AKAN SEORANG PELAYAN WANITA RUMAH MAKAN

“Halo, selamat datang!”
“Heyo, berikan kami tiga bir putih dan dua air lemon sebagai pembuka!”
“Baik!”
“Dan, uh...eh, fritella juga. Untuk lima orang!” (TL note : https://en.wikipedia.org/wiki/Frittelle) 
“Baik pak!” sang pelayan menjawab ceria, melihat pada petualang dengan pedang dua tangan di punggungnya dan mencatat pesanan yang di pesannya.
Setiap rumah makan akan selalu ramai di sore hari, namun pada rumah makan Guild Petualang merupakan hal yang berbeda. Terdapat orang-orang yang bersantai selepas petualang mereka di mana mereka telah mempertaruhkan nyawa. Sedangkan yang lain sedang bersenda gurau dengan temannya yang telah kembali dari tempat yang jauh.
Beberapa pelanggan datang dari jauh, memulai dengan sebuah santapan setelah mereka mencapai kota ini.
Sang padfoot, atau gadis-binatang, pelayan wanita berlari dari satu tempat menuju tempat lain—dia sangat menyukai suasana ini. Perasaan akan dia sedang membantu orang-orang memotivasi  dirinya melebihi gajinya.
Seraya rambut panjang yang secara rapi terikat berayun layaknya sebuah ekor (Ekor asli dirinya sekarang tertutup oleh roknya), dia memanggil dapur.
“Tiga bir putih, dua air lemon, dan lima piring fritella!”
“Oke, pesanan besar yang bagus—jangan buat aku sulit!”
Rhea paruh baya yang gemuk bergerak secara terus menerus di antara dapur kecilnya.
Panci dan wajan, pisau dan tusukan daging, sendok dan gulungan adonan. Dia menggunakan api dan peralatan masak layaknya sebuah sihir, dan makananpun tersaji dengan begitu cepat.
Sebuah aroma manis saus melapisi ayam dan ikan goreng yang menjadi emas di dalam minyak. Makanan itu renyah dan panas, dan ketika kamu menggigitnya, sebuah jus akan meleleh di dalam mulutmu. Padfoot bukanlah satu-satunya yang menghirup aroma wangi ini.
“Ini dia. Bawa pergi!”
“Baik, pak!”
Jika mengenai hal memasak, tidak ada ras lainnya yang dapat menyaingi para rhea.
Tentu saja, aku memberikan sedikit sentuhanku sendiri!
Sedikit sentuhan dari sang pelayan di tambah dengan kemampuan koki menjadikan makanan ini pahlawannya makanan.
Pelayan mengambil bir putih dari drum, memeras lemon di atas air sumur, dan pesanan telah siap.
Dia melangkah dengan santapan di atas sebuah nampan di mana party itu sudah terduduk di kursi dan menanti penuh harap.
Mungkin mereka tidak ingin melepas armor mereka sepenuhnya sampai mereka tiba di rumah karena setiap anggota party telah melepas beberapa dari perlengkapan mereka. Sedangkan anggota garis depan tetap memakai pedang mereka di tempat mereka dapat menariknya kapanpun di butuhkan, merupakan bukti pengalaman panjang mereka.
“Terima kasih sudah menunggu! Tiga bir putih, dua air lemon, dan fritella untuk lima orang!”
Half elf light warrior yang bertanggung jawab atas keuangan party memberikan sang pelayan beberapa silver koin.
“Terima kasih. Oh, dan anggur untukku.”
“Baik, pak!”
Sang pelayan mengambil koin dengan tangannya yang berbulu dan memasukkannya ke dalam kantong di celemeknya. Koin itu sedikit melebihi dari jumlah yang seharusnya—mungkin half elf itu memberikan sedikit tip. Walaupun ada kemungkinan juga hanya seorang yang gemar merayu.
“Lihat, ketika kamu pergi ke rumah makan, kamu harus selalu memulai dengan bir putih, kan?” seorang knight wanita berkata seolah dia tidak mempercayai apa yang di dengarnya.  Dia menopang dagu dengan tangannya.
“Ini dia Knight Wanita kita, selalu berbicara sesuka dia—selalu tentang kebaikan dan taat pada ketertiban!”
“Yah, sudah jelas, itu bahkan sudah tertulis di dalam kitab Supreme God.” Knight Wanita berkata seolah dia tidak mempercayainya, dan membusungkan dadanya.
Light warrior menekan alis dengan tangannya seolah untuk mengusir sakit kepala dan menghela panjang.
“Anak-anak, jangan tumbuh besar seperti dia, oke?”
“Baik pak!”
“Tapi dia terlihat keren ketika semua armornya di pakai...”
Bocah Scout mengangkat tangannya menyetujui, sementara Gadis Druid menghela galau.
Knight Wanita menggembungkan pipinya marah.
“Apa yang kamu maksud? Aku selalu terlihat keren.”
“Gah! Kamu bahkan belum minum dan kamu sudah terdengar seperti mabuk.” Heavy Warrior membuat gerakan menyudahi layaknya sedang memarahi bayi, kemudian mengangkat gelas bir putih miliknya. “Sekarang kita harus bersulang! Kita kembali dari petualangan. Makan dan minum sepuasmu anak-anak!”
“Wooh! Daging! Daging!”
Bocah Scout dan Knight Wanita  bersulang dan menghanyutkan diri mereka sendiri pada makanan dan minuman, rekan mereka memperhatikan mereka dengan ekspresi lelah namun mulai memakan makanan mereka sendiri.
“Akhirnya pulang...”
“Benar, kerja bagus, hari ini?”
“Pastinya! Kerja bagus.”
Dengan denting lonceng di atas pintu, yang berikutnya masuk adalah pria kuat dan berhati besar membawa sebuah tombak dan seorang wanita cantik nan aduhai.
Spearman dan Witch duduk di kursi mereka, rasa kepuasaan atas pekerjaan yang telah diselesaikan terhias di wajah mereka.
“Nona yang di sana, kami ingin memesan!”
“Baik, pak! Selamat datang kembali!” Pelayan padfoot bergegas menuju meja mereka, seraya Spearman melambaikan tanganya ke udara. “Pesan apa?”
“Untukku... Hmm, Anggur, dan, bebek, tumis. Apa, ada?”
“Aku... daging kaki sapi—dengan tulangnya dan di panggang. Dan sake apel.”
“Oh, apel...” Witch bergumam, menyipitkan matanya, bibirnya terbuka dengan rasa ingin, namun dengan cepat tertutup kembali.
Spearman mengangkat bahunya. “Kamu mau?”
“Tidak, per—“
“Kasih juga dia beberapa apel panggang,  dan untukku juga.”
“...Hrmm.”
“Baik, saya sudah mencatat pesanannya.”
Meskipun berdasarkan penampilan mereka, mereka terlihat cukup manis. Itulah kesan Pelayan Padfoot yang di dapatnya dari Witch, yang duduk dengan bibir cemberut layaknya gadis kecil.
Atau mungkin karena pria ini di sini?
“Oh ya, nona?” Spearman berkata.
“Ya?”
“Apa Gadis guild masih di sini?”
Runtuhnya kesan Pelayan Padfoot tentang mereka.
Pelayan Padfoot merasakan tenaganya menghilang dari tubuhnya, namun dia tetap berusaha berdiri. Berhadapan dengan Spearman, yang menggunakan ekspresi serius. Dia membelai poninya ke samping dan menghela napas. Dia sangat yakin Gadis Guild masih bekerja. Sang pelayan sangat mengetahui hingga seberapa larutnya Gadis Guild bekerja.
“...Yeah, sepertinya dia masih ada di sini.”
“Yessss!”
Witch dan Pelayan Padfoot memperhatikan tanpa antusiasme kepada Spearman seraya dia mengepal tanganya dan berteriak girang.
Astaga, padahal dia sudah ada wanita cantik tepat di sampingnya... adalah komentar yang sebaiknya tetap dia simpan sendiri.
Adalah urusan masing-masing akan kepada siapa mereka harus jatuh cinta.
Akan tetapi, jika di pikir bahwa petualang “perbatasan terkuat”, seseorang yang memiliki kemampuan hingga dapat mempermalukan ksatria ibukota, ternyata seperti ini...
Dia akan lebih keren kalau dia tetap menutup mulutnya.
Pelayan Padfoot pergi dengan sedikit merasa tidak nyaman seraya dia memikirkan itu, jika kamu mempelajari alasan setiap orang menjadi petualang, tentunya akan mengecewakan seperti ini.
Yah, aku rasa walaupun begitu, dia mudah di ajak berteman.
Itu tentunya lebih baik di banding menjadi terlalu penyendiri—benarkan? Dengan pikiran itu, Pelayan Padfoot bergegas menuju dapur.
“Anggur, bebek tumis, daging kaki sapi dengan tulang di panggang, sake apel. Dan dua apel panggang!”
“Oke! Bawakan minuman mereka dulu!”
“Baik, pak!”
Koki rhea berteriak dengan suara yang berbanding terbalik dengan ukurannya yang kecil. Pelayan Padfoot merespon dengan teriakan yang sama.
Ketika dia membawa minuman mereka berdua, mereka menawarkam senyuman dan sebuah “terima kasih,” dan memberikannya uang.
“Baiklah, ini untuk kencan kita.”
“Ya. Selamat, minum.”
Seolah selaras dengan denting elegan gelas mereka, lonceng kembali bergoyang.
“Ca-capeknya...”
“Ayolah, jalan yang benar! Ihhh!”
Dua petualang pemula muda datang masuk, dengan gambaran akan kelelahan dan kepenatan.
Apprentice Priestess memapang Rookie Warrior ke kursinya, kemudian mengelap keringat yang ada di dahinya.
“Entah kenapa aku ng-nggak merasa ingin makan...”
“Yah, sayangnya kamu harus tetap makan!”
Tiba-tiba, gadis itu mendengak setelah memarahi bocah itu, yang terlihat akan tertidur detik ini juga.
Matanya bertemu dengan Pelayan Padfoot, dan petualang gadis itu tersipu.
“Oh, Ma-maaf. Umm... Tolong satu mangkuk havermut, dan roti untuk dua orang...” (TL Note : Havermut = oatmeal atau . Aku juga baru tahu.... -_-)
“Baik, mbak!”
“Oh, dan air!”
“Siap!”
Dia melangkah menuju dapur dan menyampaikan pesanan mereka. Koki Rhea mengangkat alisnya.
“Oke! Bawa bersama dengan daging panggang. Hmm, kemana cukanya tadi?”
“Aku tahu, aku tahu. Oh, cukanya ada di rak di belakangmu.”
Seraya koki menyeringai dan berputar, Pelayan Padfoot menunjuk pada salah satu rak. Sang koki mengambil sedikit keju dan menaburkannya di atas piring bersama dengan sebuah roti, kemudian mengangguk puas.
“Oke, aku bawa ini kalau begitu!”
“ya!”
Pelayan Padfoot meletakkan piring berminyak yang mendesir kepada Spearman Dan witch dan mereka memberikan ucapan terima kasih. Kemudian Pelayan Padfoot bergegas pergi menuju tempat di mana seorang bocah dan gadis duduk, Apprentice Priestess berkedip melihatnya.
“Huh? Maaf, kami nggak memesan ini...”
“Nggak apa-apa, makan saja.” Pelayan Padfoot memberikan lambaian tangan, menunjuk pada keju dengan satu jari berambut. “Lagipula, sebentar lagi akan datang seseorang yang sangat menyukai keju itu, dan kami harus mengeluarkan persediaan yang baru. Jadi persediaan yang lama harus di habiskan!”
“Te-terima kasih.”
“Ahh. Terima kasih kamu sudah membantu kami!”
Setelah sukses  mengantarkan semua pesanan, Pelayan padfoot pergi menuju sebuah dinding dan menghela lega.
Keriuhan para petualang di dalam rumah makan mulai membuat telinganya berdenging.
Mereka sedang menikmati diri mereka sendiri, tertawa, berteriak, dan bernyanyi, dan setelah makan dan minum, mereka akan melanjutkan kegembiraan mereka.
“Mm.” Pelayan Padfoot merasa terpuaskan hanya untuk berdiri di sana dengan tangan di lipat, memperhatikan mereka.
Kemudian...
“Aduuhhhh aku capek banget! Aku mau makan dan aku mau langsung tidur!
“Banyak sekali goblinnya tadi ya?”
Lonceng berbunyi kembali, dan lima orang masuk. Pada barisan depan party, membuka pintu dengan keras, adalah seorang high elf ranger. Seorang priestess akan Ibunda Bumi mengikuti di belakangnya.
“Yah, sebuah pesta setelah pertarungan itu sudah seharusnya. Minum, makan, dan bersenang-senang, dan kemudian tidur—bisa di bilang, ini untuk mengenang musuh kita.”
“Benar, tapi Beardcutter akan pergi berburu goblin lagi besok, kan? Dia sedikit gila kerja...”
Kemudian datang lizardman dengan langkah sigap dan berat dan dwarf pembaca mantra dengan tubuhnya yang pendek.
Dan kemudian yang terakhir dari mereka, datang.
“Ya.” Sang petualang berkata datar seraya dia melewati pintu. Semua orang di rumah makan meliriknya.
Armor kulit kotor, helm yang terlihat murahan, sebuah perisai bundar terikat di lengannya, dan pedang dengan panjang yang tidak biasa pada pinggulnya.
“Kita perlu uang,” Goblin Slayer berkata pelan.
“Maafkan aku. Kalau saja aku mempunyai stamina yang lebih...”
Kemudian High Elf Archer menyela seolah akan membela Priestess yang terdengar kecewa.
“Hei, nggak usah di khawatirkan. Biarkan saja petualang lain yang mengurusnya.”
“Kalau nggak ada goblin, kita akan mempertimbangkannya.”
“Ihhh, kamu memang selalu begitu.” High Elf Archer melihat langit-langit dengan lelah, mengepak telinganya.
“Halo, selamat datang!”
Pelayan Padfoot berlari kecil mendatangi pintu masuk, menyambut para petualang dengan senyuman ceria.
Terdapat banyak petualang liar dan jahat, namun orang-orang ini memiliki kelembutan yang terlahir dari pengalaman—salah satu dari mereka adalah tingkat Silver. (TL Note: Bukannya mereka semua tingkat silver ya? Terkecuali priestess.)
Oleh karena itu merupakan hal yang wajar bahwa dia ingin melayani mereka dengan senyuman,
“Oh-ho,” Penengah mereka, Lizard Priest, berkata dengan gulungan matanya. “Bagaimana dengan ma’anannja Nona Pelajan? Se’arang saja ingin memesan beberapa kejoe...”
Pelayan Padfoot mengeluarkan tawaan kecil mendengar nada muram itu. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa lizardman ini sangat menyukai segala macam jenis keju.
“Bagaimana dengan ‘alian?”
“Hmm, Aku ingin—apa itu?—yang tipis-tipis itu, Pasta? Aku mau itu,” Kata High Elf Archer.
“Oh, um, jangan yang terlalu berat untukku...” Gumam Priestess.
“Itu saja?” kata Dwarf Shaman. “Apa cuma aku di sini yang benar-benar mempunyai selera makan! Daging, aku mau daging! Dan anggur kuat yang enak.”
“Benar! Sesoeatoe dengan daging.” Timpal Lizard Priest.
Rok pelayan sedikit menggelombang seraya dia berputar melihat pada petualang terakhir.
“Pak, menu spesial kami hari ini ikan tombak! Di tangkap di kota air dan di panggang selagi masih segar!” (TL Note : https://id.wikipedia.org/wiki/Esox )
Dengan bumbu yang pas, di masak sempurna, dan tentu saja, di tambah dengan talenta koki yang sudah tidak di ragukan. Pelayan Padfoot memberi tahu semua ini layaknya ini sebuah tantangan, membusungkan dadanya yang berukuran sedang seraya ingin memancing sebuah respon.
“Jadi bagaimana?”
Merupakan cara bicara yang sedikit kurang sopan kepada pelanggan, namun Pelayan ini tidak menganggap pria ini sebagai pelanggan untuk saat ini.
Dia menatap pria itu, menolak untuk melepaskannya, dan dia mengira bahwa dia bisa melihat sebuah mata merah di balik helmnya,
“Nggak,” Goblin Slayer berkata. “Hari ini nggak dulu.”
*****
“Kenapa sih dia? Apa dia gila?”
“Yah, aku nggak tahu soal itu...”
Pelayan Padfoot memotong respon murid magang dengan menghantam tinjunya ke meja.
“Maksudku bukannya petualang seharusnya membunuh naga dan minum anggur dan tertawa seperti fwa-ha-ha-ha-ha! Itu pekerjaan mereka, kan?”
“Memang benar ada beberapa yang seperti itu,” Sang murid menerima argumen gadis itu dengan senyum ironis, kemudian menusukkan garpu pada sebuah ikan tombak di atas piring yang masak sempurna sudah mulai sedikit mendingin, namun masihlah lembut dan lezat. Terdapat beberapa lemon dan bumbu lainnya yang tertabur di atasnya, memberikannya sebuah aroma samar jeruk yang membuat mulutnya meleleh.
“Ngomong-ngomong, terima kasih makanannya, mm, ini enak. Sudah lumayan lama semenjak aku makan ikan.”
“Aku cuma nggak mau membuang makanan yang sudah dingin. Jangan salah paham.”
“Aku senang melihat kamu nggak berusaha mengatakan itu untuk menutupi rasa malumu atau sesuatu.”
Sejak kapan rutinitas sehari-sehari Pelayan Padfoot membawa beberapa makanan—makanan sisa—ini di mulai?
Telah larut malam, semua petualang telah pulang ke penginapan mereka, dan dia dengan masih menggunakan seragam kerjanya, membersihkan rumah makan.
Seraya gadis itu bersiap pulang, dia mengintip ke dalam bengkel, di mana bocah magang sendirian, menjaga api.
“Sedang apa kamu?” dia bertanya padanya, dan bocah itu berkata, “Kita nggak bisa biarkan apinya memudar.”
Tentu saja, itu semua hanyalah sebuah dalih; dengan mata tajam gadis itu, dia melihat bocah ini sedang membuat belati.
Masuk akal. Bocah itu bekerja di siang hari, karena itu dia harus meluangkan waktunya untuk berlatih.
Untuk Pelayan Padfoot, ini merupakan kesempatan yang sempurna, memberikannya makanan sisa terlihat seperti hal yang logis untuk di lakukan.
“Orang yang bisa makan, harus makan.”
“Aku rasa itu ucapan berkontrakdiksi...”
“Itulah kenapa ini membuatku begitu marah ketika orang-orang menghiraukan makananku!” Pelayan Padfoot berkata menunjukkan kemarahannya dengan mengayun kuat ekornya. Tidaklah seberapa jelas sebanyak apa murid itu mengerti arti gerakan unik padfoot ini.
Apa kamu mengerti kalau ini berkatian dengan kehormatanku sebagai pelayan? Aku penasaran apa kamu paham sama logikaku!”
“Yah....” Sang murid menggaruk malu satu pipi dengan jari. “...Aku rasa aku nggak akan suka kalau senjata yang aku buat di lempar kemana saja.”
“Aku rasa begitu.”
“Pria itu melempar pedangnya ke semua arah,” sang murid menggerutu. Dan pedang sial itu bahkan bukan buatan sang murid—dia belum mendapatkan ijin untuk memasang hasil pekerjaannya di toko—melainkan buatan bosnya.
“Bos bilang, ‘Cuma kamu satu-satunya yang bisa terpuaskan dengan pekerjaanmu sendiri.’”
“Yah, aku mau orang aneh itu mencoba makanan di rumah makan kami.”
“Bukan berarti dia nggak makan, kan?”
Justru itu!” Pelayan Padfoot merosot di atas meja bengkel yang telah di lap hingga mengkilat. Meja itu menekan dadanya, dengan itu, sang bocah mengalihkan pandangannya sesantai yang dia bisa. “Setelah petualangannya, biasanya dia nggak makan.”
“A-aku rasa aku mendengar orang-orang nggak makan sebelum mereka pergi...”
“Aww, sial. Mungkin dia nggak menyukai menu kami...”
Kamu terganggu sekali dengan ini,” Mata sang murid melirik ke bawah, dan dengan cepat melirik ke atas kembali, pipinya tersipu. “Kenapa?”
“Maksudku, dia nggak sering datang ke rumah makan kami, kan?” dia berkata, sepertinya tidak menyadari tatapan mencuri sang bocah. “Sudah berapa lama sih dia ada di sini?”
“Sekitar lima tahun, mungkin?”
“Aku nggak tahu...”
Bagi Pelayan Padfoot, pertanyaan seperti kapan petualang itu muncul merupakan hal sepele, jika seseorang memperhatikan hal semacam itu, maka seseorang itu juga akan mengingat kapan petualang itu menghilang. Sekali kamu mulai merisaukan permasalahan seperti itu dengan cukup lama, kamu akan kalah. Akan lebih baik memusatkan semua energimu untuk menyambut orang-orang yang ada di sini sekarang. Pelayan Padfoot telah mempelajari hal ini pada tahun pertamanya.
Kalau di pikir lagi, bukannya resepsionis itu mulai muncul sekitar lima tahun yang lalu?
Pelayan Padfoot terbaring di sana, dada di atas meja, bergumam, “Hmm...”
Sang murid berusaha untuk tidak melihatnya, namun entah mengapa terus berusaha melirik kepada gadis itu. Matanya bergerak ke kanan, kemudian kiri, lagi dan lagi, hingga akhirnya matanya terfokus pada satu titik.
“Oh!”
“Apa?” Pelayan Padfoot melonjak, matanya menatap bocah.
“Aku nggak tahu apa ini benar atau nggak,” bocah berkata dengan anggukkan, “tapi aku dengar dia suka rebusan daging.”
*****
“Rebusan daging, ya?”
“Iya!”
Berdiri di depan panci besar, Pelayan Padfoot membusungkan dadanya, di sampingnya, koki berdiri di atas sebuah anak tangga untuk melihat ke dalam panci, melipat tangan dan bergumam, “Hmm.”
“Maaf, pak. Kamu sampai harus mengajariku segala.”
“Yah, kalau kamu belajar untuk memasak, aku juga jadi lebih mudah sedikit.”
“Aw, jangan ngomong seperti sudah tua begitu, pak.”
“Aku rasa mungkin umurku memang yang berbicara. Aku sering mengoles mentega terlalu tipis.”
“Maksudmu semangatmu?”
Badanku Rasanya seperti di tarik dan di bentangkan.” Dengan sebuah “permisi,” sang koki menyendok rebusan dan mencicipinya. “Mm, nggak jelek. Biarkan mendidih sebentar lagi.”
“Baiiik!”
Ini akan menjadi kunci kemenangan baginya.
Sang koki melirik pada Pelayan Padfoot seraya dia meneriakkan “Yay!” dan bergumam.
“Tapi aku penasaran bagaimana pendapat para petualang...”
“Huh?” Gadis terkejut. “Apa nggak enak?”
“Eh, bukan itu.” Jika koki mengatakannya, kemungkinan koki itu akan terus berbicara tanpa henti. Koki itu menggaruk hidung bulatnya. “Yah, coba di pikirkan dulu.”
“...Sial. kamu akan menyesali hari di mana kamu membuatku berpikir!”
 “Har-har! Lanjutkan.”
Pelayan Padfoot melotot pada bosnya seraya koki melambaikan tangan kepadanya, kemudian Pelayan Padfoot mengembalikan perhatiannya pada panci.
Menatap secara seksama tidak dapat memahami apapun, dan kemudian...
“Oh, wah, aku mencium aroma yang enak di sini...”
Dia mendengar suara yang tidak asing dan dua pasang langkah kaki. Lonceng pintu tidak berbunyi. Pendatang baru itu datang dari tempat lain di dalam bangunan ini.
Pelayan Padfoot menjulurkan kepalanya keluar, mengintip ke luar dapur dan dengan gembira melambaikan tangannya pada dua koleganya.
“Hai! Aku baru saja lagi memasak. Spesial hari ini—Rebusan daging!”
“Oh, rebusan, kelihatannya enak.”
“Oooh, rebusan daging!”
Mereka adalah koleganya—walaupun sebenarnya, mereka adalah pegawai resmi sedangkan dia hanyalah seorang asisten, walaupun mereka bertiga semua bekerja pada satu bangunan Guild.
Namun Pelayan Padfoot tidak mempermasalahkan perbedaan seperti itu, ataupun dia gugup bertemu dengan Gadis Guild dan Inspektur.
“Terima kasih. Huh? Apa kalian sedang makan siang?” Pelayan Padfoot dapat melihat ketika dia melirik ke jendela bahwa matahari sudah melewati puncaknya dan mulai tenggelam di langit. Sudah bukan tengah hari lagi. “Sudah agak terlambat untuk itu.”
“Kami agak kelewatan...”
“Itu nggak bagus. Bagaimana kamu bisa menjaga tubuhmu kalau seperti itu?” Atau mereka sengaja “melewatkan” nya karena...?
Tentunya tidak ada yang salah dengan membiarkan mata tajamnya mengarah pada satu tempat khusus.
“Kamu benar. Aku lapar sekali...” Gadis Guild berkata, memegang perutnya, Pelayan Padfoot membenci perut itu,
Kita harus menggemukkannya.
“Oke, jadi kamu mau coba ini? Kami akan menyajikannya kepada para petualang malam ini.”
“Tentu saja, kalau kamu tidak keberatan,” Gadis Guild berkata dengan senyuman dan mengangguk. Kemudian dia menambahkan, “Oh, tapi...”
“Hm?” Pelayan Padfoot memiringkan kepalanya.
Gadis Guild berkata dengan canggung, “...Aku penasaran apa pendapat para petualang tentang makanan ini.”
“Yeah... kelihatannya agak merah seperti darah,” Inspektur berkata dengan anggukan.
“Oh...”
Setelah mereka menyinggungnya, Barulah Pelayan Padfoot menyadari maksud mereka. Rebusan itu, yang mengandung tomat, berwarna merah kehitaman, potongan daging menggelembung di dalam rebusan.
Seraya Pelayan Padfoot berdiri di sana bergumam pada dirinya sendiri, dia merasakan sebuah tangan kecil memukulnya dari gelakang.
“Yeek!”
“Maaf nona-nona, tolong jangan ganggu pelajaranku.”
Itu adalah, tidak di ragukan lagi, sang koki. Pria baruh baya yang muncul dari samping mereka memberikan tepukan marah pada perutnya, dan mengenakan ekspresi serius. “Aku berharap agar gadis itu menyadarinya sendiri.”
“Oh, maafkan kami.”
Gadis Guild tertawa kecil dan menunjuk pada rebusan, dan berkata, “Sebagai permintaan maaf, kami akan makan siang di sini.”
“Harus dong—makan yang banyak! Apa rebusan sudah cukup?”
“Oh, baiklah. Hmm, kalau begitu roti dan... apa bisa pesan teh hitam?”
“Dan tambah selai yang banyak!”
“Dengan senang hati!”
Gadis guild dan Inspektur membuat pesanan mereka; Koki Rhea memberikan jawaban bersemangat dan mengencangkan ikatan celemeknya.
“Oke kalau begitu, jangan cuma berdiri di sana—kerja, kerja!”
“Errrgg—baik, pak!”
Semua sudah terlanjur sekarang. Makanan itu telah selesai, dan siapapun yang mau memakannya akan memakannya.
Pelayan Padfoot bergegas melakukan tugasnya, dan dengan itu malampun tiba.
Ketika matahari telah terbenam, para petualang membanjiri rumah makan seperti biasanya.
Seperti yang sudah di duga, tidak banyak yang memesan rebusan daging itu.
Apakah mereka tidak menginginkannya setelah selesai berpetualang? Akan tetapi menyajikan rebusan daging di pagi hari terlihat agak....
“...Mungkin ini akan berhasil kalau di pasang pada menu sarapan pagi.”
Dia menyibukkan dirinya dengan pikiran optimis ini hingga akhirnya salah satu petualang datang mendekat dengan langkah sigap.
Dalam sesaat, setiap mata di rumah makan berputar padanya, dan perbincangan berhenti, tapi tidak lama kemudian kembali di lanjutkan.
Armor kulit kotor, helm yang terlihat murahan, perisai bundar kecil terikat di lengannya, dan pedang dengan panjang yang tidak biasa pada pinggulnya.
Dia berjalan melintasi bangunan guild, berjalan keluar. Dia bahkan tidak melihat mengarah rumah makan.
Mana mungkin aku biarkan kamu pergi begitu saja!
Pelayan Padfoot berlari untuk berdiri tepat di depannya dan menunjuk dengan jarinya.
“Pak, menu spesial kami hari ini adalah rebusan daging!”
“Benarkah?”
“Apa ada yang anda ingin memesannya?!”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata. “Hari ini nggak dulu.”
*****
“Aku pikir kamu bilang dia suka rebusan daging!”
“Aku bilang itu cuma sesuatu yang aku dengar.”
Tengah malam.
Dengan kurangnya pencahayaan lampu. Murid Magang terlihat senang mangkok sup rebusan daging yang gadis itu bawakan untuknya.
Sebenarnya ini tidak membuat Pelayan Padfoot tersinggung, namun dia tetap saja mengerucutkan bibirnya dan melotot padanya.
“Ooh, potongan kentang. Mantap.”
“...Kamu yakin kamu nggak bilang begitu karena kamu ingin rebusan daging?”
“Mana mungkin, yah, mungkin sedikit.” Murid Magang tersenyum padanya.
Daging yang telah di rebus dengan baik sangatlah lembut hingga kamu dapat memotongnya dengan sendok. Sangatlah terasa pas ketika dia menggigitnya. Dan setiap kali dia menggigitnya jus daging muncrat dari dalamnya, dan di tambah dengan minyak dan sup yang masih terasa lezat walaupun sudah sedikit dingin.
Untuk sayurannya—dia menyukai yang besar dan berat.
“Jadi, kamu lagi apa?”
“Aku mengumpulkan serbuk-serbuk dari hasil pengasahan tadi.”
Pelayan Padfoot memperhatikannya dengan penuh rasa tertarik, dan bocah itu menjawab seraya dia memberikan mangkuk itu kembali kepada sang gadis.
Dia menyapu pada sudut bengkel tempa dengan sebuah sapu, seraya berpikir.
“Serbuknya banyak, bahkan dari pisau.” Dia tidak membahas bahwa beberapa orang menganggap pedang adalah tidak lebih dari sekedar pisau berukuran panjang.
Pengasahan di lakukan dengan menggosok metal dengan sebuah batu asah berbentuk roda, karena itu proses ini menghasilkan banyak serbuk metal. Memastikan serbuk ini benar-benar di bersihkan adalah salah satu dari sekian banyak pekerjaan penting  seorang murid.
Tapi yang aku benar-benar inginkan itu segera melakukan penempaan...
Sebagai seorang murid, dia masih belajar. Tentunya, tidak ada orang yang akan mempercayakan semua produksi senjata dan armor penting kepadanya.
Karena itu, dia percaya, dia harus hanya mencurahkan segala kemampuannya pada setiap tugas yang di berikan kepadanya.
Bukannya aku nggak mengerti sih—adalah perasaan melihat upaya yang kamu lakukan benar-benar di hiraukan.
Bagaimana jika dia memajang senjata yang dia buat—di masa depan, tentunya—dan senjata itu di hiraukan begitu saja?
“Paling nggak kamu harus tahu kenapa, kan?” Bocah  bertanya.
“Yeah, benar banget! Aku nggak bisa menerimanya seperti ini—penerimaan itu sangat penting!”
“Hmmm,” Sang murid bergumam, tangan di lipat. Kemudian dia membuka lipatannya dan menepuk tangan berteriak. “Hei, itu dia!”
“Ada apa? Punya ide, O master penempa masa depan? Kasih tahu aku!”
Seraya Pelayan Padfoot mencondongkan tubuh mengarah padanya, sebuah aroma wangi akan sesuatu tercium dari rambutnya. Adalah aroma masakan dapur, aroma rerumputan yang merupakan khas dari sabun Para Padfoot—dan sesuatu yang lainnya, sesuatu yang manis, Murid Magang menelan liurnya dan melambaikan tangan.
“Ta-tanya saja! Tanya seseorang yang lebih tahu.”
“Apa, maksudmu seperti koki di dapur?”
“Bukan,” dia berkata. “Maksudku gadis kebun itu.”
*****
“Apa? Rebusan?”
“Uh-huh!”
Sudah lewat pagi hari, pada pintu masuk pengiriman di belakang Guild.
Gadis Sapi menurunkan isi muatan dengan “Hhup!” dan sekarang dia berkedip pada Pelayan Padfoot.
Dada besarnya memantul seraya dia menghela napas dan mengelap keringat dari dahinya.
Pelayan Padfoot sangat menyadari bahwa dadanya sendiri berukuran sedang—sebenarnya, mungkin sedikit lebih dari sedang, tentunya tidak kecil. Tapi tetap saja...
Mungkin dadanya penuh dengan susu?
Dia tidak dapat menjauhkan pikiran kotor itu yang terlintas di pikirannya.
Berdasarkan gosip di kantor, Gadis Guild bekerja tanpa henti untuk menjaga bentuk tubuhnya—Dalam hal itu, Bentuk tubuh Pelayan Padfoot masihlah wajar.
“Aku yakin kamu lebih jago memasak dari aku.” Gadis Sapi tersipu dan memainkan jarinya dengan canggung di depan dadanya. “Aku cuma mengetahui masakan yang bisa di buat di rumah...”
“Ini bukan masalah kamu pintar memasak atau nggak.” Pelayan Padfoot duduk di atas sebuah drum dengan gerakan yang ringan layaknya kucing. Pena di jarinya berdansa di atas resi yang di pasang pada papan jepit di tangannya. Urusan uang adalah pekerjaan para staff penerima, namun pemeriksaan pesanan adalah pekerjaannya.
“Aku tahu aku selalu bertanya ini, tapi apa kamu yakin kamu nggak mau lihat isi dalamnya?”
“Hidungku tahu. Jadi nggak masalah.”
Pelayan Padfoot mengeluarkan tawaan kecil bangga dan membusungkan dadanya yang menempel di celemeknya dengan bangga. Mengetahui, bahwa tentu saja dia tidak bisa menang melawan kontes itu, dengan cepat dia melambaikan tangannya mengubah topik pembicaraan.
“Seperti yang aku bilang. Ini bukan tentang kamu bisa masak. Ada satu petualang yang nggak makan, dan aku kesal memikirkannya.”
“Ada petualang yang nggak makan?”
“Kenapa?”
“Nggak...” Gadis Sapi memberikan senyum pasrah dan menggaruk pipinya. “...Dia nggak bermaksud jelek.”
“Justru itu permasalahannya!”
“Hmmm...” Gadis sapi terdengar sedikit bingung mendengar Pelayan Padfoot yang bersikeras. Dia mengelap keringat yang mulai mengucur dengan lengannya, kemudian duduk di atas kotak terdekat.
Dia membiarkan kakinya menggantung, kemudian menatap Pelayan Padfoot.
“Itu saja?”
Bagi seorang manusia atau sejenisnya, nadanya tidak terdengar berbeda dengan biasanya. Namun tidak bagi Pelayan Padfoot. Telinga tajamnya mendeteksi adanya sedikit getaran pada suara Gadis Sapi.
“Itu saja apanya?” Dia memiringkan kepalanya, berpura-pura tidak menyadari apapun.
“Yah, um, kamu tahu.” Gadis Sapi tidak dapat mengutarakan kalimatnya, matanya melirik kesana dan kesini. Dia mengambil napas dalam. “...Apa kamu mau memberikannya kepada seseorang yang kamu sukai atau bagaimana?”
“Ohhh, nggak, bukan seperti itu.”
Pelayan Padfoot tertawa gembira dan melambaikan tangan seolah dia baru saja mendengar lelucon bodoh.
“Aku nggak punya seseorang yang perlu aku masakin selain para pelanggan...”
Tangannya berhenti bergerak.
Yah, mungkin satu orang.
Sebelum dia menyadarinya, wajahnya menunduk, dan dia menutupnya dengan satu tangan.
Terdapat satu orang yang selalu dia berikan makanan yang telah di buatnya.
“...Aku rasa aku mungkin perlu memberikan sesuatu pada pria itu di bengkel.”
“...”
Gadis Sapi melihat dengan seksama pada wajah Pelayan Padfoot. Mata merah mudanya terlihat seperti terpaku pada gadis padfoot.
“Ad-ada apa...?” Pelayan Padfoot bertanya, tapi untuk sesaat, Gadis Sapi tidak mengatakan apapun.

“...Yah, okelah kalau begitu,” dia berkata acuh setelah beberapa saat, dan Pelayan Padfoot mendapati dirinya sendiri menghela. “Aku kasih tahu kamu. Kamu punya sesuatu untuk menulis?”
“Ini,” Pelayan padfoot berkata, membalikkan kertas. Dia memegang penanya dan berkata, “Langsung.” Gadis Sapi tersenyum tidak berdaya.
“Umm, oke. Cara kamu membuatnya....”
Dan kemudian dia menjelaskan resep secara detil.
Rebusan, benar-benar, hanya sebuah potongan daging yang di rebus, bukan sebuah sup. Namun makanan yang dia jelaskan menggunakan banyak susu. Dengan kata lain, kesan yang di dapat adalah...
“Benar-benar...biasa banget?”
“Benar,” Gadis Sapi mengangguk dengan senyuman. “Benar-benar biasa.”
“Maksudku, ini cuma rebusan biasa, kan?”
“Benar.” Dia berkata, tidak membiarkan senyum lepas dari wajahnya. “Cuma rebusan biasa.” Bisa di bilang, ini di luar dugaan.
Sang pelayan sangat yakin bahwa terdapat sesuatu yang lebih...ciri khas dari resep ini. Dia menggaruk kepalanya dengan ujung pena.
“Apa ini semacam resep turun temurun dalam keluargamu selama beberapa generasi?”
“Ha-ha-ha. Aku rasa iya, kurang lebih.” Gadis Sapi tersenyum ringan dan melompat turun dari kotak. Dia menepuk tangannya untuk membersihkan debu, kemudian meregangkan tubuhnya, menonjolkan dada besarnya. “Tapi aku nggak mempelajarinya dari ibuku...walaupun aku berharap aku bisa mempelajari darinya.”
Pelayan Padfoot memiringkan kepalanya mendengar gumam kecil itu.
“Dari saudaramu kalau begitu?”
“Dari tetangga.” Gadis Sapi mendongak ke atas pada langit biru dan menyipitkan matanya. Angin mengalir melewati rambut merahnya. “Wanita yang lebih tua yang tinggal di sebelah rumah.”
*****
“Halo, selamat datang!”
“Heyo. Berikan kami tiga bir putih dan dua air lemon—sebagai pembukanya!”
“Baik!”
“Dan, uh...eh tiga piring kentang kukus juga. Untuk lima orang!”
“Segera datang!”
Rumah makan pada senja hari. Pelayan Padfoot merajut langkahnya kesana kemari di antara para petualang yang sedang bercakap.
Ramai seperti biasanya. Dengan wajah-wajah yang sama. Mengagumkan sekali.
Hari lainnya di mana mereka dapat kembali pulang memakan makanan dan meminum minuman lezat sangatlah cukup untuk memotivasi semua orang.
“Pesanan datang, pak!”
“Oke. Jangan sampai makanannya dingin—atau kamu jatuhkan!”
Itu merupakan balasan favorit Koki Rhea.
Gadis itu melirik ke dapur, di mana sebuah sup mendidih dengan berisik, panci penggorengan berdesis, dan sebuah pisau berdansa di atas sayuran.
Dan tentu saja, sang koki berada di tengah semua itu, lengan pendeknya bergerak tanpa henti.
Dia melakukan banyak banget dengan tubuh kecil itu.
Pelayan Padfoot tak pernah lelah melihat sang koki, walaupun dia melihatnya setiap hari.
Ketika piring telah keluar, Pelayan Padfoot menumpuknya di atas kedua lengan, seraya melihat panci yang ada di dalam dapur.
“Apa nggak apa-apa? Nggak terlalu mendidih?”
“Apa, kamu ngajarin aku cara memasak? Kamu yang punya pengalaman kuliner seperti anak umur lima tahun!”
“Aku tahu, aku tahu. Cuma memastikan saja.”
Merasakan adanya ceramah yang tidak akan berhenti, Pelayan Padfoot melurukan ekor dan roknya dan bergegas pergi.
Ini selalu merupakan waktu favorit Pelayan Padfoot di dalam rumah makan.
Dia dapat menyambut para petualang seraya mereka datang pulang, melihat kelegaan mereka saat berhasil kembali.
Terdapat juga para petualang yang tidak dapat kembali pulang. Pelayan Padfoot percaya bahwa mereka sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat.
Dimana dan apa yang terjadi pada para petualang, hanyalah orang-orang paling berani yang mengetahuinya...
“...Mmm?”
Telinga Pelayan padfoot tiba-tiba berkedut. Telinga itu telah mendeteksi adanya langkah sigap, kasar, tidak peduli yang semakin mendekat.
Armor kulit kotor, helm yang terlihat murahan, perisai bundar pada lengannya, dan pedang dengan panjang yang tidak biasa di pinggulnya.
Dan dengan kedatangan Goblin Slayer, tentu saja, rumah makan menjadi terdiam dalam sesaat.
“Pak?!”
“...Resepsionis bilang padaku untuk mampir di rumah makan.” Helm besi itu sedikit miring mendengar suara terkejut yang terlepas dari bibir Pelayan Padfoot. “Ada apa? Apa ada goblin yang muncul di sini?”
“Oh, bukan! Pak, Tunggu sebentar di sini.”
“Baiklah.”
Meninggalkan pria aneh yang mengangguk di tempat dia berdiri, Pelayan Padfoot bergegas menuju dapur.
“Oh— Oh-ho! Kenapa lagi sekarang?”
“Buatkan aku makanan pak! Yang kecil saja!”
“Bilang itu sama orang yang mencuci piringnya!”
“Itu aku!”
Dia mengambil hidangan dari perkakas rak seraya saling berkoar. Dia beberapa kali menyendok rebusan masuk ke dalam hidangan, kemudian bergegas kembali ke rumah makan agar dia dapat menyajikannya selagi panas.
“Cicipan!” (TL Note : Saya asli ngarang “cicipan”, saya nggak tahu apa ini ada dalam bhs indo atau nggak. Inggrisnya pada dialog ini “taster”. Yang seperti makanan buat di cicipi yang sering di bawa sales2 di dalam mall.)
“...” Goblin Slayer melihat penuh ragu pada hidangan yang di tawarkan Pelayan Padfoot di depannya. “Rebusan?”
“Benar!”
“Untuk aku cicipi?”
“Benar sekali!”
“...Begitu.”
Dengan enggan dia mengambil hidangan itu, namun dengan ahlinya menelannya melewati celah helm miliknya.
Hancurnya harapan Pelayan Padfoot yang mengira adanya kemungkinan dia untuk melepas helmnya selagi dia makan. Tapi...
Goblin Slayer mengeluarkan suara terkejut samar “Mm.”
Telinga pelayan itu tidak lebih baik di banding seorang elf, namun suara itu tidak lepas dari pendengarannya.
Dia telah berhasil. Sebuah senyum anggun terhias pada parasnya seraya dia bertanya dengan bangga, “Bagaimana menurutmu? Cukup enak, kan?”
“Ya,” Goblin Slayer mengangguk. “Lumayan.”
“Yeeeeeessss!!”
Dia mendapati dirinya sendiri meninju kepal tangannya ke udara dan bersorak kemenangan. Dia bahkan tidak mempedulikan petualang lainnya yang melihat dirinya, berusaha untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
“Yes! Mantap! Aku berhasil!” dia berputar-putar, ujung dari roknya menggembung, kemudian berkata dengan riang, “Jadi kamu makan di sini malam ini, kan pak? Apa pesananmu? Rebusan?”
“Nggak,” Goblin Slayer berkata. “Hari ini nggak dulu.”
“Apa?! Kenapa?!”
Pelayan Padfoot begitu terkejut sehingga membuatnya hampir menjatuhkan hidangan, dan dia berusaha untuk tidak menjatuhkannya. Goblin Slayer berkata, “Seseorang sedang menungguku.”
Jawabannya singkat, datar dan dingin, hampir mekanikal.
Namun Pelayan Padfoot berkedip mendengar ucapannya. Dia menatap seksama helm itu.
Dalam pikirannya, sebuah mata merah membara menatap balik dari dalam helm itu yang tumpang tindih dengan, mata merah muda lainnya.
Oh...
Jadi seperti itu.
“Ada apa?” Goblin Slayer memiringkan helmnya penuh tanya melihat Pelayan Padfoot, yang tiba-tiba tersenyum.
Pelayan Padfoot baru menyadarinya sekarang. Melihatnya seperti ini, sudah tidak di ragukan lagi.
“Nggak apa-apa. Aku cuma berpikir kamu nggak bermaksud jelek pak.”
“Begitukah?” Goblin Slayer mengangguk sigap dan kemudian berkata, “Apa sudah selesai?”
“Saya rasa sudah.” Pelayan Padfoot berkata, yang di mana Goblin Slayer menjawab, “begitukah?” Kemudian berputar. “Kalau begitu, aku pergi.”
“Baik, senang kamu bisa mencicipi makanan kami.”
“Aku nggak mengerti apa yang kamu maksud.”
Goblin Slayer menggeleng kepalanya dan berjalan melintasi rumah makan dengan langkah cepat dan sigap.
“Hei, Goblin Slayer! Mau bunuh goblin lagi?”
“Gimana kalau sesekali kamu bertarung melawan monster lainnya? Kamu perlu berburu mangsa besar sepertiku!”
“Aww, kamu sendiri hari ini? Nggak priestess kecil imut atau elf seksi itu?”
Menjawab “Ya” atau “Benarkah?” dan semacamnya pada suara ejekkan di sekitarnya, Goblin Slayer membuka pintu.
Dan kemudian, hanya meninggalkan denting lonceng di belakangnya, dia berjalan menuju kota, menuju kegelapan malam.
Yah, itu tidak sepenuhnya akurat.
Petualangannya telah berakhir, dia akan kembali, menuju rumahnya.
“Iihhhh. Kalau ternyata itu maksud dia, dia harusnya langsung ngomong saja!”
Pelayan Padfoot tertawa, menyadari betapa bertepuk sebelah tangan kompetisi yang dia jalani.
Kemudian dia meneriakkan “Baiklah!” dan memberikan pipinya tepukan dengan tangannya yang bertapak seperti kucing.
Teriakan itu membuatnya lega, dan dia mengikat kencang kembali tali celemek miliknya, siap untuk bekerja.
“Menu spesial hari ini rebusan yang terisi dengan seluruh curahan hati dan jiwaku! Ada yang mau?”
Banyak tangan terangkat. Dan orang-orang memanggil. Seraya pesanan demi pesanan datang, Pelayan Padfoot tersenyum dan menulis pesanan mereka, dan menjawab, “Baik!”
Namun dia telah memilih panci yang begitu besar untuk membuat rebusannya. Adalah mustahil akan terjadi: tentunya akan terdapat sisa.
Jika seperti itu...
“Aku bisa menyuruh dia memakannya!”
Jika dia dapat membuat makanan yang dia sukai, dengan cara yang dia sukai, dan memberikannya kepada orang yang dia sukai, itu sudah cukup.
Pelayan Padfoot melangkah cepat di keramaian rumah makan.