AKAN KEHANCURAN MENARA IBLIS KIAMAT
(Translater : Zerard)

Riiiing. Dia menutup matanya seraya menikmati suara gemirisik tongkat bunyinya. Angin pertama yang menandakan berakhirnya musim panas berhembus di pipinya. Kereta kuda berjalan mengikutinya, betapa menyenangkannya berjalan berdampingan dengan kereta kuda ini di jalan.
Dia tersadarkan. Dia hampir saja melupakan bahwa dia sedang berada di tengah-tengah quest mengawal. Sebagai anggota kependetaan, terkadang dia dapat merasakan kehadiran para dewa di saat-saat seperti ini.
Hanya ada beberapa awan yang menghias langi. Di kejauhan, sebuah bayangan hitam terbang. Seekor elang? Seekor garuda? Seekor rajawali?
“Burung itu tinggi sekali, ya?”
“Iya benar...”
Seseorang yang berbicara kepadanya sedang duduk di atas atap kereta kuda.
Ranger dengan crossbow itu, tentu saja, di atas sana tidak untuk bersenang-senang. Seseorang perlu untuk memantau keadaan. Ranger telah di berikan kepercayaan untuk memantau sekitarannya dan tidak menunjukkan tanda untuk melepaskan sedikitpun detil yang ada.
Suara penuh curiga sang Ranger membuat dirinya dengan segera menggenggam erat tongkatnya. Masing-masing dari mereka mempersiapkan senjatanya juga, bersiap menghadapi sesuatu yang tidak dapat mereka terka. Satu-satunya yang tampak tidak menyadari apapun adalah pemilik kereta kuda, seorang pedagang. Mereka menghiraukan pertanyaan sang pemilik, “Ada apa?”
Ranger berkata dengan suara yang pelan, “Apa menurutmu burung itu sedikit terlalu besar?”
“Iya juga...”
Semua terjadi seraya gadis itu berusaha untuk melihat lebih seksama.
Burung itu semakin mendekat seraya gadis itu melihatnya: kulit dan cakar, paruh dan sayap semua berwarna hitam keabuan—
“Demon!”
Mereka bereaksi mendengar teriakan Ranger, namun mereka sudah terlambat untuk mengambil langkah awal. Terlebih bagi gadis itu, sudah sangat terlambat, monster itu—stone demon—sangatlah gesit. Bukanlah takdir ataupun kemungkinan, melainkan perbedaan kemampuan mutlak. (TL Note : stone demon = iblis batu.)
Bahkan seraya gadis itu berpikir Huh?! Kakinya telah melayang di atas tanah. Dia mengayunkan kakinya, namun itu semua tidak berarti; dia di tarik ke atas menuju langit. Tanah, kereta kuda, teman-temannya, semua semakin menjauh.
“Ergh...ahh...ow...aaduuuhh?!”
Dia memukul monster itu dengan tongkatnya dalam usahanya untuk melawan, yang di mana monster itu semakin mencengkramkan cakarnya ke dalam pundaknya.
Dia melihat ke bawah dan berteriak melihat ketinggian. Dia merasakan bagian bawah tubuhnya mulai melembab.
“Hrrrgh—eeegh!”
Permasalahannya tidak berhenti sampai di situ. Pahanya terasa terbakar seperti terkena batang panas, Ranger itu pasti telah menembakkan panahnya dalam upayanya dalam melakukan sesuatu, dan demon itu pastilah menggunakan gadis itu sebagai perisai.
Gadis itu melihat ke bawah, pengelihatanya terhalau air mata, dan melihat pembaca mantra mereka sedang membaca suatu mantra.
Hentikan, hentikan, hentikan, hentikan! Dia mengayunkan tongkatnya panik, menggelengkan kepalanya jangan, jangan!
Kita salah! Ini bukan demon! Ini bukan—!
“Aaaaaaahhhh!”
Makhluk itu menghindari sebuah kilatan petir, membuat gadis itu terayun. Panah pada pahanya semakin tertusuk ke dalam daging. Dia berteriak dan bergetar.
Seharusnya dia tidak melakukan itu.
Cakar pada pundaknya terlepas, merobek kulit dan daging dan memuncratkan darah.
“Hrk!”
Suara terlepas dari bibirnya. Sensasi akan melambung. Angin. Angin. Angin. Angin.
Owww, Aku takut, tolong aku, Dewa pengetahuan, O Dewa, oh Dewa...!
Sungguh di sayangkan, semua ini hanyalah murni harapannya, dan bukan bagian dari sebuah doa.
Oleh karena itu ini tidak akan mencapai para Dewa. Satu-satunya keberuntungan yang tersisa darinya adalah dia tidak merasakan sakit. Namun dia sangat tidak beruntung di karenakan kesadarannya tidak hilang hingga pada saat sebelum dia menghantam tanah.
Walaupun sekarang dia tidak lebih dari sekedar daging rusak yang terkejang-kejang, semua itu tidaklah penting.
*****
“Jadi apa rencananya?”
Suara kasar pria itu terdengar di dalam angina yang berhembus di gurun. Tombak yang di bawa di punggungnya dan armor yang dia gunakan membuatnya terlihat gagah dan berani.
Di depan mata Spearman berdiri sebuah menara putih, berkelip dalam cahaya matahari. Dindingnya terbuat dari batu putih yang berkilau; di lihat dari bagaimana menara ini mencapai langit tanpa adanya sedikitpun cacat, besar kemungkinan menara ini terbuat dari gading. Namun pikiran akan tidak adanya gajah sebesar ini membuat keraguan bahwa ini adalah produksi sihir.
“Aku rasa paling nggak menara ini mempunyai setidaknya enam puluh lantai.”
“Melewati pintu depan mungkin akan sedikit sulit.”
Jawaban itu berasal dari seseorang yang sama gagah beraninya dengan Spearman. Tubuh berototnya terlapisi armor, dan di punggungnya membawa sebuah pedang besar yang hampir sama tinggi dengan dirinya. Heavy Warrior, terkenal di kota perbatasan, menjulurkan telapak tangannya ke atas, menyipitkan matanya melihat menara.
“Delapan puluh atau sembilan puluh persen kemungkinan menara ini di bangun oleh orang-orang bajingan yang bakal mengisi menara ini dengan monster dan jebakan.”
Di dekat kakinya adalah sebuah mayat hancur secara brutal; tampaknya telah di jatuhkan dari tempat yang tinggi. Mereka telah mengambil kalung peringkat yang berada di sekitar lehernya, Dari nama, jenis kelamin, peringkat, dan kelas. Tampaknya tubuh ini milik seorang gadis muda, namun apakah dia telah mati sebelum jatuh, atau mati karena terjatuh, mereka tidak mengetahuinya.
Mereka melihat titik noda merah tua lainnya di sekitar menara, kemungkinan masih ada mayat lainnya.
“Mungkin beberapa penyihir membangunnya sebagai tempat bersembunyi. Aku rasa mereka sudah gila.”
Heavy Warrior memberikan tendangan perlahan pada mayat itu dengan kakinya. Pemilik menara ini adalah seorang Yang Tidak Berdoa—Sang pemilik sudah melupakan cara akan berdoa. Yang berarti petualangan ini akan menjadi petualangan penuh akan monster.
“Aku rasa kita nggak perlu menghadapi mereka secara langsung.”
Orang terakhir yang berbicara dengan pelan, tanpa ekspresi. Adalah seorang pria dengan armor kulit kotor, helm baja yang terlihat murahan, dan perisai bundar yang terikat di lengannya dan sebuah pedang dengan panjang yang aneh pada pinggulnya. Dia merogoh isi kantung perlengkapannya dan mulai mencari sesuatu.
“Kita bisa memanjat dindingnya.”
“Hei, maksudmu dengan tali atau apa? Kalau pengaitnya lepas di tengah jalan, kita akan langsung jatuh!”
Genggam piton di setiap tangan dan tarik dirimu sendiri.” (TL Note : Piton = https://www.dreamstime.com/stock-photos-iron-piton-granite-rock-rope-image26868643 )
Spearman mengangkat bahunya lelah, melongo melihat pada piton yang di keluarkan Goblin Slayer.
“Apa kamu punya pengalaman memanjat?”
“Sedikit, di pegunungan. Tepian jurang, juga.”
Heavy Warrior melipat tangannya dan mendengus. Dia menjulurkan jarinya, menghitung tinggi menara, dan menjentikkan lidahnya.
“Pertanyaannya adalah bagaimana cara untuk bertarung dengan apapun yang menyerang  ketika kita memanjat. Jangankan demon. Seekor gargoyle saja bakal menyulitkan.” (TL Note : gargoyle = https://en.wikipedia.org/wiki/Gargoyle )
“Gargoyle?”
“Patung batu,” Heavy Warrior, mengindikasikan ukuran besar makhluk itu dengan tangannya. “Mereka bisa terbang di udara.”
“Hrm.” Goblin Slayer mendengus. “Jadi ada musuh yang seperti itu juga...”
“Yeah. Secara pribadi, aku spesialis serangan jarak dekat, tapi...seorang pengguna sihir akan membuat keadaan kita sekarang menjadi lebih mudah.”
“Jangan terlalu banyak berharap di sini, huh?” Spearman melihat kepada Heavy Warrior, yang mulai meracik formula strategi dengan penuh keseriusan, seakan dia tidak mempercayai apa yang dia lihat.
“Jadi bagaimana? Apa kamu mau memaksa masuk, mendeteksi dan menghancurkan perangkap, dan berkeliling mencari secara buta?  Aku pastinya tidak mau.” Heavy Warrior menghela, memindahkan pedang besar pada punggungnya menuju pundaknya, “Karena kita tidak punya pembaca mantra, monk, dan tidak ada thief.”
Mendengar itu, Spearman hanya bisa terdiam.
*****
Terdapat begitu banyak tempat untuk di jelajahi di dunia, reruntuhan dari jaman pertempuran para Dewa sangatlah banyak, dan terlebih lagi pada daerah perbatasan. Apakah mereka mengikuti Kekacauan atau Ketertiban, negara akan berjaya dan kemudian lengser, dan lingkaran itu akan terus berlanjut seiring dengan terbentuknya negara baru. Sebagai hasilnya, menemukan satu atau dua reruntuhan baru bukanlah hal yang istimewa. Namun ketika reruntuhan itu muncul suatu hari di tempat di mana sebelumnya tidak terdapat apa-apa di sana—itu merupakan cerita yang berbeda.
Merupakan sebuah gerombolan pedagang yang secara kebetulan menemukannya menara gading yang menjulang dari lahan gersang ini seraya mereka melintas. Hutan yang sebelumnya berada di sana telah sirna, tergantikan oleh menara putih yang menatap rendah pada mereka.
Tentu saja, mereka merasa kaget, namun mereka tidak memiliki waktu untuk hanya melihat—mereka telah di serang oleh makhluk berwujud manusia dan bersayap layaknya kelelawar.
Demon! Pelayan mengerikan kekacauan itu! Mereka yang tidak berdoa!
Para pedagang melarikan diri, dan melalui Guild Petualang, laporan mereka tiba pada raja. Sang raja akan mengirim sebuah pasukan untuk membinasakan ancaman ini, dan permasalahan akan terselesaikan. Jika saja semua itu begitu mudah.
Untuk mengirimkan sebuah pasukan membutuhkan uang dan SDM. Dalam hal ini, SDM nya adalah para warga, dan uang berasal dari pajak. Kemungkinan besar pajak akan naik pada tahun depan di karenakan ini. Dan kenalan, keluarga, teman, dan tetangga kemungkinan akan mati ketika mereka melakukan kewajiban mereka sebagai prajurit. Para warga menilai ini terlalu berlebihan, dan tumbuhlah kebencian. (TL Note : SDM = Sumber daya manusia.)
Dan terdapat pula naga yang hidup di gunung berapi yang harus di awasi, dan permasalahan lainnya seperti partisan akan Demon Lord yang masih mengancam wilayah sekitar. Mengirim pasukan hanya akan membuat orang-orang yang mengawasi permasalahan lain ini menjadi semakin sedikit.
Dan jika menara itu hanya sekedar umpan, sebuah pengalihan, lalu bagaimana? Benar, demon berkumpul di sana, namun itu hanyalah sebuah menara yang berada di tengah-Tengah lahan gersang. Mungkin beberapa penyihir gila telah membangunnya. Masih belum ada cukup bukti untuk mengatakan apakah menara ini ancaman untuk negara atau dunia. Merupakan alasan yang tidak cukup untuk melibatkan pasukan militer.
Kamu mungkin bertanya, lalu apa gunanya pasukan militer? Untuk bersiap melawan penyerangan pasukan Kekacauan tentunya. Dalam pertarungan besar-besaran yang baru-baru terjadi antara pahlawan tingkat Platinum dan Demon Lord, pasukan militer juga ikut berada di medan tempur. Jumlah korban sangatlah tinggi. Banyak yang telah gugur, banyak yang terluka. Mereka sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk pertempuran besar berikutnya.
Terlebih lagi, strategi sederhana mengatakan bahwa berusaha untuk memaksa masuk sebuah pasukan ke dalam reruntuhan ataupun sebuah gua, hanya akan membuat pasukan itu hancur. Pasukan militer di ciptakan untuk bertarung melawan musuh pada lahan terbuka, tidak untuk masuk pada ruang tertutup yang di mana kuda-pun tidak bisa masuk.
Reruntuhan dan gua memiliki monster yang dapat mengancam desa pedalaman. Bagaimana mungkin sebuah pasukan militer dapat di berangkatkan secara sekaligus? Adalah karena raja dan para bangsawan merupakan raja dan bangsawan yang baik yang membuat mereka tidak dapat menggunakan pasukan mereka secara sembarangan.
“Tapi masalah ini juga tidak boleh di hiraukan.”
Raja muda, mengunjungi temannya setelah sekian lamanya tidak bertemu, menghela napas.
Tempat ini, bermandikan cahaya lembut matahari, penuh akan kesucian, murni akan keheningan.
Tumbuh-tumbuhan di rawat dengan baik, bunga-bunga bermekaran. Tiang putih di tengah taman tampak seperti sebuah pohon raksasa. Gelembung arus air, yang entah berasal dari mana, sangat menyejukkan sarafnya yang tegang.
“Menurutmu apa yang harus aku lakukan?”
“Oh, wah.”
Mereka berada di taman pada bagian terdalam kuil. Pendeta perempuan kuil memberikan senyum elegan dan memiringkan kepalanya. Rambut emas indah miliknya mengalir layaknya madu, menutupi dada ranumnya.
“Benar-benar sebuah perubahan hati untuk seseorang yang telah berpaling ketika kami sedang berhadapan dengan goblin.”
“Kamu harus mengerti, walaupun itu mungkin tragedi pribadi, jika di bandingkan dengan semua permasalahan yang ada, itu hanyalah masalah sederhana.”
Sang raja menjawab singkat, kemudian melambaikan tangannya seolah ingin menyudahi topik yang ada.
Dari cara dia menduduki sebuah kursi yang telah di siapkan untuknya sangatlah kasar akan tetapi juga berwibawa. Apakah ini yang mereka sebut kebangsawanan? Atau pembawaan aristrokat? Apapun itu, dia melakukan gerakan itu layaknya sudah menghapalnya sejak lahir.
“Dan beberapa goblin dapat di atasi dengan mudah oleh party para petualang.”
“...Ya. Anda benar.”
Itu merupakan fakta sederhana.
Goblin sangatlah berbahaya, dan jika mereka mengalahkanmu, “tragedi” merupakan kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Namun goblin tetaplah monster paling lemah, dan mereka bukanlah satu-satunya yang akan menyebabkan takdir seseorang berakhir mengenaskan. Kamu mungkin dapat di makan oleh naga, di lelehkan oleh slime, atau di hancurkan berkeping-keping oleh golem...
Pada akhirnya yang akan kamu temui adalah hal yang sama ketika goblin telah selesai bersenang-senang denganmu: kematian. Apakah itu di karenakan kurangnya tenaga fisik, atau kemampuan atau hanya karena ketidak-beruntungan, tidak akan ada masa depan lagi bagi mereka yang tidak dapat mengalahkan goblin.
“Yang mulia adalah yang paling baik...”
Sebuah lagu terlontar dari bibir setengah terbuka wanita itu.

Seperti raja yang begitu baik dan adil
Mengambil pajak layaknya para leluhur
Air yang beliau berikan pada sungai yang mengamuk
Dan dewan kotapun terbantu
Mengantar anggota dewan tidur
Dan setiap orang laparpun tercukupi
Dia membuat prajuritnya melangkah sigap
Dan mengirim pahlawan menuju lubang goblin:
Ibukota dengan cepat di penuhi oleh troll

Sang raja mengernyit mendengar lagu yang merendahkan kebangsawanan, dan wanita itu tertawa kecil layaknya seorang gadis.
“Bukankah ini saatnya untuk memanggil petualang, Yang Mulia?”
“Benar...”
Sang raja meletakkan tangan pada alisnya, menggosoknya seolah ingin melonggarkan otot yang kencang, dan mengangguk. Dia berpikir bahwa ini merupakan jalan satu-satunya.
Pasukan militer tidaklah cocok untuk berburu monster, oleh karena itu, mereka akan memberikan para bajingan itu status, memberikan mereka hadiah—mereka akan mengirimkan petualang. Itulah yang membuat dunia terus berputar. Mereka akan melakukannya lagi sekarang. Dan lagi pula, bukankah para petualang merupakan spesialis memburu monster?
“Para pedagang mengatakan mereka di serang oleh demon, tetapi kita tidak mengetahui siapa sebenarnya dalang di balik semua ini.”
Sang raja menggeleng kepalanya seraya ingin menunjukkan tidak adanya bukti, kemudian bersandar lelah pada kursinya.
Seseorang tidak mungkin dapat duduk dengan cara yang sama pada sebuah singgasana. Dia menutupi matanya, menghirup udara segar taman hingga terpuaskan.
“Aku ragu apakah para pedagang itu dapat membedakan perbedaan antara demon dan gargoyle.”
Kalau begitu apa itu merupakan menara penyihir jahat?  Wanita itu yang merupakan master kuil ini memberikan tawaan kecil dan bergumam, “Wah, mengerikan sekali,” seolah semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Sang raja mendengakkan kepalanya untuk memberikan sebuah lototan matanya yang lelah, namun tidak melanjutkannya. Ini lah bagaimana cara wanita ini akan menyinggung dirinya di karenakan sudah menghiraukan masalah goblin. Kemampuan untuk menerima rasa kebencian di karenakan kebijakkannya adalah tanda seorang raja, dia berpikir. Biarkanlah mereka memanggil dirinya tidak kompeten jika mereka mau.
“Ini tentunya lebih berbahaya di bandingkan dengan goblin. Tapi ini masih belum seberapa jika dengan Demon Gods.”
“Benar sekali.”
“Sepertinya beberapa necromancer di selatan telah menemukan makam kuno.” Sang raja menyandarkan punggungnya pada kursi, seolah inging mengatakan bahwa topic pembicaraan ini membuatnya bosan. Kursi memberikan suara decitan. “Sebuah pasukan kematian! Mereka membuatku tidak mempunyai sedikitpun ruang untuk berhadapan dengan goblin atau satu menara itu.”
“Heh-heh. Anda pastilah sangat lelah.” Seraya wanita itu berbicara, wanita itu membiarkan pahanya keluar dari balik sela pakaiannya seraya ingin menunjukkannya.

“Status itu merupakan hal yang merepotkan sekali.” Sang raja bergumam. “Aku bahkan tidak bisa menemui temanku tanpa adanya alasan.”
“begitu juga dengan sebuah posisi,” sang wanita berbisik. “Segalanya berubah—apa yang bisa kamu lihat, dan apa yang tidak bisa di lihat”
“Aku sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengatakan bahwa seharusnya aku dan rekan-rekanku bisa menyelesaikan semua ini dengan pedang kami, layaknya seperti yang kami lakukan waktu dahulu.” Sang raja menghela, tampaknya sedang mengenang ingatan masa lalu. “Rasanya segala jauh lebih mudah ketika aku masihlah seorang tuan biasa yang menantang sebuah labirin sendirian.”
“Ah, ya, anda mengalahkan makhluk itu, yang telah melarikan diri setelah anda mengalahkannya dalam peperangan itu.”
“Aku teringat sebuah party yang berakhir mengenaskan setelah di serang oleh slime.”
Senda gurau mereka terdengar tajam. Sword Maideng menghela napas lembut. “Ada waktu di mana, saya juga, ingin berhenti dari posisi saya dan kembali menjadi gadis biasa.”
“Apa archbishop dari Supreme God juga merasa seperti itu?”
“Ya.” Pipi pendeta buta itu mulai memerah, dan bibirnya membentuk sebuah senyum yang indah. Dia meletakkan tangan pada dadanya yang ranum untuk mencegahnya agar tidak bergetar, dan dengan suara yang sangat lembut seolah dia sedang menyatakan cintanya, dia berkata, “Terlebih, akhir-akhir ini.”
“Semua hal sepertinya tidak berjalan sesuai keinginan kita. Tapi itulah yang membuat kehidupan menjadi menarik.” Dengan bisikan itu, sang raja berdiri dari kursinya. “Sudah saatnya aku pergi. Lagipula, aku datang kemari hanya untuk meminjam beberapa pendeta perang.”
“Baik, Yang Mulia. Saya sedang kita dapat kesempatan untuk berbicara.”
“Ya.” Sang raja memberikan senyuman ringan yang terliputi oleh rasa pahit dan semacamnya. “Kamu terdengar seperti sedang memikirkan orang lain selain aku.”
*****
“Maaf, tidak bisa.”
Heavy Warrior melihat pada sebuah lembaran quest dan menggeleng kepalanya—walaupun lembaran itu di tanda tangani oleh raja secara langsung.
“Apakah terlalu sulit?”
“Bukan, tapi partyku sekarang sedang tidak lengkap. Kalau lengkap maka kami akan mengambilnya.”
“Yah, ini genting sekali,” Gadis Guild kembali bergumam, mengernyitkan alisnya melihat pada Heavy Warrior.
Pada tangan Gadis Guild dia menggengam sebuah permohonan untuk menginvestigasi reruntuhan yang untuk sementara di sebut “Menara Demon”
Akhir-akhir ini, semakin banyak reruntuhan dan labirin yang tiba-tiba bermunculan. Sejak kalahnya Demon Lord, partisan Demon Lord yang masih tersisa telah melakukan pekerjaan jahat mereka di tempat-tempat terpencil. Sementara pasukan militer masih menjilat lukanya, pembaca mantra jahat dan semacamnya semakin tidak terlihat oleh khalayak.
Sebagai bagian dari Guild, akan bohong jika Gadis Guild tidak menginginkan semua quest yang tersedia dapat di selesaikan. Namun bahkan dengan hadiah puluhan keping emas di setiap permohonan, terdapat ratusan atau bahkan dua ratus musuh yang harus di hadapi. Gadis Guild menyadari bahwa pembendaharaan Negara pada dasarnya tidak terbatas dan sangatlah royal dalam memberikan hadiahnya.
“Kita akan berhadapan dengan demon, kan?”
Entah apakah pria ini dapat mendengar hela napas lembut dari dada Gadis Guild, Heavy Warrior kembali melihat pada lembaran quest. Dengan jarinya yang tertutup oleh sarung tangan sederhana, secara perlahan dia menelusuri setiap huruf yang berdansa di atas lembaran, kembudian berkata.
“Kami perlu paling tidak satu pembaca mantra dan pengintai… Dan harus peringkat Silver.”
“Party tiga orang?”
“Itu batas minimumnya. Kalau memungkinkan aku ingin seorang wizard dan cleric dengan aku dan dua lainnya di garis depan, dan seorang pengintai. Enam secara keseluruhan.”
Hm, hm, hm. Gadis Guild berpikir dengan ekspresi serius pada parasnya, kertas pada tangannya berbunyi seraya dia membalik dan membacanya.
Lembaran Petualang.
Lembaran ini mencatat kemampuan setiap petualang yang telah tumbuh melalui petualangan yang telah mereka lalui. Tidak berlebihan jika di katakana bahwa lembaran kertas itu adalah kehidupan inti para petualang. Lembaran itu penuh akan para pemula—wizard dan cleric dan scout dan warrior. Namun jika mengenai mereka yang telah berhasil mencapai peringkat atas, jumlah lembaran itu turun dengan drastic. Salah satu permasalahan mereka adalah sedikitnya peringkat tengah veteran yang mereka miliki.
Kami tidak mempunyai seseorang yang benar-benar tepat untuk quest ini
Gadis Guild melirik pada setiap petualang yang membuat bangunan Guild begitu ramai. Tentu saja mereka haruslah mampu, dan mereka juga harus memiliki sopan santun. Karena, pemberi quest kali ini adalah seorang raja. Guild tidak membutuhkan seseorang yang hanya bisa memamerkan kekuatannya. Mereka boleh saja sedikit ambisius, dan sedikit memetingkan diri sendiri, namun mereka harus memahami apa yang sedang di pertaruhkan di sini…
“Jika saja ada seseorang yang memenuhi semua persyaratan itu, dan dapat menggunakan sihir dan bertarung…”
“Ada kok! Aku ada di sini!”
Layaknya sebuah mimpi. Harapannya yang terlontar dari bibirnya, telah di jawab oleh seseorang dengan antusias.
Dia datang melangkah menuju meja resepsionis dengan riang, membawa tombaknya, seraya dia telah menunggu momen ini di kehidupannya. Setelah Gadis Guild menyadari siapa dia, dia berkata, “Ah!” dan memasang senyum di parasnya. “Jika di ingat kembali, sepertinya anda telah mempelajari sedikit sihir.”
“Seorang petualang harus selalu siap menghadapi berbagai macam situasi!” Spearman mengangguk cepat dan percaya diri, dan sepertinya Spearman tidak menyadari Heavy Warrior yang menghela, “Aggh” dan menepuk dahinya—sebuah gerakan yang sangat mudah di artikan.
Walaupun seperti itu, Gadis Guild mengetahui penuh bahwa Spearman bekerja sama dengan Witch.
“Ahem, apa…party anda tidak keberatan dengan ini?”
“Oh, nggak masalah. Kami baru saja kembali dari salah satu ‘kencan’ kami. Dan aku membiarkannya untuk istirahat dulu.”
…Apa dia yakin soal ini?
Gadis Guild melirik melewati pundak Spearman dan melihat Witch yang berdiri di belakangnya, duduk di sebuah bangku. Witch menawarkan sebuah senyum sensual.
Sikapnya ini yang paling merepotkan.
Memainkan kepangnya dengan satu tangan, Gadis Guild menghela lelah. Dari perspektif Witch, Gadis Guild adalah rival dalam cinta. Namun ini semua hanya sebuah bisnis….benarkan?
Hrm. Aku tidak boleh membiarkan kehidupan pribadiku mencampuri urusan pekerjaan.
“Baiklah, untuk saat ini kalian berdua—tidak masalah?”
“Ya, aku tidak keberatan. Aku bisa…yah, aku percaya dengan pria ini.”
Walaupun Heavy Warrior tampak sedikit ragu dengan ucapannya, Heavy Warrior mengangguk.
“Tapi ini masih belum cukup.”
Spearman merebut lembaran quest dari Heavy Warrrior dengan “Coba aku lihat,” dan memiringkan kepalanya. “Kenapa kita masih belum cukup?” dia berkata.
“Paling tidak aku ingin seorang pengintai.”
“Nggak banyak pengintai yang ahli di sini. Gimana dengan bocah di dalam partymu itu?”
“Aku tidak mau membawa dia untuk berhadapan dengan demon,” Heavy Warrior berkata tegang.”Aku tidak mampu menanggung tanggung jawabnya.” Dia melihat kepada Spearman. “Aku tidak terlalu perlu seseorang yang mempunyai sikap baik, tapi setidaknya aku ingin orang itu netral.”
Sikap “baik” dan “jahat” tidaklah mempunyai arti secara harfiah, namun lebih mengartikan apakah seseorang itu mementingkan dirinya sendiri atau peduli dengan orang lain, apakah mereka ingin bertarung atau tidak. Scout dan thief sangatlah sering menolak untuk berpartisipasi dalam pertarungan. Itu merupakan sesuatu yang harus di pikirkan jika kamu mengkhawatirkan rekanmu akan melakukan sesuatu yang mencurigakan ketika situasi sedang genting.
“Jadi yang kamu butuhkan itu…”
Seseorang yang merupakan seorang scout dan dapat bertarung di garis depan. Mampu, dan juga dapat di percaya. Seseorang yang dapat mengesampingkan kehidupan pribadi dari pekerjaannya. Yang memiliki sikap baik, atau paling tidak netral. Dan seseorang yang mau mengambil quest ini…
“Ya! Saya rasa saya tahu!”
Ketika Gadis Guild menepuk tangannya dan melonjak dari kursinya, Spearman memberikan tatapan heran. Gadis Guild menyadari Spearman yang melirik dadanya dalam momen singkat itu, namun pada saat ini dia tidak peduli.”
“Huh? Apa benar ada seseorang yang seperti itu?”
“Saya bisa menjamin bahwa dia sangatlah mampu.” Gadis Guild tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian berjalan melangkan dengan penuh semangat. Gadis Guild terlihat sigap, sepatunya berbunyi seraya dia berjalan dengan sebuah kertas yang di peluk di dadanya. Gadis Guild pergi menuju salah satu bangku yang berada di pojok ruang tunggu bangunan Guild. Tempat di mana dia selalu duduk. Gadis Guild merasakan adanya sedikit rasa kebahagiaan ketika helm baja itu berputar menyadari dirinya yang mendatanginya.
Dan kemudian pria itu bertanya, dengan nada rendah tidak berekspresi:
“…Goblin?”
*****
“Aku benar-benar nggak menyangka kamu bakal menerimanya.”
“Karena sedang nggak ada quest membasmi goblin.”
Dengan itu ketiga petualang ini mendapati diri mereka berada di depan menara. Spearman dan Goblin Slayer, dengan Heavy Warrior sebagai pemimpin.
Sebuah Party yang yerbentuk dari satu manusia warrior, warrior manusia kedua, dan manusia warrior ketiga. Akan mengundang sebuah senyuman bagi semua orang yang melihatnya. Walaupun party seperti bukanlah hal yang tidak biasa, jika keadaan memaksa.
“Dan aku perlu uang.”
“Pastinya buat pembasmian goblin, kan?” Spearman tertawa.
Namun Goblin Slayer menjawab, “Bukan,” dan menggeleng kepalanya. “Bukan untuk itu. Tapi ini untuk kebutuhan yang lebih mendesak.”
“Tergantung dari berapa banyak yang kamu perlukan, Aku bisa meminjamkanmu uang.” Heavy Warrior berkata, tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari menara yang berada di depan mereka. “Aku rasa kamu nggak akan membohongiku.”
“Aku menghargai tawaranmu, tapi tidak terima kasih.”
“Terserah kamu.” Heavy Warrior menjawab dengan anggukkan, dan Goblin Slayer mulai merogoh isi kantung perlengkapannya. Benda pertama yang dia keluarkan adalah beberapa ikat piton dan sebuah palu.
“Aku sudah mempunyai hutang yang harus aku bayar.”
“Hutang? Apa-apaan!” Spearman mengernyit dan menjentikkan lidahnya jengkel. “Kita ini petualang! Kita selesaikan quest ini, dan anggap hutang itu lunas.” (TL Note : Hutang goblin slayer setelah bantuan para petualang mengalahkan goblin lord, baca jilid 1 bab 11.)
“Begitu.”
“Lagipula, kamu cuma mentraktirku satu minuman setelah semua itu. Kamu masih berhutang denganku!”
“Itu berlawanan dengan apa yang barusan kamu bilang.” Heavy Warrior berkata lelah, tidak terlalu mendengarkan pembicaraan mereka.
Goblin Slayer mengerluarkan sebuah tali dan melingkarkannya di sekitar pundaknya.
“Aku berjanji untuk mentraktirmu minum. Dan aku sudah menepatinya.”
“Hrrrrgh!” Spearman tidak bisa menjawab balasan Goblin Slayer. Heavy Warrior berusaha untuk menahan senyumnya.
Begumam marah, “Hrmph, hrmph,” dan menjentikkan lidahnya, Spearman memberikan beberapa tepukan memeriksa pada sebuah dinding. “…Ngo-ngomong, dinding ini kelihatannya kokoh sekali. Kamu yakin bisa memasang peralatan mendaki mu di dinding ini?”
Menara ini telah di buat dalam satu atau dua malam. Sudah sangat jelas bahwa ini tidak terbuat oleh bahan biasa.
“Coba sini, biar aku coba.”
“Baik.” Goblin Slayer memberikan piton dan palu pada tangan Heavy Warrior yang menjulur.
Heavy Warrior mengambilnya, memberikan jangkar itu sebuah pukulan dengan palu, kemudian dia mendengus.
“Yeah. Dindingnya lumayan keras.”
Dinding menara yang berkelip ini bahkan tidak tergores.
Tiba-tiba, Heavy Warrior mulai melepas sarung tangannya dan pelindung tangannya. Dia memasukkan perlengkapannya di dalam tas punggungnya dan menukarnya dengan sebuah botol yang terisi dengan cairan merah. Dia menarik tutupnya dan meminum isinya. Kemungkinan adalah sebuah Potion penambah kekuatan. Dia meletakkan botol yang sekarang telah kosong, kemudian mengeluarkan sebuah pedang satu tangan dan sebuah cincin yang terhias dengan batu delima yang berkilau.
“Huh! Cincin dengan peningkatan kekuatan fisik?” Spearman berkata penuh rasa tertarik.
Bukanlah hal yang mengejutkan jika Heavy Warrior mempunyai pedang sihir. Senjata sihir sangatlah langka, Namun seorang dengan peringkat Silver pastinya mempunyai paling tidak satu dari senjata sihir itu.
“Biasanya aku menggunakan pelindung tangan peningkat kemampuan berpedang dan sarung tangan sihirku, jadi aku tidak terlalu sering menggunakan ini.” Heavy Warrior meletakkan pedangnya di pinggulnya dan menggenggam piton di tangan yang memakai cincin. Kali ini dia mendengus, “Hmph!” dan menancapkan piton itu dengan mudah pada dinding.
“Lihatlah Goblin Slayer. Ini baru perlengkapan petualang tingkat atas.”
Apa sih yang kamu sombongkan? Heavy Warrior terlihat ingin bertanya.
Spearman Menghiraukan Heavy Warrior. “Kenapa kamu nggak membawa satu atau dua pedang sihir? Apa kamu nggak mau keliahatan keren?”
“Aku nggak mempunyai sedikitpun rasa tertarik dengan pedang sihir, tapi aku mempunyai cincin sihir.”
“Oh yeah?”
“Cincin ini dapat membuatmu bernapas di dalam air.” Goblin Slayer berkata singkat. “Bahkan kalaupun goblin mencurinya, cincin ini nggak akan berguna untuk mereka.”
“Memangnya buat apa gunanya cincin itu untuk mereka? Tunggu dulu—apa kamu berasumsi kalau cincin itu akan di curi?”
Spearman memijat dahinya, namun helm baja itu mengangguk dan berkata, “Tentu saja. Dan juga cincin terlalu besar untuk jari goblin.”
“Kamu harus belajar kalau apapun yang kamu katakan sama pria itu—semuanya tidak akan ada gunanya.” Heavy Warrior berusaha menahan senyumnya seraya dia memegang piton dan menarik dirinya ke atas. “Hei, kalian berdua bayar aku buat potion tadi, kan? Hadiahnya kita bagi tiga, di luar biaya potion tadi.”
Dan kemudian, dia menahan dirinya dengan satu tangan, kemudian mengeluarkan piton lainnya dan berlanjut memanjat. Gerakannya tidaklah rapi, namun cukup bagus, mengingat dirinya yang memakai satu set full armor dan membawa pedang besar di punggungnya. Tentunya ini membutuhkan tenaga fisik ekstra.
“Nggak masalah.”
“Ya, ya.”
Goblin Slayer menjawab sigap, dan Spearman menjawab tanpa rasa keberatan. Kebanyakan petaualang sadar untuk tidak membuat keributan perihal hadiah pada rumah makan Guild. Tidak peduli seberapapun berharganya barang itu, jika barang itu telah kamu bayar dengan nyawamu.
Goblin Slayer memegang piton dan mulai memanjat setelah Heavy Warrior, sementara di belakangnya Spearman menjentikkan lidahnya. “Jadi aku yang paling belakang, ya?”
Goblin Slayer berhenti memanjat sejenak, melihat kebelakang dengan satu tangan masih memegang piton
“Apa kamu mau di depanku?”
“Tank duluan, scout kedua. Sudah benar, jadi cepat, terus panjat.”
“Begitu.”
Goblin Slayer kembali memanjat, memegang piton berikutnya, meletakkan kakinya pada piton sebelumnya, dengan itu satu lantai telah terpanjat. Menyisakan beberapa lantai yang harus di panjat dengan gerakan yang sama. Tidak melihat ke atas, tidak melihat ke bawah. Hanya memperhatikan dengan siaga.
Mereka semua adalah petualang yang berpengalaman, dan mereka memiliki piton untuk di pegang dan di injak. Jika mereka mengkhawatirkan akan angin, yang semakin berhembus kuat sejauh mereka memanjat, maka akan lebih baik jika mereka tidak memanjat dinding ini sama sekali.
Permasalahannya adalah, angina bukanlah satu-satunya yang dapat melukai mereka.
Goblin Slayer, memeriksa kiri dan kanan sebagai pengintai mereka, dan memanggil mereka, “Hei…” Dia berkata, “Di sebelah barat. Ada tiga. Bersayap. Bukan gobli.”
“Jadi kita sudah ketahuan… Mereka berwarna apa?”
“Abu-abu.”
“Sudah ku duga.” Heavy Warrior berkata, mengangguk mendengar jawaban itu. “Tidak salah lagi, itu pasti gargoyle.”
“Gargoyle… Hmm,” Goblin Slayer bergumam. “Jadi seperti itu mereka kelihatannya.”
“Ada kemungkinan kalau mereka itu demon batu. Sekitar delapan puluh atau Sembilan puluh persen.”
Adalah seekor demon bersayap sehitam abu pada pojokan sebuah perapian.
Atau mungkin itu apa yang seseorang kira. Makhluk itu adalah seekor monster gargoyle batu. Konon dulu mereka di peruntukkan untuk menjaga tempat suci, namun sekarang, gargoyle telah menjadi Makhluk-Tak-Berdoa, juga. Mungkin adalah di karenakan tubuh mereka yang mengerikan dan menjijikkan yang telah secara perlahan menggiring mereka pada Kekacauan.
Seseorang mungkin akan berpikir bahwa mustahil kepakan sayap kecil mereka dapat membuat mereka terbang, namun kenyataan yang ada adalah mereka dapat terbang. Terlebih lagi, mereka terbuat dari batu, yang membuat mereka menjadi musuh yang mengerikan.
“Kamu benar-benar belum pernah lihat satupun? Mereka terkadang sering muncul di reruntuhan.”
“Beberapa kali.” Goblin Slayer secara perlahan memutar kepala dari satu sisi menuju sisi lain. “Tapi aku nggak tahu kalau mereka itu gargoyle.”
“Terserahlah, mereka gampang di kalahkan.” Senyum Spearman sangatlah sinis layaknya seekor hiu. Monster itu sekarang terbang—secara harfiah—tepat di hadapannya.
Monster itu telah melakukan patroli perlahan memutari puncak menara, kemungkinan untuk berjaga. Sekarang monster itu terbang menurun dengan panic—kemungkinan karena mereka tidak menyangka ada seseorang yang berusaha memanjat dinding menara. Monster itu tidak begitu jauh, namun para petualang tampak tidak merasa gentar ataupun tanda-tanda akan ketakutan.
“Sepertinya yang bilang kalau gargoyle itu takut cahaya matahari itu nggak benar.” Spearman melotot pada monster itu, mengatur pijakannya untuk dapat seimbang pada piton. “Kalau mereka sampai mencengkrammu, kamu bakal kesulitan.”
Menjaga dirinya agar tetap stabil dengan lengan kirinya yang menggunakan perisai, Goblin Slayer kini menarik pedang dan menggenggamnya secara terbalik. “Kalau kamu berhasil menungganginya, kamu nggak akan mati walaupun kamu jatuh ke tanah. Walaupun kamu akan terseret jauh dari pertempuran.”
“Mungkin, kalau kamu menggunakan Control pada mereka. Dan itupun kalau mereka tidak mati dalam sekali pukulan, kan?” Heavy Warrior mengeluarkan pedang satu tangannya, yang memiliki cahaya putih samar—aura akan sihir. Dia menggigit benang dekoratif yang terikat di gagang pada mulutnya, kemudian mengikat kencang pada pergelangan tangannya. “Aku nggak tahu soal kalian, tapi aku akan baik-baik saja dengan satu tangan.”
“Orang bilang baku tembak antar sihir selalu lebih dulu di banding pertarungan jarak dekat. Arrgh. Dasar otak otot.” Spearman menyipitkan matanya dan menyentuh anting miliknya—sebuah katalis sihir—dengan satu tangan. Goblin Slayer melirik ke bawah melihat apa yang di lakukan Spearman, kemudian menggelengkan kepalanya.
“Aku sedang memikirkan sesuatu.”
“Aku, juga,” Heavy Warrior berkata.
“Diam, aku mengerti! Aku jadi nggak bisa konsentrasi!”
“GARGLEGARGLEGARGLE!!”
Dengan teriakan tidak jelas, monster itu terbang menuju kepada mereka. Namun Spearman, tanpa terburu-buru ataupun panic, mengucapkan beberapa patah kata akan kekuatan sejati dengan kemampuan untuk mengubah hukum realita itu sendiri.
“Hora…semel…silent! Waktu, melambatlah!”
Dalam sekejap, angin berhenti berhembus.
Aliran angina telah menghilang; suara dari kejauhan tampak terdiam, tidak bergerak. Ucapan Spearman telah mempengaruhi dunia, merubah hukumnya, dan segalanya berhenti bergerak.
Adalah sebuah mantra Slow. (TL Note: Slow = lambat.)
“GARGLEGARG?! GRGLEGARG!!”
“GAGLEGARGLEGAR!!”
Gargoyle mengepak sayapnya lagi dan lagi namun tidak dapat menghasilkan gaya dorong, oleh karena itu mereka tidak bisa mempertahankan tubuh mereka di udara. Gravitasi telah membawa ketiga makhluk ini, dalam hitungan detik turun beberapa lusin lantai, menghancurkan mereka kembali menjadi debu seraya mereka menghantam tanah. Dan tidak satupun patung batu yang dapat kembali hidup setelah di hancurkan.
“Apa, sudah selesai? Mereka lemah sekali.”
“Aku rasa jatuh dari ketinggian seperti ini pastinya akan menyebabkan kematian.”
Heavy Warrior mengerucutkan bibirnya kecewa, dan Goblin Slayer menyarungkan kembali pedangnya pada sarungnya. Mereka berdua dengan cepat mulai memanjat kembali, namun Spearman melototi mereka dengan tatapan tidak senang.
“Astaga, mantra seperti itu, dan kalian nggak bisa kasih sedikit pujian?”
“Itu strategi bagus,” datanglah respon tidak berekspresi Goblin Slayer. “Aku akan menggunakannya kapan-kapan.”
“Pada apa? Goblin?”
“Apa lagi?”
Balasan Goblin Slayer menyebabkan Spearman menggeleng lelah kepalanya. Bawa goblin ke tempat yang tinggi dan jatuhkan mereka? Tentunya tidak ada petualang yang ingin mencobanya. Dan terlebih bahwa Spearman telah di puji di karenakan ide miliknya—Yang benar saja!
Yang lebih penting: berapa banyak sisa mantramu?” Heavy Warrior menyadarkan Spearman.
Spearman hampir saya tidak dapat meraih piton miliknya, kemudian menstabilkan dirinya, “Satu kali lagi.” Sangatlah sulit bagi dirinya untuk mengatakannya, namun fakta tetaplah fakta. “Ingat, ini bukan kelas utamaku.”
“Baiklah, kalau kita di serang lagi saat sedang memanjat, kita akan turun ke bawah dan istirahat untuk malam ini. Kemudian kita akan coba untuk menyerang secara langsung dari depan.”
Keputusan Heavy Warrior sangatlah lugas dan pasti. Menyerang markas musuh dengan mantra mereka yang sudah tidak tersisa atau setelah mantra mereka terisi kembali? Tidak peduli bagaimanapun kamu melihatnya, pilihan kedua menawarkan kemungkinan bertahan hidup lebih besar.
Spearman memahami itu, dan kemudian dia menyeringai. “Walaupun kita sudah hampir sampai ke atas?”
“Kalau kita hampir sampai, maka ceritanya berbeda,” Heavy Warrior menjawab, tersenyum lebar seraya tertawa mendengar ucapan ringan Spearman.
“Kamu pemimpinnya,” Goblin Slayer mengangguk perlahan. “Aku akan mengikuti perintahmu.”
“Bagus. Kalau begitu, ayo lanjutkan.” Heavy Warrior menjulurkan tangannya untuk menggapai piton; Goblin Slayer merogoh isi kantung dan mengeluarkan bundelan piton lainnya. Goblin Slayer menyimpan banyak piton karena benda ini sangatlah berguna, dan berkat itu, tampaknya mereka tidak akan kekurangan piton untuk sampai dapat pada puncak menara.
“Ngomong-ngomong, Aku rasa mereka sudah mengetahui kita ada di sini. Ayo pastikan mereka menyambut kita dengan karpet merah.”
“Benar.”
Goblin Slayer menjawab pendek dan melihat pada pria yang ada di depannya. Pedang pesar pada punggungnya bergoyang pada setiap gerakan. Dengan nada serius dan berat, Goblin Slayer berkata, “Jangan jatuhkan pedangku padaku.”
“Aw, diamlah.”
Spearman tertawa terbahak-bahak tanpa adanya rasa mengejek, dan Heavy Warrior dengan cemberut melanjutkan memanjat.
Tujuan mereka, puncak menara, sudah tidak jauh lagi.
*****
Puncak menara menawarkan sebuah pemandangan yang luar biasa.
Adalah sebuah tempat terbuka dengan lekukan yang tampak seperti mangkuk bundar, di luar lingkaran di kelilingi oleh tiang. Dengan atap kubah melengkung, layaknya sebuah  planet yang turun dari luar angkasa. Pada langit-langit adalah peta perbintangan, namun garis-garis itu tidak menunjukkan satupun konstelasi yang di ketahui para petualang.
Lantai dan tiang berwarna putih, langit biru mengintip dari balik deretan tiang-tiang. Akan tetapi,  tidak ada perasaan akan aura jahat. Seraya Heavy Warrior mengangkat dirinya sendiri pada ujung menara, dia menatap pada konstelasi itu dan menghela tidak senang.
“Sudah pasti ini pekerjaan Keakcauan. Ayo, dan jangan biarkan apapun  yang akan membuat kita kesulitan nantinya.”
Dia menjulurkan tangannya seraya berbicara, menggunakan sarung tangan kulit. Dia menolong Goblin Slayer naik, dan setelah itu Goblin Slayer mengamati situasi sekeliling.
“Proses memanjat kita lebih mudah dari yang aku kira.”
“Kemungkinan karena kita bertiga ini pria dewasa.” Heavy Warrior mencabut cincin pada jarinya dan meletakkannya kembali pada tas perlengkapannya. Dengan cepat dia menggantinya dengan sarung tangan dan pelindung tangan, menggenggam pedang besar di punggungnya. “Aku tidak mau menyuruh bocah-bocah itu untuk memanjat.”
“Yah, itu sudah pasti.” Jawaban itu datang dari Spearman, yang terlihat ragu, mengernyit pada sarung tangan kulit yang menawarkan bantuan kepadanya, Sarung tangan biasa tidak terawat itu menggenggam tangan Spearman, menarik anggota terakhir dari party menuju puncak. “Aku juga benci buat menyuruh wanita  itu untuk melakukan ini. Heh, kemudian dia juga nggak bisa. Dadanya keberatan.”
Jawaban kasar dari Spearman entah mengapa terdengar tidak mengherankan, walaupun mungkin itu di karenakan kepribadiannya. Heavy Warrior melihatnya dengan tatapan meragukan seraya dia melipat tangannya di depan dadanya dengan kedua tangan.
“Aku mengerti apa yang kamu maksud,” Goblin Slayer berkata, dengan anggukkan lainnya.”Seseorang pastinya nggak mau membuat punggungnya letih. Dan punggungku sensitif.” (TL Note: Sekali lagi, saya agak tidak paham dengan konteks ucapan Goblin Slayer di sini. Apakah “seseorang” yang di maksud di sini itu dirinya sendiri atau gadis sapi, atau orang lain?  L
“Apa itu yang kamu khawatirkan?” Spearman menghela. “Apa kamu nggak kepikiran hal lain? Tubuh wanita itu seharusnya di puji! Dada! Pinggul! Pantat!”
“Apa gunanya memuji tubuh mereka?”
“Mereka akan menyukainya, dan kamu akan jadi popular di antara para wanita!”
“Begitu.”
Goblin Slayer tidak dapat melanjutkan percakapannya, dengan itu dia menarik pedangnya. Dia memeriksa ikatan pada perisainya, kemudia memutar pergelangan tangan kanannya, bersama dengan senjata yang di genggamnya. Heavy Warrior melirik padanya.
“Tenagamu masih ada?”
“Ya, aku baik-baik saja.”
“Bagus.” Heavy Warrior menepuk lembut pundak Goblin Slayer, “Bagaimana denganmu?”
“Aku nggak selemah itu,” Sperman menyeringai, mengeluarkan tombaknya dengan kedua tangan dan memberikan tusukan bersemangat.
Bagi seorang pemimpin untuk menunjukkan bahwa dia mengerti pada apa yang di lakukan setiap anggota partynya, sangatlah penting untuk meringankan rasa khawatir yang dapat tercipta pada sebuah grup.
Dan terlebih lagi jika sebelum pertarungan final. Heavy Warrior menunjukkan ujung pedangnya pada satu titik pada atap. Dia menjilat bibirnya untuk membasahinya.
“Ayo kita mulai.”
Dan kemudian, di sanalah musuh mereka.
Sebuah bayangan yang berputar-putar di tengah-tengah atap, pada dasar lantai berbentuk mangkuk. Kegelapan berputar menuju sesosok makhluk yang tampak di kejauhan, bayangan itu membentuk sebuah jubah, sosok itu menggeliat layaknya sebuah fatamorgana.
“Makhluk fana bodoh…!”
Suara itu serak layaknya sebuah cabang kering, sebuah suara yang tentunya tidak dapat di ciptakan oleh manusia.
Sosok itu tampak renta dan membungkuk dan tampak seperti sedang berdiri pada sebuah rawa. Pada jarinya, tampak sebuah tongkat yang terlihat tua seperti dirinya. Di balik jubahnya, sebuah roh api membara. Pria ini, sudah tidak di ragukan lagi merupakan gambaran akan penyihir jahat, dan meludah pada petualang yang di bencinya.
“Betapa aku membenci siapapun yang berusaha mengganggu dengan renc--!”
Namun dia telah terpotong sebelum dia dapat menyelesaikan kalimatnya.
Sebuah pedang.
Sebuah pedang murahan, dengan panjang yang aneh memotong melintasi udara, bidikannya sangatlah tepat, dan menusuk wizard tepat pada dadanya. Wizard tersedak, kemudian terjatuh pada lantai, dan menggenggam lehernya.
“Hei, hei, apa kamu nggak bisa biarkan dia setidaknya menyelesaikan ucapannya? Apa sudah selesai begini saja?”
“Nggak perlu bagi kita untuk menghadapinya secara blak-blakan.”
Adalah Goblin Slayer. Berdiri di samping Spearman yang menyengir, pria yang melempar pedang itu menggeleng kepalanya dari samping ke samping. “Dan kelihatannya dia bukanlah lawan yang tangguh.”
Benar.
Penyihir itu terjatuh dengan gedebuk. Seraya mereka memperhatikan, pedang yang menancap pada dadanya secara perlahan mulai keropos. Pedang itu berubah menjadi karat secepat mereka dapat berkedip. Sebuah tangan bertulang terangkat dan menghancurkan pedangnya.
“Ritualnya… sudah…selesai!” dia melolong seraya mencabut sebuah pedang yang telah hancur. Sangatlah jelas bahwa seseorang ini adalah salah satu dari Makhluk-Tak-Berdoa.
Heavy Warrior berdiri dengan pedang besarnya bersiap dan melirik kepada Goblin Slayer.
“Mungkin menusuknya di dadanya bukanlah rencana yang bagus?”
“Dadanya sama tinggi dengan kepala goblin.”
Goblin Slayer mengeluarkan sebuah belati dan mengambil kuda-kuda rendah.
Roh api membara dalam mata sang penyihir seraya penyihir itu mulai bergerak maju.
“Aku tidak bisa di bunuh oleh mereka yang dapat berbahasa…!”
“Kamu dengar dia,” Spearman berkata, seperti sedang menahan untuk tidak menguap. “Apa yang akan kita lakukan?”
“Dia bilang dia tidak bisa di bunuh, tapi dia tidak bilang kalau dia tidak bisa mati.”
Heavy Warrior menyeringai persis seperti di kala dia baru mengalahkan kecoa raksasa pertamanya. Dia mengangguk layaknya Goblin Slayer ketika sedang berhadapan dengan goblin.
“Kalau begitu, cuma ada satu hal yang harus di lakukan.”
Tanpa berkata apa-apa, party mereka membentuk formasi dan besiap untuk bertarung.
Sang penyihir mulai mengucapkan sebuah kalimat sejati yang dapat mengubah tatanan dunia tanpa rasa ragu. Dengan dua atau tiga kata dia mengucapkan kalimat mantra, dan timbulah—atau mungkin sudah seharusnya—sebuah demon batu abu-abu. Makhluk itu menunggu dengan setia di belakang tuannya, dan kemudian, dengan sebuah ayunan tongkatnya, makhluk itu terbang menerjang kepada para petualang.
“Manusia kurang ajar! Bersujudlah di hadapan kecerdasaanku yang tiada batas!”
Namun para petualang yang berhadapan semuanya adalah warrior dan telah mencapai peringkat Silver.  Kerja keras dan ketabahan yang telah membimbing kemampuan berpedang Heavy Warrior bukanlah sesuatu yang dapat di remehkan.
“Kamu lupa ‘maha’!”
Heavy Warrior berteriak seraya dia melesat ke depan untuk berhadapan dengan monster dan menahan mereka dari setiap sisi.
“GARGLEGARGLEGA!!”
“GARGLE!! GARGLEGA!!”
Ketika salah satu patung ceroboh itu datang di dalam jangkauannya, Heavy Warrior mengambil kesempatan itu dan menghancurkannya.
Dia memasang pose mengintimidasi. Dia adalah pria yang tidak membutuhkan apapun selain pedang dan tubuhnya sendiri. Membutuh lebih dari sekedar jumlah untuk mengalahkannya. Dengan setiap ayunan pedangnya, debu terkibas di udara layaknya sebuah bendera.
“Kalau begitu matilah layaknya orang bodoh!” sang penyihir beteriak, masih menggenggam tongkatnya dengan aman di belakang para gargoyle miliknya.
Tonitrus…oriens…! Menyambarlah, Petir!”
Terpanggil dengan kalimat akan kekuatan sejati, sihir mulai berkumpul di sekitaran. Tidak ada angina, akan tetapi para petualng telah terkena oleh kekuatan dahsyat akan badai yang datang.
“’Lightning’?” Spearman berteriak. Dia sedang memperhatikan apa yang sedang terjadi dan tetap bersiaga menunggu kesempatannya. “Aku bisa gunakan Counterspell.. Nggak, itu nggak akan berhasil! Maaf bro, aku nggak bisa!”
Merupakan kenyataan bahwa musuh mereka adalah pengguna sihir yang jauh lebih baik.
“Oke,” Heavy Warrior mengangguk, meneriakkan perintah seraya dia membantai gargoyle lainnya. “Tutup mulutmu!”
“Tutup mulutmu,” Goblin Slayer mengulangi. Belatinya sudah tidak berada di tangannya; dia sedang merogoh isi kantung perlengkapannya.
Dia mengeluarkan sebuah telur dan melemparnya dengan satu gerakan. Heavy Warrior menarik kain jubahnya yang ada di dekat lehernya.
Telur itu terukir oleh goresan-goresan yang indah, namun sang penyihir memukul telur itu ke bawah layaknya sebuah lalat dan menginjaknya.
“Pintar sekali, kamu----?!”
Dalam sekejap, sebuah kabut merah mengambang dari kakinya—bubuk dan serpihan cangkang. Sebuah rasa sakit melumpuhkan mulut, hidung, dan matanya. Penyihir itu tidak dapat bernapas ataupun berbicara. Atau, tentu saja, melantunkan mantra. Sang penyihir menyentuh wajah dengan tangannya dan terjatuh ke belakang dengan teriakan tak bersuara.
Bubuk itu adalah gas air mata, bubuk itu mengandung capsicum dan bahan lainnya. Seberapapun ahlinya seseorang dalam menggunakan sihir, selama seseorang itu memiliki mata,hidung, dan mulutnya, bubuk ini sulit untuk di hindari. (TL Note: capsicum = https://id.wikipedia.org/wiki/Capsicum )
“Sekarang…kamu…milikku!”
Spearman tidak membuang waktunya; dia menerjang ke depan layaknya sebuah panah yang di tembakkan dari busurnya. Para gargoyle, yang tertahan oleh Heavy Warrior, bukanlah lawan yang sepadan baginya. Spearman menerjang tepat menuju sang penyihir, menyentuh anting dengan tangannya.
“Aranea..facio…ligator! laba-laba, datang dan kekang!”
“?!”
“Jaring laba-laba” dengan mudah menangkap sang penyihir yang terluka. Roh api sang penyihir menetes—dan tepat pada saat itu, ujung sebuah tombak menusuk tepat di jantungnya.
Darah yang terciprat berwarna hitam kebiruan. Spearman dengan cepat memberikan sebuah tendangan pada sang penyihir untuk melepaskan senjatanya dan melompat kebelakang.
Tidak perlu di ucapkan kembali, seperti yang di ucapkan sang penyihir sebelumnya, sang penyihir tampaknya tidak akan kehilangan nyawanya di karenakan ini. Dengan gumpalan darah biru kehitaman yang menetes dari mulutnya, dia berusaha membuka mulutnya untuk mencoba mengucap mantra lainnya…
“Aw, diam kamu.”
 Spearman membungkus ujung tombak dengan jarring laba-laba dan menggunakannya untuk membungkam mulut penyihir. Sang penyihir, yang tampak menolak untuk menyerah, roh api miliknya membara penuh akan aura membunuh.
“Sepertinya kamu memang nggak bercanda di saat kamu bilang kalau kamu nggak bisa di bunuh.”
“Kamu tidak perlu khawatir dengan seorang penyihir yang tidak bisa bicara.” Heavy Warrior berkata. “Tapi ini memang sedikit merepotkan.” Dia bergumam seraya dia menghancurkan gargoyle terakhir dengan pedang besarnya.
Semua yang tersisisa hanyalah menghancurkan sisa-sisa kekuatan sang penyihir, yang pastinya ada di suatu tempat di menara ini.
Namun selama sang penyihir masih hidup, tentunya perangkap dan monster tidak akan menghilang.
“Hmm,” Heavy Warrior mendengus. Di sampingnya, Goblin Slayer menghunuskan belati miliknya pada sandra mereka, dengan penuh siaga. Kemudian sedikit memiringkan helmnya, seakan dia sedang teringat akan sesuatu.
“Kenapa kita nggak jatuhkan dia saja?”
“…”
“…”
Heavy Warrior dan Spearman bertukar pandang. Mereka mengangguk dan kemudian tertawa layaknya anak kecil yang nakal.
“Itu dia.”
“Ayo lakukan.”
Sang penyihir, berusaha untuk berbicara dari balik bungkaman di mulutnya, di seret hingga menuju ujung bagian menara dan kemudian punggungnya mendapati sebuah tendangan. Gravitasi tidak berbahasa, akan tetapi mendorong tubuh penyihir ke bawah, dan tidak lama lagi penyihir itu akan bernasib sama dengan petualang yang sebelumnya.
Dengan kata lain, dia mati dengan mudah.
“Aku penasaran siapa yang buat menara ini.” Spearman berkomentar. Melirik pada noda hitam kebiruan yang tersebar di lantai. Musuh seperti sang penyihir biasanya tidaklah berlokasi di atas sebuah menara ataupun di labirin bawah tanah terdalam. “Akan lebih merepotkan membunuh dia kalau dia ada di bawah tanah.”
“Mungkin dia mendapat wahyu dari para dewa atau yang lainnya,” Heavy Warrior berkata datar, mengembalik pedang pada pungunggnya. Dia masih memperhatikan area sekitarannya dengan seksama, mungkin di karenakan bahaya akan perangkap dan musuh yang masih ada belum menghilang. “Ayo, cepat cari jarahannya. Bos-nya sudah mati. Kalau kita tidak cepat, menara ini bisa saja hilang.”
“Oh yeah. Itu benar! Sebuah petualangan harus memiliki harta karun!”
Spearman mulai berlari, kecerianya memberikannya keberanian. Heavy Warrior bahkan tidak menghentikannya. Sikap dan aksi adalah hal yang berbeda. Sama halnya dengan tetap siaga dan tidak gugup.
“Aku rasa sikapnya tidak jelek juga.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk, mengambil sebuah pedang yang telah rusak menjadi karat dan menjentikkan lidahnya seraya dia membuangnya. “Ada banyak hal yang aku bisa pelajari dari dirinya.”
“Aku tidak tahu apa kamu lagi bercanda atau tidak.”
Sementara Heavy Warrior berpikir apakah dia harus tertawa atau tidak, dia dan Goblin Slayer melangkah untuk mulai mencari. Mereka mencari jarahan, kotak harta karun, efek—apapun yang semacam itu. Bagi seorang petualang, tidak ada kebahagiaan yang melebihi ini.
Tidak lama kemudian, mereka menemukan sebuah kotak penyimpanan yang terbuat dari kayu ek merah yang duduk di sebuah sudut puncak menara ini. (TL Note : Ek = https://id.wikipedia.org/wiki/Ek )
“Ini bukan kelas utamaku. Jangan terlalu berharap banyak,” Goblin Slayer memperingati mereka, kemudian berlutut di depan kotak. Dia merogoh isi kantung perlengkapannya dan mengeluarkan beberapa alat khusus. Pertama, dia mengeluarkan sebuah lapisan besi datar tipis dan mencoba menggunakannya di bawah celah tutup kotak, mencoba merasakan sesuatu. Dia memastikan tidak adanya sebuah perangkap, kemudian memegang sebuah cermin kecil di depan lubang kunci dan melihatnya.
Sekarang saatnya untuk membobol kotaknya. Goblin Slayer mulai memainkan jarinya untuk membuka kunci.
“Hei, Goblin Slayer. Coba kamu pikir ini: kamu nggak menghentikan satupun orang jahat hari ini.” Spearman menyeringai seraya dia memperhatikan punggung Goblin Slayer bekerja. “Artinya…”
“Apa?”
“Aku menang!”
“Ya,” Goblin Slayer tidak berusaha untuk melawannya, hanya mengangguk. “Kamu memang menang.”
Spearman meninjukan kepal tangannya ke udara dengan banyak teriakan bersorak “Yessss!” Heavy Warrior menatap ke langit.
“Karena dia bukanlah goblin.”
Dalam kegembirannya, Spearman tampaknya tidak mendengar gumam Goblin Slayer, namun Heavy Warrior tentunya mendengar itu.
Pada akhirnya, Kunci Berhasil terbuka dengan bunyik klik, dan Goblin Slayer menghela.
“Mungkin sedikit terlambat untuk mengatakan ini, tapi kemungkinan aka nada sedikit keributan ketika kita kembali nanti.”
“Huh? …Oh, gadis elf-mu itu?” Heavy Warrior mengingat akan gadis elf tomboy ceria yang ada di dalam party Goblin Slayer.
Aku rasa kita memang agak melupakan tentang dia.
“Aku rasa aku yang akan lebih bermasalah,” Spearman berkata. “Tapi jangan khawatir. Ini sudah tradisi untuk sedikit bersenang-senang selagi kamu membagi barang jarahan dan meminum beberapa anggur.”
“…Seingatku, kita bilang kalau hadiahnya akan di bagi tiga.”
“Ya,” Goblin Slayer berkata, “Benar.” Kemudian menambahkan dengan suara datar, “Harta karun, huh? Nggak jelek.”
Heavy Warrior meletakkan tangan bersahabatnya pada pundak Goblin Slayer. Goblin Slayer menerimanya tanpa berkata-kata. Tutup kotak berdecit seraya dia membukanya.