TUJUH KEKUATAN
(Translater : Zerard)

Kenari berkicau di dalam derasnya hujan.
Menyanyikan sebuah melodi dari dalam sangkarnya, mengiringi tetesan hujan hebat di jendela.
Gadis sapi duduk di samping jendela. Dia menyentuh gelas berkabut dengan jarinya dan menghela nafas.
Lengannya menopang dirinya. Gaun yang masih dia kenakan adalah satu-satunya yang tersisa dari festival pagi.
Dia dapat merasakan udara dingin pada pipinya. Sebuah senyum tipis tergambar, dan dia bergumam, “Kira-kira ada di mana mastermu sekarang, apa yang sedang dia lakukan.”
Tidak ada jawaban. Burung itu terus berkicau merdu.
Burung yang telah dia bawa ke rumah pada musim panas itu sekarang tinggal bersama mereka di kebun.
Ketika dia bertanya, “Apa ini hadiah untukku?” Pria itu menjawab, “Nggak juga.” Pria itu terkadang memang aneh.
Aneh. Bagi pria itu, itu juga termasuk pergi ke sebuah festival, atau pergi berkencan.
“...”
Mungkin dia nggak akan kembali.
Gadis Sapi membenamkan wajahnya pada lengannya seraya pikiran itu terlintas.
Dia tidak ingin melihat dirinya sendiri yang terpantul pada jendela. Dia tidak sanggup.
Tangan kanannya mengepal. Tangan itu masih mengenakan cincin—yang benar-benar hanya sebuah mainan—yang pria itu berikan kepadanya.
Gadis Sapi merasa cukup terpuaskan ketika mereka pergi bersama. Namun sekarang mereka telah terpisah, semua itu menjadi terasa tidak cukup.
Lagi, lagi, lagi.
Lagi akan apa?
“Apa aku selalu seegois ini...?”
Dia dapat mendengar gelegar guruh di kejauhan.
Kisah kuno mengatakan bahwa itu adalah suara para naga, namun Gadis Sapi tidak mengetahui apakah itu benar.
Untungnya, dia belum pernah bertemu seekor naga. Dan semoga saja itu tidak pernah terjadi.
Jeder, jeder. Guruh itu semakin mendekat. Guruh...?
Gadis Sapi menyadari bahwa suara itu telah berhenti ketika berada di dekatnya.
Itu bukanlah guruh. Jadi apa...?
Dia mengangkat kepalanya, bingung, dia dapat melihat dirinya sendiri di kaca. Dia terlihat begitu menyedihkan. Dan di balik pantulan wajahnya...
Sebuah helm kotor, terguyur dengan hujan.
“Ap?! Oh... Ap?!”
Dia duduk dengan buru-buru, mulutnya terbuka dan tertutup.
Apa yang harus dia katakan? Apa yang dapat dia katakan? Kalimat dan emosi bergelombang di sekitar kepala dan hati.
Dia tidak bisa mengatakan Selamat datang atau Kamu nggak apa-apa?
“Kenapa kamu berhujan-hujanan seperti itu? Kamu bisa demam!”
Itu adalah salam yang dia sampaikan seraya membuka jendela dengan keras.
“Maaf. Lampunya menyala, jadi aku kira kamu masih bangun.”
Di bandingkan dengan dirinya yang berantakan, pria itu terlihat begitu tenang hingga membuat Gadis Sapi marah.
“Ada sesuatu.”
“Sesuatu seperti...?”
“Aku akan kembali di pagi hari,” dia berkata tenang, dan setelah berpikir beberapa saat, dia menambahkan, “Aku ingin rebusan untuk sarapan.”
“Uh—“
Dia akan kembali. Dia telah pergi jauh-jauh kemari hanya untuk memberitahunya bahwa dia akan kembali. Dan juga dia ingin memakan masakan Gadis Sapi.
Pria ini... Oh, pria ini!
“...Rebusan? Di pagi hari?”
Kehangatan menyebar di keseluruhan dadanya, dan sebuah senyum terpapar pada wajahnya.
Aku ini gampang banget!
“Tolong ya.” Dia berkata.
Yang hanya bisa Gadis Sapi katakan adalah, “Astaga, aku ini sulit di percaya.” sebelum dia melanjutkan untuk berkata, “Kalau kamu sampai ketiduran karena kena demam, aku akan marah, jadi pastikan kamu bangun tepat waktu.”
“Baik.”
“...Mm.”
Gadis Sapi mengangguk.
Pria itu tidak berbohong.
Hanya ada satu hal “Sesuatu” yang dia sedang hadapi.
Itulah mengapa Gadis Sapi tidak bertanya hal lainnya.
Hari perayaan mereka telah berakhir. Semua telah kembali menjadi normal kembali. Hari biasa seperti yang lainnya.
Walaupun dengan apa yang Gadis Sapi rasakan, ini bukanlah saat yang tepat untuk menunjukkan emosinya.
“Yah, kalau begitu..,o-oke.”
Hanya ada satu kalimat yang dia dapat ucapkan pada pria itu.
“Lakukan yang terbaik!”
“Pasti.”
Dan dengan itu Goblin Slayer mengambil satu langkah, kemudian dua, menjauh dari jendela dengan langkah gagah berani tidak peduli.
“Jangan pergi keluar,” dia berkata. “Tetap bersama pamanmu.”
Gadis Sapi memperhatikan pria itu hingga pria itu lenyap masuk ke dalam kegelapan.
Jeder, jeder. Suara itu datang kembali dan semakin menjauh mengikuti pria itu.
Gadis Sapi melihatnya, dan tertawa kecil pada dirinya sendiri seraya dia menutup jendela.
“Mastermu ini terkadang memang suka melakukan hal-hal yang aneh.”
Dia menyodok sangkar dengan jarinya, menyebabkannya berayun lembut. Kenari berkicau memprotes.
Namun kali ini Gadis Sapi tidak mempedulikannya.
Sebagian dari dirinya merasa marah, sedangkan sebagiannya lagi hampir merasa melambung penuh kegembiraan.
Gadis Sapi merasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk merasakan perasaan ini—namun dia juga ingin segera pergi ke kasurnya dan tertidur dengan masih menggenggam perasaan ini di hatinya.
Mimpinya akan memberikannya waktu yang cukup untuk menikmatinya.
“Tapi...”
Dia melepas gaunnya, melipatnya dengan hati-hati agar gaun itu tidak kusut, dan kemudian menenggelamkan tubuh montoknya ke atas kasur.
Pria itu tentunya mempunyai rencana.
“...Kenapa dia menggelindingkan drum-drum itu bersamanya?”
*****
Hujan semakin deras seraya angin semakin menggigit.
Malam semakin larut, begitu gelapnya hingga sulit untuk dapat melihat apa yang ada di depan batang hidungmu sendiri.
Ini adalah badai yang sesungguhnya.
“Ho, Beardcutter!” Di dekat bangunan yang berdiri di dalam kegelapan, Dwarf Shaman memanggil. “Aku menyalakan perapian!”
“Benarkah?” Goblin Slayer berhenti menggelindingkan drum, yang sekarang telah mencapai tujuannya, dan mengangguk. Bangunan ini—sebuah struktur bata kecil di pinggiran sebuah kebun—memiliki sebuah perapian, namun sejauh ini belum ada asap yang mengepul dari perapian itu. “Bagaimana kelihatannya?”
“Remang sekali. Tapi mudah saja dengan sedikit bantuan dari sihir.”
Dwarf Shaman membelai jenggotnya dan menyeringai. Banyak dari kemampuan spesialnya berpusat pada bumi, namun bangsa dwarf dan api merupakan sahabat alami. Sangat mudah bagi dirinya untuk memanggil Salamander Api untuk menyalakan kayu bakar yang basah.
“Arah anginnya terlihat bagus untuk saat ini.” High Elf Archer mengambil menggenggam seekor laba-laba yang merayap melintas dan menenun sutra dari laba-laba itu, menggunakannya untuk mengganti benang panah kayunya.
Semua perlengkapan elf terbuat dari apa yang bisa di dapatkan dari alam. Mereka mungkin tidak memiliki sihir untuk mengontrol roh-roh dunia, namun dari semenjak mereka lahir di dunia, bangsa elf hidup harmonis dengan alam. Sepertinya, mereka merasa bahwa bangsa lain tampak tidak peduli, tapi...
Masih tidak dapat di pungkiri bahwa tidak ada bangsa lain di dunia yang lebih cocok menjadi seorang ranger selain para elf.
Dia mengepak telinga panjang khas dirinya dan berkata, “Badai akan berada tepat di atas kita. Tapi untuk sekarang, arah angin berlawanan dengan kita, alam berpihak pada kita.”
“Baiklah. Bagaimana dengan goblinnya?”
“Mereka semakin mendekat. Kita sudah tidak punya banyak waktu lagi.”
“Aku mengerti. Ayo cepat.” Goblin Slayer mengangguk, kemudian berputar pada Dwarf Shaman. “Kalau kamu punya mantra yang tersisa, coba perkuat anginnya. Untuk lebih memastikan.”
“Angin merupakan keahlian para elf. Tapi aku rasa aku bisa memanggil sedikit angin di sini...”
“Tolong lakukan.”
Dwarf Shaman menjawab permintaan Goblin Slayer dengan mengeluarkan sebuah kipas dari tasnya.
Dia membukanya dengan sekejap dan mulai mengibaskannya di udara, melantunkan suara bernada tinggi yang aneh.
O peri, Sang angin perawan, berikanlah aku ciumanmu yang paling menawan—berkahilah kapal kami dengan hembusan angin berkawan.”
Di antara lolongan badai, sebuah hembusan lembut mulai menggelitik pada pipi mereka.
Ini merupakan mantra sederhana untuk memanggil angin, jenis mantra yang seorang mage akan gunakan untuk menunjukkan sebuah pertunjukkan demi sekeping uang.
“Hanya bisa sekuat itu,” Dwarf Shaman berkata. “Aku nggak tahu seberapa bergunanya ini untukmu.”
“Nggak bisakah dwarf melakukan apapun dengan benar?” High Elf Archer mengejek, mengundang respon dari sang shaman.
“Aku nggak peduli. Ini sudah cukup.” Dengan punggungnya yang di terpa angin, Goblin Slayer mulai memeriksa seluruh persiapannya.
“Bagaimana persiapan Dragontooh-mu?”
“Semoea telah siap.”
Lizard Priest menunjuk pada taring kecil yang tersebar di lantai, kemudian membuat gerakan aneh dengan kedua tangannya.
“O tandoe’ dan tja’ar leloehoer ‘ami, Igoeanodon, djad’anlah empat anggota toeboeh, mendjadi doea ‘a’i oentoe’ berdjalan di boemi ini.”
Seraya doa di lantunkan, taring bertambah besar, bergetar dan meninggi.
Akhirnya, dua tengkorak lizardman berdiri di depan mereka—Dragontooth Warrior.
Lizard Priest menopang pedang taring miliknya pada pundaknya dan membuat suara menghargai.
“Soengoeh disajang’an, ini meroepa’an batas ‘emampoean mantra saja. Dapat’ah saja memindjam sesoeatoe oentoe’ mendjadi sendjata mere’a?”
“Nggak masalah,” Goblin slayer berkata, membenarkan posisi drum di dekat kakinya. “Aku menyewa gubuk di sebelah sana. Gunakan senjata apapun yang ada di dalamnya.”
Lizard Priest mengayun ekornya, dia dan tengkorak miliknya pergi menuju bangunan yang berada di luar itu.
Seraya dia pergi, Goblin Slayer membedirikan drum lainnya.
Terdapat tiga drum secara keseluruhan. Drum itu hampir sama tinggi dengan dirinya.
Drum itu juga tampak cukup berat, dan terisi akan sesuatu di dalamnya. Seraya dia membedirikan drum itu, drum itu mendarat dengan cipratan lumpur. Membuat noda hitam pada pakaian Priestess, namun Priestess tidak terlihat mempedulikannya.
“Pak Goblin slayer, apa kamu nggak kedinginan?”
“Seharusnya yang kedinginan itu kamu.”
Pakaian tipis miliknya basah di karenakan hujan, menempel ketat pada sosok figur mungilnya. Priestess terlihat sedikit malu di karenakan kulitnya yang hampir tembus pandang dari balik kain, namun dia menggeleng kepalanya.
“Aku baik-baik saja. Ini nggak seberapa. Terkadang kami melakukan pensucian diri dengan air es.”
“...Kamu masih punya keajaiban, kan?”
“Ya pak, masih.”
Priestess tersenyum berani.
Pakaiannya, sebenarnya adalah, di tujukan untuk pertempuran, dan Ibunda Bumi tidak akan mendiskriminasi dirinya hanya karena sebuah noda dari tanah.
Mengotori pakaian putih murni miliknya di karenakan membantu seseorang hanya akan membuatnya tampak semakin indah.
Dia menggenggam flail-nya dan mengangguk.
“Aku sempat beristirahat sejak aku menggunakan Silence tadi. Aku masih bisa dua kali lagi.”
“Baiklah.”
Goblin Slayer menggunakan gagang pedang untuk mencongkel tutup salah satu drum.
Tutup itu terbuka dengan suara screeeeech, dan aroma busuk bercampur aduk dengan petrikor. (TL Note : Petrikor = https://id.m.wikipedia.org/wiki/Petrikor )
“Ugh,” High Elf Archer berkata, mengernyit wajahnya, namun Priestess dengan segera mendekati salah satu drum.
“Kita sudah kehabisan waktu. Aku bantu!”
“Terima kasih. Tolong bantuannya”
“Baik!”
“Masukkan semuanya ke dalam sana. Tanpa terkecuali.”
“Oke!”
Priestess menarik sebuah ikan yang mulai membusuk di terik matahari.
Tangannya penuh akan ikan-ikan itu, dia menuju perapian, dan memasukkan semuanya ke dalam.
Api panas semakin membara. Mereka tidak menyiapkan api itu untuk hanya sekedar mengeringkan diri mereka dari hujan.
Seraya Goblin Slayer memperhatikan Priestess, Dwarf Shaman menyikut rusuk Goblin Slayer. “Harus biarkan gadis itu menghangati dirinya sendiri, ya.” dia berkata memahami.
“Erk.” Ini berasal dari High Elf Archer. “Jadi gimana dengan aku? Aku juga basah kuyup!”
“Ya, ya, nona dua ribu tahun. Aku kira elf menganggap hujan sebagai berkah dari surga.”
“Elf juga nggak suka kedinginan!”
Dan merekapun kembali berdebat. Merupakan pertengkaran biasa mereka.
Lizard Priest, yang telah kembali setelah mempersenjatai Dragontooth miliknya dengan cangkul dan sabit, memutar matanya terhibur.
“Dan apa jang sebenarnja anda rentjana’an, toean’oe Goblin Slajer?” nada dia menandakan bahwa ini adalah yang paling menarik perhatiannya.
Goblin Slayer menjawab seraya mempersiapkan perlengkapannya sendiri, memastikan perisainya terasah.
“Seharusnya sudah jelas. Taktik dasar membasmi goblin.”
Dia meluruskan helmnya dan menarik belati pada sarungnya di pinggul yang dia curi dari goblin.
Dia mengambil kain kotor dari tasnya, secara hati-hati membersihkan mata belati.
Dia mengembalikannya ke sarungnya, kemudian memilih senjata lain dengan tangan kanannya.
Armor kulit kotornya, helm yang terlihat murahan miliknya, pedangnya yang tidak panjang dan tidak juga pendek, dan perisai bundar pada lenganya.
Dengan penampilannya yang tidak pernah berubah, nadanya yang tidak pernah berubah, dia menyatakan:
“Kita akan mengasapi mereka hingga keluar.”
Goblin semakin mendekat—mungkin dua puluh atau tiga puluh.
Rumah asap menyemburkan, asap hitam pekat di dalam badai.
*****
Bagi para goblin, badai ini merupakan berkah dari langit.
Malam adalah sahabat mereka, dan kegelapan adalah sekutu mereka. Halilintar adalah genderang perang mereka.
Dark Elf, yang berada di posisi belakang sebagai pemimpin mereka, merasakan perasaan yang sama.
Dia mengenakan rompi kulit kotor di bawah jubah yang membesar dan berat di karenakan hujan. Sebuah pedang tipis bergantung di pinggulnya.
Kulitnya mungkin memang berwarna gelap, telinganya runcing layaknya duri, dengan rambut berwarna silver—namun orang lain dapat menyangkanya sebagai seorang petualang. Seorang dark elf berhati baik terkadang dapat datang di saat bulan biru.
Senjata yang dia genggam, menyirnakan berbagai pertanyaan.
Merupakan benda buruk rupa yang di hias dengan ukiran pada badan benda itu. Jika dilihat sekilas, benda itu mirip dengan sebuah kandil.
Siapa yang bisa menciptakan benda semacam itu? Bahkan sekarang, benda itu menjulurkan jarinya seolah ingin menggenggam sesuatu.
Dan jika ini masih belum cukup, benda itu bercahaya dengan sinar kehidupan, berdenyut.
Tidak ada pejuang keadilan yang ingin memegang benda seperti itu.
“GOBOR!!”
“GROBR!!”
“Mm. Aku tidak peduli. Terus maju—injak mereka, habisi mereka!”
Dark Elf mengangguk tenang seraya salah satu goblin imut bodohnya memberikan laporan.
Makhluk itu sangatlah sempurna sebagai tentara namun sangat tidak berguna untuk hal lainnya.
Tentu saja, dengan senjata sederhana dan armor dan posisi pada garis depan, mereka sangatlah cukup untuk melibas agen ketertiban.
“Kamu bilang ada petualang di depan? Orang bodoh, bersembunyi di bayang-bayang.”
Ini adalah salah satu kota tempat di mana para petualang berkumpul. Sangatlah mungkin akan ada beberapa petualang di sana. Itulah mengapa dia dengan sengaja datang pada malam setelah festival.
“Tapi...apa akan berjalan lancar untukku...?”
Mengapa dia harus meragukan wahyu yang di terima dari dewa kekacauan?
Dengan benda terkutuk yang aku pegang, aku akan memanggil hecatoncheir kuno, raksasa bertangan seratus.
Hecantoncheir, makhluk yang paling di takuti di antara para raksasa yang dapat di temukan di dalam buku monster yang di berada di tangan dewa kekacauan. Seekor makhluk yang di ciptakan untuk melakukan pertempuran ketika para dewa mulai membuat bidak pertama mereka untuk permainan peperangan mereka.
Dia mendengar kisahnya, dengan kekuatan tangan yang tidak terbatas, makhluk itu mengalahkan dewa ketertiban.
Ah, hecantoncheir! Hecantoncheir! Dark Elf merinding penuh kegembiraan.
Tindakannya akan semakin menguatkan kemungkinan kemenangan pasukan kekacuan.
Semenjak dia telah menerima wahyu, dia tidak sedikitpun membuang waktu.
Akan tetapi entah mengapa...dia tidak dapat lepas dari sebuah perasaan akan adanya kekurangan dalam rencananya.
Namun mengapa dia merasa seperti itu? Apa penyebabnya? Apakah karena komunikasi dengan skuad di bagian timur, barat, dan utara secara misterius telah terputus?
Apakah petualang pemarah yang dia sewa untuk menimbulkan kekacauan di kota telah melalaikan pekerjaannya?
Atau karena semua wanita tumbal yang yang telah di culik para goblin atas perintahnya telah di curi darinya?
Apakah benda terkutuk yang jatuh kepadanya merupakan sebuah kesalahan...?
“...Tidak!” Dia berteriak sekeras dia bisa, seraya ingin menghilangkan rasa ragunya.  “Dadu sudah di lempar. Yang sekarang bisa ku lakukan hanya terus berjalan maju!”
Dia hanya memiliki tiga puluh goblin di bawah perintahnya. Namun mereka hanyalah sebuah pengalih.
Begitu juga dengan goblin yang datang mendekat dari arah lainnya. Semua hanya untuk mengelabui mata para petualang.
Misi sesungguhnya secara harfiah berada di tangannya.
Selama dia memegang benda terkutuk ini, kunci kekuatan hecatoncheir, tidak ada yang perlu di takuti.
Dia akan memanfaatkan waktunya. Setiap jam, setiap detik, tidak membuang sedikitpun waktu.
Dia akan mempersembahkan dadu. Mencari satu orang lagi, satu tetes darah lagi.
Hingga Hecantocheir bangkit.
“Hrk...!”
Dan kemudian itu terjadi.
Indranya, setajam seperti elf lainnya, merasakan sesuatu yang aneh.
Sebuah aroma.
Lebih tepatnya aroma busuk, yang menusuk mata dan hidungnya, sesuatu yang membusuk... Tidak... aroma laut?
Hujan dan angin telah menghilangkan semua suara, dan sekarang hujan dan angin itu membawa sebuah kabut hitam yang menyamarkan cahaya yang tersisa.
Kabut itu datang bersama angin, menyelimuti medan perangnya,
“Kabut asap? Tidak... Gas beracun?!”
Dengan segera dia menutup mulutnya, namun sayangnya, goblin bawahannya tidak begitu cerdas. Asap menyelimuti mereka, dan mereka mulai berteriak dan menjerit.
“Ba-bajingan! Kalian melakukan hal seperti ini kepada musuh kalian dan Kalian masih berani memanggil diri kalian petualang...?!”
Dark Elf menyadari agitasinya meningkat, tidak dapat menahan teriakan kemarahannya.
Ini bukanlah taktik yang akan di gunakan sekutu ketertiban.
Namun ini hanyalah permulaannya saja.
Warrior tengkorak muncul dari balik kabut, pucat putih di antara hitam pekat asap, dan berlari menuju para goblin.
*****
“Kamu bilang kamu nggak ada pasang perangkap, Beardcutter!”
“Memang.”
Goblin Slayer berbicara seraya memperhatikan para goblin gugur layaknya padi yang di sabit.
“Tapi aku nggak bilang kalau aku nggak punya rencana.”
“Oi.”
“Selalu ada cara. Banyak cara.”
“Oi.”
Dragontooth Warrior sangatlah mengerikan untuk di pandang di ,edan perang.
Mereka hanyalah tulang, tidak mempunyai mata, hidung, dan tidak bernapas, aroma asap ikan yang membusuk sama sekali tidak mengusik mereka.
Para goblin tersedak dan terbatuk di dalam asap, mengayunkan senjata mereka secara sembarangan. Betapa mudahnya fosil warrior ini mengalahkan mereka. Satu ayunan sabit memutus sebuah kepala. Dengan serangan cangkul, sebuah lengan terlepas. Aroma darah dan bau tengik tubuh goblin bercampur satu dengan aroma ikan di udara.
Mungkin seperti inilah aroma neraka.
“Kamu nggak bercanda,” High Elf Archer berkata, mengernyit wajahnya dan menutup mulut dan hidung dengan sebuah kain. “Kamu selalu punya rencana di saat-saat seperti ini, Orcbolg.”
Itulah yang menjadikannya pemimpin party mereka.
High Elf Archer mungkin memiliki pengalaman yang lebih (atau itu yang dia bilang), dan Lizard Priest mempunyai kepala yang lebih dingin.
Namun jika mengenai berbagai macam strategi tidak lazim....
“Tapi kamu nggak boleh menggunakan cara ini dalam petualangan kita, oke? Aku akan marah kalau kamu melakukannya.”
“Yang ini juga nggak boleh?”
“Tentu saja nggak.”
“Aku mengerti.”
Priestess tertawa kecil mendengar jawaban kekecewaannya.
“Apa kamu sebegitu kecewanya?”
“Ketika kita kalah jumlah, ini merupakan cara efektif untuk memperlambat barisan depan mereka,” Goblin Slayer menjelaskan dengan datar, kemudian mengangguk dengan mendengus, “ Mereka akan mencari dan menginvestigasi dan menjadi lebih gugup. Mereka akan meragukan apa yang akan keluar selanjutnya, seperti tipuan tangan.”
“Aku rasa itu bukanlah hal yang sama...”
Tidak lama setelah Priestess mengatakan ini, Priestess melihat pada medan perang seraya telah merasakan sesuatu. Matanya melotot lebar.
“Oh...!”
Dia bergetar begitu hebatbya seraya berteriak, kemudian melompat ke depan party mereka.
Sebelum seseorang dapat menghentikannya, Priestess mengangkat flail miliknya, dan kemudian suaranya.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah!”
Dia memohon keajaiban kepada dewa. Ibunda Bumi yang maha penggasih memberikannya sebuah dinding tak kasat mata, yang berpusat di sekitar tongkat yang di genggamnya di udara.
Pada tepat pada detik itu, kalimat akan lidah kuno terdengar di keseluruhan medan perang.
“Omnis...nodos...libero!” Aku melepas semua yang terkekang!
Sebuah ledakan cahaya membutakan mereka. Sebuah lembaran putih memotong gelapnya hujan dan menyelimuti segalanya.
Cahaya itu melintasi medan perang, menghilangkan asap, dan menghancurkan Dragontooth Warrior. Prajurit tengkorak itu rubuh layaknya sekarung batu bata.
Cahaya itu berdenyut melintasi medan perang sekali lagi, menangkap beberapa goblin dan mengubah mereka menjadi debu.
“Hrr...rrr...”
—hingga, dengan dentuman, cahaya itu menghantam pelindung  tak kasat mata dan menghilang.
Hujan telah membentuk pusaran angin sekarang, namun dengan adanya aroma aneh lainnya yang mencampuri.
Priestess terkulai lemas, tidak bisa sepenuhnya menahan tekanan spritual akan hantaman itu.
Goblin Slayer menggunakan lengannya yang berperisai untuk menahan Priestess dan menjaganya tetap berdiri.
“Ak...Aku minta maaf...”
“Kamu terluka?”
“Ng-nggak, tu-tubuhku baik-baik saja...” Darah telah terkuras dari wajahnya, dan dia menggigit bibirnya menyesal, “Tapi aku... Aku hanya punya satu keajaiban lagi sekarang...”
“Nggak masalah.” Goblin Slayer menggeleng kepalanya. “ Itu sudah cukup.”
Awan hitam yang menutupi medan perang telah terbakar habis.
Tidak akan memakan waktu lama hingga goblin dapat pulih dari kebingungan mereka.
Dragontooth Warrior nggak bertahan selama yang aku harapkan.
Goblin Slayer dengan cepat merevisi rencannya. Dia berniat untuk bergerak setelah makhluk itu telah mengurangi jumlah musuh mereka.
Dia mempunyai satu ide—tidak bisa di bilang sebagai kartu as, tapi adalah sesuatu yang telah dia siapkan jika mereka berhadapan dengan sesuatu selain goblin.
Namun kebun berada di belakang mereka. Mereka harus membunuh semua musuh mereka di sjni. Tidak ada satupun yang boleh di biarkan hidup.
Seperti biasa.
“Bagaimana menurutmu?” dia bertanya.
“Mereka punya mantra Disintegerate.” Dwarf Shaman berkata, membelai jenggotnya seraya merogoh tas berisi katalis miliknya. “Ini akan sulit untuk di hadapi, tapi kemungkinan mereka nggak bisa melakukannya lebih dari sekali.”
“Namoen ini aneh,” Lizard Priest berkata dari tempat di mana dia berjongkok berlindung, memperhatikan medan perang dengan siaga. “Apa’ah pembatja mantra dengan ‘e’oeatan jan seperti itoe biasanja membagi goblin mili’nja?”
“Mungkin dia mempunyai tujuan lain.” Goblin Slayer bergumam.
Awan gelap berputar di atas kepala mereka. Elemen alam mencambuk pada mereka tanpa ampun.
Goblin Slayer memiliki firasat buruk. Firasat yang sama ketika seekor goblin mengendap-endap di belakangnya.
“Kita sudah nggak bisa mengulur waktu lagi.”
“Ada seboeah pepatah, ‘perang’ap jang telah di’etahoei boe’anlah seboeah perang’ap.’” Lizard Priest mengayunkan ekornya, “Saja rasa ‘emoeng’inan terbai’ ‘ita adalah dengan menjerang secara langsoeng, memojo’an moesoeh.”
“Aku setuju.” Goblin Slayer berkata singkat, kemudian memutar helmnya kepada Priestess.
Priestess mengelap keringat dan lumpur dan hujan dari wajahnya dan bertatap muka dengannya.
Helm Goblin Slayer sama basahnya dengan hujan, ternoda dengan lumpur dan darah, dan ekspresi di balik helm itu tidak dapat di ketahui.
“Kamu penting. Aku berharap padamu.”
Namun Priestess dapat merasakan tatapan pria itu pada dirinya. Priestess berkedip.
Ini sangatlah cukup untuk meningkatkan kepercayaan dalam hatinya.
Dia—Goblin Slayer—orang yang sulit di percaya—
Pria ini berharap padanya. Orang itu berkata padanya.
“...Baik, pak!”
“Baiklah. Kalian semua tahu rencananya. Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya.”
Goblin Slayer menarik pedangnya, menyiapkan perisainya, dan melangkah maju.
Lizard Priest berdiri di sampingnya, pedang taring telah di siapkan, ekornya terangkat.
Di belakang, High Elf Archer memasang panah pada busurnya, menarik benangnya.
Dwarf Shaman menggenggam katalis dengan kedua tangan seraya membaca mantra.
Dan Priestess memegang erat flail miliknya, menawarkan doa kepada para dewa di surga.
“Ayo.”
Dan pertarunganpun di mulai.
*****
Korban pertama mencoba merayap keluar dari kabut asap.
Goblin itu memiringkan kepalanya, merasakan sesuatu sedang mendekat, dan tidak lama kemudian kepalanya menghilang.
“GROORB?!”
Goblin Slayer menginjak tengkorak itu seraya maju ke depan, menghancurkannya.
Dia menyapu makhluk di belakang dengan perisai pada lengan kiri dan menusuk tenggorokkan makhluk lain yang melompatinya.
“Dua.”
Mayat segar itu segera terjatuh seraya dia melepaskan pedangnya. Dia menendangnya, menarik kapak yang berada pada ikat pinggang makhluk itu.
Dia memotong leher makhluk yang tersandung di belakangnya, menarik nyawanya.
“Tiga.”
Dia melempar kapak pada gerombolan goblin dan mengambil tombak pendek dari korban terakhirnya, dan terus melangkah maju tanpa melihat ke belakang.
“Lewat sini. Ayo.”
“Baik’” Lizard Priest menjawab lugas berlari mengikuti ekornya melingkar.
Dia mengayunkan taring putih itu layaknya sebuah pedang besar, memotong beberapa musuh dalam sekali tebas.
“Lihatlah! Naga menakoet’an, leloehoerkoe, lihatlah! ‘ita bersoe’a cita malam ini!”
“GOROROROR?!”
Tetes hujan berdansa, darah mengalir, dan daging berterbangan. Teriakan dan jeritan bergema di udara.
Goblin terlahir sebagai pengecut. Itu adalah sebagian alasan mengapa mereka sangat licik.
Tidak ingin mati, mereka menggunakan rekan mereka sebagai perisai. Murka karena kematian rekan mereka, mereka menyerang bersama untuk membasmi musuh mereka.
Dan karena musuh mereka telah melakukan ketidak-adilan pada mereka, segala macam siksaan sangat di sah-kan
Lihat! Musuhnya hanya dua. Ya, beberapa memang sudah mati, tapi jumlah masih berpihak pada kita.
Di tengah-tengah hujan dan aroma busuk yang mengambang—apa kamu mencium itu?
Seorang gadis. Seorang elf. Seorang wanita.
Tidak ada yang perlu di khawatirkan. Lakukan.
“GOBBRO!!”
“GROBB!!”
Hanya butuh sesaat untuk goblin dalam merubah kebingungan menjadi kemarahan, dan kemudian menjadi keserakahan.
Beberapa dari mereka mengambil beraneka ragam senjata berusaha untuk menghentikan serangan gencar Goblin Slayer, dan beberapa membawa tombak berusaha mengepung dan membunuh Lizard Priest dalam tarian membunuhnya.
Beberapa yang lebih pintar dari mereka melarikan diri dari musuh mengerikan ini dan memecahkan formasi.
Namun Goblin Slayer dan partynya sudah mengetahui bahwa beberapa dari mereka akan berusaha lari.
“Pazuzu, raja Locust, anak matahari, bawalah ketakutan dan kesengsaraan, dalam setiap langkahmu!”
Para goblin bergetar ketakutan mendengar suara tinggi siulan angin.
Dan kemudian mereka melihat sumber suara itu, lolongan menderu—gelombang hitam bergulung melewati bumi, tepat menuju mereka. Sebuah badai hitam pekat.
Adalah sebuah gerombolan serangga, bersiap membanjiri dan menghancurkan.
“GORRBGGOGG?!?!”
“GORGO?!”
Para goblin berusaha keras untuk mengusir serangga yang menggigit dari kulit mereka, tidak menyadari bahwa itu semua hanya sekedar ilusi.
Rasa takut adalah emosi utama dalam dunia, dan sangatlah efektif dalam mengendalikan goblin. Mereka berteriak dan menggertakkan gigi mereka.
Mereka terpecah belah, menjatuhkan senjata mereka dan berlari secepat kaki bisa membawa mereka ke segala arah.
Mustahil mereka bisa berlari sampai jauh.
“Gnomes! Undines! Buatkan aku bantalan terbaik yang pernah ada!”
Para goblin terikat.
Bumi menahan kaki mereka dengan cepat dan mereka terjatuh ke tanah satu persatu. Lumpur lengket menggelembung di sekitar mereka.
“GORBO?!”
“GBORRBB?!”
Mereka berjuang dan melawan namun menyadari bahwa mereka tidak dapat berdiri.
Lizard Priest bergerak maju tanpa lelah di sekitaran rawa yang telah di panggil, melakukan pekerjaan mematikannya.
Cakar, cakar, taring, ekor. Dia berdansa di antara goblin, menghabisi mereka dengan setiap bagian tubuhnya.
“Ho! Leloehoerkoe, jang meroepa’an separoeh djiwakoe! Terimalah amoe’an ini!”
Kaum lizard datang dari rawa. Lumpur ini bukanlah halangan bagi mereka.
Lizard Priest membantai para goblin, kemudian mengangkat kepalanya dan meraung.
“Madjoe, toean’oe Goblin Slajer!”
“Ya,” Goblin Slayer berkata, mendatangi dan berdiri di sampingnya. Dia membawa beberapa kulit yang telah di persiapkan secara khusus.
Dia menggunakan tombaknya untuk menusuk punggung salah satu makhluk yang terjatuh. Itu satu. Dia mengambil pedang monster itu dan melemparnya. Dua.
Dia bergerak maju dengan perisai terangkat, menjatuhkan beberapa lagi yang berada di dekat mayat itu. Dia mengangkat mayat itu, menarik pedang dari mayat itu. Tiga.
Dia mengunakan pedang itu untuk membelah tengkorak goblin yang berusaha memblokir jalan majunya. Empat. Dia menjatuhkan senjata yang menjadi tumpul itu, menendang sebuah tubuh ke samping dan mengambil pentungannya.
Tenang dan presisi, mencari dampak terbaik dengan upaya minimal, dia melintasi pasukan musuh.
“Ya Tuhan, Beardcutter. Dia memang bisa menanganinya sendiri.” Di bagian belakang, Dwarf Shaman tertawa dengan sebuah tanduk berburu pada satu tangan dan beberapa tanah liat di tangan lainnya. Pria itu seolah tidak ingin mempercayainya. “Tentu saja, tanpa adanya aku di sini, semua nggak akan berjalan dengan begitu lancar...”
“Buat rawa,” Goblin Slayer telah berkata padanya. “Jangan biarkan mereka melarikan diri.”
Hanya itulah tugas Dwarf Shaman.
Ketakutan, dan kemudian ikat. Fakta bahwa mereka berada di tempat terbuka akan semakin menguatkan efek ini.
Dua mantra skala besar. Memang benar, dia hanya meniup dari katalisnya, tapi...
“Bersiaplah, telinga panjang, kamu berikutnya.”
Dwarf Shaman memberikan tepukan menyemangati pada pundak Sang elf, dan telinga elf itu menyentil tidak senang.
“Jangan pukul aku, kamu bikin bidikanku melenceng.”
“Jangan ngaco. Gerombolan sebesar ini, nggak peduli kemana kamu menembak, kamu akan mengenai sesuatu.”
“Kalian para dwarf nggak pernah serius dalam hal apapun... Tembakan yang kena itu juga berawal dari bidikan.”
High Elf Archer menarik dan mengeluarkan nafas dari hidungnya. Bagi para elf, menembak sama halnya dengan bernafas.
Jarinya bergerak pada benang dengan ritme yang teratur, mengirimkan panahnya terbang mengudara melintasi hujan. Dalam dunia ini, hanya dewa yang dapat menandingi kemampuan memanah kaum elf. Dan High Elf Archer adalah, yah, seorang high elf, garis darah keturunan para dewa jaman dahulu.
Dan memang benar, sasarannya adalah para goblin yang bermandikan lumpur.
Walaupun dia memprotes, dia dapat mengenai mereka walau tanpa membidik. Namun dia terlalu berdedikasi untuk itu.
Dan karena, Orcbolg telah setuju untuk pergi berpetualang dengan dirinya! Oleh karena itu dia tidak bisa membiarkan kesempatan itu begitu saja. Dia tidak ingin.
“Seorang petualang harus menyelesaikan quest mereka sampai akhir!”
Dan panah yang terguyur hujan miliknya bergabung dengan hujan yang jatuh dari langit.
Goblin Slayer sendiri seperti sebuah misil yang di tembakkan di medan perang tidak ada sedikitpun keraguan dalam langkahnya. Ini bukanlah sebuah kemungkinan, namun sesuatu yang harus terjadi.
Dia hanya memiliki satu tujuan—mencapai pemimpin mereka yang berada di belakang barisan musuh.
Yang semakin menguatkan alasannya...
“G-Grrr!”
Dark Elf menggeram.
Tiga puluh goblin perisai miliknya telah hancur, musuh sudah berada di dekatnya, dan dia tidak memiliki waktu untuk fokus mmembaca mantra.
Dia berpikir untuk menyatukan kembali para goblin, nnamun dia sadar bahwa itu adalah hal mustahil.
Satu-satunya yang bisa dia harapkan adalah ini. Dark Elf menarik pedang dari sarungnya.
“Manusia keparat!”
Dia menebas, pedangnya berkilat dengan cahaya silver.
Goblin Slayer menangkisnya dengan perisai. Ini alasan mengapa dia membawanya. Kegunaan perisainya sebagai senjata pukul hanyalah pilihan sekunder.
Dia dengan cepat membalas dengan serangan mengayun dari pentungan yang di genggamnya pada tangan kanan, dia mengarahkannya pada kepala, berharap dapat memecahkan tengkorak atau tulang belakang.
Namun kaum dark elf juga memiliki kelincahan layaknya saudara elf mereka. Dengan kata lain, jauh melebihi manusia.
Terdapat cipratan lumpur seraya sang elf melompat kebelakang, tidak terganggu dengan tanah berawa dan tidak terintimidasi dengan ilusi yang menakutkan.
Serangan Goblin Slayer hanya mengenai lakuna. (TL Note : lakuna = https://kbbi.web.id/lakuna )
“Hmmph. Tidak ku sangka seseorang yang mampu menerka rencanaku berada di kota ini...”
“....Kamu nggak seperti goblin.”
Goblin Slayer dan Dark Elf sekarang berdiri dengan beberapa jarak. Lumpur mengeluarkan suara slosh, slosh halus seraya mereka berusaha mencari posisi yang menguntungkan.
Terlihat jelas bahwa pedang Dark Elf  lebih baik di bandingkan dengan pentungan sang petualang.
Menyadari ini sepenuhnya, sang elf mengambil waktu untuk mengintrogasi musuhnya.
“Siapa atau apa kamu?”
“...”
“Aku dengar beberapa orang dalam kota ini telah mencapai tingkat Silver... tapi aku tidak bisa membayangkan petualang yang berpengalaman seperti itu akan mau menggunakan pentungan goblin.”
“Apa kamu pemimpin mereka?”
Goblin Slayer menjawab dengan pertanyaannya sendiri. Acuh tak acuh. Seperti biasanya.
“Benar.” Dark Elf membalas, merasa sedikit jengkel. Membusungkan dada, dan ujung bibirnya sedikit menyeringai. “Aku adalah rasul dari kekacauan, penerima wahyu dari dewa kekacauan secara langsung!” Dia memegang pedang pada tangan kanannya, sebuah benda sihir pada tangan kirinya. Dark Elf tetap menjaga kuda-kuda rendah seraya berteriak, “Dan pasukan goblinku semakin mendekat dari segala penjuru! Kehidupan selanjutnya akan segera menyambutmu dan kamu—“
“Aku nggak tahu kamu itu apa. Dan aku nggak peduli.” Goblin Slayer menyela proklamasi sang elf. “....Goblin Lord itu lebih menyusahkan di banding dirimu.”
“___”
Terdapat jeda seraya Dark Elf memproses apa yang telah di ucapkan kepadanya.
“Ku-kurang ajar...!”
Kakinya yang lincah mengambil langkah cepat dan geometris.
Dari gerakan yang tidak biasa ini, mata pedangnya datang dengan sekejap.
Sinar samar yang hampir tak terlihat merupakan bukti terdapatnya sihir. Adalah sebuah pedang sihir. Bukan hal yang tidak biasa.
Goblin Slayer mengangkat perisainya untuk menangkis serangan. Serangan itu berjalan pada permukaan perisai, dan melewatinya.
Tidak—
“Hrghh!”
Goblin Slayer berteriak.
Pedang tipis itu, menembus baju besi miliknya melalui celah pada armor pundaknya.
Darah mengalir dari sisi kirinya. Dark Elf tidak hanya memiliki senjata yang lebih baik, namun juga berpengalaman dalam menggunakannya.
“Hah! Kamu lambat, manusia!”
Kemampuannya seharusnya tidak mengejutkan. Karena, levelnya sendiri cukup tinggi hingga dia dapat menggunakan disintegerate.
Elf dan dark elf pada dasarnya memiliki fisik yang berbeda dengan manusia.
Manusia tidaklah di berkahi sesuatu yang luuar biasa, yang di mana itu membuat mereka sulit untuk mengalahkan kelincahan kaum dark elf. Terlebih lagi dark elf yang seperti ini, yang memiliki ratusan atau bahkan ribuan tahun pengalaman. Berhadapan dengan mata, tangan, dan kemampuan Dark Elf, dengan perlengkapan apa adanya adalah sama saja dengan tidak menggunakan perlengkapan sama sekali.
“Aku mengerti. Sebagai pemimpin mereka, kamu nggak perlu menahan diri.”
Tentu saja, itu semua tidaklah penting bagi Goblin slayer.
Serangan itu tidaklah mematikan. Tidak seberapa sakit yang dapat membuatnya sulit menggunakan pundaknya, dan senjata itu tidak beracun.
Dia mengevaluasi lukanya sendiri dengan kepala dingin, kemudian memilih untuk melanjutkan pertarungan.
“Masih mau lanjut hah, dasar kutu tengik?”
“....”
“Baiklah. Lihatlah sendiri apakah kami lebih rendah dari goblin!”
Dark Elf, yang terlihat mengambil kesimpulan tidak berdasar, mendorong artifak pada tangan kirinya ke udara.
“O tuan akan bagian tubuh agung ini, pangeran angin topan! Biarkanlah angin berhembus! Panggilah badai! Berikan hamba kekuatan!”
Pada saat itu sesuatu berubah. Suara dentur hebat terdengar dari dalam tubuh Dark Elf. Membelit dan membengkak. Kemudian, satu persatu, mereka keluar dari punggungnya.
Lengan.
Cacat dan aneh, tulang belulang tersambung pada tempat yang salah, penuh dengan otot yang menonjol.
Lima secara keseluruhan—tujuh, jika termasuk dengan lengannya sendiri.
“...Hrm.”
“He, heh-heh, heh. Bahkan kamu sampai sulit berbicara, dasar petualang bajingan!”
Lengan tambahannya yang terlihat seperti seekor laba-laba atau kepiting, dapat terlihat jelas dari sekitaran medan perang.
Dia bukanlah lagi seorang dark elf. Matanya merah dan menggila, suaranya tinggi, memaksa batasan seluruh saraf dan kemampuannya.

Dia tidak membuat sedikitpun suara seraya dia memiringkan tubuhnya dan menerjang Goblin Slayer.
Dalam sekejap, muncratan lumpur terlontar dari bumi, bersamaan dengan sebuah dentuman.
“Apa-apaan itu?!” High Elf Archer berteriak seraya dia melepaskan tembakan, yang menembus goblin tepat di matanya. “Apa baru saja lengan tumbuh dari punggung dark elf itu?!”
“Mustahil! Edan!” Dwarf Shaman telah mengeluarkan kapaknya dan menggunakannya untuk melawan goblin.
Pekerjaan dari Dragontooth Warrior dan dua petarung garis depan mereka telah banyak mengurangi jumlah musuh, selama party mereka dapat menjaga garis pertempuran, mereka memiliki kemungkinan menang yang tinggi.
“Sial! Apapun yang dia lakukan, kelihatannya itu perbuatan sihir, dan kita nggak ingin terlibat dalam sihir seperti itu!”
“Oh, Saja rasa tida’ ada jang perloe ‘ita ta’oet’an.” Dia adalah anggota ketiga dari party. Lizard Priest, ekornya melingkar, terdengar lebih percaya diri di banding biasanya. “Hanjalah sedi’it peroebahan toeboeh setjara intsan. Toeankoe Goblin Slajer dapat menanganinja.”
Itu membuat mereka bebas berkonsentrasi dalam peran mereka. Dengan raungan, Lizard Priest kembali melompat pada para goblin.
*****
Tidaklah berlebihan jika mengatakan bahwa Goblin Slayer dapat bertahan melawan tujuh musuh yang menyerang secara bersamaam.
Dia menangkis serangan dari kiri dengan perisai, kemudian menghantam dengan pentungannya, dia berguling menjauh  dari sebuah pukulan yang mendatanginya dari segala penjuru arah, kemudian berlutut satu kaki.
Sebuah tinju datang menurun dari atas kepalanya. Kali ini dia melompat ke depan, tepat menuju Dark Elf.
“...!”
Goblin Slayer mengayunkan belati mengarah atas, namun kelincahan Dark Elf membuatnya dapat menghindar.
Lengan makhluk itu dapat membuatnya hampir terbang di atas permukaan lumpur.
“Kenapa, manusia? Kamu harus lebih dekat lagi kalau kamu mau gunakan pedangmu itu!”
Sekarang musuh telah memperlebar jarak antara mereka, Goblin Slayer tidak mempunyai pilihan selain untuk terus maju.
Dark Elf menunggu tanpa tergoyahkan, walaupun dengan lima lengan raksasa yang tumbuh dari punggungnya, pemandangan akan dia yang berdiri di sana, tanpa terganggu keseimbangannya oleh bagian tubuh yang baru, sangatlah tidak wajar.
“Yah, semakin besar mereka, semakin mudah untuk di bidik!”
Benar Goblin Slayer sedang dalam posisi yang tidak menguntungkan jika satu lawan satu. Namun itu bukan berarti dia tidak membutuhkan bantuan dari temannya.
High Elf Archer baru saja menghabisi beberapa goblin di sekitaran. Sekarang dia telah berlutut sebelah kaki dan menyiapkan busurnya.
Dia mengeluarkan panah dari tempat panahnya, memasangnya pada busur, menariknya, dan melepaskannya dengan satu gerakan yang lincah.
Bidikannya tepat sasaran, ujung mata panah itu melintasi beberapa tetes hujan, menancap tepat pada dahi Dark Elf—
“.......!”
—hampir. Sesaat sebelum panah itu menancap, sebuah tangan putih tiba-tiba muncul dan menangkap panah itu di udara.
Layaknya sebuah topan, layaknya sebuah tiang batu. Sebuah tangan yang bengkak dan menonjol dan hina.
Lengan tembus pandang itu mematahkan panah seperti sebuah cabang pohon dan menghilang.
Dark Elf menyeringai dan mengangkat tinggi artifak terkutuk di tangan kirinya.
Tidak ada seseorangpun yang akan memimpin garis depan tanpa adanya semacam perlindungan.
“Dia bisa menangkis panah...?!” Teriak High Elf Archer, bergetar ketakutan.
Konon dalam dahulu kala, seekor raksasa ikut dalam peperangan antara dewa ketertiban dan kekacauan.
Artifak terkutuk itu adalah lengannya—sebuah benda dengan kekuatan untuk memanggil sang raksasa. Dan Dark Elf adalah pemiliknya.
“Jadi—“ Dwarf Shaman menepuk pipinya, meringis. “—dia seorang summoner?!”
Jika dia benar dapat memanggil makhluk dari jaman para dewa, itu artinya dia sama kuatnya dengan petualang tingkat Bronze atau Silver, atau bahkan....
Metode pemanggilannya sangat tidak lazim, benar, tidak berprikemanusiaan, namun tidak ada yang bisa menyangkal kepercayaan diri yang di pancarkannya. Sangatlah mungkin bahwa Dark Elf, dia sendiri—terlebih goblin miliknya—bukanlah hal yang terpenting.
Lihatlah awan hitam yang bergolak di atas kepala. Lihatlah badai yang di ciptakan untuk menghacurkan kota. Guruh. Angin. Hujan.
Bagaimana jika ini semua merupakan sebuah pertanda akan kembalinya hecatoncheir ke bumi?
“Dji’a dia dapat memblo’ir panah, apa’ah ‘ita perloe berasoemsi bahwa semoea sendjata djarak djaoeh a’an tida’ efe’tif?”
“Aku sendiri juga nggak tahu...”
Lizard Priest telah kembali dari memenggal kepala goblin terakhir yang bermandikan lumpur.
High Elf Archer menjawab dengan kepakkan tekinganya. Masih sulit untuk mempercayainya, dia menyiapkan panah lainnya.
“...Tapi saat aku kecil, kakekku cerita sama aku bahwa nggak peduli seberapa banyak panah yang di tembakkan pada raksasa itu, makhluk itu menghentikan semuanya.”
Jika seorang kakek manusia menceritakan cerita seperti itu, maka itu hanya akan di anggap sebagai dongeng belaka. Namun ini adalah elf veteran yang telah hidup pada jaman peperangan kuno.
Dan dia berkata bahwa panah tidak ada gunanya.
“Tuhan,” Dwarf Shaman berkata seraya menjentikkan lidahnya. “Dari banyaknya waktu bagi seorang elf untuk menyadari apa itu artinya kegagalan.” Dia tidak terlihat optimis.
Dia mengacungkan jarinya, mengukur jarak dengan Dark Elf yang bermutasi. Musuhnya tepat berada dalam jarak tembaknya.
Namun Stone Blast sangat beresiko mengenai Goblin Slayer. Dan walaupun bidikannya tepat, seberapa banyak kerusakan yang dapat di hasilkan pada lengan monster itu...?
“Oho?”
Mata Dark Elf melebar.
Goblin Slayer telah membuang pentungannya dan menarik pedangnya. Pedang dengan panjang yang aneh berlumur lapisan kotoran, mungkin di karenakan bertarung di dalam lumpur.
Namun Goblin Slayer mengambil kuda-kuda rendah dan memutar pergelangan tangannya sekali.
“Apa kamu pikir dengan mengganti senjata dapat membuatmu menang melawanku?”
“Nggak.” Goblin Slayer menenangkan pernapasannya, menunjuk ujung pedang musuh, dan berkata dengan suara rendah. “Aku berpikir ini akan membunuhmu.”
“Jangan membual!”
Seraya dia berteriak, lengan dark Elf menjulur dengan tidak lazim, berusaha mencapai Goblin Slayer.
Warrior manusia itu berlari ke depan, memanfaatkan setiap celah kecil.
Dalam tangan kanannya Dark Elf memegang pedangnya. Itu adalah pedang yang bagus, namun reflek sang pemilik telah membuatnya menjadi senjata yang jauh lebih berbahaya.
“Serangan bunuh diri? Kamu tidak akan pernah mencapaiku.”
Goblin Slayer hampir tidak bisa menangkis kilatan cahaya silver yang bersiul di udara dengan perisainya.
Beberapa bagian dari perisai bundarnya telah terpotong dan tertusuk dan mencapai titik di mana benda itu sudah tidak dapat di gunakan lagi.
Namun Goblin Slayer tidak mempermasalahkannya, dan semakin memperdekat jaraknya dengan pedangnya yang sudah siap menunggu.
Dark Elf melompat kebelakang dan bersiap untuk menusuk kembali. Goblin Slayer mengikuti, menusukkan dengan ujung pedangnya.
Terdapat retakan kecil bersamaan dengan gema berdering. Namun hanya itu saja.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Sepertinya lengan kepercayaanmu tidak cukup kuat!”
Goblin Slayer tidak mempunyai kekuatan untuk menusuk tembus elf itu.
Sang musuh mendarat di tanah, mencipratkan lumpur ke segala arah, dan berkumandang kemenangan:
“Aku sudah mengukur kemampuanmu! Kamu tidak lebih baik dari Ruby, tingkat kelima. Atau bahkan Emerald, tingkat keenam!”
“Salah.” Goblin Slayer berkata, menggelengkan kepalanya “Coba Obsidian.”
Goblin Slayer tidak memiliki kekuatan. Namun....
“O Ibunda Bumi yang maha pengampun, limpahkanlah cahaya suci kepada kami yang tersesat di dalam kegelapan!”
Mereka mendengar suara, memohon kepada dewa.
Dalam malam ini dari keseluruhan malam, dari sebuah doa yang telah di terimanya dengan cinta murni gadis itu, bagaimana mungkin Ibunda Bumi dapat menolak memberikannya keajaiban?
Holy Light meledak dari flail yang di angkat Priestess.
Mengundang teriakan tak bersuara, Dark Elf mengambil langkah mundur seraya cahaya terang layaknya matahari menembus badai.
Matanya yang telah terbiasa dengan malam dan gelapnya hujan, terbakar seolah terkena sinar mentari.
Priestess tidak perlu lagi untuk berkomunikasi dengan Goblin Slayer.
Partynya akan menghadapi para goblin; Goblin Slayer akan menghadapi pemimpin mereka. Dan...
Kamu penting. Aku berharap padamu.
Pria itu telah mempercayakan peran ini kepadanya.
Tentu saja dia akan mengikuti jalur yang telah pria ini buat di melewati pasukan goblin.
Dan sekarang, dengan cahaya di belakangnya. Goblin Slayer melonjak dari kegelapan.
Priestess berdiri di belakangnya, penuh akan hujan, lumpur dan keringat, namun tekadnya kuat, menjunjung tinggi cahaya.
Kecantikkannya tidak datang dari cahaya dewa yang membanjirinya, ataupun dari pakaian yang dia gunakan.
Kecantikkan itu datang dari cara dia berdoa kepada dewa yang bersemayam di surga.
Tanpa sedikitpun rasa ragu atau bimbang. Walaupun bergetar dan takut, dia masih mengangkat flail-nya.
“Pak Goblin Slayer!”
Pedangnya beraksi, walaupun dia tidak berteriak.
Dia mengangkat senjatanya maju, membidik, membiarkannya terjatuh, dan memotong musuhnya.
Merupakan serangan yang biasa, benar-benar serangan yang biasa.
“Hrr—gah!”
Namun itu tetaplah sebuah serangan.
Armor dada Dark Elf pecah, daeah terciprat. Ini tidaklah seberapa. Namun serangan itu telah mengenainya, dan itu sudah cukup.
“Ka-kamuuuuuuuu—!”
Dia menjatuhkan senjatanya dan menekan dada dengan tangannya, terhuyung ke belakang.
Dia tidak takut akan panah, ataupun pedang dan mantra sihir. Serangan itu telah melukai harga dirinya sebagai seorang dark elf melebihi luka pada tubuhnya.

Bagaimana mungkin party sampah sok ikut campur ini bisa membuatku terpojok?!
“Aku akan membuatmu berharap agar aku tidak menggunakan kekuatan raksasa untuk menghancurkan kota ini!” Aura membunuh terpancar di matanya. Seperti para elf hutan yang mencari keharmonisan dengan alam, dark elf sangat menyukai siksaan dan harga diri. “ Aku akan membuatmu menjadi makanan untuk goblinku. Dan elf mu dan gadis kecilmu—aku akan memotong tangan dan kaki mereka, kemudian meninggalkan mereka di kedalaman gua hingga mereka mati...!”
Dark Elf berasumsi bahwa kemarahannya yang semakin meninggilah yang membuatnya sulit mengutarakan ucapannya.
Dia terjatuh sebelah kaki dalam cipratan lumpur.
“Erg... Gah... Hrrr...?”
Wajahnya, warna akan kegelapan, mengerut kesakitan. Lima lengan pada punggungnya mencakar lumpur, dan berusaha untuk berdiri.
Cedera, mungkin—lukanya?
—Tidak.
“Itu beracun.”
Goblin Slayer hanya mengutarakan dia kata itu dan melempar kantung tua dari tas di pinggangnya.
Kantung itu berisi dart yang telah digunakan kepadanya dan Gadis Guild dalam serangan pada aula Guild.
Goblin Slayer tidak mengetahui racun macam apa yang tersebar pada dart itu, tapi...
“Ka-kamu—! Kamu—! Kamuuuuuuuu—!”
...untuk menggunakanya pada musuhnya, adalah cukup untuk mengetahui bahwa itu memang beracun.
Darah mengalir dari sela jari Dark Elf dan menetes di tanah.
Kemurkaan terpencar pada matanya, dan hujan mengalir di antara bibirnya yang mengerut.
Dia menggunakan lengan pada punggungnya, untuk membantunya berdiri.
Petir menyambar di belakang Dark Elf, menyoroti figurnya yang tidak stabil, seperti pohon layu.
Dia terengah-engah, melawan racun yang mengalir dalam tubuhnya, dia terlihat seperti akan mati, dan lebih mengerikan dari sebelumnya.
“Omnis...!”
Dia berteriak kalimat kekuatan sejati, upaya terakhir mantra kematian jika memungkinkan.
“Tidak...!” Priestess berusaha mengangkat tinggi flail-nya dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat pasi.
Namun hubungan yang menyatukannya dengan para dewa telah membuat jarinya goyah.
“Kalau dia mengenai kita, semua akan berakhir, tapi—dia sedang lengah sekarang!”
High Elf Archer menarik tiga panah dari tempat panahnya, menembakkan mereka sekaligus, melebihi kecepatan sihir.
Namun dengan hembusan angin, lengan seperti awan memukul panah itu seraya melintasi badai.
“Kekuatan dashyat Hecatoncheir...!”
High Elf Archer mengeratkan giginya dan dengan marah menarik panah lainnya. Dia menolak untuk mempercayai bahwa ini tidak ada gunanya...
“Stone Blast terlalu beresiko! Sekarang semua tergantung padamu, Telinga panjang!”
“Kamu kira aku sedang apa!”
Sang archer melepaskan tembakan demi tembakan, namun lengan itu menyapu setiap tembakan yang datang dari langit.
“Mantra saja dan nona priestess ‘ita telah habis. Itoe artinja...”
“Nodos....!”
Menyerang dengan serangan jarak dekat! Tidak, dengan jarak Goblin Slayer ataupun mereka, tidak akan ada yang bisa sampai tepat waktu. Lizard Priest ikut turut serta mengeratkan giginya layaknya High Elf Archer.
Lantunan mantra Dark Elf berlanjut dengan sangat jelas dan lantang. Waktu mereka hampir habis.
Karena itu—mata mereka menuju pada satu pria.
“Pak...Goblin Slayer...”
“Penangkal panah?”
Berlumur lumpur dan racun dan darah, helm baja itu sedikit di miringkan.
“Dia bisa menangkis panah yang datang...apa itu benar?”
Walaupun dengan badai yang mengamuk di sekitar mereka, gumam lembutnya tidak akan gagal mencapai telinga high elf.
“Menangkisnya, menahannya—kamu tahulah!” Dia meninggikan suaranya agar dapat terbawa angin. “Apa....? Kakekku menyebutnya apa ya...?” Dia mengunyah jempolnya yang lentik, mengepakkan telinganya jengkel. “Aku rasa dia bilang.... ‘Tidak peduli metal menembus kulitku, batang dari setiap panah tertangkap oleh tanganku.’”
“Aku mengerti.” Tidak peduli metal menembus kulitku, batang dari setiap panah tertangkap. Dia bergumam pada dirinya sendiri. “Penangkal panah.”
Semua dia katakan tanpa emosi, kemudian akhirnya mengangguk mendengar panggilan Priestess dan melangkah ke depan.
Tepat di depan matanya, cahaya putih sudah mulai bersinar. Udara bergerumuh dengan tenaga sihir.
Seraya dia mengambil langkah kedua, dia meletakkan kembali pedang pada sarungnya dan memutar kecil pundak kanannya.
“Libe...”
“Begitu.”
Kemudian langkah ketiga. Dan pada saat itu, lengan Dark Elf terbang.
Tidak ada—termasuk Dark Elf sendiri—menyadarinya sampai tunggul lengannya mulai memuntahkan darah.
Badai menerbangkan cipratan darah dan sepai bersama hujan. Suara akan lengan itu mendarat di semak-semak dapat terdengar. (TL Note : Sepai = https://kbbi.web.id/sepai )
Pisau lempar, bengkok dan aneh telah melintas di udara, dan menembus daging dan tulang Dark Elf.
Pisau berbentuk kincir. Dark Elf tidak mungkin bisa mengetahui bahwa itu itu adalah pisau lempar ala selatan.
“—?! Gaaaahhhh!!”
Bintang lempar itu terus terbang melewati kabut seraya lantunan mantra berubah menjadi teriakan mengerikan.
Dark Elf meremas bagian tubuhnya yang terkulai. Di belakangnya, lengan  berayun layaknya rerumputan di dalam badai.
“Ini bisa di anggap belati.”
Tidak ada yang istimewa dalam lemparan Goblin Slayer.
Hanya cepat dan presisi.
Dua lengan berdansa di kegelapan malam—satu milik Dark Elf yang telah terlepas, dan batang tangan yang dia remas.
Lengan itu mendarat dengan begitu menyedihkan di atas kotoran, dan Goblin Slayer menginjaknya.
Dari bawah kakinya, terdengar suara mirip dengan batu yang retak.
Dia tidak mengetahui apa yang benar-benar terjadi, namun lengan yang dapat menangkis panah sekarang tidak lebih dari sekedar lengan goblin.
“Ti-tidak! Le-lenganku! Lengan—Hecaton—cheir!”
Tidak lama kemudian panah tak kenal ampun terbenam pada tenggorokan Dark Elf, membuatnya meronta di tanah.
Terdapat helaan nafas dari high Elf Archer seraya dia melepaskan tembakkan, inilah yang dia dapat lakukan tanpa adanya semacam kecurangan.
“Tumbal...ku...tidak cukup...tumbal.... Dan goblinku...sama sekali....tidak...berguna...”
Dark Elf tersedak darah, kemudian memfokuskan tatapan kemurkaannya pada musuh yang mendekat.
Namun api dalam matanya mulai memudar, pandangannya buram. Dia berkedip cepat.
Yang hanya dapat dia lihat hanya seorang petualang dengan perlengkapan yang sangat aneh.
Armor kulit kotor, sebuah helm yang terlihat murahan, pedang dengan panjang yang aneh, dan perisai bundar kecil terikat di lengannya. Dia penuh akan cipratan hujan, lumpur, darah, dan tanah. Bahkan petualang pemulapun dapat tampil lebih baik.
Akan tetapi...
“Ka-kamu.... Ternyata kamu....”  Empedu keluar dengan darah di dalam mulut Dark Elf. “Dalam kota air... Pahlawan yang....menghalangi....ambisi kami....!”
Seharusnya dia menyadarinya lebih cepat.
Balas dendamnya dengan Sword Maiden yang terkutuk, kebangkitan Demon Lord, dan ritual untuk memanggil badai kekacauan.
Adalah para petualang yang menghentikan semuanya.
Pria ini. Pria ini adalah salah satunya, dia yakin. Dark Elf melotot pada helm baja itu dengan pikiran sehina bibirnya.
“......Bukan.”
Dia menjawab datar.
Banyak orang yang telah membantunya.
Menolongnya.
Membimbingnya. Adalah berkat mereka semua dia bisa berada di sini.
Ketika dia kembali ke kota, terdapat mereka yang— bagaimanapun juga tanggapan mereka terhadap dirinya—dia sebut teman.
Jika dia berputar, dia akan melihat mereka yang bertarung bersamanya sebagai rekan.
Jika dia pulang, terdapat seseorang yang akan menunggunya di sana.
Bukan bawahan. Bukan pengikut.
Tidak ada yang dewa berikan kepadanya berdasarkan takdir, atau kemungkinan.
Namun melainkan pilihan yang telah dia buat, jalan dan paragraf yang dia pilih atas kemauannya sendiri.
Yang semakin menguatkan alasanya untuk menyebut dirinya dengan apapun yang dia inginkan.
Ah, tapi...
Yang semakin menguatkannya lagi.
“Aku...”
Tanpa sedikitpun kebimbangan, dia menyatakan dirinya sendiri.
“....Goblin Slayer.”