SELALU HABISKAN MAKANANMU!
(Author : Deddy Z)

Warna langit biru cerah ditutupi lautan awan putih yang tipis.
Hari yang cerah.
Matahari pun bersinar penuh semangat menjadikan seolah ini hari yang bagus untuk mengibarkan bendera perang.
Akan tetapi, dukungan yang diberikan matahari justru malah membuat tubuhku yang lagi nggak bersemangat ini jadi tambah malas untuk digerakkan.
Gerah. Itu yang kurasa di badan.
Hari ini aku pulang naik angkot sendiri, nggak bareng Aldi naik motor.
Ketika sampai di depan rumah, aku melihat sesuatu yang membuat badanku jadi terisi energi penuh. Tepatnya energi keterkejutan.
Sebuah mobil hitam dengan bodi mulus mengkilap terparkir di depan. Nuansa kemewahan mobil itu seolah menular ke tempat tinggalku yang sederhana. Rumahku jadi keliatan kayak rumah milik orang kaya karena ada mobil keren di depannya.
Nggak perlu diragukan, itu adalah mobilnya Cynthia. Kalau mobilnnya ada disini, otomatis pemiliknya juga ada kan? Nggak mungkin itu mobil jalan sendiri. Namaku Alan Naufal, bukan Alan Witwicky.
Kenapa cewek itu kesini? Mau ngapain? Dia nggak pulang? Semua pertanyaan di kepalaku cuma bisa dijawab kalo aku ke dalam.
“Assalamualaikum.”
Pintu kubuka. Kepulanganku disambut oleh pemandangan dua anak cewek manis sedang duduk di bangku yang ada di ruang tengah.
Satu cewek mengenakan baju berwarna merah panjang, seperti gaun tapi dari bahan kain biasa. Itu adalah adikku, Tiara.
Rambut hitam Tiara yang biasanya tergerai sampai bahu kini terkucir ke sisi kiri dan kanan. Menciptakan gaya rambut twintail yang manis.
Aku bisa lihat, yang mengatur rambut Tiara adalah cewek yang duduk tepat di sebelahnya. Seorang cewek berambut cokelat yang mengenakan baju putih memperlihatkan kulit pundak, serta rok selutut berwarna biru gelap.
Ini pertama kali aku melihat Cynthia dalam pakaian kasual. Jika ada lima orang cowok disini, mereka pasti akan langsung dengan semangat memanggilnya ‘istriku!’ ‘istriku!’ ‘istri mudaku!’
“Waalaikumsalam, Kak Alan.”
“Waalaikumsalam.”
Dua cewek itu menjawab salam berbarengan.
“Kamu ngapain disini, Mak Lampir?” tanyaku.
“Main.”
Ketika memberi jawaban, pandangan mata Cynthia yang sebelumnya ramah, seketika berubah sinis. Aku pun memberikan kesinisan yang nggak kalah kuat ke mataku.
“Pulang sana! Dari kemarin kamu belum pulang?”
“Emang kenapa kalo aku main disini? Terserah aku kan aku mau main kemana.”
Cynthia tampak tak senang. Ia membuang muka lalu kembali menata rambut Tiara.
“Ya nggak terserah kamu lah! Ini rumahku. Aku nggak ngizinin sembarang orang main kesini.”
“Tiara ngizinin nggak?”
“Ngizinin dong, Kak!”
Melihat Tiara menjawab pertanyaan Cynthia dengan enteng, aku lalu memberi adikku pandangan yang mengancam.
“T-tapi Tiara ngikutin Kak Alan aja, hehehe,” lanjut Tiara.
“Tiara pilih sama Kak Cynthia atau sama Kakak Cecurut itu?”
“Eh? I-itu pilihan sulit, Kak.”
“Pilihan sulit? Kenapa itu jadi pilihan sulit, Tiara?” kesalku nggak terima aku sebagai kakaknya disetarakan dengan cewek itu.
“Tiara suka dua-duanya. Ini sama kayak milih genre, Kak. Nggak apa-apa kan kalo satu video ada lebih dari satu genre. Justru malah lebih bagus, kan!?”  
“Video apa yang kamu maksud?” tanyaku.
“Video film lah, Kak! Emang Kak Alan mikir kemana?”
“Ah begitu.”
Nggak ada candaan kotor? Apa adikku ini udah mulai jadi normal?
“Kamu mengharapkan apa, Cecurut? Aku udah nggak bolehin Tiara bikin candaan kayak gitu lagi,” Cynthia menatap sinis sembari memeluk Tiara seperti sedang melindunginya.
“Heh? Beneran!? Kenapa kalo aku yang ngomong nggak pernah didengerin!?”
“Itu karena kamu seekor cecurut. Tiara mana ngerti bahasa kamu.”
“Mak Lampir sialan. Kamu pasti pake kekuatan sihir ya buat bikin Tiara nurut.”
“Heh. Cecucut kayak kamu mana ngerti cara jadi kakak yang baik,” Cynthia bicara dengan nada meremehkan.
“Ngajak berantem ya kamu.”
“Apa? Kamu mau ribut?”
Cynthia bertolak pinggang dengan ekspresi muka menantang.
Yaampun. Cewek ini ngeselin banget. Kalau mukanya standar atau di bawah rata-rata, aku pasti udah mukul dia trus nyeret paksa keluar.
Bukannya aku bersifat pilih-pilih atau mengelompokan orang dari fisik. Tapi, gimana ya? Kalau lihat mukanya, cowok mana pun pasti lebih senang mengelus daripada memukulnya.
Ada pepatah yang mengatakan ‘Kalau kamu mapan, mukamu dimaafkan.’ Itu pepatah untuk cowok. Kalau untuk cewek, ‘Kalau kamu cantik, sifat burukmu dimaafkan.’
Yah. Dunia ini memang menganut sistem semua dinilai dari material fisik. Jangan percaya kepada pepatah ‘Jangan nilai buku dari sampulnya,’ karena buku yang nggak ada sampulnya pasti nggak akan kejual.
“Kak Alan sama Kak Cynthia jangan berantem dong! Kalo mau berantem, di kasur aja biar lebih enak.”
Baru saja aku mendapat kabar baik kalau Tiara berhenti membuat candaan nggak senonoh, ia sudah memulainya lagi.
“Boleh juga. Aku terima tantangan kamu, Cecurut!” Cynthia memberiku telunjuk lurus.
“Hah!? Tantangan apa!?” sontak aku panik bukan main melihat Cynthia mengiyakan saran Tiara yang dapat melanggar norma kesusilaan itu.
“Gebuk-gebukan bantal! Yang kalah harus keluar dari rumah ini. Tapi syaratnya aku satu tim sama Tiara. Gimana?”
Ah. Begitu. Ternyata maksudnya bukan seperti apa yang ada di kepalaku! Entah pikiranku yang tercemar, atau pola pikir mereka yang terlalu sehat. Tapi apapun itu, aku nggak merasa harus menerimanya, dengan alasan.
“Kenapa juga aku harus keluar dari rumahku sendiri?”
“Jadi kamu nggak berani? Sama cewek kok nggak berani.”
Mendapat penolakan, Cynthia lalu mengeluarkan kalimat provokasi. Nampaknya dia nggak senang kemauannya ditolak.
“Kamu kan Mak Lampir. Kalo tiba-tiba aku disihir jadi kodok gimana? Takut ah aku.”
“Cecurut sialan! Kalo gitu kita gebuk-gebukan langsung disini aja, nggak usah pake bantal!”
Cynthia lalu berdiri dan memasang kuda-kuda seperti seorang petinju.
Haa. Aku menghela napas.
“Udah ah. Aku capek tau. Baru pulang, udah dikasih masalah sama kehadiran kamu disini. Pergi sana cepet!”
Cynthia kelihatan kesal. Pipinya digembungkan, kini kedua tangannya turun dan mengepal di bawah.
Untuk beberapa saat ia terdiam. Lalu kepalanya sedikit menunduk seperti sedang berpikir.
Apakah akhirnya ia sadar kalau keberadaannya disini cuma mengganggu?
Bagus kalau begitu.
Kemudian, setelah satu helaan napas, Cynthia kembali bicara, tapi dengan nada tenang.
“Satu jam aja.”
“Satu jam?” tanyaku.
“Satu jam aja izinin aku main disini. Setelah itu aku janji akan pulang.”
Wah. Ternyata benar cewek ini sadar. Nggak nyangka aku bisa dapat bendera kemenangan.
“Abis itu jangan kesini lagi ya,” aku menambah persyaratan.
Cynthia terlihat memasang ekspresi nggak terima. Akan tetapi ia menahan diri untuk mengeluarkan amarah.
“Iya. Aku nggak akan kesini lagi. Kamu puas? Huh,” kata Cynthia sambil melipat tangan di bawah dada kemudian membuang muka.
“Yaudah kalo gitu aku izinin.”
Mendengar jawabanku, Cynthia kembali menghadapkan kepalanya ke depan. Lengan yang terlipat perlahan turun, lalu di ekspresi wajahnya berubah lembut, diiringi selengkung senyum yang teramat manis.
Setelah itu, Cynthia kembali duduk.
“Tiara, kita lanjutin lagi ya ngucir rambutnya.”
“Eh? Si-siap, Kak,” Tiara nampaknya merasa nggak enak atas perlakuan terhadap Cynthia. Akan tetapi dia nggak berani berbuat banyak akibat tatapanku tadi.
Sementara itu aku berdiri termangu di tempat selama tiga detik setelah melihat senyum barusan.
Apa-apaan senyum itu!? Nggak bisakah dia mengontrol senyumnya agar nggak terlalu bikin orang terkesima dengan keindahannya?
Jantungku sempat berdegup kencang, namun setelah dua tarikan napas panjang, aku kembali tenang. Kemudian aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan muka.

Nasi goreng yang dimasak oleh Tiara dan Cynthia pagi tadi cuma cukup buat sarapan. Jadi aku harus masak lagi buat makan siang dan persiapan makan malam.
Setelah ganti baju, aku ke dapur untuk melihat bahan masak yang tersedia. Garam masih banyak karena baru beli kemarin. Meski sempat mau langsung habis gara-gara tragedi nasi goreng asin pagi tadi.
Bawang merah juga banyak. Tapi cabainya kosong.
Kemudian aku memeriksa kulkas, di dalamnya ada mangkok kecil berisi sambal, lalu ada juga tiga batang wortel. Selain itu cuma botol air dan kecap.
Nggak ada yang bisa dimasak.
Lalu aku berjalan ke ruang tengah.
“Kalian berdua udah makan?” tanyaku.
“Belum, Kak. Makan siang kan giliran Kak Alan masak,” jawab Tiara.
“Eh iya. Aku belum makan ya,” lalu Cynthia memberi jawaban aneh.
“Apa maksud kamu ‘Eh iya,’ Mak Lampir? Kamu sama makan lupa?”
“Biasanya Roni ngingetin aku makan sesuai jadwal. Tapi hari ini dia nggak banyak omong,” Cynthia nampak berpikir.
“Oh begitu,” ternyata jadi orang kaya nggak menjamin otakmu jadi pintar, “Kakak mau ke pasar. Kamu mau makan apa, Tiara?”
“Daging ayam dong, Kak!” Tiara menjawab dengan semangat.
“Cekernya aja ya.”
“Oke,” semangatnya barusan seketika menghilang.
“Kamu mau ikut makan disini, Mak Lampir?”
“Boleh? Mau dong!”
Nggak tau kenapa, Cynthia tampak senang kutawari. Padahal kukira dia akan lebih memilih beli di luar untuk makanan yang lebih enak.
“Tapi disini ngga ada makanan mewah. Kamu nggak apa-apa makan makanan rakyat?”
“Nggak apa-apa.”
“Habisin ya. jangan ada makanan yang dibuang.”
“Tenang aja, kalo enak pasti kuhabisin.”
Kalimat Cynthia yang seakan meragukan kemampuan masakku itu bikin aku jadi kesal.
“Kamu juga tenang, aku nggak akan numpahin garam seplastik ke masakan.”
Kali ini kalimatku yang berhasil bikin Cynthia tampak kesal.

Jarak dari rumahku ke pasar lumayan jauh. Kalau jalan kaki bisa sampai 20 menit. Daripada capek di jalan, biasanya aku lebih memilih naik angkot. Tapi kalo uang lagi tipis, kadang aku terpaksa jalan kaki juga.
Mengingat di depan ada kendaraan yang bisa jadi tumpangan, aku jadi terpikir, bagaimana aku bisa naik itu ke pasar tanpa harus memohon memalukan ke pemiliknya?
Untungnya otakku ini lumayan encer kalo mikirin ide-ide buat berhemat. Aku langsung dapet wangsit bagus.
“Tiara, ikut ke pasar yuk!” ajakku.
“Ikut? Biasanya juga Kak Alan sendiri.”
“Kakak mau belanja banyak, jadi butuh orang buat bantu bawa.”
Tiara nampak enggan. Adikku itu emang nggak suka sama suasana ramai dan aroma nggak sedap yang kadang suka tercium di pasar.
Ini masuk perkiraanku, Tiara pasti menolak ikut. Lalu Cynthia akan menolong Tiara. Dengan begitu Cynthia akan bilang ‘Kamu sama Roni aja sana!.’
Hasil akhirnya, aku dapet tumpangan gratis.
Ternyata aku bisa jenius juga!
“Aku aja yang ikut boleh?” kata Cynthia.
“Hah? Kenapa kamu?” tanyaku kaget karena jawaban Cynthia di luar perkiraan.
“Aku mau belajar masak. Barangkali aku bisa ngerti bumbu-bumbunya kalo ikut ke pasar.”
“Ah…”
Aku berpikir.
Kemauan cewek ini kalo ditolak, pasti jadi perdebatan. Itu bisa berefek buruk sama rencanaku.
Kalo diingat, pulang sekolah tadi aku udah keluar uang lebih gara-gara nggak bareng Aldi. Apapun yang terjadi, kali ini sebaiknya aku tetap pilih berhemat.
“Yaudah, ama kamu aja. Ayo!”
 “Oke,” Cynthia lalu berdiri, “Tiara, ikut naik mobil, yuk!”
“Ayo, Kak!” kemudian Tiara ikut berdiri.
Sialan. Giliran cewek itu yang mengajak Tiara langsung mau. Aku jadi mulai ragu akan posisiku sebagai kakak.

Sekarang aku bersama dengan seorang cewek berdiri di tengah suasana ramai orang berlalu lalang.
Pada akhirnya yang menemani aku belanja cuma Cynthia. Tiara memilih menunggu di mobil, sementara Roni disuruh Cynthia untuk menjaga Tiara.
Tadinya aku membayangkan cewek itu akan mengeluh tentang ketidakbersihan atau aroma yang nggak mengenakan di pasar. Akan tetapi yang terjadi malah kebalikan. Ia seperti menikmati seolah sedang ada di taman hiburan.
“Kamu kok keliatan senang? Aku kira kamu bakal nggak nyaman sama suasana disini,” kataku.
“Ini pertama kalinya aku ke pasar tradisional. Biasanya aku cuma liat di TV. Ternyata begini ya suasananya.”
“Kamu pernah ke Dufan nggak?”
“Pernah. Tapi nggak sering.”
Otakku perlu beberapa detik untuk mencerna kata ‘nggak sering’ dari Cynthia. Seolah Dufan itu cuma jadi destinasi yang bisa dikunjungi kapan aja baginya.
“Aku malah baru liat Dufan di TV.”
“Kalo aku ke Dufan, aku nggak akan ngajak kamu.”
“Siapa juga yang mau diajak.”
Meski dalam hati sebenernya aku mau banget kalo diajak ke Dufan.

Hal yang pertama mau kubeli adalah ceker ayam. Aku biasa beli di tukang ayam langgananku, ibu-ibu berkerudung yang biasa dipanggil ‘Umi.’ Orangnya baik dan ramah.
“Mi, ceker ayamnya enam ribu dong,” pintaku ketika sampai di depan tempat Umi berdagang.
“Enam ribu nggak kedikitan?” Cynthia bertanya.
“Segitu dah banyak tau. Kamu tenang aja.”
“Cie, cie. Pasangan baru mau masak bareng ya? Romantis ya anak muda sekarang,” sambil memasukkan ceker ke kantong kresek merah, Umi penjual ayam bicara dengan nada menggoda.
“Kita bukan pasangan, Mi. Dia cuma tamu yang nggak diundang,” kataku.
“Apa maksud kamu aku tamu yang nggak diundang? Kamu kira aku maling!?” Cynthia memarahiku.
“Hahahaha. Hayo loh, Dek. Pacarnya marah tuh.”
“Kenapa kamu marah sama aku!? Harusnya kamu marah ke Umi ini!”
Cynthia nggak membalas, ia nampak cemberut lalu membuang muka.
Kenapa dia? Biasanya kalau diledek begitu dia langsung menyangkal dengan tegas seperti ‘Kenapa aku harus pacaran sama cecurut yang kebelutan lewat depan rumahku?’ mungkin begitu. Eh? Itu lebih mirip jawaban dari Fenny. Aku belum kenal Cynthia cukup lama untuk bisa meniru gaya bicaranya.
Setelah menukar uang sejumlah enam ribu dengan sekantong ceker ayam, kami pun beralih ke tukang sayuran.
Aku membeli sayur sop dan tempe. Kemudian lada bubuk dan bumbu pelengkap. Tak lupa juga beberapa sayuran lain untuk persediaan bahan masak.
Setelah semua yang kubutuhkan sudah terbawa di tangan, kami pun kembali ke mobil.
Mungkin lama menunggu, Tiara sampai tidur. Kami memilih buat nggak membangunkan.
Sepanjang perjalanan pulang, entah kenapa reaksi Cynthia waktu beli ceker jadi terbayang. Tingkahnya itu seolah nggak menolak aku jadi pacarnya kan? Harusnya disitu dia menyangkal. Kenapa nggak dilakukan?
Ah. Daripada nanti malem nggak bisa tidur, lebih baik kutanya ke orangnya.
“Oi, Mak Lampir,” aku memanggil.
“Apa, Cecurut?” Cynthia menyahut dengan nada nggak senang.
“Di tukang ayam tadi kamu kenapa? Kok kayak nggak nolak kita disangka pacaran.”
Nggak tau kenapa, mata hijau zamrud Cynthia menatapku jijik. Tatapan itu seakan menusuk hingga melukai dinding hatiku.
“Aku nggak biasa berhadapan sama orang baru,” jawab Cynthia sambil berpaling melihat keluar jendela mobil.
“Hah? Jadi kamu punya malu juga?”
Ups. Aku kelepasan mengejek begitu.
“Cecurut kurang ajar! Kamu mau aku turunin di jalan trus pulang jalan kaki!?“ Cynthia kembali melihatku dengan muka dipenuhi amarah.
“Bercanda! Jangan kenceng-kenceng, nanti Tiara kebangun.”
“Grrr…” Cynthia mengerang seperti kucing yang mau berkelahi.
Samar-samar aku mendengar suara tawa seorang pria dari bangku depan.

Aku nggak ngizinin Cynthia ikut masak. Aku nggak mau rasa makananku dirusak lagi sama dia.
Sebagai gantinya, ia memperhatikan dari dekat bagaimana cara aku memasak. Kadangkala jarak cewek itu terlalu dekat sampai aku bisa mencium aroma parfum yang mirip wangi vanilla.
Wanginya enak banget. Sempat terlintas di kepalaku ide sengaja dekat-dekat dia buat menikmati wangi parfumnya, akan tetapi nggak kulakukan. Itu kegiatan orang mesum.
Masakan sudah matang. Aroma sayur sop yang nikmat masuk ke hidung, membuat aku bisa melupakan wangi vanilla Cynthia.
Aku, Tiara, dan Cynthia makan bertiga di ruang tengah, di atas lantai beralaskan karpet.
“Makan bareng-bareng gini enak ya,” Cynthia bicara di tengah makan.
Syukurlah dia nggak mengeluhkan makanan ala kadar dengan lauk sayur sop ditambah ceker, dan dilengkapi gorengan tempe. Aku menyediakan sambal juga tapi Cynthia nggak menyentuhnya.
“Kamu mau bilang masakan aku enak kan? Nggak usah malu gitu, Mak Lampir,” kataku.
“Hmm, lumayan buat seekor cecurut.”
“Kak Alan pinter di dapur, tapi nggak pernah pinter di kamar,” Tiara ikut berkomentar.
“Apa maksud kamu Kakak nggak pinter di kamar?” tanyaku memastikan Tiara bukan membahas hal menyimpang ketika makan.
“Maksudnya otak kamu itu oon ketika belajar, Cecurut.”
“Ah. Begitu.”
Di satu sisi aku lega karena Tiara bukan membahas hal aneh, di sisi lain aku tersinggung juga.
“Aku nggak oon-oon banget kok. Seenggaknya aku nggak remidi di semua pelajaran.”
“Yang nggak remidi cuma pelajaran olahraga kan, Kak?” Tiara menyahut.
Tiba-tiba Cynthia tertawa sampai terbatuk-batuk.
Melihat Cynthia tersedak, Tiara lekas menuangkan segelas air untuk Cynthia.
“Kok bisa ada sih orang seoon kamu, Cecurut? Oh iya kamu kan bukan orang ya.”
“Berisik! Katanya dulu aku ini pinter tau. Cuma ada satu hal terjadi yang bikin otak aku susah memproses informasi rumit.”
“‘Katanya?’ Kamu sendiri nggak yakin kamu pernah pinter atau nggak?” tanya Cynthia dengan nada mengejek.
“Ya soalnya aku nggak inget.”
“Kenapa nggak inget?”
Aku terdiam enggan menjawab. Lalu tak lama Tiara mewakili.
“Kak Alan pernah kena amnesia, Kak.”
“A-amnesia!? M-maksudnya--”
 “Udah ah. Jangan dibahas. Lanjut makan aja.”
Aku bukan orang yang senang membahas masa lalu. Yah, karena kalo mengingat masa lalu, yang muncul di kepalaku cuma hal-hal suram.
Cynthia nampak penasaran, tapi ia terpaksa mengikhlaskan lalu lanjut makan.
Nggak lama setelah selesai menyantap makan siang, Cynthia berpamitan pulang.
Tadinya aku berencana mengusir kalo dia kelamaan disini, syukurlah dia sadar sendiri, aku jadi nggak perlu buang energi.
Tepat sebelum melepas kepergian Cynthia, aku teringat ada satu hal penting yang perlu kutanya kepada cewek itu.
“Oh iya, Mak Lampir. Aku boleh tanya sesuatu?”
“Hm?” sejenak Cynthia berhenti memakaikan sepatu ke kakinya untuk memperlihatkan wajah manisnya padaku.
“Kamu punya uang 300 ribu nggak?”
“300 ribu? Buat apa?”
“Temenku butuh uang buat bayaran sekolah. Dia nggak bisa ikut UTS kalo nggak segera dibayar. Barangkali kamu bisa kasih pinjaman.”
“Itu temenmu kan? Kenapa kamu yang pusing?” Cynthia kembali memakai sepatu. Lalu setelah rapi, ia berdiri seraya menyiapkan tas di pundaknya.
“Justru karena dia itu temenku, makanya aku ikutan pusing.”
“Kalo aku nggak mau ngasih gimana?” Cynthia berbalik badan, tepat ke arahku.
 “Yah, itu uang kamu. Aku nggak bisa maksa.”
Tanpa kumengerti bagian mana yang lucu dari kalimatku, Cynthia tertawa kecil.
“Aku bercanda. Aku nggak seegois itu kok. Kalo aku punya pasti kukasih. Tapi semua uangku habis buat belanja kemarin.”
“Semuanya?”
“Iya. Kemarin aku lagi stress. Wajar kan cewek belanja berlebihan kalo lagi stress,” Cynthia nampak agak malu menjelaskan.
“Begitu ya.”
Astaga. Entah kenapa terlintas di kepalaku kalau pelarian ke aktivitas yang nggak sehat masih lebih baik daripada melakukan hobi mahal begitu.
“Yasudah aku pamit ya. Selamat tinggal, Cecurut.”
“Selamat tinggal, Mak Lampir.”
Cynthia kemudian melihat ke arah Tiara yang berdiri tepat di sampingku.
“Tiara, peluk Kak Cynthia dong…!”
Cynthia melebarkan kedua tangannya lalu disambut dengan pelukan hangat dari Tiara. Nggak cuma memeluk, Cynthia juga mencium pipi Tiara. Aku membiarkannya aja karena mungkin ini hari terakhir mereka bisa ketemu.
Aku dan Tiara melepas kepergian Cynthia dengan senyuman. Mobil hitamnya berjalan semakin jauh sampai akhirnya menghilang setelah belokan. Senyumku ini adaalah senyum kebebasan. Leganya aku akhirnya sudah benar-benar terlepas dari cewek menyebalkan itu.
Mungkin keberadaannya nggak terlalu bikin masalah sebesar yang aku kira. Tapi tetap aja aku nggak menyukainya.
Ah, sayang banget, Cynthia lagi nggak ada uang. Sekarang bagaimana caranya aku bisa membantu Fenny?