Sang mandor melipat kaki dan tangan berototnya, mendengus, menunjukkan sebuah gigi taring yang tajam. Goblin terkutuk itu. “Untuk saat ini mereka cuma mencuri peralatan… yah walaupun nggak ada sekedar ‘Cuma’ dalam lokasi konstruksi, tapi, akan menjadi masalah kalau mereka mulai melukai seseorang.”
“Jadi memang goblin.”
“Aku kenal banyak pekerja yang tidak berpenghasilan banyak. Dan aku juga tahu bahwa pekerjaan goblin tidak menghasilkan banyak uang.”
“Ya. Kurang lebih seperti itu.” Goblin Slayer mengangguk.
“Hei, Orcbolg…” High Elf Archer menyikutnya dengan siku. Sang mandor mengernyit karena pecakapannya telah di ganggu oleh seorang elf, namun dia tidak berkata apa-apa. Dia sangat memahami bahwa setiap petualang memiliki caranya sendiri.
“Kenapa?” Helm itu berputar kepada sang elf dengan pertanyaannya yang datar.
Sang elf mengepak telinganya dan berbisik. “Semua baik-baik saja sih, tapi kamu nggak lupa kalau gadis  itu yang memberikan perintah hari ini kan?”
“Aku nggak lupa.”
“…Kamu yakin?”
“Tetapi, aku akan ambil alih jika keadaan mendesak.”
“Ya, tolong. Aku sangat menghargai itu.” Priestess berkata dengan senyuman dan kepala menunduk. “Itu akan jauh lebih aman.”
Ini adalah benar-benar apa yang di rasakan oleh Priestess. Dia akan jauh lebih senang dirinya di anggap tidak kompeten di bandingkan harus melihat partynya terbantai karena kesalahannya. Kemampuan akan meningkat seiring pengalaman, namun rekan yang telah gugur tidak akan dapat di hidupkan kembali.
Memperhatikan Goblin Slayer dan Priestess, sang mandor dwarf menghela kagum.
“Kalau begitu, um.” Priestess memulai.
“Ahem. Apa yang bisa aku lakukan untukmu, gadis?”
“Terima kasih pak. Kalau kamu nggak keberatan, sekarang aku yang akan bertanya.” Dia mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap matanya.
“Goblin ini…er, monster apapun mereka. Bisakah kamu menjelaskan reruntuhan yang mereka tinggali?”
“Bisa. Salah satu dari orang bodoh yang barangnya telah di curi, merasa marah dan berusaha mengikuti mereka, tapi aku menghentikannya.” Sang mandor mendengus, tampaknya dia lebih marah kepada tukang kayu yang telah kehilangan barangnya ketimbang goblin yang mencurinya.
“Para dwarf memang seperti itu.” Dwarf Shaman berkata dan berbisik kepada Priestess. “Kami tidak suka dengan seseorang yang tidak bisa menjaga peralatannya.”
Masuk akal. Priestess mengangguk. “Kalau begitu, kita harus mengembalikan peralatan apapun yang kita temui.” Dia berkata.
“Aku hargai itu,” sang mandor berkata, wajahnya melembut menjadi senyuman. “Dan mungkin orang bodoh itu akan lebih hati-hati di kedepannya.”
Ah, bagus. Priestess bersorak bangga di dalam hatinya. Kamu harus memiliki hubungan yang baik dengan pemohon quest dan warga lokal lainnya. Adalah sebuah pikiran yang terlintas di kepalanya, dan itu juga salah satu pedoman party Goblin Slayer. Para petualang tidak akan bisa berhasil tanpa adanya dukungan dari orang lain.
“Tempatnya arah utara sedikit dari sini. Aku bisa buatkan peta untukmu. Aku rasa tempat itu adalah—“
“Mausoleum.” Goblin Slayer memotong. Dia meneguk satu gelas anggur lagi dan melanjutkan. “Aku dengar itu tempat penguburan umum, sebuah kumpulan ruang makam yang di hubungkan dengan jalan.”
“Kamu tahu?”
“Dulu.” Goblin Slayer berkata pelan. “Aku di peringati untuk nggak mendekatinya.”
Kemudian dia terdiam kembali. Priestess berkedip melihat Goblin Slayer.
Dulu.
Jika sekarang Priestess memikirkannya, dia telah menghabiskan setahun penuh di sisi Goblin Slayer, akan tetapi, dia hampir tidak mengetahui sama sekali masa lalu pria itu.
Dia punya kakak perempuan. Dia telah menjadi petualang selama lima atau enam tahun. Dia membasmi goblin.
Priestess sudah mengenal beberapa karakteristik pria itu, seperti bagaimana baik dan perhatiannya pria itu kepada orang lain, namun sebenarnya seberapa banyak yang Priestess ketahui tentang pria itu?
“…”
Nggak, sekarang bukan waktunya. Priestess menggeleng kepalanya. Dia tidak boleh melalaikan tugasnya sebagai ketua dari quest pembasmian goblin yang sedang mendekat.
“Ahem.” Priestess berkata. “Jadi apa ada hal yang aneh tentang pintu masuk ke dalam mausoleum itu? Tulang atau lukisan atau apapun itu?”
“Orang bodoh itu nggak bilang hal semacam itu, itupun kalau kita berasumsi dia lupa untuk melihatnya.”
Nggak ada totem kalau begitu.
Priestess mengetuk jari telunjuknya pada bibir dan bergumam, “Baik, baik.”
Itu artinya tidak ada kehadiran shaman apapun, sebuah kelas yang lebih tinggi. Tentu saja, setahun berpetualang telah membuatnya sangat menyadari bahwa mereka bukanlah satu-satunya ancaman. Adalah sangat penting untuk tidak meremehkan musuh.
Jadi sekarang, apa yang terpenting adalah…
“Apa kamu mengetahui tingkat dan komposisi party yang pergi sebelum kami?”
“Aku nggak ingat siapa yang tingkat apa, tapi mereka campuran dari Porcelain dan Obsidian. Untuk kelas mereka, ini cuma berdasarkan apa yang aku lihat—“
Sang mandor melipat tangan dan menatap langit-langit tendanya. Dia menggali ingatannya, seraya dia menghitung dengan jarinya.
“Seorang lizardman warrior dan cleric—warrior priest. Kemudian ada wizard, cleric lagi, dan semacam thief atau assassin.”
“Apa ada wanita di antara mereka?”
“Ada dua. Warrior Priest dan cleric—atau, er, mungkin dia apa yang kalian sebut acolyte?”
Sesuatu yang dingin menghembus perut Priestess: itu artinya ada kemungkinan mereka berdua masih hidup…paling nggak.
Priestess menggigit bibirnya, tidak mempunyai pilihan lain selain menerima fakta yang ada.
“Apa kamu memiliki potion cadangan yang bisa di berikan?” Priestess bertanya. “Tentu saja, kami akan membayarnya.”
Mereka telah melakukan persiapan sebelumnya, tentu saja, tidak ada salahnya untuk memiliki lebih banyak benda penyembuh. Kemampuan untuk menyembuhkan tanpa menggunakan sebuah keajaiban sangatlah di perlukan.
“Oke, nggak masalah,” sang mandor merespon dengan baik. “Ada lagi yang kalian butuhkan?”
“Hmm… Yah, kalau ada dokter di sekitar sini, tolong minta mereka untuk tunggu di sini…”
Seraya mereka terus berbicara, Goblin Slayer bergumam pelan “Hrm” dia berputar mengarah Lizard Priest. “Bagaimana menurutmu?”
“Saya rasa keputusan beliau sangat tepat,” jawab Lizard Priest, yang tidak ikut campur dalam percakapan hingga detik ini. “Dua jika memungkinkan. Namun saya cukup yakin mereka semua telah di hancurkan.”
“Ap—?!” Wizard Boy menganga mendengar deklarasi Lizard Priest yang sangat fasih. Mata reptile Lizard Priest berputar dan menatap pada sang wizard.
“Ada apa?”
“Ng-nggak…”
“Mm. benarkah? Oh puji Tuhan ada keju. Sungguh orang-orang yang sangat baik. Mohon permisi.”
Lizard Priest menghiraukan tatapan terheran sang bocah dan menjulurkan tangan bersisiknya. Dia mengambil sebuah piring di dekat Priestess dan dengan senang hati mengunyah apa yang ada di atasnya. Adalah keju, tampaknya di hidangkan dengan anggur sebagai sampingan. Sebuah senyum menghias rahang besarnya.
“Ahh, madu, madu manis! Mmmm. Apakah keju ini juga berasal dari kebun anda, tuanku Goblin Slayer?”
“Kemungkinan.”
“Sempurna!”
Dia tampak sungguh tidak terusik. Bagi kaum lizardman, adalah hal yang sewajarnya bagi semua makhluk hidup untuk mati di suatu hari. Cepat atau lambat, momen tersebut akan datang. Mereka mungkin memiliki jalan hidup yang berbeda; beberapa mungkin lebih kuat dari yang lainnya; dan beberapa akan mati dengan caranya sendiri. Namun hanyalah itu perbedaannya.
Lizard Priest menelan sebongkah keju dan kemudian menjilat ujung hidung dengan lidahnya.
“Mungkin kita harus waspada dengan adanya kemungkinan makhluk lain selain goblin di sana.” Lizard Priest berkata.
“Ya.” Goblin Slayer menyetujui. “Tapi kalau nggak ada totem, itu artinya kemungkinan besar nggak ada shaman.”
“Biarpun begitu, para petualang itu nggak berhasil kembali. Aku harap nggak ada Paladin lainnya.”
“Hob akan lebih mudah untuk di atas.”
“Atau makhluk Tak Berdoa lainnya.”
“Apapun itu, jebakan adalah yang paling berbahaya.”
“Mausoleum tentunya terbuat dari batu. Mungkin mereka tidak akan muncul dari balik dinding kali ini.”
“Mereka mencuri beberapa peralatan konstruksi, tapi bukan alat untuk menggali tanah. Aku rasa kita akan berhadapan sekitar dua puluh goblin.”
“Namun, Saya pikir kita dapat berasumsi bahwa jumlah mereka telah berkurang. Saya rasa tidak mungkin bagi petualang sebelum kita untuk tidak dapat membunuh satupun goblin.”
“Walaupun begitu, kita nggak punya waktu. Kalau mereka sudah bosan dengan tangkapannya, mereka akan datang menyerang.”
“Kalau begitu, kita harus menghabisi mereka secara sekaligus. Apa menurutmu kita bisa melakukannya?”
“Itu akan tergantung dari keputusan gadis cleric kita.”
“Biarpun begitu.”
Percakapan yang terjadi di antara mereka berlalu dengan begitu cepat hingga membuat sang bocah berkedip bengong.
Ketangguhan warrior lizardman sudah sangatlah terkenal, namun sang bocah tidak pernah melihatnya secara langsung. Dan kemudian terdapat petualang lainnya yang sedang berbicara kepada sang lizardman, dengan armor kotor dan helm yang terlihat murahan. Dia adalah apa yang mereka sebut sebagai orang paling baik di perbatasan.
Namun terdapat perbedaan besar, antara mengetahui sesuatu dan melihatnya secara langsung. Oleh karena itu ketika sang bocah mendengar High Elf Archer menguap mengantuk, sang bocah melotot mengarah sang elf.
“…Kamu ini kenapa sih?” Tanya sang bocah. “Apa kamu nggak menyumbang sesuatu di sini?”
“Kalau waktunya tiba.” High Elf Archer berkata. Dia mengelap air mata di ujung matanya, dan telinganya berkedut. “Aku ini seorang scout dan ranger. Aku akan biarkan orang lain tangani hal lainnya.”
“Dia benar soal itu, bocah.” Dwarf Shaman memotong. Dwarf Shaman tampak sedang memegang cangkir; dia menuangkan fire wine dari botol yang ada di pingguolnya.
“He-hei, kita ini akan memulai petualangan tahu!”
“Jangan bodoh bocah. Seorang dwarf yang nggak mabuk itu bagaikan batu yang ada di pinggiran jalan.” Kemudian dia batuk. Bahkan dari tempat Wizard Boy berdiri, dia dapat mencium bau alkohol dari napas sang shaman. “Sekali-sekali, aku setuju dengan Telinga Panjang. Pembaca mantra harus dapat mengatur emosinya.”
“Kamu nggak perlu bilang sekali-sekali,” High Elf Archer berkata dengan dengusan. “Aku selalu berkata hal-hal yang paling cerdas dan mutakhir.”
“Serius?”
“Serius.”
Tiba-tiba, Dwarf Shaman tampak kehabisan kata-kata. Dia membuka mulut untuk menjawab namun kemudian menyadari ekspresi tidak percaya sang bocah.
Dwarf Shaman membersihkan tenggorokannya sekali. “Bagaimanapun juga, kita semua punya peran masing-masing.” Dia berkata.
“Peran?” sang bocah berkata, penuh curiga. “Maksudmu seperti dia yang warrior dan aku yang wizard?”
“Nggak! Nggak begitu juga!” Dwarf Shaman berkata, mengayunkan tangannya seolah seperti mengusir lalat. “Beardcutter dan Scaly di sana adalah petarung baris depan kita, jadi mereka yang akan memutuskan strategi terlebih dahulu.”
“Gadis itu yang bertanya sekarang karena kami keputusan kami.” High Elf Archer berkata, menggambar lingkaran di udara dengan jari telunjuknya. “Biasanya gadis itu yang mengurus barang bawaan, memastikan persediaan kami, dan semacamnya.”
“Kamu seharusnya bisa sedikit lebih rajin juga, Telinga Panjang.”
Telinga High Elf Archer menegang kebelakang, dan menggerutu marah, namun Dwarf Shaman hanya menyentuh pundak sang bocah.
“Lihat baik-baik, bocah,” dia berkata. “Ingat ini.”
“…”
Wizard Boy memperhatikan Dwarf Shaman tanpa berkata-kata kemudian menyingkirkan tangan yang ada di pundaknya. “Membawa barang bawaan artinya melakukan semua tugas kecil kan?”
High Elf Archer tertawa kecil melihat Dwarf Shaman di kucilkan, namun Dwarf Shaman Tertawa terbahak-bahak.
Ketika Priestess telah selesai melakukan percakapannya, party mereka pun saling bertukar pikiran dan berdiskusi. Sang bocah memperhatikan mereka dengan seksama dari salah satu sisi tenda.
“…Kalau kamu bisa membantai beberapa goblin, apa itu nggak cukup bagus?” dia bergumam, begitu pelan sehingga tidak satupun dari mereka yang mendengar.
*****
Mausoleum terkubur di antara beberapa bukit kecil dengan mulut pintu yang menganga lebar. Di atas pintu masuk adalah sebuah bukit kecil yang di penuhi dengan rumput dan pepohonan; apakah bukit tersebut di buat di atas pintu masuk atau pintu masuk itu di gali dari bukit, adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat di jawab. Mausoleum ini sudah begitu usang di makan oleh waktu.
Adalah lewat tengah hari ketika para petualang tiba. Mereka telah kehilangan cahaya [aginya, matahari telah melewati puncaknya, kini cahayanya menyinari lahan dengan miring. Senja akan segera datang, dan kemudian semua akan di telan oleh kegelapan.
Kesempatan sempurna.
“Aku mengerti sekarang.” High Elf Archer berkata kepada Goblin Slayer dengan tawaan, telinganya berayun penuh rasa ingin tahu. “Ini pasti tempat yang anak kecil suka datang untuk bermain.”
“Ya. Itulah kenapa aku di larang datang ke tempat ini.”
“Tapi kamu pasti tetap mendatanginya.” Dwarf Shaman berkata sambil menyengir, seolah mengharapkan sebuah kisah kenakalan masa muda Goblin Slayer. Dia menyikut Goblin Slayer untuk menegaskannya.
Goblin Slayer berusaha menggali ingatannya yang kabur, berusaha mengingat hari yang telah lampau. Adalah lebih dari sepuluh tahun yang lalu—tidak, tepat sepuluh tahun yang lalu, dan dia bukanlah orang yang sama.
“…”
Apakah dia pergi ke sana? Dia tidak dapat mengingatnya.
Namun dia meragukannya. Jika dia melakukannya, dia akan mendapatkan omelan dari kakak perempuannya. Dia paham bahwa merepotkan kakaknya adalah perbuatan yang salah. Oleh karena itu dia tidak pergi ke dalam mausoleum. Mungkin.
“Lupakan saja.” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala.
“Baiklah.” Dwarf Shaman berkata pendek. “Kalau begitu kamu nggak bisa memberi tahu kami apa yang ada di dalam ya?”
“Aku di beri tahu di bangun banyak jalan dan ruang kubur.” Ya. Goblin Slayer mengangguk. Dia mengingatnya sekarang. “Itu apa yang di katakan kakakku.”
Kakaknya memberi tahu dirinya karena dia ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya. Kakaknya mencari tahu makan siapa yang ada di dalam dan memberi tahunya.
Itulah mengapa dia tidak pergi ke dalam ataupun berada di dekatnya.
Goblin Slayer sangat berharap untuk dapat mengingat semuanya. Dia tidak ingin melupakannya.
Namun sekarang ingatannya layaknya sebuah baju penuh lubang. Detil terperincinya telah hilang, dan semuanya menjadi ambigu.
Sepuluh tahun—siapa yang menyangka dulunya terdapat desa di sana.
“Apapun itu, itu sudah lama sekali.” Goblin Slayer berkata. Kemudian mengganti subyek pembicaraan dengan paksa. “Jadi bagaimana menurutmu?”
“Hmm… Yah, nggak ada totem, dan nggak ada penjaga juga.” Priestess menjawa. Dia mengetuk bibir dengan jarinya, memperhatikan reruntuhan yang berada di depannya.
Di dekat pintu masuk, dia melihat tumpukan sampah yang merupakan karakteristik dari lubang goblin. Namun hanya itu saja. Dia tidak melihat adanya simbol binatang yang para goblin sembah.
Paling nggak kita bisa cukup yakin nggak ada shaman sama sekali…
“Ayo, tunggu apa lagi! Petualang lainnya di sandra mereka kan?!”
Priestess merasakan degupan kecil di hatinya ketika mendengar terikan sang bocah.
Dia persis seperti aku setahun yang lalu.
Priestess sudah begitu merasa siap untuk ikut ketika sang bocah, monk, dan wizard berkata. “Ayo cepat dan selamatkan orang-orang itu!”
Priestess masing mengingat hasil akhir yang terjadi. Walaupun dia sendiri ingin melupakannya. Kenangan itu menghantui mimpinya.
Lalu bagaimana dengan dirinya yang sekarang? Dia masih cemas, pengecut dan penakut, namun…
“Mohon tunggu.” Adalah Lizard Priest yang menyodorkan tangan bantuan kepada Priestess seraya Priestess berdiri di sana hanyut dalam pusaran pikirannya sendiri. Tangan bersisi, dan bercakar menepuk pundak Priestess. “Pepatah mengatakan ‘Takkan lari gunung dikejar, hilang kabat tampaklah dia’.” (TL Note : Mungkin pribahasa ini tidak 100% cocok dengan apa yang ada pada LN inggrisnya, tapi ini pribahasa yang menurut saya paling dekat artinya.)
“Baik…” Priestess mengangguk. Tenang. Jangan terburu-buru. Harus tepat.
Pertama, mereka harus…melakukan pemeriksaan terakhir pada perlengkapan mereka.
“Semuanya, apa perlengkapan kalian baik-baik saja?” dia bertanya, memeriksa perlengkapannya sendiri seraya bertanya.
Priestess memiliki tongkatnya, dan dia menggunakan baju besinya. Di dalam tasnya terdapat beberapa potion, begitu juga perlengkpan petualangannya. Tidak boleh melupakan itu.
Terdapat berbagai macam benda yang terdapat di dalamnya. Baju, tali, paku, palu, kapur, lilin dan lain-lain.
Nggak boleh ketinggalan.
Ini adalah bagaimana cara dia selalu memulai, namun Priestess merasa senang karena tidak ada yang mempertanyakan pemimpin sementara mereka.
Armor kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan, pedang dengan kepanjangan yang aneh, dan sebuah perisai bundar, bersama dengan tas yang berisi berbagai macam barang.
Seraya Goblin Slayer memeriksa perlengkapannya sendiri, High Elf Archer mengikat kembali benang laba-laba pada busurnya. Dwarf Shaman memeriksa tasnya yang penuh dengan katalis, dan Lizard Priest menghitung berapa banyak taring naga yang dia miliki.
Hanya sang bocah yang melakukan pemeriksaan seadaanya:  dia hanya melihat tongkat dan kemudian jubahnya, itu saja.
“Dan apa yang anda ingin kami lakukan berikutnya, nona pemimpin?”
“Oh, sudahlah. Kamu pasti menikmati ini semua, aku yakin.” Priestess menggembungkan pipinya.
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ha!” Lizard Priest tertawa, rahang besarnya terbuka lebar.
“Ya ampun,” Priestess bergumam, adalah benar waktu sangatlah penting. Mereka harus memutuskan formasi mereka.
“Kita mungkin akan merubahnya berdasarkan seberapa besar jalan yang ada di sana,” Priestess berkata, “tapi karena kita berjumlah enam orang sekarang, aku rasa dua baris bertiga, atau tiga baris berdua adalah pilihan yang baik.”
Kedengarannya bagus. High Elf Archer mengangguk. Kemudian dia menunjuk pada pintu masuk, memperhatikan ukurannya. “Perkiraanku—itu kalau berasumsi jalan di dalam sama lebarnya dengan pintu masuk—tiga baris bakal bisa.”
“Hmm. Oke, kalau begitu tiga baris berdua.” Priestess berkata, kemudian menepuk tangannya. Jika jalan di dalam ternyata sedikit lebih lebar, semua akan menjadi lebih muda. “Jika terdapat ruang yang cukup untuk berjajar tiga baris, kita bisa mengubah formasi kita kalau keadaan membutuhkan.”
“Sempurna,” High Elf Archer membalas. “Nggak boleh memprotes pemimpin kita, ya kan?” Dia mengedipkan matanya dan tertawa kecil.
“Oh, sudahlah…” Priestess menghela napas. “Untuk susunan barisan kita…”
Priestess berpikir sejenak, namun pada akhirnya, memilih formasi biasa mereka. Goblin Slayer dan High Elf Archer akan berada di depan. Priestess sendiri dan bocah wizard berambut merah akan berada di tengah, sedangkan Lizard Priest dan Dwarf Shaman akan berada di belakang. Jika mereka menemui musuh di depan, High Elf Archer dan Lziard Priest akan bertukar tempat. Jika terdapat serangan dari belakang, Dwarf Shaman dan Goblin Slayer akan bertukar tempat.
Ini seharusnya bisa… Aku yakin…
“Kamu nggak akan menaruh pengguna sihir di belakang?!”
“Musuh nggak cuma menyerang dari depan tahu.” Priestess berkata, tersenyum ambigu dan menggelengkan kepalanya. Dia dari semua orang yang berada di sini, tidak dapat membiarkan bagian belakangnya begitu saja.
“Oh, dan…” dia menambahkan.
“…Apa?”
“Kita harus menyamarkan bau tubuh kita.”
Dia menepuk tangannya kembali. High Elf Archer mengernyit. Sang bocah mengeluarkan suara tidak memahami.
Terdapat tiga orang yang menggunakan pakaian yang bersih. Kebalikannya, hanya terdapat dua orang yang membawa parfum.
Dan kedua wanita itu tidak sedang ingin memberikannya.
*****
“GROB?!”
“GROOROB!!”
Para petualang memasuki mausoleum layaknya sebuah tanah longsor. Tempat beristirahat para pahlawan yang begitu rumit ini, sekarang menjadi tidak lebih dari sekedar tempat persembunyian bagi para goblin. Peti mati di balik, persembahan di curi, dan berbagai macam kotoran tersebar di lantai marmer.
Sang warrior berada di depan. Armor kulit kotor, sebuah helm baja yang terlihat murahan, pedang dengan kepanjangan yang aneh, dan perisai bundar bersama dengan obor.
“Goblin.” Goblin Slayer berkata. “Ada lima.”
Dia bahkan belum selesai mengucapkan kalimatnya ketika pedangnya terbang melayang. Bidikannya tepat; menembus tenggorokan salah satu goblin.
“GORB?!”
Mulut makhluk tersebut menganga lebar, mencoba untuk memanggil rekannya, namun alih-alih teriakan, sebuah buih darah menggelembung di dalam mulutnya. Goblin tersebut menjerit tersedak karena darahnya sendiri, mengirim beberapa cipratan darah terbang ke segala arah.
Kecepatan adalah kunci penting dalam tebas dan libas.
“Satu.”
Tentu saja, ke empat goblin lainnya tidak akan tinggal diam di hadapan pembunuh rekannya.
“GROOR!!”
“GROB! GOORB!!”
Apakah mereka memanggil bala bantuan? Tidak, adalah murni niat membunuh. Balas dendam. Mereka ingin mengeroyok para petualang, menghajar mereka, dan menodai tubuh mereka. Kepala kecil para goblin terisi penuh dengan kebencian, dan dengan belati, tombak, pentungan di tangan, mereka maju menuju para petualang…
“Jadi dua!” Tidak lama setelah suara bening itu terdengar, salah satu makhluk itu tertancap di dinding dan terkulai lemas. Tengkoraknya telah tertembus dengan panah bermata kuncup; dengan batang panah yang menancap pada otaknya, goblin tersebut kejang sekali dan kemudian mati.
Kita tidak perlu repot-repot membicarakan bahwa adalah High Elf Archer yang menembakkan panah itu. Sang archer melompat ke belakang dengan begitu anggun seraya menyiapkan panah berikutnya.
“GORO?!”
“Hrmph.”
Goblin Slayer mengangkat perisai untuk melindungi lompatan mundur sang elf, menggunakan perisainya untuk menghalau goblin yang mendekat pada saat yang sama, dia mengambil sebuah pentungan yang di jatuhkan monster itu dan menyerang tengkorak makhluk yang kurang beruntung ini.
“Tiga.”
Sang goblin mati tanpa menjerit. Goblin Slayer mengibas senjatanya untuk membersihkan otak yang menempel.
Tiga goblin mati dengan begitu cepat. Mereka telah memanfaatkan kesempatan mereka dengan begitu baik.
“Bajingan!” Salah satu anggota party mereka, jubah barunya ternoda dengan berbagai macam kotoran, berpikir bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk ikut bergabung. Dia mengangkat tongkatnya. “Carbunculus… Crescunt…”
“Jangan gunakan mantramu sekarang!” Priestess berkata tegas.
“Ap—?!” sang bocah berteriak, namun ini bukanlah waktu untuk berdebat. Menghemat sihirmu adalah sesuatu yang paling mendasar. Priestess berpikir cepat, keringat bercucur dari dahinya.
Telah lama bersama dengan grup ini, dia tidak menyangka harus memberikan instruksi terperinci di tengah-tengah pertarungan.
Mengamati keseluruhan situasi. Bahkan jika medan perang begitu kacau tidak terkendali, adalah jauh lebih baik melakukan sesuatu sekarang di banding memikirkannya nanti.
Imajinasi adalah senjata juga…seperti kata pria itu.
Semua pengetahuan yang di dapatkan Priestess hingga titik ini, banyaknya pengalaman yang dia miliki, mengiang di dalam pikirannya. Terdapat lebih dari dua goblin, mendekati mereka dengan senjata tumpul di tangan. Tidak termasuk dengan salah satu pintu yang mereka lewati, ruang kubur ini memiliki tiga pintu, satu pada masing-masing arah.
“Pintunya!”
“Siap!” High Elf Archer berkata. Seraya sang elf melewati Priestess pada saat dia mundur, sang pemimpin memberikan Perlengkapan Petualang miliknya. Baji yang terdapat di dalamnya dapat mengganjal pintu agar tetap tertutup. Adalah sesuatu yang hanya dapat di lakukan oleh High Elf Archer dengan semua kelincahannya.
“Dengan mereka berdua saja, aku rasa kita akan baik-baik saja sekarang.” Dia berkata. Itu karena, Dwarf Shaman dapat menggunakan empat mantra. Mereka akan membutuhkannya untuk menyimpan beberapa mantra untuk berjaga-jaga.
Sang bocah di beritahu sebelumnya, bahwa terkadang hal terbaik yang dapat di lakukan pembaca mantra adalah tidak melakukan apapun.
“Jika begitu sekarang, Saya harap saya mempunyai kesempatan untuk bergabung dalam pertarungan.” Lizard Priest berkata, mengayunkan ekornya.
“Musuh masih ada banyak,” Goblin Slayer menjawab.
Adalah pada momen ini mereka membutuhkan kekuatan tempur dari warrior mereka.
Goblin Slayer berkuda-kuda rendah, perisai bersiap; dia memegang pentungan di tangan kanan.
Mereka sedang bertarung melawan goblin, tidak ada satupun di dalam ruangan ini yang berniat untuk tertawa.
“Jika begitu, kita tidak dapat membuang waktu lagi di sini.” Lizard Priest berkata, dan dia sangatlah benar. Dia melebarkan lengannya, dan kemudian dengan cakar, taring, dan ekor, dia menghancurkan dua goblin yang masih tersisa, merobek setiap bagian tubuh mereka.
Namun walaupun dengan semua kekuatan yang mereka miliki, keadaan masih tidak berubah.
Masih terdapat begitu banyak goblin.
*****
“Apa kita benar-benar bisa pelan-pelan seperti ini?”
“Kalau kita nggak memeriksa setiap ruangan, kita bisa terancam bahaya.”
Mereka telah menghabisi para goblin di dalam dua atau tiga ruangan. Di dalam mausoleum ini, yang di mana ruangannya terkadang menyambung satu sama lain, sangatlah mudah untuk di ikuti, namun itu artinya terdapat banyak ruangan yang harus di periksa. Pekerjaan mencari dan menghabisi para goblin secara terus menerus membuat mereka lelah.
Wizard Boy memukul batu di lantai penuh kekesalan dengan tongkatnya, membuat Priestess harus memberi teguran halus.
“Tapi coba pikir,” sang bocah berkata, menggerutu. “Tahanan itu bisa dalam bahaya…”
Adalah benar. Priestess juga mengkhawatirkan tentang petualang yang datang sebelum mereka. Terdapat jejak-jejak—darah kering di sini, seekor mayat goblin di sana. Tapi tidak lebih dari itu. Sulit untuk mengetahui kemungkinan bahwa para tahanan itu masih hidup atau tidak.
Tapi…kemungkinan besar tidak, sebuah suara dingin berbisik di dalam hatinya.
Tapi… Priestess menggigit bibirnya lembut. Tidak ada alasan untuk kehilangan harapan.
“Ruangan lainnya gimana kelihatannya?” dia memanggil High Elf Archer, mengesampingkan pikiran mengerikan yang melintas di kepalanya.
Sang elf menempelkan telingannya pada sebuah pintu kayu, mencari suara; dia mengintip dari lubang kunci dan akhirnya menyimpulkan, “Nggak terkunci dan kosong.” Akan tetapi kemudian, dia menunjuk pada salah satu ujung atas dari pintu dengan jari kurusnya. “Tapi lihat itu.”
Apa yang tampak di sana adalah sehelai benang yang tersangkut di antara sebuah celah. Jika mereka membuka pintunya, benang itu akan terjatuh, dan sesuatu akan menimpa mereka.
“Jebakan?” Goblin Slayer bertanya.
“Sepertinya.” Dia menjawab.
Goblin Slayer Hmmm secara pelan. Dia membuang obornya yang telah terbakar habis, menukarnya dengan yang baru, yang di mana dia nyalakan dengan sebuah batu api. Dia menarik sebuah tombak yang tertancap pada mayat goblin, memeriksa matanya, kemudian membuangnya. Belati yang terdapat pada pinggul makhluk itu akan jauh lebih berguna.
Dia mengambil senjatanya dan memasukkannya ke dalam sarungnya. Belati itu sedikit berkarat, namun kamu masih dapat menusuk sesuatu dengannya. Lagipula, dia menganggapnya sebagai senjata sekali pakai.
Dan terakhir, dia mengubrak-abrik tumpukan barang curian dan mendapatkan sebuah kapak perang yang dia sukai. Adalah senjata satu tangan, namun entah mengapa terasa sangat berat.
“Merepotkan,” dia berkata, seraya memikul kapak itu di pundaknya.
“Begitulah.” High Elf Archer berkata dengan mengangkat bahunya yang elegan.
Priestess mendekati mereka, berjinjit untuk melihat bagian atas pintu. Benang itu tidak terlalu tebal. Dan perakitannya cukup sederhana. Namun itu bukan berarti mereka dapat bersantai. Benang itu mungkin dapat terhubung pada sesuatu yang tajam seperti paku berkarat, dan jika paku itu menancap pada wajahmu, kamu akan mati karenanya. Atau mungkin paku tersebut terlumasi dengan racun.
Priestess mengernyitkan alisnya. Dia dapat memikirkan beberapa kemungkinan.
“Kalau di pikir lagi… mandor itu bilang para goblin telah mencuri beberapa peralatan kan?”
“Biarpun begitu aku nggak tahu apa yang akan goblin lakukan dengan peralatan tukang kayu.” Dwarf Shaman menggerutu, lengannya di lipat. Dia membelai rambutnya yang putih kemudian memeriksa benang itu. “Menurutku sepertinya benang itu nggak terhubung dengan sesuatu yang berat. Apapun yang terhubung dengan benang itu, pastinya nggak akan menyenangkan.”
“Kita juga dapat mempertimbangkan untuk mencari jalan lain.” Lizard Priest menepuk ekor pada lantai batu. “Terdapat dua pintu lain di samping yang terhubung dengan ruangan itu. Para goblin tampaknya belum mengetahui keberadaan kita di sini.”
“Hmm…”
Apa yang harus di lakukan? Ke arah manakah mereka harus pergi?
Dengan tatapan party yang mengarah kepada Priestess, Priestess merogoh isi tas dan mengeluarkan sebuah peta. Adalah sebuah peta sederhana yang di gambar dengan tangan di atas sebuah kulit domba. Party ini tidak memiliki spesialis kartografer. Jika mereka pergi melewati beberapa ruangan terkunci untuk memutari ruangan berperangkap…
Pikirannya terganggu oleh teriakan sang bocah. “Arrrgh! Aku nggak tahan lagi!!” Dia tidak dapat menyembunyikan lagi kekesalannya seraya dia menunjuk pintu dengan tongkatnya. “Ini tempat para goblin itu hidup kan?! Mereka bahkan nggak mengetahui cara memesang perangkap yang sesungguhnya!”
“Oh! Tidak, tunggu! Jangan—“
“Minggir! Aku akan buka pintunya!” (TL Note : Pingin saya tabok rasanya si Wizard Boy ini :D )
High Elf Archer mungkin memang tingkat Silver, namun sang bocah masih dapat dengan mudah mendorong sang elf ke samping.
“Ap—? Oh, uh, ummm—!”
Priestess harus menghentikan sang bocah. Akan tetapi, Priestess tidak dapat mengutarakan kalimatnya secara penuh. Apa yang harus dia katakan, dan bagaimana cara dia mengatakannya? Jika dia memikirkannya sekarang, dia menyadari bahwa semua anggota partynya patuh mengikuti perintahnya hingga detik ini. Dia tidak mengetahui cara untuk menangani seseorang yang menolak untuk mendengar.
“…”
Priestess melihat memohon kepada Goblin Slayer, tetapi dia tidak berkata apapun. Priestess tidak mengetahui ekspresi apa yang tersembunyi dari balik helm bajanya. Apakah dia tampak tidak tertarik? Atau…
Kalau… Kalau dia pasrah sama aku…!
Pikiran itu cukup untuk menggetarkan hati Priestess. Sebuah suara dingin nan pelan mulai mengejeknya dari suatu tempat di dalam hatinya.
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus akulakukanapayangharusakulakukanapayangharus…?
Kepalanya berpikir, namun dia tidak dapat mengatakan apapun. dia menjulurkan tangannya, berharap paling tidak dapat menahan sang bocah, namun bocah tersebut sudah mulai membuka pintu…
“Eeyaaaahhhhh?!” dia menjerik seolah melihat sesuatu yang berguling jatuh.
Jeritannya menggema di keseluruhan ruang kubur; suara itu sangat lantang hingga dapat terdengar jauh di kedalaman mausoleum. Wizard Boy terjatuh ke belakang, merayap menjauh dari benda yang terjatuh.
“Ap-ap-a-a-ap-ap-apa-apaan itu…?!”
Adalah sebuah tangan dan sebuah lengan. Kedua benda itu terlihat sangat mengenaskan hingga hampir tampak baru keluar dari penggilingan daging. Tangan dan lengan itu dulunya adalah milik seorang wanita.
Tangan dan lengan tersebut sangatlah indah dengan otot yang terbentuk secara merata, namun sekarang tangan dan lengan tersebut terlihat begitu tragis. Adalah hampir mustahil untuk mengetahui apa yang menimpa sang pemilik tangan tersebut.
“Sedikit ulah dari goblin.” Goblin Slayer berkata dengan jentikan lidah. “Mereka cuma ingin menakuti kita.”
“U-ugh…” Priestess melenguh. Dia dapat merasakan sesuatu yang pahit dan asam yang menaiki tenggorokannya; dengan air mata pada matanya, dia menelan semuanya kembali.
Ini bukanlah waktu untuk takut. Bukankah dia sudah sering melihat hal serupa seperti ini sebelumnya?
Priestess berusaha untuk tetap tenang. Dia meremas kuat tongkatnya dengan tangannya yang bergetar.
“Aku punya firasat buruk dengan semua ini.” High Elf Archer berkata, memberikan Priestess tepukan keberanian pada pundaknya. Sang elf sendiri tidak terlihat lebih baik dari pemimpinnya; dia mengangat lipatan kerahnya untuk menyembunyikan wajah dan bibirnya yang pucat. “Dengan jeritan seperti itu, itu sudah sama saja seperti alarm.”
“Aku rasa memang seperti itu tujuannya.” Goblin Slayer bergumam tanpa ada tanda panic; dia mengambil kuda-kuda bertarung dengan kapak di tangannya. “Aku yakin kita akan kedatangan tamu sebentar lagi.”
“Aku nggak begitu yakin, tapi—“
“——–GY-GYAAAH…!!”
High Elf Archer baru saja mengepak telinga panjangnya ketika sebuah jeritan bernada tinggi seorang wanita bergema di dalam mausoleum.
Semua petualang tidak bergerak, namun dengan sekejap; satu detik kemudian, masing-masing dari mereka mempersiapkan senjatanya.
Satu-satunya pengecualian adalah Wizard Boy.
“…Suaranya dari sana!”
“Jangan! Kamu nggak boleh pergi sendi—“
Sang bocah bergegas pergi, tidak mempedulikan suara yang berusaha menghentikannya. Dia menendang pintu ruang kubur, memasuki ruangan berikutnya, berputar ke sana dan kemari dan hingga akhirnya dia menemukan apa yang dia cari.
“Ini pasti tempatnya…!”
Dia mendobrak pintu dengan pundaknya, memaksanya terbuka.
Ketika dia melakukannya, sebuah aroma mencekik dan basah menyerangnya. Sebagian dari aroma itu berasal dari kotoran para goblin yang tercecer di segala arah. Beberapa dari darah dan muntahan.
Kemudian sang bocah melihat mereka.
Goblin.
Dan sang wanita.
Sang wanita, terikat pada sebuah kursi dengan kawat yang menggigit kulitnya yang pucat nan lembut.
Matanya, terbuka selebar mungkin, penuh dengan air mata.
Kapak yang berada di tangan goblin, penuh dengan noda merah kehitaman.
Dan di tambah dengan kepala sang wanita yang berdarah.
Cairan merah mengalir pada kursi.
Dan di dalam genangan darah, terdapat beberapa…
“Ee-yaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh!!” sang bocah berteriak.
Dia masih berteriak seraya dia menghantam goblin dengan tongkatnya. Hati dan pikirannya terbakar dengan amarah, dan amarahnya terus membakar emosinya yang mengundang kata berkekuatan sejati mengalun dari bibirnya.
Carbunculus… Crescunt… Iacta!!, Terbanglah, O bola api!”
Bola api melesat di udara, meninggalkan jejak api di belakangnya, bola api tersebut mengenai tengkorak goblin. Otak, darah dan pecahan beberapa tulang terlempar ke segala penjuru, dan sekarang goblin yang tidak berkepala terbujur kaku di lantai.
“Hah…hah, hah… Rasakan…itu…!”
Mereka…mereka nggak ada apa-apanya.
Dia telah membunuh makhluk hidup lainnya bahkan tanpa menyentuhnya. Terasa begitu tidak nyata.
Dia telah mengirim seekor goblin pada akhir riwayatnya dengan satu serangan, seperti yang dia inginkan—terasa begitu nyata.
Keseluruhan ruang interogasi, pemandangan yang mengerikan itu, semua mengelilinginya; dia tidak dapat memahami semuanya secara keseluruhan.
“Pokoknya, aku harus menolong gadis itu… Hei, kamu nggak apa-apa?!”
Namun dia seharusnya lebih memperhatikan apa yang dia telah lakukan.
Satu-satunya mantra yang dapat dia gunakan adalah Fireball, dan dia hanya dapat menggunakannya sekali dalam sehari.
“Ahhh…hhh… Err…g….”
“Bertahanlah! Aku akan mengeluarkanmu dari sini!”
Sang bocah terlalu terfokus memotong kawat yang mengikat tubuh sang wanita pada kursi.
Itulah mengapa dia tidak menyadari. Sang bocah tidak menyadari sebuah fakta yang begitu jelas bahwa pasti terdapat sesuatu di sana yang berhasil membantai party petualang sebelumnya.
“…Errgh… Nngh… Ah…”
“—?!”
Bukanlah kemampuan dari dirinya, melainkan keberuntungan belaka, yang membuatnya berguling ke belakang, menghindari sebuah pentungan yang akan dapat melumat dirinya dalam sekejap.
“Wh-whoa—?!”
Darah terkuras dari kepalanya. Dia menyadari bahwa di dalam keadaan yang begitu genting, kaki seseorang menjadi sulit di andalkan.
“OLRLLT…?”
Dia dapat melihat sosok besar dan gemuk penuh dengan bekas luka lama. Dia mencium bau tubuh yang sangat kuat hingga dapat membuatnya mual.
Kepala botak makhluk itu merupakan gambaran sebuah kebodohan, dan sebuah seringai bodoh tampak di wajahnya.
Makhluk itu memiliki lengan sebesar batang pohon, dan membawa sebuah pentungan besar. Dan banyaknya jumlah paku yang tertancap pada pentungan itu untuk mencabik daging, mengkisahkan pembunuhan yang telah di lakukan monster ini.
Seekor troll.
Makhluk itu menggerakkan pentungannya seolah tidak yakin mengapa serangannya telah meleset. Sang bocah melihat sebuah noda merah kehitaman pada senjata itu, dan beberapa helai rambut yang tampaknya milik seorang wanita…
“Errg… Ugghh…!”
Sang bocah mengeratkan rahangnya untuk mencegah giginya bergetar. Bertumpu pada tongkatnya, dia berdiri.
Di belakangnya, adalah tahanan wanita yang terluka dan nyaris tidak sadarkan diri.
Dia tidak dapat melarikan diri walaupun dia menginginkannya. Apa yang dia akan lakukan?
Sebagai seorang wizard yang masih dalam masa latihan, tentu saja sang bocah sangat memahami troll dari sisi akademik.
Mereka sangat besar. Kuat. Bodoh. Dan mereka memiliki kekuatan regenerasi—berhadapan dengan mereka memerlukan api atau asam.
Namun terdapat masalah.
Dia telah kehabisan mantranya.
:GRORB!”
“GRB! GROBRORO!!”
Dan tidak hanya itu saja.
Dia mendengar banyak gema suara para goblin yang memantul di sekeliling ruang kubur, dan dia mengetahui bahwa keadaan telah menjadi semakin memburuk.
Mereka telah memberikan umpan, dan dia telah terumpan.
Mengapa mereka repot-repot menyiksa tahanan mereka di tempat seperti ini? Dan (seraya berlangsung) terlebih setelah penyusup bodoh menjerit dengan kuat!
Pintu dari setiap sisi ruang kubur terbuka. Goblin membanjiri ruangan, seraya tertawa.

Seharusnya aku mendengarkan saran dari elf itu untuk mencari jalan lain…!
Namun penyesalan sudah terlambat.
Ini adalah sebuah perangkap. Yang di desain untuk menangkap para petualang yang memeriksa setiap ruangan.
Ketika dia menyadari ini, pria muda yang tidak mempunyai mantra ini hanya mempunyai satu pilihan.
Dia menjilat bibirnya yang kering. Dia menarik napas dan berteriak sekuat tenaga:
“Jangan mendekat! Ini jebakan—!”
Hal ini bisa menjadi tindakan terakhir sang bocah.
Dalam sekejap, sebuah kapak terbang, sebuah panah bersiul di udara, dan sebuah Pedang taring berkilau.
“GRBRR?!” Jeritan dan teriakan, para goblin tumbang layaknya gandung yang di pangkas.
“Mereka ada dua puluh. Tujuh belas lagi.”
Suara itu terdengar sangat tenang layaknya sebuah angin yang bertiup di bawah tanah, dan dengan itu, Goblin Slayer menerjang masuk ke dalam medan tempur. Tangan kanannya yang kosong bergerak seperti mesin, menarik belatinya dan memberikan serangan cepat mengarah leher goblin yang kebingungan.
“GROORORB!!”
“Hmph… Empat. Enam belas lagi.”
Belati yang berkarat, tidak dapat menahan beban benturan, patah dan terpental, namun itu sudah cukup untuk memberikan serangan kritikal pada rusuk goblin.
Goblin Slayer menjentikkan lidahnya dan membuang gagang belatinya, mengambil sebuah pedang yang di bawa oleh goblin yang telah tumbang. Dia menariknya dengan cara memberikan tendangan pada mayat goblin itu. Dia memutar pergelangan tangan dan mengambil posisi bertarung.
“Masih hidup?”
Wizard Boy mengangguk berkali-kali. “Uh, y-yeah… Aku—“
“Bukan kamu,” Goblin Slayer berkata dingin, memotong ucapan sang bocah.
“Saya yakin tuanku Goblin Slayer ingin mengetahui keadaan wanita muda yang ada di sana.” Lizard Priest berkata, mendekat dan mengambil posisi bertahan di depan sang bocah yang merasa lega.
“Yeah!” sang bocah berteriak, menelan liurnya. “Dia hidup! Tentu saja dia hidup!”
“Begitu,” Goblin Slayer berkata, dan dari balik penutup helmnya, dia menatap sang bocah. Walaupun sang bocah tidak yakin ke arah mana pria itu melihat dari balik helmnya. Namun dia merasa bahwa pandangan pria itu mengarah pada dirinya. Dia menutup matanya dan mencoba mencari alasan.
“Aku cuma… Aku ingin menolong wanita ini secepat mungkin—“
“Ada wanita juga dalam party kita.” Goblin Slayer berkata, suaranya tajam dan dingin. “Dan ada dua.”
Hal ini membuat sang bocah menarik napas cepat dan melihat mengarah sang wanita.
“Ugh. Inilah kenapa aku benci goblin…”
“…Hrk…”
High Elf Archer tampak pucat setelah melihat pemandangan ruang penyiksaan, namun dia terus menembakkan panahnya satu persatu untuk mencegah sang troll mendekat.
Di samping sang elf, Priestess terengah-engah; tangannya meremas erat tongkatnya yang bergetar halus.
“Tapi…!”sang bocah ingin membalas, namun Dwarf Shaman datang dan berteriak marah, “Ini bukan saatnya untuk berbicara bocah! Angkat wanita itu sekalian sama kursinya, dan kita pergi dari sini!”
Kedia warrior dan sang ranger membuka jalan, dan sang shaman serta Priestess mengikutinya.
“Kita sudah nggak punya waktu lagi!”
Benar, mereka telah kehabisan waktu.
“GROROB! GROB! GROORB!!”
“OOOORLLLT!!”
Rute pelarian mereka telah sirna.
Enam belas goblin. Satu troll. Para petualang telah terkepung.
Perlahan namun pasti, para monster mendekat, senyum hina tampak di wajah mereka seraya mereka semakin yakin akan kemenangan mereka.
Para petualang membentuk lingkaran untuk melindungi sang bocah, acolyte yang telah menjadi tahanan, dan Priestess.
“Tapi bagaimana cara kita membawa wanita ini…?” Sang bocah dengan ragu memegang kursi; beberapa desahan halus terdengar dari mulut sang wanita. Tangan sang bocah, berlumur dengan darah yang lengket dan licin. Sangatlah cukup untuk membuat perutnya mual; dia merasa seperti ingin muntah saat ini.
Lizard Priest, mengamati sang bocah, memutar mata di kepalanya, jarak pandang yang luas merupakan ciri khas khusus kaumnya. Lidahnya menjulur keluar.
“Jangan lupakan jarinya. Jika semua berjalan lancer, kita mungkin dapat menyembuhkannya.”
“Oh…!”
Sang bocah dengan cepat melihat lantai, mencari dengan cepat di antara genangan cairan merah.
Kapak yang berkarat telah mencabik kasar daging dan tulang. Namun tidak mempunyai waktu. Jari sangatlah mudah untuk di lupakan, namun dia telah menemukannya, menghitungnya, dan melapisinya dengan sebuah kain.
Dia mencoba untuk mengelap keringat pada dahinya dengan tangan yang basah dan bernoda darah. Dia mengigit bibirnya keras.
“Aku dapat!”
“Sempurna! Anda ambil sisi sebelah sana—benar yang itu!” Lizard Priest memerintahkan.
Terdengar suara decitan seraya kursi di angkat, bercampur dengan desahan sang wanita.
High Elf Archer berada di depan mereka, melindungi mereka, busur di tarik dan telinga mengepak.
“Mereka masih datang dari bagian dalam!” Dia melirik kepada Priestess. “Apa yang akan kita lakukan?!”
“Oh—ah—!”
Priestess mendapati dirinya sendiri tidak dapat segera berbicara. Tangannya membeku pada tongkatnya, yang di mana di genggamnya begitu keras sehingga tangannya menjadi sakit dan kepalnya menjadi putih.
Apa yang harus di lakukan? Apa tindakan yang harus di lakukan? Melawan mereka di sini? Atau berusaha menerobos mereka?
Dia harus mendapatkan jawaban, segera. Ya, namun—
Kita sudah kena jebakan goblin.
Tidak hanya terkena, namun masuk ke dalamnya.
Adalah dirinya yang mengatakan , Ayo ikuti dia!
Tentu saja, tidak ada penyesalan. Namun ini sudah cukup untuk membuat kakinya merasa goyah.
Dia dapat melihat Female Wizard, dengan belati beracun yang tertanam di tubuhnya.
Fighter, di nodai hingga tak tersisa oleh iblis kecil itu.
Female Monk terperangkap, di hajar tanpa ampun, di perkosa dengan cara paling keji.
Jangan panik. Ingatan itu terus terbayang walaupun dia berusaha untuk tidak memikirkannya.
Di kala goblin champion hampir meremukkan tubuhnya—teror, sakit, keputusasaan.
Bagian pada lehernya, tempat dia pernah di gigit sebelumnya terasa berdenyut.
“Uh… Um…um…!”
Para goblin, datang mendekat. Bersama troll raksasa itu.
Priestess ingin sekali berbicara, akan tetapi lidahnya menolak untuk bergerak.
Air mata mulai terbentuk di ujung matanya; giginya tidak bisa terdiam, bergetar dengan begitu nyaring.
Dan dia sangat memahami bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk semua hal ini…!
“Tuanku Goblin Slayer!”
Bantuan datang dari Lizard Priest, yang dengan cepat menganalisa situasi dan berteriak.
“Baik.” Goblin Slayer menjawab datar. “Bolehkah?”
Bahwa hingga saat ini Goblin Slayer berusaha meminta persetujuan dari Priestess. Priestess mengangguk lemah. Dia tidak mengetahui harus melakukan apa lagi.
Instruksi Goblin Slayer sangat cepat dan singkat. “Gunakan Holy Light. Kita akan menerobos. Aku akan serahkan baris depan kepada kalian semua. Aku akan berjaga di belakang dan menghadapi raksasa menggerutu itu.”
“Sempurna!” Lizard Priest menjawab cepat.
“Ba-baik!” Di sisi yang lain, Priestess berusaha untuk menekan rasa ketidak-bergunaan dirinya.
Wizard Boy, berusaha keras untuk membawa kursi itu dengan antusias. Dia akan menghadapinya?!
“Kamu warrior kan?! Makhluk itu seekor troll!”
“Bodoh,” High Elf Archer berkata, membusungkan dada kecilnya dengan sok. “Orcbolg paling ahli di saat-saat seperti ini.”
Lizard Priest tertawa kecil. Pria ini tidak akan di kalahkan oleh para goblin.
Akan tetapi, Priestess tidak tertawa. Jika dia tidak akan melakukan hal yang lain, maka paling tidak dia akan melakukan tugas yang telah di percayakan kepadanya.
Dia memegang tongkat dengan kedua tangan. Berdoa memohon secara langsung kepada dewa yang ada di surge.
“O Ibunda Bumi yang maha pengampun, berikanlan cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dan dengan begitu, dia di berikan keajaiban.
“GGRORRRROOOB?!”
“TOOOLR?! OORTT?!”
Terdapa kilau cahaya biru keputihan, seperti ledakan matahari. Cahaya itu membakar mata para goblin dan troll.
Priestess, dada kecilnya terengah-engah di karenakan doa pengikis jiwa, berteriak, untuk menyemangati dirinya sendiri dan rekannya. “Ayo!”
Seraya dia mulai berlari, tongkat di junjung tinggi, Lizard Priest tampak di sampingnya.
Banyak goblin keluar dari ruang kubur, memenuhi jalan, memenuhi pandangan mereka. Lizard Priest menyerang dengan cakar, cakar, taring, ekor, menyapu mereka tanpa ampun.
Mengikuti di belakangnya adalah Dwarf Shaman dan Wizard Boy, membawa tahanan bersama mereka. Mereka tidak mempunyai peluang untuk menggunakan mantra mereka.
High Elf Archer dengan panahnya yang selalu siap, menghujani jalan di depan dengan tembakan perlindungan seraya dia berlari.
Dan kemudian—
“Troll?” Gumam Goblin Slayer, di tinggalkan di belakang. “Bukan goblin kalau begitu.”
“OOOORLLT!!”
Paku yang ada pada pentungan monster itu berkelip seraya dia mengayunkan. Goblin Slayer melompat ke belakang. Dia mencari sesuatu pada tas peralatannya dan menarik sebuah botol kecil.
Ketika wadah itu di benturkan mengarah kulit troll, yang mengakibatkan banyak pecahan yang terlempar ke segala arah, namun botol itu sama sekali tidak melukai makhluk itu.
Tentu saja, botol itu tidak harus melukainya.
Hal yang terpenting adalah apa yang ada di dalam botol itu.
“TOOORL?! TOOORRL?!”
Sebuah cairan hitam yang tidak di ketahui melumasi tubuh besar sang troll. Cairan itu mengeluarkan aroma yang menusuk hidung. Sang troll merasa tidak nyaman, berusaha untuk membersihkan cairan yang menempel, mencipratkannya ke segala arah.
Monster itu sama sekali tidak mengetahui bahwa cairan itu adalah minyak Medea, Bensin berdasar pertrolum.
“Sampai jumpa.”
Tanpa keraguan, Goblin Slayer melempar obor mengarah kepada makhluk itu.
“TOOOOOROOOOOROOOOOORRRT?!?!”
“GROROOB?!”
Raungan dan jeritan datang dari troll, yang benar-benar terlahap oleh api, dan goblin yang ikut terkena api.
Goblin Slayer sudah berlari kea rah lain seraya dia mengambil sebuah senjata dari salah satu mayat goblin yang di tinggalkan rekannya. Adalah sebuah tombak. Dia memegang pedang di tangan kiri dan tombak di tangan kanan, merunduk serendah mungkin seraya dia berlari.
“Api itu memakan setidaknya setengah dari mereka. Itu artinya…”
Tombak itu terbang. Menembus tepat di perut goblin yang berusaha melawan api, dan membunuhnya.
“GGRORR?!”
“Jadi lima belas.”
Goblin Slayer berputar dengan cepat, mengejar temannya sekali lagi.
Rute yang di ambil tidak mungkin salah. Pintu di biarkan terbuka; mayat goblin berserakan di mana-mana. Dia hanya perlu mengikuti suara pertarungan. permasalahan sesungguhnya yang harus dia hadapi adalah goblin yang terus menerus muncul dari pintu samping.
“GBGOR?!”
“GRORB! GORORRBB?!”
Panah datang dari kejauhan, membunuh mereka. Terdapat tiga lagi. Delapan belas.
Goblin Slayer berlari ke depan, melompati tubuh yang terjatuh di depannya.
Tidak lama kemudian dia melihat High Elf Archer, rambut kepangnya berayun layaknya sebuah ekor.
“Orcbolg, apa yang terjadi? Aku dengar suara seperti wuuuushh di belakang sana!”
“Situasinya darurat.”
“Kamu paling nggak bisa kasih kami peringatan!”
“Aku belum berpikir sejauh itu.” Seraya Goblin Slayer berlari, dia berputar, membunuh seekor goblin yang berusaha menyergap. “Sembilan belas.”
Sang goblin yang akhirnya berhasil mengejar dia, terkejut dengan Goblin Slayer yang setengah berputar. Sebuah pedang terbenam di tenggorokan sang monster. Goblin itu berbuih darah dan mati. Sebuah tendangan pada dada monster itu melepaskan pedangnya kembali.
“Bagaimana di depan?”
“Seperti biasa! Yargh! Blargh! Semua kegilaan itu.” High Elf Archer menembakkan dua atau tiga panah lagi seraya dia berbicara, mempercayakan kepada keburuntungan untuk mengenai sasaran. Tiga goblin tumbang di lantai, menggeliat, panah tertanam pada mata mereka. Dua puluh dua.
“Jadi kamu punya rencana?” sang ranger bertanya.
“Tentu saja.” Goblin Slayer berhasil mengejar sang elf ketika elf itu membunuh ketiga monster itu: sekarang dia berlari tepat High Elf Archer. “Aku selalu punya rencana.
*****
Hanya terdapat satu pintu di dalam ruang kubur ini yang di mana para petualang lewati ketika melarikan diri. Ketiga sisi lain dari ruangan hanyalah sebuah dinding. Semua yang tersisa di sana adalah goblin-goblin yang sudah tidak bernyawa.
Ruangan ini sama sekali tidak ada hubungannya bagi para goblin, yang hanya berpikir untuk memanfaatkan apa yang mereka miliki pada saat itu juga.
Seraya mereka menurunkan sang wanita, yang masih terikat di kursi, Wizard Boy tiba-tiba berteriak, “Kita membiarkan mereka mengepung kita—!”
“Oh, itu tidak sepenuhnya benar,” Kata Lizard Priest di samping pintu masuk, siaga berjaga. Dia memegang Pedang Taring, yang dia telah pertajam dengan Sharp Tooht. Dia berdarah: secara harfiah dia telah membawa mereka melarikan diri dengan darahnya.
“Tapi di mana Goblin Slayer dan—?” Priestess, bersandar pada dinding bagian paling dalam, terengah-engah. Terus menggunakan keajaiban Holy Light, bahkan ketika mereka berlari melewati labirin, sangatlah menguras tenaga fisik wanita muda rapuh ini. Wajahnya pucat, putih karena kelelahan.
Dwarf Shaman menggosok kedua tangannya yang berdarah kemudian mengambil sebuah potion dari kantungnya.
“Aku yakin Telinga Panjang dan Beardcutter akan menyusul kita di sini.”
“Terima kasih…”
Memegang potion dengan kedua tangan, Priestess membuka botol dan meminumnya secara perlahan, membiarkan setiap tetes membasahi bibirnya. Setiap kali dia menelan, dia merasakan sedikit kehangatan yang kembali ke tubuhnya. Ini bukanlah penyembuhan seperti keajaiban para dewa,namun manfaat dari potion tidak dapat di remehkan.
Priestess menutup mata dan menghela napas. Ya, dia merasa lebih baik sekarang. Priestess mengatur genggaman pada tongkatnya.
“…Kita harus merawat luka wanita ini segera…” dia berkata, namun ketika dia akan menggunakan Minor Heal, Dwarf Shaman menghentikannya.
“Tenang dulu. Kamu perlu istirahat. Dia nggak akan mati dalam waktu dekat ini karena lukanya.”
Cleric mungil itu terhuyung sedikit dan kemudian bersandar di dinding, merosot jatuh ke lantai.
“Terima kasih,” Priestess bernapas kembali, namun Dwarf Shaman melambaikan tangannya dengan “Nggak usah di pikirkan.”
Bagaimanapun juga, Priestess akan merasa kesulitan untuk menyambung kembali jari yang telah terputus dengan kemampuannya sekarang. Itu artinya akan jauh lebih baik untuk menyimpan keajaibannya.
“Kamu baik-baik saja bocah?”
“Yeah, nggak masalah…!”
“Bagus.” Dwarf Shaman berkata datar. Tidak di ragukan dia dapat melihat keberanian sang bocah yang terpancar di matanya. Matanya menyipit. “Sekedar nasehat.” Dia menambahkan. “Nggak ada seorangpun yang akan bisa menolong, kalau kamu terdesak nanti, karena kamu terlalu kecapekkan.”
“…Aku nggak capek!”
Nggak seperti gadis yang di sana, tampaknya dia ingin berkata—namun bahkan bocah inipun tidak dapat mengutarakan kalimatnya secara terang-terangan.
Dia, juga, pergi dan bersandar di dinding, walaupun dia menjaga jaraknya dengan Priestess. Dia menatap kedua tangannya. Darah telah mengering, meninggalkan noda cipratan merah kehitaman, dia menggosok kedua tangannya untuk menghilangkan noda itu.
Cleric itu seharusnya berada di garis belakang dan mengucapkan doa mereka.
Sekarang dia menyadari betapa bodohnya hal yang telah dia ucapkan. Gadis itu telah memberikan perintah, mengusung tongkatnya tinggi dan memberikan mereka cahaya, dan berlari secepat mereka semua.
Sang bocah melirik ke samping, di mana dia dapat melihat Priestess, masih terengah-engah dan meneguk potionya. Bahkan Wizard Boy dapat memahami bahwa gadis itu sedang berusaha mengembalikan staminanya lagi agar dapat siap untuk melakukan pertarungan berikutnya.
Bibir sang bocah terbuka setengah dan tertutup kembali. Lidahnya terasa begitu besar di dalam mulutnya. Dia menelan liur dan mencoba kembali.
“Aku…minta—“
“Mereka datang!” Suara tajam dari Lizard Priest memotong sang bocah.
Wizard Boy berkedip beberapa kali, berusaha untuk menatap kegelapan lorong yang mereka lewati. Dengan cepat dia melihat cahaya obor yang semakin mendekati mereka.
“Sialan, Orbolg—dia masih hidup!”
“Sepertinya dia lebih tangguh dari yang aku kira.”
High Elf Archer datang mendatangi ruangan seanggun seekor rusa. Goblin Slayer berlari mengikutinya.
Dan di belakang mereka…
“OOOOLRTTTTR!!”
Troll raksasa dengan asap yang mengepul di tubuhnya, mengayunkan pentungannya.
Berat tubuh memberikan para petualang keuntungan dalam kecepatan. Namun jika salah satu dari mereka terpeleset dan terjatuh, maka itu akan menjadi akhir dari mereka.
Goblin Slayer dan High Elf Archer hanya dapat mendengar siara pentungan raksasa yang menghancurkan dinding dan lantai tepat di belakang mereka.
“Aku benar-benar muak dengan ini!” High Elf Archer berteriak seraya dia masuk ke dalam ruang kubur. “Monster macam apa sih itu?! Aku muak dengan ini! Aku mau melawan monster yang keren sekali-sekali!”
“Aku rasa monster yang lebih keren itu semuanya lebih kuat di banding yang ini,” Dwarf Shaman menambahkan.
“Saya pribadi, ingin melawan seekor naga.” Tambah Lizard Priest.
Akan tetapi, Dwarf Shaman mengetahu, bahwa selama mereka berdebat ataupun mengeluh, maka tidak ada yang terlalu perlu di khawatirkan. Dia menghela napas. “Jadi. Apa yang akan kita lakukan Beardcutter?”
“Aku sedang memikirkannya.” Goblin Slayer berkata, memperhatikan partynya yang ada di ruangan.
Lizard Priest, Dwarf Shaman, dan bocah berambut merah tampak baik-baik saja. High Elf Archer terengah-engah, dan Priestess kelelahan.
Goblin Slayer meraih tas peralatannya dan mengeluarkan dua botol dengan hanya berdasarkan sentuhan perasaan, dan memberikannya kepada para gadis.
“Minum ini.”
“Ap…? Ah…”
“Stamina potion eh? Makasih.”
Priestess tampak sedikit kebingungan, namun High Elf Archer dengan senang hati membuka tutup botol dan meminum isinya.
Masing-masing dari mereka memiliki persediaannya potionnya sendiri, namun pada saat ini, tidak ada waktu untuk meributkan potion siapa yang mereka gunakan.
“O-oke, kalau begitu… Terima kasih…” Priestess merasa lebih bimbang dari High Elf Archer, namun pada akhirnya menggiring botol itu masuk ke dalam mulutnya. Ini adalah Stamina potion keduanya. Warna cerah pipinya yang mulai kembali berbanding terbalik dengan ekspresi gelap yang masih ada di wajahnya.
“Bagus, kita semua sudah siap.” Goblin Slayer berkata, melihat perubahan Priestess dari ujung matanya. “Aku ingin air. Apa kamu bisa membuatnya dengan mantra?”
Walaupun pertanyaan itu tidak di tujukan kepadanya secara langsung. Wizard Boy membuat suara tidak nyaman. Fireball adalah satu-satunya mantra yang dia ketahua, dan dia telah menggunakan semua sihir yang dapat dia lakukan untuk hari ini. Entah mengapa sang bocah merasa sangat malu karena pria itu mengetahui semua ini.
“Nggak ada gunanya mempelajari mantra seperti itu…” sang bocah berkata, hampir cemberut.
“Begitukah?” Goblin Slayer menjawab.
Dwarf Shaman dengan cepat memotong, “Air? Yah, kalau hujan sudah cukup buatmu, aku bisa melakukannya. Tapi akan sedikit lemah, karena ada langit-langit di sini dan semacamnya.”
Raungan dan gemuruh sang troll semakin mendekat. “Bersiap.” Lizard Priest berbisik.
“Tapi dengar, Beardcutter. Kamu nggak bisa memainkan salah satu trik biasamu sekarang.”
“Nggak masalah,” Goblin Slayer berkata acuh. “Siraman air sudah cukup.”
“Baiklah kalau begitu.”
“Dan kita akan butuh Holy Light lagi, kamu bisa lakukan?”
“Aku…” Suara Priestess gemetar, dan dia harus menggigit bibirnya untuk memaksa suaranya keluar. “Ya.  Aku... Aku bisa!”
“Bagus.” Dengan ini semua siap. Tidak lama setelah Goblin Slayer berkata, musuh mereka telah tiba di hadapan mereka.
“OLTROOOOR!!”
Ruangan dan jalan mausoleum cukup besar bagi troll untuk bergerak leluasa. Apakah pembangun bangunan ini mengetahui bahwa troll akan tinggal di sini?
“Eeyah!”
“Awa—!”
Priestess hampir tidak sempat menghindar, dan High Elf Archer melompat ke belakang untuk melindunginya.
Duri metal pada pentungan, mengenai rambutnya, memotong pita yang di gunakannya untuk mengikat rambut.
“Kamu nggak apa-apa?!” Priestess bertanya.
“Jangan khawatirkan aku!” High Elf Archer berteriak, rambutnya berantakan. “Lakukan!”
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Dia mengangkat tongkatnya setinggi yang dia bisa dari tempat di mana dia terjatuh di lantai, menawarkan doa kepada dewi yang penuh ampunan. Dan tentu saja, tidaklah mungkin bagi Ibunda Bumi untuk menolak permohonan pengikis jiwa dari pengikutnya yang taat.
“RRLLRTTOOOT?!”
Terdapat ledakan cahaya bak matahari. Kilauan mengisi ruangan, membanjiri putih di dalam hitam.
Troll terhuyung ke belakang, dan dengan segera, Goblin Slayer berteriak. “Air!”
“Siap! Pergilah sekarang, kelpi, ini saatnya untuk menyibukkan diri! Tanah dan air serta laut dan langit, semua mengamuk!” Dwarf Shaman melantunkan, menggenggam sebuah figur kuda kecil yang dia keluarkan dari dalam tas katalisnya. Tidak lama setelah dia melantunkan mantranya, terdengar ringkikan bernada tinggi dan angin basah yang menghembus, dengan cepat berubah menjadi gerimis.
Seperti yang di ucapkan Dwarf Shaman, tindakan memanggil kelpie untuk menghasilkan hujan, tidaklah lebih dari sekedar Call Rain.
“Sisanya kamu Beardcutter!”
“Berikutnya… Ini.” Seraya dia berkata, Goblin Slayer mengambil sebuah kantung kulit dari tas peralatannya dan melemparkannya mengarah troll.
“ORLTLRRLR?!”
Sang monster dengan segera meraung. Kulitnya yang abu-abu mulai retak dan pecah seraya mereka memperhatikannya, di awali pada bagian yang sebelumnya terbakar.
Ketika seseorang mencoba untuk perataan lahan dan perlu untuk menyingkirkan sebuah batu besar, terkadang batu tersebut akan di panaskan, dan kemudian air dingin akan di siramkan ke batu tersebut. Hal ini membuat batu tersebut retak, yang setelahnya dapat dengan mudah di hancurkan dengan palu.
Dan bagaimana dengan troll?
“TLRORL?!”
Sang troll, tidak memahami apa yang terjadi. Dia tidak pernah menyangka adanya kabut yang mengambang hanya karena dirinya telah tersiram air!
“TTLOOOTTTTL?!”
“Sederhana tapi efektif,” Goblin Slayer berkata, memperhatikan troll seraya dia menggenggam wajahnya dan mengamuk.
Tidaklah begitu jelas apakah Goblin Slayer sendiri memahami sains yang telah dia lakukan. Namun apa yang terpenting adalah hasil dari tindakannya.
Bubuk api—yang di sebut para alchemist sebagai saltpeter—menyerab air dan panas dari troll, meningkatkan proses pendinginan.
“…Dari mana kamu belajar hal seperti itu?” High Elf Archer bertanya dengan sedikit merasa kesal.
“…Oh!” Priestess mendapati dirinya sendiri mengingat kunjungan mereka di kota air.
Aku ingat dia pernah bertanya cara membuat es krim…
“ORLT?! TOORLRLOT?!”
Mungkin ini adalah bukti bahwa kekuatan penyembuhan ataupun bukan, di dinginkan dengan segera setelah di panaskan, sangatlah berlebihan untuk monster ini. Sang troll, merasa panik lukanya tidak menunjukkan tanda akan sembuh, mulai mengamuk dengan mengayunkan pentungannya.
Dengan desisan, Lizard Priest tersenyum. “Benar-benar tidak pantas untuk di lihat, mungkin ini sudah waktunya untuk melepaskan penderitaan makhluk itu?” Dia melompat mengarah sang monster, di ikuti dengan cepat oleh panah dari High Elf Archer.
“Apapun makhluk besar itu,” Goblin Slayer berkata, melemparkan senjatanya namun dengan cepat mengambil senjata baru di antara mayat goblin. “Saat kita sudah membunuhnya, kita akan membasmi semua goblin.”
Takdir dari sang troll akan tidak berbeda jauh dengan apa yang akan terjadi pada goblin yang tersisa. Di antara semua ini, sang bocah muda yang berada di baris belakang, memperhatikan Goblin Slayer dengan begitu seksama.
Aku mengerti sekarang. Dia benar!—apa yang aku katakan pada gadis itu jahat sekali.
Namun siapakah pria ini, yang hanya menganggap troll hanya sebagai gangguan kecil dan sangat berniat untuk memburu goblin?
Benar, bocah muda ini sudah ceroboh. Dia bertingkah layaknya seorang pemula. Dia patut untuk di salahkan.
Tapi aku nggak bisa begitu saja mengakui kalau pria ini benar…!
*****
“Oh, ayolah. Kalau seorang dwarf nggak bersulang sekarang, kapan lagi bisa bersulang?”
“Benar, baiklah kalau begitu. Untuk kita yang telah kembali pulang dengan selamat—untuk masa depan acolyte itu—dan untuk banyaknya monster yang telah mati!”
Yeah, yeah! Suara mereka terdengar, di ikuti dengan cepat oleh dentingan gelas dan anggur yang tertumpah.
Terdapat alasan mengapa petualang dan alkohol di mulai dengan huruf yang sama, mereka tidak pernah terpisahkan. (TL Note : di sini sedikit tidak nyambung kalau di artikan dalam bahasa Indonesia, karena petualang dan alkhol di mulai dengan huruf yang berbeda.)
Banyak party yang sedang bersantai di rumah makan Guild seusai bekerja.
Terlalu, musuh hari itu kuat sekali. Yah, kalau begitu, siapa yang mau menggunakan pedang sihir yang mereka temukan? Buset, gadis desa itu cantik banget.
Bagian terburuk dari ketika serangan kamu meleset. Banyak kesempatan untuk menggunakan mantra.
Perayaan kemenangan mereka lebih di utamakan, kemudian perbincangan akan bagaimana cara petualangan mereka kala itu dapat berjalan lebih baik. Mereka mentertawai kesalahan rekan mereka dan membanjiri pujian akan keberhasilan mereka.
Mereka membagi jarahan yang telah mereka dapatkan, mempertimbangkan apakah akan di jual atau memakain peralatan yang mereka dapatkan, dan membicarakan petualang mereka berikutnya dengan semangat.
Pada dasarnya, para petualang tidak berdebat ataupun mengeluh tentang keadilan dalam petualangan itu sendiri. Tidak ada seorangpun yang ingin tumbang di tengah-tengah sebuah duengon. Hal-hal detil seperti itu akan di simpan untuk “Sesi sesudahnya,” waktu di mana petualangan telah berakhir. Dalam masa ini, sang party melepaskan semuanya, agar tidak ada sesuatu yang di pendam, supaya, jika mereka akan mati di petualangan mereka berikutnya, mereka dapat mati tanpa penyesalan.
Party Goblin Slayer merupakan bagian dari tradisi tersebut.
“Kenapa kamu, Orcbolg? Aku tahu kamu memang nggak banyak bicara, tapi paling nggak kamu harus ngomong sesuatu di saat seperti ini!”
“Benarkah?”
“Benar!”
Walaupun High Elf Archer hanya menyeruput anggur bercampur airnya, dia dengan girangnya menuangkan anggur pada gelas rekannya yang telah kosong. Merupakan sebuah pelayanan sederhana di banding kepuasan pridadi—mungkin, bukan bagian terbaik dari sifatnya; tetapi juga, mungkin itu di karenakan minumannya telah menghantui kepalanya.
Sebaliknya, Goblin Slayer dengan diam menuangkan anggur masuk ke dalam celah helmnya, seperti biasa.
“Permisi nona pelayan, dapatkah saya merepotkan anda untuk membawakan beberapa sosis?”
“Baik, master lizard! Yang biasanya?” Pelayan Padfoot merajut langkahnya di antara ramainya para petualang, bergerak dari meja ke meja. “Dan keju sebagai atasannya kan?”
“Ah, madu manis! Tentu saja!” Dan kemudian Lizard Priest memesan sebuah camilan sebagai teman minumnya, dia menepuk ekor di lantai. Semua ini tampak seperti biasanya, namun…
“Ahh, ayolah, gelasmu kesepian itu! Minum!”
“Baik…”
Di satu sisi, Priestess, tampak tidak seperti dirinya, duduk dengan bahu yang melemas.
Padahal, biasanya Priestess lah yang selalu melayani rekan partynya, memastikan gelas mereka selalu penuh. Jika tidak, maka High Elf Archer berkemungkinan besar untuk berfoya-foya memesan makanan dan minumannya.
“Aku cuma… Kamu tahu, hari ini…” Priestess terdengar seperti akan menangis. Wajah lesunya sangat tidak cocok bagi seorang cleric, terlebih dalam perayaan seperti ini.
Namun juga, sulit untuk menyalahkannya. Adalah pengalaman pertamanya dalam memimpin sebuah party, dan semua berjalan dengan begitu baik—hingga semua menjadi kacau. Namun pada akhirnya semua dapat selamat, karena salah satu anggota partynya dapat mengambil alih. Namun jika saja rekannya tidak mengambil alih, maka mereka semua akan binasa.
Seperti petualangan pertamanya.
“Aww, ayolah! Kita masih di sini kan? Jadi nggak usah di pikirkan!” Elf yang hidup selama dua ribu tahun, tidak mempermasalahkan sama sekali detil kecil seperti itu. “Memangnya kamu bisa melompat masuk dan mengatasi semuanya dengan sempurna?” Nada High Elf Archer serta ekspresinya (saksikanlah kepakkan telinganya) membuat semua tampak jelas bahwa dia berpikir ini merupakan hal sepele. “Bahkan para elf nggak dapat melakukannya. Kalau kamu ketemu elf yang bilang dia bisa melakukannya, jewer telinga mereka, karena aku yakin telinga mereka budeg.”
“Sekali-sekali kamu ada benarnya Telinga Panjang!”
“Pfff! Aku Selalu benar!” dia menjawab, membusungkan dada kecilnya.
Namun itu semua hanya berjalan sesaat. Matanya setengah tertutup, dan dia memutar wajah merahnya pada sisi lain meja.
“Gimana sama kamu?”
Selain Goblin Slayer dan Priestess, terdapat satu orang lagi di meja yang tidak banyak berucap. Adalah seorang pria muda, yang menopang dagu dengan satu tangan seraya merajuk dan mendorong potongan kecil sosis yang ada di piringnya dengan garpu.
Masuk akal: ini adalah petualangan pertamanya, dan dia tidak mempunyai sesuatu untuk di banggakan. Dia bergegas maju dengan keberanian jenuh dan masuk ke dalam perangkap. Sihirnya yang merupakan senjata andalannya, telah di gunakan pada waktu yang salah.
Pengalamannya begitu berbanding terbalik dengan petualangan yang selalu dia impikan.
Yah, aku rasa kenyataan memang seperti itu. High Elf Archer menghela dan kembali menuangkan minumannya, seolah rasa tertariknya telah menghilang.
“Tidak perlu di risaukan,” Lizard Priest berkata. “Anda dapat kembali dengan selamat pada petualangan pertama anda, dan itu merupakan alasan yang cukup untuk di rayakan.”
“Dia benar, bocah. Nggak semua orang yang bisa bertemu troll di petualangan pertamanya. “Dwarf Shaman menepuk sang bocah yang mengambek dan meneguk anggurnya.
“Kalau troll bodoh itu nggak ada di sana,” Sang bocah berkata, “maka aku nggak akan kerepotan sama sekali dengan semua goblin itu…”
“Pokoknya, cuma ada satu hal yang harus di lakukan,” Sang dwarf berkata, mengisi gelas sang bocah. “Minum! Ini anggur yang enak.”
Sang bocah memperhatikan gelasnya, dan kemudian meminumnya dengan sekali teguk.
“Guh?! Uhuk! Uhuk! Ugh!” Sang bocah terbatuk terbakar alkohol.
“Tuh kan? Nggak bisa masuk banyak di saat kamu coba pertama kali kan!” Tawaan Dwarf Shaman sedikit jahat dan sedikit menyemangati. Sang bocah menatapnya dan membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu.
Akan tetapi, sebelum dia dapat berbicara, dia mendapati mulutnya penuh akan sosis, yang di ambil dari piring yang mengepul penuh dengan berbagai macam hal.
“Ayolah, manjakan lidahmu dengan kelezatan sosis bercampur kejuku.”
Daging itu, begitu hangat hingga mengepul,terlumuri dengan keju cair. Lizard Priest dengan riang mengambil beberapa bagian untuk dirinya (dengan ukuran yang lebih besar dari yang lain) dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kulit sosis berderik seraya dia mengunyahnya; mulutnya penuh dengan kenikmatan.  Rasa asin dari bumbu bercampur dengan rasa manis dari keju, sebuah kombinasi yang sempurna.
“Madu!” dia berteriak, menepuk tangannya bersama seolah sedang menyembah. Kemudian dia menawarkan piringnya kepada Priestess. “Ciciplah beberapa, sungguh lezat, saya jamin. Dan lagipula, makanan yang lezat setelah pengalaman yang sulit, sangatlah menenangkan hati.”
“Aku rasa kamu benar…” Dengan banyak rasa bimbang, Priestess membimbing garpunya mengarah sosis. Dia mengambil satu bagian dan membawanya ke mulutnya, yang terbuka cukup lebar untuk satu gigitan kecil.
“Aku juga…ingin melakukan hal yang lebih baik di sana.”
“Ha! Ha! Ha! Ha!” Lizard Priest tertawa riang. Priestess melirik kepadanya. Lizard Priest sedang berdiri; dia mengatakan bahwa ekor miliknya menghalaunya ketika dia ingin duduk di sebuah kursi. Ini semakin membuktikan akan betapa tingginya dirinya.
Priestess mengembungkan pipinya sedikit, mendapatkan anggukkan menyetujui dari Lizard Priest.
“Semangat itu sungguh adalah hal yang sangat baik. Jika anda tidak mempunyai niatan untuk melakukan hal seperti itu, maka anda tidak akan pernah berhasil. Apalah arti kemajuan tanpa adanya keinginan untuk mencoba maju?” sang jari bersisik terangkat, menggambar lingkaran di udara. “Para naga, leluhur menakutkan saya, pertama merayap di rawa sebelum berjalan di tanah dengan keempat kaki, yang di mana pada akhirnya mereka menjadi naga.”
Ini adalah mitos para lizardman. Priestess sama sekali tidak mengetahuinya.
Lautan menghasilkan ikan, kemudian ikan mulai berjalan di tanah, berlari di tanah, berdiri, dan akhirnya menjadi naga yang menguasai segalanya.
Adalah cara lizardman untuk menggambarkan sebuah kemajuan, atau mungkin evolusi, budaya mereka selalu mengajarkan mereka untuk terus bergerak maju.
Walaupun semua ini sangatlah menarik, Priestess sama sekali tidak yakin apakah semua ini di maksudkan untuk dirinya, dan pada akhirnya dia hanya dapat tersenyum ambigu.
Paling nggak aku bisa mengerti dia mencoba menyemangati diriku.
“Hey, ngomong-ngomong,” High Elf Archer berkata, menyela tepat ketika Priestess hendak mengigit besar sosisnya agar dia tidak perlu mengatakan sesuatu yang berkomitmen. Tidak di ragukan bahwa sang elf tidak berusaha untuk menolong gadis ini; dia hanya memiliki sikap untuk mengutarakan apapun yang ada di dalam pikirannya. “Gimana dengan itu, kamu tahulah—gadis acolyte? Apa yang terjadi dengannya? Apa dia akan baik-baik saja?”
“Oh, ya,” Priestess berkata, mengangguk cepat dan mengelap jarinya yang sebelumnya ada di mulutnya. “Mereka sepertinya berhasil menyambung jarinya kembali. Sekali dia beristirahat, mereka akan berpikir tentang apa yang berikutnya harus di lakukan.”
“Kedengarannya bagus. Maksudku—aku tahu itu memang sulit, tapi selama kamu masih hidup, akan selalu ada yang dapat kamu lakukan.”
Bagi High Elf Archer, itu hanyalah sebuah komentar yang berlalu. Oleh karena itu, sangatlah mengejutkan ketika sebuah jawaban kembali kepadanya.
“Terkadang kamu hidup dan nggak ada apapun yang bisa kamu lakukan!”
Adalah sang bocah.
Dia menatap High Elf Archer dengan seksama seolah dia dapat menghancurkan sang elf dengan kekuatan tatapan matanya.
“Dia di kalahkan oleh para goblin, kan? Dia nggak akan pernah melupakan itu. Mustahil.”
“Ap-apa sih masalahmu?” sang elf berkata, memanyunkan bibirnya dan terlihat sedikit takut. “Aku rasa itu masih bukanlah sesuatu yang pasti—“
“Yah, itu sesuatu yang pasti untuk kakak perempuanku!” sang bocah berteriak, memukul meja bundar dengan tangannya.
High Elf Archer terduduk dengan terkejut, telinganya melemas di kepalanya.
Perkakas bergoyang, makanan terjatuh, dan anggur tertumpah ketika sang bocah memukul meja. Lizard Priest dengan cepat mengambil piring terbesar, Dwarf Shaman menolangnya. Tampaknya mereka menunjuk diri mereka sendiri untuk menjadi penjaga bocah muda yang sedang mabuk ini.
Eh, remaja memang sering seperti ini kalau sudah kena anggur sedikit.
Ini jauh lebih baik daripada memendam perasaannya. Paling tidak, itu menurut sang dwarf.
“Dia di kalahkan oleh goblin! Dan para goblin melakukan—!”
“Kakak perempuan?” sebuah suara berkata, dengan sangat pelan.
Secara reflek, tatapan semua petualang yang duduk di meja berputar mengarah asal suara.  Adalah Goblin Slayer, yang hingga sampai saat itu terus diam meminum anggurnya.
“Kamu punya kakak perempuan?”
“Aku Punya kakak perempuan!” Sang bocah berteriak. Alkohol membuat emosinya meluap, dan sekarang kata-kata tumpah dari mulutnya layaknya sebuah banjir. “Dan aku akan masih tetap punya dia, kalau saja dia nggak mati setelah goblin menusuknya dengan pisau beracun!!”
“Huh…?”
Tampaknya tidak ada yang menyadari darah yang terkuras dari wajah Priestess di kala dia mendengar kalimat itu.
Pikirannya bercampur dengan Tentu saja dan mustahil…
Tangannya sedikit bergetar. Tenggorokannya menelan beberapa liur; liur yang tertelan, terdengar begitu nyaring baginya.
Sebuah pisau beracun. Di bunuh oleh seekor goblin. Rambut merah. Pembaca mantra.
Bagaimana mungkin dia dapat melupakannya?
“Kakakku itu hebat! Kalau saja goblin itu nggak menggunakan racun, dia akan mengalahkan mereka semua!” sang bocah berkata dengan setengah menggerutu. Kemudian dia melempar gelasnya sekuat yang dia bisa.
Oop. Lizard Priest mengambilnya dengan ekornya.
“Tapi para bajingan dari akademi itu, mereka cuma…!”
“Mati saja mereka ke neraka.”
Dengan ucapan terakhirnya, yang terdengar seperti sebuah bisikan, sang bocah terbaring di meja.
Apakah suara para petualang lainnya yang berada di rumah makan tampak sedikit lebih hening untuk sesaat? Ataukah mereka tengah mendengarkan teriakan sang bocah? Apakah ada orang lain di ruangan ini yang melihat dirinya?
Yah, walaupun begitu, mereka tidak akan mengatakan apapun.
Menjadi petualang berarti kamu harus bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Semua orang memiliki beban yang mereka emban atau harapan yang mereka kejar. Mereka ingin kaya, ketenaran, terkenal akan seni bela dirinya, disiplin, uang, mimpi, harapan, atau keimanan.
Walaupun tidak ada dua orang yang sama persis, berat dari apa yang ada di dalam hati mereka adalah sama.
Bagaimana kamu dapat membandingkan keinginan untuk meletakkan makan di atas meja untuk hari berikutnya, dan keinginan untuk menelusuri kedalaman reruntuhan? Apa perbedaan yang terdapat di antara seorang pemula yang bertarung dengan tikus raksasa di saluran air, dan mereka yang sudah berpengalaman yang bertarung dengan seekor naga?
Itulah mengapa tidak ada seorangpun yang berkata apapun.
Terkecuali—satu-satunya pengecualian—adalah seorang pria yang, walaupun seorang petualang berpengalaman, namun terus memburu goblin.
“Begitukah…?” Goblin Slayer berkata pelan, suaranya terdengar seperti gerutu sang wizard.
Dia mengambil gelasnya dan meneguk isinya.
Kemudian terdengar suara decitan di saat dia berdiri dari meja.
“Aku akan pergi. Carikan dia kamar. Di manapun nggak masalah.”
Terdengar suara pelan jentikkan lidahnya. Sang bocah belum mendapatkan kamar di penginapan manapun.
Sang petualang mengeluarkan satu koin emas dari kantung yang ada di pinggulnya dan melemparnya di atas meja.
“Ini seharusnya sudah cukup untuk biayanya.”
“Oke, kami akan urus.” Dwarf Shaman mengangguk namun tidak mengatakan hal lainnya. Dia mengambil koin dengan jari tebalnya.
“Oh…” Priestess, terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu kepada pria itu seraya dia berjalan melewatinya. Mulut Priestess terbuka, namun tidak ada satu katapun yang keluar terkecuali, dengan suara yang begitu pelan, nama pria itu. “Pak Goblin Slayer…”
“Istirahatlah.”
Priestess mendapati sebuah sarung tangan kasar memegang pundaknya yang cantik.
Di kala Priestess ingin menyentuh tangan itu, Goblin Slayer telah pergi.
Priestess celingak-celinguk melihat pria itu; dia melihat pria itu pergi menuju pintu dengan langkah tidak peduli biasanya.
“Tunggu dulu Orcbolg!” High Elf Archer berteriak, suaranya terdengar begitu lantang di antara ramainya rumah makan. “Gimana besok? Apa kita akan istirahat?”
Jawabannya sangat pendek dan dingin. “Aku nggak tahu.”
Ketika dia akan mendorong pintu berayun Guild, Goblin Slayer berpapasan dengan petualang lain yang ingin masuk.
“Yikes! Goblin Slayer ternyata!” Seorang pria tampan yang terlihat tangguh berteriak. Adalah petualang pemegang tombak.
Mungkin dia baru saja menyelesaikan petualangannya sendiri. Dia berlumur dengan tanah dan debu, dan tercium bau samar akan darah.
“Jangan muncul tiba-tiba seperti itu bro, kamu bikin aku kaget sa—“
Apapun yang dia hendak katakana, dia menelannya kembali, sebagai gantinya, dia melihat helm yang terlihat murahan Goblin Slayer dengan seksama.
“…Kenapa?” dia bertanya. “Ada sesuatu yang terjadi?”
“Nggak ada.”
Goblin Slayer mendorong Spearman ke samping seraya dia pergi meninggalkan Guild.
Spearman berdiri terdiam di pintu masuk, melihat Goblin Slayer seolah dia tidak percaya dengan apa yang telah di lihatnya.
Dia tidak pernah melihat Goblin Slayer mendorong seseorang sebelumnya.
*****
Tidak satupun petualang yang tidak menyukai bermabuk-mabukan.
Pesta pora dari dalam Guild menembus dinding dan jendela, memeriahkan malam.
Jika seorang petualang terbaring di dalam sebuah gang yang gelap hingga cahaya dari bulan kembarpun tidak dapat menjangkaunya, apakah ada yang akan menyadarinya?
Armor kulit yang terlihat murahan, dan helm yang kotor. Bahkan petualang yang paling terbarupun memiliki perlengkapan yang lebih baik.
Adalah hal yang sangat lumrah: seorang petualang baru, merasa lega dapat bertahan hidup dalam sebuah petualangan, mulai terhanyut dalam minumannya.
“…Kakak perempuan katanya?” sang petualang berkata, melempar helmnya ke samping.
Apakah dia pernah berpikir bahwa dia dapat menyelesaikan satu hal pun?
Apakah dia pernah berpikir untuk dapat berhasil melakukan satu hal itu dengan benar?
“…Tolol.”
Dia mengeratkan giginya dan mengepal telapak tangannya, namun itu tidak dapat menghilangkan beban berat yang terasa di perutnya.
Tidak dapat menahan gelombang rasa mual, dia muntah di dalam gang.