AKAN SEORANG BOCAH KECIL
(Translater : Zerard)

“Ayo, mau sampai kapan kamu tidur? Bangun!”
Bocah itu mendengar suara tidak asing kakak perempuannya di dalam udara pagi.
Dia bergerak malas dengan banyak oof dan aaah dan banyak suara tidak jelas lainnya, hingga cahaya menyilaukan menusuk matanya.
Fajar—pagi telah tiba.
“Sudah pagi?!”
Bocah itu turun dari ranjang jeraminya dan meregangkan tubuh.
Dia menghirup udara yang dingin dan nyaman. Sebuah aroma wangi akan sesuatu melintas.
Roti!
Sarapan.
“Kalau kamu nggak buruan dan bangun, nanti sarapannya bakal habis!”
“Aku tahu!” dia membalas teriakan kakaknya, kemudian dengan cepat menganti bajunya.
Jika memang sudah pagi, maka dia tidak boleh membuang waktu lagi, tidak sedetikpun. Di tambah lagi, dia kelaparan.
Saat aku menutup mataku pagi langsung datang—jadi kenapa aku lapar banget?
Mungkin kakaknya mengetahui jawabannya. Dia ingin bertanya, namun sekarang sarapan lebih di utamakan.
“Pagi, kak!”
“Maksudmu mungkin selamat pagi.” dia berkata dengan kesal seraya bocah itu mendatangi dapur ( sekaligus ruang makan, dan ruang tamu—merupakan rumah yang kecil) “Ya ampun, itulah kenapa kita harus meminta dia untuk memperhatikanmu.”
“Hrk... Dia nggak ada hubungannya dengan ini.” Ketika kakaknya menyinggung teman lama bocah yang tinggal di samping rumahnya, bocah itu mengeluarkan ekspresi kesal seperti kakaknya.
Tetangga itu lebih muda darinya, namun gadis itu dapat melakukan hampir segala hal, oleh karena itu semua orang menganggap bocah ini lebih muda dan memberikan tanggung jawab merawat bocah itu kepada sang gadis. Bocah itu akan mengeluh dengan kakaknya tentang hal ini, namun kakaknya hanya tersenyum. Mungkin kamu akan berpikir bahwa seorang kakak perempuan akan sedikit memikirkan perasaan adiknya.
“Sudahlah, makan dulu.”
“....Ya, kak.”
Keluhannya di hiraukan begitu saja, dan dia menyuruh bocah itu untuk duduk di kursi dengan sebuah ayunan sendok besar.
Makanan di meja adalah roti, masih mengepul hangat, dan sebuah sup yang terbuat dari susu. Terdapat telur goreng di hari ketika ayam bertelur, namun itu tidaklah sering terjadi. Favoritnya adalah rebusan, yang hanya dapat mereka buat jika mereka membunuh salah satu dari ayam itu.
Perutnya berbunyi dengan aroma yang lezat.
Dia mengambil sendok, berniat untuk tidak membiarkan satupun menjadi dingin.
“Hei, berdoa dulu!” kakaknya, yang seolah memiliki mata di belakang kepalanya, berkata seraya dia memeriksa sup.
Bocah itu dengan menyesal meletakkan sendok kembali ke meja dan menepuk tangannya.
“O Beliau yang lebih besar dari sungai dan lebih besar dari lautan terima kasih telah memberikan kami pengetahuan untuk mendapatkan makanan.”
“Benar, bagus!”
Merupakan hal yang tipikial dalam desa pionir untuk mempercayai Ibunda Bumi, dan bocah itu bangga pada sebuah fakta bahwa keluarganya berbeda. Kakaknya telah belajar membaca dan menulis dan berhitung pada kuil dewa pengetahuan dan bahkan mulai mengajar di sana. Adalah yang membuat mereka dapat bertahan hidup bahkan setelah orang tua mereka meninggal—dan karena itu, mereka harus berterima kasih kepada dewa.
Tapi... bocah berpikir. Dia menyeruput sedikit sup, kemudian merobek bagian dari roti dan mencelupkannya sebelum memakannya. Aku, aku mau menjadi seorang petualang.
Merupakan hal yang tentunya tidak dapat dia katakan kepada kakaknya.
*****
“Pastikan kamu jangan mendekati hutan bagian timur!”
“Aku tahu!”
“Kembali siang hari dan pergi ke kuil!”
“Aku tahu, aku tahu!”
Dengan teriakan kakaknya dari belakang, bocah itu pergi melewati jalan yang telah di kenalnya sejak lahir.
Yah, mungkin nggak sejak lahir juga...
Di punggungnya berbunyi pedang kayu yang baru -baru saja di berikan kakaknya untuk hari ulang tahunnya. Salah satu permainan favoritnya adalah mengayunkan pedang ini dan berpura-pura menjadi petualang. Tentu saja, di dalam pikirannya dia tidak berpura-pura.
Partyku kurang satu hari ini.
Gadis tetangganya sedang berpergian ke kota hari ini. Tidak adil. Tidak adil sama sekali.
“Aku saja belum pernah ke kota.” Dia menarik pedangnya dan memberikan sebuah tusukan tidak berarti pada semak-semak.
“Bocah! Jangan ayunkan benda itu di mana ada orang di sekitar, berbahaya!”
Tentu saja, petani paruh baya berdiri di pojokam melihat bocah itu dan menegurnya. Dia pasti sedang mengairi ladangnya. Terdengar suara seraya dia meregangkan punggungnya yang membungkuk.
“...Baik, pak.”  Bocah itu mengerti bahwa apa yang dia lakukan akan berdampak pada kakaknya, dan dia menyarungkan pedangnya. “Maafkan aku.”
“Hati-hati.” Menepuk perlahan punggungnya, petani mulai berjalan menjauh dari ladangnya, tersenyum pada istirahat sejenaknya. Dia mendekati bocah dari samping dan menghela napas panjang, mengambil handuk dari pinggul dan mengelap wajahnya. Dia penuh dengan tanah dan debu dan lumpur dan keringat, dan handuk itu dengan cepat bernoda coklat.
“Mana gadis yang sering bersamamu?”
“Dia? Dia lagi di kota hari ini.” Bocah menjawab dengan sedikit nada kesal, namun sang petani mengangguk.
“Begitu? Aku mengerti... Dia gadis manis. Maungkin dia akan mendapatkan beberapa baju bagus di kota. Nikmati penantiannya, bocah.”
“Aku rasa dia nggak terlihat bagus dengan barang-barang mewah.” Dia menggembungkan pipinya, sang petani menepuk kepalanya dengan tangan kotor dan kasar. Melihat reaksi bocah, sang petani tertawa lagi.
“Yah, tunggu sampai kamu melihatnya. Bersiap-siap saja.”
“Hrm...”
“Hei, bocah. Kamu pergi ke kuil di siang hari, kan?”
“Uh-huh. Kakak bilang aku harus belajar.”
“Dia benar soal itu.” Sang petani mengangguk, kemudian mengernyit dan dengan perlahan memukul punggungnya dengan tangan. “Sebenarnya punggungku mulai kambuh. Tolong sampaikan kepada biarawan aku perlu beberapa obat.”
“Baik. Obat untuk punggungmu, oke.”
Bocah mengangguk, dan wajah lusuh petani bersemi menjadi senyuman berkeriput. “Bocah pintar.” Dia berkata. “Oh ya bocah. Kamu sudah di beritahu untuk nggak mendekati hutan timur, kan?”
“Ya, sudah.” Bocah berkata, memiringkan kepalanya. Setelah dia memikirkannya... “Tapi kenapa aku nggak boleh pergi kesana?”
“Apa, kakakmu nggak memberi tahu?”
“Nggak. Aku nggak pernah tanya.”
“Di hutan timur—“ Sang petani melipat tangannya serius, mengeluarkan desahan panjang. “—Ada goblin di sana.”
*****
“Seorang petualang, huh? Apa mereka benar akan membantu kita?”
Di sebuah jalan kasar di luar desa pionir terdapat sebuah hutan gelap dan lebat.
Pada jalan masuk terdapat satu salah satu pemuda desa yang bergetar—walaupun dia berumur lebih dari tiga puluh tahun.
Dia yang dapat berbahasa menggenggam sebuah tombak tua berkarat, namun dia terlihat gelisah dan tidak dapat di andalkan. Itu karena, telah lebih dari sepuluh tahun sejak terakhir dia pergi berperang membawa senjata itu, dan terlebih lagi pertarungan telah berakhir sementara dia masih berada di garis belakang, dan semuanya menjadi percuma.
Sekarang semua orang yang ada di desa dengan sedikit pengalaman bertempur telah di minta untuk menghadapi goblin, namun persiapan mereka tidak begitu lengkap.
“Guild mungkin memberikan janji mereka, tapi aku yakin aku nggak mau bertemu dengan bandit...”
“Kalau aku, aku takut dengan sihir hitam...”
Suara bisikan itu berasal dari dua pria berumur dua puluh tahun yang terlihat gelisah.
Dia memegang kapak untuk memotong kayu bakar, dengan gugup mengatur dan mengatur kembali genggamannya.
“Aku dengar kamu nggak boleh lengah pada yang wanita juga, atau mereka akan menghisap jiwamu secara langsung!”
“Yeah, aku dengar itu juga.” Seorang mantan prajurit berkata sepelan yang dia bisa. “Ada pemudi, di tempat desa pembuat sutra di daerah pegunungan?”
“Oh yeah, memang ada.”
“Yah, dia bilang dia nggak mau hidup selamanya memakan roti keras. Dia akan hidup pendek dan kaya seperti petualang.”
“Pergi dari rumah, huh?”
“Benar, tapi kamu tahu nggak, ternyata itu karena gadis itu jatuh C-I-N-T-A dengan gadis elf, seorang penyihir yang datang ke desa.”
“Aww, yikes...”
Pastinya terkadang kebalikannya. Para gadis di tangkap atau di perkosa oleh petualang yang datang ke desa mereka setiap waktu, kan?”
“Sudah cukup ngelanturnya. Bukannya kakekku sudah bilang?” Pemimpin grup seorang pria berumur kurang lebih dua puluh tahun yang tampaknya merupakan kandidat kepala desa berikutnya, berbicara dengan ekspresi serius. “Satu-satu desa yang selamat dari serangan goblin adalah yang menyewa petualang.”
“Yeah, tapi...”
“Atau apa harus kita kirim anak perempuanmu pada iblis kecil itu sebagai persembahan?”
“Hei, hei...”
“Kamu pasti paling nggak  sudah mendengar cerita dari para pedagang yang berkelana yang anak perempuannya telah di culik.”
Mantan prajurit mengangguk menyetujui seraya pria pemalu merengek bahwa ini bukanlah hal yang bagus, dan dia tidak sanggup memikirkannya.
“Yang aku adalah bahwa kakekku nggak salah. Dia lebih mengetahui tentang pertempuran di banding denganku.”
“Yeah, tapi—tapi mereka goblin. Kita nggak punya seorang petualangpun untuk di sewa, kan? Kalau mereka di biarkan saja, bukannya mereka akan...?”
“Ketika satu atau dua datang, kamu bisa mengusir mereka. Goblin bukanlah masalah besar.” Pemimpin mereka menggeleng kepala, masih terlihat serius. “Tapi kakek bilang mereka sedang membangun sebuah sarang—mereka akan menculik istri dan anak perempuan kita.”
“Yeah.”
“Tapi, coba di pikir. Harapan untuk membunuh semua goblin itu dengan tenaga kita sendiri nggak terlalu besar, kan?” Seraya mantan prajurit berkata, pria pemalu menjerit seolah sedang menghadapi kematian tepat pada saat ini.
“I-i-i-i-iya, kita nggak bisa.” Dia berkata. “Mungkin aku bisa mengusir goblin yang mendatangi desa, tapi...”
“Yah, itu sudah,” mantan prajurit berkata. “Itulah cara petualang mengisi meja mereka dengan makanan—biarkan mereka yang mengurusnya.”
“Tch,” sang pemimpin bergumam, “Dasar kumpulan pengecut..”
“Sudah, sudah, kamu harus memikirkan perasaan dia juga,” mantan prajurit berkata, melindungi pria pemalu dari omelan yang akan datang. “Kami tahu kamu sudah di jodohkan dengan anak kepala desa, dan masa depanmu sudah terjamin, tapi nggak semua orang bernasib seperti itu.”
Dengan argumen ini, semua orang terdiam, termasuk sang pemimpin.
Semua pemuda desa terpesona oleh para petualang, mereka ingin mencintai wanita, makan makanan lezat, hidup berkemewahan. Mereka tidak ingin menghabiskan hidup mereka untuk membajak tanah pedesaan. Mereka akan lebih memilih melawan naga. Kesiapan untuk menghadapi kematian begitu mudah terucap dari bibir mereka, atau hati mereka.
Dan para wanita mudapun juga sama. Semua yang akan mereka dapatkan hanyalah menjadi orang berkepala kosong yang hanya memiliki rumah dan pekerjaan kebun untuk melayani dewa di kuil dan berdoa hingga ajal menjemput. Jika mereka tidak beruntung, mereka akan mungkin akan di serang dan di perkosa oleh bandit atau semacamnya atau menjadi miskin dan menjual tubuhnya sebagai satu-satunya pemasukan...
Oleh karena itu mengapa mereka tidak boleh bermimpi menjadi petualang, atau berkhayal akan fantasi berpetualang bersama mereka? Mereka yang lebih kuat mungkin akan mencoba peruntungannya sebagai petualang layaknya mereka.
“Yah, siapapun akan mengkhawatirkan anak, kakak mereka.”
Kehidupan di pedalaman pada perbatasan sangatlah kejam.
Monster selalu bermunculan, dan tentunya kamu dapat menghitung jumlah militer yang datang melindungimu. Yang mulia raja, yang wajahnya tidak pernah terlihat, tentunya sibuk berurusan dengan naga, dan dark god, dan masyrakat.
Kuil tempat mereka berdoa kepada dewa mungkin di bangun sebagai sarana pendukung, dan mungkin dapat sedikit meringankan hati mereka.
Dan kemudian pajak. Hujan turun, angin bertiup, matahari bersinar. Terkadang hari berawan. Dan kemudian goblin.
Jika uang sedang sedikit selalu akan ada prostitusi dan berkelana untuk mencari pekerjaan...dan untuk para pemuda, sudah sewajarnya untuk bermimpi menjadi petualang.
Jika hanya itu yang mereka inginkan, mereka bisa saja mencoba untuk menjadi pegawai pada Guild Petualang di Ibukota...
Namun tanpa pendidikan atau uang, ini juga, hanyalah sebuah mimpi di dalam mimpi.
“Aku harap, petualang kuat dan baik datang menolong kita...”
“Kamu harap? Itulah kenapa raja menggunakan pajak kita untuk membangun Guild. Nggak perlu khawatir.”
“...Yeah.”
Yang lebih penting dari mimpi mereka atau uang adalah goblin yang begitu dekat dengan mereka.
Ketiga pria saling melihat satu sama lain, kemudian menghela.
Itulah kemungkinan mengapa tidak ada satupun dari mereka yang menyadari seorang bocah menyelinap masuk ke dalam hutan, sendirian.
*****
Goblin.
Makhluk seperti apakah yang begitu di takutkan orang dewasa?
Bocah itu tidak pernah melihatnya, karena itu sekarang dia ingin mengetahuinya.
Dengan ini aku punya sesuatu untuk di sombongkan!
Merupakan logika sederhana anak kecil.
Dia sudah mendengar bahwa goblin merupakan monster yang terlemah. Dia juga mengetahui, bahwa satu atau dua pernah muncul di desa, dan orang-orang dewasa berhasil mengusir mereka.
Jika itu benar, mungkin dia dapat menghadapi mereka?
Dan jika dia mampu...
Aku bisa lebih menyombongkannya lagi!
Bocah itu berjalan dengan tidak peduli melewati jalan yang di kenalnya, mengayunkan pedang kayunya.
Manusia belum membuat penanda di dalam hutan ini, dan hutan ini gelap bahkan dengan di tengah hari. Pepohonan semakin lebat, aroma lumut dan binatang bercampur di udara.
Dia sudah sering di ingatkan akan betapa bahayanya ini, namun entah mengapa hari ini benar-benar terasa tidak biasa. Namun bahaya dan keanehan adalah alasan mengapa dia sering datang kesini untuk bermain.
“...Hm?”
Bocah itu berhenti ketika dia melihat sebuah jejak kaki asing di tempat dia selalu bermain. Jejak itu lebih besar dari kaki temannya, hampir sama dengan besar kakinya. Bukan serigala, atau rubah, atau rusa.
“....Goblin?”
Pada saat dia berbicara, angin berhembus melewati rumput dan dedaunan.
Dia menelan liurnya. Tiba-tiba dia mendapati mulutnya kering, dan tenggorokannya sakit.
Telapak tangan bocah berkeringat, dan dengan cepat mengatur genggaman pada pedangnya.
“Ka-kalau kamu di sana, ayo se-serang aku...!”
Berakting berani—walaupun dia tidak menganggapnya akting—bocah itu berusaha berani.
Angin kembali berhembus, membawa aroma bau, dan basah bersamanya.
Di mana dia?
Bocah menarik napas, mengeluarkannya. Pada akhirnya, dia mulai bergerak kembali.
Dia mengayunkan pedangnya tanpa alasan, membersihkan semak-semak dan ranting yang mencuat.
Tidak ada yang terjadi. Hanya terdapat keheningan akan hutan.
Tidak ada siapa-siapa di sana?
“Pff, aku sudah menakutinya...”
Bocah mengelap alisnya dengan gerakan berlebihan dan mengelap kering tangan di bajunya. Dan ketika dia menyentuhnya, dia menyadari bahwa kain itu telah basah karena keringat, dan jantungnya berdebar kencang.
Dia menelan liurnya kembali, menggeleng kepala. Dia meninggikan suaranya untuk menenangkan dirinya.
“O-oke, saatnya kembali. Jangan bikin kakak khawatir!”
Dia berputar—dan melihat goblin membawa sebuah pentungan.
“Ee...eek...”
“GORRB?!”
Goblin itu tampak sama terkejutnya dengan bocah. Makhluk itu terdiam dengan pentungannya yang terangkat.
Makhluk itu sama tinggi dengan dirinya, dengan mata dan mulut yang kotor. Kulit hijau pucat. Dan nafas layaknya daging busuk.
“G-g-goblin?!”
“Gb?!”
Pedang kayunya, yang dia ayunkan secara refleks karena takut, menghantam goblin di kepala dengan suara thwack tumpul.
Sebuah pikiran terlintas di kepalanya, aku berhasil! Dan sebuah perasaan yang menjalar di perutnya, Oh, tidak... Namun semua sudah terlambat.
“GGGG....”
Goblin itu bangun dengan sempoyongan, memegang kepalanya. Terdapat tetesan darah. Bocah terkesiap.
“GOORBOGOOROROB!!”
Goblin meraung, matanya membara, dan pada saat yang sama bocah itu berlari layaknya kelinci yang ketakutan.
Berlari, berlari, berlari, berlari. Tersandung, hampir terjatuh, terjatuh, menggeliat berdiri kembali. Dia tidak mengetahui apakah dia berlari keluar hutan atau masuk lebih dalam. Sekali dia keluar jalur setapak, tidak mungkin bisa mengetahui arah kemana dia pergi di hutan ini.
“Ergh...ahhh...!”
Dia kehabisan napas. Terengah-engah. Tenggorokannya kering. Keseluruhan tubuhnya perih. Kakinya berat. Namun dia tetap berlari.
Tidak ada waktu untuk melihat ke belakang. Dia tidak dapat mendengar suara goblin, tapi itu mungkin karena suara berdenging di telinganya.
“Oh! Di-dimana....?!”
Bocah itu tiba di tempat yang belum pernah dia lihat.
Sebuah lahan terbuka, tepat di tengah-tengah hutan.
Dan tidak hanya itu—ada sebuah gua!
Berusaha keras menghirup udara karena kepalanya yang pusing, bocah itu merayap di semak-semak. Bukan karena ingin bersembunyi. Melainkan karena dia sudah tidak dapat bergerak lagi.
Suara napas terdengar samar seraya dia berusaha menenangkannya.
Kemudian...
“——?”
Dia mendengar langkah berani tidak peduli.
Dia mengintip pada arah suara itu, kemudian menutup mulut dengan tangannya mengeluarkan “Oh!” pelan dari mulutnya.
Goblin.
Dua—dan tidak satupun dari mereka yang mempunyai luka di kepalanya. Jika begitu maka mereka berjumlahnya tiga?
“GORBBBB...”
“GROB! GBRROB!”
Mereka berteriak satu sama lain, mengayunkan pentungan di tangan mereka, kemudian  tertawa hina.
Bocah itu tidak dapat memahami bahasa mereka, namun dia dapat menebak apa yang mereka katakan.
Karena dia sendiri pernah mengatakan hal yang serupa—pemanasan sebelum sebuah pertarungan di mulai.
Mereka akan pergi ke desa!
Dia harus memperingati semua orang.
Kakinya bergerak tanpa di sadarinya. Dan ketika kakinya bergerak, semak-semakpun berbunyi.
“GBRO...?”
Sudah terlambat.
Mata kuning hina goblin berputar menuju semak-semak di mana bocah tidak bergerak.
Jari pendek gemuk menunjuk, dan goblin lainnya mendesis, tawaan kejam.
Satu langkah, langkah selanjutnya. Dua goblin mendekat.
Gigi bocah bergetar. Entah bagaimana dia dapat mengambil pedang kayunya. Dia harus berlari. Dia harus...
Tapi bagaimana?
“GORB?!”
Goblin lainnya berputar mendengar teriakan rekannya.
Tepat di belakang goblin yang mencakar udara, terdapat cipratan darah seraya dia terjatuh, bocah itu melihat dia.
Dia adalah—dia pasti—seorang petualang.
Helm yang terlihat murahan. Armor kulit kotor. Perisai kecil bundar terikat di lengan kirinya, dan dia memegang pedang dengan panjang yang tidak biasa.
Dia sama sekali tidak tampak seperti petualang mulia fantasi, atau orang yang tidak sopan yang terkadang mengunjungi desa mereka.
Akan tetapi, tidak di ragukan lagi, seorang petualang.
“Satu.”
Suara itu rendah tidak berekspresi, hampir mekanikal. Bocah itu tidak yakin bagaimana suara itu dapat mencapai telinganya.
Goblin lainnya kebingungan. Para monster pertama melihat pada pentungan yang ada di tangannya, kemudian pada petualang, kemudian pada pintu masuk gua.
Dan makhluk itu mulai berlari menuju pintu masuk.
Dendam, kemarahan, dan ketakutan mendorong dirinya untuk memanggil rekannya.
Dengan jarak itu, sang petualang menarik pedang dari mayat goblin yang mati.
“Dua.”
Dia mengangkatnya dan melempar.
“GOROB?!”
Goblin itu terjatuh ke depan, menggeliat, dengan pedang yang menancap pada tulang belakangnya—walaupun bocah itu tidak mengetahui apa itu tulang belakang.
Akhirnya, makhluk di tanah itu kejang-kejang kembali, kemudian diam tak bergerak.
“Hrm.”
Sang petualang mengeluarkan dengusan pelan dan berjalan menuju dua tubuh dengan langkah sigap tak peduli.
Dia mencabut pedang, membersihkan sisa-sisa daging yang menempel, kemudian menjentikkan lidahnya dan membuang pedang itu.
Sebagai gantinya, bocah itu melihat dia mengambil sesuatu semacam belati dari ikat pinggang salah satu goblin.
“Oh...!”
Gawat—Jangan—Masih ada lagi— Kalimat-kalimat keluar secara bersamaan.
“Masih ada goblin lainnya di sana!”
Reaksi petualang itu terlalu cepat untuk di lihat. Dia berputar, mengangkat belati, dan membidik, semua dalam satu gerakan. Terdengar siulan angin, jeritan, dan suara sesuatu yang berat terjatuh di tanah.
“GBOROB?!”
Goblin dari sebelumnya berada tidak jauh di belakangnya, menggeliat dan tersedak darah yang membanjiri tenggorokannya.
“Oh...!”
Dengan itu barulah bocah tersadarkan akan betapa dekatnya dia akan kematian.
Pedang kayu terlepas dari tangannya yang bergetar, terjatuh di tanah di dekat kakinya.
“Tiga.”
Menginjak rerumputan dan mendorong semak-semak, petualang itu berjalan mendekat. Sarung tangannya yang kusam mengambil pedang kayu dari tanah, kemudian memberikannya kepada bocah.
“Huh? Ahh...?”
“Maaf.” Seraya bocah itu mengambil pedang, sang petualang melanjutkan, dengan pelan tak berekspresi, namun tidak salah lagi. “Terima kasih atas bantuannya.”
Dia berjalan menuju gua tanpa melihat ke belakangnya, dan bocah itu memperhatikan dia pergi.


*****
“Kamu ini—! Setelah aku kasih tahu berkali-kali agar nggak pergi ke dalam hutan!”
“Aku benar-benar minta maaf, kak!”
Bocah itu dengan segera pergi ke kuil dan mencoba mencari alasan, namun tidak lama bagi kakaknya untuk mengetahui semuanya. Karena, tidak ada tempat lain untuk dia bermain yang dapat mengakibatkan seluruh tubuhnya penuh dengan goresan.
Kakaknya menggeret telinga bocah itu hingga mencapai rumah di mana bocah itu harus menerima ceramah tiada henti, p3k, dan kemudian makan malam.
Salep yang kakaknya gunakan sangatlah menyengat. Kakaknya membalut bocah dengan perban, dan akhirnya memberikan pukulan yang membuat bocah itu melompat.
Sejujurnya, bocah berharap agar kakaknya sedikit lebih baik dengannya, namun bocah tidak dapat mengatakan itu.
“Astaga. Kamu selalu bilang, ‘Aku tahu, aku tahu,’ tapi kamu nggak tahu apa-apa sama sekali.”
Ceramah ini berlanjut terus menerus seraya mereka makan, hingga akhirnya kakaknya menghela panjang.
“Paling nggak...kamu nggak terluka serius.”
Kemudian tersenyum lega.
Aku benar-benar sudah mengkhawatirkan kakak.
Bocah itu merasakan rasa perih di hatinya di kala pikiran itu terlintas.
“Um...bagaimana dengan goblinnya?”
“Nggak usah khawatirkan itu. Petualang itu sudah menghabisi mereka semua.”
Kakaknya tersenyum cerah seperti matahari, kemudian memberikan tatap marah dan menunjuk pada ruang tidur bocah.
“Itu artinya nggak akan ada yang mengganggumu di malam hari—jadi pergi tidur! Temanmu akan kembali besok, kan?”
“Oh yeah!”
Bocah itu melompat dari kursinya, tapi dengan tangan pada gagang pintu ruang tidur, dia berputar.
“Selamat malam, kak. Dan...aku minta maaf.”
“Selamat malam...jangan melakukan hal-hal berbahaya lagi, oke?”
“...Baik, kak.”
Dia membuka pintu, menutupnya, dan masuk ke dalam ruangannya. Dia menghela.
Benar-benar hari yang tidak biasa. Dia telah di kejar goblin, di serang goblin, dan di marahi oleh kakaknya.
Namun....
Meringkuk ke dalam ranjangnya, bocah itu berputar hingga dia melihat pedang kayu yang terpajang di dinding.
Dia telah memukul goblin dengan pedang itu. Seorang petualang memberikan pedang itu kepadanya.
Rasa gugup dan semangat yang masih terasa membuat jantungnya berdebar.
“Kira-kira...seperti apa wajahnya.”
Aku bertemu dengan petualang sungguhan!
Tidak—tidak hanya itu.
Aku menolong petualang sungguhan dan menghajar beberapa goblin!
Itu baru sesuatu yang dapat dia sombongkan.
Merupakan hal yang jauh lebih keren di bandingkan membeli baju mewah di kota.
Terpuaskan dengan hasil petualangannya, bocah itu menutup matanya, tidak sabar menunggu hari berikutnya.