HUTAN JIWA-JIWA YANG MEMBUSUK (4)
(Translater : Hikari)

Aku penasaran sudah berapa lama aku berdiri di sini terpapar miasma. Dengan suara gemeresak rerumputan, aku melihat arah tersebut. Apa yang muncul bukanlah penyerang tak kasat mata kami seperti yang kuharapkan. Dagingnya membusuk, tulang belulang putih dapat terlihat; itu adalah zombie yang membusuk. Dia mengenakan potongan kain yang benar-benar kumal, seakan dia telah diserang oleh hewan liar atau semacamnya.
Seperti para zombie yang muncul dalam game, kaki tangannya tersambung tapi kehilangan rahang bagian bawahnya. Apakah si kerangka sialan ini yang mengawasi kami dari suatu tempat?
"Yah, kurasa mau bagaimana lagi."
*Hup* Aku berdiri.
Pinggangku, lebih tepatnya seluruh tubuhku kesakitan. Miasma bukan satu-satunya alasan tubuhku menjadi terasa begitu berat. Rasa nyeri di lengan kananku sepertinya menjadi semakin memburuk tiap menitnya. Tapi bukan berarti aku tidak bisa menggerakkannya. Rasanya sakit luar biasa tapi aku masih bisa mengerahkan tenaga ke dalamnya. Aku masih bisa memegang pedang.
Tapi aku tidak tahu kapan aku akan jadi tidak dapat menggerakkannya. Memikirkan bagaimana aku harus menghadapi monster itu dalam kondisi seperti ini, aku merasa ingin menangis. Setelah zombie yang pertama, seakan mereka sudah mengaturnya sejak awal, lebih banyak lagi dari mereka yang muncul satu demi satu.
[Banyak sekali yang berkumpul.]
"Yang benar saja. Aku adalah orang yang terluka di sini, kuharap mereka akan bersikap sedikit lebih lunak— —bukankah kau juga berpikir begitu, Ermenhilde?"
Saat aku menggumamkan namanya, sebilah pedang panjang sewarna giok yang sudah biasa kugunakan pun muncul di tanganku. Pedang ini adalah pedang panjang bermata dua yang paling sering kugunakan di dunia ini. Dengan satu ayunan, suara udara yang terbelah sampai di telingaku.
Ah, ini dia. Inilah pedangnya. Telapak tanganku bergerak untuk menyesuaikan diri dengannya. Benda ini memiliki berat yang tepat. Rasanya seperti perpanjangan dari lenganku sendiri. Aku menyadari bahwa wajahku menjadi sedikit santai karenanya. Di ujung gagang pedang terdapat tujuh permata yang tertanam pada sebuah batu giok. Tiga dari antara permata-permata tersebut saat ini bersinar.
Lengan kananku kembali nyeri. Tapi rasa sakit itu malah menjernihkan pikiranku. Itu mengingatkanku tentang apa yang harus kulakukan.
"Ayo buat Mururu kehilangan kata-kata."
[… …Kau tidak apa-apa?]
Dan ternyata suara bernada khawatir muncul dari dalam sakuku. Merasa ini menarik, bibirku membentuk senyuman.
"Langka sekali. Biasanya kau akan menjadi yang terus berkata untuk bersikap seperti seorang pahlawan."
Situasi ini tepat seperti yang selalu Ermenhilde harapkan, 'kan?
Bagi seseorang, bagi sesuatu——mempertaruhkan nyawamu, dan melindungi. Itulah yang orang-orang harapkan dari para pahlawan. Itu adalah kekuatan tanpa tandingan, kemenangan, dan keamanan. Sayangnya, tidak ada satu pun dari semuanya itu yang dapat kuberikan.
Tapi, hanya untuk sekarang, hanya untuk saat ini. Mari bertaruh dengan nyawaku sebagai taruhannya. Aku akan memancing keluar si kerangka sialan itu dan membunuhnya.
[Wajahmu kelihatan pucat.]
"Sama seperti biasanya, kok."
Mengerahkan tenaga pada lengan yang memegang pedang suci. Tiga zombie telah muncul. Jumlah tidak begitu besar tapi seiring waktu, itu akan meningkat. Meskipun tidak akan bagus bagi Mururu yang seharusnya sedang mencari kesempatan untuk membuat serangan kejutan, para mayat hidup tanpa henti mencari-cari yang hidup bagaimana pun juga. Mereka akan terus datang ke sini selama orang-orang hidup di sini.
Tapi itulah sasaranku. Yah, yang sedang menunggu kami bukanlah lawan lemah seperti zombie atau hantu, tapi tengkorak sialan yang mungkin saja keturunan dari Raja Iblis. Dengan suara yang hanya bisa didengar olehku dan Mururu, Ermenhilde memberi perintah pada Mururu untuk tidak bergerak.
Tangan kananku yang dominan tidak berguna di sini. Tidak ada rekan-rekan yang menyelamatkanku. Hanya tiga perjanjian yang dilepaskan. Musuh-musuhku adalah zombie yang tidak terhitung banyaknya dan hantu serta sesosok kerangka misterius. Meskipun ini adalah situasi yang membuat putus asa, untuk beberapa alasan aku tidak merasakan rasa putus asa secuil pun.
Para zombie terus bergerak melewati rerumputan ke arahku. Perlahan, seakan menyeret kaki-kaki mereka, mengikis daging mereka sendiri dengan membentur akar-akar dan mengeluarkan suara yang tidak dapat digambarkan penuh kebencian. Untuk membunuh diriku yang hidup, untuk memakanku dan membuatku salah satu dari mereka.
"Cedera, racun, situasi tanpa harapan ini—— ini bukan pertama kalinya aku menghadapi hal semacam ini!"
Secara paksa menggerakkan tubuhnya yang terasa berat, aku menebas. Aku mengincar tubuh dengan tenaga yang cukup kuat tidak hanya untuk menyayat tapi juga untuk menghancurkannya sepenuhnya. Daging yang membusuk, otot-otot yang rusak, tulang belulang yang hancur; aku melibasnya dan membelah jasad tersebut menjadi dua bagian. Aku tidak membelah perutnya tapi jantungnya. Tapi itu tidak cukup untuk membunuhnya. Sebenarnyanya, aku telah mengincar lehernya tapi bidikanku meleset. Kenyataan bahwa aku tidak bisa menggunakan lengan dominanku, dan mungkin karena demam yang kurasakan, indera-inderaku menjadi terganggu. Bagaimanapun, pertama-tama aku harus menghadapi para zombie yang datang padaku untuk hidup.
Zombie yang kubelah ambruk ke tanah. Dan detik berikutnya, aku menghancurkan kepalanya dengan kaki kananku. Itu yang pertama.
Mengikuti momentum, aku menebas lagi. Zombie yang datang padaku dari belakang pun terhempas. Mungkin karena itu adalah mayat yang lebih segar, dan kekuatan lengan kiriku tidak cukup untuk membelah yang satu ini, pedangku terhenti di bahunya. Tapi aku menariknya dengan kekuatan penuh dan meledakannya menjauh.
[Renji, ke kanan!]
Mengikuti perkataan Ermenhilde, aku melompat ke kanan. Aku berguling di tanah untuk menjauh saat kerikil dan ranting menyakiti kulitku. Itu lumayan sakit.
Tapi, zombie ketiga hampir melompat ke tempat di mana aku tadi berdiri sebelumnya. Kalau aku tergigit oleh gigi-gigi busuk itu, aku sudah pasti akan keracunan atau mendapatkan penyakit yang sangat aneh.
Pedang giok berubah menjadi energi magis lalu menghilang, dan sebagai gantinya muncullah sebilah belati yang kulemparkan kemudian, menembus kepala makhluk itu. Belati lain muncul di tanganku. Benda tersebut dilemparkan tangan kiriku tapi aku sudah cukup berlatih untuk dapat menggunakan kedua tangan untuk melempar. Meskipun tidak secepat lemparan tangan kananku, kalau aku membidik dengan benar sebelum melempar, senjata itu pasti akan mengenai targetnya, wajah si zombie.
Keheningan. Pertempuran singkat tepatnya. Yah, lagipula hanya ada tiga dari mereka. Sekalipun goblin bisa dibilang lebih buruk daripada ini setidaknya. Bagaimanapun, mereka cepat dan bekerja dalam tim.
Sementara aku memikirkan hal semacam itu, sekali lagi rerumputan bersuara. Zombie-zombie yang baru pun muncul. Mereka pasti tertarik oleh pertempuran. Atau mungkin mereka hanya mengendus manusia hidup. Alasan manapun, itu tidak mengubah apa yang harus kulakukan.
Aku melirik cepat lengan kananku. Darah menetes keluar dari perawatan sederhana yang kulakukan dengan membalutkan secarik kain di sekitar luka.
"Aku benar-benar berharap pelaku utamanya keluar secepatnya."
[Ya, benar… …Menurutmu kau bisa bertahan sampai saat itu?]
"Bisa, entah bagaimana."
Aku menebas kepala zombie-zombie itu saat mereka bergerak ke arahku.
Fuu, aku menghela napas. Kerangka itu belum muncul. Tidak, aku hanya tidak merasakannya dan dia hanya sedang bersembunyi di sekitar sini. Dia tidak terlihat, tidak memiliki hawa keberadaan, dan juga tidak memiliki bau. Di dalam hutan yang membusuk ini, dia mungkin adalah musuh terburuk untuk dihadapi. Kalau Aya berada di sini, setidaknya ada pilihan untuk sepenuhnya membakar seluruh hutan ini bersama makhluk tersebut.
Saat aku memikirkan hal itu, lebih banyak zombie yang muncul. Tiga lagi. Pasti adalah para penduduk desa terdekat. Dua di antaranya berpakaian tunik. Yang satu lagi, mungkin adalah seorang prajurit dari ibu kota. Dia adalah zombie dengan perlengkapan yang sangat bagus.
Kalau ini adalah game, aku akan mendapatkan banyak EXP dari makhluk ini. Yah, zombie tidak menjatuhkan banyak uang bahkan di dalam game. Memikirkan hal semacam itu, aku menenangkan diriku lagi.
Aku penasaran apa Mururu sudah menyadarinya. Supaya dia tidak menyadari hal itu, aku harus bertarung secara mencolok.
Aah, tanganku benar-benar sakit. Mengebaskan mantelku, aku berlari dengan kecepatan yang meledakkan tanah di belakangku. Dengan sebuah tebasan, aku membelah kaki-kaki kedua zombie berpakaian tunik. Aku menginjak leher salah satu zombie untuk menghancurkannya. Sensasi saat daging dan tulang menjadi hancur melewati sepatu bot kulitku padaku. Rasanya menjijikkan tapi aku juga tidak bisa berhenti. Mengikuti momentum, aku mendekati zombie yang berpakaian zirah.
Yang satu ini merepotkan. Bahkan sekalipun aku memiliki Ermenhilde, aku masih membutuhkan banyak kekuatan untuk memotong menembus zirah. Aku ragu satu tebasan akan cukup. Tapi, aku juga percaya diri dengan kemampuanku. Aku mengincar bagian sendinya. Seranganku ke sikut dihalangi pelindung tangan. Benar-benar sulit melakukan serangan yang disesuaikan secara mendetail dengan tangan kiriku. Mendecakkan lidah karena serangan yang meleset, aku melompat mundur untuk mencoba lagi.
Saat berikutnya, pedang panjang makhluk itu menyerang tempat di mana dia berdiri sebelumnya. Tanpa tekhnik apapun, itu adalah sebuah serangan yang didasarkan pada kekuatan otot semata karena tanahnya membuncah sedikit. Pada saat yang sama, sejumlah besar darah mulai mengalir keluar dari siku kanan zombie tersebut. Apakah dia dagingnya yang membusuk putus, apakah patahan tulangnya menyobek dagingnya?
Senjata di tanganku berubah menjadi energi sihir sekali lagi dan kemudian dalam sekejap membentuk sebatang rapier.
"Terlalu lambat."
Aku menusuk menembus celah di helmnya.
[Dalam hal teknik saja, kau setara dengan para pahlawan lainnya.]
"Tidak mungkin, aku hanya terlatih terlalu baik oleh monster itu."
Sekali lagi senjata di tanganku menghilang dengan berubah menjadi energi sihir. Dan kemudian, sekali lagi sebilah pedang panjang muncul di tanganku.
Manusia terkuat yang kukenal, sang Komandan Kesatria, adalah orang yang mengajariku cara menggunakan pedang. Belati, pedang panjang, heavy sword, katana. Sedangkan untuk sisa senjata lainnya, aku hanya belajar sendiri bagaimana cara manggunakannya selama perjalanan. Karena itulah, aku paling merasa nyaman saat menggunakan pedang.
[……Dia masih belum datang.]
"Itu sudah jelas."
[Apa?]
"Kalau aku adalah si kerangka, aku juga akan mencoba membunuh lawanku hanya dengan para zombie. Dengan begitu tidak perlu bagiku untuk menunjukkan diriku sama sekali."
Saat aku berbicara, lebih banyak lagi zombie yang muncul. Kali ini mereka tidak hanya jenis manusia, ada pula hewan seperti anjing, goblin dan orc.
Yang benar saja. Aku merasa ingin menangis.
[Tapi itu berarti——dia tidak akan pernah muncul, ya 'kan?]
"Ya, tepat seperti yang kau katakan."
Selama aku masih memiliki pedang panjang berwarna giok yang dapat diandalkan ini di tanganku, partnerku bersamaku, aku bisa terus melakukan ini.
Rasanya aneh sekali. Apakah seperti ini yang namanya kepercayaan?
Sambil memikirkan hal bodoh semacam itu, aku terus bertarung bahkan di tengah situasi yang putus asa ini. Aku tidak sendirian, aku memiliki seseorang untuk berbicara yang mana adalah hal yang sangat penting. Aku membuat mereka berdua terus bertarung sampai penyerang tidak terlihat kami memutuskan untuk menunjukkan dirinya.
"——ayo lakukan."
[Ya.]
Konsentrasiku meningkat.
Kalau itu adalah aku, aku tidak akan menunjukkan diriku pada musuh. Karena itu berbahaya.
Tapi si kerangka itu muncul saat itu. Dan dengan melakukan itu, membuat kami sadar bahwa ada sesosok musuh yang tidak bisa kami lihat. Berkat hal itu, kami berakhir dalam situasi ini. Aku harus bersikap gegabah seperti ini untuk membuat musuh muncul.
Dan setelah itu, ketika dia muncul, aku akan meremukannya. Menghancurkannya, dalam artian yang sebenarnya. Semudah itu.
* * *
"Wow—— si kerangka brengsek itu benar-benar tidak menunjukkan dirinya."
[… …]
Sudah berapa banyak zombie yang kubunuh? Aku memperkirakan secara kasar. Lengan kiriku terasa berat. Rasa sakit di lengan kananku juga terus meningkat  dan tubuhku juga dalam kondisi buruk karena kehabisan stamina.
Mengabaikan rasa letiku, aku mengayunkan pedang suci giok. Kalau aku berhenti, aku akan mati. Para zombie lamban, tapi kuat secara fisik. Kalau aku sampai tertangkap mereka dalam kondisiku saat ini, aku akan benar-benar dalam bahaya. Karena itulah aku tidak bisa berhenti. Mengacaukan para zombie dengan bergerak ke sana ke mari, aku memenggal kepala mereka dan menghancurkan mereka.
Bersama dengan miasma hutan ini, keringatku sendiri membuatku merasa mual. Dari darah yang menyembur dari para zombie——manusia-manusia yang mati, mantel dan pakaianku benar-benar kotor. Kelihatannya aku harus membeli satu pasang pakaian baru setelah ini. Meskipun tidak seburuk lengan kananku, jumlah luka-luka kecil di tubuhku juga bertambah. Pakaian ini tidak begitu mahal, tapi aku sangat suka bajuku ini.
"Ayo beli baju baru saat kita sampai di ibu kota."
[… …Kau masih sangat santai, ya?]
"Tidak juga sejujurnya."
Tidak peduli seberapa luar biasanya senjata, tergantung pemakainya, kekuatannya terbatas.
Para monster lebih terbiasa bertarung daripada orang. Monster, Raja Iblis——— dan bahkan Dewa Iblis. Menghadapi eksistensi semacam itu, tekhnik saja tidaklah cukup. Apa yang diperlukan adalah kekuatan untuk bertarung. Sama seperti manusia dan Demi human di dunia ini yang menggunakan sihir untuk bertarung, sama seperti beast men seperti Mururu yang bergantung pada kemampuan fisik untuk bertempura.
Tapi aku tidak punya satu pun dari itu. Aku tidak punya kemampuan cheat seperti Souichi dan yang lainnya, juga tidak memiliki energi magis. Yang kupunya hanya tekhnik bertarung yang kulalui dengan keputus asaan. Aku tidak memiliki kekuatan yang melimpah untuk disebut seorang pahlawan. Tekhnik yang dapat dipelajari siapapun akan selalu dikalahkan oleh kekuatan mutlak.
"Tapi, sepertinya lelucon ini akan segera berakhir… …Apa Mururu baik-baik saja?"
[Hm?]
Jika itu dia, seharusnya dia sudah menyadarinya.
Suasaran dari area ini berubah. Memang setiap menit, tapi jelas ada perubahan. Ini adalah intuisiku, yang telah terlatih setelah membuat seseorang ke dunia ini dan melewati pertarungan yang tak terhitung banyaknya. Distribusi telah menyelamatkan nyawaku berulang kali. Sulit untuk dijelaskan, tapi aku mempercayainya. Yang tersisa bagiku adalah menarik semua perhatian si kerangka brengsek itu padaku.
Ah, aku benar-benar merasa ingin menangis.aku telah bekerja begitu keras untuk mengalahkan Dewa Iblis setelah datang ke dunia ini. Kenapa aku harus melewati begitu banyak kesulitan bahkan setelah aku menyelesaikan tugasku?
Suara tebasan angin terdengar olehku. Tidak——
"Dia di sini."
Saat aku melompat ke belakang, tanah bergemuruh karena gelombang kejut. Tak terhitung jumlahnya jasad-jasad zombie yang berterbangan ke udara.
Sihir. Itu juga, adalah jenis gelombang kejut angin yang tidak terlihat. Ini benar-benar seekor monster yang terspesialisasi dengan gerakan diam-diam. Mantelku berkibar karena gelombang kejutnya dan kabut miasma pun berubah bentuk.
Spesialisasiku adalah pertarungan jarak dekat, jadi kalau aku membiarkan dia menyerang dari jarak jauh, aku tidak akan punya kesempatan menang. Yah, dia seharusnya mengerti itu juga. Tidak ada kejutan atau ketidaksabaran.
Aku harus membuat si kerangka sialan itu berpikir bahwa dia tidak bisa mengalahkanku hanya dengan sihir. Setelah menghadapi pasukan zombie, kali ini aku harus menghadapi sihir tidak kasat mata.
Ini akan mudah, mudah. Aku membujuk diriku sendiri seperti itu.
[Dari mana itu berasal!?]
"Siapa yang tahu? Kalau Aya dan Feirona di sini, mereka mungkin dapat merasakan aliran kekuatan sihir untuk mengetahuinya."
Kalau sedikit lebih banyak perjanjianku yang lepas, aku akan dapat melakukan itu juga. Tapi akan sulit dalam situasi saat ini. Aku sekali lagi melihat permata yang terpasang di gagang pedangku. Seperti sebelumnya, tiga dari mereka bersinar. Akan jauh lebih mudah kalau ini memberitahukanku syarat manakah tepatnya yang telah dipenuhi. Aku menggerutukan keluhan yang telah kupikirkan berkali-kali.
Aku mendecakkan lidahku kemudian melompat, dan menyembunyikan diri di dalam lubang pohon yang berbeda dengan Mururu.
Menurut penglihatanku, tidak ada perubahan miasma. Tempat di mana sihir ditembakkan masih tetap bergoyang tapi itu bukan arah yang benar. Sementara aku memikirkan itu, pohon tempatku bersembunyi hancur menjadi dua.
Mendecakkan lidahku lagi, aku bergerak ke bayang-bayang pohon yang berbeda. Terlindungi oleh pohon, gelombang kejut tidak datang padaku tapi sesuatu yang tajam mengenai pipiku. Sebuah pecahan pohon telah melesat dan mengiris sedikit pipiku. Aku menyeka darah yang mengalir dengan bagian belakang tanganku.
"Bisakah kau melihat dari mana itu berasal?"
[——maaf.]
"Jangan dipikirkan. Aku juga tidak bisa."
Ini sangat menyedihkan tapi pertama-tama kami harus menemukan di mana musuh kami berada. Berdasarkan bagaimana pohon tempatku bersembunyi barusan hancur, dia tidak di belakang kami. Aku mengintip dari balik pohon dan saat itu juga pohon tersebut patah. Dia sama sekali tidak menghancurkannya tapi sebongkah kayu seukuran kepalaku terhempas. Itu adalah bukti bahwa kekuatan sihir kerangka itu tidaklah normal. Kalau dia menyerangku secara langsung, kepalaku pasti telah benar-benar melayang.
Tidak hanya serangan ekornya, bahkan sihirnya pun tingkat atas. Orc hitam yang kuhadapi di desa itu juga menggunakan sihir, tapi yang satu ini berada di level yang berbeda. Walaupun mereka berdua adalah keturunan dari Dewa Iblis, bagaimana bisa mereka memiliki perbedaan kemampuan sejauh itu? Apakah itu berhubungan dengan kepercayaan dan ketaatan mereka pada Dewa Iblis mungkin? Meskipun seharusnya tidak ada banyak perbedaan antara seekor babi dan sesosok kerangka. Mengingat babi setidaknya memiliki otak, seharusnya dia memiliki lebih banyak iman, 'kan?
Daripada hal percuma semacam itu, ayo fokus tentang bagaimana menemukan si kerangka brengsek ini saat ini juga.
Aku tidak bisa menebak dari mana serangan berasal bahkan dari saat serangan terakhir. Meskipun gelombang kejut angin itu sendiri tidak dapat dilihat, dia seharusnya tidak dapat menyembunyikan distorsi pada kabut juga.
"Apa yang harus kulakukan?"
[Kau berbicara seakan kita memiliki banyak pilihan untuk diputuskan tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.]
"Itu benar, kurasa. Seperti yang kuharapakan dari partnerku, kau memang langsung ke intinya."
Aku berhasil memancingnya, sekarang selama aku dapat membuatnya terlihat——
Sementara aku berpikir begitu, sesuatu jatuh dari langit. Sambil mematahkan cabang-cabang pohon, sebentuk tulang raksasa setinggi 3m jatuh ke tanah. Itu pasti ringan karena hanya sebuah tulang karena tidak menciptakan begitu banyak guncangan saat jatuh. Karena gelombang kejutnya lebih sedikit, dia mulai bergerak lagi. Dia juga sepertinya tidak mendapatkan cedera. Dan, setelah sedetik, Mururu datang ke sebelahku.
"Aku menemukannya." (Mururu)
"Kelihatannya begitu."
Saat Mururu berkata begitu padaku seakan itu adalah hal yang sangat normal, aku hanya bisa mengangkat bahu. Dia benar-benar sudah masuk dalam mode bertarung.
Dan berikutnya, kami berdua melompat dari balik pohon. Tapi, seakan dia sudah menduganya, dia menghantamkan ekor mirip cambuknya ke tanah. Apakah dia mencoba mengintimidasi kami? Pasti begitu karena dia menjadi terlihat setelah mendapatkan cedera dari kejatuhannya.
"Ekornya…" (Mururu)
"Hm?" (Renji)
"Maaf. Aku tidak dapat menghancurkan ekornya."
"Tidak perlu minta maaf. Malahan, aku senang setidaknya kau dapat menemukannya untukku."
Jadi dia ada di atas pepohonan. Yah, aku tidak akan bisa menyadari itu. Karena dia begitu besar, aku tidak pernah memikirkan kemungkinan itu. Tapi kelihatannya, karena dia hanya tulang belulang, dia ternyata cukup ringan sampai tidak membuat banyak suara meskipun dia jatuh dari tempat yang begitu tinggi.
Aku ingin langsung menyerbu untuk menyerangnya sementara dia masih kehilangan fokus, tapi ekornya itu benar-benar menghalangi.
"Hebat sekali kau ternyata bisa merasakan di mana dia." (Renji)
"Aku terlalu lambat. Aku seharusnya lebih cepat…"
"Kubilang jangan pikirkan itu. Kau telah menyelamatkanku."
[… …Kau bersikap sangat baik pada wanita beastman ini, ya?]
Tidak juga, kurasa.
Si kerangka pulih sepenuhnya. Delapan kaki yang mirip dengan kaki laba-laba dan tubuh seekor ular. Ekor yang berayun bagaikan cambuk memangkas pohon dan kepala bertanduk yang mirip dengan ogre.
"Ayo berpencar. Yang tidak diserang oleh ekornya akan mencoba menghancurkannya." (Renji)
"Baik."
Pada saat yang sama, aku berlari ke sebelah kanan dan Mururu lari ke kiri. Target ekor tersebut adalah — Mururu. Dia pasti menyimpulkan bahwa Mururu lebih berbahaya daripada aku.
"Ermenhilde, ayo lakukan!"
[Yeah‼]
Menggantikan pedang panjangku, sebuah palu raksasa muncul di tanganku. Aku memegangnya dengan kedua tangan tapi itu sebenarnya tidak seberat itu. Menumpukan palu tersebut di bahuku, aku berlari memanggulnya. Menghadapi tulang belulang, senjata tipe hantaman bekerja lebih baik. Pedang lebih mudah digunakan, tapi palu lebih banyak kekuatan. Aku bisa mematahkan ekornya dengan satu serangan.
Bagian palu raksasanya berwarna hijau giok dan gagangnya keemasan. Pada ujung gagangnya terdapat sebuah permata Giok  dan jumlah permata bersinar di dalamnya. Dengan kecepatan yang melebihi saat ku menghadapi para zombie, aku bergegas maju ke bagian belakang si kerangka.
Pertarungan antara Mururu dan si kerangka telah dimulai. Mururu menangkis serangan-serangan ekor tersebut, yang kecepatannya pada akhirnya dapat kuikuti dengan mataku sekarang, dengan cakarnya. Masalah seberapa kuat cakarnya adalah dia tidak akan dapat menerima serangan-serangan ekor itu selamanya. Sasaranku adalah sambungan ekornya.
Tapi kelihatannya niatku ketahuan dan sebuah serangan bola sihir tak kasat mata ditembakkan ke arahku. Dengan bantuan dari distorsi kabut dan intuisiku sendiri, aku dapat menghindari benturan langsung tapi, kecepatan pergerakanku menurun. Aku berakhir dengan mendecakkan lidahku tapi aku tidak dapat mundur sekarang. kalau aku melakukannya, aku hanya akan meningkatkan beban pada Mururu. Hanya itu hal yang harus kuhindari. Tidak peduli apakah itu Mururu atau aku yang berlari ke arahnya, si kerangka merupakan lawan yang tangguh.
Menghindari bola sihir, aku menangkisnya. Jumlah bola sihir yang ditembakkannya ke arahku sangatlah banyak. Aku merasa takjub dengan jumlah energi magis yang dimiliki makhluk ini. Juga, karena bola-bola sihir itu, jasad-jasad para zombie yang terhempas ke sana ke sini menghalangi jalanku. Aku akhirnya harus menghindar dinding penghalang kejutan dari jasad-jasad ini.
Dapat menghadapi kami berdua sendiria, dia benar-benar keturunan dari Dewa Iblis. Dia berada pada level yang berbeda dari Black Orc dan ogre. Dia adalah musuh kuat yang pernah kuhadapi beberapa kali bersapa Souichi dan yang lainnya — dengan para pahlawan.
[Apa kau baik-baik saja, beast woman!?]
"Aku bukan beast woman, namaku Mururu."
Bereaksi terhadap suara Ermenhilde, aku juga melihat ke arah Mururu. Dia telah terdorong mundur cukup jauh dari tempatnya pertama kali bertarung dengan si kerangka. Dengan tubuh kecilnya itu, beban dari serangan-serangan ekor tersebut pastilah melebihi perkiraanku.
Tapi karena jumlah bola-bola sihir yang sangat banyak, aku juga tidak bisa mendekat. Darah dari para zombie menyembur dan bercampur dengan kabur, menjadikannya tirai asap merah. Dan di tengah-tengah arena pertemuran itu berdiri makhluk kerangka mirip laba-laba dan ular.
Seakan aku sedang menghadapi sang iblis, aku bergumam pada diriku sendiri.
"Cih."
Dia sangat kuat. Hanya karena dia lebih suka menyergap dan serangan kejutan, kurasa bukan berarti dia lemah.
Sambil mengahadapi Mururu, dia dapat menembakkan begitu banyak bola sihir ke arahku juga. Ada kemungkinan dia juga menggunakan sihir dengan jangkauan lebih luas kalau kami memberinya keleluasaan untuk menggunakannya. Kalau dia ternyata menggunakan itu, aku tidak ada masalah, tapi Mururu sudah pasti tidak akan keluar dengan selamat.
Kami tidak bisa menghentikan serangan kami apapun resikonya. Tapi, adalah sebuah fakta bahwa kami tidak dapat mendekatinya juga. Seandainya ada satu lagi perjanjianku yang terlepas—
Sambil menyelinap melewati hujan bola-bola sihir, aku malah jadi memikirkan hal-hal bodoh semacam itu. Satu-satunya yang jelas bagiku saat ini adalah izin dari Dewi Astrarea. Hanya itu saja. Dua hal lainnya, aku sudah pasti tidak bisa membuatnya jelas sekarang.
[Cihh—— Renji, si beast woman dalam bahaya!]
"Aku tahu!"
Melirik ke arah Mururu, dia telah berhenti menangkis serangan-serangan ekor dan sekarang hanya menghindarinya.
Maaf, aku hanya bisa meminta maaf dalam kepalaku. Seandainya aku dapat menghancurkan ekornya secepatnya. Tapi karena menghadapi pasukan zombie barusan, staminaku juga rendah. Rasa nyeri tangan kananku semakin memburuk sampai mati rasa. Jangankan paluku, aku tidak yakin aku akan dapat mengayunkan pedang dengan benar. Aku saat ini terus maju hanya karena adrenalin. Begitu hal tersebut menghilang, aku tidak akan dapat bergerak. Sebelum itu terjadi, aku harus mengalahkan kerangka ini.
Aku terus menghindari bola-bola sihir itu. Tiba-tiba sebuah suara *Don*, berbeda dari suara bola sihir yang menghantam tanah, terdengar di telingaku. Saat aku melihat ke arah Mururu, ekor kerangka itu menancap ke sebatang pohon.
Pikiranku menjadi jernih. Bahkan tanpa mencoba memikirkan apa yang telah terjadi, aku langsung bergegas ke arah si kerangka. Mengerahkan kekuatan pada tangan yang memegang Ermenhilde, pada saat yang sama energi berwarna hijau giok menyembur keluar.
Dalam sekejap, aku langsung berada tepat di samping si kerangka. Aku berlari, lari, dan lari——‼
"Pergilah ke neraka‼"
Si kerangka menarik ekornya dari pohon dan bergerak.
Tapi dia terlalu lambat.
Sebelum dia dapat bereaksi, aku mengayunkan turun palu tersebut. Energi sihir berwarna hijau giok itu terpusat pada satu titik dan menghilang tepat di tengah-tengah ekor.
Pada saat yang sama, makhluk itu menembakkan begitu banyak bola sihir ke arahku yang tanpa pertahanan dan sedang dalam gerakan mengayun. Aku berguling di tanah berkali-kali sebelum akhirnya berhenti setelah menubruk jasad sesosok zombie. Tubuh itu berbau darah, atau tepatnya mengeluarkan bau daging yang membusuk.
Tapi akhirnya, langkah pertama sudah selesai. Aku berdiri dengan bertopang pada palu. Melihat wajah khawatir Mururu yang langka, aku jadi menunjukkan seulas senyum.
"Sekarang urusan yang sebenarnya dimulai."
[Ya, ayo lakukan. Kita harus mengalahkan dia secepatnya dan kemudian mencari Aya dan yang lainnya juga setelah itu.]
Yang benar saja. Ini bahkan bukan akhirnya. Ada begitu banyak hal yang harus kulakukan. itu saja sudah membuatku tertekan.
[Kita harus merawa luka-lukamu juga.]
"Sayangnya, kau tidak bisa melakukan apapun tentang ini. Aku akan mencoba meminta Nona Francesca untuk merawatku."
[… ...]
Ya. Seluruh tubuhku luar biasa sakit.
Yah, sejak awal ini bukanlah lawan yang mudah. Saat aku melihat ke arah Mururu, dia sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah sampai sekarang. Tapi, dia bernapas dengan berat. Menghadapi ekor tersebut pastinya sangat membebani staminanya.
Lawan kami masih memiliki sihir dan ada kemungkinan dia memiliki kartu andalan lainnya juga. Dia adalah tipe yang menggunakan serangan kejutan meskipun dia begitu kuat. Meskipun tidak bagus untuk terlalu waspada, akan jadi hal yang bodoh untuk terlalu percaya diri dengan kemenangan kami juga.
"Ayo selesaikan ini. Ermenhilde, Mururu!"
[Yeah, waktunya untuk mengkahiri pertarungan ini.]
"… …Baik." (Mururu)
Mururu berbicara dengan suara lembutnya seperti bias. Sulit untuk didengar, tapi seperti itulah dia.
Aku merasa tenang karena itu. Dan bertarung, menang, bertahan hidup, bertemu dengan Aya serta yang lainnya, lalu menuju ke ibu kota.
Demi hal itu——
"Akulah yang membunuh tuangmu!" (Renji)
Aku tidak tahu apakah dia mengerti perkataanku. Tapi seranganku, energi sihir berwarna hijau giokku, dia seharusnya paham siapakah aku. Seakan mengubah targetnya dari Mururu kepadaku, dia mengarahkan wajah tengkoraknya padaku.
Ya, itu benar. Aku membunuhnya. Di medan pertempuran bagai neraka itu. Di tempat di mana tak terhitung banyaknya orang-orang yang tewas, tak terhitung banyaknya nyawa yang menghilang.
Untuk sedetik, aku menutup mataku.
Hitam, Hitam, Hitam, Hitam—— Aku membunuh Dewa Iblis itu, yang memiliki cangkang warna kegelapan, dengan rekan-rekanku, bersama dengan mereka… … Dengan Ermenhilde.
"Aku akan membunuhmu, kerangka brengsek."
Saat aku membuka mataku, aku mengucapkan sumpahku.
Seakan meraung tanpa suara, dia menghujamkan kedelapan tulang kaki mirip laba-labanya ke tanah.