PUNCAK OPERASI MILITER
DENGAN DEMIKIAN, DUNIA TERSELAMATKAN
(Translater : Zerard)

Horison terisi penuh dengan kegelapan; cahaya merah membara matahari terbenam menyinari gerombolan tak berbentuk. Hembusan angin membawa aroma busuk di keseluruhan medan.
Zombie, ghoul, skeleton, dan wraith berdampingan dengan seekor demon yang menyeringai di sebuah altar. Tetesan liur menjijikkan menetes pada mulut mereka.
Adalah pasukan akan undead. Sebuah pasukan kegelapan.
Gerombolan yang maju memberikan sebuah ancaman tertinggi pada pasukan ketertiban.
Seorang pangeran mahkota muda, berhadapan dengan pasukan Kekacauan ini, menggosok tangan kakunya. Perlengkapan permatanya sangatlah ringan seperti sehelai bulu, karena itu rasa kaku ini pastilah berasal dari kegugupannya.
Pasukan akan mereka yang berdoa telah menyebar di sekitaran bukit kecil, dan pangeran ini merupakan salah satu dari jendralnya. Dari kaki bukit, dia melihat ke belakang, menatap semua rekannya yang telah berkumpul. Seraya mereka menunggu sebuah sinyal dengan gugup, sebagai seorang pemimpin, sang pangeran menghadap ke depan kembali untuk menghadapi para iblis yang mendekat.
Apakah mereka mempunyai kesempatan untuk menang bukanlah sebuah pertanyaan.
Kemenangan adalah satu-satunya pilihan mereka.
Terlebih lagi, bukanlah mereka yang akan menentukan jalannya pertempuran ini. Mereka semua yang telah berkumpul di sini tidaklah lebih dari sekedar pembantu, asisten untuk seseorang yang akan menyelamatkan dunia.
Mereka sudah bersiap mati dalam peeperangan ini...
“Yang mulia! Yang mulia! Semua telah siap!”
Suara yang menyadarkannya dari lamunannya sangatlah ceria. Di tengah-tengah formasi, dia dapat melihat sesosok pemuda, bertubuh kecil, dia adalah kapten dari brigadir Rhea, sebuah grup sukarelawan. Sang pangeran tidak bisa menahan senyum tipisnya.
“Benarkah? Kalau begitu, kita harus siap kapapun juga mereka tiba.”
“Ya, saya juga berpikir begitu,” sang rhea berkata. “Para elf dan dwarf terlihat gugup, tapi para lizardmen terlihat bahagia, sih.”  Sang rhea menambahkan, menawarkan senyuman kecil.
“Pertarungan adalah kenikmatan tertinggi bagi mereka,” Sang pangeran berkata. “Mempunyai sekutu seperti itu dalam pertarungan, membuat hati sedikit lebih tentram.”
“Itu benar. Jika anda bersedia bertarung menggantikan kami, maka paling tidak kami bisa dapat sedikit bergerak bebas.”
Para rhea memiliki kemampuan sihir untuk menghilang, dan untuk saat ini, sikap ceria sebelumnya telah sirna. Mereka adalah pengantar pesan yang sempurna di medan perang. Sangatlah bodoh untuk membuat orang-orang kecil ini, tidak peduli seberapapun besar keberaniannya, untuk membiarkan mereka berhadapan dengan musuh.
Walaupun sang pangeran berkata demikian, sang rhea bertanya dengan tawaan kecil, “Tapi apa yang akan anda lakukan jika ada musuh yang tidak bisa di bunuh manusia?”
Tetap saja, peran dalam bagian komunikasi yang telah di berikan oleh pangeran, sangatlah cocok untuk rhea. Tidak ada orang lain yang mampu dengan ahlinya menyelinap melewati medan perang penuh akan sihir terbang dan benturan senjata, tanpa di ketahui dan tanpa rasa takut.
Aku harus memberikan pujian kepada para rhea nantinya, dia berpikir.
“Baiklah. Sampaikan pada semuanya bahwa kita akan mulai dengan sinyal yang aku berikan. Seperti rencana sebelumnya.”
“Tidak ada perubahan? Baiklah.”
Setelah pertukaran kalimat pendek telah selesai, sang rhea menghilang. Tidak ada satupun ras di dunia yang dapat menandingi talenta rhea dalam menghilang.
Setelah berpikir dengan matang, sang pangeran menyadari bahwa manusia tidak bisa mengalahkan para elf dalam hal memanah, atau para dwarf dan kapak mereka, atau bahkan pertarungan jika di bandingkan dengan para lizardmen.
Sederhananya, sang pangeran hanyalah seorang jendral pasukan manusia. Para elf, dwarf, dan lizardmen, dan rhea telah berkumpul di sini adalah murni karena niatan baik. Dan pangeran sangat bersyukur akan hal itu. Dia mengambil napas dalam, kemudian bangkit dari bangku lipatnya
“Apa kamu sudah menyiapkan Turn Undead? Kita harus menyambut bajingan-bajingan itu dengan baik.”
“Benar, Yang Mulia,” jawab seorang wanita tua, seorang pendeta tertinggi akan Dewa Pengetahuan. Umurnya sangatlah tua untuk masuk dalam medan peperangan, akan tetapi di sini lah dia, berdiri dengan kepala terangkat tinggi. “Tapi makhluk itu,” dia berkata, “Mereka tidak terkutuk. Mereka lebih terlihat seperti terjangkit wabah. Seolah mereka sudah berada di ujung tanduk dan bersiap menjadi abu lagi...”
“Aku juga berpikir demikian. Baiklah.”
Sang pangeran menghirup dan menghela napas. Tangannya menutup, kemudian terbuka.
“Pasukan... Takdir sangatlah kejam. Begitu pula dadu. Tidak ada yang berhak mengatakan takdir apa yang menunggu kita.”
Para pemimpin anggota di kemah menoleh kepadanya. Seorang penyihir kerajaan menggunakan salah satu mantranya—berharga, namun pada momen seperti ini, sangat di hargai—untuk menguatkan suara pangeran yang terbawa oleh angin. Pasukan Ketertiban akan mendengar pidato penuh semangat pemimpin mereka dengan sangat jelas.
“Tidak menutup kemungkinan bahwa Ketertiban akan hancur suatu hari, dan semua terbakar hingga habis, dan kita akan terlupakan.”
Seraya suara pangeran semakin meninggi, dia menaiki salah satu kuda kesayangannya. Dia meletakkan kakinya pada sanggurdi dan mengangkat dirinya sendiri pada pelana kuda. Sudah begitu lamanya sejak terakhir kali dia melakukannya, dia takut telah melupakan caranya. Dia mengambil napas. (TL Note : sanggurdi = https://id.wikipedia.org/wiki/Sanggurdi  )
Dia menatap pada ke dua sisi: penjaga kerajaan, berpakaian bermacam rupa, sedang tersenyum padanya. Mereka semua masih muda, memiliki perbedaan ras dan sosial yang telah di tarik dari cabang militer yang berbeda, bersatu di karenakan pertumpahan darah yang akan mereka lakukan. Tidak ada berani berasumsi bahwa mereka telah memilih pasukan elit.
Kalian semua, sang pangeran berpikir dengan tawaan kecil, kemudian menurunkan visor permata pada helmnya sendiri. Mereka adalah rekan, rekan yang telah menelusuri labirin bersama dirinya, memenangkan predikat keberanian dalam seni bela diri, dan akhirnya bergabung mengelilingi dirinya sebagai penjaga.
Tuhan. Ini sama sekali tidak seperti petualangan.
“Jangan lupa, hal sama juga berlaku bagi musuh kita. Dadu sangatlah kejam—namun adil.”
Pada sisi ini, terdapat sebuah pasukan besar yang siap bertempur hingga titik darah penghabisan, di seberang medan terdapat banyak monster yang siap melahap bumi.
Sang pangeran menghayati ini semua, kemudian meneriakkan seruan terakhirnya.
“Harapan kemenangan akan selalu ada. Dan kita harus merebutnya!”
Seruan perang berkobar, begitu bersemangat dan begitu bangga yang membuat makhluk yang berada di horison tanpa di sadari mengambil satu langkah mundur.
Peralatan bergesekan dan tenggorokan meneriakkan suara serak. Pasukan meningkatkan semangat mereka dengan setiap hentakkan kaki di bumi.
Hancurkan para demon! Hancurkan Kekacauan! Kita akan mengirim mereka sampai akhirat!
“Keajaiban!”
Perintah pertama. Para cleric yang berbaris pada garis peperangan memulai menawarkan doa mereka kepada para Dewa.
O Dewa-dewa, yang bersemayam di surga. Berikan kami perlindungan, jadilah pelindung kami. Berikan kami kemenangan, kami memohon.
Protection, Blessing, dan Holy War menyinari. Keajaiban dari setiap dewa: Supreme God, Ibunda Bumi, Dewa Pengetahuan, Dewa pertukaran, dan juga Dewa peperangan.
Sang pangeran mengangguk. Tidak di ragukan lagi bahwa pasukan Kekacauan akan menggunakan kemampuan gelap akan dewa jahat mereka sendiri.
“Pemanah, siapkan tembakan serentak pertama!”
Manusia, bersama dengan beberapa baris pasukan pemanah elf berpengalaman yang telah di sediakan raja para elf, menarik busur mereka seirama dengan getaran benang yang terdengar.
Mereka membidik ke atas, dengan sudut diagonal. Para manusia meringis penuh fokus dengan seksama, namun para elf tidak pernah kehilangan senyum mereka. Dan kenapa mereka harus kehilangan senyumnya? Mereka menghabiskan setiap waktu mereka dengan busur mereka. Bagi mereka memanah sama sederhananya dengan bernapas.
“Tembak!!”
Panah para elf tiga kali lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih jauh di banding para manusia. Panah itu melengkung dengan hebat di langit, kemudian turun menghujani pasukan Kekacauan. Mata panah silver mereka tentunya akan memberikan luka bagi para undead.
Pada saat yang sama, terdengar suara kepakkan dari pasukan Kekacauan, seraya banyaknya kain lusuh berkibas secara serentak. Bayangan hitam, berdansa di langit, menangkis hujan panah:
Kelelawar raksasa.
Mereka membuka sayap besar mereka layaknya sebuah kanopi di atas kepala sekutu mereka, sangatlah loyal akan teman jahat mereka. Para kelelawar terjatuh dengan jeritan hiruk-pikuk, namun berkat mereka, kerusakan yang di hasilkan pada pasukan mereka sangatlah minimal.
Apakah Ketertiban telah membuang secara percuma amunisi mereka? Atau apakah mereka telah mengikis kekuatan terbang musuhnya? Tentu saja, sang pangeran akan memilih pilihan kedua.
“Bodoh sekali mereka terbang meninggalkan tanah yang nyaman” pangeran bergumam, dan para petualang penjaga istana tersenyum satu persatu.
Sedikit candaan adalah hal yang bagus, candaan itu dapat membuat seseorang menjadi lebih santai. Adalah salah satu pengalaman mutiara yang telah di dapatnya selama berpetualang.
“Baiklah, lanjutkan! Pembaca mantra, lepaskan sihirmu!”
Mereka telah mengambil inisiatif. Mereka tidak boleh membiarkan musuh mendapatkan kesempatan untuk menyerang balik.
Penyihir kerajaan mengangkat tongkat mereka dan mulai melantunkan kalimat akan kekuatan sejati dengan lantang.
Fireball adalah mantra yang mereka pilih. Sebuah tembakan serentak terbang menghujani musuh. Lingkaran api membara putih seraya terbang, meledak di antara barisan musuh. Terdengar suara yang bercampur aduk, dan pasukan musuh terlontar ke langit layaknya sebuah ranting, hancur berkeping-keping.
Sangatlah jelas, walau efeknya tidak se-dramatis seperti seharusnya. Para manusia bukanlah satu-satunya yang dapat menyiapkan pertahanan mereka.
Sejauh ini, berdasarkan logika kekuatan sihir, dewa kejahatan mungkin memiliki keuntungan...
“DEEEEEEEVLLLIIIVVVVVVVIL!!”
Dan pada akhirnya, sang Dewa Kegelapan menilai bahwa ini saatnya untuk bergerak.
Tidak lama kemudian suara menjijikkan akan gerombolan serangga bertempurung keras menyerang pasukan Ketertiban, menghujani layaknya tetesan hujan. Terdengar suara yang memekikkan telinga akan kepakkan sayap serangga seraya mereka terbang, yang kemudian menghantam pelindung holy barrier. Kebanyakan dapat di hentikan oleh keajaiban ilahi, namun beberapa berhasil menerobos masuk. Dalam sekejap, para tentara, knight, archer, wizard, dan monk di penuhi akan lubang-lubang, dan berguguran satu persatu.
“Tetap tenang!” pangeran berteriak, mengayunkan pedangnya seraya salah satu serangga mendekati helmnya. “Pasukan baris depan, serang!”
Kaki-kaki kuda terangkat, dan dengan teriakan lantang para knight yang akan menyerang. Suara akan hentakkan kaki kuda bergema di keseluruhan medan.
Pada saat yang sama, terdengar suara mengerikan akan wha-pum, wha-pum, dari sebuah tabuhan genderang perang, dan para lizardmen turut serta dalam pertempuran.
Kedua unit ini sangatlah berbeda, akan tetapi kekuatan tempur mereka hampir tidak berbeda.
“DAAAAAEEEEMMEMMMEMMEOOOON!!” seruan Dark God. (TL Note : asli pertama kali aku baca, ku kira doraemon. Lol :v )
Para musuh telah kembali bangkit setelah hujanan fireball, dan sekarang kesatuan dullahan maju ke depan. Kombinasi akan kecepatan kuda yang berlari, bersama dengan total berat badan akan pengendara, memberikan tombak knight kekuatan yang cukup untuk menembus dinding sebuah kastil. Benturan mereka di medan perang menciptakan sebuah suara yang sulit untuk di jelaskan. (TL Note: dullahan = https://en.wikipedia.org/wiki/Dullahan )
Gesekan metal antara metal berbunyi, dan pengendara kuda dari kedua kubu berguguran. Tombak menembus perisai dan armor dan semacamnya, sementara yang lain terjatuh dari kudanya, dan menderita patah tulang, atau terinjak oleh kuda mereka sendiri.
Mayat bergelimpangan di keseluruhan medan perang dalam sekejap, namun tentu saja, ini bukanlah akhirnya.
“Ahh! Sa’si’an, sa’si’an! Saja adalah taring, ‘etroenan a’an Archaeopteryx!”
Para lizardmen bergerak di antara pasukan musuh layaknya bayang-bayang, meneriakkan teriakan khas dari setiap satu makhluk jahanam hingga makhluk berikutnya. Cakar, cakar, taring, ekor. Keturunan para naga tidak mengenal rasa takut; tabiat mereka dalam pertarungan sangatlah sempurna di hadapan leluhur mereka. Mereka meraung pada api yang telah jatuh dari surga yang telah mengajarkan arti kehancurkan pada ras mereka dahulu sekali. (TL note  : Kemungkinan ini refrensi meteor yang memusnahkan dinosaurus jaman purba dulu.)
Akan tetapi, ketangguhan para dullahan, telah menembus serangan para knight. Mereka mengayunkan tombak berlumur darah mereka; tampaknya akan melindas keseluruhan pasukan musuh.
“Dinding tombak, bersiap!”
Adalah pekerjaan prajurit bawahan untuk mencegah itu terjadi. Berjejer tiga baris, mereka menancapkan pantat tombak mereka ke tanah, menciptakan dinding tombak bertingkat tiga.
Kuda biasa mungkin akan takut melihat dinding runcing ini, namun tidak bagi kuda pucat nan jahat pengendara ini. Merasa terganggu oleh halangan di depan jalan mereka, para dullahan mengangkat senjata mereka. Dengan cepat tombak-tombak telah terpotong pada batangnya, dan kemudian kepala para spearmen mulai terlepas satu persatu.
“Yaaaah! Semua pasukan bergerak!”
Itulah di saat dwarven shield breaker muncul. Mereka menarik perisai dullahan yang tertangkap oleh pengait mereka, yang di mana berikutnya kapak perang para dwarf mulai beraksi.
Kapak dan palu perang mengayun, menghancurkan dan menumpas. Tak gentar, tak goyah, gelombang demi gelombang di hancurkan, dan mereka menguasai garis perang. Arti dari ungkapan dwarf fotress menjadi sangat jelas.
Apa kita bisa menang?
Siapa yang bisa menyalahkan pikiran yang terlintas pada sang pangeran? Jika semua berjalan dengan lancar, maka tidak di ragukan lagi. Ya, pasukan Ketertiban mungkin memiliki keuntungan pada saat ini.
Namun oh, tunggu dan saksikan.
Dark God melantunkan mantranya dan angin mulai berhembus di medan perang. Para prajurit yang terkena miasma mendapati daging dan organ mereka membusuk dan terjatuh dari tubuh mereka seraya mereka masih hidup; mereka tergeletak menggeliat di tanah. Sudah tidak salah lagi: mereka telah di rubah menjadi undead.
Ketika tergigit oleh zombie, di makan oleh ghoul, atau ketika jiwa seseorang beku oleh wight, seseorang itu akan berubah menjadi makhluk yang membunuhnya. Mereka yang mati di dalam peperangan memiliki hak untuk dapat kembali ke bumi, namun yang terjadi adalah mereka telah tergabung masuk ke dalam barisan musuh sebagai undead warrior.
Semakin lama peperangan berjalan, semakin banyak pasukan Kekacauan akan semakin berkembang. “Dawn of the dead” yang sesungguhnya mungkin tidak akan lama lagi terjadi...
“Tetap tenang! Mereka sudah bukan pria yang kalian kenal lagi! Hancurkan mereka, berikan kembali tubuh mereka pada rekan seperjuanganmu!” sang pangeran berteriak, namun ekspresi panik mulai tergambar pada wajahnya.
Dari sisi kiri dan kanan pangeran adalah knight pilihannya. Jika saja mereka dapat menembus barisan musuh dan mengepung Dark God, situasi ini mungkin akan berubah...
Namun berapa banyak knight yang harus mati untuk dapat mencapai itu? Apakah mereka juga akan menjadi undead?
Jawaban akan pertanyaan itu akan mempengaruhi lebih dari sekedar peperangan ini. Ketika peperangan telah berakhir, bagaimana cara dia untuk mencari orang baru? Bagaimana cara untuk membuat lahan menjadi subur kembali? Bagaimana cara untuk membangun kota kembali?
Mereka mungkin dapat memenangkan peperangan, namun apa mereka benar-benar bisa menyelamatkan dunia?
“.....”
Hentikan.
Bahkan para dewa tidak dapat mengatur perputaran dadu, terlebih lagi makhluk fana.
Sang pangeran memberikan tarikan kasar pada tali kudanya. Dia akan memulai dengan apa yang berada di depannya. Betapa mengganggunya, betapa menyebalkan bagi dirinya, mengetahui bahwa dia tidak dapat menyelesaikan ini melalui akal dan talentanya sendiri.
Jalur peperangan ini akan tergantung pada enam orang yang berada jauh di sana.
Para petualang yang berpetualang menuju Dungeon kematian.
****
High Priestess membuka matanya ketika dia mendengar sang pemimpin berkata bahwa ini sudah saatnya untuk pergi.
Tidak—membuka matanya bukanlah kalimat yang benar untuk menggambarkannya. Sudah lama sejak terakhir kali dia dapat melihat apapun terkecuali kegelapan.
Peperangan mungkin sedang berlangsung di atas, senandika pemimpin, memeriksa sebuah senjata.
Miasma yang berhamburan, sensasi dingin akan batu ubin, sensasi Mencekam akan bahaya. Dia dapat mengingat istirahat sejenak yang mereka lakukan di antara lorong ruang kubur layaknya hari kemarin.
Dia mendengar suara samar gesekan armor sang pemimpin. Tidak di ragukan lagi sang pemimpin sedang memeriksa golok miliknya, seperti biasanya.
“Kamu baik-baik saja?”
High Priestess kembali tersadarkan setelah seseorang tiba-tiba berbicara kepadanya.
Adalah Female Wizard. Dia adalah anak dari keluarga yang cukup terkenal, dan suaranya yang lembut melambangkan hasil didikan orang tuanya.
“Ya, saya baik-baik saja,” High Priestess menjawab dengan tegar, agar tidak membuat khawatir rekan. Dia bangkit.
“Yah, jika kamu butuh sesuatu, katakan saja padaku. Bocah itu tidak mengerti apapun yang seorang gadis inginkan.”
High Priestess menghiraukan Female Wizard yang merendahkan sang pemimpin seperti biasanya. Dari cara sang wizard merespon dengan menggembungkan pipinya, membuatnya terlihat tidak dapat di andalkan dan kekanak-kanakkan.
Namun sebagai pemimpin garis belakang, dengan kemampuannya untuk menggunakan sihir, semua orang mempercayainya. Tentu saja, termasuk High Priestess. Dan High Priestess benar-benar merasa bersyukur bahwa Female Wizard bersedia mengkhawatirkan dirinya. High Priestess dapat sedikit mentolerir sikap kesal itu...
“Yah, lagipula dia memang harus memutuskan apakah harus maju atau mundur. Tidak akan bagus kalau kita terlalu jauh dengan elevator.”
Saran ini pastilah telah di ajukan oleh Bugman Monk. Bukanlah hal yang tidak biasa untuk mempunyai dua tipe agama dalam satu party. Bugman Monk selalu berbicara dengan hati-hati, mungkin di karenakan dia adalah yang anggota tertua dan paling berpengalaman dalam grup ini. “Dalam pertarungan yang akan terjadi, siapapun yang kurang melakukan persiapan hanya akan menjadi beban.”
High Priestess tidak sepenuhnya menyetujui nada kasarnya, namun mereka telah lama saling mengenal. Dia tersenyum samar.
High Priestess dapat mendengar suara gesekan seraya sang Bugman membuka peta yang telah pria itu buat dan menelurusi sebuah jalur dengan satu cakar panjang.
“Kita sudah setengah jalan. Kita bisa terus melanjutkan turun hingga lantai sepuluh atau kembali. Aku tidak keberatan pilihan manapun yang di pilih.”
“Karena kita sudah berusaha menghemat sihir kita dengan hati-hati, kita seharusnya masih bisa sedikit turun ke bawah, kan?” Kegelapan labirin ini tampak tidak mengusik Half elf Thief sama sekali. Dia berdiri pada garis depan, tidak seperti thief biasanya, namun dia tidak menunjukkan sedikitpun rasa lelah. Atau mungkin, layaknya High Priestess, thief ini hanya berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.

Tetap saja, nada ceria pria ini mengangkat semangat High Priestess, dan untuk itu, dia merasa bersyukur.

“Tetapi juga, ketahanan tubuh dan stamina adalah hal yang berbeda. Tidak akan baik untuk kita kalau hati kita tidak selaras. Bagaimana kalau sedikit istirahat?”
“Apa ini? Sudah capek? Hee-hee!” Female Warrior tertawa penuh arti dan menusuk bercanda Half efl Thief menggunakan tombaknya.
Dalam segi konvensional, Female Warrior kemungkinan adalah wanita yang paling menarik di antara ketiga wanita di dalam party ini, dan itu di karenakan tragedi dirinya pada masa lalu. High Priestess mengetahui ini, karena dia juga pernah mengalami hal serupa. Terlebih lagi, High Priestess berpikir bahwa Female Warrior sangatlah luar biasa, di karenakan bayang- bayang masa lalu wanita itu tidak pernah membuat Female Warrior terganggu.
“Yah, nggak bakal bisa kalau begitu,” Female Warrior berkata. “Bukannya kamu ingin agar para gadis menyukaimu?”
“Aww, bacot.”
Dengan itu Female Warrior berbisik, “Benarkan?” kepada High Priestess, High Priestess tertawa kecil.
Membutuhkan waktu yang cukup lama, namun mereka semua sekarang telah akrab. Mereka tidak akan pernah dapat bertahan hidup dalam petualangan yang telah membimbing mereka hingga kemari jika salah satu dari mereka tidak ada di sini.
“Bagaimana denganmu?”
“Apa?”
High Priestess memiringkan kepalanya pada suara tidak terduga itu. Sang pemimpin, yang secara diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba berbicara kepadanya.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku, uh...”
Selalu seperti ini. Pria itu terlihat lelah, namun dia sangatlah perhatian terhadap mereka semua. Dia tidak akan membuat keputusan hanya berdasarkan masukan satu orang, namun dia akan memastikan pendapat dari semua orang.
Kalau tidak begitu...bagaimana aku bisa mengikutinya sampai sejauh ini?
Dia telah dapat mencapai titik ini adalah di karenakan rekannya. Mereka telah menunggu dirinya hingga dia dapat bergabung kembali dengan mereka. Layaknya sekarang, mereka menunggu ucapan darinya.
“Hmm... kemungkinan sudah tidak akan ada lagi kesempatan berikutnya.“ Karena itu, dia telah tumbuh percaya diri dan berani memberikan pendapatnya. “Secara pribadi, aku ingin menyelesaikan ini sekarang.”
Ketika dia berbicara, party ini saling melihat satu sama lain dan mengangguk serentak. Kalau begitu, ayo.
“Pertunjukkan akhir dengan musuh terakhir, ya? Aku suka. Aku sudah tidak sabar!”
“Heh! Heh! Heh! Heh! Kalau Demon Lord itu mendatangiku, Aku cincang dia!”
“Bagus. Kalau kita kalah, berarti itu salahmu.”
“Aw...”
“Semua akan baik-baik saja. Kita semua saling mempercayai.”
Kita pasti baik-baik saja. Sang pemimpin memberikan Female Wizard senyum masam dan mulai berjalan.
High Priestess mengikutinya, menggenggam pedang dan timbangan di antara dadanya yang masih berkembang.
Dia tidak mengetahui berapa banyak dari mereka yang akan selamat atau seberapa besar luka yang mereka akan derita dalam pertarungan ini.
Setiap individu dari mereka yang berperang di atas mungkin akan mati.
Tapi...

Dunia akan terselamatkan. Akan hal itu, High Priestess sangat yakin.