PERTEMPURAN MASSAL
(Translater : Zerard)

Yang terhormat Goblin Slayer,
Saya harap surat ini tiba kepada anda dengan aman. Musim peri salju akan datang, dan bersamanya sebuah udara dingin. Kesehatan petualang adalah aset terpentingnya di dalam waktu ini. Mohon jaga kesehatan anda.
Sedangkan untuk saya, sungguh membahagiakan bagi saya untuk memberi tahu bahwa setelah pertemuan terakhir kita, saya sudah tidak bermimpi tentang goblin, dan bahkan keadaan menjadi cukup tentram. Semua ini berkat anda dan teman anda. Saya menyampaikan ucapan terima kasih terdalam saya. Seharusnya saya menulis surat ini lebih cepat, namun sungguh memalukan bagi saya untuk beralasan bahwa kesibukan pekerjaan saya sungguh menyita waktu saya yang membuat surat ini menjadi tertunda.
Ataupun karena saya merasa sungkan untuk merepotkan anda dengan segera—oleh karena itu saya memohon maaf, karena itu merupakn hal yang akan saya lakukan. Terdapat sebuah quest yang saya ingin anda mengambilnya.
Merupakan cerita yang sudah umum: seorang gadis bangsawan muda melarikan diri dari orang tuanya untuk menjadi petualang. Beliau mengambil sebuah quest, setelahnya semua komunikasi dari gadis itu terputus—hasil yang menyedihkan namun juga biasa. Salah satu dari orang tuanya yang mengunjungi Guild untuk menawarkan sebuah quest untuk mencari gadis itu pun juga bukan sesuatu yang istimewa.
Satu hal yang saya perlu sampaikan adalah bahwa quest yang di ambil gadis itu adalah pembasmian goblin.
Saya yakin anda sudah mengetahui kemana arah cerita ini.
Quest pencarian yang di dokumentasikan oleh orang tuanya menspesifikasikan “petualang yang paling dapat di andalkan,” harus mendaftar. Namun tentu saja, hampir tidak ada satupun dari yang mereka yang berperingkat tinggi yang ingin mengambil quest membasmi goblin. Ketika Guild berkonsultasi dengan saya, saya tidak bisa memikirkan orang lain selain anda.
Mengetahui anda, saya yakin anda cukup sibuk (saya mendengar apa yang terjadi pada festival panen), namun jika anda dapat menyisihkan waktu anda, saya ingin anda mengulurkan tangan bantuan untuk menolong gadis muda tidak beruntung itu.
Saya mendoakan kesehatan dan keselamatan anda.

Salam hangat,

“Ini dari Sword Maiden. Dia bilang dia mendoakanmu...surat para manusia itu romantis banget.” Sebuah suara riang elf terdengar di sebuah jalanan musim dingin.
Jalanan membentang jauh melintasi sebuah lahan yang terhembus angin. Satu-satunya yang dapat terlihat adalah pohon mati dan semak-semak yang tertutup salju hingga ke horison. Langit terhias warna abu-abu pucat bersama dengan goresan lebar awan-awan; tidak adal yang menarik untuk di lihat.
Di dalam dunia membosankan ini, suara riang sang elf sangatlah menonjol. Figur yang kurus terlapisi dengan pakaian berburunya. Sebuah busur mengantung pada punggungnya, dan telinga panjangnya mengepak riang.
Rasa penasaran High Elf Archer yang sperti kucing tidak hanya pada petualangan. Dia melipat surat yang berada di tangannya, menjepitnya dengan jari panjangnya dan memberikannya ke belakang.
“Aku nggak begitu sering melihat surat. Apa semua surat itu seperti ini?” dia bertanya.
“Hmm...”
Gadis manusia yang mendapatkan surat itu dari High Elf Archer memberikan senyum ambigu, terlihat sedikit malu. Bahkan ketika dia mengambil secarik kertas itu, dia tampak ragu untuk membacanya.
Tubuhnya yang kurus tertutup oleh baju besi, yang di lapisi dengan pakaian kependetaannya, dan di tangannya dia menggengam sebuah tongkat: dia adalah seorang pristess. Tidak salah lagi—surat ini mempunyai tanda-tanda sebuah surat cinta. Akan salah bagi Priestess jika dia tidak merasa penasaran, namun dia juga merasa tidak nyaman untuk membaca surat orang lain. Jika seseorang melakukkan hal itu kepada Priestess, tentunya Priestess akan merasa sangat malu.
“Tapi...tapi rasanya semakin dingin, ya?”
Dengan itu dia berusaha mengubah topik pembicaraan, secara paksa bila di perlukan.
Semakin mereka menuju utara, semakin tebal awan-awan yang berada di langit, hingga bias mentari tidak dapat menembusnya. Angin berhembus menggigit, dan terkadang membawa sesuatu berwarna putih bersamanya.
Adalah musim dingin. Merupakan hal yang sangat jelas, melihat salju-salju yang bertumpukkan di jalanan.
“Aku kedinginan,” Priestess berkata. “Mungkin ini kesalahanku sendiri. Baju besiku nggak akan membuatku hangat...”
“Inilah kenapa produk metal itu nggak bagus!” High Elf Archer tertawa kecil bangga dan membusungkan dada kecilnya, telinganya naik dan turun bangga. Memang benar pakaian berburunya sama sekali tidak mengandung metal.
“Jangan ribut,” Dwarf Shaman berkata. “Jujur saja, aku kagum melihat kamu nyaman dengan pakaian yang tipis seperti itu.”
“Apa aku nggak salah dengar? Kamu bilang elf lebih tangguh dari dwarf?”
Tangguh dan lambat menyadari dingin adalah hal yang berbeda gadis kecil,” sang dwarf berkata, membelai jenggotnya, memprovokasi sebuah amarah “Apa?!” dari elf yang bermuka merah.
Perdebatan bersahabat mereka seriuh seperti biasanya. Priestess tersenyum. “Beberapa hal memang nggak pernah berubah!”
“Mm,” lizardman yang besar mengangguk di sampingnya. “Sungguh saya iri dengan mereka yang memiliki energi untuk membuat keributan seperti ini.” Darah dari leluhurnya, naga yang menakutkan, mengalir di nadinya—dan dia berasalah dari suku selatan. Tubuh bersisik Lizard Priest menggigil di dalam dinginnya salju.
Sukar bagi Priestess untuk melihat kondisi Lizard Priest saat ini dan Priestess di penuhi oleh rasa khawatir. “Apa kamu baik-baik saja?”
“Merupakan sebuah pertanyaan yang seharusnya di peruntukan leluhur saya, yang sama rentannya dengan udara dingin. Saya bisa sajaa punah.” Lizard Priest memutar bola matanya dan lidahnya menjulur keluar. Dia melanjutkan dengan nada bercanda, “Tuanku Goblin Slayer tampaknya cukup tenang. Saya rasa anda memiliki banyak pengalaman perihal ini.”
“...Nggak.”
Lizard Priest telah berbicara kepada manusia warrior yang memimpin barisan. Pria itu menggunakan armor kulit kotor dan helm baja yang terlihat murahan. Sebuah pedang dengan panjang aneh berada di pinggulnya, dan sebuah perisai bundar kecil terikat di lengannya. Bahkan para petualang pemula-pun memiliki perlengkapan yang lebih baik.
Goblin Slayer: itulah sebutan orang lain untuk petualang ini, seorang pria dengan peringkat ketiga, Silver.
Satu-satunya yang berbeda dengan yang biasanya adalah sepasang panah yang dia genggam di kedua tangannya.
“Pertama kali aku berlatih itu di pegunungan bersalju.” Dia sedang mengerjakan sesuatu pada mata panah seraya dia berjalan, tidak menoleh kebelakang kepada rekannya.
“Oh-ho,” Lizard Priest berkata mengagumi. “Suatu latihan yang tidak dapat saya tiru.” Ekornya berayun.
Goblin Slayer tidak memperlambat langkahnya seraya dia berkata, “Aku nggak ingin melakukannya lagi.”
Seperti biasanya, tidak terdapat keraguan di dalam langkahnya; dia berjalan sigap.
“Um, Pak Goblin Slayer!” Priestess mendatanginya dengan langkah seperti burung kecil, memeras tongkatnya dengan kedua tangan. “Terima kasih, um, untuk ini.” Meminta maaf karena telah mengganggu pekerjaan pria itu, Priestess menyerahkan surat itu kembali kepadanya. Adalah kesempatan yang bagus, karena High Elf Archer dan Dwarf Shaman masih di sibukkan dengan perdebatan mereka.
“Kamu mengerti dasar dari quest ini?” Dia memegang kedua panah pada satu tangan, mengambil surat dengan tangan lainnya dan melipatnya. Priestess dapat melihat sekilas isi di dalam kantung peralatannya seraya dia memasukkan suratnya. Seperti biasanya, kantung itu penuh akan segala macam benda acak yang tidak di ketahui. Namun baginya terdapat sebuah susunan di dalamnya, dan tidak di ragukan dia berpikir semua yang berada di dalam kantung itu adalah sesuatu yang di perlukan.
Mungkin aku perlu mengatur perlatanku lebih hati-hati juga...
Priestess membuat catatan mental untuk meminta saran darinya dan mengangguk. “Um... Kita perlu menyelamatkan wanita itu kan? Dari para goblin.”
“Benar.” Goblin Slayer mengangguk. “Dengan kata lain, ini quest pembasmian goblin.”
Dan itu, adalah kurang lebih semuanya. Tidak lama setelah festival panen pada kota perbatasan, sebuah surat tiba dari kota air. Surat itu berasal dari sang archbishop akan Supreme God di sana—di kenal dengan Sword Maiden—dan seperti sebelumnya, surat itu di tujukan untuk Goblin Slayer.
Petualang eksentrik ini tentunya tidak akan menolak pekerjaan apapun yang melibatkan goblin. Dan begitu pula Priestess, yang telah mengantarkan surat itu kepadanya dari kuil, bersama dengan High Elf Archer, Dwarf Shaman, dan Lizard Priest, dan pergi menuju utara bersama dengan Goblin Slayer.
Adalah siang hari, dan mereka akan segera tiba pada sebuah desa kecil pada kaki gunung bersalju.
“Aku harap gadis itu baik-baik saja...”
“Yeah. Aku benci harus memikirkan tentang itu...” High Elf Archer, tampaknya telah lelah berdebat, melambaikan tangannya seolah ingin mengusir pikiran mengerikan itu. Nadanya ringan, namun telinganya melemas membuktikan kesedihan yang dia rasakan. “Jujur saja, aku ragu ada sandra goblin yang aman.”
“Yah... Uh...”
Priestess dan High Elf Archer sama-sama memberikan senyum kaku, dan sangatlah jelas apa yang tampaknya sedang mereka ingat.
“Kalau dia hidup, kita akan menyelamatkannya. Kalau dia mati, kita akan bawa bagian dari mayatnya, atau barang-barang pribadinya.”
Kengerian seperti itu, tentu saja, merupakan keahlian para goblin.
Entah itu goblin ataupun naga, tidak ada petualang yang aman di dalam genggaman monster apapun. Oleh karena itu jawaban Goblin Slayer sangatlah normal. Dia berbicara dengan pelan, tidak berekspresi, hampir mekanikal. “Apapun itu, kita akan bunuh semua goblin. Itulah questnya.”
“...Pastinya ada cara yang lebih baik untuk mengatakan itu semua,” High Elf Archer berkata dengan rasa jengkel yang dapat di mengerti, namun Goblin Slayer tampak tidak menyadarinya.
“Mau bagaimana lagi?” Priestess berkata dengan sedikit goyangan bahu dan senyum tidak berdaya.
Lizard Priest menambahkan dengan waktu yang tepat, yang semakin menambah rasa gelisah para gadis.
“Saya penasaran tentang apa alasan para goblin yang berniat menyerang sebuah desa di pertengahan musim dingin.” Tubuh besarnya menggigil, hampir teatrikal, seolah ingin mempertegas perasaan dingin yang dia raakan. “Bukankah akan lebih menyenangkan bagi mereka untuk berdiam di dalam gua mereka?”
“Scaly, sama seperti beruang, ya?” Dwarf Shaman menjawab, membelai jenggotnya. Dia membuka penutup botol di pinggulnya, meneguknya dan menawarkannya kepada Lizard Priest. “Ini. Bakal menghangatkan dalam tubuhmu sedikit.”
“Ah! Sungguh terima kasih.” Sang priest membuka rahang besarnya dan meneguk, kemudian mengembalikan penutupnya dan menyerahkan botol itu kembali kepada Dwarf Shaman.
Sang dwarf mengguncang wadah itu, mendengarkan goyang air untuk mengetahui seberapa banyak yang tersisa, kemudian mengembalikannya pada pinggulnya. “Kamu butuh banyak menyimpan makan, minum dan manisan untuk dapat melewati musim dingin.”
“Oh? Kalau begitu sepertinya lebih baik menyerang desa di saat musim gugur.” High Elf Archer memutar jarinya membentuk lingkaran di udara dan dengan penuh kepercayaan dirinya sebagai ranger, dia berkata, “Itu yang di lakukan beruang dan binatang lainnya yang berhibernasi.”
“Tapi bahkan beruangpun menyelinap keluar sesekali di musim dingin,” Dwarf Shaman berkata. “Bagaimana dengan itu?”
“Terkadang mereka nggak punya pilihan, seperti misalnya mereka nggak menemukan gua yang bagus untuk tidur, atau panen sedang buruk di musim gugur.”
Tidak ada yang dapat mengalahkan pengetahuan kaum elf perihal berburu dan memerangkap. Hal ini membuat dwarf yang sering berdebat dengannya hanya dapat bergumam, “Aku rasa itu masuk akal,” dan mengangguk.
Perbincangan ini membuat Priestess meletakkan jari pada bibirnya berpikir dan bergumam, “Hmm.” Dia merasa telah memiliki semua keping petunjuk di kepalanya. Sekarang dia hanya perlu menyusun keping itu menjadi satu...
“Oh!” dia berteriak ketika  sesuatu terlintas di pikirannya.
“Kenapa?” High Elf Archer bertanya.
“Mungkin,” Priestess menjawab, “Itu karena festival panen baru saja berakhir.”
Ya, pasti karena itu. Seraya Priestess berbicara, keyakinnannya semakin menguat.
“Festival panen sudah berakhir,” dia melanjutkan, “Karena itu gudang di desa dan kota pasti penuh. Dan para goblin—“
“—Menginginkan  semua itu untuk diri mereka sendiri,” Lizard Priest berkata, menyelesaikan kalimat Priestess.
“Benar,” Priestess berkata dengan anggukkan kecil.
“Jadi begitu. Jadi bahkan para goblinpun bisa membuat keputusan yang logis.”
“Atau mungkin mereka hanya ingin membuat kekacauan yang paling memungkinkan,” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggotnya.
“Nggak,” Goblin Slayer berkata, menggeleng kepalanya. “Goblin memang bodoh tapi mereka nggak tolol.”
“Kamu kedengarannya yakin sekali,” High Elf Archer berkata.
“Memang,” Goblin Slayer berkata, kali ini mengangguk. “Goblin hanya bisa mencuri, tapi mereka memang menggunakan kecerdikkan mereka dalam melakukan pencurian.”
Dia memperhatikan panah yang selama ini dia kerjakan, kemudian memasukkannya ke dalam tempat panah di pinggulnya. Dia tampak puas dengan pekerjaan yang dia lakukan seraya berjalan. “Aku sudah melihatnya sendiri.”
“Jadi begitu...” Priestess berkata dengan sedikit rasa kagum.
High Elf Archer melempar hmm dari bibirnya sendiri, namun bukanlah ucapan Goblin Slayer yang mennarik perhatiannya. Yang menarik perhatiannya adalah busur dan panah—yang merupakkan bidang khusus dirinya.
“...Jadi, Orcbolg, apa yang kamu lakukan dengan panah-panah itu?”
“Mempersiapkannya.”
“Oh, yang benar?” High Elf Archer menjulurkan tangannya dengan gerakan yang begitu halus sehingga hampir tidak bisa di rasakan dan mengambil salah satu panah dari tempatnya.
“Hati-hati.” Goblin Slayer memperingati elf itu namun tidak memarahinya, yang membuktikan bahwa dia sudah terbiasa dengan rasa penasaran High Elf Archer. Namun, Goblin Slayer terdengar sedikit jengkel.
High Elf Archer mengendus memahami dan memeriksa panah. Merupakan panah biasa yang murahan. Kualitas panah itu tidak bisa di bandingkan dengan panah kaum elf. Mata panah itu memiliki warna lumpur yang berkilau dalam matahari musim dingin. High Elf Archer mengetuk lembut panah itu dengan jarinya.
“Sepertinya nggak beracun atau yang lainnya...”
“Nggak hari ini.”
“Aw, yang benar!” Sang elf mengernyit pada kata kasar itu namun membuat suara akan rasa tertarik seraya dia memutar panah itu. “Mata panahnya nggak terikat kencang. Matanya akan lepas nanti.”
Dan benar, sepertimyang di katakan High Elf Archer. Mungkin di karenakan High Elf Archer yang mengutak-atiknya, mata panah  murahan itu sudah tidak Sepertinyang seharusnya. Walaupun panah itu berhasil mengenai sasarannya, mata panah itu dapat patah, dan tentunya akan jatuh pada arah yang salah.
“Orcbolg, kamu ini...” High Elf Archer menggoyangkan bahunya dan menggeleng kepala, menambahkan, “Aishhh,” sebagai efek.
High Elf Archer menghiraukan dwarf di belakangnya, yang mengatakan, “Kamu ini seperti anak kecil.”
“Sini, berikan tempat panahnya. Aku perbaiki untukmu.”
High Elf Archer menjulurkan tangannya, namun Goblin Slayer hanya melihatnya. Kemudian berkata, “Nggak,” dan menggeleng kepalanya. “Panah ini sudah bagus.”
High Elf Archer hanya menatap melongo kepadanya. “Bagus apanya?”
“Karena kita belum mengetahui di mana para goblin tidur kali ini.”
“Dan itu ada sangkut pautnya dengan panah ini?”
Nggak masuk akal!
Ketika terdapat sesuatu di mana High Elf Archer tidak memiliki pendapat yang sama, dia bisa menjadi sangat cerewet.
Mereka sudah saling mengenal hampir satu tahun sekarang. Goblin Slayer menghela. “Di saat panah ini mengenai sasaran, batangnya akan patah, dan hanya meninggalkan mata panahnya.”
“Terus?”
“Mata panah itu akan menjadi beracun.” Goblin Slayer menjulurkan tangannya. High Elf Archer mendengus dan mengembalikan panah itu dengan sopan. Goblin Slayer mengembalikannya dengan perlahan ke dalam tempat panahnya. “Selama mereka nggak mencabutnya, dan hanya pergi kembali ke dalam sarang mereka, daging mereka akan mulai membusuk, dan penyakit akan mulai tersebar.”
Dan para goblin tidak memiliki pengetahuan akan obat-obatan—paling tidak untuk saat ini.
Sebuah sarang kotor dan sempit. Sebuah luka yang tidak akan sembuh. Membusuk. Penyakit yang tersebar. Itu artinya...
“Ini mungkin nggak akan membunuh mereka semua, tapi ini akan mengurangi jumlah mereka.”
“Kayak biasanya, Orcbolg, rencanamu nggak masuk akal bagiku,” High Elf Archer bergumam. Di sampingnya, Priestess mendengak mengarah langit seolah sedang memohon ampun.
Dewa. O dewa. Dia tidak bermaksud buruk...yah terkecuali untuk goblin. Tapi kumohon, maafkanlah dia.
Sangatlah terlambat baginya untuk terkejut pada setiap kata atau tindakan Goblin Slayer, namun tetap saja, dia tetap merasa perlu untuk menawarkan sebuah doa sesekali.
Goblin Slayer, bergerak dengan cepat, melihat kepada Priestess. “Apa kamu sebegitu kagetnya?”
“...Er, yah, uh...” Priestess tidak dapat secara pasti harus kemana melihat. “Maksudku, ini memang benar-benar seperti kamu, pak Goblin Slayer...”
“Benarkah?” dia bekrkata perlahan, mengundang tawa dari Lizard Priest.
Jangan biarkan ini mengusik anda. Memang seperti inilah tuanku Goblin Slayer.”
“Benar, kita memang nggak pernah tahu sedikitpun tentang apa yang di pikirkan Beardcutter.” Dwarf Shaman mengambil botol dari pinggulnya dan meneguk anggur untuk mengusir hawa dingin. Fire wine sangatlah panas; dan sangat cukup untuk meninggalkan aroma alkohol di udara.
High Elf Archer tersedak perlahan, menjepit hidung dengan satu tangannya dan mengusir aroma itu dengan tangan sebelahnya. Dwarf Shaman membersihlan tetesan-tetesan anggur dari jenggotnya.
“Kita masih belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan utama kita.” Dia berkata.
“Pertanyaan utama?” Goblin Slayer bertanya. “Yang mana?”
“Mustahil gadis itu nggak terluka.”
“Maksudmu kemungkinan gadis yang diculik itu masih hidup.”
“Benar.” Dwarf Shaman melihat kepada Goblin Slayer dan membelai jenggotnya. “Ada kemungkinan mereka memakan gadis itu kan? Kalau nggak, mereka bakal mempunyai satu mulut tambahan lagi untuk di beri makan. Mereka nggak punya alasan untuk membiarkan gadis itu hidup selama musim dingin.”
“Musim dingin itu panjang,” Goblin Slayer berkata, mengangguk. Dia berbicara dengan acuh. “Mereka akan menginginkan sesuatu untuk mengisi waktu.”
Tidak lama kemudian, mereka menyadari sebuah asap mengepul dari sebuah pedesaan di kaki gunung.
*****
“Orcbolg...!”
High Elf Archer adalah pertama yang berbicara, telinganya mengepak.
Di depan jalanan, tidak begitu jauh, beberapa asap mengepul. Mungkin asap itu berasal dari perapian memasak? Tidak.
“Goblin?”
“Desa. Api. Asap. Aroma terbakar. Teriakan, jeritan...kemungkinan besar.”
“Jadi memang goblin.”
Goblin Slayer mengangguk, dan tanpa sedikitpun keraguan dia mengambil busur kecil di punggungnya. Dia bergerak cepat, dia memeriksa talinya dengan gerakan terlatih, memasang panahnya dan menariknya.
Tidak ada yang memberi perintah: keseluruhan party dengan segera mengikuti dirinya. Para goblin yang menyerang desa itu sedang terpaku pada aksi mencurinya; mereka bahkan belum menugaskan seekor penjaga dan belum mengetahui kedatangan para petualang.
Bagaimana cara party mereka menghukum para goblin yang telah memberikan mereka sebuah keuntungan seperti ini?
“Pak Goblin Slayer,” Priestess berkata dengan serius, walaupun napasnya berat dan wajahnya penuh akan kegelisahan, “Apa aku perlu menyiapkan keajaibanku...?”
“Lakukan.”
“Baik!”
Priestess telah menjadi petualang selama satu tahun. Memang benar, apa yang dia lakukan selama itu hanya membasmi goblin, namun tingkat keseringan berpetualang Priestess jauh melebihi petualang pemula lainnya. Itulah mengapa dia tidak bertanya keajaiban apa yang harus di lakukan dan segera bersiap. Itu karena, dia telah mengenal Goblin Slayer jauh lebih lama di banding anggota party lainnya.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah.”
Dia mendekap tongkat di dadanya dan berdoa memohon kepada Ibunda Bumi. Merupakan sebuah aktifitas ekstrim yang dapat mengikis jiwanya. Keajaiban sejati, yang dapat membuat kesadarannya menyatu dengan para dewa yang bersemayam di surga.
Sebuah cahaya samar namun suci menyinari dari langit, memeluk Goblin Slayer dan Lizard Priest. Ini adalah keajaiban Protection yang sesungguhnya, yang telah menyelamatkan Goblin Slayer dan yang lainnya lebih dari satu kali momen kritis.
Lizard Priest berlari, menendang tanah, menyipitkan matanya seraya pendar mengelilinginya. (TL Note : Pendar = https://kbbi.web.id/pendar )
“Hmm! Ibunda Bumi anda memang benar-benar dapat memberikan keajaiban. Jika saja Ibunda Bumi merupakan seorang naga, mungkin saya akan berpindah keyakinan saya kepadanya. Jika begitu, sekarang...”
Lizard Priest telah menyelesaikan doanya kepada leluhurnya yang mengerikan, para naga, dan sebuah taring yang mengkilap bagai pedang berada di tangannya. Lizard Priest memiliki kelincahan yang membuatnya dapat menyerang musuh di saat kapanpun juga. Sekarang Lizard Priest melihat mengarah desa dengan penuh curiga dan berkata, “Tuanku Goblin Slayer, apakah kita menyerang para goblin atau melindungi penduduk desa?”
Goblin Slayer menjawab dengan tenang, “Keduanya.”
High Elf Archer mengeluarkan helaan kagum. High Elf Archer memperhatikan setiap jejak yang ada di tanah seraya dia berlari dengan busur di tangan.
Walaupun Goblin Slayer telah menilai sendiri keadaan yang terjadi, dia tetap bertanya kepada Lizard Priest, “Bagaimana kelihatannya menurutmu?”
“...Tampaknya tidak begitu baik.” Sang Lizard merupakan seorang veteran warrior priest, dan penilaiannya memiliki bobot. “Saya tidak mendengar adanya benturan pedang. Itu artinya pertempuran telah berakhir; sekarang tampaknya mereka sedang terfokus untuk mencuri.”
 “Menurutku para goblin menang, dan itu akan membuat mereka menjadi rentan. Kita nggak mengetahui jumlah kekuatan mereka, tapi...”
Namun itu adalah hal yang biasa bagi party ini. Goblin Slayer tidak ragu.
“Kita masuk dari depan.”
“Dragontooth Warrior?”
“Jangan. Aku jelaskan nanti.” Kemudian Goblin Slayer mempercepat langkahnya. Priestess kewalahan untuk mengikuti, sementara Dwarf Shaman mendongakkan dagunya, berlari mengikuti secepat yang dia mampu.
Goblin Slayer bukanlah seseorang yang akan berbohong. Jika dia mengatakan akan menjelaskannya, maka dia akan melakukannya. Itulah mengapa tidak ada seorangpun dari party mereka yang membantah. Lagipula, mereka tidak memiliki waktu untuk berdebat. Mereka tidak memiliki seorang pemimpin yang seperti itu, namun jika menyangkut urusan bertarung dengan goblin, siapa lagi yang akan mereka ikuti?
“Jangan gunakan potion, tapi jangan kerahkan semua mantramu.”
“Nggak masalah!” Jawaban itu berasal dari pembaca mantra mereka, Dwarf Shaman. “Jadi ku rasa terserah padaku mantra mana yang akan ku gunakan?” Seraya dia berlari dengan kaki kecilnya, sang dwarf sudah memulai merogoh isi tas katalis miliknya.
Walaupun terdapat banyak musuh, kemungkinan adanya musuh yang menggunakan benda sihir sangatlah tipis—dan bukan hanya karena mereka melawan goblin. Adalah karena seperti itulah jalannya dunia. Kenyataan bahwa tiga dari lima anggota party mereka adalah pembaca mantra adalah sebuah bukti akan betapa di berkahinya mereka.
“Ya, aku serahkan padamu.” Goblin Slayer mengangguk, kemudian melirik kepada High Elf Archer. “Cari tempat tinggi dan lihat apa yang terjadi. Kamu akan menjadi pendukung kita.”
“Oke.” High Elf Archer memberikan senyuman puas layaknya kucing yang kegirangan. Dengan gerakan elegan. Dia mempersiapkan busur besarnya dan memasang panahnya.
Semuanya telah siap. Menjaga matanya tetap menatap ke depan seraya mereka maju, Goblin Slayer berkata, “Satu.”
Sebuah panah terbang tak bersuara melintasi udara, membenamkan batangnya pada dasar tengkorak seekor goblin yang berdiri melamun pada pintu masuk desa.
“ORAAG?!”
Goblin yang telah mati terjatuh ke depan, namun tidaklah jelas apakah rekan-rekannya menyadari kematiannya.
“Ti-tidaaaakkk!! Tolong—tolong aku! Mbakkkkk!!”
Karena pada saat itu, mereka tengah di sibukkan menyeret seorang gadis keluar dari sebuah drum tempat di mana dia bersembunyi. Gadis itu menjerit dan menendang, namun para goblin telah mencengkram rambut gadis itu; tampaknya para goblin belum menyadari situasi yang sedang terjadi.
Pada detik yang sama dengan goblin pertama yang telah mati, sebuah panah bermata kuncup mulai jatuh menghujani, mendarat pada mata dan leher.
“Hey, Orcbolg! Nggak adil mulai duluan!” High Elf archer, bibirnya manyun, memberikan banyak keluhan beriringan dengan banyaknya panah yang dia tembak. Di saat dia telah menembak mati seekor goblin, High Elf Archer melompat, dari drum, menuju tiang, menuju atap. Merupakan sebuah aksi yang hanya dapat di lakukan oleh para elf, yang telah lahir dan di besarkan di pepohonan, sebuah pertunjukkan akrobatik yang sungguh elok.
“Apa? Huh...?” Gadis desa melongo tidak mempercayai.
Seraya Goblin Slayer berlari mendekat, dia berkata singkat, “Kami petualang.”
Gadis itu masih muda—dia bahkan tidak lebih tua dari sepuluh tahun. Pakaiannya sangat sederhana namun terbuat dari bulu; tampak jelas bahwa dia di rawat dengan baik. Ketika gadis itu melihat sebuah kalung peringkat silver yang menggantung di sekitar leher Goblin Slayer, matanya berbinang dengan air mata.
Silver. Mengartikan seorang petualang tingkat ketiga. Sebuah peringkat petualang yang mewakili kemampuannya, begitu juga dengan banyaknya kebaikan sosial yang telah dia lakukan. Adalah sebuah identifikasi terpenting di perbatasan.
Goblin Slayer sedetikpun tidak lengah; dia melihat sekitar, berbicara dengan cepat. “Dimana goblinnya? Berapa banyak mereka? Apa yang terjadi dengan penduduk desa lainnya?”
“Er, um, aku—itu, aku nggak... Aku nggak tahu...” Teror dan penyesalan menguras warna paras gadis itu, dan gadis menggelengkan kepalanya. “Tapi—semuannya—mereka semua berkumpul di balai desa... mbakku, dia berkata... Dia menyuruhku untuk bersembunyi...”
“Aku nggak suka ini,” Goblin Slayer meludah, mempersiapkan panah baru dari tempatnya. “Aku nggak suka ini sama sekali.”
Bisikannya penuh akan emosi. Priestess memberikan tatapan mencari, namun itu tidak menghentikannya untuk berlutut di depan gadis muda itu.
“Semua akan baik-baik saja,” dia berkata. “Kami akan membantu mbakmu, aku yakin.”
“Yang benar?”
“Benar!” Priestess menepuk dada kecilnya dan memberikan sebuah senyuman layaknya bunga yang bersemi. Dia menepuk lembut kepala gadis yang gemetaran, menatap matanya seraya dia Priestess menunjukkan simbol Ibunda Bumi. “Lihat? Aku melayani sang dewi. Dan—“
Ya, dan.
Priestess menggeleng kepalanya. Sang gadis mengikuti tatapannya seraya Priestess mendongak ke atas. Armor yang kotor. Helm yang terlihat murahan. Seorang warrior manusia.
“Dan Goblin Slayer nggak akan pernah kalah melawan goblin.”
Goblin Slayer melirik pada gadis itu dan Priestess, kemudian memperhatikan desa, di mana suara aksi pencurian dapat terdengar.
“Musuh masih belum menyadari keberadaan kita. Ayo lakukan.”
“Tunggu—masih berbahaya.” Lizard Priest berkata muram memberikan pendapatnya pada situasi. “Goblin ataupun bukan, musuh kita tampaknya cukup terorganisir. kita tidak boleh terlalu menduga-duga.”
“Keinginan mereka untuk menyerang di siang bolong menandakan adanya goblin tingkat atas di antara mereka.” Goblin Slayer berkata.
Karena itu mereka tidak dapat membiarkan sedikitpun informasi bocor ke sarang mereka.
Setelah beberapa saat Goblin Slayer mengambil panah dari busurnya, yang di maksudkan untuk membunuh secara perlahan dan mengembalikannya ke punggung. Sebagai gantinya, dia menarik pedang yang tidak asing dengan panjangnya yang aneh.
“Aku nggak ingin ada dari mereka yang melarikan diri, tapi menjaga mereka agar tetap berkumpul di tengah desa juga cukup sulit.”
“Kalau begitu, biarkan aku yang tangani balai desa—habisi mereka semua dengan sihir.” Dwarf Shaman menepuk perutnya seperti sebuah drum.
“Hmm,” Goblin Slayer bergumam, menggulingkan mayat goblin dengan kakinya.
Sebuah kulit berbulu. Untuk senjatanya, sebuah golok. Tentunya golok ini telah di curi dari suatu tempat. Warna tubuh mayat itu bagus; tidak menunjukkan tanda-tanda kelaparan.
“Tergantung dari jumlah mereka.” Goblin Slayer mengambil golok dari tangan goblin, memasangnya pada pinggulnya. Dia mendongak dan melihat High Elf Archer melambai dari atap. Telinga panjangnya berkedut; dia pasti sedang berusaha membaca situasi dari suara.
“Lima atau enam dari mereka ada di tengah desa!” dia berteriak lantang, menyampaikan suaranya, dan Goblin Slayer mengangguk.
“Seberapa banyak goblin yang ada di desa secara keseluruhan? Berdasarkan yang kamu bisa lihat.”
“Terlalu banyak bayangan, jadi sulit untuk menghitungnyq, tapi aku rasa nggak lebih dari dua puluh.”
“Jadi mereka cuma unit garis depan,” Goblin Slayer berkata dan dengan cepat membuat strategi.
Jika berasumsi terdapat kurang dari dua puluh goblin, termasuk tiga yang telah mereka bunuh sebelumnya. Terdapat enam di tengah desa. Itu artinya terdapat kurang dari empat belas pada sekitaran desa yang sedang menjarah desa. Hanyalah sebuah perkiraan, namun sepertinya perkiraan itu tidak begitu melenceng.
Melawan musuh dengan jumlah yang besar, membagi kekuatan tempurmu adalah hal terbodoh yang dapat kamu lakukan, namun situasi saat ini memaksanya.
“Kita berpencar. Tengah desa dan sekitarannyq.”
Jika begitu, Saya akan menuju tengah desa bersama dengan master pembaca mantra,” Lizard Priest berkata.
“Baiklah.” Goblin Slayer mengangguk.
High Elf Archer, yang mendengar percakapan mereka dari tempatnya di atap, berbicara tanpa mengalihkan pandangannya atau pendengarannya dari desa. “Aku rasa aku akan membantumu, dwarf!”
“Kedengarannya bagus, Telinga Panjang!” Dwarf Shaman meneguk botol dan mengelap mulutnya dengan tangannya, kemudian menepuk perut Lizard Priest seperti sebuah drum. “Baiklah, Scaly! Kita pergi?”
Seraya Dwarf Shaman pergi, Lizard Priest memberikan pukulam pada pundak Goblin Slayer dengan tangannya yang kekar. “Saya mendoakan anda sukses dalam pertempoeran, tuanku Goblin Slayer.”
“......”
Goblin Slayer tidak berkata apapun dan akhirnya mengangguk dan mulai bergerak. Langkahnya acuh, namun tidak menimbulkan suara sama sekali. Dia sedang mendekati sebuah sisi rumah, di mana Priestess berada bersama dengan gadis kecil yang mereka telah selamatkan.
“...Apa gadis itu baik-baik saja?”
“Ya, aku rasa dia sudah nggak terlalu ketakutan lagi sekarang...” Priestess memberikan senyum optimis. Di depannya, sang gadis meringkuk di tanah, tertidur lelap. Petualang telah datang, dan dia telah memberi tahu mereka perihal kakak perempuannya—mungkin dia membutuhkan istiraha setelah semua itu.
“Apa yang harus kita lakukan...?”
“Kita nggak punya waktu untuk mengkhawatirkan gadis itu.”
“Oh...” Namun sebelum Priestess dapat melanjutkan ucapannya, sepasang tangan kasar, bersarung  tangan mengangkat gadis itu. Goblin Slayer memasukkan gadis itu ke dalam drum terdekat. Kemudian dia mengeluarkan selimut dari tasnya dan menutupi drum itu. Gadis itu tidaklah benar-benar aman, namun ini adalah tempat yang telah di pilih kakak perempuannya. Mungkin ini akan membantunya lebih rileks.
Di manakah Ibunda Bumi dan Supreme God berada hingga mereka tidak menjawab doa dari seorang gadis kecil?
“....Ini sudah cukup,” Goblin Slayer bergumam.”
“Iya,” Priestess berkata dengan anggukan kecil, tangan kanannya memegang tongkatnya, namun tangan kirinya mengambang mencari di udara, hingga dia mendaratkannya dengan ragu pada punggung Goblin Slayer. “Aku yakin...akan baik-baik saja.”
“...Ya.” Goblin Slayer mengangguk. Kemudian dia memperkuat genggamannya pada pedang, mengangkat perisainya, dan melihat ke depan. Desa terbakar, dan terdapat goblin yang harus di basmi. “Ayo.”
“Baik, pak!” Priestess menjawab tanpa kebimbangan seraya menggenggam tongkat dengan kedua tangan. Dia tidak akan membantah apapun yang di minta olleh pria ini. Itu karena, pria ini adalah seseorang yang telah menyelamatkan nyawanya.
Priestess sangat menyadari bahwa kemampuannya belumlah cukup matang, dan juga dia belum memiliki pengalaman yang cukup, namun—
“Jangan khawatir. Aku akan menjaga punggungmu!”
Dengan itu, pertarunganpun di mulai.
*****
Goblin Slayer dan Priestess bergerak layaknya sebuah bayangan di antara jalan bersalju berbaris rumah-rumah kayu. Matahari, mengintip dari balik awan-awan, telah mulai tenggelam, dan tidak lama lagi akan senja. Jam para goblin. Desa ini sudah tidak memiliki banyak waktu lagi.
Priestess menelan liurnya seraya dia berlari. “Aku belum pernah...bertarung di desa sebelumnya...”
“Nggak terlalu banyak halangan seperti di dalam gua. Perhatikan bayang-bayang dan berhati-hatilah serangan dari atas.” Bahkan seraya dia berbicara, Goblin Slayer mengangkat pedangnya dan melemparnya. Pedang itu terbang melintasi udara, terbenam pada dada seekor goblin yang merayap-rayap di atap.
“ORAAG?!”
Makhluk itu menjerit dan terjatuh ke tanah. Goblin Slayer menarik golok darinikat pinggangnya. Satu ayunan dari tangannya menghantarkan golok itu kepala goblin yang meronta-ronta di tanah.
“GAAROROROOOOOORG?!”
Goblin itu memberikan satu jeritan kematian. Goblin Slayer taampaknya terlihat senang mendengar suara itu. Tidak jelek.
“Dengan ini empat.”
“Karena ada enam di tengah desa, itu artinya tersisa kurang dari sepuluh lagi, kan?”
Priestess menutup rapat matanya, menawarkan sebuah doa kepada Ibunda Bumi agar kiranya iblis kecil ini tidak kehilangan jalannya di kehidupan berikutnya.
Semua makhluk fana hanya hidup satu kali; Karena itu, semua orang tiada yang berbeda. Kematian adalah hal terlembut dan teradil di dunia ini.
“Ya. Dan kita nggak punya banyak waktu untuk mencari.” Goblin Slayer berlari kecil menuju sebuah persimpangan, kemudian bergerak mendekati Priestess seraya ingin memintanya untuk menjaga belakangnya. Di karenakan jarak mereka yang begitu dekat secara tiba-tiba—jantung Priestess mulai berdebar, walaupun dia menyadari bahwa ini semua hanyalah platonis.
“Mereka akan mendengar teriakannya. Sebentar lagi mereka akan datang. Bersiaplah.”
“Oh, ba-baik!”
Priestess mengangguk, memeras tongkatnya kuat, dan mendekapnya di dada.
Mungkin rasa gugup dan lelah setelah berlari yang membuat degup jantungnya meningkat dan wajahnya memanas. Tidak ada waktu untuk berpikir yang tidak-tidak sekarang, dia mengatakannya pada dirinya sendiri.
“Perhatikan langkahmu. Kalau kamu terpeleset di salju, kamu mati. Dan hati-hati dengan senjata beracun.”
“Baik. Um.,,” Priestess melihat Goblin Slayer penuh tanya. Berlindung. Di atas kepala. Kakinya dan senjata beracun. “Jadi maksudmu...berhati-hati terhadap semuanya, seperti biasanya.”
“Mm,” Goblin Slaher mendengus.
Priestess melihatnya mengangguk, dan senyum menghias bibir Priestess.
“Itu nggak bisa di bilang bimbingan lagi.”
“Maaf.”
“Astaga , kamu... kamu benar-benar terlalu ya?” Priestess tertawa kecil, namun itu hanyalah topeng untuk menutupi betapa takutnya dia sekarang.
Ini merupakan satu dari kesekian banyak momen di mana Priestess dan Goblin Slayer bertarung bersama, hanya mereka berdua. Namun ini adalah, mungkin, pertama kalinya dia berada di garis depan bersamanya.
Party mereka sekarang berjumlah lima orang. Goblin Slayer merupakan satu-satunya spesialis garis depan mereka, namun Lizard Priest juga nerupakan seorang petarung. Spesialis garis belakang seperti dirinya sangatlah jarang mempunyai kesempatan untuk merasakan pertarungan sengit. Priestess mengakui bahwa sesekali, dia merasa jenuh karena selalu di lindungi oleh mereka, namun tetap saja...
Itu nggak penting. Aku harus melakukan pekerjaanku dengan benar.
Dan lagipula, Priestess menghargai mereka semua yang berusaha melindunginya.
Dia memeras tongkatnya lebih erat lagi; dia melihat sebuah sosok bergerak, terlindung oleh salju yang berjatuhan.
“Sepertinya mereka sudah di sini...”
“Lakukan gerakan kecil dengan senjatamu. Yang aku butuhkan adalah pengalihan. Aku akan melakukan serangan penghabisannya.”
“Baik, pak...!”
Dan kemudian mereka sudah tidak memiliki waktu lagi untuk berbicara.
Para goblin, melihat musuh mereka hanya berjumlah dua, dan salah satu dari mereka adalah wanita, menyerang persimpangan dari empat arah secara sekaligus.
“GAAORRR!!”
“GROOB!!”
“Lima...!” Goblin Slayer berkata, menyerang goblin pertamanya dengan goloknya semudah dia memotong kayu bakar.
“GOROB?!”
Monster itu terjatuh ke tanah, golok masih tertancap di dahinya. Tidaak memperlambat aksinya, Goblin Slayer mengarahkan perisainya pada makhluk yang ada di kiri. Perisai tajam, terasah, dapat berfungsi sebagai senjata, dan mengundang  jeritan aneh dari goblin kedua ketika perisai itu membelah kepalanya.
Makhluk kedua terhuyung ke belakang. Goblin Slayer tanpa ragu mengambil belati yang terdapat pada kain kotor goblin itu.
“Hrr!”
Dia menendang perut goblin dan membuatnya terlempar, kemudian memusatkan momentum itu untuk melempar belati yang telah di curinya. Belati itu terbang lurus tepat menuju goblin yang mendatanginya dengan sebuahntombak. Makhluk itu mulai mencakar-cakar belati yang secara tiba-tiba terbenam di tenggorokannya, kemudian mati.
“Enam.”
Dia menginjak tubuh goblin pertama yang dia bunuh dan menarik goloknya, kemudian menancapkannya kembali pada kepala goblin kedua yang tidak beruntung itu, yang berusaha untuk bangun.
“Tujuh!”
Merupakan pertarung dua melawan banyak—namun salah satu dari dua orang itu adalah Goblin Slayer. Dia berfokus pada apa yang ada di depannya, meempercayakan punggungnya yang rentan pada Priestess. Tidak ada dinding yang dapat menjadi tempat para monster melakukan sergapan; Goblin Slayer dapat melihat ke semua empat arah, dan hanya itulah yang dia butuhkan. Tidak ada musuh yang lebih mudah di kalahkan selain goblin yang telah meninggalkan wilayahnya.
“Hah! Yah!”
Priestess, keringat mengucur dindahinya, membuat gerakan kecil dan cepat dengan tongkatnya. Gerakan itu tidaklah seperti tarian yang telah di pelajarinya untuk sebuaah ritual yang dia lakukan di festival.
Dia tidak memberikan para goblin pukulan yang mematikan; dia hanya berusaha menjaga para goblin berada tetap di tempatnya. Memastikan mereka agar tidak maju. Memberikan mereka sesuatu untuk di pikirkan. Priestess hanya ingin memastikan agar mereka tidak terlalu dekat. Priestess mungkin dapat membuat mereka mengambil langkah mundur yang lebih jauh jika dia membuat gerakan yang lebih lebar, namun itu dapat menyebabkan resiko adanya sebuah celah yang dapat di manfaatkan para goblin, dan semuanya akan berakhir.
Lagipula, aku punya Goblin Slayer di belakangku.
Mereka berdua saling menjaga punggung mereka satu sama lain. Priestess merasa senang dan perasaan akan sebuah kebutuhan.
“Ah...!” Tiba-tiba, dia merasa Goblin Slayer mulai bergerak ke arah kanan. Tanpa adanya keraguan, Priestess mengikutinya. Mereka berputar, seolah sedang berdansa, sekarang Goblin Slayer menghadap tempat di mana Priestess berada sebelumnya.
“Delapan... Sembilan!”
Golok Goblin Slayer mulai memangkas para goblin yang telah di tahan Priestess. Tidak peduli seberapa seringnya di mendengarnya, gadis ini tidak pernah terbiasa denga suara pedang yang memotong daging dan kulit. Terutama pada saat dia berhadapan dengan goblin, mata mereka di penuhi oleh keserakahan dan kebencian, melangkahi mayat rekan mereka untuk dapat menghabisi Priestess.
Pengalaman buruk akan petualangan pertamanya masih terngiang di hatinya. Dan tampaknya pengalaman itu tidak akan bisa dilupakannya.
“Ya—ah?!”
Terdengar suara thock seraya salah satu goblin menangkap ujung tongkat Priestess. Momen tarik menarik-pun mulai berpihak pada goblin itu. Bahkan monster lemahpun dapat mengalahlan lengan kurus Priestess. Dengan tenaganya, goblin ini dapat dengan mudah membuat priestess terjatuh, dan mencakar tenggorokannya.
Priestess memucat; gambaran akan mantan rekan partynya, seorang wizard wanita yang berakhir tragis, terlintas di pikirannya.
“O Ibunda Bumi yang maha pengampunk berikanlah cahaya sucimu pada kami yang tersesat di kegelapan!”
“GORRUURUAAAA?!”
Namun Priestess tidak akan membiarkan itu terjadi. Dia telah mendapatkan banyak pengalaman sejak saat itu. Keajaiban Holy Light membakar mata goblin tanpa ampun. Makhluk itu terjayuh ke belakang, memegang wajahnya, dan tongkat Priestess hampir terlontar ke wajahnya.
Keajaiban ini tidak menimbulkan kerusakan, namun segalanya memiliki kegunaan. Mereka yang tidak memiliki imajinasi adalah yang pertama akan mati. Adalah sesuatu yang dia pelajari dari Goblin Slayer.
”Sepuluh...!”
Dan Goblin Slayer, tentunya, tidak akan melewatkan sebuah kesempatan di mana seekor goblin sedang lengah. Golok itu telah bertukar tempat Priestess; golok itu menyayat tenggorokan sang goblin. Monster itu kejang-kejang dan berguling di tanah. Lehernya menggantung pada arah yang aneh. Satu pukulan lainnya. Dan semua berakhir.
Goblin Slayer menghasilkan semua tumpukkan mayat ini semudah dia bernapas. Sekarang, dia berputar tanpa ekspresi kepada Priestess.
“Kamu terluka?”
“Ng-nggak.”
Pertanyaannya selalu blak-blakkan. Priestess dengan cepat memeriksa tubuhnya untuk lebih memastikan. Walaupun dia tidak berpikir bahwa dia terluka, sangatlah mungkin jika dia mengalami luka gores di suatu tempat. Dengan goblin yang menggunakan senjata beracun, bahkan sebuah luka kecilpun dapat mematikan.
“Ku-ku rasa aku baik-baik saja.”
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk. Dia memeriksa golok berdarahnya dan menjentikkan lidah. Golok itu tidaklah terlalu berlumur daging, namun mata golok tersebut sudah mulai menjadi tumpul di karenakan memotong begitu banyak tulang. Dia melemparnya unntuk kedua kalinya, menarik busur kecil dari punggungnya.
Bagaikan sebuah kilasan, dia berkata, “Holy Light. Pilihan yang bagus.”
“Huh...?” Butuh waktu beberapa saat bagi Priestess untuk memahami apa yang dinbicarakan pria ini. Apa dia...apa dia memujiku? “Oh! Uh—um, te-terima kasih...?” dia memujiku, iya kan?
Priestess merasakkan hangatnya kebahagiaan yang mulai tersebar di pipinya. Namun sebelum kehangatan itu dapat menyebar lebih jauh, dia menahan sebuah senyuman yang terhias di parasnyya. “Heh-heh.”
Hanya sedikit tawaan yang terlepas dari bibirnya. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk menikmati sebuah pujian. Karena itu, dia tetap menjaga wajahnya tetap netral, menggenggam tongkatnya memohon, dan menawarkan sebuah doa untuk mereka yang mati. Goblin Slayer tidak akan menghentikan Priestess untuk melakukan itu.
“Sebelumnya tiga, tujuh di sini, dan sepuluh di tambah yang satu ini.” Goblin Slayer menyiapkan panahnya dan memeriksa area sekitar.
Inspeksi lumpur dan jalan bermandikan darah secara terperinci menunjukkan beberapa tubuh yang tergeletak di tanah. Kebanyakan dari mereka adalah manusia, namun beberapa darinya merupakan goblin. Penduduk desa pastilah melakukan perlawanan. Para monster tampaknya telah terbunuh oleh cangkul atau alat perkebunan semacamnya. Terdapat dua—tidak, tiga lagi—mayat goblin.
“Jumlah akhirnya tiga belas.”
Goblin Slayer pergi menendang setiap tubuh untuk memastikan bahwa mereka benar-benar mati. Salah satu dari mayat itu menjatuhkan sebuah belati; dia mengangkatnya dan menaruhnya pada pinggulnya. Dia tidak pernah mendiskriminasi sebuah senjata. Sebuah batu dapat membunuh goblin, Bahkan tangan kosong, terdapat banyak cara. Namun, tetap ada sebuah waktu di mana sebuah senjata sungguhan menjadi faktor penentu. Sangatlah penting untuk mengumpulkannya di saat kamu bisa.
“Seingatku masih ada lima atau enam di tengah desa.”
“Berarti jumlah semuanya delapan belas atau sembilan belas, kan?” Priestess telah menyelesaikan doanya; dia berdiri, mengibas debu dari lututnya.
Ekspresi Goblin Slayer tersembunyi di balik helmnya, namun Priestess tampak terlihat bingung. “Nggak sampai dua puluh...”
“Aku nggak suka cara mereka mengumpulkan semua sandra di satu tempat, dan aku juga nggak suka melihat mayat penduduk desa yang melawan balik kelihatan nggak di apa-apain.”
Priestess meletakkan jari di bibirnya dan berpikir, kemudian bergumam, “Nggak kayak...goblin banget, ya?”
Banyak hal yang telah terjadi di dalam gua, reruntuhan dan tempat lainnya yang Priestess tidak ingin ingat. Namun di manapun dan kapanpun goblin mengalahkan musuh mereka, mereka cendrung menganiaya musuh mereka di saat itu juga. Dan semakin seseorang melawan balik, semakin kejam dan ganas goblin bertindak.
Goblin sangatlah licik dan pengecut, jahat dan bringas, dan terlebih mereka semua setia dengan nafsu mereka. Mereka mungkin tidak mengetahui arti dari sebuah pengendalian diri. Mengambil sandra dalam wilayah musuh, dan terus melanjutkan penjarahan tanpa sedikitpun menyentuh sandra mereka...
“Apa menurutmu ada ogre atau dark elf lainnya di balik semua ini?”
“Aku nggak tahu,” Goblin Slayer berkata. “Bisa saja cuma goblin biasa.”
Dia berbicara dengan sikap biasanya; entah mengapa, Priestess merasa yakin. Goblin Slayer memang sedikit tidak waras, sedikit aneh, dan tentunya keras kepala. Priestess telah sering melewati berbagai macam bahaya selama setahun bersamanya. Dan terkadang, Priestess merasa bahwa dia tidak bisa membiarkan Goblin Slayer sendiri.
“Kamu mungkin benar,” Priestess berkata, dan suaranya sangatlah lembut. Namun...
“Huh...?”
Sesuatu menggelitik di hidungnya, sebuah aroma samar di dalam angin. Aroma manis yang menstimulasi layaknya alkohol.
“Dia pasti memakai Stupor,” Priestess berkata.
“Jadi dia memutuskan untuk membuat semua sandra dan goblin tertidur.” Goblin Slayer melihat sekeliling, kemudian menuju tengah desa, di mana aroma itu dapat tercium. Benar: sebuah asap mengepul di sekitar daerah itu, sebuah asap yang di hasilkan sebuah sihir.
“Sangat efisien.”
“Ha... Ah-ha-ha-ha...” Sebuah senyum melintas di wajah Priestess, dan dia mengalihkan pandangannya.
Nggak ada yang lebih efisien selain memguat seluruh sarang tertidur. Iyalah...
Dia berpikir namun tidak mengucapkannya.
*****
“Orcbolg, aku kira kamu nggak bakal sampai kesini!”
“Begitukah?”
Dada kecil High Elf Archer membusung; Goblin Slayer menjawab dengan sedikit kejengkelan. Ketika Priestess telah tiba, alun-alun desa telah di tangani oleh rekan partynya.
Semua jarahan goblin telah di tumpuk di sekitar para sandra. Semua penduduk desapun di kumpulkan di alun-alun, masih tertidur. Setelah memastikan ini, dia mengangguk sekali lagi.
Kemudian, dia memutar perhatiannya pada mayat goblin.
“Semua ada enam di sini.” Dwarf Shaman telah menyeret semua mayat itu pada satu tempat dan sekarang mengelap tangannya dengan ekspresi jijik. “Aagh! Mereka ini bau sekali.”
“Kamu yakin?”
“Yakin kalau mereka bau atau yakin mereka mati? Jawaban keduanya iya. Paling nggak mereka yang terkena mantraku. Gimana denganmu Scaly?”
“Mm.” Lizard Priest yang masih memperhatikan dengan seksama di sisi lain balai, mengangguk serius. “Saya mencabut dua nyawa dengan cakar dan taring saya. Nona ranger tiga dengan busurnya. Semua enam. Saya rasa tidak ada kekeliruan.”
“Aku mengerti, Sembilan belas kalau begitu.” Goblin Slayer bergumam, melangkah mendekati tumpukan mayat. Dia memeriksa apakah terdapat pedang di antara goblin yang mati.
Dia menemukannya dan mengeluarkannya, memeriksa mata pedang, dan ketika dia mengangap pedang itu masih dapat dingunakan, dia memasukkannya ke sarung pedang. Akhirnya dia tampak lebih tenang.
“Uh, hei, Orcbolg. Di mana gadis itu?” Keluhan High Elf Archer sebelumnya tampaknya telah terlupakan. Ketika dia mengatakan gadis itu, hanyalah satu orang yang High Elf Archer maksud.
“Aku suruh dia membawa anak kecil itu.”
“Apa menurutmu dia akan baik-baik saja?”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Aku rasa nggak akan ada masalah. Paling nggak berdasarkan pengalamanku.”
Goblin Slayer melihat sekitaran desa sekali lagi. Dia melihat seseorang yang tampak paling tua dan berpakaian paling baik dan melangkah mendekatinya.
“Apa kamu kepala desanya?”
“Er, ya. Siapa kalian semua ini...?” Dia melihat kepada Goblin Slayer, kecurigaan menambahkan keriput pada wajahnya yang telah menua.
Goblin Slayer menjawab dengan menunjukkan kalung peringkatnya.
“Kami petualang.”
“Petualang... Dan kamu tingkat silver...”
Kepala desa berkedip beberapa kali, kemudian sebuah pemahaman memasuki kepalanya. “Apa kamu Goblin Slayer...?”
“Ya,” Goblin Slayer bergumam, mengundang teriakan dari kepala desa.
“Oh-ho! Saya senang sekali kamu bisa datang! Terima kasih! Terima kasih...!”
Pria tua yang berterima kasih menggenggam tangan Goblin Slayer dengan kedua tangannya sendiri, yang tampak monggol seperti cabang pohon. Tangan dan lengannya, yang dulu kekar karena pekerjaan kebun, sekarang sudah tidak menunjukkan kekuatannya. Namun Goblin Slayer tetap dapat merasakan jabat tangan pria itu seraya pria itu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah.
“Ada sesuatu yang mau aku tanya.”
“Tentu saja. Apapun.”
“Pertama-tama, apa kalian mempunyai seorang herbalis atau penyembuh di desa kalian? Seorang cleric atau semacamnya? Seseorang yang dapat menggunakan keajaiban.”
“Ahem... Ketika kami membutuhkan seorang cleric, kami hanya berharap kepada seorang priest yang datang berkunjung. Untuk seorang herbalis, yah, kami punya satu...” Kepala desa tampak terlihat menyesal. Dia mmengira bahwa petualang ini akan bertanya perihal pembayaran, atau setidaknya bantuan. “Tapi dia hanya seorang wanita muda. Dia menjadi wanita obat kami baru-baru saja ketika orang tuanya meninggal di karenakan wabah. Dia tidak...”
“Aku mengerti,“ Goblin Slayer berkata dengan segera, seolah-olah semua ini sangatlah wajar. “Kami akan membantu mereka yang terluka. Partyku—“ Dia terdiam beberapa detik”—punya dua cleric.”
“Apa...?”
“Tapi maaf aku nggak bisa memberikan satu potion-pun.” Dia menepuk kantung peralatannya. Botol kecil di dalamnya berguncang. “Kalau apa yang kamu bilanh tentang wanita obatmu benar, aku ragu dia bisa banyak membantu. Kami hanya bisa memberikan kalian beberapa keajaiban dan P3K.”
“Ketika Goblin Slayer bertanya, “Apa kamu kecewa dengan ini?” sang kepala desa menggeleng kepalanya kuat. Kecurigaan di matanya mulai berubah menjadi rasa kagum dan kemudian rasa hormat.
Penyair yang berkelana menceritakan sebuah kisah menakjubkan akan seorang petualang yang bergegas membantu desa apapun yang telah di serang oleh goblin; di dalam lagu mereka, pahlawan ini sangat terkenal dan begitu indah. Apakah ada sedikit saja kebenaran dengan apa yang mereka nyanyikan?
“Ha-ha-ha! Barulah saya mengerti sekarang mengapa anda melarang saya untuk menciptakan Dragontooth Warrior,” Lizard Priest berkata, mendekati mereka berdua.
“Warga perbatasan sangat percaya takhyul,” Goblin Slayer berkata. “Terutama tentang tulang.”
“Betapa pengertiannya anda.”
“Aku dulunya juga seperti itu.”
Lizard Priest memutar mata di kepalanya memahami. “Benar. Naga ataupun bukan, sungguh banyak mereka yang percaya bahwa hanya necromancer yang dapat mengendalikan seekor skeleton warrior.” Kemudian Lizard Priest berkata, “Kita harus memisahkan mereka yang terluka berdasarkan tingkat keparahan luka mereka,” dan dengan ayunan ekornya, Lizard Priest pergi.
Kaum lizardmen merupakan kaum petarung. Sebagai ras, mereka juga sering memiliki seorang medis yang handal.
“Aku kaget,” High Elf Archer bergumam, memperhatikan percakapan mereka dari kejauhan. Dia memiliki busur di tangannya dan memperhatikan sekitaran daerah, namun High Elf Archer berusaha keras menjaga Goblin Slayer untuk tetap di dalam jangkauan pengelihatannya.
Goblin Slayer sekarang telah duduk di antara para penduduk desa, merawat mereka dengan peralatan yang dia keluarkan dari tasnya. Dia memperban luka dengan herba yang akan menghentikan pendarahan dan menetralisir racun, memberikan tekanan pada luka. Bahkan di sini, entah mengapa dia terlihat berbeda.
“Maaf, terima kasih banyak.” Di sampingnya, seorang wanita dengan jubah sedang menundukkan kepalanya—tampaknya seorang wanita obat yang mereka bicarakan sebelumnya.
Telinga runcing High Elf Archer berkedut, dan sebuah senyum terhias di wajahnya. “Ternyata Orcbolg itu bisa ngobrol panjang lebar kalau dia mau.”
Di sampingnya, Dwarf Shaman membelai jenggot dan mengangguk. “Yah, Beardcutter itu yang paling di kenal di antara kita.” Tidak seperti rekan elfnya, yang sedang melakukan tugas berjaga, dengan pertempuran yang berakhir, sang dwarf tidak memiliki sesuatu untuk di lakukan.
Bukan berarti dia tidak membantu sama sekali. Dwarf Shaman tidak mengetahui prosedur P3K, namun dia berjalan berkeliling dengan banyak barang kecil yang dapat berfungsi sebagai katalis. Salah satu dari barang itu adalah fire wine, dengan ungkapan yang dia katakan “Bagus untuk di minum dan bagus untuk penyembuhan.” Adalah sebuah roh yang sangat kuat, yang juga membuatnya menjadi desinfektan yang bagus. Dwarf Shaman telah memberikan sebotol fire wine kepada wanita obat, yang telah menerimanya dengan banyak ucapan terima kasih, yang membuat Dwarf Shaman merasa malu. Cara hidup kaum dwarf adalah untuk tetap mengingat hutang dan budi begitu pula dengan dendam dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil.
“Goblin Slayer, petualang perbatasan yang paling berharga.. Bukannya itu lagu yang membuatmu merekrut dia?”
“Iya sih. Tapi ternyata lagu dan kenyataan nggak sama...” High Elf Archer menggembungkan pipinya tidak menyukai seraya dia mengingat lagu penyair itu.
Penyair itu mengatakan bahwa Goblin Slayer terbuat dengan bahan yang paling keras, pendiam dan setia. Seorang pria tanpa ketamakan. Seseorang yang tidak akan menolak hadiah sekecil apapun. Ketika Goblin muncul, dia akan pergi menghadapi mereka walaupun itu di wilayah terpelosok dan terpencil sekalipun, pedangnya akan membasmi mereka semua. Banyak yang menganggapnya seeprti petualang platinum atau orang suci.
“Tapi kalau di pikir-pikir lagi... dia memang akrab dengan gadis di guild itu.”
“Orang bilang mereka yang nggak mengetahui situasi yang sesungguhnya akan cepat terbakar api cemburu. Di mana-mana sama saja.” Dwarf Shaman melirik kepada elf dengan senyuman menggoda, “Makanya kamu nngak perlu iri dengan gadis itu cuma gara-gara dadanya lebih besar dari dada papanmu.”
Dwarf Shaman dapat mendengar amarah yang menggebu di wajah High Elf Archer.
“Lagipula, kalian para elf butuh satu atau dua abad untuk tumbuh, nggak seperti gadis itu!”
“Oooh, berani banget kamu bilang begitu! Dasar perut sebesar—!”
“Ho-ho-ho-ho! Di antara para dwarf, sebuah tubuh yang terbentuk adalah sebuah keharusan untuk menjadi lelaki sejati!”
Dan perdebatan merekapun kembali berlangsung, seperti biasanya—namum ini bukanlah sebuah tanda bahwa mereka sedang lengah. Dwarf Shaman sama sekali tidak melepaskan tangannya dari dalam tas berisi katalisnya, dan telinga High Elf Archer terus bergerak, mendengar. High Elf Archer mendengar dua langkah kaki mendekat.
Salah satunya adalah anak kecil, sementara langkah lainnya merupakan langkah yang sudah di kenalnya, Priestess. High Elf Archer mengetahui ini semua dengan pasti.
“Mbaaaaak!”
“Oh...!”
Keceriaan menghias paras wanita obat, yang terus bergerak di antara mereka yang terluka. Gadis kecil itu datang berlari mengarahnya, dan wanita obat menangkapnya dengan kedua tangan, memeluk erat di dadanya. Mereka berdua menangis, tidak mempedulikan mata yang memperhatikan mereka.
Goblin Slayer melihat ini dengan diam, hingga pada akhirnya, dia mengalihkan padangannya. Dia tidak dapat melihatnya lagi karena Priestess, yang telah menjemput anak ini, entah mengapa memiliki senyum indah di wajahnya.
“Ada apa?” Goblin Slayer bertanya.
Priestess menutup mata mendengar pertanyaan blak-blakan itu dan menjawab, “Heh-heh. Oh nggak apa-apa... Aku cuma berpikir kalau kamu keliahatan...senang.”
“Benarkah?”
“Iya benar.”
“Benarkah.......?”
Goblin Slayer memeriksa helmnya untuk memastikan bahwa helmnya masih dalam kondisi yang bagus. Tidak ada senyuman pada pelindung kepala itu.
“Baiklah. Awasi perawatan penduduk desa. Dan penguburannya.”
“Penguburan...” Priestess meletakkan jari kurus, pucat di bibirnya, berpikir untuk sesaat. “Satu-satunya upacara penguburan yang aku tahu cuma dari Ibunda Bumi. Apa menurutmu nggak apa-apa?”
“Aku yakin mereka nggak akan peduli. Selama itu ritual dari dewa ketertiban.”
“Oke. Serahkan padaku.” Priestess membalas sigap, kemudian dia melihat sekitaran dan berjalan, memegang tongkatnya. “Maaf aku terlambat!”
“Ah, anda datang.” Lizard Priest, sedang merawat sebuah luka dengan tangan kasar bersisiknya, memutar kepala pada leher panjangnya untuk melihat Priestess.
“Iya,” Priestess berkata dengan anggukam dan mulai mengeluarkan perban dan salep dari dalam tasnya. “Aku masih punya satu keajaiban, jadi kalau ada yang memiliki luka serius, aku bisa menggunakan keajaibanku unntuk menyembuhkannya....”
“Jika begitu, maka saya akan serahkan pasien ini untuk anda. Tampaknya beliau telah dianiaya dengan cukup parah, dan pengobatan saya tampaknya kurang membuahkan hasil.”
“Baik!”
Pada saat Priestess tinggal di Kuil, pekerjaan Priestess adalah merawat para petualang yang terluka. Seraya dia menggulung lengan bajunya dan mulai melakukan perawatan pada mereka yang terluka, Priestess tampak jauh lebih dewasa jika di bandingkan dengan umurnya.
Goblin Slayer mengikuti Priestess dengan tatapannya, memikirkan sebuah pertanyaan di dalam hatinya.
Ini pasti bukan akhirnya,tapi...?
“Orcbolg!”
Keseluruhan party melihat ke atas mendengar peringatan jelas dari High Elf Archer.
Adalah sebuah bayang-bayang yang mengintip dari balik sebuah drum, dan sekarang bayang-bayang itu telah melompat keluar dari balik drum dan bergegas menuju jalanan—seekor goblin berusaha melarikan diri.
Goblin itu berlari layaknya kuda yang ketakutan; hampir terpeleset dan tersandung, dan semakin lama terlihat semakin kecil di kejauhan.
Namun hanya untuk beberapa saat.
“Peri, peri, cepatlah! Tidak ada suguhan untukmuAku hanya tipu muslihat!”
Dwarf Shaman melantunkan mantra pengikat, dan sebuah tali terikat dengan sendirinya di sekitar goblin yang berusaha lari seperti seekor ular. Tali itu menangkapnya di sekitar kkaki dan membuatnya terjatuh di tanah.
Merupakan sebuah kesempatan yang di butuhkan High Elf Archer. “Kamu pikir kami akan membiarkanmu pergi?!” Dengan sebuah gerakan dramatis seindah lukisan, dia menarik busur besarnya ke belakang dan melompat. Dari drum, ke dinding, dan kemudian ke udara, dia melompat dan melompat, membidik sasarannya.
“Jadi memang dua puluh...!”
Itulah di mana Goblin Slayer menarik panah dari tempatnya. “Jangan bunuh dia! Biarkan dia membawa racun itu pulang dan menyebarkannya!”
High Elf Archer menangkap sebuah panah di udara dengan gerakan akrobatik. Dan dengan sekejap, panah itu bersiul di udara, terlihat seperti sebuah kilatan cahaya. Sang elf mendarat di tanah bersamaan dengan goblin di kejauhan terjatuh. Tidakmada yang mengetahui, bagaimana dia memasang, menarik, dan menembakkan busurnya di saat seperti itu. Adalah sebuah kemampuan yang begitu tinggi hingga membuatnya terlihat seperti sihir.
“Senang sekarang?” High Elf Archer mengembalikan busurnya ke punggung di saat dia mendarat.
“Ya. Tapi...” Goblin Slayer bergumam sendiri, tatapannya terpaku pada goblin di kejauhan itu. Goblin itu mencabut batang panah di pundaknya dan memotong tali di sekitar kakinya dan berlari kembali. Goblin itu berlari menuju utara—menuju pegunungan bersalju tempat di mana angin dingin berhembus.
“...ini masih belum berakhir.”
Adalah sesuatu yang di ketahui keseluruhan party.
Para goblin mengumpulkan penduduk desa di alun-alun di karenakan mereka ingin melakukan penjarahan; mereka mengumpulkan hasil jarahan mereka di alun-alun juga. Namun, mereka sama sekali tidak menyentuh para wanita. Itu artinya mereka berencana untuk membawa para wanita menuju sarang mereka. Dua puluh goblin yang telah menyerang desa hanyalah sebuah satuan garis depan. Masih terdapat banyak dari mereka, mustahil untuk mengetahui apakah mereka akan melakukan serangan baru atau mundur.
Goblin Slayer telah menyelesaikan kalkulasinya dan memberikan kesimpulannya tanpa ragu:
“Ketika mantra kita terisi kembali, kita akan menyerang.”
Goblin Slayer berlutut di depan kepala desa yang duduk di tanah, kemudian menatap matanya. Sebuah pikiran akan adanya pertarungan lainnya tergambar di wajah kepala desa, namun Goblin Slayer hanya berkata, “Aku ingin meminta persiapan untuk melakukan serangan malam, dan juga tempat untuk beristirahat semalam. Kamu keberatan?”
“A-apa? Ti-tidak sama sekali! Kalau kami bisa melakukan apapun untk membantumu, beritahu saja aku...”
“Kalau begitu ceritakan padaku tentang party petualang yang datang sebelum kami. Dan apakah kalian mempunyai seorang pelacak di desa ini?”
“Y-ya, kami punya. Cuma satu... Dia masih muda, tapi dia ada di sini.”
“Aku perlu tahu geografi pegunungan ini. Aku ingin peta, biarpun itu peta sederhana.”
Kepala desa mengangguk cepat, namun kemudian kepala desa tampak sedang memikirkan sesuatu, dan sebuah senyum melintas di wajahnya. “Oh, tapi...kalau untuk hadiahnya, kami tidak bisa....”
“Goblin lebih penting.” Goblin Slayer berkata datar. Menghiraukan kepala desa yang tercengang, Goblin Slayer menatap pegunungan yang berada di utara. Di suatu tempat yang tertutup lautan awan, matahari mulai terbenam di baliknya, dan angin mencekam menandakan kedatangan sang malam.
“Ketika semuanya sudah siap, kami akan pegi dan membasmi mereka semua.”
*****
Sebuah keberuntungan, jika dari secara keseluruhan, kerusakan yang terjadi pada desa sangatlah minimal. Tentu saja terdapat mereka yang terluka ataupun terbunuh bertarung melawan para goblin. Beberapa rumah telah terbakar, yang lainnya hancur—tentunya. Namun para petualang telah tiba sebelum para goblin berhasil membawa jarahan dan para wanita kembali menuju ke sarang mereka. Oleh karena itu mungkin ini adalah hasil yang lebih baik. Atau paling tidak, itu apa yang di pikir Priestess.
Akan tetapi... Akan tetapi, Priestess tidak terlalu dapat menerima ini semua sebagai hasil yang terbaik, dia berpikir, seraya dia melihat pada kuburan desa.
Di saat mereka telah selesai merawat para korban, Priestess, wanita obat, dan Lizard Priest akan mengurus proses penguburan.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, hamba mohon, dengan tangan penuh kasihmu, bimbinglah jiwa-jiwa mereka yang telah meninggalkan dunia ini.”
Tongkat berbunyi di tangannya, dia menggumam doanya, membuat tanda suci di setiap bagian tubuhnya menyentuh tanah.
Merupakan hal yang sudah seharusnya di lakukan, walaupun tidak ada resiko mayat menjadi undead jika di biarkan begitu saja sekalipun. Jika mereka yang hidup gagal mengucapkan selamat tinggal kepada mereka yang mati, bagaimana mereka dapat melanjutkan kehidupan mereka? Proses penguburan ini, lebih di tujukan kepada mereka yang masih hidup di banding mereka yang telah mati.
Selama mereka yang mati berada di antara mereka yang dapat berbahasa, jiwa mereka akan bersemayam pada setiap dewa yang mereka percaya. Dengan itu, dunia akan tetap berputar.
“Aku ragu mereka akan menyerang di malam hari, walaupun aku nggak bisa memastikannya.” Goblin Slayer berkata, setelah dia meninggalkan desa untuk menyelesaikan proses penguburan. “Kamu pasti lelah. Istirahat.”
Seperti biasa, nadanya tidak menunjukkan keinginannya untuk beragumen—akan tetapi, Priestess paling tidak memahami bahwa ini adalah cara Goblin Slayer untuk menunjukkan rasa perhatiannya. Walaupun Priestess masih menganggap bahwa pria ini masihlah seseorang yang sungguh terlalu.
Tidak peduli berapa kali Priestess memperingatinya, Goblin Slayer tidak pernah menggubrisnya. Benar, jika Priestess menolak tawarannya untuk berisitrahat, Goblin Slayer tidak akan mendengarnya. Karena itu Priestess merasa akan lebih baik jika menurutinya, walaupun dengan sedikit rasa jengkel.
“Ahh... Phew.”
Itulah mengapa saat ini Priestess sedang bersantai di dalam pemandian air panas. Dia menghela, hela napasnya tampak seperti keluar dari keseluruhan tubuhnya, setiap otot dari tubuhnya melonggar.
Dia sedang berada di pemandian air panas. Pegunungan bersalju yaang berada di dekatnya, tampaknya dulu adalah sebuah gunung berapi, dan roh api masih memanasi air bawah tanah (atau semacam itu).
Pemandian air panas ini duduk di bawah atap panggung, di kelilingi oleh bebatuan seraya uap mengupul lembut mengudara. Sebuah ikon yang tidak asing akan dewi pemandian mengawasi aliran air mandi. Namun terdapat dua wajah pada ikon itu, mungkin di karenakan tempat ini merupakan pemandian campur yang terbuka bagi pria dan wanita. Karena itu, Priestess harus berhati-hati dalam melapisi tubuhnya dengan handuk.
Seraya dia duduk di dalam air keruh, tubuhnya yang telah lama menegang melawan dingin, tampak seperti melelh. Dia tidak dapat menahan dengusan menikmati yang terlepas dari bibirnya.
“Mmmmm...”
Di lain sisi, High Elf Archer, merupakan cerita yang berbeda. Tubuhnya yang kurus, tanpa sehelai benangpun menutupinya, tampak putih layaknya seorang peri. Akan tetapi dia terus bergerak mondar-mandir di pinggiran pemandian, terlihat seperti kelinci yang ketakutan. Dia mengepal tangannya, bertekad, kemudian dengan ragu mencelupkan jempol kakinya ke dalam air sebelum melompat kebelakang kembali.
“Oooh... Ohh... Apa kamu yakin soal ini?” High Elf Archer tampak terlihat seperti anak kecil yang tidak ingin mandi—bahkan, dia terlihat seperti cleric muda yang di kenal oleh Priestess, dan itu membawa senyum pada wajah Priestess.
“Aku sudah bilang, nggak apa-apa. Ini cuma pemandian dengan air panas.”
“Ini tempat di mana roh air ,tanah, api, dan salju berkumpul jadi satu. Apa kamu nggak merasa terganggu dengan ini...?”
“Apa aku harus merasa terganggu? Ini terasa luar biasa kok...”
“Hmmm...”
Tatapan High Elf Archer bergerak di antara dirinya sendiri dan Priestess, dan telinganya berayun tidak pasti. Setelah beberapa saat, dia menggigit bibirnya, dan—
“Y-yaaaah!”
“Yikes!”
Melempar dirinya sendiri ke dalam kolam, menimbulkan cipratan besar yang menyembur pada Priestess.
“Pff! Pff!” High Elf Archer, yang berada di dalam air, timbul ke permukaan terlihat seperti kucing yang basah kuyup, memeras dan mengibas air dari rambutnya. Pada akhirnya dia melihat mengarah Priiestess dengan ekspresi terkejut dan kemudian menghela.
“...Huh. airnya hangat. Rasanya...enak juga.”
“Aduh! Bukannya itu yang dari tadi aku billang sama kamu? ...Dan kamu seharusnya nggak boleh melompat.”
“Maaf. Aku cuma terlalu takut kalau nggak melompat.”
“...Hee-hee.”
“...Ha-ha-ha!”
Mereka bertukar pandang, sama-sama basah dari kepala hingga kaki, dan tertawa riang.
Tidak peduli seberapa tinggi tingkat seorang petualang, kegelisahan akan pertarungan tidak akan menghilang. High Elf Archer mungkin memang tingkat silver, namun dia masihlah muda dan tidak berpengalaman; Terlebih lagi untuk Priestess. Mereka mungkin berbeda ras, namun secara emosional, umur mereka sama.
Mereka duduk bersampingan, melihat langit. Bintang-bintang terhalang oleh awan hitam dan tebal, dan hanya bayangan dua bulan yang dapat terlihat.
Pria itu pernah mengatakan—kapan itu?—bahwa goblin berasal dari bulan hijau.
Pakaian para gadis telah di susun rapi di samping pemandian, bersama dengan senjata dan peralatan yang telah mereka gunakan pada pertarungan sebelumnya. Goblin Slayer telah memperingati mereka untuk berhati-hati akan serangan kejutan seraya mandi.
Mungkin dia pakai armor dan helm itu walaupun sedang mandi juga...
Gambaran itu terlalu lucu dan membuat para gadis tertawa kembali.
“Aku ingin mereka semua bergabung dengan kita,” Priestess berkata.
“Oh, kamu tahulah. ‘Kami para lizard lebih menyukai lumpur.’ Yang benar saja, siapa coba yang mencuci badanya sendiri pakai lumpur?” Aku nggak ngerti sama kaum lizard. Senyum Priestess melebar mendengar High Elf Archer yang meniru Lizard Priest. “Dan si dwarf juga, ‘Anggur adalah cara terbaik untuk menyegarkan jiwamu!’ Sedangkan Orcbolg...”
“...Tugas jaga. Pastinya.” Priestess berkedip, bulu matanya melembab di karenakan uap, dan memeluk lututnya. “Tapi, aku agak sedikit khawatir. Dia sama sekali nggak mau istirahat...”
“Iya, yah, dia masih punya banyak tenaga. Harus membunuh semua goblin, dia bilang.”
“Apa itu…nggak kelihatan aneh buatmu?”
Pastinya adalah kesimpulan yang mereka berdua setujui. Sangatlah mudah untuk membayangkan pria itu, berdiri berjaga di lahan bersalju dan bergumam, “Goblin, goblin.”
“Kalau kita membiarkan dia begitu saja, dia akan menghabiskan seluruh hidupnya seperti itu.” High Elf Archer berkata.
“Aku rasa…kamu benar.” Priestess mengangguk serius membalas.
Sangatlah benar. Goblin Slayer telah banyak berubah dalam satu tahun sejak dia bertemu dengan Priestess. Begitu pula Priestess. Namun tetap saja…
“Yah, berkat berpetualang bersamanya aku jadi dapat kesempatan untuk bisa mengunjungi bagian utara seperti ini, jadi aku rasa aku nggak terlalu mempermasalahkannya.” Sang elf berkata. Dia menyemburkan air seolah untuk mengulur waktu untuk berpikir. Gerakan itu membuat uap berputar. Priestess melirik kepadanya.
“Um… Kamu bilang kamu pergi dari rumah karena kamu ingin melihat apa yang ada di luar hutan, kan?”
“Uh-huh.” High Elf Archer menjulurkan tangan dan kakinya, bersantai. Priestess merubah posisi duduknya. “Kaum kami bilang, ‘Kamu hidup sampai kamu mati,’ tapi kalau yang kamu ketahui hanya seputaran hutan, apa gunanya?”
“Aku bahkan nggak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup sampai ribuan tahun.”
“Itu bukan hal yang terlalu besar. Rasanya seperti, pohon tua. Kamu cuma….ada.”
Bukanlah hal yang buruk secara keseluruhan. High Elf Archer menggambar lingkaran di udara dengan jarinya. Priestess mengikuti gerakan itu dengan matanya. Bahkan gerakan terkecil dari kaum elf sangatlah gemulai dan elegan.
“Jadi,” Priestess berkata, menyeretkan tubuhnya di bawah air untuk menyembunyikan rasa malunya akan bagaimana dia terpesona dengan gerakan itu. “Kamu pergi karena…kamu bosan? Aku dengar itu memang sering terjadi…”
“Kamu setengah benar.” High Elf Archer terdiam. “Memang benar. Aku merasa ada sesuatu yang harus aku lakukan.”
High Elf Archer berbicara tentang bagaimana dia berburuh binatang yang populasinya terlalu berlebihan dan mengembalikan mereka kembali ke tanah, memetik buah yang sudah terlalu banyak untuk membasahi tenggorokannya, dan mengawasi lingkaran kehidupan di hutan.
Ini cukup untuk membuat kepalamu meledak. Selalu ada pekerjaan yang harus di lakukan. Dan hutan nggak pernah berhenti tumbuh. Tapi kamu tahu nggak?
Disini, High Elf Archer mengedipkan matanya dan tersenyum nakal. “Satu kali, aku melihat daun yang terbawa arus sungai. Dan aku penasaran kira-kira kemana daun itu akan pergi? Dan kemudian aku nggak bisa berhenti memikirkannya.” Dia tertawa.
High Elf Archer kembali kerumahnya dengan cepat dan mengambil busurnya, dan kemudian dia pergi melalui pepohonan, secepat rusa, mengejar daun itu. Ketika dia mulai memperhatikan sekelilingnya, dia menyadari bahwa dia telah keluar dari hutan. Dia melompat dari batu ke batu di atas aliran sungai, mengikuti daun itu.
“Dan…apa yang kamu temukan?”
“Bukan hal yang menarik yang bisa aku kasih ceritakan ke kamu.” High Elf Archer berkata, meyipitkan matanya layaknya kucing.  “Sebuah tanggul. Yang para manusia buat. Itu pertama kalinya aku melihat yang seperti itu—menarik sekali pikirku waktu itu.“ Daun yang terbawa sungai, telah tersangkut di tanggul itu.
Bukanlah seperti High Elf Archer mendapatkan wahyu. High Elf Archer tersenyum samar. Kemudian membuka bibirnya perlahan dan bersiul. Dia bersenandung sebuah lagu dengan suara beningnya.

            Apakah yang menunggu di ujung sebuah sungai?
            Apakah yang bermekaran yang membuat burung-burung terbang?
            Jika rahim akan angin berada di ujung horizon
            Maka dari manakah pelangi yang turun dari langit muncul?
            Jauh kita berjalan untuk menemukan jawaban
            Namun kebenaran adalah hal yang akan kita temukan di dalam jalan kita

Priestess berkedip, mengundang ucapan puas “Heh!” dari High Elf Archer.
Konon tidak ada bangsa yang dapat melebihi ke-elegan-nan bangsa elf.
High Elf Archer melirik pada dada Priestess dan mengeluarkan sebuah helaan.
“Kamu masih dapat tumbuh… Beruntung banget.”
“Er… Ap?!” Priestess hanya dapat menghasilakn beberapa suara aneh, dan wajahnya benar-benar memerah. “Ap-apa yang kamu bicarakan?! Dan tiba-tiba gitu lagi!”
“Kita berbicara soal waktu. Jalannya waktu. Itu maksud dari lagu itu, dan itu komentar yang aku maksudkan.”
High Elf Archer terkekeh-kekeh. Tawanya terdengar seperti lonceng. Seraya dia tertawa, dia mennjulurkan tangan dan mengelus rambut Priestess yang basah.
“Maksudku… Aku, masih punya waktu, tapi…”
“Masih punya?” Priestess melihat ke bawah, tidak menolak sebuah tangan pada rambutnya.
Yeah, High Elf Archer mengangguk. “Manusia… Mereka menjadi tua dan mati setelah seratus tahun atau lebih, kan?”
“Uh-huh…”
“Aku penasaran kenapa nggak semua orang bisa hidup panjang, Mungkin ini sesuatu yang bakal masuk akal kalau seandainya aku manusia.”
“…Kalau kamu terlahir sebagai manusia, kamu bakal berharap kamu bisa secantik seperti seorang elf,” Priestess bergumam. Priestess tidak menyesali akan siapa dirinya sendiri, namun akan selalu ada angan-angan akan jika, keingingan yang tidak dapat terkabulkan.
Hari itu, sebagai contohnya. Priestess telah bertarung di sisi Goblin Slayer; Pria itu telah menjaga punggung Priestess. Bagaimana jika Priestess dapat bertarung dengan lebih baik? Bagaimana jika dia mempunyai lebih banyak mantra atau keajaiban? Apakah dia akan dapat lebih berguna bagi pria itu?
Priestess telah berjanji bahwa di kala Goblin Slayer sedang dalam masalah, Priestess akan membantunya. Apakah Priestess sudah melakukan hal itu hari ini? Jika seperti ini terus…
Kalau kita membiarkan dia begitu saja, dia akan menghabiskan seluruh hidupnya seperti itu.
Priestess merasa bahwa sebuah balas dendam akan datang, balas dendam yang tidak dapat di hindari.
“…”
“Dan kalau kamu terlahir sebagai elf, aku yakin kamu akan berharap kalau kamu manusia.” High Elf Archer menjelaskan ucapannya dengan memberikan kepala Priestess sebuah pelukan kecil sebelum melepaskannya kembali. Priestess mengira dia dapat menghirup aroma hutan yang mengisi hidungnya.
Tentunya dia hanya mengkhayalkannya. Ini adalah sebuah tempat di mana tanah dan air dan api bersemayam.
Namun… Bagaimana jika itu bukanlah khayalan Priestess?
Para elf pasti tetap terhubung dengan hutan walaupun mereka sudah meninggalkannya…
“Kamu mungkin benar,” Priestess berkata dan menghela. Dia merasa seperti sesuatu jauh di dalam lubuk hatinya, sesuatu yang menggenang dan kaku, mulai memudar.
“Bagaimana kalau kita nggak keluar?” Priestess bertanya. “Kita nggak punya banyak waktu cuma untuk bersantai aja.”
“Benar.” High Elf Archer berdiri tiba-tiba. “Dunia nggak pernah mau bermain dengan baik, ya?”
*****
“Situasinya nggak kelihatan bagus.” Goblin Slayer berkata. Dia sedang berdiri di depan api di tengah rumah makan desa. Lantai dua merupakan penginapan, yang merupakan hal biasa di tempat seperti ini.
Kehangatan akan api yang mengisi bangunan kayu, bayangan dari sebuah piala yang berada di dinding berdansa di bawah cahaya api. Para petualang, kembali seusai masa bersantai mereka, duduk di sekitar meja besar dengan sebuah cangkir yang terisi penuh dengan madu. (TL Note ; Madu di sini semacam alkohol yang di buat dari madu https://id.wikipedia.org/wiki/Mead )
Wanita obat dan adiknya, bersama dengan hampir seluruh penduduk desa, telah meminta penyelamat mereka untuk tinggal di rumah mereka, namun Goblin Slayer menolaknya.
“Kita semua akan membayar biaya penginapan ini. Kalau terpencar, kita nggak akan bisa merespon dengan cepat kalau ada sesuatu yang terjadi.”
Priestess merasakan sedikit kelegaan ketika dia mendengar Goblin Slayer mengatakan itu.
Sekarang para petualang di kelilingi oleh penduduk desa dari jarak jauh. Mereka setengah berharap dan setengah penasaran. Beberapa juga tampak memperhatikan anggota wanita dari party ini dengan penuh rasa tertarik. Priestess duduk tidak nyaman di bawah tatapan mereka.
Aku bersyukur sepertinya nggak ada yang akan membuat masalah…
“Apa menurutmu…mereka nggak mau kita ada di sini?” Priestess bertanya, melihat makanan yang berada di meja.
Kentang rebus, kentang biasa, kentang, kentang, kentang… Semua yang di sediakan adalah kentang. Priestess, tentunya, tidak mengharapkan untuk hidup dalam kemewahan. Dia sudah terbiasa dengan hidup sederhana. Dan benar, adalah musim dingin; terdapat salju di tanah dan sangatlah penting untuk menyimpan persediaan pangan. Namun tetap saja—tidak ada yang lain selain kentang?
“Nah,” Dwarf Shaman berkata dengan gelengan kepalanya. “Dari apa yang aku dengan, petualang terakhir yang datang ke sini membawa sebuah suplai mereka.”
“Semuanya?”
“Mereka bilang mereka membutuhkannya untuk membasmi goblin, kalau kamu percaya itu.” Dwarf Shaman menopang dagu dengan tangannya.
“Ha-haa! Saya rasa…” Ekor Lizard Priest berayun di lantai seolah bukanlah hak mereka untuk menilaipara petualang itu. “Konon seseorang harus memancing goblin keluar sebelum seseorang itu dapat membunuhnya. Mungkin mereka memang membutuhkan semua suplai itu…?”
Hmm. Priestess meletakkan jari di bibirnya berpikir, rambutnya mengalir seperti ombak seraya dia memiringkan kepalanya bertanya-tanya. Sangatlah jelas kepada siapa dia harus memberikan pertanyaan seperti ini.
“Apa memang perlu?”
“Tergantung dari waktu dan tempat dan keadaan.” Spesial pembasmi goblin mereka menjawab datar. “Terkadang, kamu akan bertemu dengan mereka yang berkelana tanpa sarang. Pengejaran bisa memakan banyak waktu.”
“Tapi waktu adalah yang nggak kita punya saat ini kan?” High Elf Archer berkata, meminum madu dengan senang hati. Pipinya sudah tampak terlihat merah di karenakan alcohol. “ Kita nggak tahu apa yang ada di sarang mereka, dan kita nggak tahu ada berapa banyak mereka. Di tambah lagi, ada kemungkinan kalau petualang lainnya masih hidup.”
“Kita beruntung penduduk desa lainnya nggak di bawa pergi. Siapa yang tahu kalau kita bisa membantu mereka tepat waktu?”
Goblin Slayer mengangguk, kemudian membuka gulungan kertas kulit domba di atas meja. “Kita nggak bisa menunggu sampai penyakit dari panah itu menjadi fatal, tapi mereka seharusnya sudah mulai melemah sekarang.” Pada kertas terdapat sebuah peta sederhada akan rute dari desa menuju gunung; Goblin Slayer telah meminta pemburu local untuk menggambarkannya. Beberapa goresan catatan tampaknya telah di tambahkan oleh Goblin Slayer sendiri. “Berdasarkan dari pemburu itu, ini tempat paling memungkinkan untuk para goblin membangun sarang.”
“Yeah, tapi…” High Elf Archer menelusuri peta dengan jarinya, mengukur jarak antara desa dan gua. “Kalau nggak ada penduduk desa yang di culik, kenapa kita nggak langsung pergi?”
“Aku rasa aku tahu apa yang telah di rencanakan oleh petualang sebelumnya.” Tatapan mereka semua tertuju pada Goblin Slayer. Dia mengambil kentang bakar dan memasukkannya ke dalam mulut. Helmnya sedikit bergerak, mengeluarkan suara mengunyah dan menelan. “Wanita obar itu bilang sama aku kalau party mereka membawa kayu bersama dengan suplai lainnya.”
“Kayu?” Dwarf Shaman bertanya. “Tapi mereka bisa saja—nggak, tunggu, jangan bilang aku, aku akan pikir sendiri.” Dwarf Shaman mengambil secangkir madu, menghiraukan tatapan dari sang elf seraya dia mengelap beberapa tetes yang terjatuh di jenggotnya.
Dwarf tua dan bijak mendengus pada dirinya sendiri, dan tidak lama kemudian dia menjentikkan jarinya dan berkata, “Ah! Aku tahu sekarang! Yang mereka bawa bukan kayu bakar, jadi mereka nggak bermaksud untuk mengisi sarang itu dengan asap. Mereka melakukan persiapan untuk sesuatu. Dan kalau mereka membawa makanan. Itu artinya…”
“Ya,” Goblin Slayer berkata seolah ini adalah hal paling wajar sedunia. “ Mereka bermaksud untuk membuat para goblin kelaparan.”
Terdengar jentikkan lidah api. Untuk beberapa saat, tidak ada yang berbicara. Lizard Priest mengambil sebuah poker dan menusuk-nusuk pada kayu bakar. Terdengar suara lainnya di kala kayu terbelah dua, percikan api berterbangan. (TL Note : Poker di sini bukan permainan kartu poker ya, tapi semacam tusukan untuk perapian http://rustydogforge.hypermart.net/Firepoker.html )
“Tetapi, musuh sangatlah banyak dan mereka berjumlah sedikit,” dia berkata.
“Taktik itu memiliki kegunaan.” Goblin Slayer berkata datar. “Tapi taktik itu nggak akan berguna kalau kamu berusaha membasmi musuh dengan jumlah yang banyak di lahan mereka sendiri.”
Priestess membayangkannya, tubuhnya menjadi kaku. Akan sebuah terror menghadapi goblin yang kelaparan.
Aku rasa aku nggak sanggup.
Kemudian Priestess berpikir tentang para penduduk desa. Akan bagaimana mereka telah meminta para petualang untuk menghentikan para goblin yang telah mencuri makan dari mereka, dan party sebelumnya telah memutuskan sebuah taktik yang menggunakan keseluruhan persediaan pangan desa.
“Kita nggak bisa menyiapkan satu pedangpun, satu potion, ataupun makanan untuk diri kita sendiri.” Gluk.  Goblin Slayer mengambil minuman madunya tanpa melepas helmnya. “ Dan petualang tanpa suplai akan mati di saat malam tiba.”
“Orcbolg, mungkin sesekali kamu bisa memikirkan hal yang lain.”
“Aku mencoba.”
Gluk, gluk. Satu tegukan madu lagi.
Keempat rekannya memperhatikan ini dengan senyum samar pada wajah mereka. Mereka mengetahui bahwa party ini tidak akan terbentuk jika bukan karena pria ini.
“Dan tuanku Goblin Slayer,” Lizard Priest Berkata, seseorang yang saat ini sudah terbiasa menjadi peran penasihat militer. “Strategi apakah yang anda pikirkan?”
“Saat ini belum ada.” Goblin Slayer terdengar santai.
Mereka tidak mengetahui bagaimana keadaan di dalam sarang atau seberapa banyak musuh yang berada di dalamnya. Tidak mengetahui apakah petualang lainnya masih hidup. Mereka tidak dapat menghancurkan sarang itu begitu saja. Dan jika para goblin telah menyerang satu kali, mereka tentunya akan melakukan penyerangan untuk kedua dan ketiga kalinya.
Oleh karena itu, hanya terdapat satu strategi yang memungkinkan.
“Kita lakukan serangan cepat pada mereka.”

 TL Note :
Di karenakan banyak keluhan perihal dialog Lizard Priest, pada jilid ini saya mengembalikan dialog Lizard Priest menjadi bahasa formal seperti sebelumnya.