AKAN SUATU HARI KETIKA DIA TIDAK BERADA DI SANA
(Translater : Zerard)

“Mrm..ooh...hha...”
Tepat setelah subuh, angin sejuk menggelitik kulitnya; dia melempar dan melipat selimutnya.
Biasanya dia akan mendengar langkah kaki itu sekarang—namun hari ini tidak ada tanda akan langkah kaki itu.
“...Oooh...?”
Dia bukanlah tipe gadis yang akan kesulitan bangun dari tidurnya, namun tanpa adanya bantuan suara yang telah di kenalnya, dia merasa sulit untuk membuka matanya.
Ketika dia berhasil turun dari ranjang jeraminya, dia menggosok kelopak matanya yang masih terkantuk dan menguap besar.
Tengah hari masihlah hangat, namun malam dan pagi sangatlah dingin.
Dengan banyak gerakan dan goncangan, dia memasang pakaian dalamnya menutupi keseluruhan tubuhnya yang montok, seperti biasanya.
“M-mm...agak sedikit...ketat, kayaknya?”
Apakah berat badannya naik? Atau dia sedikit tumbuh lebih tinggi? Apapun itu, dia tidak menyukainya. Sangatlah tidak adil bagi pamannya yang terus membelikannya baju dan pakaian dalam terus menerus.
Tapi, menggunakan barang yang nggak muat juga nggak bagus.
Mungkin dia perlu melakukan sedikit perombakkan pada pakaiannya.
Dengan pikiran itu, dia membuka jendela, dan angin pagi sejuk berhembus masuk ke dalam ruangannya.
Tersenyum menikmati, dia mencondongkan tubuhnya keluar jendela, menopangkan dada ranumnya pada rangka jendela.
Adalah pemandangan yang dia ketahui dan dia sukai.
Lahan kebun yang terbentang. lenguhan sapi-sapi di kejauhan. petok ayam-ayam. Asap yang mengepul dari kota di kejauhan. Dunia itu sendiri.
“...Oh, benar juga,” Gadis Sapi bergumam melamun, seraya bermandikan cahaya emas matahari. “Dia nggak ada di sini hari ini.”
*****
“Bagaimana kalau kamu pergi ke kota?”
“Apa?”
Gadis Sapi hanya memutar kepalanya untuk melihat pamannya. Sarapan telah selesai, dan dia sedang menumpuk piring-piring di dalam tempat pencucian piring.
Tidak telalu banyak piring yang di cuci ketika dia tidak berada di sana. Itu membuat semuanya menjadi lebih mudah, dan itu bagus, Dalam artian tertentu.
“Aku bilang, bagaimana kalau kamu pergi ke kota.”
Dia melihat pamannya kembali, ekpresi pamannya sangatlah sederhana dan blak-blakan, dan pamannya menatap muram kepadanya.
“Hm?” dia berkata penuh tanya, melirik kembali kepada pamannya seraya dia mengambil piring dan mengeringkannya. “Nggak masalah sih bagiku. Tapi nggak banyak yang bisa aku lakukan di sana.”
“Ah, masa begitu.” Pamannya selalu serius. Dia melanjutkan tanpa jeda, “Temanmu ada di sana, kan?”
“Teman, ya....”
Gadis Sapi tersenyum samar. Dia mengambil pasir dari ember yang ada di sampingnya dan menggosoknya pada permukaan piring, srek-srek.
“Aku rasa paman bisa bilang orang itu teman, kalau paman mau. Tapi aku rasa gadis itu lebih seperti rekan yang memiliki tujuan yang sama, mungkin.”
“Kamu harus pergi keluar dan bersenang-senang sesekali.”
“Hmmm...”
Gadis Sapi mengeluarkan suara antara setuju dan tidak setuju.
Memeriksa apakah pasir itu telah menghilangkan noda dari piring, dia membilasnya lagi dengan air.
Akhirnya dia mengelap piring secara perlahan untuk mengeringkannya dan mengembalikannya pada rak piring.
“Tapi ada ternak yang harus di rawat, panen, dinding batu dan pagar yang harus di periksa, pesanan untuk di antar, dan kita harus bersiap untuk hari besok....”
Dia menghitung seluruh tugasnya dengan jari—benar-benar banyak yang harus di kerjakan. Begitu banyak yang harus di selesaikan. Bermacam hal yang harus di lakukan hari ini. Bermacam hal yang harus rampungkan hari ini. Semua yang harus selesaikan dan tidak boleh di abaikan.
Benar, Gadis Sapi mengangguk, menyebabkan dadanya berayun. ”Aku nggak punya waktu untuk bermain-main. Mempunyai pekerjaan itu hal yang bagus!”
“Aku bilang kamu harus pergi bersenang-senang.” Suara pamannya tidak menunjukkan keinginannya untuk berargumen.
Gadis Sapi melihatnya, terkejut akan nada tajam pamannya.
Pamannya tidak akan merubah pikirannya. Ketika pamannya menjadi seperti ini, opininya tidak akan goyah layaknya sebuah gunung. Pamannya telah membesarkan dirinya selama sepuluh tahun, dan Gadis Sapi mengerti ini tanpa harus berkata apapun.
“Huh? Tapi... Um...”
“Kamu masih belia. Berapa umurmu? Aku mau dengar kamu mengucapkannya.”
“Um, Aku...delapan belas...” Dia mengangguk perlahan. “Hampir sembilan belas.”
“Kalau begitu, ini bukan kewajibanmu untuk bekerja dari subuh sampai sore setiap hari.”
Gadis Sapi memutar otaknya untuk mencari jawaban.
...Huh? Kenapa aku begitu nggak ingin pergi keluar?
Pikiran itu terlintas di benaknya dan menghilang. Ini bukanlah waktunya.
“Ta-tapi, bagaimana dengan uangnya...”
“Untungnya, kita bukan budak. Kehidupan kita lumayan berkecukupan.”
“Yah, benar, tapi...”
Sudah tidak ada gunanya. Perlawanan kecilnya mulai mengendor, Gadis Sapi mulai kehabisan kata-kata.
Yah, jadi sekarang bagaimana? Piring-pring telah bersih, dan dia tidak mempunyai alasan lagi untuk di utarakan.
Dia mondar-mandir di sekitar dapur beberapa saat sebelum akhirnya duduk pada kursi di seberang pamannya.
“Kamu nggak perlu khawatir tentang aku.” Dia selalu baik seperti biasanya, layaknya sedang berbicara dengan anak kecil.
Gadis Sapi mengerutkan bibirnya—pamannya tidak perlu berbicara seperti itu dengannya—tapi dia tidak mengatakan apapun. Mungkin sikapnya ini pun dapat di bilang kenak-kanakkan. Jika seperti itu...
“Pergilah dan bersenang-senang.” Seraya paman melihatnya, wajah muramnya tiba-tiba melembut dan menjadi santai. “Gadis muda sepertimu pastinya ada hal-hal kewanitaan lainnya yang kamu mau lakukan di bandingkan bekerja di kebun setiap harinya, kan?”
“Apa iya...”
Gadis Sapi tidak mengetahuinya.
Hal-hal kewanitaan?
Apa saja itu? Mencoba pakaian-pakaian? Memakan manisan? Semua idenya tampak sangalah rancu dan tidak jelas.
Di bandingkan dengan ini, cuaca esok tampak lebih pasti...
“...Baiklah,” dia berkata setelah beberapa saat, masih tidak yakin apakah dia mengerti semua itu atau tidak. “Aku pergi sebentar kalau begitu.”
“Ya.”
“...Baik.”
Melihat ekspresi lega pamannya, yang dapat dia lakukan hanyalah mengangguk.
*****
Gadis Sapi tidak membawa gerobak, dan dia tidak ada di sana—hanyalah dia seorang diri.
Gadis Sapi merasakan langkahnya tidak stabil walaupun dia hanya pergi menuju kota melewati jalan yang sudah di kenalnya.
Bagaimana biasanya dia berjalan di jalan ini? Dia pun menjadi sangat bingung.
Dan kemudian, merajut langkahnya di antara para petualang dan pedagang seraya mereka datang dan pergi, dia melewati gerbang besar dan masuk ke kota.
Gadis Sapi tersenyum tipis seraya kakinya telah menuntunnya menuju Guild Petualang, yang biasanya merupakan tempat pertama yang selalu dia kunjugi. Kesadarannya telah mengambil alih alam bawah sadarnya, dia terus berjalan lurus, menuju plaza.
Terdapat keriuhan suara pedagang di udara, anak kecil bermain, ibu memanggil, petualang saling bercakap-cakap. Menenggelamkan dirinya dalam lautan suara, Gadis Sapi duduk melamun pada sebuah trotoar. Dia melihat seorang bocah dan gadis, mungkin berumur sepuluh tahun, berlari-lari. Dia memperhatikan mereka dengan matanya dan menghela.
Sekarang kalau di pikir-pikir... “Apa aku punya teman...?”
Sudah tidak ada lagi orang yang di kenalnya sejak dia masih kecil. Dia telah berpindah tempat sepuluh tahun lalu, dan selama lima dari sepuluh tahun itu dia begitu terserap dengan apa yang ada di depannya.
Sudah agak terlambat untuk mengingatnya sekarang.
Pada waktu itu, dia sangatlah beruntung pria itu menoleh kepadanya ketika dia memanggilnya.
Masih terdapat tanduk pada helmnya kala itu, dan rambut Gadis Sapi masihlah panjang.
Selama lima tahun setelah itu, pikiran Gadis Sapi penuh akan pria itu. Mereka telah bersama dan tidak dapat bersenang-senang.
“Oh, tapi...”
Dia menggeleng kepalanya, berpikir tentang resepsionis dan pelayan yang dia lihat hampir setiap hari. Mereka mungkin terhitung sebagai teman—namun hanya mereka berdua saja. Yah, dua teman mungkin sudah cukup.
“...Aku nggak punya apa-apa.”
Banyak hal baik yang telah terjadi padanya. Dia tersenyum kecil dan melanjutkan memperhatikan khalayak yang datang dan pergi melewati plaza.
Berbagai macam ekspresi terhias pada wajah mereka. Beberapa terlihat senang, beberapa terlihat sedih, beberapa terlihat kesepian, beberapa bahagia. Namun mereka semua berjalan tanpa rasa ragu, dengan berbagai macam tujuan pada pikiran mereka. Bekerja, atau makan, atau ke tempat untuk pulang, atau ke tempat untuk bersenang-senang, atau, atau...
Tidak seperti Gadis Sapi.
Gadis Sapi duduk pada trotoar, mendekatkan lutut pada dadanya.
Ini masalah serius.
Pada akhirnya, aku nggak punya satupun koneksi selain kebun...
“— Ada apa?”
Dia berpikir bahwa dia mengenal suara di atasnya itu.
Dia mendongak dan melihat seorang gadis berambut emas melihat dirinya dengan sedikit rasa bingung. Dia memiliki figur langsing, elegan, dan memakai gaun berserat sederhana dan biasa.
Gadis Sapi berkedip, berusaha mengingat siapa gadis ini, dan kemudian menepuk tangannya.
“He-hei, kamu priestess itu...”
“Oh, iya. Dan kamu yang dari kebun itu, kan?”
“Iya, benar.” Gadis Sapi mengangguk dan berdiri, membersihkan debu pada bokong bulatnya. “Kenapa kamu pakai baju itu?”
Berbeda dengan pakaian biasanya, Priestess menggunakan pakaian biasa; bahkan, bisa di bilang bahwa pakaiannya mirip dengan seorang gadis pada pedesaan petani.
“Aku nggak ikut hari ini, jadi aku pikir...mungkin aku perlu jalan-jalan.” Dia menggaruk pipinya canggung malu dengan jari kurus miliknya. “Tapi aku nggak tahu harus ngapain.”
“Iya, aku juga. Aku paham bener apa yang kamu rasakan. Biasanya aku cuma melakukan apapun yang harus di lakukan di kebun.”
Gadis Sapi sadar bahwa sensasi kesendiriannya mungkin sedikit bertepuk sebelah tangan, namun Gadis Sapi masih menghela napasnya lega. Lagipula, Gadis Sapi selalu bersikap supel, dia tidak merasa gugup. Dan juga, gadis ini merupakan salah satu dari party teman lamanya.
Adalah salah jika tidak ada bayang-bayang keraguan di dalam hatinya—namun Gadis Sapi berniat untuk tetap bersikap supel.
“Kamu bilang kamu nggak ikut hari ini? Kenapa?”
“Oh, ummm, itu...” Tiba-tiba, Priestess tidak dapat menyelesaikan kalimatnya; matanya melirik kesana dan kesini. Pipinya tersipu merah—apakah suhu tubuhnya naik?—dan matanya menatap lantai.
Hm? Gadis Sapi berpikir penuh curiga, namun sebuah penjelasanpun tiba dengan segera.
“Hari ini...datang bulan...”
“Oh.” Gadis Sapi tersenyum dan mengangguk. Adalah sesuatu yang harus di hadapi setiap wanita setiap bulannya.
Pastilah sukar bagi seorang gadis pemalu ini untuk mengutarakan informasi itu dari bibirnya.
“Apa yang biasanya kamu lakukan, saat kamu lagi nggak berpetualang?”

“Aku berdoa.”
Gadis Sapi mengetahui bahwa sangatlah ceroboh untuk mengubah topik, namun jawaban gadis itu sangat singkat dan jujur. Sikap gadis itu kurang lebih cocok dengan apa yang Gadis Sapi pikirkan setelah melihat gadis itu dari jauh beberapa kali.
“Yang benar!” Gadis Sapi berkata kagum, dan Priestess meletakkan jari putih pada bibirnya dan berpikir sejenak.
“Aku juga membaca beberapa kitab, dan buku manual monster, dan berlatih...”
“Astaga, kamu ini tipe serius, ya?”
“Masih banyak yang perlu aku pelajari.”
Mungkin Priestess tidak terbiasa di puji, karena ekspresi terkejut Gadis Sapi membuat Priestess tersipu malu.
Hmm...
Gadis Sapi memutuskan untuk tidak mengatakan pada pria itu bahwa dia telah memuji Priestess.
Walaupun tampilannya yang seperti itu, pria itu memiliki caranya sendiri untuk peduli pada orang lain, jadi mungkin Gadis Sapi sedikit melampaui wewenangnya, namun...
“...Hei.”
“Ya?”
“Bagaimana kalau kita jalan berdua?” Gadis Sapi tersenyum. “Karena mumpung kita sudah bertemu.”
“....Kamu benar.” Priestess tersenyum kembali, layaknya bunga kecil yang menjadi mekar. “Iya, ayo keluyuran sedikit.”
*****
“Ngomong-ngomong, sebenarnya masih lama sih, tapi kalau musim panas sudah berakhir, festival panen akan datang, kan?”
“Oh, iya. Kuil sudah mulai melakukan persiapan untuk tarian persembahan.”
“Aku penasaran kira-kira siapa penarinya nanti. Kamu mau jadi kandidatnya?”
“nggak. Itu membutuhkan tanggung jawab yang besar. Aku belum siap.”
“Begitu? Mungkin kebun kami perlu membuka kedai... Kami mungkin bisa mencoba sesuatu selain makanan saja.”
“Akhir-akhir ini cuaca mulai panas, tapi musim gugur akan segera datang sebelum kamu menyadarinya, kan?”
Seraya mereka berdua berjalan berdampingan, tanpa adanya tujuan yang jelas, mereka bercakap-cakap.
Kota perbatasan adalah salah satu pemukiman pedalaman terjauh. Tentunya, kota ini memiliki banyak pengunjung, dan banyak orang-orang yang berjalan-jalan. Tapi tentu saja, tidak sebanyak dengan kota air ataupun Ibukota, oleh karena itu seraya mereka berjalan mereka melihat wajah-wajah yang mereka kenal.
“Oh, senang bertemu denganmu!”
“Halo!”
Gadis Sapi menunduk dan Priestess mengangguk memberi hormat seraya mereka melewati seorang petualang yang mereka kenal. Lingkaran orang yang di kenal Gadis Sapi tentunya semakin membesar sejak di kala serangan goblin lord di kebun.
Perasaan yang aneh sekali.
Gadis Sapi tertawa kecil, mengundang tatapan heran dari Priestess.
“Nggak apa-apa, nggak apa-apa.” Gadis Sapi berkata, melambaikan tangannya, namun senyumnya tidak sirna dari parasnya.
Apapun yang pria itu katakan, sangat jelas bahwa dia terhubung dengan begitu banyak orang.
Nggak seperti aku, ya?
“...Hei, dia seperti apa? Maksudku, biasanya.”
“Dia seperti apa? Maksudmu bagaimana?”
“Aku cuma berpikir apa dia, kamu tahu, menyusahkan atau yang lainnya...”
Gadis Sapi mengikat tangannya di belakang dan berputar, namun Priestess melambaikan tangannya dan berkata, “Oh, nggak kok! Dia selalu menolongku dan lain-lain. Aku merasa justru aku yang menyusahkannya...”
Tampaknya tidak ada tanda kebohongan pada ucapan Priestess ataupun ekspresinya.
Gadis Sapi menghela napas lega. Lega di karenakan pria itu tidak membuat masalah? Atau karena pria itu tidak di benci? Dia tidak mengetahui jawaban yang benar.
“Tapi...” Priestess memelankan suaranya dan berkedip nakal sebelah mata. “...Mungkin dia memang sedikit menyusahkan.”
“Oh yeah?”
Mereka berdua saling bertukar pandang dan tertawa kecil.
Merupakan hal yang aneh, bahwa pria itu merupakan topik yang mereka bicarakan, namun pada saat yang sama, pria itu juga sangat mudah untuk di bicarakan. Akan bagaimana dia begitu aneh dan serius dan dangkal dan kamu tidak bisa membiarkannya sendiri begitu saja. Membuatnya menjadi bahan percakapan yang cukup banyak bagi mereka.
“Tapi benar aku sudah berhutang banyak padanya.”
Priestess menggambarkan sisi lain Goblin Slayer yang belum pernah di lihat Gadis Sapi.
Akan bagaimana ketika mereka bertemu pertama kalinya, Priestess mengira bahwa pria itu adalah semacam monster. Akan bagaimana, tampaknya, dia mencoba untuk lebih bersikap layaknya petualang tingkat Silver. Akan bagaimana dia begitu cepat menyendiri ketika partynya berkumpul untuk minum bersama. Akan bagaimana dia selalu bersedia melakukan tugas berjaga walaupun dengan banyaknya pembaca mantra pada partynya.
Itu benar-benar seperti dirinya. Gadis Sapi membayangkan semua barang yang pria itu simpan di gudangnya. Baju besi adalah salah satu perlengkapan favoritnya. Gadis Sapi mengingat pria itu menggosoknya secara hati-hati dengan minyak. Pria itu bahkan pernah menunjukkan pada Gadis Sapi cara untuk membuat perbaikan darurat pada bagian yang rusak dengan menggunakan kawat.
“Tapi—“ Dia tiba-tiba mengingat sebuah pertanyaan yang selalu terpikir olehnya sejak lama.” Bukannya barang-barang seperti itu berat?”
“Kalau kamu mengikatkan ikat pinggang di sekitar pinggul atau perut, bebannya akan menyebar rata di keseluruhan tubuhmu, jadi nggak begitu berat.” Kemudian dia menambahkan, “Tapi pundakmu akan menjadi kaku.”
Gadis Sapi mengangguk. Itu masuk akal. “Sulit juga menjadi petualang, ya...”
“Aku cuma menggunakan baju besi, tapi aku rasa banyak pengguna sihir nggak suka untuk memakainya.“ Para dwarf sebagi contohnya , terlihat menghiraukannya sama sekali.
Gadis Sapi mengangguk mendengar ucapan Priestess. Terdapat sebuah ungkapan lama bahwa metal mengganggu penggunaan sihir—namun dia tidak mengetahui seberapa benarnya itu. Dia setengah percaya bahwa itu hanyalah sebuah takhyul, namun terkadang terdapat orang yang menginginkan sepatu kuda untuk menghalau sihir.
Sihir, ilmu gelap, dan keajaiban adalah hal-hal yang tidak di ketahui Gadis Sapi.
Yang lebih menarik perhatiannya adalah...
“Baju besi, ya?”
“Maaf?”
“...Hei, Guild menjual baju besi, armor, dan helm dan semacamnya, kan?”
“Apa? Oh, iya.” Priestess berkata, mengangguk cepat. “Aku membeli baju besiku di sana.”
“Kalau begitu...” Gadis Sapi menyeringai layaknya seorang anak kecil yang menyelinap kabur dari orang tuanya untuk pergi bermain, “Bagaimana kalau kita lihat-lihat?”
*****
“Y-yikes...”
Dan di sana, tepat di depan mata Gadis Sapi, terdapat pakaian dalam.
Atau lebih tepatnya, sebuah armor yang bisa di bilang pakaian dalam.
Sebuah set yang hanya terdapat pelindung dada dan sedikit penutup untuk bagian bawah tubuh. Secara katagori, armor ini masuk dalam katagori light armor.
Dalam segi pergerakan, armor ingin mengalahkan telak satu set penuh metal armor.
Armor ini sendiri terukir dengan sangat indah, anggun, dan kokoh. Dalam persepektif itu, armor ini sangat cantik.
Permasalahannya adalah, armor ini tidak sepenuhnya menutupi bagian tubuh.
Hanyalah armor dada—benar-benar, armor buah dada—dan celana dalam.
Benar, terdapat pelindung pundak, namun itu bukanlah permasalahannya.
“Huh? A-apa kamu menggabungkannya armor ini dengan armor lain?”
“Nggak, itu sudah keseluruhannya.” Sang murid magang yang sedang mengasah sebuah pedang pada roda batu asah di belakang meja, melirik mereka. Dia sudah beberapa kali melirik mereka, mungkin gelisah dengan para gadis yang memegang barang dagangannya.
“Apa.... Apa ada yang pernah beli ini?” Priestess bertanya tidak mempercayai, tidaklah jelas apakah dia menyadari pipinya yang mulai menjadi merah.
“Yah, nggak sulit untuk melakukan pergerakan dengan armor itu. Dan juga armor itu memberikan perlindungan menengah... Paling nggak, itu titik jualnya.” Kemudian bocah itu bergumam sesuatu yang terdengar seperti sebuah alasan—“Aku nggak yakin apa aku seharusnya mengatakan ini, tapi”—dan menambahkan, “Beberapa orang, kamu tahu. Mereka ingin, uhh, menarik perhatian lelaki...”
“Menarik perhatian? Yang, kamu pasti bakal dapat perhatian dengan ini.” Gadis Sapi mengambil armor bikini, tersipu dan bergumam, “Yikes.”
Dia memeriksanya dari depan, memutarnya dan mengamatinya dari belakang, jarinya menyusuri lika-liku sudut pinggul, meletakkannya dan mengamatinya kembali.
“Apa ini nggak terlalu terbuka?”
“...Cukup banyak yang memesannya pada kami jadi nggak ada salahnya untuk di pajang di sini.” Sang murid bergumam, secara sembunyi-sembunyi mengalihkan pandangannya.
“Hmm,” Gadis Sapi menghela. “Aku rasa kamu perlu mempunyai keberanian untuk memakai sesuatu yang berbahaya seperti ini. Ini sama saja dengan pakaian renang.”
“Benar...” Priestess mengangguk dengan ekspresi ambigu. Dia pergi mempelajari barang-barang yang berada di rak dengan penuh rasa penasaran. Sebagai seseorang yang bertugas pada garis belakang, mungkin dia tidak banyak melihat berbagai macam senjata dan armor. Gadis Sapi pun sama penasarannya dengan Priestess.
“Oh, ini...” Tiba-tiba, Priestess berhenti pada sebuah pajangan armor. Dia mengambil sesuatu dengan senyuman. Sebuah helm.
“Hei, aku tahu helm itu.”
Adalah jawaban yang sewajarnya dari Gadis Sapi, yang ikut tersenyum. Priestess telah mengangkat sebuah helm baja yang berkilau, namun terlihat murahan. Terkecuali sebuah tanduk yang mencuat keluar dari setiap sisinya, dan benar-benar baru, mirip sekali dengan pria itu.
Gadis Sapi mengintip ke dalam helm melalui celahnya, kemudian menepuk tangannya.
“Hei, bagaimana kalau kita coba pakai?”
“Huh? Apa boleh?” Priestess memiringkan kepalanya bingung pada ide yang tidak di duga itu.
“Tulisannya kamu boleh mencoba.”
“Ummm, oke kalau begitu...”
Memegang helm dengan sedikit rasa enggan, Priestess mengeluarkan sebuah balaclava katun dengan “Untuk di coba” yang tertulis di katun itu. Dia menariknya, memperhatikan rambut panjangnya dengan seksama, kemudian memasukkan kepalanya. (TL Note : Balaclava https://en.wikipedia.org/wiki/Balaclava_(clothing) )
“Yi-yikes...”
Tubuh gemulainya terhuyung pada satu arah; helm itu pastinya lebih berat dari yang terlihat. Gadis Sapi dengan panik berusaha membantunya. Tubuh gemulai gadis itu sangatlah ringan.
“Whoa, kamu nggak apa-apa?”
“Oh, aku nggak apa-apa. Cuma hilang keseimbangan...”
Mata Priestess masih dapat di lihat di dalam helm, masih terlihat tidak berdosa walaupun dengan helm itu. Dari pipinya yang sedikit memerah, dia tampak sedikit malu.
“Heh-heh...Aku...Aku rasa memang agak berat. Dan helmnya bikin agak sulit bernapas...”
“Karena itu satu helm penuh. Wajar saja—penutup helmnya juga cukup ketat.”
Pada perkataan murid magang, Priestess berusaha melepas ikatannya, dan penutup helmpun terlepas.
“Phew!”
Gadis Sapi tertawa kecil melihat hela napas lega itu, dan wajah Priestess semakin memerah.
“I-ini bukan bahan tertawaan...!”
“Ahh-ha-ha-ha-ha! Maaf, maaf. Oke aku selanjutnya.”
Priestess melepaskan helm dan kemudian balaclava. Ketika Gadis Sapi mengambilnya dan hendak memasang helmnya, dia mendapati sebuah aroma keringat manis yang samar.
Hm?
Ini—bukan parfum, tapi aroma natural gadis itu? Iri! Dengan pikiran itu, dia memasang helmnya.
“Yi-yipes...ketat banget di dalam.”
“Iya, kan?”
Melalui celah kisi-kisi helm, dunia sangat gelap dan sempit. Dia menarik dan menghela napasnya, penglihatannya goyah di kala dia melakukannya.
Apa seperti ini dunia yang dia lihat?
Seperti apakah dia, dan priestess, dan rekan lainnya terlihat bagi pria itu? Bagaimana tampak wajah mereka?
“Kurang lebih aku bisa membayangkannya, tapi...”
“Apa itu?”
“Mm. Agak nggak adil dia bisa melihat wajah kita, tapi kita nggak bisa lihat wajahnya.”
“Ahh,” Priestess berkata menyetujui, tertawa kecil. “Itu benar.”
“Walau aku yakin dia nggak bermaksud menyembunyikan dirinya... Hup!”
Gadis Sapi mengangguk seraya bocah magang berkata, “Letakkan kembali di mana kamu mengambilnya, oke?” dia mengembalikan helm dan balaclava pada rak.
Dia menghela napasnya, dadanya berayun seraya dia meregangkan lehernya ke kiri dan kanan. Dia tidak pernah menganggap tubuhnya lemah, namun sebuah armor tentunya pasti akan membuat pundakmu kaku.
Hmmm... “Hei...”
“Ya?”
“Mumpung kita di sini...” Gadis Sapi tersenyum layaknya anak kecil yang mempunyai pikiran jahil. “Gimana kalau kita coba pakai armor itu?”
Priestess melihat arah di mana Gadis Sapi menunjuk dan kemudian menundukkan kepalanya yang merah padam.
*****
“Aw, sial! Negaraku hancur!”
“Sayang sekali... yah, tapi ini nggak begitu lucu.”
“Naga itu terlalu kuat! Aku nggak punya perlengkapan atau kemampuan untuk menghadapinya.”
“Tapi kamu pasti menemukan jalannya. Bukannya itu yang menjadikanmu tingkat-Platinum?”
Setelah selesai melihat-lihat barang di bengkel, mereka berdua pergi menuju rumah makan dan melihat pemandangan aneh.
Tengah hari telah lewat namun senja belum menjemput, dan tidak banyak pelanggan pada rumah makan Guild saat ini. Karena itu, mereka tampak sedang melakukan persiapan. Kursi di dekatkan dengan meja, dan para pelayan membersihkan setiap sudut lantai.
Inspektur, Gadis Guild, dan High Elf Archer duduk pada sebuah meja dengan kartu yang tersebar di depan mereka. Sebuah kumpulan orang yang aneh, namun mereka adalah teman.
“Apa yang kalian semua lakukan...?” Priestess bertanya ragu, berkedip seraya melihat pada permukaan meja.
Dia tampak masih sedikit bersemangat dan belum dapat menenangkan dirinya; dia merapikan pakaiannya yang sedikit kumal.
“Oh, ini permainan papan.” Gadis Guild menjawab, melihat Priestess dari pundaknya, dia tidak menggunakan seragamnya, melainkan pakaian pribadi. Dia tampak rapi dan modis. (TL Note = di sini saya menggunnakan “permainan papan” untuk menggantikan “Tabletop game” yang di pakai di versi inggrisnya. Tabletop game sendiri itu ada berbagai macam jenis, tapi yang paling di kenal di indonesia adalah monopoli dan ular tangga yang kebanyakan dari kalian pasti pernah memainkannya waktu kecil. Atau kalau kalian mau yang lebih tahu secara spesifik game apa yang mereka mainkan di sini, silahkan ke link ini https://id.m.wikipedia.org/wiki/Dungeons_%26_Dragons )
Berpikir pada dirinya sendiri, dia terlihat menarik, Gadis Sapi mengalihkan pandangannya pada meja. Memang benar, terdapat permainan papan dengan beberapa kartu dan dadu.
“Aku menemukannya ketika aku sedang menyusun berkas lama kemarin, jadi sekalian kita coba memainkannya...”
“Tapi naga itu! Kuat banget!” High Elf Archer mengeluh, dada kecilnya menempel pada meja.
“Kalau nggak kuat, bukan naga namanya. Aku mengerti apa maksudmu, tapi santai saja,” Inspektur—yang juga mengenakan pakaian pribadi—berkata dengan sebuah senyuman, tampaknya, sebuah bidak naga berwarna merah yang duduk di tengah-tengah meja adalah naga yang di maksud. Dan semua bidak yang terbaring di sekitarnya adalah semua petualang yang berusaha menantang naga itu.
“Jadi gimana perasaanmu?” High Elf Archer bertanya, menolehkan kepalanya kepada Priestess.
“Oh, aku baik-baik saja.” Priestess mengangguk malu. “Sudah hampir selesai.”
“Bagus,” High Elf Archer berkata, memanggil Priestess untuk mendekat. “Kalau begitu, bantu aku di sini, aku nggak punya petualang yang cukup.”
“Ada...petualang...di permainan papan ini?” Gadis Sapi memiringkan kepalanya bingung, hampir masuk akal, namun dia tidak dapat membayangkannya.
“Sederhananya,” Gadis Guild berkata, “Kamu berpura-pura menjadi petualang. Tapi terdapat banyak peraturan dan hal lainnya juga.”
“Berpura-pura menjadi petualang?” Gadis Sapi bergumam, merenungkan ide itu. “Jadi seperti, membasmi goblin atau semacamnya?”
“Benar, beberapa hal dasar seperti itu ada, di mana kamu bertingkah layaknya petualang sungguhan berkelana di dalam gua.” Gadis Guild menunjuk pada salah satu bidak, kemungkinan itu adalah bidak light warrior yang terlihat kumal atau seorang thief, dan tersenyum. Sejauh Gadis Sapi memahaminya, bidak itu tidak menggunakan sebuah helm. Gadis Sapi sedikit kecewa.
“Ini berasal dari perspektif yang lebih tinggi, di mana pertanyaannya adalah bagaimana cara kamu melindungi dunia dari mara bahaya.”
“Kamu harus mengoleksi senjata legendaris dan armor dan memastikan kemampuanmu sudah cukup tinggi sebelum naga bangun,” High Elf Archer menggerutu, mengangkat kepalanya secara mendadak dan membiarkan telingannya terjatuh lemas. “Tapi jumlah dan waktu kita nggak cukup.”
“Aku nggak tahu ada permainan seperti ini,” Gadis Sapi berkata, penuh rasa tertarik dan mengambil sebuah bidak yang tampak seperti seorang knight yang menggunakan armor dan helm.
Dia terlihat lebih sedikit lusuh, atau paling tidak, perlengkapannya terlihat lebih murahan—namun walaupun begitu, betapa tangguhnya knight ini. Tidak jelek.
“Ini benar-benar baru buatku...”
Dalam pikirannya, “Permainan” kebanyakan melibatkan poin yang kamu hasilkan dengan kombinasi beberapa kartu. Permainnan serupa juga dapat termasuk mendengarkan lagu, bermain dadu, dan mungkin sebuah kompetisi jika ada festival yang sedang berlangsung.
Gadis Guild tertawa kecil, memperhatikan Gadis Sapi yang menatap pada bidak dan papan.
“Mau coba?”
“Huh, apa boleh?”
“Tentu saja.” Gadis Guild berkata, melirik matanya dan mengangguk kepada wajah Gadis Sapi yang menjadi ceria. “Bukan hal yang mudah untuk cuma sekedar menunggu di sana tanpa melakukan apapun, kan?”
“Hrm.” Gadis Sapi mengeluarkan suara kecil. Tidak ada yang bisa mengalahkan wanita ini. Aku rasa dia adalah apa yang mereka sebut wanita dewasa.
Apakah Gadis Guild menyadari apa yang sedang di pikirkan Gadis Sapi atau tidak, Senyum Gadis Guild tidak pernah pudar.
“Ayolah, kita senang untuk bisa berpetualang lagi. Jangan malu-malu!”
“Uh, oke, aku ikut kalau begitu... Bagaimana kalau kamu ikut juga denganku, mumpung kamu di sini.”
“Oh, oke!”
Gadis Sapi menarik lengan baju Priestess, dan menariknya menuju kursinya. Sekarang terdapat lima orang wanita membentuk sebuah lingkar pada sebuah meja bundar. Tidak di ragukan jika banyak petualang yang mengetahui ini, mereka akan segera pergi menuju rumah makan.
“Jadi tolong mulai dengan memilih bidakmu,” Gadis Guild berkata, suara dan senyumnya jauh lebih lembut di banding saat dia sedang bekerja.
“Hmmm...” Gadis Sapi meletakkan tangan di depan dadanya, memperhatikan dengan seksama pada banyak petualang yang berjejer di papan.
Yeah... Aku rasa aku mau yang ini.
Walaupun dia tidak yakin, dia mengambil seorang knight yang dia pegang sebelumnya. Helm bajanya membuatnya mustahil untuk dapat melihat wajahnya, namun knight itu memiliki perisai dan pedang yang di angkat dan menatap ke depan.
“Untukku...Aku rasa yang ini.”
“Oh, um, aku ambil...” Priestess meletakkan jari pucatnya ke bibir dan berpikir, tidak bisa memilih seraya dia melihat jejeran bidak. Kemudian dengan sebuah “ah!” dia melihat sekitar dan memilih sesosok figur.
“Ya-yang ini!”
Karakter yang dia pilih adalah seorang elf pembaca mantra, tubuh montoknya terselimuti oleh jubah.
“Pilihan bagus,” Higj Elf Archer berkata dengan tertawa, dan Priestess sedikit menggeliat.
“Oke, untukku...” High Elf Archer mengepakkan telinganya dengan ekspresi layaknya seorang pemburu yang mengincar mangsa. “Oke! Kali ini aku ambil ini! Seorang dwarf warrior!”
“Astaga, kamu yakin?” Gadis Guild bertanya, namun High Elf Archer membalas, “Yakin dong!” dan membusungkan dadanya kecilnya. “Aku akan tunjukkan pada dwarf itu kalau aku...lebih hebat menjadi dwarf...di banding dirinya!”
“Aku tetap menjadi scout , kalau begitu.”
“Heh-heh-heh! Itu artinya kalian nggak punya monk. Yah, aku saja kalau begitu.”
Gadis Guild, dengan senyuman meletakkan sbuah light warrior dengan perlengkapan yang terlihat kumal pada papan, sementara Inspektur mengambil sebuah pria tua yang memegang simbol suci.
Dengan itu petualang mereka telah berkumpul. Knight dengan armor dan helm, elf sorceress, dwarf warrior, light scout, dan veteran monk. Party ini yang berangkat pergi untuk mengalahlan naga raksasa dan menyelamatkan dunia. Gadis Guild secara singkat menjelaskan peraturannya kepada Gadis Sapi, yang kemudian mengambil dadu ke tangannya.
Ini dia.
“Petualangku adalah pahlawan yang akan melindungi desa, menyelamatkan permaisuri dan mengalahkan naga!”
Dengan proklamasi tegas, Gadis Sapi melemparkan dadu pertamanya di atas papan.
*****
“Ahh, kita kalah.”
Kota dan langit diwarnai dengan swastika matahari. Gadis Sapi berkata, melihat bintang-bintang berkelip di kejauhan. Seraya dia berjalan, tangan terikat di belakangnya, Priestess mengikuti di sampingnya layaknya seekor burung kecil.
“Kita nggak berhasil dapat pedang pembasmi naganya, ya?”
Pedang kita nggak bisa menembus sisiknya.”
Pada akhirnya, mereka di sibukkan dengan pembasmian goblin. Naga itu telah menghancurkan para gadis, dan mereka tidak dapat menyelamatkan dunia, namun...
“Tapi asik banget, ya?” Priestess berkata.
“Iya.” Gadis Sapi menyetujui.
Masa musim gugur masih cukup jauh, namun hembusan angin yang bertiup semakin dingin menandakkan kedatangannya.
Dunia yang pria itu lihat.
Dunia yang pria itu jalani—
Gadis Sapi dapat sedikit merasakannya.
“Hei...”  Gadis Sapi tertawa seraya angin membelai kulitnya, terpuaskan setelah bermain. “Melihat-lihat barang di toko senjata, bermain di rumah makan... nggak terlalu kewanitaan banget ya?”
“Ah-ha-ha-ha....”
Priestess tertawa kering dan menghindari pertanyaan itu. Dia tiga atau empat tahun lebih muda dari Gadis Sapi, dan dia tampak lebih seperti adik perempuan.
Aku penasaran apa pendapat dia tentang gadis ini.
“Hm.” Priestess mungkin bisa atau mungkin juga tidak menyadari napas kecil yang hela oleh Gadis Sapi. Namun dia menatap padanya dengan senyum polos.
“Aku mau main lagi kapan-kapan.”
“...Yeah. aku juga.”
“Kalau begitu...” Priestess melangkah ke depan dengan, tap-tap-tap, dan berputar menghadap Gadis Sapi. Rambut emasnya terkibas di belakang kepalanya, memantulkan cahaya terakhir matahari yang terbenam dan berkelip. “...Ayo lakukan!”
Huh. Gadis Sapi menghela tanpa di sadarinya. Aku rasa aku memang punya koneksi di sini.
Dia berpikir bahwa dia hanya memiliki pria itu, dan kebunnya. Namun di karenakan pria itu memiliki hubungan dengan gadis ini, sekarang Gadis Sapi pun terlibat.
“...Iya.” Gadis Sapi mengikutinya dan tersenyum. “Ayo lakukan ini lagi kapan-kapan.”