PUNCAK OPERASI
MILITER
DENGAN DEMIKIAN, DUNIA TERSELAMATKAN
(Translater : Zerard)
Horison terisi penuh dengan
kegelapan; cahaya merah membara matahari
terbenam menyinari gerombolan tak berbentuk. Hembusan angin membawa aroma busuk
di keseluruhan medan.
Zombie, ghoul, skeleton, dan
wraith berdampingan dengan seekor
demon yang menyeringai di sebuah altar.
Tetesan liur menjijikkan menetes pada mulut mereka.
Adalah pasukan akan undead.
Sebuah pasukan kegelapan.
Gerombolan yang maju
memberikan sebuah ancaman tertinggi pada pasukan ketertiban.
Seorang pangeran mahkota
muda, berhadapan dengan pasukan Kekacauan ini, menggosok tangan kakunya.
Perlengkapan permatanya sangatlah ringan seperti sehelai bulu, karena itu rasa
kaku ini pastilah berasal dari kegugupannya.
Pasukan akan mereka yang
berdoa telah menyebar di sekitaran bukit kecil, dan pangeran ini merupakan
salah satu dari jendralnya. Dari kaki bukit, dia melihat ke belakang, menatap
semua rekannya yang telah berkumpul. Seraya mereka menunggu sebuah sinyal dengan
gugup, sebagai seorang pemimpin, sang pangeran menghadap ke depan kembali untuk
menghadapi para iblis yang mendekat.
Apakah mereka mempunyai
kesempatan untuk menang bukanlah sebuah pertanyaan.
Kemenangan adalah
satu-satunya pilihan mereka.
Terlebih lagi, bukanlah
mereka yang akan menentukan jalannya pertempuran ini. Mereka semua yang telah
berkumpul di sini tidaklah lebih dari sekedar pembantu, asisten untuk seseorang
yang akan menyelamatkan dunia.
Mereka sudah bersiap mati
dalam peeperangan ini...
“Yang mulia! Yang mulia!
Semua telah siap!”
Suara yang menyadarkannya dari
lamunannya sangatlah ceria. Di tengah-tengah formasi, dia dapat melihat sesosok
pemuda, bertubuh kecil, dia adalah kapten dari brigadir Rhea, sebuah grup
sukarelawan. Sang pangeran tidak bisa menahan senyum tipisnya.
“Benarkah? Kalau begitu,
kita harus siap kapapun juga mereka tiba.”
“Ya, saya juga berpikir
begitu,” sang rhea berkata. “Para elf dan dwarf terlihat gugup, tapi para
lizardmen terlihat bahagia, sih.” Sang
rhea menambahkan, menawarkan senyuman kecil.
“Pertarungan adalah
kenikmatan tertinggi bagi mereka,” Sang pangeran berkata. “Mempunyai sekutu
seperti itu dalam pertarungan, membuat hati sedikit lebih tentram.”
“Itu benar. Jika anda
bersedia bertarung menggantikan kami, maka paling tidak kami bisa dapat sedikit bergerak bebas.”
Para rhea memiliki kemampuan
sihir untuk menghilang, dan untuk saat ini, sikap ceria sebelumnya telah sirna. Mereka adalah
pengantar pesan yang sempurna di medan perang. Sangatlah bodoh untuk membuat orang-orang kecil ini, tidak peduli seberapapun besar
keberaniannya, untuk membiarkan mereka
berhadapan dengan musuh.
Walaupun sang pangeran
berkata demikian, sang rhea bertanya dengan tawaan kecil, “Tapi apa yang akan
anda lakukan jika ada musuh yang tidak bisa di bunuh manusia?”
Tetap saja, peran dalam bagian komunikasi yang telah di berikan
oleh pangeran, sangatlah cocok untuk rhea. Tidak ada orang
lain yang mampu dengan ahlinya menyelinap melewati medan perang penuh akan
sihir terbang dan benturan senjata, tanpa di ketahui dan tanpa rasa takut.
Aku
harus memberikan pujian kepada para rhea nantinya, dia berpikir.
“Baiklah. Sampaikan pada
semuanya bahwa kita akan mulai dengan sinyal yang aku berikan. Seperti rencana
sebelumnya.”
“Tidak ada perubahan? Baiklah.”
Setelah pertukaran kalimat
pendek telah selesai, sang rhea menghilang. Tidak ada satupun ras di dunia yang
dapat menandingi talenta rhea dalam menghilang.
Setelah berpikir dengan
matang, sang pangeran menyadari bahwa manusia tidak bisa mengalahkan para elf
dalam hal memanah, atau para dwarf dan kapak mereka, atau bahkan pertarungan
jika di bandingkan dengan para lizardmen.
Sederhananya, sang pangeran
hanyalah seorang jendral pasukan manusia. Para elf, dwarf, dan lizardmen, dan
rhea telah berkumpul di sini adalah murni karena niatan baik. Dan pangeran
sangat bersyukur akan hal itu. Dia mengambil napas dalam, kemudian bangkit dari
bangku lipatnya
“Apa kamu sudah menyiapkan
Turn Undead? Kita harus menyambut bajingan-bajingan itu dengan baik.”
“Benar, Yang Mulia,” jawab
seorang wanita tua, seorang pendeta tertinggi akan Dewa Pengetahuan. Umurnya
sangatlah tua untuk masuk dalam medan peperangan, akan tetapi di sini lah dia,
berdiri dengan kepala terangkat tinggi. “Tapi makhluk itu,” dia berkata,
“Mereka tidak terkutuk. Mereka lebih terlihat
seperti
terjangkit wabah. Seolah mereka sudah
berada di ujung tanduk dan bersiap menjadi abu lagi...”
“Aku juga berpikir demikian.
Baiklah.”
Sang pangeran menghirup dan
menghela napas. Tangannya menutup, kemudian terbuka.
“Pasukan... Takdir sangatlah kejam. Begitu
pula dadu. Tidak ada yang berhak mengatakan takdir apa yang menunggu kita.”
Para pemimpin anggota di
kemah menoleh kepadanya. Seorang penyihir kerajaan menggunakan salah satu
mantranya—berharga, namun pada momen seperti ini, sangat di hargai—untuk
menguatkan suara pangeran yang terbawa oleh angin. Pasukan Ketertiban akan
mendengar pidato penuh semangat pemimpin mereka dengan sangat jelas.
“Tidak menutup kemungkinan
bahwa Ketertiban akan hancur suatu hari, dan semua terbakar hingga habis, dan
kita akan terlupakan.”
Seraya suara pangeran
semakin meninggi, dia menaiki salah satu kuda kesayangannya. Dia meletakkan
kakinya pada sanggurdi dan mengangkat dirinya sendiri pada pelana kuda. Sudah
begitu lamanya sejak terakhir kali dia melakukannya, dia takut telah melupakan
caranya. Dia mengambil napas. (TL Note : sanggurdi = https://id.wikipedia.org/wiki/Sanggurdi )
Dia menatap pada ke dua
sisi: penjaga kerajaan, berpakaian bermacam
rupa, sedang tersenyum padanya. Mereka semua masih muda,
memiliki perbedaan ras dan sosial yang telah di tarik dari cabang militer yang
berbeda, bersatu di karenakan pertumpahan darah yang akan
mereka lakukan. Tidak ada berani berasumsi bahwa mereka
telah memilih pasukan elit.
Kalian
semua, sang pangeran berpikir dengan tawaan kecil,
kemudian menurunkan visor permata pada helmnya sendiri. Mereka adalah rekan,
rekan yang telah menelusuri labirin
bersama dirinya, memenangkan predikat keberanian dalam seni
bela diri, dan akhirnya bergabung mengelilingi dirinya sebagai penjaga.
Tuhan.
Ini sama sekali tidak seperti petualangan.
“Jangan lupa, hal sama juga
berlaku bagi musuh kita. Dadu sangatlah kejam—namun adil.”
Pada sisi ini, terdapat sebuah
pasukan besar yang siap bertempur hingga
titik darah penghabisan, di seberang medan terdapat
banyak monster yang siap melahap bumi.
Sang pangeran menghayati ini
semua, kemudian meneriakkan seruan terakhirnya.
“Harapan kemenangan akan
selalu ada. Dan kita harus merebutnya!”
Seruan perang berkobar,
begitu bersemangat dan begitu bangga
yang membuat makhluk yang berada di horison tanpa di sadari mengambil satu
langkah mundur.
Peralatan bergesekan dan
tenggorokan meneriakkan suara serak. Pasukan meningkatkan semangat mereka
dengan setiap hentakkan kaki di bumi.
Hancurkan
para demon! Hancurkan Kekacauan! Kita akan mengirim mereka sampai akhirat!
“Keajaiban!”
Perintah pertama. Para
cleric yang berbaris pada garis peperangan memulai menawarkan doa mereka kepada
para Dewa.
O
Dewa-dewa, yang bersemayam di surga. Berikan kami perlindungan, jadilah pelindung
kami. Berikan kami kemenangan, kami memohon.
Protection, Blessing, dan
Holy War menyinari. Keajaiban dari setiap dewa: Supreme God, Ibunda Bumi, Dewa
Pengetahuan, Dewa pertukaran, dan juga Dewa peperangan.
Sang pangeran mengangguk.
Tidak di ragukan lagi bahwa pasukan Kekacauan akan menggunakan kemampuan gelap
akan dewa jahat mereka sendiri.
“Pemanah, siapkan tembakan
serentak pertama!”
Manusia, bersama dengan
beberapa baris pasukan pemanah elf berpengalaman yang telah di sediakan raja para
elf, menarik busur mereka seirama dengan getaran benang yang terdengar.
Mereka membidik ke atas,
dengan sudut diagonal. Para manusia meringis penuh fokus dengan seksama, namun
para elf tidak pernah kehilangan senyum mereka. Dan kenapa mereka harus
kehilangan senyumnya? Mereka menghabiskan setiap waktu mereka dengan busur
mereka. Bagi mereka memanah sama sederhananya dengan bernapas.
“Tembak!!”
Panah para elf tiga kali
lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih jauh di banding para manusia. Panah itu
melengkung dengan hebat di langit, kemudian turun menghujani pasukan Kekacauan.
Mata panah silver mereka tentunya akan memberikan luka bagi para undead.
Pada saat yang sama,
terdengar suara kepakkan dari pasukan Kekacauan, seraya banyaknya kain lusuh
berkibas secara serentak. Bayangan hitam, berdansa di langit, menangkis hujan
panah:
Kelelawar raksasa.
Mereka membuka sayap besar
mereka layaknya sebuah kanopi di atas kepala sekutu mereka, sangatlah loyal
akan teman jahat mereka. Para kelelawar terjatuh dengan jeritan hiruk-pikuk,
namun berkat mereka, kerusakan yang di hasilkan pada pasukan mereka sangatlah
minimal.
Apakah Ketertiban telah
membuang secara percuma amunisi mereka? Atau apakah mereka telah mengikis
kekuatan terbang musuhnya? Tentu saja, sang pangeran akan memilih pilihan
kedua.
“Bodoh sekali mereka terbang
meninggalkan tanah yang nyaman” pangeran bergumam, dan para petualang penjaga
istana tersenyum satu persatu.
Sedikit candaan adalah hal
yang bagus, candaan itu dapat membuat seseorang menjadi lebih santai. Adalah salah satu pengalaman
mutiara yang telah di dapatnya selama berpetualang.
“Baiklah, lanjutkan! Pembaca
mantra, lepaskan sihirmu!”
Mereka telah mengambil
inisiatif. Mereka tidak boleh membiarkan musuh mendapatkan kesempatan untuk
menyerang balik.
Penyihir kerajaan mengangkat
tongkat mereka dan mulai melantunkan kalimat akan kekuatan sejati dengan
lantang.
Fireball adalah mantra yang
mereka pilih. Sebuah tembakan serentak terbang menghujani musuh. Lingkaran api membara
putih seraya terbang, meledak di antara barisan musuh. Terdengar suara yang
bercampur aduk, dan pasukan musuh terlontar ke langit layaknya sebuah ranting,
hancur berkeping-keping.
Sangatlah jelas, walau
efeknya tidak se-dramatis seperti seharusnya. Para manusia bukanlah satu-satunya
yang dapat menyiapkan pertahanan mereka.
Sejauh ini, berdasarkan
logika kekuatan sihir, dewa kejahatan mungkin memiliki keuntungan...
“DEEEEEEEVLLLIIIVVVVVVVIL!!”
Dan pada akhirnya, sang Dewa
Kegelapan menilai bahwa ini saatnya untuk bergerak.
Tidak lama kemudian suara
menjijikkan akan gerombolan serangga bertempurung keras menyerang pasukan
Ketertiban, menghujani layaknya tetesan hujan. Terdengar suara yang memekikkan
telinga akan kepakkan sayap serangga seraya mereka terbang, yang kemudian menghantam
pelindung holy barrier. Kebanyakan dapat di hentikan oleh keajaiban ilahi,
namun beberapa berhasil menerobos masuk. Dalam sekejap, para tentara, knight,
archer, wizard, dan monk di penuhi akan lubang-lubang, dan berguguran satu
persatu.
“Tetap tenang!” pangeran
berteriak, mengayunkan pedangnya seraya salah satu serangga mendekati helmnya.
“Pasukan baris depan,
serang!”
Kaki-kaki kuda terangkat,
dan dengan teriakan lantang para knight yang
akan menyerang. Suara akan hentakkan kaki kuda bergema di
keseluruhan medan.
Pada saat yang sama,
terdengar suara mengerikan
akan wha-pum, wha-pum, dari sebuah tabuhan genderang perang, dan para
lizardmen turut serta dalam pertempuran.
Kedua unit ini sangatlah
berbeda, akan tetapi kekuatan tempur mereka hampir tidak berbeda.
“DAAAAAEEEEMMEMMMEMMEOOOON!!”
seruan Dark God. (TL Note : asli pertama kali aku baca, ku kira doraemon. Lol
:v )
Para musuh telah kembali
bangkit setelah hujanan fireball, dan sekarang kesatuan dullahan maju ke depan.
Kombinasi akan kecepatan kuda yang berlari, bersama dengan total berat badan
akan pengendara, memberikan tombak knight kekuatan yang cukup untuk menembus
dinding sebuah kastil. Benturan mereka di medan perang menciptakan sebuah suara
yang sulit untuk di jelaskan. (TL Note:
dullahan = https://en.wikipedia.org/wiki/Dullahan )
Gesekan metal antara metal
berbunyi, dan pengendara kuda dari kedua kubu berguguran. Tombak menembus
perisai dan armor dan semacamnya, sementara yang lain terjatuh dari kudanya,
dan menderita patah tulang, atau terinjak oleh kuda mereka sendiri.
Mayat bergelimpangan di
keseluruhan medan perang dalam sekejap, namun tentu saja, ini bukanlah
akhirnya.
“Ahh! Sa’si’an, sa’si’an!
Saja adalah taring, ‘etroenan a’an Archaeopteryx!”
Para lizardmen bergerak di
antara pasukan musuh layaknya bayang-bayang, meneriakkan teriakan khas dari setiap satu makhluk jahanam hingga makhluk berikutnya. Cakar, cakar,
taring, ekor. Keturunan para naga tidak mengenal rasa takut; tabiat mereka dalam pertarungan
sangatlah sempurna di hadapan leluhur mereka. Mereka meraung pada api yang
telah jatuh dari surga yang telah mengajarkan
arti kehancurkan pada
ras
mereka dahulu sekali. (TL note :
Kemungkinan ini refrensi meteor yang memusnahkan dinosaurus jaman purba dulu.)
Akan tetapi, ketangguhan
para dullahan, telah menembus serangan para knight. Mereka mengayunkan tombak
berlumur darah mereka;
tampaknya akan melindas keseluruhan pasukan musuh.
“Dinding tombak, bersiap!”
Adalah pekerjaan prajurit
bawahan untuk mencegah itu terjadi. Berjejer tiga baris, mereka menancapkan
pantat tombak mereka ke tanah, menciptakan dinding tombak bertingkat tiga.
Kuda biasa mungkin akan
takut melihat dinding runcing ini, namun tidak bagi kuda pucat nan jahat
pengendara ini. Merasa terganggu oleh halangan di depan jalan mereka, para
dullahan mengangkat senjata mereka. Dengan cepat tombak-tombak telah terpotong
pada batangnya, dan kemudian kepala para spearmen mulai terlepas satu persatu.
“Yaaaah! Semua pasukan
bergerak!”
Itulah di saat dwarven
shield breaker muncul. Mereka menarik perisai dullahan yang tertangkap oleh
pengait mereka, yang di mana berikutnya kapak perang para dwarf mulai beraksi.
Kapak dan palu perang
mengayun, menghancurkan dan menumpas. Tak gentar, tak goyah, gelombang demi
gelombang di hancurkan, dan mereka menguasai
garis perang. Arti dari ungkapan dwarf
fotress menjadi sangat jelas.
Apa
kita bisa menang?
Siapa yang bisa menyalahkan
pikiran yang terlintas pada sang pangeran? Jika semua berjalan dengan lancar,
maka tidak di ragukan lagi. Ya, pasukan Ketertiban mungkin memiliki keuntungan pada saat ini.
Namun oh, tunggu dan
saksikan.
Dark God melantunkan mantranya dan angin mulai berhembus
di medan perang. Para prajurit yang terkena miasma mendapati daging dan organ
mereka membusuk dan terjatuh dari tubuh mereka seraya mereka masih hidup;
mereka tergeletak menggeliat di tanah. Sudah tidak salah lagi: mereka telah di
rubah menjadi undead.
Ketika tergigit oleh zombie,
di makan oleh ghoul, atau ketika jiwa seseorang beku oleh wight, seseorang itu
akan berubah menjadi makhluk yang membunuhnya. Mereka yang mati di dalam
peperangan memiliki hak untuk dapat kembali ke bumi, namun yang terjadi adalah
mereka telah tergabung masuk ke dalam barisan musuh sebagai undead warrior.
Semakin lama peperangan
berjalan, semakin banyak pasukan Kekacauan akan semakin berkembang. “Dawn of
the dead” yang sesungguhnya mungkin tidak akan lama lagi terjadi...
“Tetap tenang! Mereka sudah
bukan pria yang kalian kenal lagi! Hancurkan mereka, berikan kembali tubuh mereka
pada rekan seperjuanganmu!”
sang pangeran berteriak, namun ekspresi panik mulai tergambar pada wajahnya.
Dari sisi kiri dan kanan pangeran adalah knight
pilihannya. Jika saja mereka dapat menembus barisan musuh dan mengepung Dark
God, situasi ini mungkin akan berubah...
Namun berapa banyak knight
yang harus mati untuk dapat mencapai
itu? Apakah mereka juga akan menjadi undead?
Jawaban akan pertanyaan itu
akan mempengaruhi lebih dari sekedar peperangan ini. Ketika peperangan telah
berakhir, bagaimana cara dia untuk mencari orang baru? Bagaimana cara untuk
membuat lahan menjadi subur kembali? Bagaimana cara untuk membangun kota kembali?
Mereka mungkin dapat
memenangkan peperangan, namun apa mereka benar-benar bisa menyelamatkan dunia?
“.....”
Hentikan.
Bahkan para dewa tidak dapat
mengatur perputaran dadu, terlebih lagi makhluk fana.
Sang pangeran memberikan
tarikan kasar pada tali kudanya. Dia akan memulai dengan apa yang berada di depannya.
Betapa mengganggunya, betapa menyebalkan bagi dirinya, mengetahui bahwa dia
tidak dapat menyelesaikan ini melalui akal dan talentanya sendiri.
Jalur peperangan ini akan
tergantung pada
enam orang yang berada jauh di sana.
Para petualang yang berpetualang menuju
Dungeon kematian.
****
High Priestess membuka
matanya ketika dia mendengar sang pemimpin berkata bahwa ini sudah saatnya
untuk pergi.
Tidak—membuka matanya bukanlah kalimat yang benar untuk menggambarkannya.
Sudah lama sejak terakhir kali dia dapat melihat apapun terkecuali kegelapan.
Peperangan
mungkin sedang berlangsung di atas, senandika pemimpin,
memeriksa sebuah senjata.
Miasma yang berhamburan,
sensasi dingin akan batu ubin,
sensasi Mencekam akan bahaya.
Dia dapat mengingat istirahat sejenak yang mereka lakukan di antara lorong
ruang kubur layaknya hari kemarin.
Dia mendengar suara samar
gesekan armor sang pemimpin. Tidak di ragukan lagi sang pemimpin sedang
memeriksa golok miliknya,
seperti biasanya.
“Kamu baik-baik saja?”
High Priestess kembali
tersadarkan setelah seseorang tiba-tiba berbicara kepadanya.
Adalah Female Wizard. Dia
adalah anak dari keluarga yang cukup terkenal, dan suaranya yang lembut
melambangkan hasil didikan orang tuanya.
“Ya, saya baik-baik saja,”
High Priestess menjawab dengan tegar,
agar tidak membuat khawatir rekan. Dia bangkit.
“Yah, jika kamu butuh
sesuatu, katakan saja padaku. Bocah itu tidak
mengerti apapun yang seorang gadis inginkan.”
High Priestess menghiraukan Female Wizard yang merendahkan
sang pemimpin seperti biasanya.
Dari cara sang wizard merespon dengan menggembungkan pipinya, membuatnya terlihat
tidak dapat di andalkan dan
kekanak-kanakkan.
Namun sebagai pemimpin garis
belakang, dengan kemampuannya untuk menggunakan sihir, semua orang mempercayainya. Tentu
saja, termasuk High Priestess. Dan High Priestess benar-benar merasa bersyukur
bahwa Female Wizard bersedia mengkhawatirkan dirinya. High Priestess dapat
sedikit mentolerir sikap kesal itu...
“Yah, lagipula dia memang harus
memutuskan apakah harus maju atau mundur. Tidak akan bagus kalau kita terlalu
jauh dengan elevator.”
Saran ini pastilah telah di
ajukan oleh Bugman Monk. Bukanlah hal yang tidak biasa untuk mempunyai dua tipe
agama dalam satu party. Bugman Monk selalu berbicara dengan hati-hati, mungkin
di karenakan dia adalah yang anggota tertua dan paling berpengalaman dalam grup
ini. “Dalam pertarungan yang akan terjadi, siapapun yang kurang melakukan
persiapan hanya akan menjadi beban.”
High Priestess tidak
sepenuhnya menyetujui nada kasarnya, namun mereka telah lama saling mengenal.
Dia tersenyum samar.
High Priestess dapat
mendengar suara gesekan seraya sang Bugman membuka peta yang telah pria itu
buat dan menelurusi sebuah jalur dengan satu cakar panjang.
“Kita sudah setengah jalan.
Kita bisa terus melanjutkan turun hingga lantai sepuluh atau kembali. Aku tidak
keberatan pilihan manapun yang di pilih.”
“Karena kita sudah berusaha
menghemat sihir kita dengan hati-hati, kita seharusnya masih bisa sedikit turun ke bawah,
kan?” Kegelapan labirin ini tampak tidak mengusik Half elf Thief sama sekali. Dia
berdiri pada garis depan, tidak seperti thief biasanya, namun dia tidak
menunjukkan sedikitpun rasa lelah. Atau mungkin, layaknya High Priestess, thief
ini hanya berusaha menyembunyikan rasa lelahnya.
Tetap saja, nada ceria pria
ini mengangkat semangat High Priestess, dan untuk itu, dia merasa bersyukur.
“Tetapi juga, ketahanan
tubuh dan stamina
adalah hal yang berbeda. Tidak akan baik untuk kita kalau hati kita tidak
selaras. Bagaimana kalau sedikit istirahat?”
“Apa ini? Sudah capek? Hee-hee!”
Female Warrior tertawa penuh arti dan menusuk bercanda Half efl Thief
menggunakan tombaknya.
Dalam segi konvensional,
Female Warrior kemungkinan adalah wanita yang paling menarik di antara ketiga
wanita di dalam party ini, dan itu di karenakan tragedi dirinya pada masa lalu.
High Priestess mengetahui ini, karena dia juga pernah mengalami hal serupa.
Terlebih lagi, High Priestess berpikir bahwa Female Warrior sangatlah luar
biasa, di karenakan bayang- bayang masa
lalu wanita itu tidak
pernah membuat Female Warrior terganggu.
“Yah, nggak bakal bisa kalau
begitu,” Female Warrior berkata. “Bukannya kamu ingin agar para gadis
menyukaimu?”
“Aww, bacot.”
Dengan itu Female Warrior
berbisik, “Benarkan?” kepada High Priestess, High Priestess tertawa kecil.
Membutuhkan waktu yang cukup lama, namun mereka
semua sekarang telah akrab. Mereka tidak akan pernah dapat bertahan hidup dalam
petualangan yang telah membimbing mereka hingga kemari jika salah satu dari
mereka tidak ada di sini.
“Bagaimana denganmu?”
“Apa?”
High Priestess memiringkan
kepalanya pada suara tidak terduga itu. Sang pemimpin, yang secara diam-diam
mendengarkan pembicaraan mereka, tiba-tiba berbicara kepadanya.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku, uh...”
Selalu seperti ini. Pria itu
terlihat lelah, namun dia sangatlah perhatian terhadap mereka semua. Dia
tidak akan membuat keputusan hanya
berdasarkan masukan satu orang, namun dia akan memastikan pendapat dari semua
orang.
Kalau
tidak begitu...bagaimana aku bisa mengikutinya sampai sejauh ini?
Dia telah dapat mencapai
titik ini adalah di karenakan rekannya. Mereka telah menunggu dirinya hingga
dia dapat bergabung kembali dengan mereka. Layaknya sekarang, mereka menunggu
ucapan darinya.
“Hmm... kemungkinan sudah
tidak akan ada lagi kesempatan berikutnya.“
Karena itu, dia telah tumbuh percaya diri dan berani
memberikan pendapatnya. “Secara pribadi, aku ingin menyelesaikan ini sekarang.”
Ketika dia berbicara, party
ini saling melihat satu sama lain dan mengangguk serentak. Kalau begitu, ayo.
“Pertunjukkan akhir dengan
musuh terakhir, ya? Aku suka. Aku sudah tidak
sabar!”
“Heh! Heh! Heh! Heh! Kalau
Demon Lord itu mendatangiku, Aku cincang dia!”
“Bagus. Kalau kita kalah,
berarti itu salahmu.”
“Aw...”
“Semua akan baik-baik saja.
Kita semua saling mempercayai.”
Kita
pasti baik-baik saja. Sang pemimpin memberikan
Female Wizard senyum masam
dan mulai berjalan.
High Priestess mengikutinya,
menggenggam pedang dan timbangan di antara dadanya yang masih berkembang.
Dia tidak mengetahui berapa
banyak dari mereka yang akan selamat atau seberapa besar luka yang mereka akan derita dalam pertarungan
ini.
Setiap individu dari mereka
yang berperang di atas mungkin akan mati.
Tapi...
Dunia akan terselamatkan.
Akan hal itu, High Priestess sangat
yakin.
3 Comments
wuih keren, prequel goblin slayer yg terjadi 10 tahun lalu saat perang besar terjadi. pembukaan cerita juga g kaya di versi komiknya.
BalasHapustpi knpa si pahlawannya g kliatan? apa mungkin dia udh nerobos sendirian ke tempatnya raja iblis xD
thnks min untuk update barunya, di tunggu kelanjutannya (klo bisa dibarengin sma update goblin slayer :v)
sama2 mas. :) saya usahain update cepat.
Hapus👌👌👌
BalasHapusPosting Komentar